Referat Skleritis Galih [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat



Episkleritis dan Skleritis



Oleh: Galih Cahya Wijayanti, S.Ked



Pembimbing: dr. Petty Purwanita, SpM



DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA RUMAH SAKIT DR. MOH. HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA



2017 HALAMAN PENGESAHAN



Referat dengan judul Episkleritis dan Skleritis



Oleh: Galih Cahya Wijayanti, S.Ked 04054821618089



Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 10 April – 14 Mei 2017



Palembang, April 2017



dr. Petty Purwanita, SpM



KATA PENGANTAR



2



Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini. Referat dengan judul “Episkleritis dan Skleritis” ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSMH Palembang periode 10 April – 14 Mei 2017 Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Petty Purwanita, SpM sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis selama menyusun referat ini. Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran agar referat ini menjadi semakin baik.



Palembang, Mei 2017



Penulis



DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN………………………………………………….....ii KATA PENGANTAR..........................................................................................iii 3



DAFTAR ISI.......................................................................................................iv BAB I PENDAHULUAN 1.1.



Latar Belakang...................................................................................1



1.2.



Rumusan Masalah..............................................................................2



1.3.



Tujuan dan Manfaat...........................................................................2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.



Anatomi Sklera..................................................................................3



2.2



Episkleritis.........................................................................................4



2.3



Skleritis…………………………………………………………….. 10



BAB III KESIMPULAN.....................................................................................21 DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................22



BAB I PENDAHULUAN



4



1.1 Latar Belakang Penyakit autoimun merupakan penyakit yang cukup sering ditemui salah satunya pada mata yang dapat mengenai kornea, namun dapat juga terjadi di bagian mata yang lain seperti sklera. Gangguan pada sklera yang terjadi akibat mediasi sistem imun adalah episkleritis dan skleritis. Episkleritis adalah peradangan lokal pada jaringan ikat vaskular penutup sklera (lapisan episklera) dimana tampak pelebaran pembuluh darah, biasanya ringan dan merupakan self limiting disease, episkleritis sering terjadi pada usia dekade ketiga atau keempat, tiga kali lebih sering pada wanita, dan bersifat unilateral pada dua-pertiga kasus. Gejala dari episkleritis yaitu mata merah, kadang disertai nyeri ringan, dan tidak terjadi penurunan visus.1,2,3 Skleritis merupakan peradangan lapisan sklera dengan manifestasi lebih berat dibanding episkleritis. Skleritis juga dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Sekitar 57 % pasien skleritis disertai dengan penyakit sistemik. Infeksi pada sklera dapat meluas dan menimbulkan berbagai komplikasi seperti keratitis, uveitis, glaukoma, dan katarak, sehingga berakibat gangguan penglihatan pada pasien.8,9,12 Episkleritis dan skleritis merupakan kondisi yang kadang sulit dibedakan, sehingga perlu penegakan diagnosis yang tepat untuk penatalaksanaan lebih lanjut untuk menghindari terjadinya komplikasi. Referat ini ditulis sebagai bahan pengetahuan kepada pembaca tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, dan perbedaan dari skleritis dan episkleritis.



1.1 Rumusan Masalah 1. Bagaimana anatomi dari sklera? 2. Bagaimana definisi dan manifestasi klinis dari episkleritis? 3. Bagaimana definisi dan manifestasi klinis dari skleritis? 4. Bagaimana membedakan episkleritis dan skleritis? 5. Bagaimana tatalaksana dari episkleritis dan skleritis?



5



1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan 1. Mengetahui secara umum mengenai anatomi sklera 2. Mengetahui definisi dan manifestasi klinis dari episkleritis 3. Mengetahui definisi dan manifestasi klinis dari skleritis. 4. Mengetahui perbedaan episkleritis dan skleritis. 5. Mengetahui tatalaksana dari episkleritis dan skleritis 1.3.2 Manfaat 1. Dapat digunakan sebagai informasi dasar mengenai penyakit mata khususnya episkleritis dan skleritis. 2. Sebagai proses pembelajaran dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit mata.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Sklera Sklera berasal dari bahasa yunani ‘scleros’ yang berarti keras. Sklera atau lapisan putih bola mata merupakan pembungkus fibrosa pelindung bola mata bagian luar yang hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Sklera merupakan jaringan ikat yang padat, dan kenyal berfungsi untuk melindungi struktur bola mata yang halus dan tempat melekatnya otot-otot bola mata. Sklera berwarna putih, kecuali bagian



