Review Jurnal Kekuasaan [PDF]

  • Author / Uploaded
  • rezki
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Judul Jurnal



: Pola Kepemimpinan dan Kekuasaan Kepala Perpustakaan Balai Layanan Perpustakaan DPAD DIY



Volume



: Vol. 27, No.2



Tahun



: 2020



Halaman



: 160-167



Penulis



: Intan Winda Oktavia



Latar Belakang: Perpustakaan adalah sebuah organisasi yang memiliki satu tujuan. Dalam organisasi terdapat berbagai macam bagian dan fungsi. Mengelola suatu organisasi diperlukan kemampuan manajemen yang baik, kemampuan tersebut akan menghasilkan keseimbangan dan pelaksanaan tujuan secara efektif dan efisien. Kemampuan seorang pemimpin diperlukan dalam sebuah organisasi termasuk perpustakaan. Menurut Umar (1999) sebuah organisasi membutuhkan seorang pemimpin organisasi yang mampu menaungi banyak bagian secara fungsional dan struktural untuk menjaga agar tiap bagian berjalan sesuai tugas dan fungsi masing-masing dan tetap pada satu tujuan yang ditetapkan. Menurut Laugu (2015:116), pemimpin perpustakaan harus sesuai dengan karakteristik perpustakaan, artinya harus memiliki tolak ukur yang dapat dikembangkan dalam kompetensi profesional dan sosial. Hal tersebut diperlukan agar pengelolaan perpustakaan dapat mencapai tingkat pelayanan yang diinginkan. Ciri-ciri dan karakteristik pemimpin atau kepala perpustakaan tentu berbeda. Begitu pun dengan model kepemimpinan yang digunakan tentu tidak akan jauh dari pendidikan yang ditempuh, pengalaman maupun wawasan. Keterampilan pemimpin dalam hal administrasi pada perpustakaan merupakan tantangan yang besar. Perpustakaan yang baik tentu akan memberikan dampak yang baik pada masyarakat. Pemimpin perpustakaan tentunya haruslah dapat membuat kaderisasi dan pengembangan kepemimpinan perpustakaan setelahnya dari stakeholder/pustakawan yang ada. Tujuan Penelitian : Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pola kepemimpinan kepala perpustakaan di Balai Layanan Perpustakaan Daerah DPAD DIY. Metode Penelitian: Metode penelitian dalam artikel ini adalah deskriptif kualitatif. Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data adalah wawancara sebagai data inti dan studi pustaka. Teknik pengambilan sampel yaitu menggunakan purposive sampling. Informan dalam penelitian ini adalah Pustakawan di Balai



Layanan Perpustakaan Daerah DIY dan berjumlah dua orang. Waktu penelitian ini yaitu pada bulan November 2019. Hasil dan Pembahasan: Untuk melihat pola kepemimpinan Balai Layanan Perpustakaan Daerah DPAD DIY, penulis menggunakan lima pola yaitu pola kepemimpinan situasional, transformasional, transaksional, karismatik, dan visioner. Jika dilihat dari kelima pola tersebut, maka penulis dapat menentukan juga jenis kekuasaan apa yang dimiliki oleh Kepala Balai Layanan Perpustakaan Daerah DIY. 1. Pola kepemimpinan situasional Berdasarkan informasi yang didapatkan dari beberapa informan terlihat bahwa Kepala Balai Layanan Perpustakaan Daerah DIY termasuk dalam pola situasional. Pemimpin dan bawahan saling berpengaruh dalam pembagian tugas maupun kekuasaan 2. Pola kepemimpinan transformasional pemimpinan transformasional Hasil wawancara dengan informan pertama menyatakan bahwa Kepala Balai Layanan Perpustakaan Daerah DIY peduli dengan perkembangan kinerja anggotanya. Pimpinan menggali ide-ide pegawai sehingga dapat memotivasi bawahan untuk bekerja lebih baik. 3. Pola kepemimpinan transaksional Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa informan, Kepala Balai Layanan Perpustakaan Daerah DIY bukan tipe pemimpin yang mendesain mekanisme kerja dan menekankan tugas pada bawahannya. 4. Pola kepemimpinan karismatik Menurut informan, beberapa rekannya memandang kepala perpustakaan adalah sebatas sebagai pimpinan mereka. Bukan pemimpin yang menarik, pimpinan hanya bersikap ramah pada pegawainya. 5. Pola kepemimpinan visioner Berdasarkan wawancara dengan informan, Kepala Balai Layanan Perpustakaan Daerah DIY belum pernah mengungkapkan visi melalui perilaku kepemimpinannya. 6. Kekuasaan yang dimiliki Kepala Balai Layanan Perpustakaan Daerah DIY Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dan pola yang telah dijelaskan. Jenis kekuasaan yang dimiliki oleh Kepala Balai Layanan Perpustakaan Daerah DIY adalah jenis kekuasaan legitimate power atau kekuasaan yang sah. Jenis kekuasaan yang dimiliki pemimpin tersebut bersumber dari surat keputusan yang sah dan legal dimata hukum. Pimpinan tidak memiliki reward power karena tidak pernah mempengaruhi bawahan dengan memberi penghargaan maupun hukuman. Pemimpin juga



