Resume Tutor A Sken 1 Blok 7 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RESUME TUTORIAL SKENARIO 1 : SUARA SERAK



OLEH: M. ERDIAN DWI R



1320101010101



ZAIN IRFAN RAFLI



152010101046



LAILATUL MAGHFIROH



172010101003



SYAHDA NABILLA ARISTAWIDYA



172010101017



DWI AYU NOVINDA SARI



172010101021



LAILATUL MAGHFIROH



172010101029



VIOLITA INDRA SUSETIYO



172010101034



NADILLA APRILYA PRATIWI



172010101064



EZZALANA IKVINA DINA K



172010101073



WYNNE BELLYNDA P



172010101079



FARAH FITRIYAH BASAR



172010101086



AHMAD RIFQI MUAVI



172010101089



ZHAFIRAH RANA LABIBAH



172010101091



CALISTA PADMA PARAMITHA S



172010101099



NOVAL HIDAYAT



1720101010121



KELOMPOK TUTORIAL A FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2018/2019



KI 1. Uvula: Berasal dari kata latin “Uvu” yang artinya anggur, yang berarti uvula mrupakan potongan kecil yang menggantung di bagian belakang tenggorokan, uvula juga dapat memproduksi banyak kelenjar saliva dalam waktu yang singkat. (Dorland, 2008) 2. Tonsil : merupakan bagian dari sistem kelenjar getah bening yang berada pada sisi kiri dan kanan bagian belakang rongga mulut. Tonsil juga merupakan bagian dari sistem kekebalan yang menjaga tubuh manusia dari infeksi saluran nafas atas dan faring. (Dorland, 2008) 3. Sekret mukopurulen Sputum kental, bewarna kuning kehijauan, yang menandakan adanya infeksi sekunder bakteri (AS, 2013). RM 1. Apa hubungan lingkungan kandang ayam dengan penyakit yang diderita pasien? Ada kemungkinan pasien terjangkit virus Avian Influenza (AI) yang banyak ditemukan pada lingkungan kandang ayam. Penyebaran virus tersebut terjadi melalui udara (droplet infection) di mana virus dapat



tertanam pada membran mukosa yang melapisi saluran napas atau langsung memasuki alveoli (tergantung dari ukuran droplet). Virus yang tertanam pada membran mukosa akan terpajan mukoprotein yang mengandung asam sialat yang dapat mengikat virus. Reseptor spesifik yang dapat berikatan dengan virus influenza berkaitan dengan spesies darimana virus berasal.



2. Mengapa terdapat pembesaran tonsil dan uvula bergeser ke kontralateral? Pembesaran Tonsil: Tonsil merupakan jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel resirasi yang berinvaginasi dan membentuk kripta. Kripta ini merupakan celah untuk masuknya bakteri. Tonsil sendiri merupakan bagian dari system limfatik yang berperan pada imunitas. Apabila tubuh mengalami infeksi maka tonsil akan menghasilkan limfosit dan aktif mensintesis immunoglobulin saat terjadinya infeksi di tubuh. Hal itu menyebabkan tonsil akan membengkak sebagai respon terhadap infeksi. Ini merupakan pathogenesis dari tonsillitis akut (Tanto, et al., 2014). Uvula bergeser ke kontralateral: Adanya uvula bergeser ke kontralateral ini merupakan gejala khas dari abses peritonsil. Abses peritonsil muncul karena merupakan komplikasi tonsillitis akut (Tanto, et al., 2014). Karena ada kemungkinan seseorang tersebut terkena abses peritonsil, karena ciri-ciri seseorang terkena abses peritonsil adalah bergesernya uvula ke arah kontralateral. (THT FK UI, 2007)



3. Mengapa Palpasi ala nasi dan sinus terasa nyeri? Pasien mengalami penyakit rhinosinusitis karena pada skenario ditemukan adanya sekret mukopurulen dimana itu merupakan tanda adanya infeksi sekunder bakteri. Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium sinus dan kelancaran klirens dari mukosiliar di kompleks osteo meatal. Mucus



mengandung lisozim dan zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk Bersama udara. Bila terinfeksi, organ pembentuk kompleks osteo meatal mengalami edema sehingga mukosa saling bertemu menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan ostium tersumbat yang menimbulkan tekanan negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan drainase sinus terhambat. Efek awal adalah keluarnya caira serous. Bila tidak sembuh maka secret akan tertumpuk dalam sinus dan menjadi media yang baik untuk tumbuhnya bakteri dan secret berubah menjadi purulent.kemudian akan terjadi hipoksia dan bakteria anaerob semakin berkembang yang menyebabkan perubahan kronik dari mukosa. Inilah mengapa bila dilakukan palpasi ala nasi dan palpasi sinus akan terasa nyeri (Tanto, et al., 2014). 4. Bagaimana bisa ada sekret mukopurulen di meatus media? Pasien mengalami penyakit rhinosinusitis yang ditandai adanya sekret mukopurulen dimana itu merupakan tanda adanya infeksi sekunder bakteri. Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium sinus dan kelancaran klirens dari mukosiliar di kompleks osteo meatal. Mukus mengandung lisozim dan zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk Bersama udara. Bila terinfeksi, organ pembentuk kompleks osteo meatal mengalami edema sehingga mukosa saling bertemu menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan ostium tersumbat yang menimbulkan tekanan negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan drainase sinus terhambat. Efek awal adalah keluarnya cairan serous. Bila tidak sembuh maka sekret akan tertumpuk dalam sinus dan menjadi media yang baik untuk tumbuhnya bakteri dan sekret berubah menjadi purulent (mucus yang bercampur dengan pus yang mengandung sel leukosit dan sel mati). Kemudian akan terjadi hipoksia dan bakteria anaerob semakin berkembang yang menyebabkan perubahan kronik dari mukosa (Tanto, et al., 2014).



5. Bagaimana pemeriksaan rinoskopi anterior? Pemeriksaan rinoskopi anterior memerlukan speculum hidung. Pada anak dan bayi kadang-kadang tidak diperlukan. Spekulum dimasukkan ke dalam lubang hidung dengan hati-hati dan dibuka setelah speculum berada di dalam. Vestibulum hidung, septum terutama bagian anterior, concha inferior, concha media, concha superior serta meatus sinus paranasal, dan keadaan mukosa rongga hidung harus diperhatikan. Begitu juga rongga hidung disisi yang lain. Kadang-kadang rongga hidung ini sempit karena adanya edema mukosa. Pada keadaan seperti ini, perlu dimasukkan tampon kapas adrenalin pantokain beberapa menit untuk mengurangi eduma mukosa sehingga rongga hidung lebih lapang. 6. Mengapa ada pasien 1 tahun meninggal karena sesak napas berat dan kebiruan di tangan kaki? a. Penutupan Laring Iritasi pada bagian laring dapat diakibatkan oleh berbagai hal seperti infeksi, paparan benda asing, faktor thermal, mekanik, dan bahan kimia. Iritasi ini dapat menyebabkan terjadinya inflamasi pada bagian laring utamanya pada bagian plika vocalis. Pada saat inflamasi salah satu cirinya adalah timbul pembesaran atau oedema di bagian sekitar tempat radang. Pembesaran ini akan mngakibatkan plika vocalis tidak dapat menutup sempurna pada saat seharusnya menutup dan akan mengakibatkan frekunsi suara yang dihasilkan menjadi tidak sesuai seperti yang diharapkan. b. Kebiruan Pada saat tubuh kekurangan oksigen maka akan terjadi proses penyelamatan darurat yang dilakukan oleh tubuh itu sendiri. Proses ini dimulai dengan vasokonstriksi pembuluh darah di bagian perifer dan vasodilatasinya pembuluh darah di organ-organ penting seperti otak, jantung, dan organ penting lainnya. Vasokonstriksi pembuluh darah pada bagian perifer mengakibatkan terjadinya penumpukan karbondioksida yang terdapat di bagian perifer (khususnya pada bagian akral) dan akan



mengakibatkan akral menjadi berwarna biru. Vasodilatasi pada organ penting bertujuan untuk menambah pasokan oksigen yang diberikan pada saat minimnya kadar oksigen pada darah agar proses kehidupan dapat terus berlangsung. 7. Mengapa Pasien bisa mengalami keluhan suara serak, demam, batuk, dan pilek? Karena menurut skenario disebutkan bahwa profesi pasien adalah seorang guru SD sehingga sehingga kemungkinan yang terjadi adalah laring dan pita suara terlalu sering digunakan dalam jangka waktu yang lama dan melebihi kapabilitas pita suara atau pun laring sehingga terjadilah cidera pada bagian tersebut. Demam terjadi karena proses fisiologis tubuh untuk meningkatkan setpoint agar membunuh virus atau pun bakteri yang masuk ke dalam tubuh (sherwood, 2007). Sehingga terdapat kemungkinan bahwa pasien tersebut terkena penyakit infeksi karena bakteri ataupun virus. pilek terjadi karena virus patogen atau bakteri berhasil menembuh lapisan mukosa yang dihasilkan oleh sel goblet pada cavum nasi,sehingga kelenjar-kelenjar yang terdapat pada cavum nasi seperti kelenjar seromukus akan mengalami peradangan dan mengeluarkan sekretnya. 8. Mengapa setelah minum obat tidak ada perbaikan? Karena obat yang diminum hanya mengobati gejalanya saja bukan megobati inti dari penyebab sakitnya.



LO 1. ANATOMI a. HIDUNG Anatomi Cavum Nasi A. NASUS EKSTERNUS Bentuk piramid 1. Pangkal (radix) 2. Batang (dorsum) 3. Puncak (apex) 4. Ala nasi 5. Kolumela



6. Lubang (nares anterior) KERANGKA TULANG RAWAN 1. Kartilago Lateralis Superior Dextra et Sinistra 2. Kartilago Lateralis Inferior Dextra et Sinistra ( ala mayor ) 3. Kartilago Alar Minor Dextra et Sinistra 4. Tepi anterior Kartilago Septum



B. HIDUNG DALAM (Nasus Internus) VESTIBULUM NASI –



Dari nares anterior ke belakangg atas ( limen nasi ) ke cavum nasi



CAVUM NASI ‒ Dibatasi oleh vestibulum nasi (anterior) & nares posterior /koana ( posterior) ‒ Terbagi 2 bagian kanan & kiri oleh septum nasi di tengah DINDING LATERAL Berbatasan dengan dinding medial Sinus Maxillaris Os Maxilla Terdapat 4 konka ‒



Konka nasi inferior. (KI)







Konka nasi media. (KM)







Konka nasi superior. (KS)







Konka supreme



Ada tiga meatus : 1. Meatus inferior : di antara konka inferior dengan dasar hidung. Terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. 2. Meatus medius : di antara konka media. Pada meatus medius terdapat bula ethmoidalis, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum ethmoidalis. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.



3. Meatus superior : di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis. Vaskularisasi Hidung 1. Bagian atas rongga hidung : a. ethmoidalis anterior dan posterior (cabang dari a.ophthalmica dari a. carotis interna) 2. Bagian bawah rongga hidung : cabang a.maxillaris interna: a. palatina mayor dan a. sphenopalatina yang keluar dari foramen sphenopalatina bersama n. sphenopalatina. 3. Bagian depan hidung : cabang-cabang a. facialis. Bagian depan septum : anastomosis cabang2 a. sphenopalatina, a.ethmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor  plexus Kiesselbach (Little’s area). Plexus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak. Plexus Woodruff: a.sphenopalatina dan a.ethmoidalis posterior.



