Referat Radiologi Stroke Iskemik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat



GAMBARAN RADIOLOGIS PADA STROKE ISKEMIK



Oleh:



Arif Bima Al Birru



1840312219



Winarti Rimadhani



1840312257



Yolanda Erdiansari



1510311032



Preseptor : Dr.Hj. Rozetti, Sp.Rad



BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR M DJAMIL PADANG 2019



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul Gambaran Radiologis pada Stroke Iskemik. Makalah ini merupakan salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian



Radiologi



Fakultas



Kedokteran



Universitas



Andalas.



Penulis



mengucapkan terimakasih kepada dr.Hj. Rozetti, Sp.Rad selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini. Penulis mengucapkan terimakasih juga kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



Padang, Agustus 2019



Penulis



DAFTAR ISI Kata Pengantar



ii



Daftar Isi



iii



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang



1



1.2. Batasan Masalah



3



1.3. Tujuan Penulisan



3



1.4. Metode Penulisan



3



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stroke Iskemik



4



2.1. 1 Definisi



4



2.1. 2 Epidemiologi



5



2.1. 3 Etiologi dan Faktor Risiko



6



2.1. 4 Patofisiologi



6



2.1. 5 Subtipe Stroke Iskemik



8



2.1. 6 Gejala Klinis



9



2.1. 7 Diagnosis



10



2.1. 8 Diagnosis Banding



12



2.1.9 Tatalaksana



12



2.1.10 Prognosis



16



2.2. Anatomi Otak



17



2.2.1 Morfologi Otak



17



2.3 Radioanatomi



20



2.3.1 Gambaran Brain CT Scan



20



2.4 Pemeriksaan Radiologis Stroke Iskemik



26



2.5 Tatalaksana



39



2.6 Prognosis



43



BAB 3 KESIMPULAN



44



DAFTAR PUSTAKA



45



iii



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit jantung koroner dan kanker baik di negara maju maupun Negara berkembang. Satu dari 10 kematian disebabkan oleh stroke.1 Secara global, 15 juta orang terserang stroke setiap tahunnya, satu pertiga meninggal dan sisanya mengalami kecacatan permanen.2 Stroke merupakan penyebab utama kecacatan yang dapat dicegah.3 Stroke adalah suatukondisi yang terjadi ketika pasokan darah kesuatu bagian otaktiba-tiba terganggu, sebagian sel-sel otak mengalami kematian akibat gangguan aliran darah karena sumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak. Dalam jaringanotak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi biokimia yang dapat merusakan atau mematikan sel-sel saraf otak. Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan itu. Aliran darah yang berhenti membuat suplai oksigen dan zat makanan ke otak berhenti, sehingga sebagian otak tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya.3 WHO mendefinisikan stroke adalah manifestasi klinis dari gangguan fungsi otak, baik fokal maupun global (menyeluruh), yang berlangsung cepat, berlangsung lebih dari 24 jam atau sampai menyebabkan kematian, tanpa penyebab lain selain gangguan vaskuler.4 Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan oleh Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), masalah stroke semakin penting dan mendesak karena kini jumlah penderita stroke di Indonesia adalah terbanyak dan menduduki urutan pertama di Asia. Jumlahkematian yang disebabkan oleh stroke menduduki urutan kedua pada usia diatas 60 tahun dan urutan kelima pada usia 15-59 tahun.5 Berdasarkan RisetK esehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2013, prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenagakesehatansebesartujuh per mil dan yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan (nakes) atau gejala sebesar 12,1 per mil. Sebanyak 57,9 persen penyakit stroke telah terdiagnosi soleh nakes.6 Menurut data BPS Kota Padang tahun 2015, stroke adalah penyebab kematiank



1



elima di Kota Padang dengan persentase 8% setelah penyakit ketuaan/lansia, diabetes melitus, hipertensi, jantung.7 Menurut data rekam medik RSUP dr. M. Djamil, Padang pada tahun 2015 rata-rata pasien stroke per bulan adalah sebanyak 42 orang. Hal ini bisa menjadi pertimbangan bahwa memang insiden terjadinya stroke di kota Padang cukup banyak.8 Penyakit stroke diakibatkan oleh berbagai macam faktor risiko, diantaranya ada faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti umur, jenis kelamin, berat lahir rendah, ras, faktor keturunan dan kelainan pembuluh darah bawaan. Risiko terkena stroke meningkat sejak usia 45 tahun. Setelah usia 50 tahun, setiap penambahan usia tiga tahun meningkatkan risiko stroke sebesar 11-20%. Orang berusia lebih dari 65 tahun memiliki risiko paling tinggi, walaupun hampir 25% dari semua stroke terjadi sebelum usia tersebut, dan hampir 4% terjadi pada orang berusia antara 15 dan 40 tahun.9 Penelitian berskala cukup besar dilakukan oleh survey ASNA (Asean Neurologic Association) di 28 rumah sakitdi seluruh Indonesia pada penderita stroke akut yang dirawat di rumah sakit, hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan dan profil usia dibawah 45 tahun cukup banyakyaitu11,8%,usia45-64tahunberjumlah 54,7% dan diatas usia 65 tahun sebanyak 33,5%. Menurut penelitian Badan Pusat Statistik [BPS] pada tahun 2015, prevalensi penyakit stroke pada elompok yang didiagnosis oleh nakes gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur ≥75 tahun yaitu, laki-laki sebanyak 43,1% dan perempuan sebanyak 67,0%.7,10 Kejadian stroke menyebabkan berkurangnya atau terhentinya aliran darah yang mengakibatkan kematian sel-sel otak. Hal ini menjadikan serangan stroke sebagai keadaan darurat medis. Seseorang yang diperkirakan mendapat serangan stroke sebaiknya segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan evaluasi dan penanganan secepatnya. Dengan demikian, kematian sel saraf otak yang lebih banyak dapat dihindari. Pada saat mendapatkan penanganan medis, awalnya dokter akan melakukan anamnesis untuk mengetahui riwayat penyakit serta melakukan pemeriksaan fisik kepada pasien. Setelah itu, dokter akan melakukan pencitraan otak, dapat melalui CT scan, MRI, dan beberapa pencitraan vascular untuk memastikan jenis stroke yang di derita pasien. Pada saat ini, pencitraan



2



vaskular yang sudah berkembang antara lain digital subtraction angiography (DSA), computed tomography angiography (CTA), magnetic resonance angiography (MRA), dan transcranial color doppler (TCD). Di sinilah peran modalitas radiologi dan seorang dokter sangat diperlukan. Seorang dokter harus dapat memahami manajemen pasien dengan stroke sehingga pengetahuan tentang anatomi dasar vascular otak, manifestasi klinis, dan gambaran radiologis pada stroke sangat penting.10 1.2 Batasan Masalah Makalah ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi dan faktor risiko, klasifikasi, patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan radiologi dan penunjanglainnya, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis stroke iskemik. 1.3 Tujuan Penulisan Makalah ini bertujuan untuk membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi dan faktor risiko, klasifikasi, patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan radiologi dan penunjang lainnya, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis stroke iskemik. 1.4 Metode Penulisan Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang dirujuk dari berbagai literatur.



3



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stroke Iskemik 2.1.1 Definisi Stroke iskemia atau yang dikenal juga dengan stroke non-hemoragik merupakan jenis stroke yang paling banyak. Stroke iskemia yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. Stroke iskemia secara umum diakibatkan oleh aterotrombosis pembuluh darah serebral, baik yang besar maupun yang kecil. Pada stroke iskemia, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke otak. Suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam pembuluh darah arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat serius karena setiap pembuluh darah arteri karotis dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian besar otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam darah kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil.11



Gambar 1. Otak yang terkena Stroke Iskemik Menurut Dearden aliran darah otak didalam keadaan normal adalah sekitar 60 ml/100gr jaringan otak permenit. Peristiwa iskemi terjadi apabila aliran darah



4



yang ke otak menjadi dibawah 20ml/100gr permenit, dimana energi adenosine trifosfat atau ATP yang dihasilkan akan berkurang. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan dari metabolisme aerob ke metabolime anaerob serta gangguan homeostasis ion-ion sehingga terjadi gangguan aktivitas listrik dan reaktivitas neuron secara progresif.12 2.1.2 Epidemiologi Stroke penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit jantung koroner dan kanker baik di negara maju maupun negara berkembang. Satu dari 10 kematian disebabkan oleh stroke.13 Stroke diklasifikasikan menjadi stroke iskemik dan stroke hemoragik. Kurang lebih 83% dari seluruh kejadian stroke berupa stroke iskemik, dan kurang lebih 51% stroke disebabkan oleh trombosis arteri, yaitu pembentukan bekuan darah dalam arteri serebral akibat proses aterosklerosis. Trombosis dibedakan menjadi dua subkategori, yaitu trombosis pada arteri besar (meliputi arteri karotis, serebri media dan basilaris), dan trombosis pada arteri kecil. Tiga puluh persen stroke disebabkan trombosis arteri besar, sedangkan 20% stroke disebabkan trombosis cabang-cabang arteri kecil yang masuk ke dalam korteks serebri (misalnya arteri lentikulostriata, basilaris penetran, medularis) dan yang menyebabkan stroke trombosis adalah tipe lakuner. Kurang lebih 32% stroke disebabkan oleh emboli, yaitu tertutupnya arteri oleh bekuan darah yang lepas dari tempat lain di sirkulasi. Stroke perdarahan frekuensinya sekitar 20% dari seluruh kejadian stroke.12 Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memperlihatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian nomor satu pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Menurut Yayasan Stroke Indonesia, setiap tahun diperkirakan 500.000 penduduk mengalami serangan stroke dan 25% di antaranya (125.000 penduduk) meninggal, sisanya mengalami cacat ringan maupun berat. Di Indonesia, kecenderungan prevalensi stroke per 1000 orang mencapai 12,1 dan setiap 7 orang yang meninggal, 1 diantaranya terkena stroke.14 Data dari Stroke Registry tahun 2012-2014 terhadap 5.411 pasien stroke di Indonesia, mayoritas adalah stroke iskemik (67%). Demikian pula dari 384 pasiem yang dirawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2014 sebanyak 71,4% adalah stroke iskemik.15



5



2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko Sekitar 80-85% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal. Pada trombosis vaskular distal, bekuan dapat terlepas, atau mungkin terbentuk didalam suatu organ seperti jantung, dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus.16 Oklusi vaskular hampir selalu disebabkan oleh trombus, yang terdiri dari trombosit, fibrin, sel eritrosit dan leukosit. Trombus yang lepas dan menyangkut di pembuluh darah lebih distal disebut embolus. Jejas pada sel endotelium dapat mempresipitasi pembentukan trombus di pembuluh darah. Turbulensi atau melambatnya aliran darah, gangguan pada jalur koagulasi atau trombolisis dan gangguan pada fungsi trombosit juga dapat memacu pembentukan trombus. Penyebab emboli serebri yang sering ialah gumpalan darah dari jantung, disebabkan oleh penyakit valvular atau endokarditis.17 Sumbatan aliran di arteria karotis interna sering merupakan penyebab stroke pada orang berusia lanjut, yang sering mengalami pembentukan stroke di pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan atau stenosis. Pangkal arteria karotis interna (tempat arteria karotis komunis bercabang menjadi arteria karotis interna dan eksterna) merupakan tempat tersering terbentuknya aterosklerosis. Aterosklerosis arteria serebri media atau anterior lebih jarang menjadi tempat pembentukan aterosklerosis.16 Beberapa faktor risiko yang sering menjadi penyebab stroke iskemia, baik pada usia muda maupun tua yaitu diabetes melitus, hipertensi, dan dislipidemia.18 2.1.4 Patofisiologi Pengurangan aliran darah otak merupakan poin penting dari setiap diagnosa iskemia pada otak. Konsekuensi iskemia fokal akut dan tingkat pengaruh yang merusak tergantung pada tingkat keparahan dan durasi penurunan aliran darah. Secara umum, hilangnya fungsi daerah otak yang rusak terjadi ketika aliran darah otak menurun ke level 15–20 ml/100 g/menit. Penurunan aliran darah ke level 70–80% dari tingkat normal (di



6



bawah 50 ml/100 g per menit) akan disertai dengan reaksi sintesis penghambatan albumin. Tingkat ini dianggap sebagai tingkat kritis pertama iskemia otak. Selanjutnya, penurunan aliran darah sampai 50% dari tingkat normal (sekitar 35 ml/100 g/menit) akan menyebabkan aktivasi glikolisis anaerob dan peningkatan konsentrasi laktat, asidosis laktat, dan edema sitotoksik. Terjadinya iskemia otak progresif dan penurunan aliran darah lebih lanjut (20 ml/100 g/menit) disertai dengan penurunan sintesis ATP, pengembangan insufisiensi energi, destabilisasi membran sel, pelepasan pemancar acidergic amino, dan penurunan fungsi aktif transportasi kanal ion. Saat aliran darah menurun di bawah tingkat kritis 10 ml/100 g/menit mengarah ke sel depolarisasi membran, hal ini dianggap sebagai kriteria utama kerusakan sel yang ireversibel.19 Daerah perifer yang mengalami iskemia, tetapi masih hidup disebut daerah penumbra. Daerah ini mempertahankan terjadinya metabolisme energi dan hanya memiliki perubahan fungsional. Pengembangan lebih lanjut karena terjadinya iskemia menyebabkan habisnya cadangan perfusi lokal dan neuron menjadi sangat sensitif terhadap penurunan aliran darah lebih lanjut. Inti dapat mengalami perubahan struktural ireversibel karena hal ini. Penumbra dapat diselamatkan oleh restorasi aliran darah dan penggunaan agen pelindung saraf. Penumbra merupakan target utama untuk diagnosis dini dengan penggunaan metode neuroradiologi modern dan pengobatan dini.19