tidak memiliki expert power atau kekuasaan keahlian. Hal tersebut sudah dijelaskan pada pola kepemimpinan transaksional dan visioner yaitu pemimpin hanya bagus di bidang manajemen tapi untuk keterampilan di bidang ini belum nampak. Pemimpin tidak memiliki keahlian di bidang perpustakaan karena bukan dari perpustakaan atau sebelumnya belum pernah menjadi pemimpin perpustakaan. Kesimpulan: Dari hasil penelitian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Kepala Balai Layanan Perpustakaan Daerah DIY dalam memimpin perpustakaan menggunakan dua pola, yaitu pola kepemimpinan situasional dan pola kepemimpinan transformasional. Pemimpin menggunakan pola kepemimpinan situasional dapat dilihat dari cara pemimpin mendelegasikan kabid masing-masing untuk memberikan arahan tugas pada bawahan.



Pemimpin



juga



melibatkan



bawahan



dalam



menyelesaikan



suatu



masalah



atau



menyelenggarakan kegiatan penunjang layanan. Pola kepemimpinan yang nampak yaitu pola kepemimpinan transformasional. Pola kepemimpinan ini dapat dilihat dari sikap pimpinan memotivasi bawahan dan mendorong bawahan untuk berpikir kreatif. Jenis kekuasaan yang dimiliki oleh Kepala Balai Layanan Perpustakaan Daerah DIY adalah jenis kekuasaan legitimate power atau kekuasaan yang sah. Jenis kekuasaan yang dimiliki pemimpin tersebut bersumber dari surat keputusan yang sah dan legal di mata hukum.



Judul



: ABUSE OF POWER: TINJAUAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN OLEH PEJABAT PUBLIK DI INDONESIA



Penulis/Peneliti : Raden Imam Al Hafis dan Moris Adidi Yogia Dosen Program Studi Administrasi Publik FISIPOL UIR PUBLIKa, Vol 3, No. 1 Hal. 80-88 (2017) Pendahuluan



:



1. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) saat ini menjadi tranding topic, baik di media massa, media cetak maupun media elektronik. Abuse of Power merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang pejabat publik atau penguasa dengan agenda kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan kelompok atau korporasi. Kalau tindakan itu dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan korupsi. 2. istilah menyebutkan bahwa kekuasaan itu dekat dengan korupsi. Kekuasaan yang tidak terkendali akan menjadi semakin sewenang-wenang dan pada akhirnya berujung pada penyimpangan. Makin besar kekuasaan itu, makin besar pula kemungkinan untuk melakukan korupsi. 3. Pelaku utama dalam banyaknya kasus penyalahgunaan kekuasaan adalah mereka yang disebut sebagai administrator publika atau pegawai negeri atau aparatur sipil negara (ASN). (Sundarso, 2015); 4. Tindakan penyalahgunaan kekuasan tersebut sebagian besar berdampak pada terjadinya Korusi, Kolusi dan Nepotisme (KKN); 5. Penyalahgunaan kekuasaan saat ini seperti hal yang tidak asing lagi bagi mereka yang memiliki jabatan publik, juga tidak bisa ada salahnya dengan pandangan bahwa tidak semua pejabat publik yang memiliki mental untuk melakukan penyelewengan kekuasaan. 6. Penyebab terjadinya penyalahgunaan kekuasaan mampu berdampak pada korupsi yang merjalela. Diantara penyebabnya: a. Bahwa punishment yang dirasakan dari hasil penyalahgunaan kekuasaan relatif lebih ringan dibanding dengan manfaat yang dirasakannya; b. Penyalahgunaan kekuasaan bisa diakali dan direkayasa dalam bentuk wujud fisik pertanggungjawaban;



c. Untuk mendapatkan kekuasaan memerlukan modal materi yang cukup besar, sehingga begitu kekuasaan melakat pada dirinya tentu yang bersangkutan berusaha untuk mengembalikan modal awal plus keuntungan yang besar; d. Tidak baiknya sistem check and balance dalam sistem pemerintahan. 7. Namun apabila kita berkaca dari studi kasus yang ada di Indonesia baik dari media massa, televisi maupun media online maka akan sangat banyak masalah publik yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan tersebut. yang paling menghebohkan adalah kasus suap yang dilakukan oleh walikota malng kepada anggota DPRD kota malang terkait dengan perubahan APBD yang menjerat 41 dari 45 anggota DPRD yang ada di Kota Malang. Yang mana mereka semua merupakan perwakilan rakyat yang seharusnya mencerminkan sikap dan perilaku yang bisa menjadi panutan bagi masyarakat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Pembahasan 



:



Kekuasaan -



Kekuasaan (power) menunjukkan capability yang dimiliki seseorang untuk membuat orang lain melakukan sesuatu, atau potensi yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi



orang



lain.



