Referat Tinea Unguium Baru [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT



TINEA UNGUIUM



Disusun Oleh :



1. Afgrin Tri hardanik



J500090045



2. Isti Latifah



J500090101



3. Taufik Rahman



J500090032



4. Adhitya Gilang Tintyarza



J500070027



5. Nadira Fasha Agfrianti



J500090103



Pembimbing: dr. Rully, Sp.KK



KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSUD DR HARJONO PONOROGO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014



LEMBAR PENGESAHAN



REFERAT



TINEA UNGUIUM



Yang diajukan oleh :



1.



Afgrin Tri hardanik



J500090045



2.



Isti Latifah



J500090101



3.



Taufik Rahman



J500090032



4.



Adhitya Gilang Tintyarza



J500070027



5.



Nadira Fasha Agfrianti



J500090103



Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta,



Mengetahui :



dr. Rully, Sp.KK



(........................................)



KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSUD DR HARJONO PONOROGO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI …………………………………………………………………………….. i BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………………………… 1 BAB II. PEMBAHASAN …………………………………………………………….… 2 2.1. DEFINISI …………………………………………………………………... 2 2.2. EPIDEMIOLOGI ………………………………………………………..…. 2 2.3. ANATOMI …………………………………………………………..……… 3 2.4. ETIOPATOGENESIS ……………………………………………………… 4 2.5. GEJALA KLINIS ………………………………………………..………… 6 2.6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM …………………………………….. 7 2.7. DIAGNOSIS ………………………………………………………….…… 10 2.8. DIAGNOSIS BANDING ………………………………………………… 10 2.9. PENGOBATAN ……………………………………………………...…… 11 2.10. PROGNOSIS ……………………………………………………..……… 13 BAB III. KESIMPULAN ……………………………………………………………… 14 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..………… 15



BAB I PENDAHULUAN



Salah satu bentuk dermatomikosis adalah onikomikosis yaitu satu kelainan kuku yang disebabkan oleh infeksi jamur dematofita, ragi (yeasts) dan kapang (moulds).1 Onikomikosis umumnya disebabkan oleh dermatofita biasanya bergejala dan dapat menyebabkan gangguan fungsi. Gambaran klinis onikomikosis meliputi hiperkeratosis dengan penebalan dan perubahan warna pada lempeng kuku.2 Tinea unguium kadang-kadang muncul sebagai akibat tinea pedis, dengan karakteristik onikolisis dan penebalan, perubahan warna (putih, kuning, coklat, dam hitam), rapuh, dan kuku kekurangan nutrisi. Walaupun inflamasi jarang terjadi, beberapa pasien merasakan nyeri.5 Tinea unguium pada kuku kaki dapat menyebabkan nyeri dan sebagai predisposisi infeksi sekunder bakteri dan ulserasi pada dasar kuku. Komplikasi ini banyak terjadi pada individu dengan immunocompromised dan diabetes.6



BAB II PEMBAHASAN



2.1



DEFINISI Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita.3 Istilah tinea unguium digunakan setelah ditemukan dermatofit pada hasil sebuah kultur.4



2.2



EPIDEMIOLOGI Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting, dimana



prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak dari wanita. Alas kaki yang tertutup, berjalan, adanya tempat temperatur, kebiasaan penggunaan pelembab, dan kaos kaki yang berkeringat meningkatkan kejadian tinea pedis dan onikomikosis.7 Dermatofit yang sangat memberikan respon pada suhu di negara-negara barat adalah onikomikosis, sedangkan candida dan jamur non-dermatofita lebih sering terjadi di negaranegara dengan suhu panas dan udara yang lembab.8 Rata-rata prevalensi onikomikosis ditentukan oleh umur, faktor predisposisi, status sosial, pekerjaan, iklim, lingkungan, dan seberapa seringnya berjalan.9 Beberapa faktor dapat berperan pada peningkatan onikomikosis. Pertama, berdasarkan populasi umur, dengan beberapa sebab termasuk sirkulasi yang buruk ke perifer, diabetes, trauma kuku yang berulang, terpapar lama dengan jamur patogen, fungsi imun yang sub optimal, kemalasan memotong kuku kaki atau perawatan kuku kaki yang baik. Kedua, beberapa orang dengan immunocompromisedkarena



