Referat Penatalaksanaan Sinusitis Dan Komplikasinya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat



DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN SINUSITIS SERTA KOMPLIKASINYA Disusun Oleh : KELOMPOK III 1. 2. 3. 4.



Ardiansyah Elfin Ayu Pratami Riri Heyettillah Reizty Dwiyanda Putri



0810312122 0810312052 0810312053 07120201



Preseptor: Dr. Effy Huriyati, SpTHT-KL



BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA DAN LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR. M DJAMIL PADANG 2012



KATA PENGANTAR 1



Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga referat yang berjudul Diagnosis dan Penatalaksanaan Sinusitis serta Komplikasinya ini dapat kami selesaikan. Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Penulis mengucapkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu penyusunan referatini, khususnya kepada Dr. Effy Huryati, SpTHT-KL sebagai preseptor dari pembuatan referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda dan semua pihak yang banyak membantu dalam penyusunan referat ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan referat ini. Akhir kata penulis berharap semoga referat ini dapat menambah wawasan,



pengetahuan dan



pemahaman semua pihak tentang diagnosis dan penatalaksanaan sinusitis serta komplikasinya.



Padang, Desember 2012



Penulis DAFTAR ISI ii 2



KATA PENGANTAR.........................................................................................ii DAFTAR ISI.......................................................................................................iii DAFTARGAMBAR........................................................................................... v BAB I



PENDAHULUAN............................................................................ 6 1.1 Latar Belakang…………………………………………………. 6 1.2 Batasan Masalah……………………………………………….. 7 1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................... 7 1.3.1 Tujuan Umum................................................................... 7 1.3.2 Tujuan Khusus.................................................................. 7 1.4 Metode Penulisan......................................................................... 7 1.5 Manfaat Penulisan........................................................................ 7



BAB II



TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 8 2.1 Anatomi Sinus Paranasal............................................................. 8 2.2 Fisiologi Sinus Paranasal............................................................ 12 2.3 Definisi Sinusitis......................................................................... 15 2.4 Epidemiologi............................................................................... 15 2.5 Etiopatofisiologi.......................................................................... 16 2.6 Manifestasi Klinis....................................................................... 19 2.7 Klasifikasi................................................................................... 21 2.8 Diagnosis.................................................................................... 21 2.8.1 Diagnosis Rinosinusitis Akut pada Dewasa...................... 25 2.8.2 Diagnosis Rinosinusitis Kronis pada Dewasa................... 26 2.9 Penatalaksanaan.......................................................................... 28 2.9.1 Penatalaksanaan Sinusitis Akut......................................... 28 2.9.2 Penatalaksanaan Sinusitis Kronis...................................... 31 2.10 Komplikasi Sinusitis................................................................. 35 2.10.1 Komplikasi orbital........................................................... 35 2.10.1.1 Periorbital Selulitis....................................................... 36 2.10.1.2 Orbital Selulitis............................................................. 36 2.10.1.3 Abses Subperiosteal/orbital.......................................... 36 2.10.2 Trombosis Sinus Kavernosus.......................................... 37 iii 3



2.10.3 Komplikasi Intrakranial (Endokranial)........................... 38 2.10.4 Komplikasi Tulang.......................................................... 40 2.10.5 Komplikasi Rhinosinusitis yang Jarang.......................... 41 BAB III PENUTUP ........................................................................................... 42 3.1 Kesimpulan................................................................................. 42 3.2 Saran .......................................................................................... 42 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 44



DAFTAR GAMBAR iv 4



Gambar 1. Kompleks Osteomeatal..................................................................... 7 Gambar 2. Gambaran proyeksi sinus pada wajah.............................................. 9 Gambar 3. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut pada Dewasa untuk Pelayanan Kesehatan Primer.............................................................................. 25 Gambar 4. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis Dengan atau Tanpa Polip Hidung pada Dewasa.......................................................................................... 26 Gambar 5. Skema Penatalaksanaan Berbasis Bukti Rinosinusitis Kronis tanpa Polip Hidung pada Dewasa untuk Dokter Spesialis THT.................................. 28 Gambar 6. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis dengan Polip Hidung pada Dewasa....................................................................................................... 29 Gambar 7. CT-Scan pada abses epidural............................................................ 34 Gambar8.AbsesOtakpadaRinosinusitis.............................................................. 34 Gambar 9. Osteomielitis pada tulang frontal...................................................... 36



BAB I v 5



PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Inflamasi pada mukosa sinus paranasal dikenal sebagai sinusitis. Pada banyak kasus, proses ini disertai pula dengan inflamasi mukosa hidung (rinitis) sehingga sering disebut sebagai rinosinusitis. Rinosinusitis merupakan penyakit terbanyak pada sinus paranasal yang menyerang 14% atau sekitar 31 juta orang dewasa setiap tahunnya. Bahkan rinosinusitis kronis merupakan salah satu kondisi kronis terbanyak yang prevalensinya lebih tinggi disbanding asma, penyakit jantung, diabetes, atau nyeri kepala. Biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan penyakit ini pun tidak sedikit, melebihi $4 milyar per tahun.1,2 Rinosinusitis kronis dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya. Jika dibandingkan dalam sebuah populasi, penderita rinosinusitis kronis lebih sering mengeluhkan nyeri, tidak bugar, dan penurunan fungsisosial. Penelitian menunjukkan bahwa penderita rinosinusitis kronis memiliki kualitas hidup yang lebih rendah disbanding penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), diabetes, dan Penyakit Jantung Kongestif (PJK).3 Perkembangan lebih lanjut dari inflamasi sinus ini dapat menyerang orbita, tulang, dan intrakranial. Komplikasi pada orbita dan otak umumnya berasal dari sinusitis etmoidalis. Dengan adanya perkembangan antibiotik, komplikasi sudah jarang terjadi. Namun, penatalaksanaan yang tidak adekuat dapat berujung pada kematian. 4



1.2 Batasan Masalah Referat ini membahas tentang prinsip diagnosis dan penatalaksanaan sinusitis serta komplikasinya.



1.3 Tujuan Penulisan



6



1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada sinusitis dan komplikasinya 1.3.2



Tujuan Khusus 1) Membagi informasi seputar diagnosis dan penatalaksanaan sinusitis serta komplikasinya. 2) Menambah wawasan. penulis



mengenai



diagnosis



dan



penatalaksanaan sinusitis serta komplikasinya. 3) Memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian Telinga, Hidung, dan Tenggorok Kepala dan Leher FK UNAND di RSUP Dr. M. Djamil Padang.



1.4 Metode Penulisan Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang dirujuk dari berbagai literatur.



1.5 Manfaat Penulisan Melalui penulisan referat ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan tentang penatalaksanaan pada sinusitis dan komplikasinya.



7



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada lima pasang sinus paranasal



mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid anterior, sinus etmoid posterior, dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.4 Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2 bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus. Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3 – 4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 – 10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.4,5 Pembagian sinus paranasalis : a.



