Referat Ruptur Perineum FIX [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat



RUPTUR PERINEUM



Oleh: Chintia Amalia



1840312283



Preseptor: Dr. Syahrial Syukur, SpOG



BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUD PADANG PANJANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2019



KATA PENGANTAR



Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Ruptur Perineum”. Referat ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Padang Panjang. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Syahrial Syukur, Sp.OG sebagai preseptor yang telah membantu dalam penulisan referat ini. Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca demi kesempurnaan referat ini. Penulis berharap referat ini dapat memberikan dan meningkatkan pengetahuan serta pemahaman mengenai “Ruptur Perineum” terutama bagi penulis sendiri dan rekan-rekan sejawat lainnya.



Padang, Desember 2019



Penulis



1



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar belakang Salah satu penyebab utama perdarahan pasca persalinan adalah robekan jalan lahir.



Robekan pada jalan lahir dapat bervariasi tergantung dari penyebab terjadinya trauma pada daerah jalan lahir. Trauma bisa menyebabkan robekan pada daerah perineum, vagina, dan serviks. Trauma juga bisa terjadi akibat tindakan selama persalinan seperti tindakan episiotomi.1,2 Robekan jalan lahir yang terjadi bisa ringan (lacet, laserasi), luka episiotomi, robekan perineum spontan derajat I sampai IV, robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra, dan bahkan yang terberat ruptur uteri. Ruptur perineum dapat terjadi karena adanya ruptur spontan maupun tindakan episiotomi perineum yang dilakukan. Episiotomi harus dilakukan atas beberapa indikasi, antara lain bayi besar, partus prematurus, perineum kaku, persalinan dengan kelainan letak, persalinan dengan menggunakan alat bantu baik forceps, maupun vakum. Apabila episiotomi tidak dilakukan atas indikasi yang tepat, maka dapat menyebabkan peningkatan angka kejadian dan derajat kerusakan pada daerah perineum.1,2 Ruptur pada daerah perineum merupakan penyebab tersering kematian ibu yang dihubungkan dengan persalinan pervaginam. Ruptur pada sfingter anal merupakan komplikasi terbesar yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seorang wanita. Oleh karena itu, pada setiap persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya robekan ini. Semua sumber perdarahan yang terbuka harus diklem, diikat, dan luka ditutup dengan jahitan catgut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti. Teknik penjahitan memerlukan asisten, anestesi lokal, penerangan lampu yang cukup, serta spekulum dan memerhatikan kedalaman luka. Bila penderita kesakitan dan tidak kooperatif, perlu mengundang sejawat anestesi untuk ketenangan dan keamanan saat melakukan hemostasis.1,2



1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1 Menambah pengetahuan mengenai ruptur perineum dalam hal definisi, anatomi, klasifikasi, etiologi dan faktor risiko, teknik menjahit robekan, ruptur perineum yang



2



disengaja, teknik episiotomi, perawatan post operatif, komplikasi post operatif, prognosis pada ruptur perineum. 1.2.2 Sebagai salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di bagian Obstetri dan Ginekologi FK Universitas Andalas.



1.3 Metode Penulisan Makalah ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur.



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1. Definisi Ruptur merupakan robeknya jaringan secara paksa. Perineum adalah lantai pelvis dan struktur yang berhubungan dengan pintu bawah panggul; bagian ini dibatasi disebelah anterior oleh simfisis pubis, di sebelah lateral oleh tuber ischiadikum, dan di sebelah posterior oleh os. coccygeus, dan dibagi ke dalam segitiga urogenital anterior dan segitiga anal posterior.1,3,4 Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dicegah dengan memastikan kepala janin tidak terlalu cepat lahir. Namun, kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama karena dapat menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, serta melemahkan otot-otot dan fassia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.1,3,4