infeksi



dari human



immunodeficiency



virus dan



penggunaan pengobatan immunosuppressive, kemoterapi kanker atau antibiotik. Ketiga, kerajinan dalam partisipasi olahraga meningkat dengan masuk dalam klub kesehatan, kolam renang komersil, dan oklusi kaki diapakai latihan.9,10



2.3



ANATOMI Kuku merupakan salah satu organ kulit tambahan yang mengandung lapisan tanduk



yang terdapat pada ujung-ujung jari tangan dan kaki, gunanya selain membantu jari-jari untuk memegang juga digunakan sebagai cermin kecantikan. Lempeng kuku terbentuk dari sel-sel keratin yang mempunyai dua sisi berhubungan dengan udara luar dan sisi lainnya tidak. 1



1. Matriks kuku Merupakan pembentuk jaringan kuku yang baru 2. Kutikel (cuticle) Merupakan penghubung dua permukaan epitel dari lipatan kulit proximal. Melindungi struktur dasar kuku (matrix germinatif) dari iritasi, alergi, bakteri/jamur patogen.



3. Lipatan kuku lateral Menutupi sisi lateral lempeng kuku 4. Lunula Dasar dari lipatan proximal. Merupakan bagian lempeng kuku yang berwarna putih di dekat akar kuku berbentuk bulan sabit,sering tertutup oleh kulit. 5. Dasar kuku (nail bed) Terdiri dari bagian epidermal dan mendasari dermis yang berhubungan dengan periosteum dari distal phalanx. Normal berwarna merah muda karena vaskularisasi yang nampak melalui lempeng kuku yang translusen. 6. Hiponikium Ruang di bawah kuku yang bebas, memisahkan lempeng kuku dan dasar kuku pada ujung distal. 7. Lempeng kuku (nail plate) Sebagai proteksi yang keras. Statis dan dengan kuat menempel pada dasar kuku. Dikelilingi tiga sisi lipatan kuku. Terbentuk dari tiga lapiasn horisontal: lamina dorsal tipis, lamina intermedit tebal, lapisan ventral dari dasar kuku. Kerasnya lempeng kuku karena high sulfur matrix protein. 8. Sisi bebas



2.4



ETIOPATOGENESIS Etiologi yang paling sering pada onikomikosis adalah dermatofita (tinea unguium) 95-97%



terutama Trichophyton



rubrum



dan



Trichophyton



mentagrophytes



var.



interdigitale.5,6 Sebagian kecil disebabkan oleh : Epidermophyton floccosum, T. violaceum, T. schoenleinii, T. verrucosum (biasanya hanya pada kuku tangan).7