Dengan



demikian



kekuasaan/power



merupakan



kapasitas/capacity mengubah sikap atau perilaku orang lain sesuai dengan yang diinginkan. Sayangnya banyak pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan, ia memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya yang mengarah pada upaya memanfaatkan jabatan sebagai alat untuk mengelabuhi orang lain; -



Banyaknya pejabat negara yang tertangkap tangan dan dijebloskan ke penjara garagara korupsi, suap, ataupun pemerasan, tidak membuat jera dan takut para pejabat negara. Jumlah pejabat negara mulai dari menteri, anggota dewan, gubernur, bupati sampai dengan pejabat yang lebih rendah dari berbagai jenjang dan tingkatan yang tersandung kasus penyalahgunaan kekuasaan. Jumlahnya bukan semakin berkurang, malahan justru semakin merajalela meluluhlantakkan sistem administrasi tata negara. Ada beberapa argumentasi mengapa mereka tidak jera antara lain :



1. bahwa punishment yang dirasakan dari hasil penyalahgunaan kekuasaan relatif lebih ringan dibanding dengan manfaat yang dirasakannya; 2. penyalahgunaan kekuasaan bisa diakali dan direkayasa dalam bentuk wujud fisik pertanggungjawaban. Walaupun suatu kegiatan sebenarnya fiktif atau ada rekayasa lain mark up harga dan model lainnya, namun banyak penguasa yang bisa mengatur sistem pertanggungjawaban sehingga pada saat ada pemeriksaan tidak ada temuan karena didukung dengan tertib administrasi yang professional; 3. untuk mendapatkan kekuasaan memerlukan modal materi yang cukup besar, sehingga begitu kekuasaan melakat pada dirinya tentu yang bersangkutan berusaha untuk mengembalikan modal awal plus keuntungan yang besar; 4. karena ada anggapan aparatur pemeriksa bisa diatur dengan berbagai cara dan pendekatan. Petugas pemeriksa adalah manusia biasa, yang bisa dibujuk rayu untuk diajak kompromi terhadap temuan-temuan dari hasil pemeriksaan. Artinya, rekomendasi dari para pemeriksa bisa diperjualbelikan. -



Revrisond Baswir menyampaikan bahwa pelajaran yang dapat dipetik dari sejarah perkembangan korupsi di Indonesia adalah: 1. korupsi pada dasarnya berkaitan dengan perilaku kekuasaan. Mengutip Lord Acton, power tend to corrupt (kekuasaan memang cenderung untuk korup). Pemerintahan yang berkuasa secara absolut akan korup secara absolut pula; 2. korupsi sangat erat hubungannya dengan perkembangan sikap kritis masyarakat. Semakin berkembang sikap kritis masyarakat, maka korupsi akan cenderung dipandang sebagai masalah yang semakin berbahaya.







Kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme -



Sebagian pandangan menyatakan bahwa penyalahgunaan kekuasaan disebebkan oleh kebijakan publik yang hanya dipandang sebagai kesalahan prosedur dan administratif, namun apabila dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau suatu kelompok (korporasi) yang berdampak pada kerugian perekonomian dan keuangan negara, maka hal tersebut merupakan tindakan pidana;



-



Kekuasaan yang tanpa kendali cenderung korup, demikian juga kekuasaan mutlak tanpa ada hirarki dipastikan akan korup. Namun, riset psikologi membuktikan, kondisi itu hanya berlaku bagi pemegang kuasa yang mementingkan ego pribadi.



-



Syed Hussein Alatas (1990:3-4) juga merumuskan pengertian minimalis. Menurut Alatas, “corruption is the abuse of trust in the interest of private gain,” yaitu penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.



-



Alatas kemudian mengembangkan beberapa tipologi korupsi 1.



“korupsi transaktif”, yakni korupsi yang terjadi atas kesepakatan di antara seorang donor dan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak.



2.



“korupsi ekstortif”, yang melibatkan penekanan dan pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orangorang yang dekat dengan pelaku korupsi.



