Resume Hukum Pertanahan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Resume Hukum Pertanahan Pengertian Agraria Dalam bahasa latin ager berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agraria berarti urusan pertanian dan tanah petanian., juga urusan pemilikan tanah. Di Indonesia sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non-pertanian. Pengertian agraria menurut UUPA dalam arti luas meliputi bumi, air, kekayaan yang terkandung di dalamnya, dan ruang angkasa. Sejarah Agraria Pada zaman Pemerintah Belanda, sampai sebelum lahirnya UUPA, hukum agraria yang digunakan adalah Hukum Tanah Administratif pemerintah Hindia Belanda. Yang yang diadakan dalam rangka melaksanakan



politik pertanahan



kolonial yang dituangkan dalam Agrarische Wet 1870. Agrarische Wet adalah suatu undang-undang yang dibuat di negeri Belanda. Agrarische Wet diundangkan dalam S 1870-55. Tujuan utama Agrarische Wet adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindia Belanda. Salah satu hak yang ada di dalamnya adalah hak erfpacht. Hak erfpacht merupakan hak kebendaan yang memberikan kewenangan yang paling luas kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan pihak lain. Ketentuan dalam Agrarische Wet pelaksanaanya diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan. Diantaranya adalah Koninklijk Besluit yang dikenal dengan sebutan Agrarisch Besluit. Koninklijk Besluit ini diundangkan dalam S 1870-118. Pasal 1 Agrarisch Besluit dinilai “memperkosa” hak-hak atas tanah rakyat yang bersumber pada hukum adat. Jika diterjemahkan, pasal tersebut berbunyi, “ Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) Negara”. Pasal tersebut juga dikenal sebagai “Domein Verklaring”. Domein Verklaring dibagi menjadi 2, yaitu Algemene Domein Verklaring dan Speciale Domein Verklaring.



Algemene Domein Verklaring tertuang dalam pasal 1 Agrarisch Besluit. Sementara Speciale Domein Verklaring tertuang dalam peraturan hak erfpacht. Domein Verklaring berfungsi sebagai landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili Negara sebagai pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUH Perdata. Yang kedua adalah untuk pembuktian kepemilikan. Dalam tafsiran pemerintah Hindia Belanda, tanah-tanah yang dipunyai rakyat dengan hak milik adat, demikian juga tanah-tanah ulayat masyarakatmasyarakat hukum adat adalah tanah domein Negara. Hak milik adat tidak disamakan dengan hak milik dalam KUH Perdata. Pada masa Pemerintahan Sisipan Inggris, tahun 1811-1816, Thomas Stamford Raffles mengemukakan suatu teori, yang dikenal sebagai Teori Domein Raffles. Dinyatakan oleh Raffles, bahwa tanah-tanah di daerah kekuasaanya semula adalah milik para Raja di Jawa. Karena kekuasaan berpindah kepada Pemerintah Inggris, pemilikan atas tanah-tanah tersebut beralih kepada Raja Inggris. Oleh karena itu rakyat wajib memberikan sesuatu kepada Raja Inggris. Apa yang wajib diberikan itu dikenal sebagai land rent Raffles. Para kepala desa diberi kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayarkan oleh petani. Kekuasaan kepala desa yang sedemikian besarnya menjungkirbalikkan hukum yang mengatur pemilikan tanah rakyat. Seharusnya luas kepemilkan tanahlah yang menentukan besarnya sewa yang harus dibayar. Tetapi dalam praktek besarnya sewa yang sanggup dibayarlah yang menentukan luas luas tanah yang boleh dikuasai oleh seseorang. Sebagaimana halnya dengan Hukum Perdata, Hukum Tanah pun berstruktur ganda atau dualistik. Yaitu berlakunya Hukum Tanah Adat dan Hukum Tanah Barat. Ada tanah-tanah dengan hak-hak barat, seperti hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal, yang disebut tanah-tanah hak barat atau tanah-tanah Eropa. Ada tanah-tanah dengan hak Indonesia, seperti tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut tanah-tanah hak adat. Juga hak-hak ciptaan Pemerintah Swapraja seperti grant sultan. Tanah-tanah