Onikomikosis primer disebabkan oleh karena infeksi jamur pada kuku yang sehat. Probabilitas infeksi terjadi karena suplai vaskuler yang rusak (yaitu dengan bertambahnya usia, insufisiensi vena kronis, penyakit arteri perifer), setelah trauma (mis: patah tungkai bawah), atau gangguan persarafan (mis: cedera pleksus brachialis, trauma tulang belakang. Sedangkan onikomikosis sekunder, pada kuku kaki biasanya terjadi setelah tinea pedis. Pada kuku tangan onikomikosis sekunder setelah tinea manum, tinea korporis atau tinea kapitis.7 Dermatofita dapat bertahan hidup pada stratum korneum, yang menyediakan sumber nutrisi bagi dermatofita dan pertumbuhan jamur mycelia. Infeksi dermatofita melibatkan tiga tahap: perlekatan pada keratinosit, penetrasi melalui dan diantara sel-sel, dan membangun respon pejamu. Perlekatan jamur superfisial harus mengatasi berbagai kendala seperti menahan pengaruh sinar ultraviolet, variasi suhu, dan kelembaban, kompetisi dengan flora normal, dan sphingosines yang diproduksi oleh keratin agar artrokonidia, elemen infeksius, dapat melekat pada jaringan keratin.8,14 Selanjutnya adalah penetrasi, spora berkembang dan menembus stratum korneum lebih cepat daripada deskuamasi. Penetrasi dapat terjadi bila sekresi proteinase, lipase, dan enzim mukolitik, yang memberikan nutrisi bagi jamur. 8,14 Membangun respon pejamu, tingkat peradangan dipengaruhi baik oleh status imunologi dan organisme yang terlibat. Deteksi kekebalan dan kemotaksis untuk inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Beberapa jamur memiliki faktor-faktor kemotaksis berat molekul rendah seperti yang dihasilkan bakteri. Komplemen lainnya diaktifkan melalui jalur alternatif, untuk menciptakan turunan faktor kemotaksis.14 Pembentukan antibodi tidak timbul untuk melindungi dari infeksi dermatofita, pada pasien dengan infeksi yang luas mungkin memiliki peningkatan titer antibodi. Sebagai alternatif, reaksi tipe IV atau reaksi hipersentsitifitas tipe lambat, memiliki peran penting dalam melawan dermatofita. Kekebalan seluler oleh sekresi interferon-γ dari tipe 1 limfosit T-helper. Ini merupakan hipotesis bahwa antigen dermatofita diproses di sel-sel epidermis langerhans dan disajikan pada kelenjar getah bening lokal untuk limfosit T. Limfosit T mengalami proliferasi klonal dan migrasi pada tempat yang terinfeksi jamur.14



2.5



GEJALA KLINIS



Terdapat beberapa tipe tinea unguium : 1. Onikomikosis Subungual Distal/Lateral



Onikomikosis subungual distal dan lateral merupaka pola infeksi yang paling sering didapatkan.6 Proses ini menjalar ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh. Kalau proses berjalan terus, maka permukaan kuku bagian distal akan hancur dan yang terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.3 Biasanya nampak pewarnaan putih atau kuning pada ujung bantalan kuku, paling sering terdapat di lipatan kuku lateral.6 Bentuk ini umumnya disebabkan T. rubrum.15 Jika mengenai kuku tangan, pada umumnya dengan pola dua kaki dan satu tangan. Secara klinis, bagian kuku subungual distal menunjukkan hiperkeratosis dan onikolisis. Penyebaran bagian proksimal terjadi sepanjang jalur longitudinal.13 2. Onikomikosis superficial putih (leukonikia trikofita)



Kelainan ini juga jarang ditemui. Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonikia atau keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya



elemen jamur.6 Merupakan infeksi lapisan dorsal kuku yang disebabkan bercak bersisik putih.16 Oleh Ravant dan Rabeau (1921) kelainan ini dihubungkan dengan Trichophyton penyebabnya.12 Dapat



mentagrophytes sebagai



rubrum pada pasien yang terinfeksi HIV.



pula



disebabkan



oleh Trichophyton



15



3. Onikomikosis subungual proksimal



Onikomikosis



subungual



proksimal



disebabkan



oleh



T.rubrum dan T.



Megninii. Jamur mencapai zona matriks keratogenus kuku melalui lapisan kuku proksimal. Penyebab



terseringnya



yaitu



jamur



(Scopulariopsis



brevicaulis,



Fusarium spp.



dan Aspergillus spp).13,14 Secara bertahap, warna keputihan mulai memasuki lunula, lalu berpindah ke distal kuku yang terinfeksi. Terjadi pembesaran hingga dapat menyebar pada seluruh kuku, hiperkeratosis subungual, leukonikia, onikolisis proksimal dan destruksi pada seluruh kuku.6,14 Pola seperti ini jarang terjadi, namun 10 tahun belakangan telah menjadi bagian pada pasien AIDS.6 4. Onikomikosis Endoniks Onikomikosis endoniks adalah tipe yang paling jarang. Umumnya disebabkan oleh T.soundanesedan T.violaceum. Dapat diasosiasikan dengan infeksi pada plantar. Gambaran klinis berupa perubahan warna putih susu dan difus opak pada lempeng kuku tanpa subungual keratosis dan onikolisis.13



