Refleksi Kasus Penganiayaan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFLEKSI KASUS TINDAK PENGANIAYAAN



Disusun Oleh : Vandy Ikra, S.Ked



Pembimbing: dr. Handayani Dwi Utami, M. Kes., Sp. F



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG 2016



FORM REFLEKSI KASUS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG Nama Dokter Muda : Vandy Ikra, S.Ked Stase



: Ilmu Forensik



Identitas Korban Nama/ Inisial Umur Diagnosis/ kasus



: Ny. IDR No SPV : R/ 7/ I/ 2016/ : 37 Tahun Jenis kelamin : Perempuan : Diduga mengalami penganiayaan oleh orang yang di kenal



Jenis Refleksi: a. b. c. d. e.



Ke-Islaman* Etika/ moral Medikolegal Sosial Ekonomi Aspek lain



Form uraian



(Sdr.W)



1. Resume kasus yang diambil (yang menceritakan kondisi lengkap pasien/ kasus yang diambil ). Korban perempuan berusia 37 tahun datang pada tanggal 27 januari 2016 pukul 21:20 WIB, korban datang dengan membawa surat permintaan visum et repertum dari kepolisian sektor sukarame atas permintaan tertulis dari SUBARYANTO, pangkat AIPTU, NRP. 7002016, jabatan KA SPK II, dengan suratnya nomor: R/ 7/ I/ 2016/ Reskrim. Korban datang dalam keadaan sadar, keadaan umum baik. Korban mengaku telah dianiaya oleh orang yang dikenal ( Sdr.W ) pada tanggal 27 januari 2016 sekira pukul pukul 17:30 WIB di Perum Villa Bukit Tirtayasa Blok. E 1 kelurahan Sukabumi Kecamatan Sukabumi Bandar Lampung.



Pada hasil pemeriksaan terhadap korban



ditemukan luka – luka pada: a. Pada kepala belakang sisi kanan, teraba bengkak warna sama dengan kulit disekitar dengan ukuran 1 x 1,5 cm. b. Pada dahi kanan, 3 cm dari garis pertengahan depan, 1,5 cm dibawah batas tumbuh rambut depan teraba bengkak warna merah kehijauan dengan ukuran 2,5 x 1 cm. c. Pada pipi kanan, 2 cm dari garis pertengahan depan, 3,3 cm dibawah sudut mata terdapat luka terbuka tepi tidak rata kedua sudut tumpul dasar luka jaringan bawah kulit sepanjang 1 cm. d. Pada bibir kiri atas, terdapat luka lecet berbentuk garis warna kemerahan, sepanjang 1 cm. e. Pada dada kiri, 3,5 cm dari garis pertengahan depan, 4,5 cm dibawah puncak bahu terdapat luka lecet berwarna kemerahan berukuran 5 x 5,5 cm. f. Pada pinggang kanan, terdapat luka lecet dan memar warna merah kehijauan dengan ukuran 6 x 5,5 cm. Dari pemeriksaan dapat disimpulkan bahwa seorang korban perempuan berusia 37 tahun ditemukan bengkak pada kepala, dahi kanan, luka terbuka pada pipi kanan, lecet pada bibir, dada kiri, pada pinggang kanan akibat kekerasan tumpul. Luka tersebut dapat menimbulkan penyakit atau halangan dalam melakukan aktivitas sehari-hari ( luka sedang ). 2. Latar belakang /alasan ketertarikan pemilihan kasus Dokter dalam pelaksanaan praktiknya wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.



Dalam UU No. 29 tahun 2004, pasal 45 ayat 1, disebutkan bahwa: “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Dalam penanganan penderita gawat darurat yang terpenting bagi tenaga kesehatan adalah mempertahankan jiwa penderita, mengurangi penyulit yang mungkin timbul, meringankan penderitaan korban, dan melindungi diri dari kemungkinan penularan penyakit menular dari penderita”. Dalam refleksi kasus ini kami akan membahas mengenai perspektif islam mengenai tindak penganiayaan dan bagaimana hukum islam dalam mengadili tindak aniaya. 3. Refleksi dari aspek etika moral /medikolegal/ sosial ekonomi beserta penjelasan evidence / referensi yang sesuai * Kaidah dasar (prinsip) Etika / Bioetik adalah aksioma yang mempermudah penalaran etik. Prinsip-prinsip itu harus spesifik. Pada praktiknya, satu prinsip dapat dibersamakan dengan prinsip yang lain. Tetapi pada beberapa kasus, karena kondisi berbeda, satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain. Keadaan terakhir disebut dengan prima facie. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada 4 kaidah dasar moral (sering disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika), juga prima facie dalam penerapan praktiknya secara skematis dalam gambar berikut : a. Menghormati martabat manusia (respect for person/autonomy). Menghormati martabat manusia. Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), dan kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan perlindungan. 