Sinus Maksila Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6 – 8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.6 Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding



8



posteriornya



adalah



permukaan



infra-temporal



maksila,



dinding



medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.4,6 Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe,dan menyebabkan sinusitis, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menciptakan hubungan antara rongga mulut dan sinus maksilaris (fistula oroantral).4,7 2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostium sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase



harus



melalui



infundibulum



yang



sempit.



Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.4,5



b.



Sinus Frontal Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel – sel resessus frontal atau dari sel – sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang



9



pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. 4,5 Sinus frontal biasanya bersekat – sekat dan tepi sinus berlekuk – lekuk. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior, peradangan dari sinus frontal dapat menimbulkan komplikasi yang serius karena dekat dengan orbita dan rongga kranial (selulitis orbita, epidural atau subdural abses, meningitis). 7



Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus frontal. Resessus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior. 4 c.



Sinus Etmoid Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid berongga – rongga, terdiri dari sel – sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Sel – sel ini jumlahnya bervariasi antara 4 – 17 sel (rata – rata 9 sel).4,6 Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel – sel sinus etmoid anterior biasanya kecil – kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis) sedangkan sel – sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior lamina basalis. 4



Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resessus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal.di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum,



tempat



bermuaranya



ostium



sinus



maksila.



Pembengkakan/ peradangan di ressesus frontal dapat menyebabkan



10



sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. 4.5 Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Radang sinus paranasal dapat menyebar melalui lamina ini melibatkan orbita (komplikasi orbital). Di bagian belakang sinus etmoid posterior d.



berbatasan dengan sinus sfenoid. 4,7 Sinus Sfenoid Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Volumenya bervariasi dari 5 – 7,5 ml. Batas - batasnya adalah , sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna, saraf kranial II-VI,(sangat erat terkait dengan kanal optik), dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. 4,6,7 Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius terdapat muara-muara sinus maksilla, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Di daerah yang sempit ini terdapat prosessus uncinatus, infundibulum, hiatus semilunaris, recessus frontalis, bula etmoid dan sel– sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila. Daerah yang sempit dan rumit ini disebut kompleks osteomeatal (KOM) yang merupakan faktor utama patogenesa terjadinya sinusitis.4,7 Mukosa hidung dan sinus paranasal terdiri dari epitel thorak berlapis semu



bersilia dan diatasnya terdapat sel-sel goblet yang menghasilkan lendir. Sekresi dari sel-sel goblet dan kelenjar ini membentuk selimut mukosa. Di atas permukaan mukosa terdapat silia yang di rongga hidung bergerak secara teratur kearah nasofaring dan dari rongga sinus kearah ostium dari sinus tersebut. Silia dan selimut mukosa ini berfungsi sebagai proteksi dan melembabkan udara inspirasi yang disebut sebagai sistem mukosilier. Sinus dari kelompok anterior dialirkan ke nasofaring di bagian depan muara tuba eustachius sedangkan pada bagian posterior dialirkan ke nasofaring di bagian posterosuperior tuba eustachius.7,8 11



Gambar 1: Kompleks Ostio Meatal



Sumber : Nizar NW. 2000



2.2 Fisiologi Sinus Paranasal Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah : 4 1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. 2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators) Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.



12



3. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. 4. Membantu resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. 5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. 6. Membantu produksi mukus. Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk



13



Gambar 2: Gambaran proyeksi sinus pada wajah Sumber : Grevers, 2006 membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis. 2.3 Definisi Sinusitis



14



Sinus paranasal adalah rongga–rongga di dalam tulang kepala yang terletak disekita rrongga hidung dan mempunyai hubungan dengan melalui muaranya. Inflamasi pada mukosanya dikenal sebagai sinusitis.Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Peradangan yang melibatkan beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai seluruh sinus disebut pansinusitis.2,4,9,10,11 Secara klinis, EPOS mendefinisikan rinosinusitis sebagai inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat / obstruksi / kongesti atau pilek (secret hidung anterior / posterior) disertai nyeri wajah / rasa tertekan di wajah, penurunan / hilangnya penghidu, dan temuan nasoendoskopi, berupa polip dan / atau secret mukopurulen dari meatus mediusdan / atau edema / obstruksi mukosa di meatus medius dan / atau gambaran tomografi komputer, berupa perubahan mukosa di kompleks osteo meatal dan / atau sinus.12



2.4 Epidemiologi Rinosinusitis merupakan penyakit terbanyak pada sinus paranasal yang menyerang 14% atau sekitar 31 juta orang dewasa setiap tahunnya. Biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan penyakit ini melebihi $4 milyar per tahun. Di Amerika Serikat, rinosinusitis memiliki prevalensi tinggi dengan dampak nyata terhadap kualitas hidup penderitanya dan permasalahan ekonomi yang cukup pelik. Sekitar 20 juta kasus rinosinusitis akut bacterial didiagnosis tiaptahunnya, sedangkan 30 juta orang dilaporkan menderita rinosinusitis kronis. 1,3 Bahkan rinosinusitis kronis merupakan salah satu kondisi kronis terbanyak yang prevalensinya lebih tinggi disbanding asma, penyakit jantung, diabetes, atau nyeri kepala. Biaya pengobatannya pun terus meningkat. Diperkirakan $3,5 milyar dikeluarkan untuk pengobatan rinosinusitis akut bakterial, sedangkan rinosinusitis menghabiskan $4,3 milyar. 1,3



15



Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringka tutama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerjasama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM JanuariAgustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Pada tahun 2004, prevalensi rinosinusitis kronis dilaporkan sebesar 12,6% dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk menderita rinosinusitis kronis. 10,13 Pada kunjungan rawat jalan ke poli Rinologi RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2010, didapatkan kejadian rinosinusitis kronis sebesar 34,7% dan terbanyak terjadi pada usia antara 25-44 tahun (26,2%) diikuti usia antara 45-64 tahun (23,8%) serta lebih sering ditemukan pada wanita (60,7%) dibandingkan laki-laki (39,3%). Penemuan ini tidak jauh berbeda dengan Cora (2003) yang mendapatkan umur terbanyak adalah 25-34 tahun (34,15%) dengan perbandingan penderita laki-laki dan perempuan 1,2:1. Demikian pula dengan hasil survey kesehatan nasional 2008 di Amerika yang menyatakan 1 dari 7 orang dewasa (13,4%) didiagnosis rinosinusitis kronis dalam 12 bulan terakhir. Insidensinya lebih tinggi pada wanita disbanding pria (1,9 kali lipat) dan paling sering menyerang dewasa usia 45-74 tahun.9, 10, 11



2.5. Etiopatofisilogi Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen), gigi dan gusi (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen walaupun jarang. Sinusitis juga dapat terjadi akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau menyelam. Faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya sinusitis adalah kelainan anatomi hidung, hipertrofi konka, polip hidung, dan rinitis alergi. Rinosinusitis ini sering bermula dari infeksi virus pada selesma, yang kemudian karena keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri patogen yang terdapat di saluran napas bagian atas.