hak



barat



hampir



semuanya



terdaftar



dalam



kantor



Overschrijvings Ambtenaar dan dipetakan oleh Kantor Kadaster. Tanah-tanah hak adat hampir semuanya belum didaftar. Tanah-tanah hak adat merupakan bagian terbesar tanah di Hindia Belanda. Salain hak-hak atas tanah yang beraneka perangkat, Hukum Tanah mengenal perangkat hak jaminan atas tanah yang dualistik juga. Hak jaminan atas tanah ada 2,



yaitu droit de preference dan droit de suit. Untuk bisa dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak jaminan atas tanah, tanah yang bersangkutan haknya harus termasuk golongan yang didaftar. Dan secara tegas ditunjuk oleh undang-undang sebagai obyek lembaga hak jaminan yang bersangkutan. Untuk hak tanah-tanah eigendom, hak erfpacht dan hak opstal disediakan Hypotheek sebagai lembaga hak jaminan atas tanah. Untuk tanah-tanah milik adat, lembaga hak jaminannya credietverband. Selain Hypotheek dan Credietverband, sejak zaman Hindia Belanda di Indonesia digunakn juga lembaga fiduciaiere eigendoms overdracht atau FEO sebagai jaminan atas tanah. Perbuatan hukum fiducia adalah pemindahan hak atas benda yang bersangkutan kepada kreditor, tetapi dengan pengertian dan persetujuan bersama atas dasar saling percaya, bahwa hal itu semata-mata dimaksudkan hanya sebagai jaminan kredit, dan benda yang dijadikan jaminan tersebut tetap dikuasai dan digunakan oleh debitor. Dalam hukum adat tidak dikenal lembaga hak jaminan atas tanah dalam pengertian bahwa jika debitor tidak memenuhi kewajibannya, tanah yang ditunjuk sebagai agunan akan dijual lelang oleh kreditor untuk pelunasan piutangnya. Hubungan utang piutang di kalangan warga masyarakat hukum adat digunakan lembaga jonggolan. Dualisme hokum yang mengatur bidang pertanahan oleh UUPA dinilai tidak sesuai dengan cita-cita kesatuan dan persatuan bangsa. Setelah kemerdekaan, usaha untuk mengadakan perombakan Hukum Agraria secara menyeluruh ternyata memerlukan waktu yang lama. Sementara itu banyak sekali persoalan yang dihadapi, yang harus diselesaikan dan tidak dapat ditangguhkan hingga terbentuknya hukum yang baru ini. Untuk itu maka terpaksalah digunakan Hukum Tanah yang lama, tetapi pelaksanaannya didasarkan atas kebijakan dan kebijaksanaan baru dan dengan memakai tafsir yang baru pula, yang sesuai dengan asas-asas Pancasila dan tujuan sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 33 UUD 1945. Selain itu dikeluarkanlah berbagai peraturan yang meniadakan beberapa lembaga feodal dan kolonial yang masih ada, demikian juga yang mengubah dan memperlengkapi aturan–aturan yang lama. Salah satu langkah yang dilakukan Pemerintah setelah kemerdekaan adalah menghapus desa-desa perdikan. Desa perdikan pada umunya mempunyai hak istimewa berupa pembebasan dari pembayaran pajak tanah, karena jasa-jasa tertentu



pendirinya kepada raja atau sultan yang berkuasa sebelum atau selama masa awal penjajahan. Pada tahun 1948 lembaga konversi dihapuskan dengan UU No. 13 tahun 1948. Dan pada tahun 1950 hak-hak konversi dihapuskan dengan Undang-Undang No. 5 tahun



1950.