6



terdepan yang transparan dan tembus cahaya yang disebut kornea. Sebelah anterior berbatasan dengan kornea dan duramatr nervus optikus di posterior. Sklera disusun oleh kolagen tipe I dan proteoglikan. Selain itu, sklera juga disusun oleh elastin dan glikoprotein seperti fibronektin. Pita-pita kolagen dan jaringan elastin membentang di sepanjang foramen sklera posterior membentuk lamina cribrosa yang diantaranya dilalui berkas akson nervus opticus. Permukaan luar sklera anterior dibungkus sebuah lapisan tipis jaringan elastik halus yaitu episklera yang mengandung banyak pembuluh darah yang memperdarahi sklera. Lapisan berpigmen coklat pada permukaan dalam sklera adalah lamina fusca yang membentuk lapisan luar ruang suprakoroid.1,2,3



Gambar 1. Anatomi mata



Sklera lebih tebal pada laki-laki dibanding pada perempuan. sklera paling tebal berada di dekat nervus opticus dengan ketebalan 1mm, dan paling tipis berada pada insersi musculi rekti dengan ketebalan 0,3 mm dan ditempat lain 0,6 mm. Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan bola mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima rangsangan dari jaringan pembuluh darah yang



7



berdekatan yaitu pleksus koroidalis yang terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Sklera dipersarafi oleh nervus siliaris posterior longus.2,3 2.2 Episkleritis 2.2.1



Definisi Episkleritis adalah peradangan lokal yang terjadi pada jaringan ikat vaskular



penutup sklera (lapisan episklera) yang berada di antara konjungtiva, biasanya ringan dan merupakan self limiting disease, episkleritis cenderung terjadi pada usia dekade ketiga atau keempat kehidupan, tiga kali lebih sering pada wanita, dan bersifat unilateral pada dua-pertiga kasus.3,4



2.2.2



Etiologi



Sebagian besar penyebab kasus episkleritis terjadi secara idiopatik. Sekitar 26-30 % berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas terhadap kondisi sistemik yang mendasari, yaitu 3,5: 1. Penyakit kolagen-vaskular yang dijumpai pada sepertiga populasi pasien Rheumatoid arthritis, penyakit Crohn, kolitis ulserativa, radang sendi psoriatis, lupus eritematosus sistemik, sindrom Reiter, polychondritis kambuhan, ankylosing spondylitis, dan pustulotic arthro-osteitis. 2. Vaskulitis Polyartritis nodosa, artritis temporal, sindrom Cogan, Sindrom Churg-Strauss, granulomatosis Wegener, penyakit Behcet. 3. Penyakit dermatologis Rosacea, pioderma gangrenosum, sindrom Sweet 4. Penyakit Metabolik (gout) dan atopi 5. Keganasan, biasanya leukemia sel T dan limfoma Hodgkin, dapat dikaitkan dengan episkleritis.



8



6. Benda asing dan luka kimia juga bisa berfungsi sebagai faktor pencetus. 7. Agen infeksi, termasuk bakteri, mikobakteri, spirochetes (Treponema, Borrelia), Chlamydia, Actinomyces, jamur, herpes zoster & simpleks, dan chikungunya. Protozoa seperti Acanthamoeba dan Toxoplasmosis harus dipertimbangkan. Toxocara adalah penyebab lain, meskipun jarang terjadi. 8. Obat-obatan seperti topiramate dan pamidronate dapat menyebabkan episkleritis. 2.2.3



Klasifikasi Episkleritis diklasifikasikan menjadi episkleritis simple (difus) dan nodular



(fokal). Kedua tipe episkleritis tersebut memiliki gejala edema pada episkleritis dan lapisan atas konjungtiva, edema terdistribusi difus atau menyebar pada simpel episkleritis dan fokal pada nodular episkleritis, pasien mengeluh sensasi panas, sensitif terhadap cahaya dan atau rasa tidak nyaman. Rasa nyeri jarang muncul, meskipun mata berair namun tidak terdapat sekret atau kotoran mata, jika terdapat gejala fotofobia maka dugaan keratitis dapat dipikirkan. Episkleritis tidak mempengaruhi visus dan struktur intraokular.6,7



a b Gambar 2.a Simple episkleritis unilateral, 2.b Perbesaran simple episkleritis.7