16



Penyebab lain adalah infeksi jamur, infeksi gigi, dan yang lebih jarang lagi fraktur dan tumor.4,11,12, Penyebab Sinusitis Akut 4,11,12,14 : 1. Infeksi virus Sinusitis akut



bisa



terjadi



setelah



adanya



infeksi



virus



pada



saluran pernafasan bagian atas (misalnya Rhinovirus, Influenza virus, dan Parainfluenza virus). 2. Bakteri Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan penyakit (misalnyaStreptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumb atakibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut 3. Infeksi jamur Infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut pada penderita gangguan sistem kekebalan, contohnya jamur Aspergillus. Biasanya juga terlihat pada pasien dengan diabetes atau kekurangan kekebalan lainnya (seperti AIDS). Dalam penderita diabetes tipe I, ketoasidosis dapat dikaitkan dengan sinusitis karena mucormycosis 4. Peradangan menahun pada saluran hidung seperti pada penderita rhinitis alergi dan juga penderita rhinitis vasomotor. 5. Septum nasi yang bengkok (deviasi). 6. Tonsilitis yang kronik 7. Iritasi kimia juga bisa memicu sinusitis, umumnya dari asap rokok dan asap klorin Penyebab Sinusitis Kronik 4,11,12,14 : Berbagai faktor berperan penting dalam perkembangan sinusitis kronis, meskipun mekanismenya belum diketahui secara pasti. Faktor tersebut meliputi faktor intrinsik (penjamu/host) dan faktor ekstrinsik (lingkungan). 1. Faktor intrinsik a. Faktor sistemik  Kelainan genetik/ kongenital (seperti fibrosis kistik, gangguan silia primer),



17



 Gangguan imunodefisiensi (seperti infeksi HIV, akibat kemoterapi),  Penyakit autoimun (seperti Wegener granulomatosis dan penyakit eritematosus lupus sistemik),  Kondisi atopik (seperti riwayat alergi dan asma),  Refluks laringofaringeal, gangguan endokrin dan kehamilan serta idiopatik (seperti sindrom Samter). b. Faktor lokal  Kelainan anatomi (seperti deviasi septum, konka bulosa, sel Haller, defleksi lateral dari prosesus unsinatus),  Kelainan anatomi iatrogenik (malposisi dan jaringan parut pada struktur sinonasal),  Sinusitis akut yang sering kambuh atau tidak sembuh.  Karies dentis ( terutama gigi geraham atas )  Terdapat kista, mukosil dan neoplasma pada sinonasal  Inflamasi persisten tulang sinus paranasal (osteitis) 2. Faktor ekstrinsik (lingkungan) a. Infeksi bakteri Kuman patogen yang sering ditemukan pada rinosinusitis kronis adalah bakteri anaerob yaitu Peptostreptococcus (34%), spesies



Bacteroides



(23%),



Corynebacterium



(23%)



dan



Vellionella (17%) serta kuman aerob seperti Staphylococcus aureus (17%), Streptococcus viridans (14%) dan Haemophillus influenza (10%) b. Infeksi jamur c. Polusi udara baik di luar rumah (ozon, sulfur dioksida dan nitrogen dioksida) dan di dalam rumah (rokok tembakau, formaldehida dan benzene). d. Obstruksi mekanik atau benda asing pada hidung e. Alergi, asma dan inflamasi yang diinduksi oleh superantigen bakteri dan reaksi imun terhadap jamur. f. Riwayat operasi sinus Terdapatnya resirkulasi mukus dari ostium sinus maksila primer melalui antrostomi yang telah dibuat saat operasi sebelumnya sehingga meningkatkan risiko untuk terjadinya infeksi sinus. Dari penelitian yang dilakukan oleh Bhattacharyya N (2007) terhadap pasien dengan sekresi sinus paranasal persisten setelah BSEF ditemukan kombinasi neutrofil dan eosinofil (52%), diikuti



18



predominan infiltrasi eosinofil (24%). Hanya sekitar 14% kasus ditemukan infiltrasi neutrofil dan 10% kasus tidak ditemukan sel inflamasi. Oleh karena itu hipersekresi pasca BSEF diduga berhubungan dengan beberapa faktor inflamasi. 2.6 Manifestasi Klinik a. Sinusitis maksila akut Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa digigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga. Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada. Gejalanya demam, pusing, ingus kental di hidung, hidung tersumbat, nyeri pada pipi terutama sore hari, ingus mengalir ke nasofaring, kental kadangkadang berbau dan bercampur darah. 4 ,12,14, 15 b. Sinusitis etmoid akut Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis dan sumbatan hidung. Ingus kentaldi hidung dan nasofaring, nyeri di antara dua mata, dan pusing.12,14, 15 c. Sinusitis frontal akut Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi diatas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita. Demam,sakit kepala yang hebat terkadang sering pada siang hari, tetapi berkurang setelah sore hari, ingus kental dan penciuman berkurang. 12,14, 15 19



d. Sinusitis sphenoid akut Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital,di belakang bola mata dan di terkadang sampai ke daerah daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya. Gejalanya nyeri di bola mata,sakit kepala, ingus di nasofarin.12,14, 15



e. Sinusitis Kronis Secara keseluruhan, gejala sinusitis kronis dapat dibagi menjadi :  Gejala lokal Gejala lokal yang sering ditemukan adalah hidung tersumbat, hidung berair, nyeri / rasa penuh pada wajah, nyeri kepala, gangguan penciuman hingga anosmia. Selain itu juga akan ditemukan pilek yang sering kambuh, ingus kental dan kadangkadang berbau, serta sering terdapat ingus di tenggorok (Posterior Nasal Drip). 4 ,12,14, 15  Gejala regional Gejala regional meliputi nyeri tenggorok, disfonia, batuk, halitosis, bronkospasm, rasa penuh / nyeri pada telinga dan nyeri gigi. 4 ,12,14, 15  Gejala sistemik Gejala sistemik berupa kelelahan, demam, bahkan anoreksia4 ,12,14, 15 2.7 Klasifikasi Secara klinis sinusitis dibagian atas



4 ,12,14, 15



:



a. Sinusitis akut Suatu proses infeksi di dalam sinus yang berlansung selama 3 minggu. Macam-macam sinusitis akut : sinusitis maksila akut,sinusitis emtmoidal akut, sinus frontal akut, dan sinus sphenoid akut. b. Sinusitis Kronis Suatu proses infeksi di dalam sinus yang berlansung selama 3-8 minggu tetapi dapat juga berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.