Jaringan yang mati



Gambar 2. Jaringan otak yang mati dan daerah penumbra19



7



Pemeriksaan mikroskopis dapat mendeteksi perubahan saraf seperti pembengkakan mitokondria dan disorganisasi (neuron lebih sensitif terhadap iskemia daripada astrosit dan oligodendroglia) yang terlihat 20 menit setelah onset iskemia. Perubahan tersebut dapat menjadi satu-satunya tanda iskemia selama 6 jam pertama. Waktu ekspresi maksimum edema otak yang merupakan sitotoksik edema yaitu berada di interval antara 24 hingga 48 jam. Hal ini menyebabkan gyri otak menebal dan sulitnya membedakan antara grey dan white matter. Durasi iskemia akut yaitu pada 2 hari pertama. Setelah itu, subakut fase infark dimulai. Periode ini berlangsung antara 7–10 hari (setelah onset stroke). Edema otak pada daerah iskemia maksimal muncul pada 3–5 hari setelah onset stroke. Pada tahap ini, edema vasogenik dan sitotoksik edema otak berlangsung.19 Fase kronis dapat terjadi sampai beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan. Pada periode ini, jaringan nekrotik rusak dan diserap kembali sehingga terjadi pembentukan encephalomalacia. Gyri yang keriput dan dilatasi pada bagian yang berdekatan dengan sistem ventrikel dapat ditemukan dalam kasuskasus daerah infark relatif besar. Perubahan patologis yang disebutkan di atas muncul hampir pada semua jenis infark. Namun demikian, kondisi tertentu dari situs jaringan yang rusak bervariasi, tergantung pada lokasi, ukuran, dan penyebab iskemia tersebut.19 2.1.5 Subtipe Stroke Iskemik Penyebab paling umum infark meliputi aterosklerosis arteri besar, kardioembolisme, dan lakunar.21 Sumber emboli dapat berasal dari debris ateromatous, stenosis arteri, dan pembuntuan arteri atau emboli yang berasal dari jantung kiri (fibrilasi atrial).22 Saat ini, ada beberapa klasifikasi stroke iskemia yang berbeda. a. Stroke aterotrombotik Stroke jenis ini terjadi dalam beberapa tahap, dimulai dengan peningkatan bertahap dari manifestasi klinis selama beberapa jam atau hari. Sering kali dimulai saat tidur. Hal ini ditandai dengan adanya lesi aterosklerotik di arteri sisi stroke. TIA sering mendahului onset stroke. Ukuran stroke bervariasi dari kecil ke besar. Stroke aterotrombotik bersama



8



dengan emboli arteri-arteri memegang peranan sebesar 47% dari semua kasus stroke.19 b. Stroke karena emboli jantung Ditandai oleh kondisi awal yang akut, stroke ini menyerang pasien dalam keadaan terbangun. Tanda-tanda neurologis fokal paling terlihat pada awal munculnya penyakit. Lokasi yang paling sering yaitu area arteri karotis tengah dan biasanya mengenai kortikal-subkortikal dan berukuran sedang atau besar. Menurut data, ada komponen perdarahan khas untuk jenis stroke ini. Jenis stroke ini memegang peranan sebesar 22% dari semua kasus stroke yang ada.19 c.



Stroke hemodinamik Bentuk stroke ini ditandai dengan onset akut. Daerah yang paling sering



diserang yaitu bidang yang sesuai dengan suplai darah. Ukurannya dapat bervariasi dari besar sampai kecil. Sebuah komponen hemodinamik juga hadir dalam bentuk penurunan tekanan darah dan curah jantung secara tiba-tiba. Stroke hemodinamik terjadi kurang dari 15% dari semua kasus stroke.19 d. Infark lakunar Infark lakunar adalah lesi kecil yang disebabkan oleh oklusi arteri perforans (Zimmerman, 2010). Infark lakunar disebut juga "microstroke", dengan ukuran mulai dari 1-1,5 cm. Hipertensi arteri sering mendahului stroke. Lokasi yang paling sering diserang yaitu inti subkortikal, batang otak, basal ganglia, kapsul internal, korona radiata dan sekitar white matter dari centrum semiovale.19,21 Ada tanda-tanda neurologis fokal yang khas dan dalam beberapa kasus hanya satu gejala timbul dengan tidak adanya tanda-tanda otak secara umum. Terjadinya lakunar stroke sebesar 20% dari semua kasus stroke. 2.1.6 Gejala Klinis Stroke Tanda dan gejala klinis stroke mengacu kepada definisi stroke yaitu kumpulan gejala akibat gangguan fungsi otak akut baik fokal maupun global yang mendadak, disebabkan oleh berkurang atau hilangnya aliran darah atau penyumbatan pada otak. Gejala gangguan fungsi otak pada stroke sangat tergantung pada daerah otak yang terkena. Defisit neurologi dapat berupa fokal atau global, yaitu :



9







Kelumpuhan



sesisi/kedua



sisi,



kelumpuhan



satu



ekstremitas,



kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot untuk proses menelan, bicara, dan sebagainya. 



Gangguan fungsi keseimbangan







Gangguan fungsi penghidu







Gangguan fungsi penglihatan







Gangguan fungsi pendengaran







Gangguan somatic sensoris







Gangguan fungsi kognitif, seperti gangguan atensi, memori bicara verbal gangguan mengerti pembicaraan, gangguan pengenalan ruang, dan sebagainya







Gangguan global berupa gangguan kesadaran



Pemeriksaan sederhana unuk mengenali tanda dan gejala stroke menggunakan singkatan FAST : - F yaitu facial droop (mulut mencong/tidak simetris), - A yaitu arm weakness (kelemahan pada tangan) - S yaitu speech difficulties (kesulitan bicara) -T yaitu time to seek medical help (waktu tiba di RS secepat mungkin) FAST memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 68% untuk menegakkan stroke serta reliabilitas yang baik pada dokter dan paramedik.23 2.1.7 Diagnosis Stroke Iskemia Berdasarkan pemeriksaan CT dan MRI, biasanya stroke dibagi menjadi tiga tahap yaitu akut, subakut, dan kronis. Ada beberapa inkonsistensi di antaranya dan perubahan patologis dalam jaringan otak. Namun secara umum, perubahan yang didiagnosis dengan penggunaan CT dan MRI mirip dengan perubahan makroskopik. Keduanya memiliki karakter yang sama dan perkembangan dalam proses terjadinya penyakit sesuai dengan tiga tahap utama yang disebutkan di atas.19 2.1.7.1 Superakut dan stroke akut CT memainkan peranan yang jauh lebih signifikan dalam diagnosa stroke daripada MRI karena mayoritas pasien stroke yang dirawat di unit perawatan



10



intensif rumah sakit lebih mudah untuk melakukan CT scan daripada MRI. Meskipun pada pemeriksaan CT mendeteksi perubahan iskemia akut, namun tugas utama pemeriksaan CT adalah untuk menghilangkan adanya perdarahan dan patologi otak lainnya (seperti tumor, malformasi dan perdarahan, yang semuanya dapat memiliki manifestasi klinis yang sama dengan stroke iskemia). Fase stroke akut memiliki batas waktu tertentu, maksimal 2 hari. Potensi CT dalam mendeteksi stroke akut tergantung pada jumlah waktu yang berlalu sejak onset stroke. Selama jam pertama, pemeriksaan CT tanpa kontras akan menampilkan gambar otak normal lebih dari 50% kasus.19 Tanda-tanda patologis yang terlihat dalam 12 jam pertama setelah onset stroke yaitu meningkatnya intensitas sepanjang arteri yang terkena dampak (hiperdens lebih sering divisualisasikan di cabang-cabang arteri serebral tengah, atau MCA yang disebut gejala atau fenomena MCA), kaburnya batas-batas nukleus lentiformis, tidak adanya celah subarachnoid dan kaburnya batas-batas antara grey dan white matter. Hiperdens MCA merupakan tanda trombosis. Gejala ini diamati pada 25% kasus stroke iskemia hingga 50% pada pasien stroke di wilayah MCA. Dalam 24 jam pertama, proses demarkasi wilayah iskemia berlangsung. Daerah iskemia menjadi hipodens dibandingkan dengan jaringan di sekitarnya19 2.1.7.2 Fase subakut iskemia Dalam kasus stroke yang disebabkan oleh gangguan aliran darah arteri besar, CT mengidentifikasi wilayah yang mengalami penurunan densitas yang tidak hanya mengenai white matter tetapi juga grey matter pada daerah yang sesuai dengan wilayah arteri yang sesuai. Efek massa akan muncul pada 3 hari pertama dan secara bertahap mengalami regresi pada akhir tahap subakut.19 Dalam 15–20% kasus tanda-tanda perdarahan, hal itu dapat terlihat pada CT tanpa kontras selama fase subakut. Tanda-tanda tersebut divisualisasikan dalam bentuk peningkatan densitas lokal yang terletak di basal ganglia dan samping gyri. Dalam kebanyakan kasus, transformasi hemoragik dapat diamati pada 4–6 hari pertama. Mengingat fakta bahwa integritas struktural



11



dari penghalang sawar darah otak rusak dalam proses perkembangan iskemia maka sangat mungkin untuk memvisualisasikan peningkatan kontras patologis sepanjang gyri otak. Peningkatan fokus kontras di daerah yang terkena dapat terlihat 3–4 hari setelah onset stroke dan menetap selama periode yang relatif lama hingga 8–10 minggu.19 2.1.7.3 Fase kronik iskemia Stroke pada tahap kronis (lebih dari 3 bulan) divisualisasikan pada CT sebagai daerah dengan CSF densitas (encephalomalacia). Pada stroke tahap kronis dapat disertai dengan dilatasi kompensasi dari bagian ipsilateral dari sistem ventrikel. Hal ini mencerminkan penurunan volume jaringan otak. Perifokal daerah stroke yang mewakili daerah gliosis dapat memiliki karakteristik hipodens. Peningkatan kontras pada CT tidak lagi divisualisasikan karena proses reparasi penghalang darah otak selesai19 2.1.8 Diagnosis Banding Stroke Iskemia Kriteriai diagnosis stroke iskemik adalah terdapat gejala deficit neurologis global atau salah satu/beberapa deficit neurologis fokal yang terjadi mendadak dengan bukti gambaran pencitraan otak (CT Scan atau MRI). Adapun diagnosis banding yang paling sering yakni stroke hemoragik (bila belum dilakukan CT/MRI otak).23 2.1.9 Tatalaksana Tatalaksana yang komprehensif dibutuhkan dalam penanganan kasus stroke iskemik maupun stroke hemoragik. Pentalaksanaan ini sendiri dapat dibagi menjadi dua yaitutatalaksana umum dan tatalaksana khusus pada stroke iskemik menurut guidelinestroke tahun 2011 oleh PERDOSSI.14 a. Tatalaksana umum di IGD dan ruang rawat 1. Stabilisasi jalan nafas danpernafasan -



Pemantauan status neurologis, nadi tekanan darah, suhu dan saturasi oksigen dalam 72 jampertama.



-



Pemberian oksigen jika saturasi 50 mmHg) syok, atau pada pasien yang berisiko untuk mengalami aspirasi. Pipa ETT tidak dianjurkan terpasang lebih 2 minggu, jika lebih lakukan trakeostomi.



2. Stabilisasihemodinamik -



Pemberian cairan kristaloid atau koloid intravena, dan hindari cairan hipotonik sepertiglukosa.



-



Bila TDS dibawah 120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, berikan vasopresor secara titrasi, seperti dopamine dosis sedang/tinggi, norepeinferin atau epinefrin dengan target TDS berkisar 140mmHg



-



Pemantauan jantung harus dilakukan 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke.



-



Bila terdapat penyakit jantung segera atasi (konsuljantung).



3. Pengendalian peninggian tekanan intrakranial -



Pemantauan ketat pada kasus dengan risiko edema serebri dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada harihari pertama setelah serangan stroke.



-



Sasaran TIK < 20 mmHg dan tekanan perfusi otak > 70mmHg.



-



Penatalaksanaan peningkatan TIKmeliputi: 1. Meninggikan posisi kepala20-30o. 2. Memposisikan venajugular.



pasien



dnegan



menghindari



penekanan



3. Menghindari pemberian cairan glukosa atau cairanhipotonik. 4. Menghindarihipertermia. 5. Menjaganormovolemia. 6. Pemberian Osmoterapi atasindikasi: -



Manitol 0.25 – 0.50 gr/KgBB selama 20 menit, diulangi setiap 4 – 6 jamdengan target osmolaritas ≤ 310mOSm/L.



-



Jika perlu berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/ Kg BBIV.



13



7. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35-45 mmHg). Hiperventilasi mugkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif. 8. Paralisis neuromuskular yang dikombinasikan dnegan sedasi untuk mengurangi TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena akibatbatuk. 9. Drainase ventrikular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik serebelar. 10. Tindakan bedah dekompresif pada iskemik serebelar yang menimbulkan efek masa. 4. Pengendaliankejang a. Bila kejang beri diazepam IV bolus lambat 5 -20 mg dan diikuti oleh fenitoin dosis bolus 15-20 mg/kg dengan kecepatan maksimum 50mg/menit. b. Obat kejang lain yang dapat diberikan adalah valproate, topiramat, atau levetirasetam, sesuai dengan klinis dan penyulitpasien. c. Bila kejang belum teratasi rawatICU. 5. Pengendalian suhutubuh a. Pasien stroke disertai febri harus diobati dengan antipiretik (asetaminofen) dan diatasipenyebabnya. b. Pada pasien denan berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur (trakeal, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikular, analisis cairan serebrosinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis. 6. Terapicairan a. Pemberian cairan isotonis NaCl 0.9%, ringer laktat, dan ringer asetat, dengan tujuan menjaga euvolemia. CVP dipertahankan antara 5-12mmHg. b. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hindari, kecuali pada keadaan hipoglikemia. 7. Nutrisi a. Nutrisi enteral paling lambar harus segera diberikan dalam 48 jam,



14



nutrisi oral hanya boleh diberikan bila hasil tes fungsi menelanbaik. b.



Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan diberikan melalui pipa nasogastrik.



c. Pada keadaan akut kebutuhan kalori 25-30kkal/kg/hari dengan komposisi: 1) Karbohidrat 30-40 % dari total kalori. 2) Lemak 20-35% (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 3555%). 3) Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4 – 2.0



g/



KgBB/



hari



(pada



gangguan



fungsi



ginjal



220/120mmHg.



-



Tekanan darah diturunkan perlahan-lahan, sehingga tidak menurunkan aliran darahotak.



-



Nikardipin 5mg/jamIV.



-



Atau ARB, ACEI, BB,diuretik.14



4. Manajemen guladarah -



Sesuai tatalaksana DM, menggunakan obat hipoglikemia oral daninsulin.