Dalam



Vorstenlandsch



Gronhuur



Reglement



(VGR),



dengan



“beschiking” Raja, diberika jaminan bahwa penguasa akan memperoleh tanah yang diperlukan untuk perusahaannya dengan hak istimewa, selama jangka waktu maksimal 50 tahun. Hak yang timbul atas kekuatan keputusan raja itu lazim disebut pula hak konversi. Pada tahun 1958 dikeluarkanlah UU No. 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah hak eigendom yang mempunyai sifat dan corak yang istimewa. Yang membedakannya dengan hak eigendom lainnya adalah adanya hak-hak pada pemiliknya yang disebut sebagai “hak-hak pertuanan”. Untuk persewaan tanah rakyat, terdapat perubahannya yaitu UU Darurat No. 6 tahun 1951. Kemudian ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No. 6 tahun 1952. Dengan itu persewaan tanah rakyat untuk tanaman tebu dan lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian hanya diperbolehkan paling lama 1 tahun atau 1 tahun tanam. Sebelum itu dimungkinkan adanya persewaan berjangka waktu panjang sampai 21½ tahun. Undabg-undang tersebut mengalami perubahan dengan UU No. 38 Prp th 1960 dan diubah lagi dengan UU No. 20 tahun 1964. Sejarah Penyusunan Undang-undang Agraria Pada tahun 1948 dimulai usaha-usaha yang konkret untuk menyusun dasardasar Hukum Agraria yang baru menggantikan Hukum Agraria warisan pemerintah jajahan. Usaha tersebut dimulai dengan pembentukan Panitia Agraria Yogya. Panitia tersebut dibentuk dengan Penetapan Presiden RI tanggal 21 Mei 1948 no. 16, diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo dan beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai kementrian dan jawatan. Panitia ini bertugas memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang soalsoal yang mengenai hukum tanah seumumnya, merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria negara Republik Indonesia, merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama. Panitia tersebut mengusulkan: 1. Dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat. 2. Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggungan.



3. Supaya diadakan penyelidikan dalam peraturan-peraturan negara lain, sebelum menentukan apakah orang-orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah. 4. Perlunya diadakan penetapan luas minimum tanah untuk menghindarkan pauperisme diantara petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang patut, sekalipun sederhana. 5. Perlunya adanya penetapan luas maksimum. 6. Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak tanah yang diusulkan oleh Sarimin Reksodihardjo. 7. Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting. Atas pertimbangan bahwa Panitia Agraria Yogya tidak sesuai lagi dengan kondisi negara, maka dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia no. 36 tahun 1951 panitia tersebut dibubarkan. Dan diganti dengan Panitia Agraria Jakarta. Panitia ini diketuai oleh Singgih Praptodihardjo. Tugas panitia ini hampir sama dengan Panitia Agraria Yogya. Kesimpulan-kesimpulan panitia mengenai tanah untuk pertanian kecil (rakyat) yaitu: 1. Mengadakan batas minimum sebagai ide. 2. Ditentukan pembatasan maksimum 25 hektar untuk satu keluarga. 3. Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya penduduk warga negara Indonesia. 4. Uuntuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum. 5. Hak ulayat disetujui untuk diatur sesuai dengan pokok-pokok dasar Negara Dengan Keputusan Presiden RI no. 1 tahun 1956, Panitia Agraria Jakarta dibubarkan, dan dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo. Tugas utama Panitia Soewahjo ialah mempersiapkan rencana UUPA yang nasional, sedapat-dapatnya dalam waktu 1 tahun. Adapun pokok-pokok penting rancangan UUPA hasil karya panitia tersebut adalah: 1. Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat 2. Asas domein diganti dengan Hak Kekuasaan Negara 3. Dualisme hukum agraria dihapuskan. 4. Hak-hak atas tanah 5. Hak Milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang warga negara Indonesia.



Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia no. 97 tahun 1958 Panitia Soewahjo dibubarkan karena tugas utamanya sudah diselesaikan. Dengan beberapa perubahan mengenai sistematika dan rumusan beberapa pasalnya, Rancangan Panitia Soewahjo diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada Dewan Menteri pada tanggal 14 Maret 1958. Rancangan Soenarjo disetujui oleh Dewan Menteri dan diajukan kepada DPR dengan Amanat Presiden no. 1307 tahun 1958. Berhubung berlakunya kemballi UUD 1945, Rancangan Soenarjo yang masih memakai dasar Undang-undang Dasar Sementara ditarik kembali dengan surat Pejabat Presiden no. 1532 tahun 1960. Setelah disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dalam bentuk yang lebih sempurna dan lengkap diajukanlah Rancangan UUPA yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo. Rancangan tersebut diajukan ke DPR. Rancangan Sadjarwo menggunakan hukum adat sebagai dasarnya. Pada hari Sabtu tanggal 24 September 1960 Rancangan Undang-undang tersebut disetujui oleh DPR-GR dan disahkan oleh Presiden Soekarno menjadi Undang-undang no. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau yang lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Peraturan-peraturan yang tidak berlaku lagi dengan mulai berlakunya UUPA ialah: 1. Seluruh pasal 51 IS. 2. Semua pernyataan Domein dari Pemerintah Hindia Belanda. 3. Peraturan mengenai hak agrarisch eigendom 4. Pasal-pasal buku II KUH Perdata sepanjang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Gambaran Hukum Tanah Nasional Hukum tanah yang baru harus bersifat nasional, baik itu segi formal maupun material. Dari segi formalnya Hukum Tanah Nasional harus dibuat oleh pembentuk Undang-Undang Indonesia, dibuat di Indonesia, dan disusun pula dalam bahasa Indonesia. Mengenai segi materialnya Hukum Tanah yang baru harus nasional pula, yaitu berkenaan dengan tujuan, konsepsi, asas-asas, system dan isinya. Dalam hubungannya ini UUPA menyatakan pula dalam konsideransnya, bahwa Hukum Agraria yang baru itu: 1. Harus didasarkan atas hukum adat tentang tanah. 2. Harus sederhana. 3. Harus menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.



4. Harus tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. 5. Harus memberikan kemungkinan supaya bumui, air, dan ruang angkasa dapat mencapai fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur. 6. Harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia 7. Harus memenuhi pula keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan zaman dan segala soal agraria. 8. Harus mewujudkan penjelmaan daripada Pancasila. 9. Harus melaksanakan pelaksanaan daripada Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959 dan Manifesto Politik Republik Indonesia. 10. Harus melaksanakan pula ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Hukum Adat Dalam Hukum Tanah Nasional UUPA menciptakan Hukum Tanah Nasional yang tunggal, yang didasarkan pada Hukum Adat. Pernyataan mengenai Hukum Adat dalam UUPA kita jumpai dalam konsiderans UUPA, penjelasan umum III(1), pasal 5, penjelasan pasal 5, penjelasan pasal 16, pasal 56, pasal 58. Yang dimaksudkan UUPA dengan Hukum Adat adalah hukum aslinya golongan pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan. Konsepsi Hukum Adat dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Tata susunan dan hierarki hak-hak penguasan atas tanah dalam Hukum Adat adalah sebagai berikut: 1. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, sebagai hak penguasaan yang tertinggi, beraspek hukum keperdataan dan hukum publik. 2. Hak Kepada Adat dan para Tetua Adat, yang bersumber pada Hak Ulayat dan beraspek hukum publik semata. 3. Hak-hak atas Tanah, sebagai hak-hak individual, yang secara langsung atau tidak langsung bersumber pada Hak Ulayat dan beraspek hukum keperdataan. Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan



masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Hak Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkunga wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang belum. Masyarakat adatlah, sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya, yang mempunyai Hak Ulayat, bukan orang seorang. Hak Ulayat mempunyai kekuatan hukum berlaku ke dalam dan ke luar. Untuk perangkaian hak-hak dan kewajiban masyarakat hukum adat itu UUPA memakai nama Hak Ulayat. Hak Ulayat diakui oleh UUPA, tetapi pengakuan itu disertai dengan 2 syarat, yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Hak Ulayat diakui dalam pasal 3 UUPA. Apa yang merupakan kriteria bagi masih adanya Hak Ulayat di kelompok warga masyarakat hukum adat tertentu itu tidak terdapat ketentuannya, baik dalam UUPA sendiri maupun dalam penjelasannya. Masih adanya Hak Ulayat diketahui dari kenyataan mengenai: 1) masih adanya suatu kelompok orang-orang yang merupakan warga suatu masyarakat hukum adat tertentu, 2) masih adanya tanah yang merupakan wilayah masyarakat hukum adat tersebut, 3) kepala adat dan tetua adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh warganya, melakukan kegiatan sehari-hari, sebagai pengemban tugas kewenangan masyarakat adatnya. Sengaja UUPA tidak mengadakan pengaturan dalam bentuk peraturan perundangan mengenai Hak Ulayat, dan membiarkan pengaturannya tetap berlangsung menurut hukum adat setempat. Hak Ulayat yang sudah melemah tidak akan dikembalikan menjadi kuat lagi. Hak Ulayat pun tidak akan didaftar. Dalam penjelasan umum II angka 3 kepentingan masyarakat hukum adat harus mengalah pada kepentingan nasional yang lebih luas. Mengenai bentuk imbalan terhadap bidang tanah yang dikuasai oleh hak ulayat ditetapkan dalam pasal 14, penggantian diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Apa yang dikemukaakan di atas juga berlaku dalam usaha memperoleh bagian-bagian tanah ulayat yang sudah dimiliki secara individual oleh warga masyarakat hukum adat. Asas-asas Hukum Adat yang digunakan dalam Hukum Tanah Nasional anatra lain adalah asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan, pemerataan, dan keadilan sosial, asas penggunaan dan pemeliharaan tanah secara berencana, serta asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.



Sistem hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional yang berasal dari Hukum Adat adalah Hak Bangsa Indonesia, Hak Menguasai dari Negara, hak-hak penguasaan individual. Hubungan fungsional antara Hukum Adat dengan Hukum Tanah Nasional antara lain: Hukum Adat sebagai sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional., Hukum Adat sebagai pelengkap Hukum Tanah Nasional positif yang tertulis, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, tidak boleh bertentangan dengan Sosialisme Indonesia, tidak boleh bertentangan dengan UUPA, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan lainnya, Hukum Adat sebagai bagian dari Hukum Tanah Nasional. Pengejawantahan Sila-sila Pancasila dalam UUPA Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dirumuskan dalam UUPA pasal 1 ayat 2, pasal 1 ayat 3, pasal 14 dan pasal 49. Dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab antara lain terdapat dalam pasal 10, penjelasan umum II angka 7, pasal 11 ayat 1, dan pasal 1 ayat 3. Dasar Persatuan Indonesia ada dalam pasal 1, pasal 9 ayat 1, pasal 21 ayat 1, 2, 3, pasal 30, pasal 36, pasal 42, dan penjelasan pasal 42. Dasar Demokrasi atau Kerakyatan ditunjukkan dalam pasal 9 ayat 2, penjelasan pasal 9 ayat 2, pasal 1 ayat 1, 2, pasal 11, pasal 15, pasal 26 ayat 1. Asas Musyawarah terdapat dalam pasal 3, pasal 9, dan pasal 1 ayat 5 UUPA. Dasar Keadilan Sosial dapat kita temukan dalam pasal 11 ayat 2, pasal 13, pasal 15, pasal 10, pasal 7, pasal 17, pasal 53, dan penjelasan umum II/7. Hak-hak Penguasaan Tanah dalam Hukum Tanah Nasional. Hak-hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang dihaki. Dalam Hukum Tanah Nasional ada bermacam-macam hak atas tanah, yang dapat disusun dalam jenjang tata susunan atau hierarki sebagai berikut. : 1. Hak Bangsa Indonesia 2. Hak Menguasai dari Negara 3. Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada 4. Hak-hak individual: a. Hak-hak atas tanah



- primer



: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang diberikan oleh Negara, dan Hak Pakai, yang diberikan oleh Negara.