20



Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis 4 ,12,14, 15 a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar) 2.8 Diagnosis 12,14, 15 1. Anamnesis Berdasarkan anamnesis, American Academy of Otolaryngology (AAO) memberikan suatu kriteria diagnosis untuk rinosinusitis yaitu dengan menegakkan kriteria mayor dan minor. a. Kriteria mayor meliputi nyeri wajah, rasa penuh pada wajah, hidung tersumbat, hidung berair, sekret purulen, hiposmia atau anosmia dan demam (pada kondisi akut). b. Kriteria minor meliputi nyeri kepala, demam, halitosis, kelelahan, nyeri gigi, batuk, nyeri atau rasa penuh pada telinga. Diagnosis ditegakkan bila terdapat dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor selama sekurang-kurangnya 12 minggu. Kecurigaan sinusitis didapatkan bila ditemukan satu kriteria mayor atau dua kriteria minor. Namun The European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2007 mendefinisikan rinosinusitis dengan atau tanpa polip dari munculnya dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa :  Hidung tersumbat / obstruksi / kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior)  Nyeri tekan pada wajah  Penurunan / hilangnya fungsi penciuman yang dirasakan lebih dari 12 minggu. Selain itu, pada pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi ditemukan salah satu dari :  Polip, dan atau  Sekret mukopurulen dari meatus medius, dan/ atau



21



 Edema/ obstruksi mukosa di meatus medius. Sebagai tambahan, pada pemeriksaan radiologi ditemukan gambaran perubahan mukosa di kompleks ostiomeatal dan/ atau sinus 2. Pemeriksaan Fisik a. Pemeriksaan di setiap sinus.  Sinusitis maksila akut Pemeriksaan rongga hidung akan tampak ingus kental yang kadang-kadang dapat terlihat berasal dari meatus medius mukosa hidung.Mukosa hidung tampak membengkak (edema) dan merah (hiperemis). Pada pemeriksaan tenggorok, terdapat ingus kental di nasofaring. Pada pemeriksaan di kamar gelap, dengan memasukkan lampu kedalam mulut dan ditekankan ke langit-langit, akan tampak pada sinus maksilayang normal gambar bulan sabit di bawah mata. Pada kelainan sinus maksila gambar bulan sabit itu kurang terang atau tidak tampak. Untuk diagnosis diperlukan foto rontgen. Akan terlihat perselubungan di sinusmaksila, dapat sebelah (unilateral), dapat juga kedua belah (bilateral ). 4 ,9,12,14, 15  Sinusitis etmoid akut Pemeriksaan rongga hidung, terdapat ingus kental, mukosa hidungedema dan hiperemis. Foto roentgen, akan terdapat perselubungan disinus etmoid.  Sinusitis frontal akut Pemeriksaan rongga hidung, ingus di meatus medius. Pada pemeriksaan di kamar gelap, dengan meletakkan lampu di sudut mata bagian dalam,akan tampak bentuk sinus frontal di dahi yang terang pada orang normal,dan kurang terang atau gelap pada sinusitis akut atau kronis.Pemeriksaan radiologik, tampak pada foto roentgen daerah sinus frontal berselubung. 4 , 9,12,14, 15



 Sinusitis sfenoid akut



22



Pemeriksaan rongga hidung, tampak ingus atau krusta serta foto rontgen. 4 ,9



3. Pemeriksaan Penunjang. a. Rinoskopi anterior Tampak mukosa konka hiperemis, kavum nasi sempit, dan edema.Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. 4 ,9,12,14, 15 b. Rinoskopi posterior Tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip). c. Transiluminasi (diaphanoscopia) Sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal. d. X Foto sinus paranasalis Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi Water’s, Posteroanterior dan Lateral. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus yang sakit. Posisi Water’s adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila,frontal dan etmoid. Posisi posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid. 4 ,9,12,14, 15 e. Pemeriksaan CT –Scan Pemeriksaan CT-Scan merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak : penebalan 23



mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik). 4 ,9,12,14, 15



Tabel 1. Kriteria Rinosinusitis Akut dan Kronik pada Anak dan Dewasa Menurut International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004. . KRITERIA



Dewasa Anak Lama Gejala dan Tanda Jumlah episode serangan akut, masing-masing berlangsung minimal 10 hari Reversibilitas mukosa



RINOSINUSITIS AKUT Dewasa Anak < 12 minggu < 12 minggu < 4 kali / < 6 kali / tahun tahun



RINOSINUSITIS KRONIK



Dapat sembuh sempurna dengan pengobatan medikamentosa



Tidak dapat sembuh sempurna dengan pengobatan medikamentosa



> 12 minggu > 4 kali / tahun



> 12 minggu > 6 kali / tahun



2.8.1 Diagnosis Rinosinusitis Akut Pada Dewasa 4 ,9,13,14, 15 1. Anamnesis Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari, merupakan keluhan yang paling sering dan paling menonjol pada rinosinusitis akut. Keluhan ini dapat disertai keluhan lain seperti sumbatan hidung, nyeri/rasa tekanan pada muka, nyeri kepala, demam, ingus belakang hidung, batuk, anosmia/hiposmia, nyeri periorbital, nyeri gigi, nyeri telinga dan serangan mengi (wheezing) yang meningkat pada penderita asma. 2. Rinoskopi Anterior



Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda patognomonis, yaitu sekret purulen di meatus medius atau superior; atau pada rinoskopi posterior tampak adanya sekret purulen di nasofaring (post nasal drip). 4 ,9,14, 15 3. Nasoendoskopi



Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan untuk menilai kondisi kavum nasi hingga ke nasofaring. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dengan jelas keadaan dinding lateral hidung. 4 ,9,13-15 4. Foto polos sinus paranasal



24



Pemeriksaan foto polos sinus bukan prosedur rutin, hanya dianjurkan pada kasus tertentu, misalnya 4 ,9,13-15:  Rinosinusitis akut dengan tanda dan gejala berat  Tidak ada perbaikan setelah terapi medikamentosa optimal  Diduga ada cairan dalam sinus maksila yang memerlukan tindakan irigasi  Evaluasi terapi  Alasan medikolegal



5. Tomografi Komputer dan MRI Pemeriksaan tomografi komputer tidak dianjurkan pada rinosinusitis akut, kecuali ada kecurigaan komplikasi orbita atau intrakranial. Pemeriksaan



MRI



hanya



dilakukan



pada



kecurigaan



komplikasi



intrakranial . 4 ,9,13- 15



2.8.2 Diagnosis Rinosinusitis Kronis Pada Dewasa 1. Anamnesis Riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut International Consensus on Sinus Disease, 1993. dan 2004 Kriteria mayor terdiri dari:  sumbatan atau kongesti hidung,  sekret hidung purulen,  sakit kepala,  nyeri atau rasa tertekan pada wajah  gangguan penghidu. Kriteria minornya adalah demam dan halitosis. Keluhan rinosinusitis kronik seringkali tidak khas dan ringan bahkan kadangkala tanpa keluhan dan baru diketahui karena mengalami beberapa episode serangan akut. 4 ,9,13



25



2. Rinoskopi anterior Terlihat adanya sekret purulen di meatus medius atau meatus superior. Mungkin terlihat adanya polip menyertai rinosinusitis kronik. 4 ,9,13- 15 3. Pemeriksaan nasoendoskopi Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus medius atau superior, polip kecil, ostium asesorius, edema prosesus unsinatus, konka bulosa, konka paradoksikal, spina septum dan lainlain. 4 ,9,13-15 4. Pemeriksaan foto polos sinus Dapat dilakukan mengingat biayanya murah, cepat dan tidak invasif, meskipun hanya dapat mengevaluasi kelainan di sinus paranasal yang besar.