2.2 Anatomi Perineum Perineum merupakan daerah berbentuk diamond yang terletak diantara kedua paha yang menggambarkan pelvic outlet: simfisis pubis anterior, rami pubis, tuberositas ischial anterolateral, ligament sakrotuberous posterolateral, dan koksigis posterior. Batasan perineum terbentuk oleh rami pubis di depan ligament sakrotuberos di belakang. Pelvic outlet dibagi oleh garis melintang yang menghubungkan bagian depan ischial tuberosities ke dalam segitiga urogenital dan sebuah segitiga belakang anal.2,4,5



Gambar 2.1 Anatomi Perineum2



4



2.2.1 Segitiga urogenital Otot-otot di wilayah ini dikelompokkan ke dalam kelompok superfisial dan dalam bergantung pada membran perineal. Bagian bulbospongiosus, perineal melintang dangkal dan otot ischiocavernosus terletak dalam bagian terpisah yang superfisial. Otot bulbospongiosus melingkari vagina dan masuk melalui bagian depan corpora cavernosa clitoridis. Di bagian belakang, sebagian serabutnya mungkin menyatu dengan otot contralateral superfisial transverse perineal (otot yang melintang kontralateral dipermukaan perineal) juga dengan cincin otot anus (sfingter). 2,4,5 Kelenjar bartholini merupakan struktur berbentuk kacang polong dan bagian duktusnya membuka ke arah introitus vagina di permukaan selaput dara pada persimpangan dua sepertiga bagian atas dan sepertiga bagian bawah labia minora. 2,4,5 Pada wanita, otot perineal profunda melintang antara bagian depan dan belakang fasia membran perineal yang membentuk diafragma urogenital berbentuk tipis dan sukar untuk digambarkan, karena itu kehadirannya tidak diakui oleh sebagian ahli. Di bagian yang sama terletak juga otot cincin eksternal uretra. 2,4,5 2.2.2 Segitiga anal Bagian ini mencakup otot luar anus dan lubang ischiorektal.4 2.2.3 Badan perineal Bagian perineal merupakan wilayah fibromuskular (berotot serabut) antara vagina dan kanal anus. Pada dataran saggita berbentuk segitiga. Pada sudut segitiganya terdapat ruang rectovaginal dan dasarnya dibentuk oleh kulit perineal antara bagian belakang fouchette vulva dan anus. Dalam bagian perineal terdapat lapisan otot fiber bulbospongiosus, dataran perineal melintang dan otot cincin anus bagian luar. 2,4,5 Diatas bagian ini terdapat otot dubur membujur dan serat tengah otot pubo rektalis, karena itu sandaran panggul dan juga sebagian hiatus urogenitalis antara otot levator ani bergantung pada keseluruhan badan perineal. Bagi ahli kesehatan ibu dan anak, istilah perineum merujuk sebagian besar pada wilayah fibromuskular antara vagina dan kanal anus. 2,4,5 2.2.4 Anatomi anorektum Anorektum merupakan bagian yang paling jauh dari traktus gastrointestinalis dan terdiri dari dua bagian yaitu kanal anus dan rektum. Kanal anus berukuran 3,5 cm dan terletak dibawah persambungan anorektal yang dibentuk oleh otot puborektalis. Otot cincin anus terdiri dari tiga



5



bagian (subcutaneus / bawah kulit), superfisial (permukaan) dan bagian profunda (dalam) dan tidak bisa dipisahkan dari permukaan puborektalis. Cincin otot anus bagian dalam merupakan lanjutan menebalnya otot halus yang melingkar. Bagian ini dipisahkan dari bagian luar cincin otot anus oleh otot penyambung yang membujur rectum. 2,4,5



2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Robekan perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana:12 1) Kepala janin terlalu cepat lahir 2) Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya 3) Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut 4) Pada persalinan dengan distosia bahu Insidensi laserasi pada perineum mencapai 0,25 hingga 6%, dimana terdapat berbagai faktor risiko yang dapat memperberat laserasi pada perineum, seperti episiotomi medialis, nullipara, kala II yang memanjang, persalinan yang diinduksi, posisi oksipital posterior persisten, persalinan pervaginam dibantu, ras Asia, dan berat bayi yang besar. 2



2.4 Klasifikasi Ruptur Perineum 2.4.1 Ruptur Perineum Spontan Luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur. Tingkat robekan perineum dapat dibagi atas 4 derajat: 1,2,9,10 1) Derajat I Perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina atau kulit perineum. Mukosa vagina dan kulit perineum ruptur tetapi otot perineal masih intak.