Simple episkleritis merupakan jenis episkleritis yang paling umum terjadi (80 % kasus). Peradangan biasanya ringan, akut dan terjadi dengan cepat, biasnya mengenai area intrapalpebra dan mungkin beberapa area tidak terkena, berlangsung 9



selama sekitar 7-10 hari dengan keluhan mata merah, berair, fotofobia, rasa tidak nyaman ringan dan akan hilang sepenuhnya setelah dua sampai tiga minggu. Pasien dapat mengalami serangan dari kondisi tersebut, biasanya setiap satu sampai tiga bulan. Penyebabnya seringkali tidak diketahui dan dapat berulang pada satu atau kedua mata bersamaan.2,5



Gambar 3. Episkleritis Nodular.8



Episkleritis nodular terjadi pada 20 % kasus episkleritis, manifestasi klinis hampir sama dengan simpel episkleritis, namun lebih nyeri, lebih terasa tidak nyaman, dan disertai dengan suatu penonjolan atau nodul kemerahan berukuran 2-3 mm yang dapat digerakkan pada permukaan mata, awalnya kemerahan muncul saat bangun pagi hari, beberapa hari berikutnya kemerahan semakin membesar dan membentuk nodul. Episkleritis nodular bersifat self limiting disease namun cenderung bertahan lebih lama dibanding simple episkleritis. Penyembuhan dapat mencapai tiga sampai empat minggu dan dapat bertahan selama dua bulan, terapi anti inflamasi jarang diperlukan pada kasus ini.6,7,9 2.2.4



Diagnosa Pasien biasanya datang dengan keluhan utama mata merah difus atau lokal,



onset akut biasanya unilateral dan dapat berulang pada mata yang sama atau bergantian. Keluhan penyerta berupa rasa kering, mengganjal, sensasi tidak nyaman, rasa panas, nyeri tekan dan jarang terjadi penjalaran, berair namun tidak 10



menimbulkan sekret, dan tidak terjadi penurunan visus. Dari anamnesis perlu ditanyakan gejala dan riwayat penyakit sistemik yang dapat mendasari terjadinya episkleritis seperti tuberkulosis, rheumatoid artritis, SLE, alergi atau dermatitis kontak. Edema palpebra dan kemosis konjungtiva dapat terjadi.1,3 Karakteristik warna di episkleritis biasanya merah terang atau pink salmon pada penyinaran menggunakan senter, berbeda dengan skleritis yang berwarna keunguan. Selain itu, kemerahan pada episkleritis akan menghilang dengan pemberian fenilephrin 2,5 %, namun tidak menghilang pada skleritis. Jika pasien mengalami episkleritis nodular, pasien mungkin memiliki satu atau lebih benjolan kecil atau benjolan pada daerah putih mata. Pasien mungkin merasakan bahwa benjolan tersebut dapat bergerak di permukaan bola mata menggunakan kapas aplikator. Jika pada pemeriksaan dicurigai adanya penyakit sistemik sebagai penyebab episkleritis, dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain antinuclear antibody (ANA), rheumatoid factor, erythrocyte sedimentation rate (ESR), urinalisis, dan rontgen thorax. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang diindikasikan pada pasien dengan episkleritis berulang yang belum diketahui adanya penyakit sistemik.8,10 2.2.5 Diagnosa Banding 1. Skleritis Biasa terjadi pada pasien dengan usia lebih tua. Rasa nyeri biasanya lebih berat daripada episkleritis, menyebar hingga ke dahi. Kemerahan pada skleritis biasanya berwarna keunguan dan tidak menghilang dengan pemberian vasokonstriktor phenylephrine 2,5 %. Pada skleritis inflamasi yang terjadi lebih dalam.10 2. Konjungtivitis Kemerahan yang terjadi biasanya disertai dengan sekret. Pada konjungtivitis juga ditemui adanya folikel atau papil di konjungtiva dan injeksi konjungtiva palpebralis.10