4,



9,13



5. Pemeriksaan CT Scan Dianjurkan dibuat untuk pasien rinosinusitis kronik yang tidak ada perbaikan dengan terapi medikamentosa. Untuk menghemat biaya, cukup potongan koronal tanpa kontras. Dengan potongan ini sudah dapat diketahui dengan jelas perluasan penyakit di dalam rongga sinus dan adanya kelainan di KOM (kompleks ostiomeatal). Sebaiknya pemeriksaan CT scan dilakukan setelah pemberian terapi antibiotik yang adekuat, agar proses inflamasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomis dapat terlihat dengan jelas.



4 , 13,14



6. Pungsi sinus maksila Tindakan pungsi sinus maksila dapat dianjurkan sebagai alat diagnostik untuk mengetahui adanya sekret di dalam sinus maksila dan jika diperlukan untuk pemeriksaan kultur dan resistensi. 4 ,9,13 7. Sinoskopi Dapat dilakukan untuk melihat kondisi antrum sinus maksila serta. Pemeriksaan ini menggunakan endoskop, yang dimasukkan melalui pungsi di meatus inferior atau fosa kanina. Dilihat apakah ada sekret, jaringan polip, atau jamur di dalam rongga sinus maksila, serta bagaimana keadaaan mukosanya apakah kemungkinan kelainannya masih reversibel atau sudah ireversibel. 4 ,13 Tabel 2. Gejala dan Tanda Rinosinusitis Kronis 26



Penderita Dewasa dan Anak Kongesti hidung atau Demam sumbatan Sekret hidung purulen Halitosis Sakit kepala Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Gangguan penghidu Anak Iritabilitas/Rewel



Gejala & Tanda Mayor



Minor



Batuk



Diagnosis rinosinusitis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor



2.9 Penatalaksanaan Tujuan terapi sinusitis adalah 1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah komplikasi; 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.4 Beratnya penyakit ini dapat dibagi menjadi ringan, sedang dan berat berdasarkan skor total visual analogue scale(VAS) (0-10 cm):12   



Ringan = VAS 0-3 Sedang = VAS > 3-7 Berat = VAS > 7-10



Untuk evaluasi nilai total, pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS jawaban dari pertanyaan:



Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien



2.9.1. Penatalaksanaan Sinusitis Akut Ventilasi dan drainase sinus paranasal dapat diperbaiki dengan pemberian tetes hidung dekongestan, nasal spray, atau memasukan kapas basah dengan tetes hidung ke meatus media. Pada kasus berat disertai demam, dan malaise, antibiotic 27



dapat diberikan. Terapi panas (electric light bath) dan chamomile inhalasi atau “sage” direkomendasikan sebagai tambahan.7 Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterialis, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoxisilin. Jika diperkirakan kuman sudah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoxisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinis sudah hilang.4 Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan sinusitis supuratif akut. Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman gram positif dan negatif. Vankomisin untuk kuman S. pneumoniae yang resisten terhadap amoksisilin. Pilihan terapi lini pertama yang lain adalah kombinasi eritromicin dan dulfonamide atau cephalexin dan sulfonamide.16 Antibiotik parenteral diberikan pada sinusitis yang telah mengalami komplikasi seperti komplikasi orbita dan komplikasi intrakranial, karena dapat menembus sawar darah otak. Ceftriakson merupakan pilihan yang baik karena selain dapat membasmi semua bakteri terkait penyebab sinusitis, kemampuan menembus sawar darah otaknya juga baik.16 Pada sinusitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob dapat digunakan metronidazole



atau



klindamisin.



Klindamisin



dapat



menembus



cairan



serebrospinal. Antihistamin hanya diberikan pada sinusitis dengan predisposisi alergi. Analgetik dapat diberikan. Kompres hangat dapat juga dilakukan untuk mengurangi nyeri.16



28



Onset tiba-tiba dari 2 atau lebih gejala, salah sa Keadaan yang haru tunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek; sekret hidung anterior/ posterior; ± nyer Edema periorbita Penghidu terganggu/ hilang Pendorongan letak Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior Penglihatan ganda Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak direkomendasikan Oftalmoplegi Penurunan visus Nyeri frontal unilate Bengkak daerah fro Tanda meningitis at



Gejala kurang dari 5 hari atau membaik setelahnya Gejalamenetapataumemburuk setelah 5



Common cold



Sedang



Steroid topikal



Pengobatan simtomatik



Tidak ada perbaikan setelah 14 hari



Perbaikan dalam 48 jam



Rujuk ke dokter spesialisTeruskan terapi untuk 7-14 hari



Gambar 3.



Skema penatalaksanaan rinosinusitis akut pada dewasa untuk pelayanan



kesehatan primer berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitisnand Nasal Polyps 200712



29



Antibiotik



Tidak ada pe



Rujuk k



2.9.2. Penatalaksanaan Sinusitis Kronis



2 atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek; sekret hidung anterior/ posterior; ±lain nyeri/ Pikirkan diagnosis : rasa tertekan Penghidu terganggu/ hilang Gejala unilateral Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior Perdarahan Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak direkomendasikan



Tersedia Endoskopi



Polip



Krusta Gangguan penciuman Gejala Orbita Edema Periorbita Pendorongan letak bola mata Penglihatan ganda Oftalmoplegi Nyeri kepala bagian frontal yang b Bengkak daerah frontal Tanda meningitis atau tanda fokal



Tidak ada polip



Endoskopi tidak tersedia Investigasi dan inte



Pemeriksaan Rinoskopi Anterior Foto Polos SPN/ Tomografi



Ikuti skema Rinosinusitis THT Ikuti skema polip hidung Dokter Spesialis THT kronik Dokter Spesialis Komputer tidak direkomendasikan



Rujuk Dokter Spesialis THT jika Operasi Dipertimbangkan Steroid topikal Cuci hidung Antihistamin jika alergi



Gambar 4. Reevaluasi setelah 4 minggu



Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik dengan atau tanpa polip hidung pada dewasa untuk pelayanan kesehatan primer dan dokter spesialis non



Perbaikan



THT berdasarkan European Position Paper on 12 RhinosinusitisnandPilihan Nasal Polyps terapi2007 konservatif