Gambar 2.2 Laserasi perineum derajat I2



6



2) Derajat II Perlukaan yang lebih dalam dan bisa meluas ke vagina dengan melukai fasia serta otototot diafragma urogenitalia. Pada laserasi derajat II, hendaknya luka dijahit kembali secara cermat. Apabila terdapat rongga mati (dead space) antara jahitan-jahitan memudahkan tertimbunnya darah beku dan terjadinya radang terutama oleh kuman-kuman anaerob. Lapisan kulit dijahit dengan benang catgut kromik atau benang sintetik yang baik secara simpul (interrupted suture). Jahitan hendaknya jangan terlalu ketat agar tempat perlukaan tidak timbul edema.



Gambar 2.3 Laserasi perineum derajat II2 3) Derajat III Perlukaan lebih luas dan lebih dalam dari derajat II menyebabkan muskulus sfingter ani eksterna terputus. Perlukaan perineum umumnya terjadi unilateral, tetapi dapat juga bilateral. Perlukaan pada diafragma urogenitalis dan muskulus levator ani yang terjadi pada waktu persalinan normal atau persalinan dengan alat, dapat terjadi tanpa luka pada kulit perineum atau pada vagina, sehingga tidak kelihatan dari luar dan mengakibatkan terbentuknya hematoma. Perlukaan demikian dapat melemahkan dasar panggul sehingga mudah terjadi lapsus genitalis. Robekan perineum juga dapat mengakibatkan robekan jaringan pararektal sehingga rektum terlepas dari jaringan sekitarnya. Diagnosis ruptur perineum juga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan langsung. Pada tempat terjadinya perlukaan akan timbul pendarahan yang bisa bersifat pendarahan arterial. Perlukaan perineum derajat III memerlukan teknik penjahitan khusus. Langkah pertama yang terpenting ialah menemukan kedua ujung muskulus sfingter ani eksternus yang terputus. Perlukaan perineum pada waktu persalinan sebenarnya dapat dicegah. Perlukaan ini umumnya terjadi pada saat melahirkan kepala. Oleh karena itu, keterampilan melahirkan kepala 7



janin sangat menentukan sampai seberapa jauh dapat terjadinya perlukaan pada perineum. Untuk mencegah terjadinya, perlukaan perineum yang bentuknya tidak teratur, dianjurkan episiotomi. Pada perlukaan perineum derajat III yang tidak dijahit dapat mengakibatkan terjadinya inkontinesia alvi. Pada perlukaan perineum seperti ini, memerlukan waktu sekurang-kurangnya 3 – 6 bulan pasca persalinan, sebelum luka perineum ini dapat dijahit kembali.



Gambar 2.4 Laserasi perineum derajat III2 4) Derajat IV Robekan pada perineum yang mengenai eksterna dan interna spingter ani dan epithelium ani.