2.6



PEMERIKSAAN LABORATORIUM Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas



pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut dan kuku. Bahan pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan terlebih dahulu di tempat kelainan dan dibersihkan dengan spiritus 70% lalu untuk kuku bahan diambil dari permukaan kuku yang sakit dan dipotong sedalam-dalamnya sehingga mengenai seluruh tebal kuku, bahan di bawah kuku diambil pula.3 I.



Mikroskopi Langsung (Direct Microscopy) Pemeriksaan mikroskopik langsung pada sampel kuku untuk konfirmasi diagnosis.



Materi keratinaseous dari kerokan kuku ditempatkan pada kaca slide, ditutupi dengan kaca penutup, disuspensikan dengan larutan KOH lalu dipanaskan dengan hati-hati, KOH membantu melarutkan jaringan epitel. Penambahan dimethyl sulfoxide dan atau tinta Parker Quink pada larutan KOH dapat memudahkan identifikasi elemen jamur. Identifikasi spesifik untuk patogen biasanya sulit dengan mikroskopik, tetapi pada banyak kasus, ragi dapat dibedakan dengan dermatofita dari morfologinya.7 Gambaran mikroskopik jamur dermatofita 1. Trichophyton mentagrophytes



Koloni : putih hingga krem dengan permukaaan seperti tumpukan kapas pada PDA, tidak muncul pigmen.8,14



Gambaran mikroskopik : mikrokonidia yang bergerombol, bentuk cerutu yang jarang, terkadang hifa spiral.8,14 2. Trichophyton rubrum



Koloni : putih bertumpuk di tengah dan berwarna merah marun pada tepinya. 8,14 Gambaran mikroskopik : beberapa mikrokonidia berbentuk air mata, sedikit makrokonidia berbentuk pensil.8,14 3. Epidermophyton floccosum



Koloni : seperti bulu datar dengan lipatan sentral dan warna kuning kehijauan, kuning kecoklatan.8,14 Gambaran mikroskopik : tidak ada mikrokonidia, beberapa dinding tipis dan tebal. Makrokonidia berbentuk ganda. 8,14 II.



Kultur Jamur Tujuan pemeriksaan biakan ialah identifikasi spesies jamur penyebab, membantu



keperluan pengobatan, membantu prognosis penyakit dan untuk keperluan studi epidemiologi.17



Cara pemeriksaan yaitu pembiakan dilakukan dalam media agar sabouroud atau modifikasinya pada suhu kamar 25-30ºC kemudian sekitar ± 5 hari baru tampak adana pertumbuhan dan ± 1 minggu lagi baru terlihat jelas karakteristiknya. Selama pertumbuhan ini harus diperhatikan ada tidaknya warna yang dibentuk in verso atau in recto, ada tidaknya hifa aereal yang seperti kapas, beludru, bubuk, dan lain-lain. Juga bentuknya menonjol seperti gunung kecil dengan batas yang tajam, ireguler dengan permukaan yang licin seperti tetesan lilin. Pemeriksaan biakan sebaiknya dilakukan tidak terlalu lama setelah diperkirakan ada pertumbuhan sifat-sifat khusus jamur tersebut. Untuk dermatofit tenggang waktunya ± 3 minggu setelah penanaman. Bila terlalu lama, golongan jamur ini akan terjadi pleomorfik, dimana tanda-tanda khasnya akan hilang. 17 III. Pemeriksaan Histopatologi Dilakukan jika hasil pemeriksaan KOH ditemukan negatif. Pewarnaan PAS digunakan untuk mendeteksi jamur pada kuku.7 Hifa dapat ditemukan melekat diantara lamina kuku paralel hingga kelapisan dasar, dengan predileksi bagian ventral kuku dan bantalan kuku bagian stratum korneum. Bagian epidermis menunjukkan spongiosis dan fokal parakeratosis, dan minimal inflamasi respon dermis.14