Tidak ada



mencakup tetes hidung dekongestan (tidak lebih



dari 1 minggu), terapi panas (electric light cabinet, microwaves, infrared), dan Lanjutkan antibiotic spectrum luas (misalnya, amoxicillin) untuk sinusitis eksaserbasi akut terapi



30



Rujuk sp



dengan demam dan malaise. Mukolitik dapat diberikan sebagai terapi suportif. Pada sinusitis dengan etiologi allergi dapat diberikan anti allergi. Semua terapi konservatif hanya mengatasi symptom dan tidak dapat mengeliminasi penyebab sinusitis kronis. Terapi defenitif adalah bedah sinus.7 Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang membutuhkan operasi. Tindakan ini hamper menggantikan semua jenis tindakan bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakannya lebih ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronis disertai kista atau kelainan yang irreversible; polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis.4 2 ataulebihgejala, salah satunya berupa hidung tersumbat atau pilek yang tidak Gangguan Penghidu Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi: Pertimbangkan Tomografi Komputer Tes Alergi Pertimbangkan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit penyerta; misal Asma



Pertimbangkan diagnosis lain s: jernih; ± nyeri bagian frontal, Gejala unilateral Perdarahan Krusta Kakosmia Gejala Orbita Edema Periorbita Penglihatan ganda Oftalmoplegi Nyeri kepala bagian frontal yan Edem frontal Tanda meningitis atau tanda fo



Ringan VAS 0-3



Sedang atau berat VAS >3-10



Steroid topikal Intranasal cuci hidung Gagal setelah 3 bulan



Perlu inve Steroid topikal Cuci hidung Kultur & resistensi Kuman Makrolid jangka panjang



Perbaikan



Ga Tindak lanjut Jangka Panjang + cuci hidung Steroid topikal ± Makrolide jangka panjang



T



31



2 atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat atau sekret hidung berwarnar; Pertimbangkan ± nyeri diagnosis bagian front lain : Gangguan Penghidu Gejala unilateral Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi: Pertimbangkan Tomografi Komputer Perdarahan Tes Alergi Krusta Pertimbangkan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit penyerta; misal ASA Kakosmia Gejala Orbita Edema Periorbita Penglihatan ganda Oftalmoplegi Nyeri kepala bagian frontal ya Edem frontal Gambar 5. Skema penatalaksanaan berbasis bukti rinosinusitis kronik tanpa polip Tanda meningitis atau tanda fo hidung pada dewasa untuk dokter spesialis THT berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 200712



Ringan VAS 0-3



Sedang VAS 3-7



Berat VAS > 10



Perlu inv Steroid topikal (spray)



Steroid topikal tetes hidung



Steroid oral jangka pendek Steroid topikal



Dievaluasi setelah 3 bulan Evaluasi setelah 1 bulan



Perbaikan



Tidak membaik Perbaikan



Lanjutkan Steroid Topikal



Evaluasi setiap 6 bulan



32



Tindak lanjut Cuci hidung Steroid topikal + oral Antibiotika jangka panjang



Gambar 6.



Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik dengan polip hidung pada dewasa untuk dokter spesialis THT berdasarkan European Position Paper on 12 Pada era pre-antibiotik, komplikasi sinusitis biasanya sangat berat dan Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007



2.10. Komplikasi Sinusitis



berbahaya. Sekarang dengan banyaknya metode diagnostik (CT,MRI) yang terpercaya dan semakin meluasnya ketersediaan antibiotik, komplikasi dan mortalitas jauh menurun. Disisi lain, apabila infeksi sinus tidak diterapi atau terapi yang tidak adekuat, komplikasimasihbisaterjadi.Pada pasien dengan sinusitis akut bakterialis dengan perluasan ke intracranial walaupun diterapi antibiotik, insiden morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi, antara 5%-10%.4,12 Komplikasi rhinosinusitis di klasifikasikan menjadi komplikasi orbital, osseus (tulang) dan endokranial, walaupun jarang.4,12 2.10.1 Komplikasi orbital Komplikasi sinusitis yang melibatkan mata sering terjadi, terutama pada etmoiditis, sedangkan infeksi sphenoid jarang. Perluasan infeksi secara langsung dan sering melalui lamina papirasea atau melalui vena.7,12 Menurut Klasifikasi Chandler komplikasi orbital dapat berkembang melalui langkah berikut.4,12     



Selulitisperiorbital (preseptal edema), Selulitis orbital, Absessubperiosteal, Abses orbital atauflegmon, dan cavernous sinus thrombosis



Komplikasi orbita khususnya pada anak, sering muncul tanpa nyeri. Manifestasi orbita seperti bengkak, eksophtalmus, dan gangguan pergerakan (ekstraokuler) mata. Selulitis peri orbital atau orbital bisa terjadi langsung atau perluasan infeksi sinus melalui vascular. Manifestasi awal berupa udem dan eritem pada medial kelopak mata. Jika perluasan infeksi dari sinus maxilla dan sinus frontal maka udem/pembengkakan terjadi pada bawah atauatas kelopak mata.12



33



2.10.1.1 Periorbital cellulitis Sellulitis periorbital (inflamasi pada kelopak mata dan konjungtiva) mengenai jaringan anterior sampai septum orbital dan terlihat pada CT Scan sebagai “softtissue swelling”. Biasanya terjadi pada komplikasi rhinosinusitis pada anak dan manifestasi berupa nyeri orbital, blepharal udem, dan demam tinggi. Sellulitis periorbital biasanya berespon terhadap antibiotik oral sesuai organisme sinus, tetapi kalau tidak diterapi adekuat, dapat meluasmengenai septum orbital.12 2.10.1.2 Orbital cellulitis Karena perluasan inflamasi ke septum orbital, terjadi proptosis bersamaan dengan terbatasnya gerakan okular, ini merupakan indikasi sellulitis orbital. Tanda selanjutnya adalah udem konjungtiva (chemosis), “protruding eyeball” (mata menonjol), nyeri ocular dan akhirnya melunak dan terjadi penurunan gerakan otot ekstraokular.7,12 Komplikasi ini membutuhkan terapi adekuat dengan antibiotik intravena.12 Kebanyakan anak dengan rhinosinusitis dan proptosis, ophthalmoplegia, atau penurunan ketajaman penglihatan mesti di CT Scan sinus dengan detail orbital untuk membedakan antara abses orbital dan periorbital (subperiosteal). Kedua kondisi tersebut menyebabkan proptosis dan terbatasnya pergerakan okular. Orbital selulitis adalah keadaan darurat yang mengancam nyawa yang membutuhkan dekompresi bedah segera.7 Apabila berdasarkan CT Scan didapatkan abses atau terjadi progresifitas gejala orbital setelah pemberian inisial antibiotik IV merupakan indikasi untuk mengeksplorasi orbital dan drainase. 7,12 Pengulangan pemeriksaan ketajaman penglihatan (visual acuity) harus dilakukan dan terapi antibiotic IV dikonversi menjadi oral apabila pasien tidak demam dalam 48 jam serta tanda ophthalmologic membaik.12 2.10.1.3 Abses Subperiosteal atau orbital