Gambar 2.5 Laserasi perineum derajat IV2



8



2.4.2 Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi) Episiotomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episton (regio pubis) dan tomy (memotong). Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot, dan fasia perineum dan kulit sebelah depan perineum. Insisi dapat dilakukan di garis tengah, yang disebut sebagai episiotomi mediana atau episiotomi yang dimulai di garis tengah lalu diarahkan ke lateral menjauhi rektum, atau disebut sebagai episotomi mediolateral. 2,11,12 Episiotomi dapat menurunkan kejadian trauma perineal posterior, perbaikan dengan bedah, dan komplikasi penyembuhan, serta trauma perineal anterior. Episiotomi dapat dipertimbangkan atas beberapa indikasi, antara lain:2 1) Distosia bahu 2) Sungsang 3) Janin makrosomia 4) Persalinan pervaginam dibantu 5) Posisi oksiput posterior persisten 6) dan indikasi lain yang dapat menyebabkan rupture perineum apabila tidak dilakukan episiotomi Berdasarkan pihak ibu dan pihak janin, indikasi episiotomi terbagi atas: 12 1. Indikasi janin a. Sewaktu melahirkan janin prematur. Tujuannya untuk mencegah terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin. b. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin dengan cunam, ekstraksi vakum, dan janin besar. 2. Indikasi ibu. Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan sehingga ditakuti akan terjadi robekan perineum, terutama pada primipara, persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum, dan anak besar. Namun, episiotomi sebaiknya tidak rutin dilakukan. Pada suatu penelitian, ditemukan tindakan episiotomi rutin dapat meningkatkan risiko inkontinensia alvi lebih tinggi tiga kali lipat serta inkontinensia flatus dua kali lipat dibandingkan persalinan dengan laserasi spontan. 2,11,12 Selain itu, episiotomi rutin tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan: 7



9



1. Meningkatnya jumlah darah yang hilang dan berisiko hematoma 2. Kejadian laserasi derajat tiga atau empat lebih banyak pada episiotomi rutin dibandingkan dengan tanpa episiotomi. 3. Meningkatnya nyeri pascapersalinan di daerah perineum 4. Meningkatnya resiko infeksi.



2.5 Teknik Episiotomi Sebelum episiotomi, analgetik dapat menggunakan analgetik epidural saat persalinan, blokade nervus pudendus bilateral, atau dengan infiltrasi lidokain 1%. Apabila dilakukan terlalu cepat, perdarahan akibat episiotomi akan cukup besar selama interval antara insisi dan saat persalinan. Namun, apabila dilakukan terlambat, laserasi tidak dapat dicegah. Episiotomi sebaiknya dilakukan saat kepala sudah terlihat saat kontraksi dengan diameter kepala mencapai 4 cm, seperti mahkota.2,7



Gambar 2.6 Teknik Episiotomi12 2.5.1 Episiotomi medialis 1) Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina sampai batas atas otototot sfingter ani. Cara anestesi yang dipakai adalah cara anestesi infiltrasi antara lain dengan procaine 1-2%; atau larutan lidonest 1-2%; atau larutan xylocaine 1-2%. Setelah



10



pemberian anestesi, jari menyusup antara kepala dan perineum. Kemudian insisi dimulai pada arah jam 6 pada introitus vagina dan diarahkan ke posterior. Panjang insisi sekitar 2 sampai 3 cm tergantung panjang perineal dan derajat ketebalan perineum. Insisi yang dilakukan disesuaikan dengan jenis persalinan yang akan dilakukan, namun harus dihentikan sebelum mencapai sfingter ani eksterna. Bila kurang lebar disambung ke lateral (episiotomi medio lateralis). 2,12



Gambar 2.7 Teknik Episiotomi Medialis2 



Perineum digunting mulai dari ujung paling bawah introitus vagina menuju anus melalui kulit, selaput lender vagina, fasia dan otot perineum. 12



2) Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula otot perineum kiri dan kanan dirapatkan dengan beberapa jahitan. Kemudian fasia dijahit dengan beberapa jahitan. Lalu selaput lendir vagina dijahit dengan empat atau lima jahitan. Jahitan dapat dilakukan secara terputius-putus (interupted suture) atau secara jelujur (continuous suture). Benang yang dipakai untuk menjahit otot, fasia dan selaput lendir adalah catgut chromic, sedang untuk kulit perineum dipakai benang sutera. 12 



Otot perineum kiri dan kanan dijahit dan dirapatkan.







Pinggir fasia kiri dan kanan dijahit dan dirapatkan.