15



5. Pemberianantiplatelet -



Pemberian aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24 sampai 48 jam setelah awitan stroke dianjurkan untuk setiap stroke iskemikakut.



-



Aspirin tidak boleh digunakan tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi akut pada stroke, seperti pemberian rTPAintravena.



-



Pemberian klopidogrel saja atau kombinasi dengan aspirin, pada stroke iskemik akut tidak dianjurkan, kecuali pada pasien indikasi spesifik misalnya, angina pektoris tidak stabil, no Q wave MI atau recentstenting.



-



Pemberian antiplatelet intravena yang menghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa tidak dianjurkan.



6. Pemberian neuroprotektor belum menunjukan hasil yang efektif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan. Namun citicolin sampai saat ini masih memberimanfaat pada stroke akut. Penggunaaan citicolin pada stroke iskemik akut dengan dosis 2 x 1000 mg intravena 3 haridan dilanjutkan dengan oral 2 x 1000 selama 3 minggu. Penelitian yang dilakukan PERDOSSI menunjukan pemberian plasmin oral 3x 500 mg pada 66 pasien di 6 rumah sakit pendidikan di Indonesia memberi manfaat.14 2.1.10 Prognosis Prognosis setelah terjadinya stroke tergantung kepada umur, etiologi stroke itu sendiri, derajat keparahan defisit neurologis dan tingkat ketergantungan, dan beban komorbiditas. Pada penelitian kohort yang dilakukan di US terdapat 10.000 pasien yang dirawat dengan stroke iskemik, memiliki tingkat mortalitas pada tahun pertama dan tahun keempat secara berturut-turut sebesar 24,5% dan 41.3 %, dan dengan tingkat kekambuhan sebesar 8.0 % dan 18.1%.15



16



2.2 Anatomi Otak 2.2.1 Morfologi Otak Otak sebagai sistem saraf pusat dibagi menjadi beberapa bagian yang bisa digambarkan pada skema berikut ini. Tabel 1 Skema pembagian otak Bagian utama otak



Rongga dalam otak Ventrikulus lateralis kiri dan



Otak depan



Serebrum



kanan



Diensefalon



Ventrikulus tertius



Otak tengah



Aquaductus cerebri



Otak



Ventrikulus quartus dan



belakang



Pons



kanalis



Medulla oblongata



sentralis



Serebellum Sumber:Snell



Kedua hemisfer serebri memenuhi rongga kepala di atas tentorium. Keduanya dipisahkan satu dengan yang lain pada garis tengah oleh fissura interhemisfer, yang memanjang ke anterior menuju dasar fossa kranii anterior. Pada bagian tengah fissura interhemisfer berhenti pada korpus kallosum sebagai struktur yang menghubungkan kedua hemisfer serebri.24 Hemisfer serebri mempunyai permukaan lateral, medial, dan basal. Hemisfer serebri terdiri atas gray matter dan white matter. Gray matter yang berada di permukaan serebri disebut sebagai korteks serebri, sedangkan yang terdapat di dalam serebri disebut ganglia basalis. White matter pada hemisfer serebri terdiri atas akson-akson komisural, asosiasi, dan proyeksi. White matter mengandung 12% air lebih sedikit dibandingkan dengan gray matter. Akan tetapi, bagian white matter mempunyai lebih banyak lemak daripada gray matter.24 Korteks serebri merupakan bagian terluar hemisfer serebri. Pada masingmasing hemisfer terdiri atas tiga bagian permukaan yang dipisahkan oleh tiga



17



pembatas/tepi. Batas superior memisahkan permukaan medial dan lateral, batas inferolateral memisahkan permukaan inferior dan lateral, batas inferomedial memisahkan permukaan inferior dan medial. Ketiga permukaan hemisfer serebri berisi sejumlah celah-celah yang disebut sebagai fissura atau sulkus yang memisahkan permukaan dari serebrum yang disebut gyri serebri. Keempat sulki di antaranya membantu membagi hemisfer serebri ke dalam lobus-lobus. Sulkus lateralis (fissura sylvii) memisahkan bagian terbesar lobus temporal dengan lobus frontal dan bagian anterior lobus parietal di atasnya. Sulkus sentralis (fissura rolandi) berawal dari permukaan medial hemisfer, kira-kira pada pertengahan batas superior. Fissura ini berjalan di permukaan lateral hemisfer ke arah anteroinferior dan berhenti pada sulkus lateralis.24



Cerebral hemispheres (telencephalon) Parietal lobe Frontal lobe Occipittal lobe



Temporal lobe



(a)



Pons (metencephalon)



Cerebellum (metencephalon)



Medulla oblongata (myelencephalon)



Diencephalon



Thalamus Hypothalamus Cerebellum (metencephalon) Midbrain (mesencephalon)



Pons (metencephalon) Medulla oblongata (myelencephalon) (b)



Gambar 3 Otak dilihat dari irisan: (a) lateral dan (b)sagital.



Peredaran darah serebri berasal dari 4 arteri, yaitu 2 arteri karotis interna dan 2 arteri vertebralis. Arteri karotis interna berasal dari percabangan arteri



18



karotis komunis dan menembus basis kranii melalui foramen jugularis. Arteri vertebralis masuk ke kranium melalui foramen oksipital dan tidak seperti arteri lain yang dichotomize, arteri ini bergabung membentuk arteri basilaris. Secara skematis, sistem arterial intrakranial dibagi menjadi bagian anterior yang terdiri atas sirkulasi karotis dan bagian posterior yang terdiri atas sirkulasi vertebrobasilar.25,26



Gambar 4 Sirkulasi karotis.



Jika kita perhatikan gambar di atas maka terlihat bagian I adalah internal carotid artery (ICA), bagian II yaitu middle cerebral artery (MCA), dan bagian III adalah anterior cerebral artery (ACA). Sementara itu, nomor 1 menunjukkan medial frontobasal artery, nomor 2 yaitu callosomarginal artery, nomor 3 yaitu pericallosal artery.



19



2.3 Radioanatomi 2.3.1 Gambaran Brain Computed Tomography (CT) Scan



Sinus Maksila M. Masticator



Medula



Vermis serebri Hemisfer serebri



Gambar 5. Brain Anatomy



20



Sinus sfenoid Lobus Temporal Cerebellopontine angle



Middle cerebellar peduncle



Fourth ventricle



Gambar 6. Anatomy – Level of the Pons



Yellow – Ethmoid sinus Purple – Sellar fossa Green – Suprasellar cistern Red – Cerebral aqueduct Blue – Temporal horn of ventricular system Orange – Occipital lobe White – Middle cerebral artery, (note that it is isodense to gray matter)



Gambar 7 Midbrain Level



21



Green – Third Ventricle Yellow – Frontal lobe Red – Sylvian fissure Blue – Temporal lobe Orange –Quadrigeminal Plate cistern



Gambar 8 Brain Anatomy



White – foramen of Monroe connects lateral to third ventricle Yellow – caudate head Blue – globus pallidus Red – putamen Purple – thalamus Green – posterior limb of the internal capsule Orange – pineal gland with calcification



Gambar 9. Brain Anatomy



22



White – genu of the corpus callosum Red – splenium of the corpus callosum Yellow – thalamus Green – choroid plexus in lateral ventricle Blue – external capsule between the insular cortex laterally and the putamen of the basal ganglia medially



Gambar 10. Brain Anatomy



White – body of the caudate Red – corona radiate are white matter tracts Yellow – falx cerebri Blue – superior sagittal sinus



Gambar 11. Brain Anatomy



23



Yellow – centrum semiovale are supraventricular white matter tracts running to and from the cerebral cortex Blue – parietal lobe



Gambar 12. Brain Anatomy



White – superior frontal gyrus Yellow – superior frontal sulcus Red – middle frontal gyrus Green – prefrontal sulcus Orange – motor strip or prefrontal gyrus Blue – central sulcus Purple – sensory strip or post central gyrus Pink – post central sulcus



Gambar 13. Anatomy Vertex of The Brain



24



Red – MCA or middle cerebral artery Yellow – ACA Green – PCA Blue – Basilar artery



Gambar 14. CT Angiography Anatomy Red – anterior cerebral arteries Yellow – vein of Galen Purple – superior sagittal sinus Green – straight sinus Blue – basilar artery



Gambar 15. CT Angiography Anatomy Sumber : Jackson Simon 2004



25



2.4 Pemeriksaan Radiologis Pada berbagai macam kasus stroke, pencitraan selalu berperan dalam menentukan jenis stroke yang diderita pasien dan setelah itu menentukan jenis terapi yang akan dilakukan. Dengan demikian, kita perlu mengetahui bagaimana gambaran berbagai macam modalitas radiologi pada stroke iskemia. Berikut ini penjelasannya. 2.4.1 Gambaran CT Scan pada Stroke Iskemia Pencitraan



memainkan



peran



yang



penting



dalam



trombolisis.



Pengetahuan tentang tanda-tanda klasik iskemia awal atau gambaran perdarahan di computed tomography (CT) tanpa kontras diperlukan untuk studi pencitraan yang memuaskan. Pemeriksaan CT yang modern harus mencakup CT perfusi dan CT angiografi. Computed tomography perfusi melukiskan jaringan iskemia (penumbra) dengan menunjukkan peningkatan waktu transit yang berarti penurunan aliran darah otak (CBF) dan volume darah otak normal atau meningkat (CBV), sedangkan jaringan infark bermanifestasi dengan nyata menurun CBF dan CBV menurun. CT angiografi dapat menggambarkan letak oklusi dan membantu mencirikan penyakit aterosklerosis pada karotis. Sebuah studi lengkap CT (CT tanpa kontras, CT perfusi, dan CT angiografi) dapat dilakukan dan dianalisis dengan cepat dan mudah oleh ahli radiologi secara umum dengan menggunakan protokol standar yang sederhana dan bahkan dapat memfasilitasi untuk mendiagnosis pasien kepada ahli radiologi kurang yang berpengalaman.28 1. Gambaran Computed Tomography Scan Tanpa Kontras Computed tomography scan tanpa kontras harus dilakukan sesegera mungkin pada stroke. CT sangat sensitif untuk penggambaran lesi hemoragik dan peran kunci CT tanpa kontras adalah deteksi perdarahan atau penyakit lain yang mirip stroke (misalnya neoplasma dan malformasi arteri) yang bisa menjadi penyebab defisit neurologis.29 Peran kedua CT tanpa kontras yaitu mendeteksi tanda-tanda iskemia yang disebabkan karena infark. Temuan utama pada CT adalah daerah hypoattenuating di kortikal-subkortikal dalam suatu wilayah vascular. 28



1



Gambar 16. Infark pada wilayah arteri ACA, arteri serebri media (MCA) dan arteri serebri posterior. Gambar (atas) menggambarkan wilayah (raster) dari ACA, arteri serebri media (MCA) dan arteri serebri posterior. CT scan (bawah) menunjukkan infark pada wilayah arteri tersebut.28 1. Gambaran Computed Tomography Perfusion Perfusi CT dilakukan dengan hanya memantau agen kontras iodinasi bolus yang lolos melalui sirkulasi serebral. Ini melibatkan pencitraan secara terusmenerus selama 45 detik di atas potongan jaringan yang sama (1-32 bagian) selama administrasi kontras kecil secara dinamis (50 mL) dan kontras dengan aliran tinggi secara bolus (laju injeksi 4–5 mL/detik). Sebelum dilakukan pemeriksaan ini, pemeriksaan fungsi ginjal perlu diperiksa terlebih dahulu untuk mengurangi keterlambatan kontras dan mencegah terjadinya kontras-induced nefropati dan merupakan komplikasi yang jarang pada pasien stroke akut yang menjalani pemeriksaan multimodal CT scan.1Tidak ditemukan adanya defisit neurologis baru atau komplikasi jantung setelah injeksi bahan kontras pada tingkat aliran tinggi.30 Pada stroke akut, inti jaringan infark irreversible dikelilingi oleh daerah perifer atau disebut penumbra yang menerima suplai darah kolateral dari arteri yang tidak terkena dan arteri di wilayah leptomeningeal. Sel-sel di penumbra berpotensi diselamatkan dengan rekanalisasi awal. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa terapi trombolitik intravena mungkin bermanfaat bagi pasien



2



di luar 3 jam pertama. Pasien dipilih secara hati-hati berdasarkan temuan perfusi mismatch. Beberapa penulis telah melaporkan ambang batas untuk infark inti ketika CBV kurang dari 2 L/ menit dan untuk jaringan iskemia ketika MTT mencapai lebih dari 145%.28



Gambar 17. Stroke akut (6 jam evolusi) pada wanita 46 tahun dengan hemiplegia kiri. Berdasarkan gambar di atas terlihat bagian (a) yaitu nonenhanced CT scan yang menunjukkan tanda titik (panah) di MCA kanan, kehilangan diferensiasi materi putih & abu-abu dan mengaburkan basal ganglia. Bagain (b-e) peta Perfusi CT dari MTT (b), CBV (c), dan CBF (d) dan peta ringkasan (e) menunjukkan MTT diubah dan CBF di daerah frontotemporal kanan, sugestif iskemia, dan subkortikal berkurang daerah dengan penurunan CBV, sugestif dari inti infark. Perhatikan area peningkatan CBF dan CBV di nucleus caudatus kanan dan inti lentikular, yang mewakili tahap pertama dari iskemia otak (kompensasi dengan suplai dari cadangan serebrovaskular). Bagian (f) Gambar MR aksial T2-weighted menunjukkan hiperintens daerah frontoparietal kanan dan nucleus caudatus yang berkaitan dengan infark akhir di bidang iskemia.30 2.4.2 Gambaran MRI pada Stroke Iskemia Pada stroke iskemia, ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk pencitraan menggunakan MRI yaitu MRI konvensional, FLAIR imaging, diffusion-weighted imaging, perfusion-weighted imaging, dan time of flight. Berikut ini penjelasannya.