11



2.2.6



Penatalaksanaan Kontrol penyakit yang mendasari episklerits seperti rheumatoid artritis, gout,



tuberkulosis jarang diindikasikan kecuali pada episkleritis berulang. Episkleritis biasanya sembuh sendiri dalam 1-2 minggu tanpa perlu diberi obat, namun NSAID oral maupun topikal dapat diberikan pada pasien dengan keluhan nyeri yang mengganggu. Secara umum, sebagian besar pasien cukup diberikan edukasi bahwa penyakitnya dapat sembuh sendiri dan cukup ditatalaksana dengan menggunakan lubrikan, air mata buatan, dan kompres dingin sebagai terapi suportif. Apabila pemberian lubrikan dan NSAID tidak memberikan perbaikan, pemberian kortikosteroid seperti prednisolone perlu dilakukan, namun dalam dosis minimal karena terapi steroid yang berkepanjangan dapat menimbulkan komplikasi seperti katarak dan glaukoma. Pada pasien yang merokok biasanya penyembuhan berlangsung lebih lama sampai satu bulan atau lebih dan kemungkinan berulang lebih besar sehingga perlu dipertimbangkan untuk mengurangi atau berhenti merokok. Berikut adalah tatalaksana non-medikamentosa dan medikamentosa episkleritis: 6,8,11 1. Non-medikamentosa a. Bila terdapat riwayat paparan zat eksogen seperti alergen atau iritan, maka perlu dihindari untuk mengurangi progresifitas gejala dan mencegah kekambuhan b. Menggunakan kacamata hitam apabila terdapat gejala sensitifitas cahaya 2. Medikamentosa a. Oral NSAID seperti ibuprofen 800 mg tiga kali sehari atau alternatif lain seperti indomethacin 75 mg dua kali sehari atau flurbiprofen 100 mg tiga kali sehari. Pada kasus lebih berat dapat diberikan topikal NSAID seperti ketorolac 0,5 %. b. Topikal steroid seperti prednisolone atau fluorometholone 1 % dapat diberikan empat kali sehari dan dilakukan tappering off beberapa hari setelah gejala berkurang. 2.2.7



Komplikasi



12



Episkleritis bersifat jinak, namun ada beberapa laporan komplikasi pada pasien dengan penyakit rekuren, termasuk uveitis anterior dan intermediate, serta dellen kornea (berdekatan dengan nodul episkleral) dan infiltrat kornea perifer (bersebelahan dengan peradangan episkleral). Visus yang menurun, biasanya dikaitkan dengan progresifitas katarak. Baik katarak maupun glaukoma bisa dikaitkan dengan penggunaan steroid sebagai bagian dari penatalaksanaan episkleritis. Pada sebagian besar pasien episkleritis tidak memerlukan pengobatan apapun, namun jika gejala terus berlanjut dapat mengarah pada kondisi keratitis superfisialis.3,8 2.2.8



Prognosis Prognosis dari episkleritis adalah bonam. Kelainan ini bersifat jinak dengan



gejala dan komplikasi minimal, biasanya sembuh dengan sendirinya dalam 1-2 minggu tanpa menyebabkan efek destruktif pada mata.2,8 2.3 Skleritis 2.3.1 Definisi Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. Kelainan ini murni diperantarai oleh proses imunologik (kompleks imun) dan disertai atau disebabkan oleh penyakit sistemik (penyakit jaringan ikat, paska herpes, sifilis, dan gout). Adanya trauma lokal dapat menyebabkan peradangan. Tanda primernya adalah perubahan difus pada sklera yaitu mata merah disertai pembengkakan. Nyeri adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif.3,8 Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, dirasakan terutama saat malam hari sehingga pasien terbangun sepanjang malam, dan saat bangun pagi hari. Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal.1,8



13



Prevalensi skleritis di Amerika Serikat diperkirakan mencapai 6 kasus per 10.000 populasi penduduk. Dari kasus skleritis yang ditemukan, sekitar 95 % merupakan skleritis anterior dan sisanya ialah skleritis posterior. Skleritis lebih sering dijumpai pada wanita, pada umumnya sekitar umur 40-60 tahun. Hampir separuh dari kasus skleritis terjadi secara bilateral.12 2.3.2