Inervasi 1. Saraf Pembau : N. Olfactorius 2. Saraf Sensoris : cab. N. Trigeminus – N. Opthalmicus  N. Ethmoidalis Anterior – N. Maxillaris melalui Ganglion Sphenopalatina 3. Saraf Otonom • Simpatis : Ganglion Cervikalis  Ganglion Sphenopalatina







Parasimpatis : N. Facialis  Ganglion Sphenopalatina  N. Vidianus



Anatomi Sinus



Sinus Frontalis Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata sinus frontal yaitu tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm dan isi rata-rata 67 ml. Dinding depan sinus frontal hampir selalu diploik, terutama pada bagian luar atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan dinding anterior dan posterior (Benninger, 2003). Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-kadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus (Hilger, 1997). Sinus Maksilaris Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, yang telah ada saat lahir. Saat lahir sinus bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan



akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Merupakan sinus terbesar dan terletak di maksila pada pipi yang berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Sinus maksilaris ini sering terinfeksi oleh karena merupakan sinus paranasalis yang terbesar, letak ostiumnya yang lebih tinggi dari dasar sehingga aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1 dan P2 dan M1, M2 dan M3, kadangkadang juga gigi caninus, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis dan karena ostium sinus maksila terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat (Mangunkusumo dan Rifki, 2007). Sinus Etmoidalis Sinus etmoid pada orang dewasa berbentuk seperti piramid dengan dasarnya pada bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior adalah 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di anterior sedangkan di bagian posterior 1,5 cm. (Soetjipto, 2007). Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan



pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). Sinus Sfenoidalis Sinus sfenoid terletak di os sfenoid, di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang jarang terletak di tengah disebut septum intersfenoid. (Soetjipto, 2007). Ukuran sinus ini kira-kira pada saat usia 1 tahun 2,5 x 2,5 x 1,5, pada usia 9 tahun 15 x 12 x 10,5 mm. Isi rata-rata sekitar 7,5 ml (0,05-30 ml). (Benninger, 2003). Batas-batasnya ialah sebelah superior terdapat fossa serebri dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. b. LARING Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid. Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid, dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot. Sewaktu menelan, kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu menggerakkan lidah. Tulang rawan yang menyusun laring: •



kartilago epiglottis,







kartilago krikoid,







kartilago aritenoid,







kartilago kornikulata,







kartilago tiroid



Terdapat 2 buah (sepasang) kartilago aritenoid yang terletak dekat permukaan belakang laring, dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, disebut artikulasi



krikoaritenoid. Sepasang kartilago kornikulata (kiri dan kanan) melekat pada kartilago aritenoid di daerah apeks. Sepasang kartilago kuneiformis terdapat di dalam lipatan ariepiglotik. Kartilago tritisea terletak di dalam lig. thyrohyoideum lateral.



Otot-otot ekstrinsik bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan otototot instrinsik menyebabkan gerak bagian-bagian laring sendiri. Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak di atas tulang hyoid (suprahioid), dan ada yang terletak di bawah tulang hyoid (infrahioid). Otot-otot ekstrinsik yang suprahyoid: – m.digastricus (v.anterior (n.V/3); v.posterior (n.VII)), – m.geniohyoid (n.spinalis cerv.I dan cab.n.XII), – m.stylohyoid (n.VII), – m.mylohyoid (n.alveolaris inferior (n.V/3)) Otot yang infrahyoid: – m.sternohyoid, – m.omohyoid, – m.sternothyroid, – m.thyrohyoid (n.XII). Otot-otot ekstrinsik laring levatores menarik laring ke atas (saat bernyanyi nada tinggi), sedangkan yang depressores menarik laring ke bawah. Berikut merupakan otot ekstrinsik laring







Otot-otot



intrinsik



laring



ialah



m.cricoarytenoideus



posterior,



m.cricoarytenoideus lateralis, m.arytenoideus transversa, m.arytenoideus obliquus, m.thyroarytenoideus, m.vocalis. Hanya m.cricoarytenoideus posterior yang berperan membuka larynx (abductors), (menyempitkan larynx).



yang lainnya sebagai adductor



Antara kedua plika vokalis  rima glottidis (pars intermembran & interkartilago)



fungsinya



untuk memproduksi suara. Antara kedua plika



ventrikularis  rima vestibuli (untuk proteksi) Inervasi Laring Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n. laryngea superior dan n. laryngea inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik. Nervus laringis superior mempersarafi m.cricothyroid dan sensoris pada mukosa laring. Nervus laringis superior membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus. Ramus eksternus mempersarafi motorik m.cricothyroid dan ramus internus mempersarafi sensorik. mukosa laring hingga ke plika vokalis



Nervus laryngeus inferior merupakan lanjutan dari n. laryngeus recurrens. Nervus laryngeus recurrens merupakan cabang dari n. vagus. Nervus rekuren kanan akan menyilang a. subklavia kanan di bawahnya, sedangkan n.rekuren kiri akan menyilang arkus aorta. Di sebelah posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf ini bercabang 2 menjadi ramus anterior dan ramus posterior. Ramus anterior akan mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian superior dan mengadakan anastomosis dengan n. laringis superior ramus internus.



Vaskularisasi Laring Perdarahan untuk laring terdiri dari dua cabang, yaitu a.laryngeus superior dan a.laryngeus inferior. A.laryngeus superior merupakan cabang dari a. thyroideus superior. A.laryngeus superior berjalan bersama-sama dengan r.internus dari n.laryngeus superior untuk memperdarahi mukosa dan otot-otot laring. A.laryngeus inferior (cabang dari a.thyroideus inferior) berjalan bersama dengan n.laryngeus inferior menuju permukaan dalam laring untuk memperdarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan a. laryngeus superior.



Vena laryngeus superior dan vena laryngeus inferior letaknya sejajar dengan a. laryngeus superior dan inferior dan kemudian bergabung dengan vena thyroides superior dan inferior. Pembuluh lympha menyertai pembuluh darah dan bermuara ke dalam lnn.cervicalis profundus. (H.Netter, n.d.) c. FARING Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikalis ke-6. Hubungan faring dg struktur sekitar. •



Ke atas: rongga hidung melalui koana,







ke depan : rongga mulut melalui isthmus faucium (orofaring),







Ke bawah : laring berhubungan melalui aditus laring serta



esofagus. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fascia pharyngobasiler,



pembungkus



otot



dan



sebagian



fasia



buccopharyngeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). d. e. f. g. h. i. j. k. l. m.



Otot faring terdiri dari otot sirkuler dan longitudinal, otot sirkuler terdiri dari m. Constrictor pharingea superior, medius, dan inferior yang terdiri dari pars-pars.



Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) pada bagian luar dan memanjang (longitudinal) pada bagian dalam. Otot-otot yang sirkular terdiri dari m. konstriktor faring superior, media dan inferior. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan dibelakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut ”rafe faring” ( raphe pharyngis ). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini dipersarafi oleh n.Vagus (n.X). Otot-otot yang longitudial : m. stilofaring dan m. palatofaring. M. Stilofaring : melebarkan



faring dan menarik laring. M. Palatofaring : mempertemukan isthmus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. Kedua otot ini bekerja sebagai elevator dan berperan pada waktu menelan. M. Stilofaring dipersarafi oleh n. IX, sedangkan m. Palatofaring dipersarafi dan m. Azigos uvula. (netter, 2011) Vaskularisasi Faring Vaskularisasi faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a. Carotis externa (cabang a.pharyngea ascendens dan a.thyroidea superior), dan dari cabang a. Maksila interna yakni cabang a. Palatina superior  nasofaring dan orofaring. serta cabang dari a. thyroidea inferior  hipofaring. Inervasi Faring Persarafan motorik dan sensorik berasal dari plexus pharyngeus  terletak di m. cons. Pharynx medius. Plexus ini dibentuk oleh rami pharyngei n. vagus (n.X) dan n. Glossopharynx (n. IX) serta serabut simpatis dari ganglion cervicale superior. Motorik: Cabang faring dari n.X menginervasi otot-otot faring kecuali m. Stylopharyngeus (n. IX), m. tensor veli palatini (n.V). Sensorik: sebagian besar oleh n.IX. yang lainnya: (1) ganglion pterygopalatina (n. pharyngeus)  pars nasalis; (2) r.tonsillaris n.IX  pars oralis; dan (3)n.laryngeus internus (n.X)  pars laryngea.(netter, 2011)



d.



SINUS PARANASAL



Sinus paranasales Terdapat 4 sinus paranasgles-sinus ethmoidalis/ cellulae ethmoidales, dan sphenoidalis, maxillaris, dan frontalis. Tiap sinus diberi nama sesuai dengan tulang di mana sinus berada. Sinus paranasales berkembang sebagai pertumbuhan keluar dari cavitas nasi dan mengikis tulang-tulang di sekitarnya. Semua sinus: membuka ke dalam cavitas nasi; dan dibatasi oleh mucosa respiratorium, yang bercilia dan mensekresi mucous dipersarafi oleh cabang-cabang nervus trigeminus [V]. Sinus frontalis Sinus frontalis, pada tiap sisi, bervariasi dalam ukuran dan merupakan yang paling superior dari sinus paranasales lainnya. Masing-masing berbentuk segitiga dan merupakan bagian dari tulang frontale di bawah regio frontalis. Basis dari tiap sinus tri-angularis berorientasi verticalis di dalam tulang pada garis tengah di atas pangkal nasus dan apexnya terletak lebih lateral sekitar 1/3 panjang margo superior orbita. Tiap sinus frontalis bermuara pada dinding lateral meatus nasi medius melalui ductus frontonasalis, yang menembus labyrinthus ethmoidalis dan kontinyu dengan infundibulum ethmoidale pada ujung depan hiatus similunaris.