3



a. Gambaran MRI Konvensional Evaluasi rutin pasien stroke iskemia (terutama di tahap infark subakut dan kronis) biasanya mencakup beberapa bentuk T1-weighted dan T2-weighted spin echo atau fast spin echo dan tambahan gradient echo imaging untuk perdarahan. T1-weighted imaging (waktu pengulangan 400–600 ms, waktu gema 20–35 ms) umumnya



dilakukan



untuk



memberikan



definisi



anatomi



dan



deteksi



methemoglobin dalam perdarahan subakut. T2-weighted imaging (waktu pengulangan > 2.500 ms, waktu gema 80–120 ms) digunakan untuk menunjukkan letak dari cedera parenkim, direpresentasikan sebagai daerah dengan kadar air meningkat. Fluid attenuated inversion recovery (FLAIR) baru-baru ini telah diadopsi untuk menggantikan proton density weighted imaging dan untuk mempercepat pemeriksaan fast spin echo konvensional, khususnya untuk area otak yang berdekatan dengan ventrikel dan sulkus kortikal.31 Temuan pada pencitraan konvensional dalam perkembangan infark serebral dapat dikenali dengan baik dan memiliki stereotip serupa dengan yang terlihat pada CT. Perubahan ini terlihat pada iskemia parenkim yang ditandai dengan peningkatan kadar air jaringan. Hal ini meningkatkan cairan dalam jaringan sehingga terjadi pemanjangan T1 dan waktu relaksasi T2. Perubahan sinyal T2, meskipun lebih sensitif terhadap akumulasi air jaringan daripada gambar T1-weighted, namun sering kali masih normal dalam 8 jam pertama setelah infark.31 Secara bertahap selama tahap akut, T2-weighted akan menjadi lebih hiperintens di wilayah iskemia, terutama selama 24 jam pertama. Pada 24 jam, kira-kira 90% dari pasien yang mengalami infark akan menunjukkan perubahan dalam T2-weighted dibandingkan dengan perubahan T1-weighted yang hanya sekitar 50%. Perubahan sinyal ini terlihat pada 24 jam pertama dan yang terbaik terlihat di grey matter dan baik divisualisasikan dalam struktur grey matter bagian dalam seperti thalamus atau basal ganglia. Sering kali white matter tidak menunjukkan perubahan yang cukup dalam jangka waktu 24 jam pertama. Fast spin echo juga dapat menunjukkan trombosis atau aliran lambat dilihat sebagai hilangnya kekosongan dalam arteri lingkaran Willis dan arteri yang melintasi ruang subarachnoid dalam sulki kortikal. Perubahan sinyal ini dalam arteri dapat



4



dikenali segera setelah kejadian tromboemboli dimulai dan mungkin mendahului akumulasi air dalam parenkim.31 Perubahan morfologi yang bersamaan dengan perkembangan edema vasogenik yang terjadi kemudian, sering akan terlihat dengan spin echo imaging. Peningkatan hasil edema vasogenik di otak terutama di daerah korteks sebagai pembengkakan girus atau pendataran sulkus dapat dilihat pada kedua T1- dan T2– weighted imaging. Hal ini dapat divisualisasikan pada hari pertama, tetapi menjadi lebih jelas setelah awal terjadinya infark (> 24 sampai 48 jam). Perubahan sinyal pada T1 dan T2 juga menjadi lebih jelas dalam periode ini karena daerah infark akut menjadi lebih jelas. Jika daerah otak yang terpengaruh besar, selama periode ini efek massa dengan herniasi dapat terlihat (memuncak pada 3 sampai 4 hari setelah infark). Hal ini juga harus dicatat bahwa fast spin echo telah menggantikan teknik conventional spin echo di sebagian besar pusat kesehatan. Teknik ini kurang sensitif terhadap T2 karena beberapa pulsa 180 derajat. Oleh karena itu, dengan fast spin echo imaging, deteksi perdarahan akut berkurang berdasarkan sensitivitas yang lebih rendah terhadap perubahan kerentanan magnetik. Hal ini penting untuk melengkapi evaluasi MRI pasien stroke dengan pencitraan gradient echo yang sangat sensitif terhadap variasi kerentanan yang menyertai perdarahan intraparenkim.31 Jika kita perhatikan Gambar 3 terlihat FLAIR (A), T2-weighted fast spin echo (B), dan gradient echo (C). Perdarahan yang luas hanya terlihat gambar gradient echo (CT tidak ditampilkan, tidak menunjukkan bukti perdarahan). Gambar diffusion-weighted (D) dan diffusion coefficient maps (E) menunjukkan difusi terbatas pada posterior terhadap lesi perdarahan yang heterogen, konsisten dengan infark akut. Tujuan teknik difusi di daerah perdarahan akut adalah untuk menyelidiki jaringan nonhemorrhagic yang berdekatan dengan perdarahan, dalam hal ini adalah jelas dalam distribusi vaskular arteri besar (arteri serebri, divisi posterior).31



5



a



b



c



d



e



Gambar 18. Nilai Diffusion Weighted Imaging pada peradarahan akut



a



b



c



Gambar 19 Perdarahan infark akut pada CT vs MRI Berdasarkan Gambar 19, meskipun tidak ada bukti perdarahan di kedua CT (A) atau FLAIR (B) di infark serebral kanan tengah, gradient echo jelas menunjukkan perdarahan akut yang luas (C). Sensitivitas MRI menggunakan gradient echo imaging untuk perdarahan akut dapat melebihi computed tomography.31



6



Hal ini juga diketahui bahwa peningkatan kontras gambar MRI konvensional memainkan peran penting dalam diagnosis infark subakut dan masih dianggap sebagai ciri khas dari diagnosis. Peningkatan intensitas parenkim girus di infark subakut biasanya dimulai menjelang akhir minggu pertama, ketika efek massa telah selesai dan berlangsung selama sekitar 6 sampai 8 minggu. Dalam periode ini, perubahan yang relatif terlihat adalah hiperintens pada T2 yang lebih jelas. Pada sekitar 20% kasus akan ada daerah dengan peningkatan sinyal pada gambar T1 yang menunjukkan adanya komponen perdarahan.31 Pada fase kronis infark serebral biasanya dimulai ketika integritas penghalang darah-otak telah pulih, edema telah menghilang, dan sebagian besar resorpsi jaringan nekrotik telah selesai. Hal ini membutuhkan waktu lebih lama pada infark yang lebih besar, tetapi biasanya terjadi dalam waktu 6 minggu. MRI infark kronis ditandai dengan zona yang lebih kecil dan terlihat lebih baik daripada yang terlihat di scan sebelumnya. Hilangnya elemen selular dan atrofi fokus menjadi jelas. Hal ini ditandai sebagai pelebaran sulki dan pembesaran ventrikel. Intensitas sinyal meningkat karena kandungan air yang lebih besar, terbentuk kavitasi kistik yang merupakan sebagian besar berupa jaringan sisa, terutama terlihat pada infark yang lebih besar. Seiring waktu berjalan, lesi terus menyusut dengan perubahan atrofi menjadi lebih jelas dan infark itu sendiri menjadi kurang jelas.31 b. Gambaran FLAIR Sekuens ini sering digunakan dalam evaluasi pasien dengan stroke iskemia untuk menguatkan hasil MRI konvensional T1- dan T2– weighted imaging. Gambar FLAIR sinyal CSF nol didasarkan seperti gambar cairan di T1. FLAIR telah sangat membantu dalam evaluasi parenkim otak dan telah terbukti lebih sensitif untuk mendeteksi infark bila dibandingkan dengan pencitraan T2WI dalam evaluasi stroke. Baru-baru ini, FLAIR imaging telah digunakan dalam evaluasi fase hiperakut stroke (< 6 jam setelah timbulnya gejala). Sekuens FLAIR tidak mampu mendeteksi infark dalam periode waktu yang akut dengan banyak sensitivitas yang tinggi. Hal ini juga telah menunjukkan bahwa teknik ini dapat menunjukkan pembuluh darah yang tersumbat atau pembuluh darah dengan aliran berkurang akan tampak hiperintens sehingga terlihat kontras tinggi untuk



7



hipointens terhadap CSF sekitarnya. Namun, jika dibandingkan secara langsung dengan teknik baru seperti DWI, teknik FLAIR telah terbukti nyata kurang sensitif dibandingkan DWI. Di luar periode waktu hiperakut, periode akut, dan jangka waktu subakut (infark kurang dari 10 hari) sekuens FLAIR menunjukkan lebih baik dari T2WI FSE. Keterbatasan lebih lanjut dari FLAIR dibandingkan dengan pencitraan T2WI adalah kurangnya spesifisitas hipointens pada perdarahan akut, yang pada FLAIR mirip sebagai daerah kistik yang mengandung air.31



Gambar 20. Infark iskemia dari kortikal dan subkortikal sebelah kanan (hari ke3). Pada serangkaian pencitraan T2WI (a) dan FLAIR (b). c. Gambaran Diffusion-Weighted Dengan munculnya DWI MRI scan pada saat ini maka teknologi ini dapat digunakan untuk mendeteksi iskemia serebral akut dalam awal 6 jam setelah onset gejala.5 Pengembangan teknik MRI baru ini mampu menilai perubahan iskemia hiperakut di tingkat parenkim seperti DWI dan PWI yang sebagian besar disebabkan oleh pengembangan kecepatan tinggi T2. Teknik T2* merupakan teknik sensitif yang bisa memetakan perubahan gerak proton dan pola perfusi serebral secara jelas. Metode kecepatan tinggi ini sangat penting dalam mengurangi artefak gerak.31 DWI telah merevolusi evaluasi MRI pada tahap awal atau infark hiperakut karena sensitivitas yang tinggi terhadap infark dinyatakan tidak tampak dan sudah menjadi sekuens pencitraan rutin pada pasien stroke. Hal ini menggunakan teknik untuk pemetaan kontras proton yang mencerminkan lingkungan air di



8



mikrovaskular. DWI sensitif terhadap gerakan translasi atau difusi air jarak pendek. Proton yang berpindah akan memperoleh perubahan fase dan mengakibatkan kehilangan sinyal (atau gambar lebih gelap) pada gambar DWI. Gambar yang diperoleh responsif terhadap perfusi berbasis kapiler. Untuk gerakan yang lebih cepat menggunakan kekuatan gradien lebih rendah dan untuk gerakan lambat difusional menggunakan kekuatan gradien yang lebih tinggi.31 Pada umumnya, gambar DWI dan gambar ADC dibaca bersama-sama dan dapat dibandingkan dengan gambar konvensional yang digunakan dalam protokol. Nilai tambah gambar ADC ditemukan dalam kasus hiperintens pada DWI. Hal ini dapat disebabkan oleh salah satu (atau keduanya) yaitu difusi yang terbatas dan perubahan T2. Dalam kasus ini yang kadang-kadang merupakan sinyal hanya tinggi karena T2 pada DWI maka peta ADC harus dilihat karena peta ADC menunjukkan secara kontras berdasarkan perbedaan difusi.31 Di sisi lain, jika tidak ada hiperintens terlihat di DWI, maka tidak ada infark akut dan tidak perlu untuk peta ADC, karena peta ADC sendiri memiliki sensitivitas yang sangat rendah dan akurasi untuk infark akut. Kebanyakan infark non akut tidak menunjukkan hiperintens pada DWI, meskipun terjadi pemanjangan T2 di wilayah infark. Selain itu, dalam kasus-kasus tertentu, kontras aditif yang diberikan oleh perubahan T2 akan meningkatkan penemuan infark akut pada DWI dibandingkan dengan peta ADC.31



Gambar 21. Iskemia akut pada genu korpus kallosum kanan (24 jam setelah serangan iskemia).



d. Gambaran Perfusion-Weighted Pencitraan perfusi otak dapat dilakukan dengan menggunakan agen kontras berbasis kerentanan atau teknik berputar pada pelabelan arteri. Pencitraan perfusi



9



menggunakan agen kontras paramagnetik saat ini lebih banyak digunakan. Gambar yang diperoleh setelah injeksi bolus dari agen kontras akan mendeteksi perubahan intensitas gambar saat melewati pembuluh darah kapiler. Agen kontras magnetik seperti disprosium atau gadolinium-DTPA akan menimbulkan pemendekan T2* dan menghasilkan kehilangan sinyal dalam jaringan perfusi. Agen-agen ini tetap dalam ruang intravaskular ketika penghalang darah otak yang utuh merangsang gradien medan magnet lokal di tempat pembuluh darah kapiler. Suatu sinyal yang hilang diamati ketika agen kontras bergerak masuk dan keluar dari jaringan. Aliran darah otak regional dan waktu transit yang relatif juga dapat dihitung. Namun, aliran darah otak regional tidak dapat dihitung secara akurat, kecuali profil konsentrasi pasokan arteri pada jaringan yang dikenal. Satu atau lebih dari peta hemodinamik ini kemudian dapat ditampilkan bersama dengan urutan pencitraan lainnya. 31 Selain injeksi agen kontras, pencitraan aliran darah dapat dilakukan oleh pelabelan magnetis proton air. Hal ini menyediakan metode yang sama sekali noninvasif untuk pencitraan perfusi menggunakan air jaringan dan agen kontras endogen. Meskipun PWI secara luas dianggap penting untuk triase stroke terapi, harus disadari bahwa PWI yang dilakukan dengan teknik berbeda dapat menunjukkan volume berbeda pula secara signifikan dari jaringan yang terkena. Oleh karena itu, perbandingan ukuran lesi pada PWI dengan gambar DWI mungkin berbeda secara signifikan dengan mengubah metodologi perfusi.31



Gambar 22. Iskemia akut di cabang terminal dari arteri serebri kiri tengah saat 12 jam setelah onset.