34



Proses inflamasi menembus penghalang antara tulang sinus paranasal dan orbita, memisahkan periosteum orbital dari lamina papyracea dan meningkatkan tekanan di dalam orbita.7 Gambaran klinis dari abses subperiosteal adalah udem, eritem, chemosis dan proptosis kelopak mata dengan pembatasan motilitas ocular dan sebagai konsekuensi dari paralisis otot ekstraokuler, terjadi ophthalmoplegia dan ketajaman penglihatan berkurang.7,12 Abses orbital umumnya didiagnosis terlambat atau terjadi pada pasien yang mengalami penurunan imun dengan frekuensi 9% dan 8,3% pada anak.12 CT Scan sinus dengan orbital untuk membedakan antara abses orbital dan periorbital (subperiosteal) harus dilakukan. Apabila berdasarkan CT Scan ternyata abses atau tidak ada perbaikan secara klinis setelah 24-48 jam injeksi antibiotic, indikasi untuk eksplorasi orbital dan drainase.7,12 Ketajaman penglihatan harus diperiksa mulai dari tahap awal penyakit7,12 dan terapi i.v harus mencakup pathogen aerob dan anaerob. Terapi dapat dikonversi menjadi oral jika pasien tidak demam dalam 48 jam.12 Kebutaan dapat terjadi pada oklusi arteri retina sentral, neuritis optic, ulserasi kornea, atau pan-ophthalmitis. Pada kasus serupa pada CT biasanya tampak udem pada otot rektus media, lateralisasi periorbita, dan pergeseran bola mata ke arah inferior dan lateral. Apabila CT Scan memperlihatkan obliterasi/hilangnya otot ekstraokular dan nervus optic oleh massa yang konfluens, selullitis orbita berlanjut menjadi abses, terkadang berkaitan dengan bakteri anaerob. Sepsis tidak jarang dapat meluas ke intracranial maupun rongga orbita anterior.12 2.10.2 Trombosis sinus cavernosus Ketika pembuluh darah di sekitar sinus paranasal terkena, penyebaran lebih lanjut dapat menyebabkan thrombophebitis sinus kavernosa 4,12 yang menyebabkan sepsis dan keterlibatan saraf kranial. Komplikasi tersebut diperkirakan mencapai 9% dari komplikasi intrakranial dan merupakan komplikasi yang jarang dan biasanya komplikasi dari sinusitis etmoidalis atau sphenoidal. Gejala utama adalah “bilateral lid drop” (ptosis), exophthalmos, neuralgia syaraf oftalmik, sakit kepala retro-okular dengan nyeri yang mendalam di belakang orbita, ophthalmoplegia total, dan papilloedema, tanda-tanda iritasi



35



meningeal berhubungan dengan demam dan pengaruh kelemahan.7,12 Dasar diagnosis adalah CT scan resolusi tinggi yang menunjukkan peningkatan / sedikit perbaikan dibandingkan dengan normal. Angka kematian sebesar 30% dan tingkat morbiditas sekitar 60% pada populasi dewasa. Tidak ada data yang tersedia untuk populasi pediatrik, dimana tingkat kematian komplikasi intrakranial adalah 10% sampai 20%. Penggunaan antikoagulan pada pasien ini masih kontroversial tetapi mungkin diindikasikan jika pencitraan tidak menunjukkan bukti adanya perdarahan intraserebral.12 2.10.3 Komplikasi intrakranial (endokranial) Termasuk abses epidural, subdural, abses otak, meningitis (tersering), cerebritis, dan thrombosis sinus cavernosa.4,12 Gejala klinis semua komplikasi ini tidak spesifik, demam tinggi, migrain frontal atau retro-orbital, tanda umum iritasi meningeal dan berbagai derajat perubahan status mental. Sedangkan abses intrakranial sering didahului dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, iritasi / rangsangan meningeal dan defisit neurologis fokal. Meskipun abses intrakranial relatifa simtomatik, afektif halus dan perubahan perilaku sering terjadi yang menunjukkan perubahan neurologis perubahan fungsi kesadaran, ketidak stabilan cara berjalan, dansakit kepala berat dan progresif.12 Komplikasi Endocranial yang paling sering dikaitkan dengan ethmoidal atau frontal rinosinusitis. Infeksi dapat berlanjut dari yang rongga paranasal ke struktur endocranial dengan dua cara berbeda : patogen, mulai dari sinus frontal yang paling umum atau sinus ethmoid, dapat melewati diploic vena untuk mencapai otak ; cara lain, patogen dapat mencapai struktur intrakranial dengan mengikis tulang sinus.12 Semua komplikasi endocranial mulai sebagai cerebritis, tetapi karena nekrosis dan pencairan jaringan otak progresif, kapsul berkembang mengakibatka nabses otak. Penelitian menunjukkan tingginya insiden organisme anaerobik atau campuran aerobik-anaerobik pada pasien dengan komplikasi SSP.12 CT scan sangat penting untuk diagnosis karena sangat memungkinkan akurasi keterlibatan tulang, sedangkan MRI sangat penting untuk menilai keterlibatan jaringan lunak seperti pada trombosis sinus kavernosus. Apalagi,



36



jika dicurigai meningitis, pungsi lumbal dapat berguna, setelah abses dikeluarkan / dieksklusi. Terapi jangka panjang antibiotik intravena dosis tinggi diikuti dengan kraniotomi dan bedah drainase biasanya diperlukan untuk kesuksesan pengobatan. Patogen yang paling sering terlibat dalam patogenesis komplikasi endocranial adalah Streptococcus dan Staphylococcus spesies dan anaerob.12



Gambar 7: CT Scan pada abses epidural Sumber : Grevers, 2006



37



Gambar 8: Abses otak rhinosinusitis Sumber : Grevers, 2006 2.10.4. Komplikasi Tulang Infeksi sinus juga dapat meluas ke tulang menjadi osteomielitis dan akhirnya melibatkan otak dan sistem saraf. Meskipun penyebaran intrakranial yang paling sering adalah karena sinusitis frontal, infeksi sinus lainnya juga dapat menyebabkan komplikasi tersebut.7,12 Komplikasi yang paling umum adalah osteomielitis dari osseous maxillary (biasanya pada masa bayi) atau tulang frontal.4,12 Akibat nekrosis vascular yang berasal osteitis sinus frontalis, terjadi osteomyelitis pada dinding posterior dan anterior sinus frontal. 7,12 Pada dinding anterior tampilan klinis "Pucat/doughy" edema kulit di atas tulang frontal seperti massa (Pott’s puffy tumor)7,12 sedangkan dari dinding posterior penyebaran terjadi secara langsung atau melalui thrombophlebitis dari “valveless diploic vena” yang menyebabkan meningitis, abses otak atau peridural abses.12 Dalam konteks ini, Gallagher meninjau data dari 125 pasien dengan rinosinusitis kompleks, menemukan bahwa osteomielitis berkembang sekitar 9% dari kasus. Pada data Ogunleye ditemukan dinding sinus telah terkena dampak pada 32% pasien. Lang pada tahun 2001 mencatat 10 kasus empiema subdural karena infeksi sinus frontal pada dewasa dan anak-anak: 4 di antaranya dengan Pott’s tumor dan 1 dengan abses periorbital. Tanda dan gejala keterlibatan