Cellulae ethmoidales Cellulae ethmoidales pada tiap sisi mengisi labyrinthus ethmoidalis. Tiap Muster/ kelompok cellulae dipisahkan dari orbita oleh lamina orbitalis yang tipis dari labyrinthus ethmoidalis, dan dari cavitas nasi oleh dinding medial labyrinthus ethmoidalis. Cellulae ethmoidales dibentuk oleh sejumlah ruangan udara tersendiri, yang dibagi menjadicellulae ethmoidales anteriores, medii, dan posteriores berdasarkan lokasi apertura/bukaannya pada dinding lateral cavitas nasi. Sinus maxillaris Sinus maxilllaris, satu pada tiap sisi, merupakan sinus paranasales terbesar dan sepenuhnya mengisi corpus maxillae. Tiap sinus tersebut mempunyai bentuk pyramidalis dengan apex mengarah ke lateral dan basis di profundus dari dinding lateral cavitas nasi yang berdekatan. Dinding medial atau basis sinus maxillaris dibentuk oleh maxilla, dan oleh bagian-bagian concha nasalis inferior tulang palatinum yang berada di atas hiatus maxillaris. Bukaan sinus maxillaris berada di dekat puncak basisnya, di dalam pusat hiatus semilunaris, yang membuat suatu saluran pada dinding lateral meatus nasi medius. Sinus sphenoidalis Sinus sphenoidalis, satu pada tiap sisi di dalam corpus tulang sphenoidale, membuka ke dalam atap cavitas nasi melalui apertura pada dinding posterior recessus sphenoethmoidalis. Apertura tersebut terletak tinggi pada dinding anterior sinus sphenoidalis. (L.Drake, 2012)



2. HISTOLOGI a. CAVUM NASI



Rongga hidung kiri dan kanan terdiri atas dua struktur: vestibulum di luar dan rongga hidung (atau fossa nasalis) di dalam. Vestibulum adalah bagian paling anterior dan paling lebar di setiap rongga hidung. Kulit hidung memasuki nares (cuping hidung) yang berlanjut ke dalam vestibulum dan memiliki kelenjar keringat, kelenjar sebasea, dan vibrisa (bulu hidung) yang menyaring partikelpartikel besar dari udara inspirasi. Di dalam vestibulum, epitelnya tidak berlapis tanduk lagi dan beralih menjadi epitel respiratorik sebelum memasuki fossa nasalis. Rongga hidung berada di dalam tengkorak berupa dua bilik kavernosa yang dipisahkan oleh septum nasi oseosa. Dari setiap dinding lateraf terdapat tiga tonjolan bertulang mirip rak yang dikenal sebagai conchae. Concha media dan inferior dilapisi oleh epitel respiratorik; concha superior ditutupi epitel penghidu khusus. Celah-celah sempit di antara concha memudahkan pengondisian udara inspirasi dengan menambah luas area epitel respiratorik yang hangat dan lembap dan dengan melambatkan serta menambah furbulensi aliran udara. Hasilnya adalah bertambahnya kontak antara aliran udara dan lapisan mukosa. Di dalam lamina propria concha terdapat pleksus vena besar yang dikenal sebagai badan



pengembang (szuell bodies). Setiap 20-30 menit, badan pengembang pada satu sisi akan penuh terisi darah sehingga mukosa concha membengkak dan mengurangi aliran udara. Selama masa tersebut, sebagian besar udara diarahkan melalui fossa nasalis lain sehingga epitel respiratorik dapat pulih dari dehidrasi. Selain badan-badan pengembang, mukosa rongga hidung memiliki sistem vaskular yang rumit dan luas. Pembuluh-pembuluh besar membentuk jalinanjalinan rapat dekat periosteum di bawalmya, dan dari tempat ini, cabang-cabang pembuluh meluas ke permukaan. Darah di pembuluh tersebut mengalir dari belakang rongga hidung ke depan dalam arah yang berlawanan dengan aliran udara inspirasi sehingga panas berpindah dan menghangatkan udara tersebut secara cepat. Suatu fungsi utama keseluruhan bagian konduksi adalah mengondisikan udara inspirasi dengan membersihkan, meIembapkan, dan menghangatkannya sebelum memasuki paru. Selain vibrisa lembap, sejumlah besar vaskular di lamina propria, dan sel epitel respiratorik yang bersilia dan menghasilkan mukus, pengondisian juga melibatkan sejumlah besar kelenjar mukosa dan serosa di mukosa. Begitu udara mencapai fossa nasalis, partikel dan polutan gas terperangkap di lapisan mukus. Mukus ini, beserta sekret serosa juga berfungsi melembapkan udara yang masuk, melindungi alveoli paru yang halus dari kekeringan. (Mescher, n.d.) b. LARING Laring merupakan tabung udara ireguler yang menghubungkan faring dengan trakea. Dindingnya terdiri dari otot-otot skeletal, tulang rawan hialin (tulang rawan tiroid, krikoid, dan aritenoid inferior) dan tulang rawan elastis yang lebih kecil (tulang rawan epiglottis, kuneiformis, kornikulata, dan aritenoid superior), tulang-tulang tersebut dihubungkan oleh ligamen. Selain mempertahankan jalan udara tetap terbuka, tulangtulang rawan dan otot-otot skeletal tersebut berperan dalam menghasilkan suara selama fonasi. Laring dilapisi oleh epitel berlapis pipih yang kemudian di beberapa tempat mengalami transisi menjadi epitel respirasi, yaitu epitel berderet silindris bersilia, di bawah epitel tepatnya dalam lamina propria ditemukan kelenjar mukosa dan sedikit kelenjar serosa.



Pada laring terdapat plica vocalis, plica ventrikularis dan ventriculus dari Morgagni (yang selalu membelok ke atas, ke arah plica ventrikularis). Plica vocalis atau true vocal cord dilapisi oleh epitel berlapis pipih tanpa tanduk dengan papilpapil propria. Selain itu terdapat muskulus vokalis dan tidak terdapat kelenjar seromucus. Sedangkan plica ventrikularis atau false vocal cord dilapisi epitel berderet silindris berkinosilia, terdapat kelenjar seromukous dan tidak ada muskulus vokalis. Laring mempunyai kerangka tulang rawan hyalin dan tulang rawan elastis yang dihubungkan bersama os hyoid oleh membran yang terdiri dari jaringan ikat padat yang mengandung sabut elastis.



c. EPIGLOTIS



EPIGLOTIS  Kerangka tulang rawan elastis.  Permukaan: Pharyngeal/oral - epitel berlapis pipih tebal, propria papil (+), kelj. (-). Laryngeal - epitel berlapis pipih tipis, propria papil (-), kelj. (+). (Eroschenko, 2012) (Zhafirah) d. SINUS PARANASAL Sinus paranasalis adalah rongga bilateral di fulang frontal, maksila, ethmoid dan sfenoid tengkorak. Sinus-sinus ini dilapisi oleh epitel respiratorik yang lebih tipis dengan sedikit sel goblet. Lamina proprianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu dengan periosteum di bawahnya. Sinus paranasalis berhubungan langsung dengan rongga hidung



melalui lubang-lubang kecil dan mukus yang dihasilkan dalam sinus ini terdorong ke dalam hidung sebagai akibat dari aktivitas sel-sel epitel bersilia. 3. FISIOLOGI a. Fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal: 1.



Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),



penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan, dan mekanisme imunologik lokal 2.



Fungsi



penghidu,



karena



terdapanya



mukosa



olfaktorius



(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu 3.



Fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara, membantu proses



berbicara, dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang 4.



Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,



proteksi terhadap trama, dan pelindung panas 5.



Reflex nasal. Mukosa hidung merupakan rseptor reflex yang



berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan reflex bersin dan napas berhenti. Selain itu, ransangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreasi (Soepardi, 2012)



Seperti halnya anatomi hidung, biasanya tidak memungkinkan inspeksi celah olfaktorius dengan spekulum hidung, maka untuk alasan yang sama, lengkung aliran udara inspirasi normalnya tidak cukup tinggi untuk mencapai celah tersebut agar bau dapat terhidu, kecuali bila bau tersebut sangat kuat. Bila kita ingin mengenali suatu bau, biasanya kita mengendus, yaitu, menambah tekanan negatif guna menarik aliran udara yang masuk ke area olfaktorius. Pada sumbatan hidung yang patologik, pasien sering mengeluh anosmia sebelum mengemukakan bahwa ia juga bernapas lewat mulut. Lebih lanjut, karena kita membedakan berbagai makanan lewat kombinasi rasa dan bau, keluhan pasien dapat pula berupa makanan tidak lagi “pas" rasanya.



Napas



manusia



dimulai



dari



lubang



hidung.



Usaha



bernapas



nenghantarkan udara lewat saluran pernapasan atas dan bawah kepada alveoli paru dalam volume, tekanan, kelembaban, suhu dan kebersihan yang cukup, untuk menjamin suatu kondisi ambilan oksigen yang optimal, dan pada proses juga menjamin proses eliminasi karbondioksida yang optimal, yang diangkut ke alveoli lewat aliran darah.



Pola aliran udara melalui hidung. Umumnya aliran udara melengkung di dekat konka media dan tidak menyusuri dasar hidung. Aliran turbulen meningkatkan fungsi filtrasi fisiologis, melembabkan dan menghangatkan udara serta mengatur tahanan jalan napas. Hidung dengan berbagai katup inspirasi dan ekspirasi serta kerja mirip katup dari jaringan erektil konka dan septum, menghaluskan dan membentuk aliran udara, mengatur volume dan tekanan udara yang lewat, dan menjalankan berbagai aktivitas penyesuaian udara (filtrasi, pengaturan suhu dan kelembaban udara). Dalam waktu yang singkat saat udara melintasi bagian horisontal hidung yaitu sekitar 16-20 kali permenit, udara inspirasi dihangatkan (atau didinginkan) mendekati suhu tubuh dan kelembaban relatifnya dibuat mendekati 100 persen. Suhu ekstrim dan kekeringan udara inspirasi dikompensasi dengan cara mengubah aliran udara. Hal ini dilakukan melalui perubahan fisik pada jaringan erektil hidung. Rambut hidung, atau vibrisa pada vestibulum nasi yang berlapis kulit berperanan dalam filtrasi udara. Lebih nyata pada pria, namun tidak dimengerti apa peranan perbedaan seks ini dalam kebutuhan filtrasi



udara.Gas-gas yang larut juga dikeluarkan dari udara saat melewati hidung. Makin larut air suatu gas, makin sempurna pengeluarannya oleh mukosa hidung. Polutan seperti hidrogen klorida, sulfur dioksida, dan amonia semuanya sangat larut dan karena itu dibersihkan sepenuhnya dari udara inspirasi. Sebaliknya, karbonmonoksida dan hidrokarbon mempunyai kelarutan yang sangat rendah dan langsung menuju paru-paru. Lapisan mukus, di samping menangkap dan mengeluarkan partikel lemah, juga merupakan sawar terhadap alergen, virus, dan bakteri. Lisozim, yang terdapat pada lapisan mukus, bersifat destruktif terhadap dinding sebagian bakteri. Fagositosis aktif dalam membran hidung merupakan bentuk proteksi di bawah permukaan. Membran sel pernapasan juga memberikan imunitas induksi selular. Sejumlah imunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sebagian oleh sel plasma yang normal terdapat dalam jaringan tersebut. Sesuai kebutuhan fisiologik, telah diamati adanya IgG IgA dan IgE. Rinitis alergika terjadi bila alergen yang terhirup berkontak dengan antibodi IgE sehingga antigen tersebut terfiksasi pada mukosa hidung dan sel mast submukosa. Selanjutnya dihasilkan dan dilepaskan mediator radang yang menimbulkan perubahan mukosa hidung yang khas. b. FISIOLOGI FARING Fungsi faring terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring, dan tahap ketiga, jalannya



bolus melalui esofagus, keduanya



secarainvolunter. Langkah yang sebenarnya adalah: pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot suprahioid berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring dengan demikian membuka hipofaring dan sinus piriformis. Secara bersamaan otot laringis intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan ke bawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot



konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung. Faring merupakan daerah dimana udara melaluinya dari hidung ke laring juga dilalui oleh makanan dari rongga mulut ke esofagus. Oleh karena itu, kegagalan dari otot-otot faringeal terutama yang menyusun ketiga otot kostriktor faringis, akan menyebabkan kesulitan dalam menelan dan biasanya juga terjadi aspirasi air liur dan makanan ke dalam cabang trakeobronkial. c. FISIOLOGI LARING Walaupun laring biasanya dianggap sebagai organ penghasil suara, namun ternyata memiliki tiga fungsi utama yaitu proteksi jalan napas, respirasi, dan fonasi. Perlindungan jalan napas selama aksi menelan terjadi melalui berbagai mekanisme berbeda. Aditus laringis sendiri tertutup oleh kerja sfingter dari otot tiroaritenoideus dalam plika ariepiglotika dan korda vokalis palsu, di samping aduksi korda vokalis sejati dan aritenoid yang ditimbulkan oleh otot intrinsik laring lainnya. Elevasi laring di bawah pangkal lidah melindungi laring lebih lanjut dengan mendorong epiglotis dan plika ariepiglotika ke bawah menutup aditus. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral, menjauhi aditus laringis dan masuk ke sinus piriformis, selanjutnya ke introitus esofagi. Relaksasi otot krikofaringeus yang terjadi bersamaan mempermudah jalan makanan ke dalam esofagus sehingga tidak masuk ke laring. Di samping itu, respirasi juga dihambat selama proses menelan melalui suatu refleks yang diperantarai reseptor pada mukosa daerah supraglotis. Selain itu, bentuk korda vokalis palsu dan sejati memungkinkan laring berfungsi sebagai katup tekanan bila menutup, memungkinkan peningkatan tekanan intratorakal yang diperlukan untuk tindakan-tindakan mengejan misalnya mengangkat



berat



atau



defekasi.