Pandangan Kant : otonomi kehendak = otonomi moral yakni : kebebasan bertindak, memutuskan (memilih) dan menentukan diri sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan



atau campur-tangan pihak luar (heteronomi), suatu motivasi dari dalam berdasar 



prinsip rasional atau self-legislation dari manusia. Pandangan J. Stuart Mill : otonomi tindakan/pemikiran = otonomi individu, yakni kemampuan melakukan pemikiran dan tindakan (merealisasikan keputusan dan







kemampuan melaksanakannya), hak penentuan diri dari sisi pandang pribadi. Menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan



 



pasien demi dirinya sendiri = otonom (sebagai mahluk bermartabat). Didewa-dewakan di Anglo-American yang individualismenya tinggi. Kaidah ikutannya ialah : Tell the truth, hormatilah hak privasi liyan, lindungi informasi konfidensial, mintalah consent untuk intervensi diri pasien; bila ditanya,







bantulah membuat keputusan penting. Erat terkait dengan doktrin informed-consent, kompetensi (termasuk untuk kepentingan



peradilan),



penggunaan



teknologi



baru,



dampak



yang



dimaksudkan (intended) atau dampak tak laik-bayang (foreseen effects), letting die. b. Berbuat baik (beneficence). Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare). Pengertian ”berbuat baik” diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajiban. Tindakan berbuat baik (beneficence) 







General beneficence :  melindungi & mempertahankan hak yang lain  mencegah terjadi kerugian pada yang lain,  menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain, Specific beneficence :  menolong orang cacat,  menyelamatkan orang dari bahaya.



c. Tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence). Praktik Kedokteran haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. Sisi komplementer beneficence dari sudut pandang pasien, seperti : 



Tidak boleh berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm) pasien







Minimalisasi akibat buruk



d. Keadilan (justice). Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter.  Treat similar cases in a similar way = justice within morality.  Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagaifairness) yakni : a. Memberi sumbangan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur dari kebutuhan mereka (kesamaan sumbangan sesuai kebutuhan pasien yang memerlukan/membahagiakannya) b. Menuntut pengorbanan relatif sama, diukur dengan kemampuan mereka (kesamaan beban sesuai dengan kemampuan pasien). e. Prima Facie : dalam kondisi atau konteks tertentu, seorang dokter harus melakukan pemilihan 1 kaidah dasar etik ter-”absah” sesuai konteksnya berdasarkan data atau situasi konkrit terabsah (dalam bahasa fiqh ’ilat yang sesuai). Inilah yang disebut pemilihan berdasarkan asas prima facie.



Norma dalam etika kedokteran (EK) : 



Merupakan norma moral yang hirarkinya lebih tinggi dari norma hukum dan norma



 



sopan santun (pergaulan) Fakta fundamental hidup bersusila : Etika mewajibkan dokter secara mutlak, namun sekaligus tidak memaksa. Jadi dokter tetap bebas,. Bisa menaati atau masa bodoh. Bila melanggar : insan kamil (kesadaran moral = suara hati)nya akan menegur sehingga timbul rasa bersalah, menyesal, tidak tenang.



Sifat Etika Kedokteran : 1. Etika khusus (tidak sepenuhnya sama dengan etika umum) 2. Etika sosial (kewajiban terhadap manusia lain / pasien).