38



intrakranial adalah edema jaringan lunak (terutama palpebra superior), demam tinggi, berat sakit kepala, iritasi meningeal, mual dan muntah, diplopia, fotofobia, papilloedema, koma dan tanda-tanda neurologis fokal. Tanda-tanda pada mata dapat muncul kontralateral. CT Scan dengan kontras dapat menegakan diagnosis dan dapat menentukan tingkat peradangan.7,12 Pungsi lumbal dapat berguna, tetapi kontraindikasi jika tekanan intrakranial meningkat. Terapi meliputi kombinasi i.v. antibiotik spektrum luas dan debridement sequester tulang dan drainase.7,12



Gambar 9: osteomielitis tulang frontal Sumber : Grevers, 2006 2.10.5. Komplikasi rhinosinusitis yang jarang12



39



BAB III PENUTUP



3.1



Kesimpulan Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Sinus



paranasal terdiri dari lima pasang, yaitu sinus frontal, sinus etmoid anterior, sinus etmoid posterior, sinus maksila, dan sinus sfenoid. Sinus-sinus ini pada dasarnya adalah rongga-rongga udara yang berlapis mukosa di dalam tulang wajah dan tengkorak. Rinitis dan sinusitis biasanya terjadi bersamaan dan saling terkait pada kebanyakan individu, sehingga terminologi yang digunakan saat ini adalah rinosinusitis.. Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Penatalaksanaan pada sinusitis berdasarkan durasi penyakitnya. Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan sinusitis supuratif akut, sedangkan penatalaksanaan pada sinusitis kronik dengan tindakan bedah. Komplikasi dari sinusitis tersebut antara lain komplikasi orbital, tulang dan intrakranial.



40



3.2



Saran Untuk selanjutnya diperlukan sosialisasi yang lebih luas mengenai



penghindaran



faktor



risiko



sinusitis



kepada



masyarakat



dan



prosedur



penatalaksanaan sinusitis yang adekuat kepada tenaga kesehatan demi menekan angka kejadian sinusitis.



DAFTAR PUSTAKA



1. Lund. Chapter 24: Acute and Chronic Nasal Disorders. Dalam: Snow, editor. Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. London, BC Decker Inc., 2003 2. Salamone, Shah, et al. Chapter 14: Acute and Chronic Sinusitis. Dalam: Lalwani, editor. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology – Head and Neck Surgery, Ed 2. USA, The McGrawHill Companies, Inc., 2007. 3. Busquets JM, Hwang PH. Chapter 29: NonpolypoidRhinosinusitis: Classification, Diagnosis, and Treatment. Dalam: Baily BJ, Johnson JT, Newlands SD, editor. Head and Neck Surgery–Otolaryngology, Ed 4. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2006.



41



4. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. DalamSoepardi EA, et al, editor .Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepaladan Leher, Ed 6. Jakarta, Balai Penerbit FK UI.2007.hal 150-3. 5. Ballenger JJ. 1994. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal. Dalam :Penyakit Telinga Hidung Telinga Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-13.Jakarta : BinarupaAksara, hal :1-25 6. Lund VJ.1997. Anatomy of The Nose and ParanasalSinuses, In : Kerr AG,ed.ScottBrown’s Otolaryngology Rhinology.6th ed, Butterworth, London : pp.1/5/2-29. 7. Grevers G. Chapter 1: Anatomy, Physiology, and Immunology of Nose, Paranasal Sinuses, and Face. Dalam: ProbstR,Grevers G, et al, editor. Basic



Otorhinolaryngology:



A



Step-By-Step



Learning



Guide.



Germany :Appl, Wemding; 2006. p.4-7 8. BagianIlmuPenyakitTelinga-Hidungdan



Tenggorokan



Fakultas



Kedokteran Universitas Hasanuddin Makssar Sulawesi Selatan. Kumpulan Naskah LengkapKursus, Pelatihan dan Demo Bedah Sinus Endoskopik Fungsional. FK Unahas. Makassar. 2000 9. Cora Z. Kolerasi Tes Kulit Cukit dengan Kejadian Sinusitis Maksila Kronis di Bagian THT FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2001.[deposited 2010 May 21, Last Modified 2011 Sept 21] Available from: http://repository.unand.ac.id/id/eprint/332 10. Budiman BJ, Rosalinda R. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisipada Rinosinusitis Kronis. [Updated 2012 April 3, Cited 2011 July 28]. Available from: http://tht.fk.unand.ac.id/makalah/83-bedahsinus-endoskopi-fungsional-revisi-pada-rinosinusitis-kronis.html Accessed on 2012 Dec 16 11. Chow AW, Benninger MS, Brook I, Brozek JL, Goldstein EJC, Hicks LA, et al. IDSA Clinical Practice Guideline for Acute Bacterial Rhinosinusitis in Children and Adults. [published in Clinical Infectious Diseases Advance Access 2012;e4]. 12. Rhinology Study Group - Indonesian Otorhinolaryngological Head & Neck Surgery Society. BukuSaku European Position Paper On Rhinosinusitis And Nasal Polyps 2007



42



13. HTA Indonesia. Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia. 2006. Available from: http://www.yanmedik.depkes.go.id/buk/index.php . Accessed on 2012 Dec 16. 14. Budiman BJ, Mulyanis. Rinosinusitis Akut pada Anak dengan Komplikasi Abses Periorbita. [Updated 2012 Oct 11, Cited 2011 July 28] Available from: http://tht.fk.unand.ac.id/makalah/89-rinosinusitisakut-pada-anak-dengan-komplikasi-abses-periorbita.html. Accessed on 2012 Dec 16 15. Budiman BJ, Asyari A. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rhinosinusitis dengan Polip Nasi. [Updated 2012 Mar 02, Cited 2011 July 28] Available



from:



http://tht.fk.unand.ac.id/makalah/66-diagnosis-dan-



penatalaksanaan-rhinosinusitis-dengan-polip-nasi.html. Accessed on 2012 Dec 16 16. Bailey BJ. Rhinosinusitis : Current Concepts and Management. Dalam: Bailey BJ. Head and Neck Surgery Otolaryngology. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2001.



43