Pelepasan



tekanan



secara



mendadak



menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan ekspansi alveoli terminal dari paru dan membersihkan sekret atau partikel makanan yang berakhir dalam aditus laringis.



Korda vokalis sejati yang teraduksi, kini diduga berfungsi sebagai suatu alat bunyi pasif yang bergetar akibat udara yang dipaksa antara korda vokalis sebagai akibat kontraksi otot-otot ekspirasi. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring (dan krikotiroideus) berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas korda vokalis sejati dan tegangan korda itu sendiri. Otot ekstralaring juga dapat ikut berperan. Demikian pula karena posisi laring manusia yang lebih rendah, maka sebagian faring, di samping rongga hidung dan sinus paranasalis dapat dimanfaatkan.untuk perubahan nada yang dihasilkan laring. Semuanya ini dipantau melalui suatu mekanisme umpan balik yang terdiri dari telinga manusia dan suatu sistem dalam laring sendiri yang kurang dimengerti. Sebaliknya, kekerasan suara pada hakekatnya proporsional dengan tekanan aliran udara subglotis yang menimbulkan gerakan korda vokalis sejati. Di lain pihak, berbisik diduga terjadi akibat lolosnya udara melalui komisura posterior di antara aritenoid yang terabduksi tanpa getaran korda vokalis sejati. (Adams, Boies, & Higler, 1997) d. Fisiologi penghidu 



Eksitasi pada sel olfaktori Reseptor penghidu terletak pada superior nostril, yaitu pada septum



superior pada struktur yang disebut membran olfaktori. Bagian dari saraf penghidu yang berkaitan langsung dengan odoran, molekul penghidu, yaitu silia dari sel olfaktori. Sebelum dapat menempel dengan silia sel olfaktori, odoran tersebut harus dapat larut dalam mukus yang melapisi silia tersebut. Odoran yang hidrofilik dapat larut dalam mukus dan berikatan dengan reseptor pada silia tersebut, yaitu pada protein reseptor pada membran silia sel olfaktori. Pengikatan antara reseptor dengan odoran menyebabkan aktivasi dari protein G, yang kemudian mengaktivasi enzim adenil siklase dan mengaktifkan cAMP. Pengaktifan cAMP ini membuka kanal Na+ sehingga terjadi influks natrium dan menyebabkan depolarisasi dari sel olfaktorius. Depolarisasi ini kemudian menyebabkan potensial aksi pada saraf olfaktorius dan ditransmisikan hingga sampai ke korteks serebri. Pada keadaan istirahat, resting potential dari sel



olfaktori yaitu sebesar -55mV. Sedangkan, pada keadaan terdepolarisasi, membrane potential sel olfaktori yaitu sebesar -30mV. Graded potential dari sel olfaktori menyebabkan potensial aksi pada sel mitral dan tufted yang terdapat pada bulbus olfaktorius. (Guyton, 2008) Pada membran mukus olfaktori, terdapat ujung saraf bebas dari saraf trigeminus yang menimbulkan sinyal nyeri. Sinyal ini dirangsang oleh odoran yang bersifat iritan, seperti peppermint, menthol, dan klorin. Perangsangan ujung saraf bebas ini menyebabkan bersin, lakrimasi, inhibisi pernapasan, dan refleks respons lain terhadap iritan hidung. (Ganong, 2003) Terdapat tiga syarat dari odoran tersebut supaya dapat merangsang sel olfaktori, yaitu: -



Bersifat larut dalam udara, sehingga odoran tersebut dapat terhirup hidung



-



Bersifat larut air/hidrofilik, sehingga odoran tersebut dapat larut dalam mukus dan berinteraksi dengan silia sel olfaktorius



-



Bersifat larut lemak/lipofilik, sehingga odoran tersebut dapat berikatan dengan reseptor silia sel oflaktorius



Ambang rangsang dari sel olfaktori berbeda-beda terhadap masing-masing tipe odoran. Penghidu pada manusia dapat mendeteksi berbagai jenis odoran yang berbeda, namun sulit untuk dapat membedakan intensitas odoran yang berbeda. Untuk dapat membedakan intensitas tersebut, perlu terdapat perbedaan konsentrasi odoran sebesar 30%. Kemampuan penghidu untuk dapat membedakan berbagai odoran yang berbeda diperankan oleh glomerulus yang terdapat pada bulbus olfaktorius. Terdapat sekitar 1000 dari protein reseptor untuk odoran yang berbeda, yang masing-masing reseptor tersebut terdapat pada satu sel olfaktori. Terdapat sekitar 2 juta sel olfaktori yang masing-masingnya berproyeksi pada dua dari 1800 glomeruli. Hal ini menyebabkan adanya proyeksi yang berbeda-beda untuk setiap odoran. (Ganong, 2003) 



Jaras olfaktorius. Sinyal pada sel mitral dan sel tufted pada bulbus olfaktorius menjalar



menuju traktus olfaktorius. Traktus olfaktorius kemudian menuju area olfaktorius



primer pada korteks serebral, yaitu pada lobus temporalis bagian inferior dan medial. Aktivasi pada area ini menyebabkan adanya kesadaran terhadap odoran tertentu yang dihirup. Selain itu, traktus tersebut menuju dua area, yaitu area olfaktorius medial dan area olfaktorius lateral. (Tortora, 2009) a. Area olfaktorius medial Area ini terdiri atas sekumpulan nukleus yang terletak pada anterior dari hipotalamus. Nukleus pada area ini merupakan nukleus septal yang kemudian berproyeksi ke hipotalamus dan sistem limbik. Area ini berperan dalam ekspresi respons primitif terhadap penghidu, seperti salivasi. b. Area olfaktorius lateral Area ini terdiri atas korteks prepiriformis, korteks piriformis, dan nukleus amygdala bagian korteks. Dari area ini, sinyal diteruskan ke sistem limbik dan hipokampus. Proyeksi tersebut berperan dalam pembelajaran terhadap respon dari odoran tertentu, seperti respon mual atau muntah terhadap odoran yang tidak disukai. Jaras pada kedua area tersebut tidak melewati talamus, seperti jaras pada saraf sensori lainnya. Namun, terdapat satu jaras olfaktori yang melewati talamus, yaitu nukleus talamus dorsomedial, dan bersinaps di korteks orbitofrontal kuadran lateroposterior. Jaras ini berperan pada analisis sadar dari odoran tertentu. (Guyton, 2008) (mas zain) e. Fisiologi berbicara Proses bicara adalah suatu proses dimana kata yang diucapkan dipilih untuk diproduksi, kemudian fonetisnya di formulasikan dan akhirnya diartikulasikan oleh sistem motorik pada aparatus vokal. Proses bicara melibatkan beberapa sistem dan fungsi tubuh, yaitu : system pernapasan, pusat khusus pengatur bicara di otak dalam korteks serebri, pusatrespirasi di dalam batang otak, struktur artikulasi, resonansi dari mulut sertarongga



hidung.Proses bicara diawali oleh sifat energi dalam aliran dari udara. Pada bicara yang normal, aparatus pernapasan selama ekshalasi menyediakan aliran berkesinambungan dari udara dengan volume yang cukup dan tekanan (di bawah kontrol volunteer adekuat) untuk fonasi. Aliran dari udara dimodifikasi dalam fungsinya dari paru-paru oleh fasial dan struktur oral dan memberikanpeningkatan terhadap simbol suara yang dikenal sebagai bicara. Bicara adalah membuat dan mengelola suara menjadi simbol-simbol. Terjadinya simbol-simbol ini merupakan hasil kerja sama beberapa faktor, yaitu: -



Respirasi (aliran udara) adalah diawalinya proses bicara. Dalam keadaannormal agar dapat terbentuk suara (fonasi), alat pernafasan mengalirkanudara dengan jumlah dan tekanan yang cukup. Terdiri dari trakea,bronkus, dan paru-paru. Aliran udara respirasi merupakan sumber kekuatan yang diperlukan untuk mencetuskan suara dan diatur tekanannya mulai dari paru-paru.



-



Fonasi, merupakan suara yang dihasilkan dari aliran udara keluar melalui laring. Di dalam laring, pita suara (plica vocalis) mengubah aliran udara ini dengan cara mengatur kedua pita suara (kiri dan kanan) dan juga mengatur jaraknya, terbentuk suatu celah sempit yang besar dan konturnya bervariasi sehingga menimbulkan tahanan terhadap aliran udara. Tahanan ini menyebabkan udara bergelombang sehingga timbul bunyi/suara. Suara ini disebut dengan suara laring (suara vokal).



-



Resonansi, adalah yang memberikan kualitas karakteristik pada bunyi gelombang suara yang ditimbulkan pita suara. Organ-organ yang berfungsisebagai resonator adalah sinus-sinus, permukaan organ-organ,



rongga faring, rongga mulut, rongga dinding, rongga dada. Sumber suara fonasi pada pita suara intensitasnya lemah, tidak berwarna dan sulit dikenal. Dengan adanya alat-alat resonansi yang berfungsi sebagai resonator, maka suara tersebut mendapat variasi pada frekuensi tertentu, intensitasnya meningkat, demikian juga pada kualitasnya (warna suara) dan idenitasnya ,tetapi suara yang sudah diresonansi ini masih bukan merupakan suara bicara. Ciri-ciri resonansi sangat bervariasi pada setiap orang dan merupakan aspek yang sangat penting bagi efektivitas bicara. -



Artikulasi



(pengucapan),



merupakan



proses



penghasilan



suara



dalamberbicara oleh pergerakan bibir, mandibula, lidah dan mekanisme palatopharyngeal dalam koordinasi dengan respirasi dan fonasi. Artikulasi berfungsi untuk memodifikasi suara-suara laring dan membentuk suarasuara baru dalam rongga mulut. Artikulator tersusun atas: a. Bibir, berfungsi untuk membendung udara pada pembentukan suara letup. b. Palatum mole-durum merupakan permukaan sensitif bagi lidah untuk mengawasi proses artikulasi, menghalangi dan membentuk aliran udara turbulen dan sebagai kompas bagi lidah bahwa suara terbaik sudah dihasilkan. c.



Lidah,



membentuk



suara



dengan



mengangkat,



menarik,



menyempit,menipis, melengkung, menonjol, atau mendatar.d. Pipi membendung udara di bagian bukal.e. Gigi berfungsi menahan aliran udara dalam membentuk konsonan labio-dental dan apiko-alveolar.f. Mandibula membuka dan menutup waktu bicara.Beberapa jenis konsonan yang terbentuk setelah mengalami artikulasi: a. Suara bilabial (bibir dengan bibir): m, p, b. b. Suara labiodental (bibir dengan gigi): f, v. c. Suara linguodental (lidah dengan gigi): t, s, th d. Suara linguopalatal (lidah dengan langit- langit): r, le. e. Suara linguoapikoalveolar: n, d. f. Suara glotis: h (Chamidah, n.d.)