Etiologi



Hampir 57% dari penderita skleritis disertai dengan penyakit sistemik. Skleritis dapat menjadi tanda awal atau indikasi adanya penyakit sistemik berat. Berikut beberapa penyakit yang sering mendasari terjadinya skleritis.3 Artritis rheumatoid, poliartritis nodosa, polikondritis berulang, Granulomatosis Wegener, Penyakit Autoimun



lupus eritematosus sistemik, pioderma gangrenosum, kolitis ulserativa, nefropati IgA,



Penyakit Granulomatosa dan Infeksiosa



Lain-lain



artritis psoriatik Tuberkulosis, sifilis, sarkoidosis, toksoplasmosis, Herpes simplex, Herpes zoster, infeksi pseudomonas, infeksi streptokokus, infeksi stafilokokus, aspergilosis, lepra Fisik (radiasi, luka bakar termal), kimia (luka bakarasam atau basa), mekanis (trauma tembus, pembedahan), limfoma, rosasea, pasca ekstraksi katarak.



2.3.3



Patofisiologi Penyakit tersering yang menyebabkan skleritis antara lain adalah rheumatoid



arthritis, ankylosing spondylitis, systemic lupus erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis, herpes zoster virus, gout dan sifilis. Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular



14



(hipersensitivitas tipe III) atau respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).13,14 Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari antibodi IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus) dan reaksi sistemik. Reaksi hipersensitivitas tipe III secara umum memakan waktu maksimal 4 – 8 jam. Reaksi sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan kompleks antigen – antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi dan mengendap di pembuluh darah. Terjadi deposit kompleks imun di jaringan yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular akibat pengaktivasian dari sel mast. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan agregasi trombosit, aktivasi maksrofag, produksi dan penglepasan mediator inflamasi dan bahan kemotaktik serta influx neutrofil. Bahan toksik yang dilepas neutrofil dapat menyebabkan kerusakan jaringan setempat.14,15 Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh sel T spesifik – antigen. Tipe ini disebut juga hipersensitivitas tipe lambat. Ada beberapa fase dalam hipersensitivitas tipe IV, yaitu fase sensitasi dan fase efektor. Berbagai APC menangkap antigen dan membawanya ke jaringan limfoid regional untuk dipresentasikan ke sel T. Pajanan ulang dengan antigen menginduksi sel efektor. Sel Th1 melepas berbagai sitokin yang mengerahkan dan mengaktfikan makrofag. Makrofag merukapan efektor utama dari reaksi hipersensitivitas tipe IV. Pada beberapa hal, antigen tidak mudah dibersikan sehingga respon hipersensitivitas memanjang dan dapat merusak jaringan pejamu.14 Jaringan imun dari reaksi hipersensitivitas yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu deposisi kompleks imun di kapiler episklera dan sklera. Normalnya, sklera hanya sedikit bahkan tidak memiliki makrofag, sel Langerhans. Setelah sklera mengalami inflamasi, terjadi peningkatan marker yaitu T-helper lumphocyte dengan peningkatan rasio T-helper dan T-supressor, hal ini menunjukkan bahwa sel T berperan dalam terjadinya skleritis.14,15



15



2.3.4



Klasifikasi Skleritis dapat mengenai anterior sklera (kemerahan terlihat pada



pemeriksaan) maupun posterior sklera (tidak tampak atau hanya sedikit kemerahan tampak pada pemeriksaan). Skleritis diklasifikasikan berdasarkan anatomi (anterior dan posterior) dan gambaran peradangan pada sklera.8 Lokasi Anterior



Klasifikasi dan Prevalensi Skleritis Subtipe Diffuse Nodular Necrotizing dengan inflamasi tanpa inflamasi



Posterior



Prevalensi 40 % 44 % 14 % 10 % 4% 2%



Tabel 1. Klasifikiasi dan Prevalensi Skleritis8



1. Skleritis Anterior Tipe skleritis anterior paling sering dijumpai yaitu 95 % dari kasus skleritis. Skleritis anterior dibagi menjadi tiga subtype yaitu difus (60 % kasus), nodular (25 % kasus), dan necrotizing (15 % kasus), sebagian bersifat jinak dimana tipe nodular lebih nyeri sedangkan tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati. Skleritis anterior terbagi menjadi: a. Difus Pada skleritis anterior difus, pasien biasanya mengeluhkan rasa sakit berat, kemerahan pada mata yang menyebar, edema sklera, bisa diikuti dengan fotofobia dan biasanya terjadi pada dua mata. Pada pemeriksaan ditemukan adanya kemerahan yang difus dan tidak hilang dengan pemberian vasokonstriktor. Kondisi ini biasanya dihubungkan dengan rheumatoid artritis (24 % kasus), herpes zozter oftalmika dan gout.2,8