3. Etika individual (kewajiban terhadap diri sendiri = selfimposed, zelfoplegging) 4. Etika normatif (mengacu ke deontologis, kewajiban ke arah norma-norma yang seringkali mendasar dan mengandung 4 sisi kewajiban = gesinnung yakni diri sendiri, umum, teman sejawat dan pasien/klien & masyarakat khusus lainnya) 5. Etika profesi (biasa):  bagian etika sosial tentang kewajiban & tanggungjawab profesi  bagian etika khusus yang mempertanyakan nilai-nilai, norma



norma/kewajiban-kewajiban dan keutamaan-keutamaan moral Sebagian isinya dilindungi hukum, misal hak kebebasan untuk menyimpan







rahasia pasien/rahasia jabatan (verschoningsrecht) Hanya bisa dirumuskan berdasarkan pengetahuan & pengalaman profesi







kedokteran. Untuk menjawab masalah yang dihadapi (bukan etika apriori); karena telah berabad-abad, yang-baik & yang-buruk tadi dituangkan dalam kode etik (sebagai kumpulan norma atau moralitas profesi) Isi : 2 norma pokok :  sikap bertanggungjawab atas hasil pekerjaan dan dampak praktek profesi



bagi orang lain;  bersikap adil dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). 6. Etika profesi luhur/mulia : Isi : 2 norma etika profesi biasa ditambah dengan : Bebas pamrih (kepentingan pribadi dokter) Ada idealisme : tekad untuk mempertahankan cita-cita luhur/etos profesi = l’esprit de corpse pour officium nobile 7. Ruang lingkup kesadaran etis : prihatin terhadap krisis moral akibat pengaruh teknologisasi dan komersialisasi dunia kedokteran. Pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana penganiayaan Penganiayaan adalah tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum berupa tubuh manusia.Didalam KUHP terdapat ketentuan yang mengatur berbagai perbuatan yang menyerang kepentingan hukum yang berupa tubuh manusia. Dalam KUHP tindak pidana penganiayaan dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut: a.



Penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP



b.



Penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 KUHP



c.



Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 KUHP



d.



Penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 354 KUHP



e.



Penganiayaan berat berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 355 KUHP



f.



Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 356 KUHP.



Pasal 351 KUHP secara tegas merumuskan : 1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan Atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. 2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan penjara paling lama lima tahun. 3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan. 5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.



Rumusan tentang penganiayaan ringan yang terdapat dalam Pasal 352 KUHP adalah sebagai berikut: 1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. 2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.



Pasal 353 KUHP tentang penganiayaan berencana menyatakan: 1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.



2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana paling lama tujuh tahun. 3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara palinglama sembilan tahun.



4. Refleksi ke-Islaman beserta penjelasan evidence / referensi yang sesuai Hukum pidana islam sering disebut dalam fiqih dengan istilah Jinayah atau Jarimah. Pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang di kalangan fuqoha. Perkataan Jinayah berarti perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara. Meskipun demikian yang mengancam keselamatan jiwa seperti pemukulan pembunuhan dan sebagainya. Dan dari uraian Diatas dapat dijelaskan bahwa Jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan. Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan yang dilarang atau dicegah oleh syara’ (Hukum Islam). Apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai konsekuensi membahayakan agama, jiwa, akal kehormatan dan harta benda. Sedangkan istilah Jarimah identik dengan pengertian yang disebut dalam hukum positif sebagai tindak pidana atau pelanggaran. Maksudnya adalah satuan atau sifat dari suatu pelanggaran hukum. Dalam hukum positif diistilahkan dengan tindak pidana pencurian tindak pidana pembunuhan dan sebagainya, jadi dalam hukum positif Jarimah diistilahkan dengan delik atau tindak pidana. Kesimpulan yang dapat kita ambil dari kedua istilah tersebut adalah bahwa kedua istilah tersebut memiliki kesamaan dan perbedaan secara etimologis, kedua istilah tersebut bermakna tunggal, mempunyai arti yang sama serta ditunjukkan bagi perbuatan yang berkonotasi negatif, salah atau dosa. Adapun perbedaannya terletak pada pemakaian arah pembicaraan serta dalam rangka apa kedua kata itu digunakan. Hukuman dan prinsip jinayah Maksud pokok hukuman adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal- hal yang mafsadah karena islam itu sebagai



rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia. Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu Jarimah menurut islam adalah pertama, pencegahan serta balasan dan kedua adalah perbaikan dan pengajaran. Dengan tujuan tersebut, pelaku Jarimah diharapkan tidak mengulangi perbuatan jeleknya. Disamping itu, juga merupakan tindakan preventif bagi orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama. Disamping itu, Jarimah juga bertujuan untuk mengusahakan kebaikan serta pengajaran bagi pelaku Jarimah dengan tujuan ini, pelaku Jarimah diarahkan dan dididik untuk melakukan perbuatan baik serta meninggalkan perbuatan jahat. Dari pemaparan diatas dapat kita lihat bahwa hukuman dalam hukum pidana islam sangat memperhatikan nilainilai sosial serta mengedepankan asas kemaslahatan umat manusia Setelah kita mengetahui apa itu hukuman selanjutnya beranjak keprinsip prinsip hukuman. Adapun prinsip dasar untuk mencapai tujuan pemidanaan oleh ulama fiqih harus memenuhi beberapa kriteria.  Hukuman itu bersifat universal, yaitu dapat menghentikan orang dari melakukan suatu 