2.7



DIAGNOSIS Untuk mendiagnosis Onikomikosis (tinea unguium) selain dari gejala klinis juga



dapat menggunakan pemeriksaan mikroskopik, kultur, dan histopatologi.15 Oleh karena onikomikosis bertanggung jawab besar pada distropi kuku, maka pemeriksaan dengan laboratorium sangat membantu sebelum memberikan pengobatan anti jamur. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan KOH, hisopatologi, dan kultur jamur.14



2.8



DIAGNOSIS BANDING



1.



Psoriasis Kuku Psoriasis ini ditandai dengan lubang, (salmon) atau bercak yang berminyak, onikolisis



dan distrofi kuku. Lubang ini mulai berkembang dari lesi psoriasis yang ada pada proksimal matriks kuku. Kedalaman dan durasi lubang mencerminkan keparahan dari psoriasis pada kuku. Pada kuku terdapat reaksi inflamasi terutama infiltrat limfosit pada dermis atas dengan kapiler yang melebar, spongiosis dengan eksositosik limfositik, dan parakeratosis yang mengandung neutrofil tunggal.18 2.



Paronikia Paronikia adalah inflamasi yang mengenai lipatan kulit disekitar kuku. Paronikia



ditandai dengan pembengkakan jaringan yang nyeri dan bernanah. Bila infeksi berlangsung kronik maka terdapat celah horizontal pada dasar kuku. Biasanya mengenai 1-3 jari terutama jari telunjuk dan jari tengah. Penyebab terjadinya paronikia ini adalah akibat trauma yang kemudian terjadi pemisahan antara lempeng kuku dari eponikium, celah ini kemudian terkontaminasi oleh piogenik atau jamur. Piogen yang tersering adalah Staphylococcus atau Pseudomonas sedangkan jamur tersering adalah Candida albican.12 3.



Liken planus kuku



Liken planus pada kuku dapat timbul tanpa kelainan kuku. Perubahan pada kuku berupa belahan longitudinal, lipatan kuku yang menggelembung (pterigium kuku), dan kadangkadang anonikia. Lempeng kuku menipis dan papul liken planus dapat mengenai kuku.12



2.9



PENGOBATAN Pilihan terapi untuk pengobatan onikomikosis antara lain terapi paliatif, debridemen



mekanik atau kimia, anti jamur topikal dan sistemik. Kombinasi variasi pengobatan lainnya.



Pilihan terapi dipengaruhi oleh gambaran dan keparahan penyakit, terapi lain yang digunakan penderita, terapi yang telah digunakan sebelumnya (dan efek lain).20 Terapi antibikotik sistemik12 



Griseofulvin. Obat ini bersifat fungistatik yang efektif untuk jamur. Dosis yang digunakan adalah 0,5-1 g untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk anak-anak dalam sehari atau 10-25 mg/kgBB.







Ketokonazol. Obat ini bersifat fungistatik dan juga digunakan jika resisten



terhadap



pemberian griseofulvin dengan dosis 200 mg/ hari selama 10-14 hari pada pagi hari setelah makan. 



Itrakonazol. Obat ini juga bersifat fungistatik dan digunakan jika pada pasien tidak bisa mengkonsumsi ketokonazol akibat penyakit pada hepar dan merupakan pilihan yang paling baik dengan dosis denyut selama 3 bulan pada onikomikosis. Cara pemberiannya secara tiga tahap dengan interval 1 bulan. Setiap tahap dalam 1 minggu dosisnya 2 x 200 mg sehari dalam kapsul.







Terbinafin. Bersifat fungisidal dan dapat diberikan sebagai pengganti dari griseofulvin dengan dosis 62,5 mg – 250 mg sehari tergantung berat badan selama 2-3 minggu.