16



Gambar 4. Skleritis anterior difus8



b. Nodular Skleritis anterior nodular biasanya dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus. Pasien biasanya mengeluhkan rasa sakit berat, kemerahan pada mata, rasa adanya benda asing di mata, bisa diikuti dengan fotofobia dan lebih sering terjadi pada satu mata. Pada pemeriksaan ditemukan adanya penojolan berupa nodul berwarna merah keunguan, tidak hilang dengan pemberian vasokonstriktor serta tidak bisa digerakkan.2,8



Gambar 5. Skleritis anterior nodular



c. Necrotizing Bentuk ini jarang terjadi namun lebih berat karena bersifat paling destruktif dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau komplikasi okular pada 17



sebagian pasien, 40 % mengalami penurunan visus dan 29 % pasien dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun. Tipe necrotizing lebih sering dihubungkan dengan adanya suatu penyakit sistemik yang mendasari terjadinya skleritis. Skleritis nekrotik ditandai dengan adanya area keputihan yang dikelilingi daerah yang edema dan kemerahan.6, AAO, Deborah. Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu2,8,9: i.



Dengan inflamasi Diawali dengan bercak inflamasi, peradangan lebih tampak pada tepi lesi, terdapat gambaran anastomosis pembuluh darah. Jika kondisi ini tidak ditatalaksana dengan baik maka dapat menyebar ke posterior sklera bahkan ke seluruh bola mata.



Gambar 6. Terdapat inflamasi lapisan episklera dan sklera pada tipe skleritis nekrotik



ii.



Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans) Biasanya terjadi pada pasien dengan rheumatoid artritis yang berlangsung lama. Tanda inflamasi minimal, sensasi nyeri ringan, terjadi penebalan sklera dan tampak jaringan uvea berwarna gelap.



18



Gambar 7. Skleritis anterior nekrotik tanpa inflamasi pada pasien rheumatoid artritis8



2. Skleritis Posterior Skleritis posterior ini jarang terjadi dan sulit untuk didiganosis, sering terjadi bersamaan dengan skleritis anterior. Ditandai dengan adanya nyeri tekan bulbus okuli yang menjalar, proptosis, gerakan terbatas dan penurunan visus. Kondisi ini biasa dihubungkan dengan rheumatoid artritis dan vaskulitis sistemik. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya perlengketan massa eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem makular. Inflamasi skleritis posterior yang berlanjut dapat menyebabkan glaucoma sudut tertutup, dan retraksi kelopak mata bawah.8,9 2.3.5



Diagnosis



Penegakan diagnosis skleritis dilakukan dengan:3,16,17 1. Anamnesis Gejala utama dari skleritis adalah mata merah disertai nyeri yang berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus dengan onset bertahap dimana gejala smakin bertambah berat setiap hari, fotofobia, mata merah, berair, tidak ada sekret, keluhan terutama dirasakan saat malam hari sehinggapasien terbangun 19



sepanjang malam dan saat bangun pagi. Dapat kambuh akibat sentuhan atau digerakkan. Pasien dengan necrotizing anterior scleritis akan mengeluhkan rasa nyeri yang hebat disertai tajam penglihatan yang menurun, bahkan dapat terjadi kebutaan. Tajam penglihatan pasien dengan non-necrotizing scleritis biasanya tidak akan terganggu, kecuali bila terjadi komplikasi seperti uveitis. Tingkat keparahan dapat dilihat dari adanya penunan berat badan dan gangguan tidur di malam hari namun berkurang dengan pemberian analgetik. Pada anamnesis perlu ditanyakan adakah riwayat penyakit dahulu seperti infeksi, trauma, penyakit sistemik dan pembedahan.



2.



Pemeriksaan Fisik  Pemeriksaan visus. Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun. 



Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior. Pemeriksaan fisik umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat







dilakukan apabila dicurigai adanya penyakit sistemik. Pemeriksaan sklera. Pada pemeriksaan, sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan uvea gelap. Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses berlanjut, maka area tersebut akan menjadi avaskular dan menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah, dan di kelilingi oleh







lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap. Pemeriksaan skleritis posterior. Pada pemeriksaan dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan proptosis. Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior. Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan koroid, dan perdarahan atau ablasio retina.



20



B-Scan Ultrasonography juga dapat membantu mendeteksi adanya skleritis posterior. 3. Pemeriksaan Penunjang Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditentukan pemeriksaan penunjang apa yang perlu dilakukan untuk mencari adanya kemungkinan penyakit sistemik yang mendasari terjadinya skleritis. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain: 1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah 2. Faktor rheumatoid dalam serum 3. Antibodi antinuklear serum (ANA) 4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) 5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks 6. Serum FTA-ABS, VDRL 7. Serum asam urat 8. X-ray thorax, CT-scan, MRI 2.3.6 Diagnosis Banding 1. Episkleritis Episkleritis sering tampak seperti skleritis. Pada episkleritis proses peradangan dan eritema hanya terjadi pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Onset episkleritis lebih akut dan gejala lebih ringan dibandingkan dengan skleritis. Pada episkleritis, kemerahan pada mata akan berkurang dengan pemberian vasokonstriktor, sementara kemerahan pada skleritis tidak menghilang dengan vasokonstriktor.12 2. Skleritis difus, penyebab lain mata merah: - Konjungtivitis - Uveitis



21



Gambar 8. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan pemberian vasokonstriktor fenilefrin 2,5% topikal.



Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian vasokonstriktor fenilefrin 2,5% topikal



2.3.7



Penatalaksanaan Pengobatan skleritis berdasarkan tingkat keparahan dan derajat kerusakan



sklera. Pasien yang terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang spesifik dan dirujuk ke spesialis lain apabila dicurigai terdapat penyakit sistemik yang mendasari terjadinya skleritis. Terapi lini pertama pada



22



skleritis adalah terapi oral NSAID seperti ibuprofen 600 mg tiga kali sehari atau indomethacin 50 mg dua kali sehari selama satu sampai dua minggu. Jika tidak respon terhadap oral NSAID atau terjadi perburukan maka diberikan terapi steroid sistemik untuk mengurangi inflamasi seperti prednisolone oral 60 sampai 100 mg sehari selama dua sampai tiga hari dengan tappering off. Untuk kasus resisten steroid, dapat diberikan agen imunosupresif seperti antimetabolite (methotrexate), agen sitotoksik cyclophosphamide atau imunomodulator (cyclosporine), namun pada beberapa kasus perlu dikoordinasikan dengan bagian penyakit dalam atau rheumatologis. Kortikosteroid topikal (prednisolone acenatate 1 % atau difluprednate emulsi 0,05 %) dapat digunakan untuk mengurangi inflamasi pada kasus ringan skleritis anterior difus atau nodular skleritis. Tipe difus dan necrotizing dengan derajat berat hampir selalu memerlukan terapi anti inflamasi yang lebih poten. Pada skelritis yang didasari rheumatoid artritis dapat diberikan TNF inhibitor seperti infliximab. Tindakan bedah jarang dilakukan, indikasi dilakukan tindakan bedah adalah pada kondisi perforasi sklera atau kornea dan penebalan sklera dengan resiko tinggi terjadinya ruptur. Kegagalan terapi dapat dilihat dari progresifitas penyakit menjadi lebih berat atau kegagalan terhadap pemberian pengobatan setelah 2-3 minggu setelah terapi.7,8,9 2.3.8



Komplikasi Skleritis dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi. Tanpa



pengobatan segera dapat terjadi kondisi seperti keratitis perifer (37%), penipisan sklera (33%), uveitis (30%), glaucoma (18%), and katarak (7%). Uveitis anterior terjadi pada sekitar 30% kasus skleritis. Uveitis posterior terjadi pada semua pasien skleritis posterior dan dapat juga pada pasien skleritis anterior. Makular edema juga dapat terjadi karena perluasan peradangan di sklera bagian posterior sampai koroid, retina, dan saraf optik. Makular edema dapat mengakibatkan penurunan penglihatan. Komplikasi lainnya yaitu perforasi dari sklera yang mengakibatkan hilangnya kemampuan mata untuk melihat.8,9 23