- sekunder : Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi-Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa dan lain-lainnya. b. Wakaf c. Hak jaminan atas tanah: Hak Tanggungan Hak Bangsa Indonesia diatur dalam pasal 1 ayat 1, 2, 3. Hak Bangsa mengandung 2 unsur, yaitu unsur kepunyaan, dan unsur tugas kewenanagn untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya. Subyek Hak Bangsa Indonesia adalah seluruh rakyat Indonesia sepanjang masa yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia. Hak Bangsa meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Tanah bersama tersebut merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat Indonesia. Hak Bangsa merupakan hubungan hukum yang bersifat abadi. Hak Menguasai dari Negara diatur dalam pasal 2 UUPA. Subyek Hak Menguasai dari Negara adalah Negara Republik Indonesia. Hak Menguasai dari Negara meliputi semua tanah dari wilayah Republik Indonesia. Hak Menguasai dari Negara merupakan pelimpahan tugas kewenanagan Bangsa Indonesia, yang dilakukan oleh wakil-wakil Bangsa Indonesia pada waktu menyusun UUD 1945 dan membentuk Negara Republik Indonesia. Hak Menguasai dari Negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain. Tetapi pelaksanaanya dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah dan masyarakatmasyarakat hukum adat. Hak Menguasai dari Negara tidak akan hapus selama Negara RI masih ada sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Hak Ulayat diatur dalam pasal 3 UUPA. Pemegang Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat. Yang menjadi obyek Hak Ulayat adalak semua tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat teritorial yang bersangkutan. Hak Ulayat pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang



atau



sesuatu



kekuatan



gaib,



pada



waktu



meninggalkan



atau



menganugerahkan tanah yang bersangkutan kepada orang-orang yang bersangkutan yang merupakan kelompok-kelompok tertentu. Hak Ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada.



Hak-hak atas tanah diatur dalam pasal 4 ayat 1 dan 2, pasal 16 ayat 1, dan pasal 53. Hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat 1 ialah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan. Hak Milik sifatnya sangat khusus. Bukan sekedar berisikan kewenanagan untuk memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki, tetapi juga mengandung hubungan



psikologis-emosional



antara



pemegang



hak



dengan



tanah



yang



bersangkutan. Hak Milik pada dasarnya diperunukkan khusus bagi warga negara Indonesia saja yang berkewarganegaraan tunggal. Hanya tanah Hak Milik yang dapat diwakafkan. Hak Milik merupakan hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh. Hak Guna Usaha memberi kewenangan memakai tanah untuk diusahakan. Hak Guna Bangunan memberi kewenangan untuk membangun sesuatu diatasnya. Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan jangka waktunya dibatasi, diberikan selain kepada warganegara Indonesia, juga kepada badan-badan hukum Indonesia. Hak untuk memakai tanah yang penggunaan tanahnya dan/atau penggunaannya tidak dapat diberikan dengn Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, disebut sebagai Hak Pakai. Selain hak-hak atas tanah yang disebut dalam pasal 16, dijumpai juga hak-hak sementara, yaitu Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa untuk usaha pertanian. Hak atas tanah memberi kewenanagan kepada pemegang haknya untuk mempergunakan tanah yang dihaki. Kewenangan ini ada pembatasannya. Pembatasan yang bersifat umum misalnya penggunaan wewenang tersebut tidak boleh menimbulkan kerugian bagi pihak lain atau mengganggu pihak lain. Selain kewenangan–kewenangan hak atas tanah juga berisikan kewajiban-kewajiban. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Tanah yang dihaki seseorang bukan hanya mempunyai fungsi bagi yang mempunyai hak atas tanah itu saja, tetapi juga bagi Bangsa Indonesia seluruhnya. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya. Adanya fungsi-fungsi sosial hak atas tanah berarti, bahwa tanah juga bukan komoditi perdagangan, biarpun dimungkinkan tanah yang dipunyai dijual, jika ada keperluan. Hak-hak atas tanah yang ada dalam Hukum Tanah Nasional berasal dari perubahan atau konversi hak-hak yang lama. Hak-hak atas tanah yang primer tercipta