Terapi topical Pada terapi topikal tersedia dalam bentuk losion dan lacquer (cat kuku). Amorolfine lacquer dilaporkan efektif dengan penggunaan selama 12 bulan. Sedangkan ciclopirox (penlac) nail lacquer adalah agen topikal (ciclopirox 80%) yang efektif digunakan selama 48 minggu.14



Debridemen Mengangkat jaringan kuku yang distropik, pasien seharusnya didebridemen setiap satu minggu. Pada onikomikosis subungual distal, hiperkeratotik harus diangkat. Pada onikomikosis superfisial putih, kuku diangkat dengan cara dikuret.14



Terapi Novel laser Telah dikemukakan terapi laser untuk mengobati onikomikosis (total distropi, proksimal subungual onikomikosis, distal subungual onikomikosis dan onikomikosis endoniks). Terapi laser dikembangkan karena terapi dengan farmakologi dianggap membutuhkan waktu yang lama. Terapi bedah laser juga mempunyai efek bakterisidal. Karena cahaya lokal laser sangat panas yang dapat membunuh mikroorganisme dan sebagai simulasi proses penyembuhan. Pada studi laser yang digunakan adalah VSP Nd:YAG 1066 nm, yang penetrasi sampai ke plat kuku, dermis dan jaringan kuku lainnya.19



2.10 PROGNOSIS Tanpa terapi yang efektif, onikomikosis tidak dapat sembuh secara spontan. Keterlibatan yang progresif dari beberapa kuku adalah biasa. Onikomikosis subungual distal/lateral menetap setelah terapi tinea pedis dan sering menyebabkan episode berulang dermatofita epidermal pada kaki, pangkal paha, dan lokasi lain. Tinea pedis dan/atau onikomikosis subungual distal/lateral merupakan awal untuk infeksi bakteri berulang (S. aureus, group A streptococcus), khususnya sellulitis pada tungkai bawah.7 Prevalensi pada penderita diabetes diperkirakan 33%; onikomikosis subungual distal/lateral memberikan kontribusi terhadap keparahan masalah kaki: infeksi bakteri superfisial, ulserasasi, selulitis, osteomielitis, nekrosis, amputasi. Diabetes membutuhkan intervensi dini dan harus diskrining reguler oleh dermatologis. HIV yang tidak diobati dikaitkan dengan peningkatan dermatofita. Tingkat relaps jangka panjang dengan terapi oral terbaru seperti terbinafin, atau itarconazole dilaporkan 15-21% 2 tahun setelah terapi berhasil. Penyebab kambuh atau reinfeksi: reinfeksi, inkompetensi imulogis, trauma terus menerus, penyebab tidak diketahui. Kultur mikologi dapat positif tanpa gejala klinis yang jelas. Kebersihan kaki dan kuku sangat penting: sabunbenzoyl peroxide pada saat mandi dan preparat antijamur atau ethanol/isopropyl gel.7



BAB III KESIMPULAN



Onikomikosis adalah satu kelainan kuku yang disebabkan oleh infeksi jamur dematofita, ragi (yeasts) dan kapang (moulds). Tinea unguium istilah khusus untuk kelainan kuku akibat infeksi dermatofita. Etiologi



yang



rubrum dan Trichophyton



paling



sering



pada



mentagrophytes



tinea



var.



unguium



interdigitable.



terutama Trichophyton Onikomikosis



primer



disebabkan oleh karena infeksi jamur pada kuku yang sehat. Probabilitas infeksi terjadi karena suplai vaskuler yang rusak, post trauma, atau gangguang persarafan. Sedangkan onikomikosis sekunder biasanya terjadi setelah tinea pedis, tinea manum, tinea corporis atau tinea capitis. Keluhan utama berupa kerusakan kuku. Kuku menjadi suram, dan rapuh, dapat dimulai dari arah distal (perimarginal) atau proksimal. Terdapat beberapa tipe tinea unguium: onikomikosis subungual distal/lateral, onikomikosis subungual proksimal, onikomikosis superfisial putih, onikomikosis endoniks, onikomikosis distrofik total, onikomikosis kandida. Onikomikosis memerlukan pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi, karena waktu terapi yang lama, mahal, dan dosis memiliki resiko. Pemeriksaan laboratorium berupa mikroskopi langsung, kultur jamur, dan pemeriksaan histopatologi. Onikomikosis (tinea unguium) dapat didiagnosis dari gejala yang tampak dan pemeriksaan lanoratorium. Pengobatan