Selaput lendir vagina dan kulit perineum dijahit dengan benang sutera.



11



Gambar 2.8 Teknik menjahit luka episiotomi medialis12 2.5.2 Episiotomi mediolateralis 1) Pada teknik ini, gunting episiotomi diposisikan pada arah jam 7 atau jam 5, kemudian insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke arah belakang dan samping. Arah insisi ini dapat dilakukan kearah kanan atau pun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang insisi kira-kira 4 cm. 2, 12



Gambar 2.9 Penjahitan Episiotomi Mediolateral2



12



2) Teknik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama dengan teknik menjahit episiotomi medialis. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan luka selesai hasilnya harus simetris. 12 



Menjahit jaringan otot-otot dengan jahitan terputus-putus







Benang jahitan pada otot ditarik







Selaput lendir vagina dijahit







Jahitan otot-otot diikatkan







Fasia dijahit







Penutupan fasia selesai







Kulit dijahit



2.5.3 Episiotomi lateralis 1) Pada teknik ini insisi dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira pada jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam.12 2) Teknik ini sekarang tidak dilakukan lagi oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka insisi ini dapat melebar kearah dimana terdapat pembuluh darah pudendal interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita. 12



2.6 Teknik Menjahit Robekan Perineum 2.6.1 Derajat I Penjahitan robekan perineum derajat I dapat dilakukan hanya dengan memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau dengan cara angka delapan (figure of eight). 5 2.6.2 Derajat II Laserasi derajat II melibatkan fasia dan otot (muskulus perinei transversalis) dari badan perineum tapi tidak mengenai sfingter anus. Robekan ini biasanya melebar ke atas pada salah satu atau kedua sisi vagina, membentu luka segitiga yang ireguler. Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat II atau III, jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir yang bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing diklem terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah



13



pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan. Awalnya otot dijahit dengan catgut. Kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara interuptus atau kontinu. Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari puncak robekan. Terakhir kulit perineum dijahit dengan benang secara interuptus.



Gambar 2.10 Teknik menjahit robekan perineum derajat II12



2.6.3 Derajat III Laserasi derajat III meluas melewati kulit, membran mukosa, dan badan perineum, dan melibatkan sfinkter anus. Mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit. Kemudian fasia perirektal dan fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah oleh karena robekan diklem dengan klem Pean lurus, kemudian dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum derajat II.



Gambar 2.11 Teknik menjahit robekan perineum derajat III12



14



2.6.4 Derajat IV Teknik yang digunakan untuk menjahit laserasi deajat IV melibatkan sfingter ani dan mukosa rektal. Teknik pertama dan yang lebih disarankan adalah teknik end-to-end dan teknik kedua, yaitu teknik overlapping. Teknik end-to-end dilakukan dengan meperkirakan jarak antara robekan tepi mukosa rektum dengan jahitan pada otot rektal sejauh 0,5 cm. Benang yang dapat digunakan adalah 2-0 atau 3-0 chromic gut. Lapisan otot kemudian ditutup dengan sfingter ani interne. Kemudian akhir dari jahitan di sfingter ani eksterna diisolasi, dan ditutup secara end-to-end dengan 3-4 jahitan terputus-putus.



Gambar 2.12 Teknik menjahit “end-to-end” robekan perineum derajat IV2 Teknik overlapping merupakan metode alternatif untuk memperkirakan sfingter ani eksterna. Berdasarkan penelitian, metode ini tidak menghasilkan hasil anatomi atau fungsional yang lebih baik dibandingkan dengan metode end-to-end. 2