4. PATOLOGI a. ABSES PERITONSIL Gejala Khas: 



Pendorongan tonsil ke inferior media







Pendorongan uvula ke kontralateral







Air liur keluar ( drooling) karena adanya nyeri telan







Terasa pembesaran kelenjar getah bening submandibular dan servikal dengan nyeri tekan (Tanto, et al., 2014).



Komplikasi: 



Abses pecah spontan bisa mengakibatkan pendarahan, aspirasi paru/piemia







Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring lalu ke mediastinum (mediastinitis)







Bila perjalanan ke intrakranial mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak (Soepardi, et al., 2012).



b. SINUSITIS Sinusitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada sinus paranasalis. Sinusitis menurut onsetnya dibagi menjadi tiga, yaitu: 



Sinusitis akut, berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa minggu







Sinusitis subakut, berlangsung selama beberapa minggu hingga beberapa bulan







Sinusitis kronik, berlangsung lebih dari 3 bulan hingga beberapa tahun



-



SINUSITIS AKUT



Etiologi Beberapa etiologi dan faktor predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung,



kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertropi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti sindroma Kartagener, dan diluar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosa dengan foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia. Patofisiologi Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul di dalam sinus merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin



membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi. Gejala • Hidung tersumbat disertai nyeri pada muka dan terdapat sekret purulen • Nyeri pada daerah sinus yang terkena • Referred pain: jika nyeri pipi yaitu sinusitis maksilaris, nyeri di antara/di belakang kedua bola mata yaitu sinusitis ethmoidalis dan nyeri di dahi yaitu sinusitis frontalis • Gejala lain: sakit kepala, hiposmia/anosmia, batuk. Diagnosis • Rinoskopi anterior: Sekret mukopurulen di meatus medius, mukosa berwarna kemerahan • Transiluminasi (pemeriksaan dengan menggunakan bantuan cahaya): sinus yang sakit akan lebih gelap • Foto rontgen posisi waters, PA, dan lateral • Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi untuk mengambil sekret dari meatus medius untuk mendapatkan antibiotik tepat guna • Sinoskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila, melalui meatus inferior Tata Laksana • Terapi medikamentosa berupa antibiotik selama 10-14 hari, namun diperpanjang sampai gejala hilang. Jika dalam 48-72 jam tidak ada perubahan klinis, diganti dengan antibiotik untuk kuman yang menghasilkan beta laktamase, yaitu amoksisilin atau ampisilin yang dikombinasi dengan asam klavunat • Pemberian dekongestan untuk memperlancar drainase sinus. Dapat diberikan sistemik maupun topical. Pemberian secara topical harus dibatasi yaitu selama 5 hari untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa Komplikasi • Kelainan orbita • Kelainan intrakranial



• Osteomielitis dan abses superiostal • Kelainan paru -



SINUSITIS SUBAKUT



Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut namun tanda-tanda radang akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda. Diagnosis Rinoskopi anterior : sekret di meatus medius atau superior Rinoskopi posterior : sekret purulen di nasofaring Pemeriksaan transiluminasi Tatalaksana - Pemberian antibiotik berspektum luas atau yang sesuai dengan resistensi kuman selama 10-14 hari - Pemberian obat simptomatis berupa dekongestan (bisa sistemik maupun topikal) - Bisa diberikan analgetika, anti histamin, dan mukolitik - Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek sebanyak 5-6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Jika tidak terjadi perbaikan, dapat dilakukan pencucian sinus. -



SINUSITIS KRONIK



Gejala: Gejala Subjektif: - Sekret mukopurulen dan hidung tersumbat - Tenggorokan terasa gatal - Sumbatan tuba eustachius menyebabkan berkurangnya pendengaran - Batuk, komplikasi paru berupa bronkhitis, bronkhiektasis atau asma bronkhial - Gastroenteritis Diagnosis: a. Anamnesis b. Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior c. Pemeriksaan transiluminasi d. Pemeriksaan radiologik e. Pungsi sinus maksilaris



f. Sinoskopi sinus maksilaris g. Pemeriksaan histopatologi h. Pemeriksaan naso-endoskopi i. Pemeriksaan CT-scan Tatalaksana: 1. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari. 2. Jika faktor predisposisinya tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II + terapi tambahan, sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternatif 7 hari. Jika ada perbaikan maka teruskon antibiotik 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi. 3. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit 4. Pada sinusitis maksila lakukan pungsi dan irigasi sinus, sedangkan sinusitis ethmoid, frontal, atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz 5. Pembedahan - Radikal - Non Radikal



c. RHINITIS Definisi Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung.



Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung (Dorland, 2002).



Rhinitis adalah istilah untuk peradangan mukosa. Menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua: a.



Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus dan bakteri.



b.



Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa yang disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena Rhinitis vasomotor.



-



RHINITIS VIRAL



Etiologi Virus dari family Rhinoviridae, virus Epstein-Barr (jarang). Epidemiologi Rhinitis viral tidak mengenal preferensi jenis kelamin dan usia, lebih banyak ditemukan pada negara dengan iklim tropis. Pathogenesis Virus rhinovirus melekat pada membrane mukosa saluran pernafasan atas dan menyebabkan kematian jaringan saat virus tersebut bereplikasi sehingga menimbulkan gejala klinis seperti rinore dengan sekret encer dan bening, sefalgia, hidung tersumbat, dan pilek. Gejala klinis Rhinitis viral memiliki gejala klinis mirip selesma/common cold, meliputi rinore dengan sekret encer dan bening, pilek, hidung tersumbat, sefalgia, demam atau tanpa demam. Pemeriksaan fisik Berdasarkan anamnesis, pada penampakan mukus encer dan bening, dan pada penampakan rinoskopi anterior didapatkan mukosa memerah dan edema. Diagnosis banding Avian influenza dan influenza. Prognosis Dapat sembuh dalam beberapa hari meskipun tanpa terapi obat. Tatalaksana Rhinitis virus tergolong ke dalam penyakit yang swasirna sehingga hanya diperlukan istirahat dan peningkatan sistem imun dalam penatalaksanaannya. Obat-obatan simptomatis dapat diberikan jika ada indikasi. Pencegahan



Meningkatkan daya tahan tubuh, tidak bersin sembarangan/menggunakan masker saat terjangkit.



-



RHINITIS BAKTERIAL



Rhinitis bakteri dibagi 2, yaitu: a. Infeksi Non-spesifik Infeksi non-spesifik dapat terjadi secara primer ataupun sekunder. 



Rhinitis Bakteri Primer Tampak



pada



anak



dan



biasanya



akibat



dari



infeksi



pneumococcus, streptococcus atau staphylococcus. Membrane putih keabu-abuan yang lengket dapat terbentuk di rongga hidung,yang apabila diangkat dapat menyebabkan pendarahan. 



Rhinitis Bakteri Sekunder Merupakan akibat dari infeksi bakteri pada Rhinitis viral akut.



-



RHINITIS DIFTERI Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Rhinitis



difteri dapat bersifat primer pada hidung atau sekunder pada tenggorokan dan dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronis. Dugaan adanya Rhinitis difteri harus dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Penyakit ini semakin jarang ditemukan karena cakupan program imunisasi yang semakin meningkat. Gejala Rhinitis akut ialah demam, toksemia, terdapat limfadenitis, dan mungkin ada paralisis otot pernafasan. Pada hidung ada ingus yang bercampur darah. Membrane keabu-abuan tampak menutup konka inferior dan kavum nasi bagian bawah, membrannya lengket dan bila diangkat dapat terjadi perdarahan. Ekskoriasi berupa krusta coklat pada nares anterior dan bibir bagian atas dapat terlihat. Terapinya meliputi isolasi pasien, penisilin sistemik, dan antitoksin difteri.



-



RHINITIS ALERGI Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi



alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen



yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Klasifikasi Rhinitis Alergi Dahulu Rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu: a. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) b. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perenial) Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya Saat ini digunakan klasifikasi Rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : a. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. b. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, Rhinitis alergi dibagi menjadi: a. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu. b. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas . Etiologi Rhinitis Alergi Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi Rhinitis alergi. Penyebab Rhinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anakanak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab Rhinitis alergi dapat berbeda tergantung



dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan Rhinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rhinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:  Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.  Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.  Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah.  Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003). Gejala Klinis Rhinitis Alergi Gejala Rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering



menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk rhinitis alergi meliputi a. In vitro Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain Rhinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. b. In vivo Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point



Titration/SET).



SET



dilakukan



untuk



alergen



inhalan



dengan



menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan Universitas Sumatera Utara SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui . Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi 1) Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 2) Simptomatis a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan Rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari



terjadinya



Rhinitis



medikamentosa.



Preparat



kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat



respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat Universitas Sumatera Utara antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor . b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001). c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi



dan



hiposensitasi



membentuk



blocking



antibody.



Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan.



-



RHINITIS VASOMOTOR



Definisi Rhinitis Vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang di diagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinophilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat. Etiologi dan patofisiologi 1.



Neurogenic (disfungsi sistem otonom) Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2,



menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut simpatis melepaskan ko-transmiter noradrenalin dan neuropeptide Y yang menyebaban vasokontriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 24 jam. Keadaan ini disebut sebagai “siklus nasi”. Dengan adanya siklus ini seseorang akan mampu untuk bernafas dengan tetap normal melalui rongga hidung yang berubah-ubah luasnya.



Serabut saraf parasimpatis berasal nucleus salivatori superior menuju ganglion sfenopalatina dan membentuk n.Vidianus, kemudian menginervasi pembuluh darah dan terutama kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmiter asetilkolin dan fase aktif intestinal peptide yang menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan fase dilatasi sehingga terjadi kongesti hidung. Dalam keadaan hidung normal, persarafan simpatis lebih dominan. Rhinitis vasomotor diduga sebagai ketidakseimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung yang berupa aktivitas parasimpatis yang berlebihan.



2.



Neuropeptide Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh



meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di hidung. Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini diikuti dengan peningkatan pelepasan neuropeptide seperti subtanceP dan calcitonin gene-related protein yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler dan sekresi kelenjar sehingga terjadi hiper-reaktifitas hidung.



3.



Nitric oksida Kadar nitric oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung



dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan non spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel. Akibatnya terjadi terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan rekruitmen refleks vascular dan kelenjar mukosa hidung.



4.



Trauma Rhinitis vasomotor merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma



hidung melalui mekanisme neurogenic atau neuropeptida Gejala Klinik Gejala sering muncul oleh rangsangan non spesifik seperti asap rokok, udara dingin, perubahan suhu ekstrim, alcohol, bau menyengat, kelembaban, dan stress/emosi. Gejala yang dialami mirip dengan rhinitis alergi, namun gejala yang



dominan ialah hidung tersumbat, bergantian antara kanan dan kiri bergantung posisi tubuh, rinore mucoid atau serosa, dan jarang disertai gejala mata. Berdasarkan gejala dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: 



Bersin (sneezers) Memberikan respon baik pada terapi antihistamin dan glukokortikosteroid tropical.