10



Berdasarkan gambar di atas terlihat pencitraan T2WI (a), DWI (b) menunjukkan perubahan sinyal di area lobus parietalis kiri (panah). DWI menggambarkan volume lesi yang lebih baik. Gambar PWI (c, d). 2.4.3 Gambaran Patologis DSA pada Stroke Iskemia Angiografi visualisasikan-



serebral



anatomi



tetap



menjadi



serebrovaskular.



standar Namun,



emas dengan



untuk



mem-



meningkatnya



ketersediaan dan keandalan CTA dan MRA, DSA lebih jarang digunakan untuk tujuan murni diagnostik dan lebih sering untuk intervensi. Pada hiperakut stroke, angiografi serebral biasanya dilakukan ketika direncanakan pengobatan trombolisis intra-arteri atau intervensi mekanis. Tujuan awal evaluasi angiografik pada pasien dengan stroke iskemia yaitu untuk menggambarkan lokasi oklusi dan adanya kolateral ke daerah yang terkena. Sebagian besar pasien dengan stroke iskemia akut yang ditemukan memiliki oklusi arteri persisten. Sebagian besar (50–60%) dari oklusi arteri ditemukan dalam MCA dan arteri karotis interna (15– 25%). Sekitar 10% dari individu memiliki oklusi dalam sistem vertebrobasilar. Oklusi arteri pada stroke akut dinilai menggunakan sistem Qureshi. Skor pada skema grading dapat memprediksi rekanalisasi paska terapi dan tingkat pemulihan neurologis serta kematian 7 hari setelah tindakan terapi. Pola pengisian pembuluh darah yang abnormal, seperti aliran anterograde lambat dengan stasis kontras berkepanjangan, pengisian retrograde melalui jalur kolateral, dan arteriovenous shunting membantu dalam karakterisasi infark serebral pada pembuluh darah tersumbat.32 Dalam keadaan subakut, angiografi serebral digunakan untuk mengkonfirmasi tingkat keparahan patologi serebrovaskular. Modalitas non-invasif seperti CTA, MRA, dan USG, dalam sebagian besar kasus, mampu mengidentifikasi adanya patologi vaskular. Namun, ketika kuantifikasi stenosis dibutuhkan (misalnya, ketika seorang pasien ditemukan memiliki penyakit arteri karotis dan sedang dirujuk untuk operasi atau prosedur endovaskular) angiografi merupakan modalitas pilihan. Selain itu, angiografi lebih sensitif dibandingkan metode non-invasif dalam mengidentifikasi penyempitan arteri di lokasi tertentu, misalnya asal arteri vertebralis dan karotis siphon33



11



Gambar 23. Skala grading Qureshi Keterangan: ACA, anterior cerebral artery; BA, basilar artery; LSA, lenticulostriate arteries; LMC, leptomeningeal collaterals; MCA, middle cerebral artery; VA, vertebral artery.



Gambar 24. Gambaran DSA pada kasus stroke iskemia. Berdasarkan Gambar 23 terlihat bagian (A) yaitu oklusi pada arteri serebri media segmen M2 kanan (panah) dan bagian (B) yaitu reperfusi setelah terapi endovaskular.33



12



2.4.4. Gambaran Computed Tomography Angiography pada Stroke Iskemia Peran utama CT angiografi adalah untuk menunjukkan arteri intrakranial dan dengan demikian dapat membantu menentukan letak oklusi, menggambarkan diseksi arteri, aliran darah kolateral, dan penyakit aterosklerosis. Informasi ini membantu secara akurat untuk memprediksi tingkat dan lokasi infark dan sangat berguna dalam memberikan bimbingan untuk neuroradiologi intervensi sebelum melakukan trombolisis intraarterial jika tersedia. CTA juga dapat memberikan gambaran yang terbaik pada trombus dalam aneurisma besar yang tidak dapat divisualisasikan oleh DSA dan dapat mempengaruhi perawatan bedah atau terapi endovaskular.34 CT angiografi sangat penting untuk mendeteksi trombosis dari sistem vertebrobasilar karena daerah ini sangat sulit untuk dideteksi oleh nonenhanced CT dan batang otak sering tidak termasuk dalam cakupan CT perfusi. Perangkap utama sering disebabkan oleh oklusi arteri basilar yang terlewatkan karena nonenhanced CT. Pada kondisi ini dilakukan CT perfusi, tetapi tidak dilakukan CT angiografi. CT angiografi dapat membantu mendeteksi adanya filling defect yang mengisi pembuluh darah yang disebabkan oleh trombosis arteri besar dengan sensitivitas 89% dibandingkan dengan angiografi konvensional.28



(a) (b) Gambar 25. Gambaran Stroke akut pada wanita 43 tahun yang telah kehilangan kesadaran.



13



Gambar 26. Pemeriksaan CT angiografi. Gambar di atas merupakan temuan di awal nonenhanced CT normal dan CT angiografi tidak dilakukan. Bagian (a) yaitu tindak lanjut nonenhanced CT scan (36 jam evolusi) menunjukkan otak tengah hypoattenuating (panah) dan arteri basilar hyperattenuating (panah). Bagian (b) CT angiogram membantu mengkonfirmasi cacat pengisian arteri basilar (panah) terkait dengan pons infark dan obstruksi arteri basilar.34 2.4.5 Gambaran MRA pada Stroke Iskemia Magnetic resonance angiography (MRA) merupakan sebuah teknik berdasarkan magnetic resonance imaging (MRI) untuk menggambarkan pembuluh darah. Magnetic resonance angiography digunakan untuk menghasilkan gambar arteri (dan kurang umum untuk vena) dalam rangka untuk mengevaluasi adanya stenosis (penyempitan abnormal), oklusi, aneurisma (dilatasi dinding pembuluh darah, berisiko pecah) atau kelainan lainnya.35 MRA sering digunakan untuk mengevaluasi arteri leher dan otak, aorta dada dan perut, arteri ginjal, dan kaki. Metode untuk MRA didasarkan pada aliran darah dan berdasarkan fakta bahwa darah dalam pembuluh mengalir untuk membedakan pembuluh darah dari jaringan statis lainnya. Dengan demikian, dapat dihasilkan gambar pembuluh darah. Arus MRA dapat dibagi ke dalam



14



kategori PC-MRA dan TOF MRA. Fase kontras MRA (PC-MRA) memanfaatkan perbedaan fase untuk membedakan darah dari jaringan statis. Sementara itu, time of flight MRA (TOF MRA) membedakan aliran darah yang berputar akan mengalami eksitasi pulsa lebih kecil dari jaringan statis, misalnya ketika pencitraan irisan tipis.35



Gambar 27. Trombosis arteri serebral tengah kanan pada TOF MRA.



Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat 3D TOF MRA: rekonstruksi MIP di aksial (a) dan proyeksi koronal (b) dan rekonstruksi 3D (c) menunjukkan bahwa arteri serebri tidak divisualisasikan dalam setiap segmen dari seluruh panjang arteri.



Gambar 28. MRI dengan sekuens time of flight (MRA).



15



Gambar 29. Concordant lesion pada MRA. Berdasarkan Gambar 29, gambar (A) menunjukkan angiogram leher: common carotid artery (CCA) dan internal carotid artery (ICA) yang mempunyai kemampuan lebih besar daripada pasangannya. CCA kiri menunjukkan penyempitan di situs bifurkasi tingkat tinggi dan ICA kiri tidak terfisualisasikan. Vertebral kiri dominan. Intrakranial (IC) angiografi (MRA): L middle cerebral artery (MCA) mengisi dari sisi kanan, dan ini menjelaskan alasan mengapa meskipun tidak adanya bagian IC pada ICA, tapi hanya infark watershed yang terlihat (B). Gambar fluid attenuated inversion recovery (FLAIR) menunjukkan infark pada zona DAS sisi kiri (C).35 2.4.6 Gambaran TCD pada Stroke Iskemia TCD secara luas digunakan di beberapa negara untuk mendeteksi stenosis intrakranial yang biasanya disebabkan oleh penyakit atheromatus/ atherosklerosis. Stenosis dapat teridentifikasi dengan adanya tingginya kecepatan/velocity jet yang mayoritas terdeteksi pada arteri serebri media. Stenosis intrakranial dapat terdeteksi pada beberapa pasien stroke akut.39 Stenosis pada arteri intrakranial menyebabkan abnormalitas TCD yang khas. Stenosis ringan akan meningkatkan peak velocity yang sering kali tanpa perubahan lain dari pola Doppler. Stenosis sedang sampai berat menyebabkan peningkatan peak velocity yang lebih besar, disertai spectral broadening (pelebaran spektral), peningkatan kecepatan diastolik, dan terbentuk aliran turbulen.37



16



Gambar 30. Gelombang velocity yang tergambar dari TCD pada pasien dengan stenosis arteri serebri media yang berat. Bentuk gelombang ditunjukkan pada Gambar 15. Catatan area fokal pada kecepatan tinggi pada MCA kanan. MCA: middle cerebral artery; ACA: anterior cerebral artery; PCA: posterior cerebral artery; OA: ophtalmic artery; CS: carotid siphon; VA: vertebral artery; BA: basilar artery.



Pada contoh kasus pasien dengan stenosis MCA berat, didapatkan data sebagai berikut. Tabel 2. Transcranial Doppler ultrasonography pada pasien dengan tight right middle stenosis serebral arteri Patient values Normal values



Depth (mm)



Velocity (cm/sec)



Artery



Depth (mm)



velocity (cm/sec)



Right



Left



Right



Left



MCA ACA PCA OA CS VA BA



50–55 65 70 45–55 70 60–80 85 –100



62 ± 12 52 ± 12 42 ± 10 24 ± 8 54 ± 13 36 ± 9 42 ± 10



45/55/60/65 65 70 55 70 70 85



55 70 70 55 70 70



190/>200/>200 40 40 35 35 25 30



50 40 30 35 35 25



17



5 – Normal



4 – Stenotic 3 – Damperred 2 – Blunted 1 – Minimal 0 – Absent Gambar 30 Tingkat aliran TBI (0–5). Penurunan drastis dari peak velocity sering terjadi pada segmen distal stenosis, saat stenosis melebihi 60–80%. Beberapa penelitian melaporkan adanya korelasi yang baik antara abnormalitas TCD dan stenosis yang tergambar secara angiografi.37



Gambar 31. Angiografi pada pasien yang sama (contoh kasus di atas) menunjukkan filling defek/stenosis pada arteri serebri media kanan.



18



Gambar 32. Oklusi akut intrakranial. Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat “intracranial sausagelike” thrombus pada MCA dan sisa aliran yang tergambar dari digital substraction angiography (gambar kiri bawah), dan PMD atau M-mode TCD (gambar kanan bawah). Magnetic resonance angiography menunjukkan flow void pada lokasi trombus. Gambar menunjukkan ultrasound beam pathway. Single-gate spectral display dan fokus insonasi ditunjukkan dengan tanda bintang (*) dan panah putih.37



Gambar 33. Deteksi M-mode TCD terhadap rekanalisasi komplit dari MCA stem.



Gambar di atas merupakan data dari seorang laki-laki 62 tahun dengan skor NIHSS 12 yang telah diterapi dengan 0,9 mg/kg TPA intravena pada 112 menit setelah onset stroke. Saat bolus TPA, PMD menunjukkan tingginya resistensi pada jalur aliran di mid-M1 MCA dan terdeteksi aliran pada MCA



19



kontralateral yang mengindikasikan bahwa insonasi window transtemporal sudah baik. Pada 30 menit, PMD menunjukkan proses rekanalisasi dengan resistensi damped pada proksimal dan mid-MCA, dan resistensi yang tinggi pada M1 proksimal M2 MCA. Gambar spektral TCD menunjukkan perbaikan aliran dari damped (= lembah) menjadi sinyal stenotik yang tinggi. Mikroemboli juga dapat terlihat pada PMD dan TCD (panah). Pada 60 menit, PMD dan TCD menunjukkan aliran dengan resistensi rendah pada distal M1–M2 yang mengindikasikan rekanalisasi komplit MCA. Sudut insonasi sedikit diatur untuk memfokuskan beam pada segmen proksimal M1 (pre-TPA) dan cabang M2 (60 menit).38 Stenosis MCA, ACA, intrakranial ICA, dan BA juga dapat teridentifikasi dengan TCD. Tidak adanya sinyal MCA pada depth yang biasanya ditemukan MCA (50–60 mm), sedangkan sinyal ACA and PCA tetap tertangkap baik. Hal ini mengindikasikan window temporal intak, namun tidak ada aliran pada MCA. Tidak ditemukannya sinyal ACA atau PCA bukanlah indikator tepat adanya oklusi bila window transtemporal tergambar adekuat.37



Gambar 33. Stenosis MCA: velocity meningkat dengan “musical murmur” yang mengindikasikan stenosis berat, pada depth 45 mm pada MCA kiri. 2.4.7 Gambaran Stroke Iskemia Berdasarkan Waktu Temuan pada CT dan MRI berubah dengan cepat pada minggu awal setelah infark. Hal ini mencerminkan perubahan mendasar yang relatif mirip



20



secara patofisiologis. Pada bagian ini akan dijelaskan setiap fase berdasarkan waktu infark dan gambaran pada CT dan MRI (Tabel 3).39 Tabel 3 Gambaran MRI pada stroke iskemia Tahap



T1W1



Hiper akut (0-6 jam)



Isointes, Isointens kemungkinan beberapa kehilangan sulci



Akut (6 Intensitas jam-4 hari) rendah, efek massa



Tahap



T1W1



Subakut (4-14 hari)



Kronis



T2W1



Intensitas tinggi



DWI



ADC



Cerah



Rendah



Cerah



T2W1



DWI



ADC



Intensitas tinggi



Intensitas tinggi sekunder sampai bersinar melalui T2



Pseudonormalisasi



Intensitas tinggi



Intensitas tinggi sekunder sampai bersinar melalui T2



Intensitas tinggi



Tinggi



e. Infark hiperakut (0-6 jam) Kejadian awal yang mengarah ke infark yaitu insufisiensi vaskular karena oklusi fokal proksimal, distal, atau stenosis. Dalam kebanyakan kasus pencitraan rutin, tidak akan menunjukkan oklusi kecuali bila ada oklusi emboli pembuluh darah besar (misalnya MCA atau arteri basilaris). Oklusi vaskular menyebabkan penurunan perfusi yang cukup parah atau berkepanjangan sehingga memulai terjadinya kaskade iskemia. Dalam waktu 5 menit hipoksia, pompa membran normal yang menjaga kesenjangan antara tingginya konsentrasi natrium ekstraselular dan rendahnya natrium intraselular gagal melakukan tugasnya. Natrium memasuki sel dan masuknya natrium tersebut menghasilkan peningkatan



21



osmotik. Air memasuki sel secara pasif kemudian menciptakan edema sitotoksik. Selain itu, kalsium memasuki sel yang pada gilirannya akan mengaktifkan enzim intraselular yang mulai melisiskan organel intraselular dan endapan protein. Ini menghasilkan lisis sel dan pelepasan asam amino perangsang (glutamin dan glutamat) dan zat vasoaktif yang selanjutnya mempengaruhi status metabolisme sel-sel yang berdekatan.39 Selama fase hiperakut, CT mungkin normal atau kemungkinan juga menunjukkan tanda dense vessel, ketika ada oklusi emboli dari pembuluh darah proksimal (Gambar 21).