tindak kejahatan, bisa menyadarkan dan mendidik bagi pelaku Jarimah Penerapan materi hukuman itu sejalan dengan kebutuhan dan kemaslahatan







masyarakat (maslahat) Seluruh bentuk hukuman yang dapat menjamin dan mencapai kemaslahatan pribadi







dan masyarakat adalah hukuman yang disyaratkan karena harus dijalankan. Hukuman dalam islam hal balas dendam, tetapi untuk melakukan perbaikan terhadap pelaku tindak pidana.



Dalam kamus bahasa “Penganiayaan” disebut sebagai perbuatan yang menyakiti atau menganiaya manusia atau binatang kezaliman, penindasan dan menyakitkan. Adapun kata penganiayaan dalam istilah hukum Islam dapat diartikan dengan kata Jarimah dalam larangan syara’ yang di ancam oleh Allah SWT dengan hukuman had atau tazir. Istilah Jarimah mempunyai kandungan arti yang sama dengan kata Jinayah, dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah pidana delik atau tindak pidana. Hukum Pidana Islam



Kalau dilihat dari segi hukuman yang dincamkan dalam hokum pidana islam, terdapat beberapa jenis tindak pidana islam atau jarimah. Dimana jarimah tersebut diancamkan kepada pelakunya berdasarkan berat-ringannya hukuman. Jenis-jenis tersebut sebagai berikut: a. Jarimah Hudud Jarimah yang diancamkan hukuman had yaitu hukuman yang telah ditentukan dan telah menjadi hak Allah SWT yang dimaksudkan dengan hak Allah adalah hukuman tersebut tidak bias dihapuskan oleh perorangan ataupun masyarakat yang diwakili oleh negara. Adapun tindak pidana yang diancamkan hukuman had salah satunya adalah perzinahan. b. Jarimah Qishas dan Diyat Qishas menurut bahasa artinya memotong, sedang qishas menurut istilah adalah jarimah yang dijatuhi hukuman setimpal dengan perbuatannya. Diyat adalah hukuman pokok bagi pembunuhan dan penganiayaan semi sengaja dan tidak disengaja. Sedang menurut Ahmad Hanafi dalam bukunya tentang asas-asas hokum pidana islam diyat adalah campuran dari hukuman ganti kerugian bersama. Dalam al-qur’an menjelaskan undang-undang yang tercantum kitab taurat mengenai hukuman qis ās dalam Q.s. al Maidah ayat 45.



Artinya : Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (At-Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qishash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi)



penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. c. Jarimah Ta’zir Ta’zir berasal dari “Azara” yang menurut bahasa mencela. Sedangkan menurut istilah adalah peraturan-peraturan



larangan



yang



perbuatan



pidana



dan ancaman



hukumannya tidak secara tegas disebutkan dalam Al-Quran, tetapi diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim. Demikianlah mengenai hal ini, maka hukumnya dirinci, harus mempertimbangankan mashlahat dan mafsadat serta memaparkan keadaan-keadaan yang lain kepada ulama/ustadz yang berilmu sehingga bisa diambil kesimpulan hukum yang mungkin berbeda dalam setiap kasus individu tertentu. wallahu a’lam.



DAFTAR PUSTAKA



Ali, Zainudin. 2007. Hukum pidana islam. Edisi 1. Cet 1. Sinar Grafika. Jakarta. Badriah, S. 2007. Tindak pidana penganiayaan menurut hokum islam dan hokum positif. [SKRIPSI]. Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Nindia, A. 2009. Tinjauan hokum islam terhadap tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian. [SKRIPSI]. Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga. Yogyakarta.



Umpan balik dari pembimbing



Bandar Lampung, 7 febuari 2016 TTD Dokter Pembimbing



TTD Dokter Muda



dr. Handayani Dwi Utami, M. Kes Sp. F



Vandy Ikra, S.Ked