Rinore (runners) Diatasi dengan pemberian anti kolinergik tropical.







Tersumbat (blockers) Kongesti dapat diatasi dengan terapi glukokortikosteroid topical dan vasokonstriktor oral.



Diagnosis Umumnya ditegakkan dengan eklusi yaitu menyingkirkan dugaan adanya rhinitis alergi, infeksi, okupasi, hormonal, dan akibat obat melalui anamnesis. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapat hasil berupa edema pada mukosa hidung, konka berwarna merah gelap tetapi dapat pula pucat, permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi), rongga hidung terdapat secret mucoid sedikit atau serosa tetapi banyak. Pada pemeriksaan laboratorium didapat hasil untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi yaitu ditemukannya eosinophilia pada secret dengan jumlah sedikit, tes cukit kulit negative, dan kadar IgE spesifik tidak meningkat. Penatalaksaan 



Menhindari stimulus/ faktor pencetus.







Pengobatan simptomatis, dengan dekongestan oral, cuci hidung dengan larutan garam fisiologis, kauterisasikonka hipertrofi dengan AgNO3 25%atau triklor-asetat.







Operasi, dengan cara bedah beku, elektro kauter, konkotomi parsial.







Neurektomi n.vidianus, pemotongan pada n.Vidianus







Prognosis Pengobatan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore, karena rinore sangat mirip dengan vasomotor sehingga harus dibedakan. -



RHINITIS MEDIKAMENTOSA



Definisi Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan dimana gangguan respon normal vasomotor yang diakibatkan pemakaian vasokonstriktor tropical (tetes hidung atau semprot hidung) yang berlebihan dan dalam jangka waktu lama, sehingga sumbatan hidung menjadi menetap. Patofisiologi Mukosa hidung sangat peka terhadap rangsangan dan iritan. Obat vasokontriksi tropical yang dikonsumsi secara berlebihan akan mengganggu sistem siklus nasi dan akan berfungsi normal jika obatnya dihentikan. Pemakaian obat ini akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang. Kadar agonis alfa-adregenikdi pembuluh darah. Aktivitas saraf simpatis akan menyebabkan vasokontriksi. Berikut adalah kerusakan dalam pemakaian obat: 



Silia rusak







Sel goblet berubah ukurannya,







membrane basal menebal







pembuluh darah melebar







edema







hipersekresi mucus dan perubahan Ph secret hidung







lapisan periosteum meninggal



Gejala Dan Tanda hidung tersumbat dengan edema atau hipertrofi gempa juga ada



Penatalaksaan 



hentikan pemakaian obat tetes atau semprot vasokontriktor hidung.







Untuk mengataasi berulang, dapat diberikan kortikosteroidoral dosis tinggi dan jangka panjang







Obat dekongestan oral



(Adams, 1997) D.FURUNKEL HIDUNG Definisi Furunkel (bisul) merupakan inflamasi akut yang timbul dalam pada satu atau lebih folikel rambut dan menyebar ke lapisan dermis di sekitarnya. Kelainan ini lebih dalam daripada folikulitis. (Furunkulosis mengacu kepada lesi yang multiple atau rekuren). Furunkel dapat terjadi pada setiap bagian tubuh kendati lebih prevalen pada daerah-daerah yang mengalami iritasi, tekanan, gesekan dan perspirasi yang berlebihan, seperti bagian posterior leher, aksila atau pantat (gluteus). Etiologi Furunkel dapat terjadi pada setiap bagian tubuh kendati lebih prevalen pada daerah-daerah yang mengalami iritasi, tekanan, gesekan dan perspirasi yang berlebihan, seperti bagian posterior leher, aksila atau pantat (gluteus). Furunkel dapat berawal sebagai “jerawat” yang kecil, merah, menonjol dan terasa sakit. Kerapkali infeksi ini berlanjut dan melibatkan jaringan kulit serta lemak subkutan dengan menimbulkan nyeri tekan, rasa sakit dan selulitis di daerah sekitarnya. Daerah kemerahan dan indurasi menggambarkan upaya tubuh untuk menjaga agar infeksi tetap terlokalisasi. Bakteri (biasanya stafilokokus) menimbulkan nekrosis pada jaringan tubuh yang diserangnya. Terbentuknya bagian tengah bisul yang khas terjadi beberapa hari kemudian. Kalau hal ini terjadi, bagian tengah tersebut menjadi berwarna kuning atau hitam, dan bisul semacam ini dikatakan oleh orang awam sebagai bisul “yang sudah matang”. Adapun penyebab furunkel atau bisul antara lain :



1.



Bakteri : stafilokokus aureus, berbentuk bulat (coccus), diameter 0,5-1,5µm, susunan bergerombol seperti anggur, tidak mempunyai kapsul, nonmotil,



katalase positif, pada pewarnaan gram tampak berwarna ungu. 2.



Bakteri lain atau jamur Paling sering ditemukan di daerah tengkuk, axial, paha dan pantat. Akan



terasa sangat nyeri jika timbul di daerah sekitar hidung, telinga, atau jari-jari tangan. Manifestasi klinis Mula-mula nodul kecil yang mengalami peradangan pada folikel rambut, kemudian menjadi pustula dan mengalami nekrosis dan sembuh setelah pus keluar. Proses nekrosis dalam 2 hari – 3 minggu. Nyeri akut terutama terjadi pada hidung dan lubang telinga luar. Tempat predileksi : muka, leher, lengan, pergelangan tangan dan jari-jari tangan, pantat dan daerah anogenital.



Patofisiologi Furunkel dapat berawal sebagai “jerawat” yang kecil, merah, menonjol, dan terasa sakit. Sering kali infeksi ini berlanjut dan melibatkan jaringan kulit serta lemak subkutan dengan menimbulkan nyeri tekan, rasa sakit, dan selulitis di daerah sekitarnya. Daerah kemerahan dan indurasi menggambarkan upaya tubuh untuk menjaga agar infeksi tetap terlokalisasi. Bakteri (biasanya stafilococcus) menimbulkan nekrosis pada jaringan tubuh yang diserangnya. Terbentuknya bagian tengah bisul yang khas terjadi beberapa hari kemudian. Kalau hal ini terjadi, bagian tengah tersebut menjadi berwarna kuning atau hitam, dan bisul semacam ini dikatakan oleh orang awam sebagai bisul “yang sudah matang”. Penatalaksanaan Dalam penanganan infeksi stafilokokus, dinding-protektif indurasi yang melokalisasi infeksi tidak boleh rupture. Karena itu, bisul atau jerawat tidak boleh sekali-kali dipijit. Kelainan folikuler (folikulitis, furunkel, karbunkel) biasanya disebabkan oleh stafilokokus kendati jika terdapat gangguan pada system



kekebalan, mikroorganisme penyebabnya bisa berupa basil gram-negatif. Terapi antibiotic sistemik, yang dipilih berdasarkan pemeriksaan sensitivitas, umumnya diperlukan. Preparat oral kloksasilin, dikloksasilin dan flukloksasilin merupakan obat pilihan pertama. Sefalosporin dan eritromisin juga efektif. 1.Perawatan Suportif, Pemberian cairan infuse, kompres untuk demam dan tindakan suportif lainnya, diperlukan pada pasien-pasien yang sakitnya berat atau yang menderita toksisitas. Kompres basah dan hangat akan meningkatkan vaskularisasi serta mempercepat kesembuhan furunkel atau karbunkel. Kulit di sekeliling lesi dapat dibersihkan secara hati-hati dengan sabun antibakteri dan kemudian diolesi dengan salep antibiotic. 2. Ekstraksi Kalau pus sudah terlokalisasi dan bersifat fluktuan (bergerak dengan gelombang yang dapat diraba), tindakan insisi kecil dengan scalpel akan mempercepat kesembuhan karena tegangan akan berkurang dan evakuasi pus serta jaringan nekrotik yang lepas terjadi secara langsung. Kepada pasien diberitahukan agar menjaga drainase lesi yang di tutupi dengan kasa. 3. Tindakan Anti-Infeksi, Kasa yang sudah kotor harus ditangani dengan tindakan penjagaan yang universal. Petugas keperawatan harus mematuhi tindakan isolasi dengan seksama agar tidak menjadi karier stafilokokus. Sarung tangan disposable harus dikenakan ketika merawat pasien-pasien ini. Tindakan penjagaan yang khusus harus dilaksanakan dalam perawatan bisul di daerah wajah karena kulit di daerah tersebut mengalirkan darahnya langsung ke dalam sinu-sinus venosus kranialis. Thrombosis sinus dengan piemia yang fatal diketahui pernah terjadi setelah dilakukan manipulasi bisul di tempat ini. Tirah baring dianjurkan bagi pasien yang menderita bisul di daerah perineum atau anus, dan terapi antibiotic sistemik diperlukan untuk mengendalikan penyebaran infeksi. Pencegahan Baik bisul furunkel maupun karbunkel bisa dicegah dengan cara menjaga kebersihan kulit,salah satunya dengan menggunakan sabun anti bakteri. Bayi dan



anak-anak merupakan yang paling sering diserang karena anak-anak biasanya sering bermain dan sering kotor. Jika sudah timbul bisul maka jangan dipencet. Ada pemahaman bahwa bisul ditunggu hingga bernanah lalu dipencet. Padahal tidak begitu pada faktanya. Hal ini akan memperparah karena menyebabkan kerusakan jaringan lainnya yakni kulit yang berongga. Penggunaan obat-obatan seperti salap sangat dianjurkan. Selain itu, bisa disertai dengan konsumsi antibiotic yang diminum. Tetapi pemberian obat-obatan antibiotic tersebut haruslah disertai dengan resep dokter dan juga sebaiknya mengompresnya dengan air hangat sesegera mungkin. Cara lain juga bisa dengan merendam bagian tubuh yang timbul bisul dengan air garam. Hal ini karena air garam memiliki antibiotic yang bisa meredakan bisul secara tidak langsung. Maka dari itu, tahan diri untuk tidak memencetnya karena bisa mengakibatkan peradangan. Jangan pula digaruk jika terjadi gatal-gatal. Cara yang paling penting dan utama adalah dengan menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan. Jika kondisi tubuh bersih maka bisul pun tidak akan timbul. E.AVIAN INFLUENZA/ FLU BURUNG Etiologi dan Patogenesis Virus flu burung termasuk ke dalam genus influenza dan famili Orthomyxoviridae. Virus influenza terdiri dari beberapa tipe antara lain tipe A, B dan C. Virus flu burung/Avian Influenza (AI) merupakan virus influenza tipe A, sedangkan virus influenza B dan C hanya menginfeksi manusia. Virus influenza tipe A memiliki dua jenis glikoprotein permukaan yaitu Hemaglutinin (H) dan Neuraminidase (N). Kedua protein permukaan ini akan menentukan subtipe virus flu burung yang banyak jenisnya. Virus influenza tipe A memiliki 16 subtipe H dan 9 subtipe N. Virus penyebab Flu Burung di Indonesia adalah Virus Influenza A subtipe H5N1. Virus Influenza A subtipe H5N1 adalah salah satu virus tipe A yang dikenal sebagai virus influenza unggas yang sangat patogen (Highly Pathogenic Avian Influenza Virus - HPAIV). Dari semua tipe tersebut, hanya virus influenza A subtipe H5 dan H7 yang telah diketahui dapat menyebabkan penyakit yang sangat ganas. Meski demikian, tidak semua virus influenza subtipe H5 dan H7 bersifat



ganas dan juga tidak semuanya menyebabkan penyakit pada unggas, bergantung pada kombinasi dengan glikoprotein N1-9. Di dalam virus influenza tipe A dapat terjadi perubahan besar pada komposisi antigeniknya yang disebut antigenic shift atau terjadi perubahan kecil komposisi antigenik yang disebut antigenic drift. Perubahan – perubahan inilah yang bisa menyebabkan epidemi atau bahkan pandemi. a) Antigenic Drift Perubahan susunan asam amino terjadi pada waktu gen melakukan encoding antigen permukaan setiap kali virus bereplikasi menghasilkan galur baru.