Gambar 34. CT infark hiperakut-subakut Berdasarkan Gambar 34 terlihat bagian (A) menunjukkan gambar aksial pada tingkat sirkulus Willis pada 3 jam yang menunjukkan hiperdens di proksimal arteri serebral tengah sisi kiri, menunjukkan oklusi emboli pada proksimal (panah). Bagian (B) menunjukkan fokus hiperdens di fisura sylvii kiri yang merupakan indikasi dari emboli distal (panah). Bagian (C) menunjukkan fokus hiperdens di ujung arteri basilar tampak pada 4 jam tanpa bukti lain infark (panah). Bagian (D) menunjukkan pemeriksaan ulangan pada 24 jam kemudian menunjukkan hiperdens basilar yang menetap dengan edema baru dari batang otak dan atas kiri dari serebellum, menunjukkan infark akut. Catatan: hidrosefalus dengan kornu temporal yang melebar (panah) sekunder untuk infark akut serebellar.38 Temuan awal pada parenkim yaitu hilangnya intensitas grey matter normal tanpa adanya efek massa. Grey matter menjadi isodens terhadap white matter yang berdekatan sehingga- menyebabkan hilangnya normal cortical ribbon (Gambar 35) atau kehilangan kemampuan untuk mem-bedakan- basal ganglia atau thalamus dari kapsula interna.39



22



Gambar 35. Gambaran yang menunjukkan hilangnya normal cortical ribbon. Jika kita perhatikan gambar di atas, bagian (A) menunjukkan pemindaian pada 4 jam awal menunjukkan hilangnya intensitas kortikal normal bersama insula (insula ribbon sign) dan kelengkungan gyrus (panah). Perhatikan bahwa sulkus terlihat karena tidak ada efek massa. Bagian (B) menunjukkan pemeriksaan ulang pada 36 jam menunjukkan hipodens absolut yang merata pada white-grey matter sesuai teritori arteri serebral tengah kanan. Efek massa hadir dengan hilangnya sulkus. Batas infark yang jelas dan lurus (panah). Bagian (C) menunjukkan pemeriksaan ulang pada 4 hari menunjukkan peningkatan efek massa ditandai dengan herniasi subfalkine. Tampak lesi hiperdens dalam infark yang merupakan perdarahan reperfusi (panah).39



Gambar 36. Tampak gambaran insula kanan yang menghilang (insula ribbon sign). Hilangnya intensitas kortikal dapat terjadi pada 3 jam awal tapi biasanya lebih yaitu membutuhkan 4 sampai 6 jam untuk berkembang. Temuan ini sangat halus dan sering terlewat oleh pengamat berpengalaman. Munculnya PACS telah memfasilitasi deteksi infark hiperakut. Seseorang dapat meningkatkan deteksi hilangnya intensitas grey matter dengan mempersempit jendela pada gambar CT



23



sehingga menonjolkan perbedaan intensitas abu-abu dan putih (Gambar 24). Selain itu, akan sangat membantu untuk melihat beberapa irisan secara bersamaan. Infark hiperakut yang dapat terdeteksi biasanya relatif besar. Sementara itu, melihat gambar secara bersamaan akan dapat meningkatkan kemungkinan untuk mendeteksi kelainan ini.39



Gambar 37 Akut infark pada basal ganglia Pada gambar di atas, bagian (A) menunjukkan CT scan sekitar 4 jam, menunjukkan hipodens relatif di basal ganglia kanan dibandingkan dengan kiri (panah panjang). Hipodens normal di kapsula interna yang terlihat di sebelah kiri (panah pendek) tidak dapat dibedakan dari ganglia basal yang berdekatan karena hipodens ini. Bagian (B) menunjukkan diffusion-weighted MR sekitar 1 jam setelah CT menunjukkan hiperintens yang jelas.39 Dengan CT tanpa kontras dapat dengan mudah dan handal untuk menyingkirkan



stroke



karena



perdarahan,



menunjukkan



trombus



dan



menunjukkan tanda-tanda awal iskemia otak. Hal ini penting untuk membedakan tanda-tanda edema otak, seperti kehilangan insular ribbon, mengaburkan nukleus lentikular, hilangnya diferensiasi white-grey matter, dan pendataran sulkal dari daerah hypoattenuation.40



24



Gambar 38. Penggunaan irisan tipis. Jika kita perhatikan gambar di atas bagian (A) menunjukkan CT scan sekitar 5 jam, menunjukkan hilangnya- intensitas grey matter normal pada insula kiri, kortek girus kiri, dan basal ganglia kiri (perhatikan ketidak- mampuan- untuk meng-identifikasi-



kapsula



interna



dan



kapsula



eksterna).



Bagian



(B)



menunjukkan- bagian yang sama dengan irisan tipis untuk meningkatkan visualisasi hilangnya intensitas grey matter normal.40 Cara lainnya adalah untuk menilai gambar dari pemeriksaan CTA dilakukan sebagai bagian dari multimodal CT untuk pencitraan pada infark akut. Otak yang normal akan menjadi hiperdens karena kontras intravascular, sedangkan otak yang mengalami infark tidak akan berubah dalam intensitasnya sehingga membuat infark terlihat lebih jelas (Gambar 39).40



Gambar 39. Computed tomography angiography (CTA) dalam mendeteksi infark hiperakut. Berdasarkan gambar di atas, bagian (A) merupakan gambar tanpa kontras, menunjukkan hilangnya densitas grey matter yang normal di distribusi arteri serebral tengah kiri (MCA). Bagian (B) menunjukkan gambar CTA menunjukkan



25



hipodens relatif jelas di MCA kiri dan distribusi arteri serebral anterior. Lesi tampak lebih jelas dan lebih luas daripada gambar tanpa kontras. Hilangnya intensitas kortikal biasanya digambarkan sebagai edema sitotoksik. Dalam edema sitotoksik, ada pergeseran air dari ruang ekstraselular ke ruang intraselular tanpa peningkatan dalam jumlah total air jaringan. Selain itu, pada tahap ini infark sering ada hiperintens yang sedikit atau tidak ada pada FLAIR dan T2WI (Gambar 40). Penyebabnya lebih mungkin dari perubahan awal pada CT karena menurunnya aliran darah otak. Grey matter lebih gelap daripada white matter karena memiliki volume darah yang lebih tinggi. Volume darah yang menurun membuat grey matter menjadi isodens terhadap white matter. Konsep ini membantu menjelaskan beberapa pengamatan mengenai infark akut yang biasanya memakan waktu sekitar 24 jam untuk hipodens pada basal ganglia yang terlihat dalam cedera anoxic akut (misalnya menghirup asap dan hampir tenggelam). Penundaan relatif ini dalam perkembangan hipodens mencerminkan fakta bahwa pada cedera anoxic tidak ada penurunan aliran darah, melainkan terjadi penurunan kadar oksigen dalam darah. Telah diamati bahwa infark yang terlihat jelas pada CT dalam waktu 4 jam dari onset gejala memiliki prognosis yang lebih buruk daripada infark dengan ukuran sama yang tidak tampak hingga 6–12 jam. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena adanya defisit perfusi yang lebih mendalam sehingga infark ini menjadi jelas dalam beberapa jam pertama. Salah satu cara untuk meningkatkan deteksi infark adalah melalui evaluasi CTA. Grey matter biasanya menjadi hiperdens dibandingkan dengan otak yang mengalami infark.39



Gambar 40 Infark hiperakut yang menunjukkan penggunaan computed tomography (CT) lebih baik daripada FLAIR.



26



Jika kita perhatikan gambar di atas maka terlihat bagian (A) menunjukkan CT scan pada 3 jam pertama menunjukkan hilangnya densitas grey matter normal pada insula basal ganglia kiri dan korteks frontal dan parietal tanpa efek massa. Bagian (B) menunjukkan gambar FLAIR diperoleh pada 4 jam pertama tidak menunjukkan hiperintens di daerah yang terkena. Bagian (C) menunjukkan diffusion-weighted image menunjukkan hiperintens luas di basal ganglia dan korteks merupakan gambaran infark hiperakut. Bagian (D) menunjukkan pada diffusion coefficient map menunjukkan hipointens difus yang merupakan gambaran akibat difusi yang terbatas.39 Meskipun infark besar dalam wilayah MCA dapat dideteksi dalam waktu 6 jam pada sekitar 75% kasus (pembacaan oleh ahli), namun demikian, sensitivitas secara keseluruhan untuk mendeteksi semua infark pada CT hanya 45% pada 24 jam pertama. Rendahnya sensitivitas ini terjadi karena buruknya kinerja CT dalam mendeteksi infark kecil di kortikal, infark serebellar, dan infark white matter. Bahkan ketika infark terdeteksi, sejauh mana sebenarnya luas yang terkena infark sulit untuk ditentukan. Salah satu kontraindikasi utama untuk penggunaan TPA intravena adalah infark dengan ukuran yang luas (infark yang melibatkan lebih dari sepertiga dari distribusi MCA). Peran utama CT tanpa kontras adalah untuk mengidentifikasi infark hemoragik dan untuk mengecualikan proses seperti perdarahan noniskemik (misalnya perdarahan karena hipertensi), massa, atau infeksi yang klinisnya seperti stroke. Karena keterbatasan ini, evaluasi CT infark dalam fase hiperakut harus dilakukan bersamaan dengan CTA dan CTP (multimodal CT). CTA dapat menunjukkan keberadaan dan lokasi stenosis atau oklusi, dan CTP dapat menentukan apakah ada bagian otak yang dapat diselamatkan oleh terapi trombolitik (Gambar 41).39



27



Gambar 41 Multimodal computed tomography (CT) dalam penilaian infark akut. Berdasarkan Gambar 28, bagian (A) menunjukkan unenhanced CT scan pada sekitar 4 jam menunjukkan hipodens di lateral kanan posterior dari basal ganglia dan insula (panah). Bagian (B) menunjukkan sumber gambar dari CT angiography (CTA) menunjukkan fokal defek mengisi di arteri serebral media (MCA) kanan proksimal dari bifurkasi (panah). Bagian (C) merupakan CTA gambar yang menunjukkan oklusi cabang MCA proksimal (panah). Catatan: CTA gambar kanan-kiri terbalik. Bagian (D) menunjukkan CT perfusi (CTP) volume darah otak (CBV) peta menunjukkan fokus penurunan volume di wilayah otak yang hipodens pada CT. Peta aliran darah otak (CBF) (E) dan rata-rata waktu transit (MTT) (F) menunjukkan inti infark otak dikelilingi oleh wilayah besar yang mengalami penurunan perfusi (otak berisiko-penumbra).39 Beberapa temuan MRI yaitu adanya insufisiensi pada vaskular (Gambar 42). Penting untuk diingat bahwa hipointens intraluminal khas adalah akibat dari efek aliran daripada sinyal intrinsik darah. Darah merupakan cairan protein yang relatif isointens T1 dan pada T2 hiperintens. Darah setelah pemberian kontras menjadi T1 hiperintens. Ketika aliran melambat maka sinyal intrinsik darah dapat “ditangkap”. Oklusi kronis atau aliran yang sangat lambat dalam pembuluh besar (misalnya arteri karotis) dimanifestasikan oleh isointens sehingga hiperintens pada T1WI dan hiperintens pada T2WI. Infark hiperakut adalah T1 isointens dan T2 isointens hingga agak hiperintens. T2 hiperintens paling bermakna di FLAIR (kadang-kadang hanya dalam retrospeksi) dan biasanya terbatas pada grey matter



28



pada infark tromboemboli. Dalam 24 jam pertama, FLAIR hiperintens terlihat pada sekitar 80% kasus, tetapi terlihat dalam waktu kurang dari 6 jam pada dua per tiga dari kasus yang dipelajari.39



Gambar 42. Insufisiensi vaskular pada MRI. Berdasarkan Gambar 42, bagian (A) merupakan sebuah gambar gradient echo MRI menunjukkan hiperintens berdekatan dan hipointens di wilayah arteri karotis interna distal dan arteri serebral media. Bagian (B) merupakan CT scan menunjukkan hiperdens di segmen horizontal dari arteri serebral media kanan (MCA) (panah). Bgaian (C) menunjukkan gradient echo scan pada pasien yang sama menunjukkan hipointens tidak adanya hiperintens akibat mengalirnya darah bila dibandingkan ke MCA kiri (panah). Bagian (D) menunjukkan anteroposterior kateter angiogram dari arteri karotid kanan menunjukkan oklusi lengkap dari arteri karotis interna. Bagian (E) menunjukkan gradient echo MRI menunjukkan fokus hipointens, menunjukkan gumpalan akut (panah). Bagian (F) menunjukkan gambar FLAIR menunjukkan intraluminal hiperintens pada distal dari clot, indikasi aliran yang lambat (panah).39 Diffusion-weighted imaging akan meningkatkan sensitivitas untuk mendeteksi infark akut lebih besar dari 90% pada periode hiperakut (Gambar 43). Gambar 44 DWI hiperintens dengan peta ADC hipointens dapat dilihat dalam beberapa menit dari timbulnya iskemia pada hewan coba dan dalam kasus-kasus klinis di mana pasien mengalami kegagalan dalam menampilkan infark selama atau sebelum pemeriksaan MRI. Perubahan awal ini merupakan hasil dari edema



29



sitotoksik. Pada 5% sampai 10% dari kasus, studi awal DWI adalah normal ketika terdapatnya infark (seperti ditegaskan oleh temuan klinis atau studi pencitraan berikutnya). Sebagian besar dari kasus-kasus ini yaitu infark kecil di batang otak inferior atau infark serebellar yang dikaburkan oleh artefak dari dasar tengkorak (Gambar 45). Sensitivitas DWI mengalami penurunan dalam rentang waktu 8–16 jam, yaitu waktu periode pemulihan parsial dari fungsi selular sehingga mengakibatkan resolusi transien DWI dan kelainan ADC.39