2.7 Perawatan Post Operatif Mayoritas pasien yang menjalani perbaikan robekan mengalami rasa tidak nyaman yang meningkat dalam minggu pertama setelah persalinan. Dalam 5 sampai 7 hari postpartum, jahitan 15



yang terletak di dalam jaringan akan mulai diabsorbsi, jahitan yang terletak di bagian luar dan terekspos dengan udara mungkin akan lebih lama terabsorbsi. Ketika benang jahit telah diabsorbsi, pasien mungkin dapat merasakan potongan benang jahit ketika menmbersihkan daerah perineum. Hal ini adalah normal. Dalam 6 minggu post partum, jika robekan sembuh secara normal, pemeriksaan fisis pada perineum akan normal. Bekas luka mungkin tidak begitu jelas. Biasanya tidak terdapat nyeri pada saat ini dan pasien dapat melanjukan aktifitas seksualnya.2,12 Penanganan post operatif pada pasien yang telah menjalani perbaikan robekan adalah: 



Kontrol nyeri pada hari-hari setelah persalinan biasanya dengan pemberian acetaminophen atau ibuprofen, meskipun kadang-kadang pasien dapat membutuhkan analgesik narkotik (seperti kodein). Tetapi narkotik dapat menyebabkan konstipasi dengan feses yang keras, sehingga dapat merusak luka jahitan robekan derajat III dan IV. 2,12







Pasien harus menjaga higiene perineum. Pasien yang memiliki hygiene perineum yang baik akan sembuh dan bebas dari nyeri lebih cepat. Rekomendasi standar untuk higiene perineum adalah membasuh daerah perineum dengan air hangat menggunakan botol semprot oleh karena air hangat akan membantu mengurangi nyeri . 2,12







Selain itu, pasien juga harus menghindari trauma pada perineum, terutama pada robekan tingkat III dan IV. Yaitu dengan menghindari terjadinya konstipasi dan diare, karena konstipasi dapat menyebabkan trauma rektal akibat peregangan, dan feces encer pada diare dapat memasuki luka dan menyebabkan infeksi. Insiden konstipasi dan diare dapat dikurangi dengan menggunakan pelunak feses dan diet rendah-residu yang dapat membentuk feses lunak yang tidak besar. Pasien sebaiknya tidak menggunakan laksansia atau suppositoria karena dapat menimbulkan diare. 2,12



2.8 Komplikasi Post Operatif Komplikasi jangka pendek dan jangka panjang dapat terjadi setelah perbaikan luka pada episiotomi atau robekan perineum. Komplikasi jangka pendek yang paling utama adalah hematoma dan infeksi, sedangkan komplikasi jangka panjang adalah inkontinensia feses dan nyeri perineum persisten. 9,10,11 Hematoma sering terjadi setelah penggunaan forsep dan biasanya disertai dengan nyeri atau tekanan pada rektum. Dapat pula terjadi retensi urin. Pada keadaan yang jarang, jika



16



kehilangan darah karena hematoma cukup banyak, maka pasien dapat mengalami syok hipovolemik. Pada pemeriksaan fisis terlihat pembengkakan perineum atau vagina yang unilateral dan massa yang dapat dipalpasi pada pemeriksaan bimanual. 9,10,11 Infeksi pada kebanyakan wanita setelah episiotomi atau robekan akan disertai dengan keluhan nyeri dan sekret yang berbau. Dapat pula disertai demam. Namun biasanya sulit membedakan antara nyeri post partum yang normal dengan nyeri akibat infeksi. 9,10,11 Inkontinensia feses terjadi pada 10% wanita yang telah menjalani perbaikan robekan tingkat III dan IV, walaupun teknik perbaikannya sudah cukup baik. Inkontinensia dapat terjadi segera maupun beberapa hari/minggu postpartum. Inkontinensia yang tertunda biasanya akibat luka yang kembali terbuka atau infeksi. 9,10,11 Nyeri perineum persisten dan dispareunia. Normalnya dalam 6 minggu postpartum, nyeri perineum akan menghilang. Beberapa wanita mengeluhkan nyeri yang persisten. Nyeri tersebut dapat tajam atau tumpul, yang diperberat oleh kegiatan dan posisi tertentu. Beberapa wanita mengeluhkan nyeri ketika bersenggama. 9,10,11