b) Antigenic Shift Terjadi apabila dua virus yang berbeda dari dua penjamu berbeda menginfeksi penjamu lain. Hal ini akan menghasilkan virus baru dan kemungkinan untuk menginfeksi penjamu lain termasuk manusia. Contoh, babi yang terinfeksi virus flu burung dan virus flu manusia. Virus Influenza tipe A memiliki beberapa sifat antara lain: 



Dapat bertahan hidup di air sampai emapat hari pada suhu 22º C dan lebih dari 30 hari pada suhu 0º C







Virus akan mati pada pemanasan 80º C selama satu menit, 60º C selama 30 menit atau 56º C selama 3 jam. Pada telur ayam, virus akan mati pada suhu 64º C selama 4,5 menit







Di dalam kotoran dan tubuh unggas yang sakit, virus dapat bertahan lebih lama Mati dengan sinar UV, detergen, desinfektan (seperti formalin), serta cairan yang mengandung iodin dan natrium kalium hipoklorit (contohnya pemutih baju)



Komplikasi seasonal influenza banyak terjadi pada anak-anak dan orang tua, sedangkan pada flu burung komplikasi justru banyak terjadi pada manusia dengan status imunitas tinggi karena virus flu burung menyebabkan respon bunuh diri dari imunitas sehingga menimbulkan cytokine storm pada paru-paru. Masa Inkubasi dan Gejala a) Masa Inkubasi Pada unggas: 1 minggu



Pada manusia: 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Masa infeksi 1 hari sebelum sampai 3-5 hari sesudah timbul gejala, pada anak sampai 21 hari b) Gejala Flu Burung pada Unggas dan Manusia Gejala pada Unggas 1. Jengger berwarna biru 2. Perdarahan merata pada kaki yang berupa bintik-bintik merah atau sering terdapat borok di kaki yang disebut dengan ”kaki kerokan” 3. Adanya cairan pada mata dan hidung sehingga terjadi gangguan pernapasan 4. Keluar cairan jernih sampai kental dari rongga mulut 5. Diare 6. Haus berlebihan dan cangkang telur lembek 7. Kematian mendadak dan sangat tinggi jumlahnya mendekati 100% dalam waktu dua hari, maksimal 1 minggu Gejala pada Manusia Gambaran klinis pada manusia yang terinfeksi flu burung menunjukkan gejala seperti terkena flu biasa. Diawali dengan demam, nyeri otot, sakit tenggorokan, batuk, sakit kepala dan pilek. Dalam perkembangannya kondisi tubuh sangat cepat menurun drastis. Bila tidak segera ditolong, korban bisa meninggal karena berbagai komplikasi, misalnya terjadinya gagal napas karena pneumonia dan gangguan fungsi tubuh lainnya karena sepsis. Secara umum, gejala flu burung pada manusia yaitu: -



Demam tinggi (suhu ≥ 38º C)



-



Batuk



-



Nyeri tenggorok



-



Sakit kepala



-



Nyeri otot



-



Infeksi selaput mata



-



Sesak napas



-



Diare atau gangguan saluran cerna



-



Fatique (lemas)



a. lain, misalnya titer H1 sel darah merah kuda > 1/160 atau Western Blood spesifik H5 positif. Tatalaksana Seperti penyakit virus lainnya, sebenarnya penyakit ini belum ada obat yang efektif. Penderita hanya akan diberi obat untuk meredakan gejala yang menyertai penyakit flu itu seperti demam, batuk, atau pusing. Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat telah merekomendasikan empat jenis obat antiviral untuk pengobatan dan pencegahan influenza A. Jenis obat tersebut diantaranya adalah M2 inhibitors (amantadin dan rimantadin) dan neuraminidase inhibitors (oseltamivir dan zanamivir). Keempat obat ini dapat digunakan untuk flu seperti yang biasa kita kenal (seasonal influenza). Akan tetapi, tidak semua obat antivirus ini dapat digunakan untuk mengobati penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus influenza A subtipe H5N1. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli, virus H5N1 sudah resisten terhadap amantadin dan rimantadin. Oseltamivir yang diberikan secara oral dan zanamivir secara inhalasi (dihirup) efektif melawan virus H5N1. Selain digunakan dalam pengobatan, oseltamivir juga dapat dimanfaatkan sebagai profilaksis atau pencegahan terhadap penyakit flu burung. Bentuk sediaan oseltamivir adalah kapsul (75 mg) dan suspensi (12 mg/mL). Pengobatan untuk penyakit akut yang tidak disertai komplikasi yang disebabkan oleh infeksi influenza pada pasien yang berusia lebih dari satu tahun yang sudah mengalami gejala tidak lebih dari dua hari. Oseltamivir dapat digunakan tanpa memperhatikan makanan. Jika digunakan bersamaaan dengan makanan, toleransi dapat meningkat. Dewasa dan Anak lebih dari 13 tahun: dosis oral yang direkomendasikan adalah 75 mg dua kali sehari selama lima hari. Pengobatan dimulai setelah timbul gejala influenza dalam dua hari. Dosis oral suspensi yang direkomendasikan untuk anak di atas satu tahun dan dewasa yang tidak dapat menelan kapsul adalah sebagai berikut: DOSIS SUSPENSI ORAL OSELTAMIVIR Berat Badan



Dosis yang direkomendasikan



(kg)



untuk 5 hari



Volume



≤ 15



30 mg dua kali sehari



2,5 mL (1/2 sdt)



>15 - 23



45 mg dua kali sehari



3,8 mL (3/4 sdt)



>23 - 40



60 mg dua kali sehari



5 mL (1 sdt)



>40



75 mg dua kali sehari



6,2 mL (1 1/4 sdt)



(IPD UI, 2009)



F.TONSILITIS Definisi Tonsilitis



adalah peradangan pada tonsil palatina yang ditandai dengan



peradangan tonsil, sakit tenggorok, gangguan menelan dan pembesaran ringan kelenjar limfe leher. Tonsil terdiri dari tonsil lingual, tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina.. Tonsil palatina merupakan sepasang massa jaringan lunak dibagian belakang faring. Tonsil akan menghasilkan limfosit dan aktif mensintesis imunoglobulin saat terjadi infeksi dibutuh sehingga respon yang ditimbulkan yaitu membengkak. Tonsilitis bisa berupa tonsilitis akut dan tonsilitis kronis. Tonsilitis akut berupa tonsilitis bakterial dan membranosa. Etiologi Penyebab tonsilitis akut bisa berupa virus dan bakteri. Tonsilitis akut yang disebabkan Virus Epstein Barr (EBV) disebut juga tonsilitis mononukleus infeksiosa. Tonsilitis akut yang disebabkan bakteri Hemofilus influenza virus dan virus coxachie disebut juga tonsilitis akut supuratif karena ditemukan lukaluka kecil pada palatum dan tonsil yang berasa nyeri. Patofisiologi Perjalanan infeksi tonsilitis biasanya meluas hingga ke adenoid maupun tonsil lingual



dan



seringkali



bersamaan



dengan



faringitis



sehingga



disebut



faringotonsilitis. Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan, ciuman. Gejala



Tonsilitis akut menyerupai common cold (hidung meler, batuk, mata berair, bersin-bersin) dan disertai nyeri tenggorok. Tata Laksana 1. Istirahat dan minum air secukupnya. 2. Diberikan analgetik 3. Jika berat dapat diberikan antivirus. Tonsilitas Bakterial Etiologi Tonsilitis bakterial disebabkan bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A, streptokokus viridan, streptokokus piogenes.



Patofisiologi Berawal dari kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang lepas membentuk detritus. Detritus akan mengisi kripti dan tampak berwarna kekuningan. Detritus akan membentuk bercak pada tonsil yang disebut tonsilitis folikularis. Jika bercak tersebut menyatu dan membentuk alur disebut tonsilitis lakunaris. Gejala 1. Nyeri menelan, demam tinggi, lesu, nyeri sendi, penurunan nafsu makan, nyeri telinga sebagai nyeri alih melalui n. Glosofaringeus. 2. Pada anak-anak disertai drooling (air liur menetes) karena sakit saat menelan dan susah makan. 3. Jika berat dapat timbul obstruksi jalan nafas tampak dengan berhentinya bernafas atau mendengkur saat tidur. Gejala biasanya membaik 3 hari namun juga dapat menetap selama 2 minggu.



Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik didapatkan tonsil bengkak, hiperemis (kemerahan), ada detritus dengan berbagai bentuk, dan teraba kelenjar getah bening submandibula yang bengkak dan nyeri jika ditekan Ukuran Tonsil dapat dikelompokkan sebagai berikut :



Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan lab dapat menunjukkan pengingkatan leukosit, hematokrit, protein reaktif C (CRP) Tata Laksana 1. Menjaga hidrasi dan asupan kalori yang adekuat 2. Kontrol nyeri dan demam dengan kompres dan obat-obatan 3. Obat kumur untuk menjaga hiegenitas mulut 4. Antibiotik spektrum luas



Tonsilitis Membranosa a. Tonsilitis difteri Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne bacterium diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anakanak berusia kurang dari 10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun. b. Tonsilitis septik Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu sapi. c. Angina Plaut Vincent ( stomatitis ulsero membranosa ) Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C.