Gambar 43. Infark emboli hiperakut: CT pada 3 jam, MRI pada 3 jam 30 menit. Jika kita perhatikan Gambar 30, bagian (A) merupakan CT yang menunjukkan hilangnya diferensiasi putih abu-abu di lobus oksipital kanan (panah). Bagian (B) merupakan gambar FLAIR yang menunjukkan halus T2 hiperintens di gyri temporal dan oksipital (panah). Bagian (C) merupakan difusion-weighted imaging yang menunjukkan hiperintens di gyri yang terpengaruh. Bagian (D) merupakan peta ADC menunjukkan hipointens yang jelas, menunjukkan dibatasi difusi. Bagian (E) merupakan gradient echo scan yang menunjukkan fokus hipointens yang dicurigai di wilayah cabang arteri serebral posterior, menunjukkan gumpalan intraluminal. Bagian (F) merupakan follow-up CT scan pada 30 jam yang menunjukkan hipodens mutlak dan penipisan sulkal.39



30



Gambar 44. Infark hiperakut. Gambaran Computed tomography (CT) lebih baik daripada FLAIR. Berdasarkan gambar di atas maka bagian (A) merupakan CT scan pada 3 jam yang menunjukkan hilangnya kepadatan normal materi abu-abu di basal ganglia kiri dan korteks frontal dan parietal tanpa efek massa. Bagian (B) merupakan gambar FLAIR diperoleh pada 4 jam yang menunjukkan tidak ada hiperintens di daerah yang terkena. Bagian (C) merupakan difusion-weighted imaging yang menunjukkan hiperintens luas di ganglionic dan kortikal menunjukkan infark hiperakut. Bagian (D) merupakan apparent diffusion coefficient map yang menunjukkan hipointens yang difus mengindikasikan terjadi difusi yang terbatas.40



Gambar 45. Difusion-weighted imaging (DWI) infark akut yang negative Jika kita perhatikan Gambar 45, maka bagian (A) menunjukkan DWI awal pada pasien dengan sindroma meduler lateral pada 8 jam. Bagian (B) merupakan pemeriksaan diulangi pada 24 jam, DWI menunjukkan hiperintens halus di posterior kanan lateral medula (panah).



f. Infark akut (6 jam sampai 3 hari) Berlanjutnya iskemia akan menyebabkan kerusakan saraf dan kematian (edema sitotoksik) meningkat. Sel-sel endovaskular rusak sehingga terjadi sawar darah otak dan kebocoran cairan ke dalam ruang ekstravaskular. Dengan meningkatnya air jaringan, pembengkakan lokal otak terjadi. Ekstravasasi sel



31



darah merah juga dapat terjadi meskipun perdarahan biasanya tidak ada atau terjadi pada tingkat ringan. Gumpalan dalam pembuluh darah proksimal dapat menetap atau menuju ke pembuluh distal. Pembuluh darah kolateral leptomeningeal bisa melebar untuk memberikan beberapa perfusi ke otak yang terkena. Luas dan tingkat di mana edema vasogenik berkembang tergantung pada aliran darah ke otak yang terkena. Jika tidak ada reperfusi, edema yang terjadi ringan dan membutuhkan waktu lebih lama untuk berkembang. Jika aliran cepat diperbaiki kembali (secara spontan atau akibat pengobatan) tetapi pembuluh darah rusak, edema akan meningkat dengan cepat dan perdarahan dapat terjadi. Edema vasogenik menghasilkan hipodens yang jelas pada otak yang terkena. Pada infark tromboemboli, grey matter menjadi hipodens dan bengkak (pendataran gyri). Sulit untuk membedakan antara infark lakunar akut dan kronis berdasarkan studi tunggal CT.39



Gambar 46. Infark akut luas korteks subcortex lobus frontotemporoparietooccipital. Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat paling kiri yaitu nukleus kaudatus, kapsula interna kiri suspek karena emboli di arteri serebri media kiri segmen M1 setelah cabang lentikulostriata. Sementara itu, paling kanan menunjukkan infark lakunar subakut di kapsula interna kanan limb anterior.



32



Gambar 47. Infark akut luas di lobus frontotemporoparietooccipital kanan suspek emboli MCA kanan.



Gambar 48. Infark lakunar akut di hemisfere serebellum kiri pada MRI T1WI, T2WI dan FLAIR. T1 isointens dan T2 hiperintens (terbaik tampak di FLAIR) yang muncul di otak mengalami infark. Pada infark tromboemboli, T2 hiperintens hanya terbatas pada grey matter yang terkena.39



Gambar 49. Infark akut (24 jam) pada MRI.



33



Berdasarkan gambar di atas kita dapat melihat FLAIR (A dan B) dan diffusion-weighted (C dan D) gambar menunjukkan hiperintens di insula basal ganglia kiri dan white matter (panah di A dan C). Bagian E dan F yaitu ADC map yang menunjukkan hipointens yang merupakan tanda menurunnya difusi. Gambaran infark pada DWI hiperintens dan hipointens pada ADC merupakan tanda difusi yang menurun. Meskipun cakupan dan tingkat T2 hiperintens meningkat selama fase akut infark, tapi tingkat kelainan pada DWI relatif tetap stabil kecuali ada perkembangan infark yang progresif. Volume lesi DWI yang diukur dalam waktu 48 jam telah disarankan untuk menjadi prediktor prognosis pada stroke. Infark lakunar tampak sebagai fokus T1 isointens dan T2 hiperintens. Seperti halnya dengan CT, MRI sulit untuk membedakan infark akut dari infark kronis pada T2WI, khususnya ketika ada beberapa fokus hiperintens dari T2 pada white matter. Menemukan infark lakunar akut untuk FLAIR pada pasien usia lanjut seperti mencoba untuk menemukan "Waldo”. DWI membuat deteksi infark lakunar akut menjadi sederhana karena lesi akut akan tampak hiperintens, sementara itu infark lakunar kronis white matter dan perubahan iskemia pada DWI merupakan isointens (Gambar 50).39 Jika perhatikan lagi Gambar 50 menunjukkan bagian (A) gambar FLAIR yang menunjukkan konfluen luas dan multifokal T2 hiperintens. Bagian (B) merupakan diffusion-weighted scan yang menunjukkan hiperintens fokal pada infark akut ("Waldo") di frontal white matter subkortikal kanan (panah).



Gambar 50 Infark akut pada white matter. Hipointens pada gradient echo dapat menunjukkan perdarahan. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa urutan gradient echo lebih sensitif daripada CT dalam mendeteksi transformasi hemoragik yang kecil pada infark (Gambar 51).39



34



Gambar 51. Infark akut dengan transformasi hemoragik. Jika kita perhatikan gambar di atas bagian (A) yaitu computed tomography (CT) scan pada 36 jam yang menunjukkan hipodens di frontal kanan wilayah dari MCA kanan dengan penipisan sulcal. Tampak densitas heterogen ringan pada pusat, tetapi tidak ada bukti yang adanya perdarahan. Bagian (B) yaitu FLAIR yang menunjukkan hiperintens heterogen dengan isointens relatif gyri. Bgaian (C) yaitu gambar yang menunjukkan T2 hiperintens disertai isointens relatif di sekitarnya. Gambar (D) yaitu gradient-echo yang merupakan hipointens yang jelas menunjukkan perdarahan39 g. Infark subakut fase awal (36 jam–5 hari) Aliran darah ke bagian otak yang terkena infark biasanya dibangun kembali pada 24 sampai 72 jam setelah infark. Clot pada proksimal dan distal akan mengalami lisis dan bergerak ke hilir. Pada hari ke-3 atau ke-4, pertumbuhan pembuluh darah baru ke daerah infark dimulai. Pembuluh darah yang belum matang ini mempunyai sawar darah otak yang "bocor". Sebagai hasil dari perubahan ini, edema vasogenik meningkat dengan efek massa progresif yang biasanya mencapai puncak pada sekitar hari ke-5. Pada infark besar, efek massa dapat menyebabkan herniasi transfalcine atau herniasi transtentorial.39 h. Infark subakut fase akhir (5–14 hari) Edema akan diserap seiring dengan waktu dan sebagai hasilnya akan terjadi penurunan efek massa. Makrofag dan sel glial akan memasuki area infark dan mulai menghilangkan jaringan saraf yang mati sehingga edema sitotoksik



35



akan berakhir. Aliran darah akan kembali. Perdarahan reperfusi ringan dapat terjadi, tetapi transformasi perdarahan jarang terjadi. Densitas akan berubah menjadi lebih heterogen. Infark biasanya tetap hipodens, namun setelah edema berakhir maka mungkin ada periode sementara ketika infark adalah isodens ke otak normal (efek kabut) (Gambar 52). Efek massa akan berakhir dan mungkin akan terjadi tanda awal dari fokal atrofi.39



Gambar 52. Akhir infark subakut infark pada CT dan MRI. Perhatikan Gambar 52. Bagian (A) merupakan CT scan 3 hari setelah timbulnya gejala menunjukkan hipodens fokal di lobus frontal kiri dan nukleus kaudatus dengan efek massa ringan. Bagian (B) yaitu CT ulangan pada 11 hari menunjukkan resolusi hipodens yang hampir lengkap. Infark isodense tidak terlihat. FLAIR (C) dan DWI (D) pada hari yang sama dengan B menunjukkan hiperintens yang jelas pada pada infark (C) dengan sisa hiperintens ringan pada DWI (D) T2 shine-through.39 E: MRI pada 25 hari menunjukkan sedikit perubahan jelas di FLAIR. F: Hiperintens kortikal dalam infark pada gambar T1-weighted karena laminar nekrosis, bukan perdarahan. Hipointens pada T1 dan hiperintens pada T2 akan bertahan. Pada infark tromboemboli, perubahan intensitas ini yang paling bermakna di subkorteks white matter pada korteks yang terkena infark. Pada daerah grey matter yang terkena mungkin hampir isointens normal pada T1- dan T2-weighted. DWI menunjukkan isointens hingga hiperintens ringan. Pada Peta ADC menunjukkan hiperintens yang menunjukkan peningkatan difusi. Oleh karena itu, sisa hiperintens pada DWI adalah hasil dari T2 shine-through (lihat Gambar 52 D).39



36



Gambar 53. Infark subakut di beberapa bagian. Gambar



di



atas



menunjukkan



korteks



subkorteks



kiri



lobus



temporoparietooccipital, capsula interna limb posterior kiri, nucleus lentiformis kiri dan infark kronis nukleus lentiformis kiri, korteks subkorteks lobus frontal kiri. i. Infark kronis (lebih dari 2 minggu) Pada fase ini edema telah berakhir. Jaringan saraf yang mati akan dihilangkan dan diganti dengan gliosis dan degenerasi kistik (ensefalomalasia kistik). Infark lakunar biasanya berupa rongga kecil berisi cairan yang dikelilingi oleh zona gliosis dan kehilangan volume fokal. Tergantung pada ukuran dan lokasi dari infark, hal ini dapat menyebabkan fokal kortikal atrofi atau dilatasi fokal pada ventrikel yang berdekatan (Gambar 54). Jika infark melibatkan saluran kortikospinalis, akan ada degenerasi wallerian yaitu atrofi pedunkulus serebral sisi ipsilateral dan pons (Gambar 56).



Gambar 54. Infark kronis pada CT scan dan MRI. Berdasarkan gambar di atas terlihat bagian (A) merupakan CT scan menunjukkan fokus hipodens besar di lobus frontal kiri. Lesi lebih hipodens dari infark akut dan memiliki batas tidak teratur, batas yang agak cekung. Ada dilatasi dari ventrikel lateral kiri. Bagian (B) yaitu CT scan pada tingkat yang lebih rendah menunjukkan atrofi dari pedunkulus serebral sisi ipsilateral (degenerasi wallerian). Bagian (C) yaitu FLAIR yang dilakukan 1 hari setelah CT



37



menunjukkan pengumpulan cairan besar dengan batas hiperintens pada T2 menunjukkan ensefalomalasia kistik.39



Gambar 55. Infark kronis di lobus frontotemporal kanan, nukleus kaudatus kanan, korona radiata kanan. Senile brain atrophy.



Gambar 56. Infark kronis dengan degenerasi wallerian. Jika kita perhatikan Gambar 56 terlihat bagian (A) yaitu FLAIR gambar pada tingkat basal ganglia menunjukkan T2 hiperintens di kapsula interna limb posterior kiri dengan dilatasi ventrikel lateral sisi ipsilateral. Bagian (B) dan (C) yaitu gambar aksial FLAIR pada tingkat mesensefalon (panah), dan medulla menunjukkan atrofi fokal dari batang otak dan T2 hiperintens pada seluruh jaras kortikospinalis.39 Gambaran infark otak pada T1 adalah hipointens dan T2 hiperintens. Korteks sering terkena T1 hiperintens karena laminar nekrosis (bukan perdarahan atau kalsifikasi). Ensefalomalasia kistik muncul sebagai wilayah dengan intensitas cairan (T1 hipointens, T2 hiperintens, dan FLAIR hipointens) dikelilingi oleh T2 hiperintens yang terbaik dinilai di FLAIR. Pada DWI, infark kronis akan isointense hingga sedikit hipointens. Pada ADC maps, infark akan hiperintens karena peningkatan difusi dalam otak infark yang hiposeluler. Infark lakunar memiliki karakteristik intensitas yang sama seperti ensefalomalasia kistik, meskipun dalam skala yang lebih kecil. FLAIR sangat penting untuk



38



membedakan infark lakunar kronis dari perubahan iskemia kronis (tidak adanya sentral hipointens) dan pelebaran ruang perivaskular (tidak adanya FLAIR hiperintens perifer). Gambaran degenerasi wallerian menghasilkan fokal atrofi dan minimal hiperintens pada T2 di batang otak dan pons.39 2.5 Tatalaksana Tatalaksana yang komprehensif dibutuhkan dalam penanganan kasus stroke iskemik maupun stroke hemoragik. Pentalaksanaan ini sendiri dapat dibagi menjadi dua yaitutatalaksana umum dan tatalaksana khusus pada stroke iskemik menurut guideline stroke tahun 2011 oleh PERDOSSI.41 2.5.1



Tatalaksana umum di IGD dan ruang rawat



1. Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan -



Pemantauan status neurologis, nadi tekanan darah, suhu dan saturasi oksigen dalam 72 jam pertama.



-



Pemberian oksigen jika saturasi < 95%.



-



Pemasangan pipa orofaring pada pasien tidak sadar, pemberian bantuan ventilasi pada pasien penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan nafas.



-



Intubasi endotracheal (ETT) atau LMA pada pasien hipoksia (pO2 < 60 mmHg atau pCO2 > 50 mmHg) syok, atau pada pasien yang berisiko untuk mengalami aspirasi. Pipa ETT tidak dianjurkan terpasang lebih 2 minggu, jika lebih lakukan trakeostomi.