karena pemberian oleh Negara. Terciptanya hak-hak atas tanah yang sekunder dalam rangka pembebanan hak-hak atas tanah. Hak Milik dapat dibebani hak-hak atas tanah yang lain. Tidak ada ketentuan dalam UUPA bahwa Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai dapat dibebani hak atas tanah yang lain. Hak jaminan atas tanah adalah hak yang ada pada kreditor, yang memberi wewenang kepadanya , jika debitor cedera janji, untuk menjual tanah yang secara khusus ditunjuk sebagai jaminan dan mengambil pelunasan piutangnyadari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahului dari para kreditorkreditor yang lain. Sejak berlakunya UUPA, satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah yang hukumnya tertulis adalah Hak Tanggungan. Sementara itu masih juga digunakan lembaga Fiducia, sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang hukumnya tidak tertulis, untuk Hak atas tanah yang diberikan oleh negara kepada orang perseorangan atau badan-badan hukum perdata dengan jangka waktu yang terbatas. Peralihan hak atas tanah bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan perbuatan hukum pemindahan hak. Menurut hukum perdata, jika pemegang hak atas suatu tanah meninggal dunia, hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya. Dalam perbuatan hukum pemindahan hak, hak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain. Pemindahan haknya bisa berupa jual beli, tukar menukar, hibah, pemberian menurut adat, pemasukan dalam perusahaan, hibah wasiat. Ada berbagai peristiwa hukum yang dapat mengakibatkan hapusnya hak atas tanah. Mengenai hak-hak atas tanah yang berjangka waktu tertentu, dengan berakhirnya jangka waktu yang bersangkutan, haknya menjadi hapus, jika tidak ada kemungkinan untuk dan tidak dimintakan perpanjangan jangka waktu. Hak atas tanah juga menjadi hapus jika dilepaskan atau diserahkan dengan sukarela oleh pemegang haknya, jika dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, tidak dipenuhinya suatu kewajiban atau dilanggarnya suatu larangan. Pencabutan hak yang dimaksud dalam pasal 18, dan tanah yang bersangkutan musnah. Hal lain yang menyebabkan hak atas tanah hapus adalah jika hak milik diwakafkan dan dijadikan wakaf. Perwakafan tanah Hak Milik adalah perbuatan hukum suci, mulia, terpuji, yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum, dengan memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah Hak Milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya menjadi wakaf sosial, yaitu wakaf yang



diperuntukkan bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Perwakafan tanah hak milik diatur dalam UUPA pasal 49 ayat 3. Yang berhak mewakafkan umumnya perorangan pemilik tanah yang bersangkutan, yang telah dewasa dan sehat akalnya, serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum. Tanah yang dapat diwakafkan terbatas pada tanah yang berstatus Hak Milik. Perwakafan dilakukan oleh wakif dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, dengan cara mengucapkan ikrar wakaf yang disaksikan oleh 2 orang saksi. Pada dasarnya tanah yang sudah diwakafkan tidak dapadt dilakukan perubahan peruntukan dan penggunaan yang menyimpamg dari yang sudah ditentukan dalam Ikrar Wakaf. Namun, dalam hal-hal tertentu, dengan persetujuan Menteri Agama, dapat diadakan perubahan. Wakaf menurut sifat dan tujuannya tidak dapat dipindahtangankan, dan tidak dapat dijadikan jaminan hutang. Pada dasarnya ketentuan-ketentuan konversi UUPA adalah sebagai berikut: 1. Hak Eigendom menjadi Hak Milik, jika pemiliknya pada tanggal 24 September 1960 berkewarganegaraan Indonesia tunggal. 2. Hak Milik Adat, Hak Agrarisch Eigendom, Hak Grant Sultan dan yang sejenis menjadi Hak Milik, jika pemiliknya pada tanggal 24 September 1960 berkewarganegaraan Indonesia tunggal. 3. Hak Erfpacht untuk perkebunan besar menjadi Hak Guna Usaha, yang berlangsung selama sisa waktunya, tetapi selama-lamanya 20 tahun. 4. Hak Erfpacht untuk perumahan dan hak opstal menjadi Hak Guna Bangunan, yang berlangsung selama sisa waktunya, tetapi selama-lamanya 20 tahun. 5. Hak-hak atas tanah yang memberi wewenanag sebagaimana atau mirip dengan hak pakai yang dimaksud dalam pasal 41 ayat 1 UUPA, menjadi Hak Pakai. 6. Hak Gogolan yayang bersifat tetap menjadi Hak Milik, sedang yang tidak tetap menjadi Hak Pakai.