Tonsilis Kronik Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, 10 pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Tata laksana tonsilitis kronis berupa terapi suportif dengan pemberian obat kumur, tonsilektomi G. LARINGITIS AKUT Definisi Laringitis merupakan peradangan pada Laring. Peradangan pada laring ini dapat berupa akut dan kronis. Etologi Laringitis akut adalah radang pada laring yang biasanya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis. Laringitis dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Patofisiologi



Patofisiologi laringitis akut berawal dari penyebaran infeksi dari rhino dan faring (rongga hidung dan faring) yakni iritan mengiritasi mukosa sehingga terjadi produksi mukus yang berlebihan. Produksi mukus yang berlebihan menyebabkan sumbatan pada laring. Laring meresponnya dengan mengeluarkan mukus tersebut sehingga terjadi batuk. Laring menjadi inflamasi. Gejala Gejala laringitis akut berupa nyeri telan, sulit berbicara, batuk kering hingga dahak, serta demam. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang laringitis akut dapat menggunakan laringoskopi indirek untuk melihat adanya pembengkakan pada subglotis. Tatalaksana Tatalaksana laringitis akut yaitu istirahat berbicara, mengurangi kontak dari lingkungan yang kurang bersih udaranya. Analgesik dan antipiretik dapat digunakan sebagai terapi simptomatisnya, yakni untuk meredakan gejala agar pasien merasa lebih nyaman. Terapi kausatif menggunakan antibiotik, misalnya amphisilin dan kloramvenikol. Apabila ada obstruksi dapat dilakukan tindakan trakeostomi. LARINGITIS KRONIS Definisi Laringitis kronis merupakan radang laring akut yang terus menerus. Laringitis kronis juga dapat disebabkan peradangan lanjutan dari sinusitis kronis, polip hidung, dan bronkitis kronis. Etiologi Salah satu laringitis kronis spesifik yaitu laringitis tuberkulosis. Bakteri yang menginfeksi ialah Mycobacterium tuberkulosis. Laringitis tuberkulosis terjadi karena adanya tuberkulosis pada paru yang telah disembuhkan namun infeksi yang menjalar pada laring hingga kartilago laring belum membaik. Patofisiologi Laringitis kronis tuberkulosis memiliki empat stadium; infiltrasi, ulserasi, perikondritis, dan pembentukan tumor. Stadium infiltrasi merupakan kondisi dimana mukosa laring membengkak hingga hiperemis, submukosa terbentuk tuberkel sehingga mukosa tidakrata, tampak bintik-bintik yang berwarna kebiruan. Tuberkel akan semakin membesar membuat mukosa meregang. Bila mukosa



pecah,timbul ulkus. Stadium ulserasi merupakan keadaan dimana ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Stadium perikondritis merupakan kondisi ketika ulkus semakin dalam dan mengenai kartilago laring (yang sering terkena kartilago aritenoid dan epiglotis). Apabila ulkus mengenai kartilago, kartilago akan rusak dan terbentuk nanah. Stadium pembentukan tumor ialah terbentuknya fibrotuberkulosis pada dinding laring, pita suara, dan subglotik. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang laringitis kronis tuberkulosis berupa pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui bakteri dari sputum, foto thorax untuk menunjukkan kondisi paru, serta laringoskopi direk atau indirek. Tatalaksana Tatalaksana laringitis kronis tuberkulosis dapat berupa pemberian antituberkulosis dan tindakan operasi trakeostomi. (THT UI, 2012) G. POLIP HIDUNG Definisi Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan didalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada anak dibawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau meningoensefalokel. Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi adalah adanya rhinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi makin banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti. Patologi Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetic. Menurut teori Barnstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang berturbulensi, terutama didaerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitealisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi



peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang mengakibatkan dilepaskannya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan adanya edema dan lama-kelamaan menjadi polip. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai. Makroskopi Secara makroskopi polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple dan tidak sensitive (bila ditekan atau ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerahmerahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuningkuningan karena banyak mengandung jaringan ikat. Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks osteomeatal di meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Ada polip yang tumbuh kearah belakang dan membesar di nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip antrokoana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid. Mikroskopi Secara mikroskopi tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet, pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng



berlapis tanpa keratinisasi. Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik. Polip Eosinofilik mempunyai latar belakang alergi dan Polip Neutrofilik biasanya disebabkan infeksi atau gabungan keduanya. Diagnosis Polip Nasi 1. Anamnesis Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung rasa tersumbat dari yang ringan sampai yang berat, rinore dari yang jernih sampai purulen, hipoosmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri dihidung disertai sakit kepala didaerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma. Selain itu harus ditanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat lainya serta alergi makanan. 2. Pemeriksaan fisik Polip nasi yang massif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan. Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997) : a. Stadium 1: polip masih terbatas dimeatus medius b. Stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak dirongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung c. Stadium 3: polip yang massif 1. Naso-endoskopi



Adanya fasilitas endoskop akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila. 2. Pemeriksaan radiologi Foto polos sinus paranasal (posisi waters, AP, aldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan didalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal. CT terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diterapi dengan medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. Penatalaksanaan Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhankeluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa. Dapat diberikan topical atau sistemik. Polip tipe eosinofilik memberikan respon yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasal disbanding polip tipe neutrofilik. Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat massif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi local, etmoidektomi intra nasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Caldwell_Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik adalah apabila tersedia fasilitas endoskopi maka dapat dilakukan fasilitas endoskopi maka dapat dilakukan tindakan BSEF.



H. DIFTERI Definisi dan Etiologi Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut uang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil Corynebacterium diphtheria dan Corynebacteria ulcerans. Patogenesis Basil C. diphtheria bermultiplikasi di saluran pernapasan atas yang ditularkan melaluli droplet. Meski jarang, basil C. diphtheria juga dapat bermultiplikasi pada mukosa lainnya seperti vulva, kulit, konjungtiva, umbilikus, dan telinga. Basil akan membentuk pseudomembran dan menghasilkan eksotoksin yang awalnya bersifat lokal kemudian menyebar secara limfogen dan hematogen Gejala 1. Demam dan kadang-kadan menggigil 2. Malaise 3. Sakit tenggorokan 4. Sakit kepala 5. Limfadenopati saluran pernafasan dan pembentukan pseudomembran 6. Suara serak, disfagia 7. Dyspnea, stridor pernafasan, mengi, batuk Pemeriksaan Penunjang 1. Hematologi  penurunan Hb dan eritrosit 2. Urinalisis  albuminuria ringan, ditemukan silinder hialin, hematuria, dan piuria Penatalaksanaan 1. Isolasi pasien dan dilakukan tindakan pencegahan universal dari resiko penularan melalui droplet 2. Istirahat total minimal 2-3 minggu 3. Makanan lunak atau cair tergantung pada keadaan penderita, kebersihan jala nafas, dan pembersihan lendir 4. Pemeriksaan EKG secara serial 2-3x seminggu selama 46 minggu untuk menegakkan diagnosis miokarditis secara dini Pemberian anti-toksin sedini mungkin setelah diagnosis ditegakkan dan pemberian antibiotik seperti penisilin procain, eritromisin, amoksisilin, rifampisin, dan klindamisin



I.



HIPERTROFI ADENOID



Definisi Adenoid merupakan jaringan limfoid yang terletak pada dinding posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian cincin waldeyer. Adenoid secara fisiologis muncul pada saat usia 3 tahun dan menghilang pada sekitar usia 14 tahun.



Etiologi Etiologi pembesaran adenoid yaitu secara fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid akan mengalami hipertrofi pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun. Biasanya asimptomatik, namun jika cukup membesar akan menimbulkan gejala. Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak yang mengalami infeksi kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas atau ISPA. Hipertrofi adenoid terjadi akibat adenoiditis yag berulang kali antara usia 4-14 tahun.



Patogenesis Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid (pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang menfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun selular, seperti pada bagian epithelium kripte, folikel limfoid dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respons terhadap kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme pathogen. Adenoid dapat membesar yang mengakibatkan tersumbatnya jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha yang keras untuk bernafas sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka. Adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada nasal sehingga mempengaruhi suara. Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada tuba eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan dalam telinga tengah akibat tuba eustachius yang tidak bekerja efisien karena adanya sumbatan. Gejala Klinis Pembesaran adenoid menimbulkan beberapa gangguan: o Obstruksi nasi Pembesaran adenoid dapat menyumbat parsial atau total respirasi hidung sehingga terjadi ngorok, percakapan hiponasal, dan membuat anak akan terus bernapas melalui mulut. Beberapa peneliti menunjukkan korelasi statistic antara pembesaran adenoid dan kongesti hidung dengan rinoskopi anterior. o Facies Adenoid Secara umum telah diketahui bahwa anak dengan pembesaran adenoid mempunyai tampak muka yang karakteristik. Tampakan klasik tersebut meliputi :



Mulut yang terbuka, gigi atas yang prominen dan bibir atas yang pendek, hidung yang kecil, maksila tidak berkembang/ hipoplastik, sedut alveolar atas lebih sempit, arkus palatum lebih tinggi. o Efek pembesaran adenoid pada telinga: otitis media akut hingga kronik o Sleep apnea



Diagnosa Hipertropy Adenoid Diagnosis ditegakkan berdasarkan: • Tanda dan gejala klinik. • Pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum palatum mole pada waktu fonasi. • Pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak biasanya sulit). • Pemeriksaan nasoendoskopi dapat membantu untuk melihat ukuran adenoid secara langsung. • Pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos lateral dapat melihat pembesaran adenoid.



Tatalaksana Terapinya terdiri atas adenoidektomi untuk adenoid hipertrofi yang menyebabkan obstruksi hidung, obstruksi tuba Eustachius, atau yang menimbulkan penyulit lain. Operasi dilakukan dengan alat khusus (adenotom). Kontraindikasi operasi adalah celah palatum atau insufisiensi palatum karena operasi ini dapat mengakibatkan rinolalia aperta.



5. FARMAKO a. Dekongestan Dekongestan merupakan obat simpatomimetik yang menstimulasikan reseptor alfa-adrenergik. Dekongestan digunakan via oral maupun nasal. Efek dekongestan terjadi karena adanya vasokonstriksi pada hidung, sinus, dll yang mengurangi pembengkakan ataupun inflamasi serta produksi mukus pada cavum nasi. Dekongestan berdasarkan cara penggunaannya dibagi menjadi dekongestan oral dan dekongestan topikal. Pseudoefedrin dan efedrin adalah dekongestan yang umum digunakan dalam preparat obat flu. Pseudoefedrin dan efedrin dapat menyebabkan insomnia, ansietas dan kehilangan nafsu makan. Penggunaan dekongestan oral harus berhatihati pada penderita dengan gangguan tiroid, penderita diabetes, atau penderita yang menggunakan antidepresan tertentu. Pada penderita dengan hipertiroid aktif, penggunaan dekongestan oral dapat meningkatkan palpitasi dan tekanan darah.



Oleh karena itu, bagi penderita hipertensi lebih baik menggunakan dekongestan topikal karena menurut FDA, dekongestan topikal secara sistemik distribusinya sangat kecil sehingga tidak mempengaruhi tekanan darah dan denyut jantung. Namun, nasal spray biasanya menyebabkan rebound effect (membutuhkan dosis yang lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang sama pada penggunaan jangka panjang). Pada penderita diabetes, dekongestan dapat meningkatkan kadar glukosa darah dengan mencegah sekresi insulin melalui mekanisme penurunan uptake glukosa ke dalam jaringan perifer dan stimulasi pemecahan glikogen.



DAFTAR PUSTAKA Netter, Frank H. ATLAS OF HUMAN ANATOMY 25th Edition. Jakarta: EGC,. 2014 Arif, M. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi III. Jakarta: Penerbitan. Media Aesculapius FKUI Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 2012. Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Adams, G. L., Boies, L. R., & Higler, P. H. (1997). BOIES Buku ajar penyakit THT. Jakarta: EGC.



Eroschenko, V. P., 2012. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional Edisi 12. Jakarta: EGC.



AS, P., 2013. Rinitis Akut et causa Infeksi Bakteri pada Laki Laki Dewasa 22 Tahun. Medula, OKtober, Volume 1, pp. 10-11.



Tanto, C., Liwang, F., Hanifan, S. & Pradipta, E. A., 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.



Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J. & Restuti, R. D., 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher Edisi 7. Jakarta: FK UI. Soepardi, E. A. (2012). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Badan Penerbit FK UI.



Dorland, W. N. (2008). Kamus Saku Kedokteran Dorland (28 ed.). (Y. B. Hartanto, W. K. Nirmala, Ardy, & S. Setiono, Eds.) Jakarta: Elsevier Arif, M. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi III. Jakarta: Penerbitan Media Aesculapius FKUI Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Adams, George L. Boies: buku ajar penyakit THT (Boeis fundamentals of otolaryngology). Edisi ke-6. Jakarta: EGC Guyton, A.C, dan Hall. 2008, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC Ganong, W.F. 2003, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC Tortora G.J. 2009, Principles of Anatomy and Physiology