2. Stabilisasi hemodinamik -



Pemberian cairan kristaloid atau koloid intravena, dan hindari cairan hipotonik seperti glukosa.



-



Bila TDS dibawah 120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, berikan vasopresor secara titrasi, seperti dopamine dosis sedang/tinggi, norepeinferin atau epinefrin dengan target TDS berkisar 140 mmHg



-



Pemantauan jantung harus dilakukan 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke.



-



Bila terdapat penyakit jantung segera atasi (konsul jantung).



39



3. Pengendalian peninggian tekanan intracranial -



Pemantauan ketat pada kasus dengan risiko edema serebri dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada harihari pertama setelah serangan stroke.



-



Sasaran TIK < 20 mmHg dan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.



-



Penatalaksanaan peningkatan TIK meliputi: 1) Meninggikan posisi kepala 20-30o. 2) Memposisikan pasien dnegan menghindari penekanan vena jugular. 3) Menghindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik. 4) Menghindari hipertermia. 5) Menjaga normovolemia. 6) Pemberian Osmoterapi atas indikasi: 



Manitol 0.25 – 0.50 gr/KgBB selama 20 menit, diulangi setiap 4 – 6 jamdengan target osmolaritas ≤ 310 mOSm/L.







Jika perlu berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/ Kg BB IV.



7) Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35-45 mmHg). Hiperventilasi mugkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif. 8) Paralisis neuromuskular yang dikombinasikan dnegan sedasi untuk mengurangi TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena akibat batuk. 9) Drainase ventrikular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik serebelar. 10) Tindakan bedah dekompresif pada iskemik serebelar yang menimbulkan efek masa. 4. Pengendalian kejang a. Bila kejang beri diazepam IV bolus lambat 5 -20 mg dan diikuti oleh fenitoin dosis bolus 15-20 mg/kg dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.



40



b. Obat kejang lain yang dapat diberikan adalah valproate, topiramat, atau levetirasetam, sesuai dengan klinis dan penyulit pasien. c. Bila kejang belum teratasi rawat ICU. 5. Pengendalian suhu tubuh a. Pasien stroke disertai febri harus diobati dengan antipiretik (asetaminofen) dan diatasi penyebabnya. b. Pada pasien denan berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur (trakeal, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikular, analisis cairan serebrosinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis. 6. Terapi cairan a. Pemberian cairan isotonis NaCl 0.9%, ringer laktat, dan ringer asetat, dengan tujuan menjaga euvolemia. CVP dipertahankan antara 5-12 mmHg. b. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hindari, kecuali pada keadaan hipoglikemia. 7. Nutrisi a. Nutrisi enteral paling lambar harus segera diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya boleh diberikan bila hasil tes fungsi menelan baik. b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan diberikan melalui pipa nasogastrik. c. Pada keadaan akut kebutuhan kalori 25-30kkal/kg/hari dengan komposisi: i. Karbohidrat 30-40 % dari total kalori. ii. Lemak 20-35% (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 3555%). iii. Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4 – 2.0 g/ KgBB/ hari (pada gangguan fungsi ginjal 220/120 mmHg. - Tekanan darah diturunkan perlahan-lahan, sehingga tidak menurunkan aliran darah otak. - Nikardipin 5mg/jam IV. - Atau ARB, ACEI, BB, diuretik.41 d. Manajemen gula darah Sesuai tatalaksana DM, menggunakan obat hipoglikemia oral dan insulin. e. Pemberian antiplatelet 1) Pemberian aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24 sampai 48 jam setelah awitan stroke dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut. 2) Aspirin tidak boleh digunakan tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi akut pada stroke, seperti pemberian rTPA intravena. 3) Pemberian klopidogrel saja atau kombinasi dengan aspirin,



42



pada stroke iskemik akut tidak dianjurkan, kecuali pada pasien indikasi spesifik misalnya, angina pektoris tidak stabil, no Q wave MI atau recent stenting. 4) Pemberian antiplatelet intravena yang menghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa tidak dianjurkan.



f. Pemberian neuroprotektor belum menunjukan hasil yang efektif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan. Namun citicolin sampai saat ini masih memberimanfaat pada stroke akut. Penggunaaan citicolin pada stroke iskemik akut dengan dosis 2 x 1000 mg intravena 3 haridan dilanjutkan dengan oral 2 x 1000 selama 3 minggu. Penelitian yang dilakukan PERDOSSI menunjukan pemberian plasmin oral 3 x 500 mg pada 66 pasien di 6 rumah sakit pendidikan di Indonesia memberi manfaat.41



2.6 Prognosis Prognosis setelah terjadinya stroke tergantung kepada umur, etiologi stroke itu sendiri, derajat keparahan defisit neurologis dan tingkat ketergantungan, dan beban komorbiditas. Pada penelitian kohort yang dilakukan di US terdapat 10.000 pasien yang dirawat dengan stroke iskemik, memiliki tingkat mortalitas pada tahun pertama dan tahun keempat secara berturut-turut sebesar 24,5% dan 41.3 %, dan dengan tingkat kekambuhan sebesar 8.0 % dan 18.1 %.42



43



BAB 3 KESIMPULAN 1. Kejadian stroke menyebabkan berkurangnya atau terhentinya aliran darah yang mengakibatkan kematian sel-sel otak. Hal ini menjadikan serangan stroke sebagai keadaan darurat medis. 2. Setelah pasien stroke mendapatkan penananganan medis awal, dokter akan melakukan pencitraan otak, dapat melalui CT scan, MRI, dan beberapa pencitraan vaskular untuk memastikan jenis stroke yang diderita pasien. 3. Pada saat ini, pencitraan vaskular yang sudah berkembang antara lain digital



subtraction



angiography



(DSA),



computed



tomography



angiography (CTA), magnetic resonance angio- graphy (MRA), dan transcranial color doppler (TCD). 4.



Metode neuroimaging selalu memainkan peranan penting pada diagnosis stroke, termasuk dalam mengeksklusi patologi otak atau dalam estimasi lesi yang dapat diakses melalui pembedahan.



5. Computed tomography perfusi melukiskan jaringan iskemia(penumbra) dengan menunjukkan peningkatan waktu transit yang berarti penurunan aliran darah otak (CBF) dan volume darah otak normal atau meningkat (CBV), sedangkan jaringan infark bermanifestasi dengan nyata menurun CBF dan CBV menurun. 6. CT angiography dapat menggambarkan letak oklusi dan membantu mencirikan penyakit aterosklerosis pada karotis. 7. CT sangat sensitif untuk penggambaran lesi hemoragik dan peran kunci CT tanpa kontras adalah deteksi perdarahan atau penyakitlain yang mirip stroke (misalnya neoplasma dan malformasi arteri) yang bisa menjadi penyebab defisit neurologis. 8. Evaluasi rutin pasien stroke iskemia (terutama di tahap infark subakut dan



kronis) biasanya mencakup beberapa bentuk T1-weighted dan T2weighted spin echo atau fast spin echo dan tambahan gradien echo imaging



untuk



perdarahan.



44



DAFTAR PUSTAKA 1. Ennen KA, 2014. Knowledge of stroke warning symptoms and risk factors: variations by rural and urban categorie. Thesis. Chicago. University of Illinois.



2. Stroke Forum, 2015. Epidemiology of stroke. Diakses tanggal 27 Agustus 2019 dari: http://www.strokeforum.com/strokebackground/epidemiology.html 3. American Heart Asoociation, 2014. Heart disease and stroke statistics. Diakses tanggal 27 Agustus 2019 dari: http://circ.ahajournals.org/content/early/2013/12/18/01.cir.0000441139.02 102.80 4. World Health Organization, 2014. The atlas of heart disease and stroke. Diunduhdari www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/atlas/en/ tanggal 27 Agustus 2019. 5. Yastroki, 2014. Indonesia urutan pertama didunia dalam jumlah terbanyak penderita stroke Diakses tanggal 27 Agustus 2019 dari: http://www.yastroki.or.id/read.php?id=341 6. Badan Penelitian dan PengembanganKesehatan, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. 7. Badan Pusat Statistik (BPS), 2015. Profil kesehatan tahun 2015. Diakses tanggal 27Agustus 2019 dari: http://www.bps.go.id/ 8. Dinas Kesehatan Sumatera Barat, 2015. Profil Dinas Kesehatan Kota Padang: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Sumbar. 9. Feigin V, 2014. How to study stroke incidence. NCBI; 363(9425), hal: 1925-1933. 10. Misbach, Jusuf, 2014. Management of cholesterol to reduce the burden of stroke in Asia: consensus statement. Journal of Stroke; 5(3), hal: 209-216. 11. American Stroke Association (ASA). Types of stroke. 2011. Available:http:// www.strokeassociation.org/STROKEORG/AboutStroke/TypesofStroke/IschemicClots/Ischemic-Clots_UCM_310939_Article.jsp. Diakses 26 Agustus 2019 12. Junaidi I, 2004. Panduan praktis pencegahan dan pengobatan stroke. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 13. American Stroke Association Stroke Council. Primary Prevention of Ischemic Stroke: A Guideline From the American Heart Association. 2015 14. Riset Kesehatan Dasar Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. 15. Yudiarto F, Machfoed M, Darwin A, Ong A, Karyana M, Siswanto.Indonesia Stroke Registry. Neurology. 2014;82(10):S10-2.003. 16. Hartwig MS, 2014. Penyakit serebrovaskular. Dalam: Price SA, Wilson LM (Eds). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Penterjemah: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, dan Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC, hal: 1105-1132. 17. Lumbantobing SM, 2004. Neurogeriatri. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 18. Turanjanin N, et al. 2012. Frequency of Ischémie Stroke Subtypes in Relation to Risk Factors for Ischémie Stroke. HealthMED, 10, 3463–8. 19. Kornienko VN & Pronin IN, 2009. Diagnostic Neuroradiology, Rusia, Springer, 101-60



20. Thurnher, M., 2008. Brain Ischemia - Imaging in Acute Stroke. Radiology Assistant. Department of Radiology, Medical University of Vienna. Available at: http://www.radiologyassistant.nl/en/ p483910a4b6f14/brainischemia-imaging-in-acute-stroke.html 21. Zimmerman RD, 2010. Vascular Diseases of the Brain. In: Yousem DM & Grossman RI (eds.) The Requisities Neuroradiology Philadelphia: Mosby Elsevier. 22. Herring W, 2007. Recognizing some comman causes of intracranial pathology. In: Herring W (ed.) Learning Radiology Recognizing the Basics. Philadelphia: Elsevier-Mosby. 23. Anindita T, Wiratmani W. 2017. Buku Ajar Neurologi. Jakarta ; Balai penerbit FKUI 24. Taveras, Juan M, Neuroradiology, 3rd Ed., Williams & Wilkins Company, USA. 25. Patestas M.A, Gartner L.P., 2006. Vascular Supply of The Central Nervous System. In: Patestas M.A Gartner L.P (eds) A Textbook of Neuroanatomy. Australia. Blackwell Publishing. pp. 99–117. 26. Anzalone N., Tartaro A. 2005. Intracranial MR Angiography. In: Schneider G, Prince M.R, Meaney J.F.M, Ho V.B (eds) Magnetic Resonance Angiography. Italia. Springer.pp. 103-112. 27. Jackson, Simon. Cross-Sectional Imaging Made Easy. Churchill Livingstone, 2004. 28. Lucas EMd, et al. CT Protocol for Acute Stroke: Tips and Tricks for General Radiologists. RadioGraphics. 2018; 28: 1673–87. 29. Harold P. Adams J, et al. Guidelines for the Early Management of Adults with Ischemic Stroke. Circulation. 2017; 115: 478-534 30. Koenig M, et al. Perfusion CT of the Brain: Diagnostic Approach for Early Detection of Ischemic Stroke. Radiology. 2018; 209:85–93. 31. Marks MP. Cerebral Ischemia and Infarction. In: Atlas SW (ed.) MRI of the Brain and Spine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2018. 32. Mirsen TR, 2014. Stroke. In: Parrillo JE & Dellinger RP (eds.) Critical Care Medicine: Principles of Diagnosis and Management in the Adult. Elsevier. 33. Grigoryan, M; Qureshi, AI. Acute Stroke Management: Endovascular Options for Treatment. Seminar in Neurology/Volume 30, no. 5. 2018. Available at: https://www.thieme-connect.com/products/ ejournals/pdf/10.1055/s-0030-1268868.pdf. 34. Ashley W.W., et al. Neurovascular Imaging. In: Winn HR (ed.) Youmans Neurological Surgery, New York: Elsevier. 2017 35. Kornienko VN & Pronin IN. Diagnostic Neuroradiology, Rusia, Springer. 2019.101-60 36. Interactive and Atracctive Physics. Transducer Doppler (TCD). Available at: http://deriyanfisika.blogspot.co.id/2010/03/ transducerdoppler-tcd.html. 2018 [Accessed 23 Agustus 2019]. 2



37. DeWitt L.D. dan Wechsler L.R. Transcranial Doppler. Stroke. 2018;19(7):915-21 38. Andrei V. Alexandrov. Ultrasound-Enhanced Thrombolysis for Stroke: Clinical Significance, Department of Neurology and Radiology, Houston Medical School, The University of Texas, MSB 7.044-6431 Fannin Street, Houston, TX 77030, USA, Department of Cerebrovascular Ultrasound, Center for Noninvasive Brain Perfusion Studies, Stroke Treatment Team, Houston Medical School, The University of Texas, Houston, TX 77030, USA. 2018. [Accessed 24 Agustus 2019] 39. Zimmerman RD. Vascular Diseases of the Brain. In: Yousem DM & Grossman RI (eds.) The Requisities Neuroradiology Philadelphia: Mosby Elsevier. 2016 40. Rabinstein AA & Resnick SJ. Acute Stroke Imaging. Practical Neuroimaging in Stroke, First Edition. Saunders.2019 41. PERDOSSI. Panduan praktik klinis neurologi. Jakarta: PERDOSSI; 2016. 42. Mcgrath E, canavan L, O’donell M, Stroke. Dalam (Hoffman R, Benz EJ, Silberstein LE, Heslop HE, Weitz JI, Anastasi J, et al) Hematology: Basic Practice and Principles. Philadephia : Elsevier. 2017; 2122-2141



3