2.9 Prognosis Kebanyakan pasien dengan episiotomi atau robekan akan sembuh dengan sangat baik, dengan menghilangnya nyeri 6 minggu setelah persalinan dan bekas luka yang minimal. Namun dapat terjadi inkontinensia feses dalam jangka pendek maupun jangka panjang pada 10% pasien dengan ruptur perineum tingkat IV, walaupun sudah dilakukan penanganan dengan baik. Jika tidak ada komplikasi, tidak dibutuhkan perawatan dan monitoring dalam jangka waktu lama. 2,10,11



17



BAB III KESIMPULAN



Ruptur pada daerah perineum merupakan penyebab tersering kematian ibu yang dihubungkan dengan persalinan pervaginam. Ruptur perineum dibagi menjadi ruptur yang spontan dan ruptur yang disengaja. Ruptur perineum spontan terbagi atas ruptur perineum derajat I-IV. Sedangkan ruptur perineum yang disengaja yaitu dengan melakukan episiotomi yang bertujuan untuk mempermudah jalan lahir. Namun, episiotomi sebaiknya tidak rutin dilakukan. Pada suatu penelitian, ditemukan tindakan episiotomi rutin dapat meningkatkan risiko inkontinensia alvi lebih tinggi tiga kali lipat serta inkontinensia flatus dua kali lipat dibandingkan persalinan dengan laserasi spontan. Tatalaksana yang dilakukan terhadap ruptur perineum yaitu dengan dilakukan penjahitan tergantung dari derajat kerusakan perineum tersebut. Teknik menjahit ruptur perineum bervariasi tergantung pada derajat ruptur. Namun, untuk ruptur perineum derajat IV, teknik terbaik yang ada saat ini adalah teknik end-to-end. Prognosis untuk ruptur perineum ini dapat dikatakan baik, dengan menghilangnya nyeri 6 minggu setelah persalinan dan bekas luka yang minimal. Namun dapat terjadi inkontinensia alvi dalam jangka pendek maupun jangka panjang pada 10% pasien dengan ruptur perineum tingkat IV, walaupun sudah dilakukan penanganan dengan baik. Jika tidak ada komplikasi, tidak dibutuhkan perawatan dan monitoring dalam jangka waktu lama.



18



DAFTAR PUSTAKA



1.



Anwar M, Baziad A, Prabowo RP. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011.



2.



Cunningham FG et al. William Obstetrics ed 24th. New York: McGraw-Hill; 2014.



3.



Dorland WA, Newman. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010.



4.



Netter FH. Atlas of Human Anatomy ed 6th. Philadelphia: Elsevier; 2014.



5.



Norwitz ER, Schorge JO. Operative vaginal delivery dalam Obstetrics and Gynecology at a Glance. Jakarta: Erlangga; 2007.



6.



Pernoll ML. Perineotomy dalam Benson and Pernoll's handbook of Obstetrics & Gynaecology 10th Ed. New York: McGraw-Hill Professional; 2001.



7.



Edmonds DK. Chapter 24 dalam Dewhurt's Textbook of Obstetrics & Gynaecology. Blackwell Publishing 7th Ed. London: Wiley; 2008.



8.



Katariina L, Tiina P, Rune R, et al. Decreasing the Incidence of Anal Sphincter Tears During Delivery in Obstetrics and Gynaecology. 2008.11(5):1053-1057



9.



Willem J, Vierhout M, Struijk P, et al. Anal Sphincter Damage After Vaginal Delivery: Functional outcome and risk factors for fecal incontinence dalam Acta Obstet Gynecol Scand. 2001; 80: 830-834.



10.



Cornet A, Porta O, Pineiro L, et al. Management of Obstetric Perineal Tears. Obstetrics and Gynaecology Int. 2012:1-7.



11.



Thakar R, Sultan A. Obstetric anal sphincter injury: 7 critical questions about care. Obg Manag. 2008;20(2):56-68.



12.



Prawirohardjo S. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2000.



19