terdiri



dari



pengobatan



topikal



dengan Amoralfine



nail



lacquer dan Ciclopirox (Penlac) nail lacquer. Pengobatan oral antifungi dengan terbinafin, itrakoazole, dan flukonazol. Sedangkan untuk penggunaan griseofulvin dan ketokonazole tidak dianjurkan. Kombinasi terapi lebih efektif daripada hanya terapi oral atau topikal. Terbinafin dikombinasi dengan ciclopirox dapt juga kombinasi terbinafin dan amorolfine.



DAFTAR PUSTAKA



1. Leelavathi M, Tzar MN, Adawiah J. Common Microorganisms Causing Onychomycosis in Tropical Climate. Sains Malays. 2012: 697-700. 2. Husein M, Hassab-El-Naby M, Shaheen IMI, Abdo HM, El-Shafey HAM. Comparative study for the reliability of potassium hydroxide mount versus nail clipping biopsy in diagnosis of onychomycosis. The Gulf Journal of Dermatology and Venerology. 2011;18 3. Budimulja U. Mikosis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p. 89-105. 4. Arroll B, Oakley A. Preventing long term relapsing tinea unguium with tropical anti fungal cream:a case report. Cases Journal.2009;2:70. 5. Tullio V, Banche G, Panzone M, Cerveetti O, Roana J, Allizond V, et al. Tinea pedis and tinea unguium in a 7-year-old child. J Med Microbiol. 2006;56:1122-3. 6. Hay RJ, Moore MK. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 7th ed. UK: Blackwell Publishing; 2004. p. 31.1-.101. 7. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill Companies. 8. Kurniati, CR. Etiopatogenesis dermatofitosis. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2008;20:243-50. 9. Havlickova B, Czaika VA, Friedrich M. Epidemiological trends in skin mycoses worldwide.Mycoses. 2008, 51(suppl 4):2-15. 10. Kaur R, Kashyap B, Bhalla P. Onychomicosis-epidemiology, diagnosis, and management.Indian J Med Microbi. 2008;26(2):108-16. 11. Sanjiv A, Shalini M,Charoo H. Etiological Agents of Onychomycosis from a Tertiary Care Hospital in Central Delhi, India. Indian Journal of Fundamental and Applied Life Sciences.2011;1(2):11-4.



12. Soepardiman L. Kelainan Kuku. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. P.312-7. 13. Tosti A, Baran R, Dawber RP, Haneke E. Onychomycosis and its treatment. In: Baran R, Dowber RP, Haneke E, Tosti A, Bristow I, editors. A Text Atlas of Nail Disorders. 3rd ed. London: Taylor & Francis Group; 2003. p. 197-220. 14. Verna S, Heffernan MP. Fungal Disease. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. p. 1807-21. 15. James WD, Berger TG, Elston DM. Disease Resulting from Fungi and Yeasts. Andrew’s Disease of The Skin : Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier; 2006. p. 297-331. 16. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Thieme Clinicals Companions Dermatology. New York: Thieme; 2006. 17. Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kulit. Makassar: Bagian Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2003. 18. Haneke E. Histopathology of common nail conditions. In : Baran R, Dowber RP, Haneke E, Tosti A, Bristow I, editors. A Text Atlas of Nail Disorders. 3rd ed. London: Taylor & Francis Group; 2003. p.268-70. 19. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapin RP. Dermatology. 2nd ed: Mosby Elsevier. 20. Kozarev J, Vizintin Z. Novel Laser Therapy in Treatment of Onychomycosis. J. LAHA.2010;2010(1). p.1-8.