2.3.9



Prognosis Prognosis skleritis tergantung pada klasifikasi dan penyakit penyebabnya,



dapat sembuh sendiri sampai terjadi proses nekrotik dengan komplikasi kehilangan penglihatan. Pasien dengan skleritis ringan sampai sedang biasanya masih memiliki daya penglihatan yang baik. Skleritis pada spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dimana termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata.2,3 Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang paling destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas atau yang telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada tipe skleritis yang lainnya yang dapat mengakibatkan hilangnya penglihatan dan peningkatan mortalitas.3,8



BAB III KESIMPULAN 1



Episkleritis adalah peradangan lokal pada jaringan ikat vaskular penutup sklera (lapisan episklera) yang berada di antara konjungtiva dan sklera. Gejala dari episkleritis yaitu mata merah, kadang disertai nyeri ringan, dan tidak terjadi



2



penurunan visus. Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. Gejala dari skleritis yaitu mata merah, nyeri tajam yang berat menjalar, dan dapat terjadi penurunan



3



visus. Skleritis dapat dibedakan dengan episkleritis melalui gejalanya. Rasa nyeri berat dan tajam pada skleritis yang menyebar hingga ke dahi dapat dibedakan dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien sebagai sensasi benda asing pada mata. Skleritis juga dapat dibedakan dengan episkleritis dengan melihat warna kemerahan pada mata. Kemerahan pada



24



episkleritis berwarna merah terang dan berkurang dengan pemberian vasokonstrikor, sedangkan kemerahan pada skleritis berwarna lebih gelap yaitu merah kebiruan atau keunguan dan tidak menghilang dengan pemberian 4



vasokonstriktor. Episkleritis biasanya sembuh sendiri dalam 1-2 minggu tanpa perlu diberi obat, lubrikan, air mata buatan, dan kompres dingin sebagai terapi suportif. namun NSAID oral dapat diberikan untuk mengurangi nyeri. Pengobatan skleritis berdasarkan tingkat keparahan dan derajat kerusakan sklera. Pasien dengan penyakit penyerta memerlukan pengobatan spesifik dan dirujuk ke spesialis. Terapi lini pertama pada skleritis adalah terapi oral, jika tidak respon terhadap oral NSAID atau terjadi perburukan maka diberikan terapi steroid sistemik. Untuk kasus resisten steroid, dapat diberikan agen imunosupresif.



DAFTAR PUSTAKA 1. Sidarta I. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2008; 118-20 2. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. Oxford American Handbook of Ophthalmology. Oxford University Press Inc 2011; 220-25. 3. Riordan-Eva, Paul, John P.Whitcher. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. USA: Mc.GrawHill; 2008. 4. John JH, Paul AG. Occular inflammatory disease and uveitis manual. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2012. p. 110-112. 5. Hampton R, MD. Episcleritis [online]. 2016. Tersedia pada http://emedicine.medscape.com 6. Jimmy DB, Siret DJ. Clinical Ocular Pharmacology. Elsevier; 2008. p. 575-580. 7. Daniel HG, Richard AL. Clinical Eye Atlas 2nd edition. New York: Oxford University Press; 2011. p. 300-301. 8. American Academy of Ophthalmology. External Disease and Cornea 2015; 202210. 9. Deborah P, Langston. Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. p. 133-135.



25



10. Gerstenblith AT, Fecarotta CM. The Will’s Eye Manual. Lippincott William and Wilkins 2012. 6; 121-125. 11. Olver J, Cassidy L, Jutley G, Crawley L. Ophtalmology at a glance. Wiley Blackwell 2014. 2; 42-43. 12. Roque MR, MD, MBA, FPAO. Scleritis [online]. 2016. Tersedia pada http://emedicine.medscape.com 13. Bruce EO, Leonid S, Nicky RH. Ocular Therapeutics Handbook. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 272-274. 14. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2014. 11; 333-343. 15. Stephen F. The Sklera. New York: Springer-Verlag; 1994. p.33-40. 16. Septina L, Pujiwati E, Sahreni R. Skleritis. Fakultas Kedokteran Universitas Riau 2009; 1-18. 17. Venki S, Allon B, Lucy B. Oxford Specialty Training: training in ophthalmology 2nd edition. United Kingdom: Oxford University Press; 2016. p. 270-271.



26