3. “korupsi investif”, yakni korupsi yang bermula dari tawaran atau iming-iming, sebagai “investasi” untuk keuntungan di masa datang. 4. “korupsi nepotistik”, yakni korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan pada kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat. 5. “korupsi otogenik”, yakni korupsi yang terjadi ketika seorang individu pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insider’s information) tentang berbagai kebijakan publik yang semestinya dia rahasiakan. 6. “korupsi suportif”, yakni perlindungan atau penguatan korupsi yang terjadi melalui intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan. -



kasus tindak pidana korupsi dengan bentuk penyalahgunaan kekuasaan bersifat multi dimensional dan kompleks. Sekalipun tindak pidana korupsi bersifat multi dimensional dan kompleks, namun ada satu hal merupakan penyebab utama terjadinya tindak pidana korupsi khususnya dalam birokrasi, yakni jabatan atau kekuasaan.



-



Saat ini, kasus korupsi terjadi peningkatan dari tahun 2016 – 2017, salah satu penyebabnya yaitu adanya kesempatan bagi pejabat publik untuk melakukan hal tersebut dan didukung oleh kekuasaan dan jabatan yang mereka miliki. Hal ini dapat dilihat dari data dibawah ini :



Tabel 1. Kasus Korupsi Selama 2016-2017 No.



Keterangan



Tahun 2016



1 Kasus Korupsi 482 2 Tersangka 1101 3 Kerugian Negara 1,47 T 4 Nilai Suap 31 M Sumber : Indonesian Coruption Watch, 2017 



2017 576 1298 6,5 T 211 M



Benarkah Abuse of Power Bukan Permasalahan Budaya? -



Penyalahgunaan kekuasaan dan pandangan hidup materialis bukan budaya bangsa kita, karakter inu jadi menonjol di Indonesia karena hukum belum kuat.



-



Migai Akech dalam penelitiannya berpendapat bahwa korupsi di pemerintah Kenya sebagian besar merupakan masalah kelembagaan, bukan masalah budaya.



-



penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi di Kenya dapat dikaitkan dengan tidak adanya prinsip dan mekanisme pengaturan yang efektif. Buruknya sistem kendali diri juga membuat koruptor terjebak dalam keserakahan. Mereka terus menuruti pikiran bawah sadar yang menuntut meraih semua peluang dan menimbun segala sumber daya yang bisa diraih dari peluang itu meski sudah berlebih memilikinya.



-



Masalah korupsi pernah menjadi topik perdebatan yang cukup hangat dalam sejarah Indonesia. Hal ini bermula dari pernytaan Furnivall, sebagaimana yang dikemukakan oleh Smith (Lubis dan Scott, 1990) menyatakan bahwa Indonesia di masa kolonial sama sekali bebas korupsi. Jika kmeudian korupsi cenderung berkembang menjadi penyakit yang sifatnya endemik dalam semua elemen struktur di Indonesia, paling tidak menurut sejumlah kalangan, kesalahan terutama harus ditujukan kepada pemerintahan pendudukan Jepang. Tetapi hal tersebut dibantah dengan tegas oleh Smith. Mengutip Day, Smith mengemukakan sejumlah contoh yang yang mengungkapkan cukup meluasnya tindakan korupsi di bawah pemerintahan Hindia Belanda, yang mana penyebab utamanya ialah tingkat gaji yang sangat rendah. Karena menerima gaji yang sangat rendah, orang-orang yang bekerja pada kompeni Belanda sangat mudah tergoda untuk menerima imbalan tambahan dari organisasi-organisasi pribumi yang lemah.



Kesimpulan dan Saran :  Kesimpulan Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab terjadinya penyalahgunaan kekuasaan sehingga berakibat pada korupsi yang merjalela diantaranya : a. Bahwa punishment yang dirasakan dari hasil penyalahgunaan kekuasaan relatif lebih ringan dibanding dengan manfaat yang dirasakannya; b. Penyalahgunaan kekuasaan bisa diakali dan direkayasa dalam bentuk wujud fisik pertanggungjawaban; c. Untuk mendapatkan kekuasaan memerlukan modal materi yang cukup besar, sehingga begitu kekuasaan melakat pada dirinya tentu yang bersangkutan berusaha untuk mengembalikan modal awal plus keuntungan yang besar; d. Tidak baiknya sistem check and balance dalam sistem pemerintahan.  Saran Penulis menyarankan: a. Meninjau kembali punishment yang diberikan kepada mereka yang melakukan penyalahgunaan kekuasan yang merugikan negara, sehingga ada efek jera yang dirasakan; b. Pemeriksaan terhadap LPJ yang dilakukan oleh setiap instansi harus dilakukanan secara mendetail sehingga celah/ruang mereka yang ingin melakukan penyalhgunaan kekuasaan dapat terminimalisir; c. Mengurani biaya politik sebelum menjabat sebagai pejabat publik atau wakil rakyat, sehingga tidak ada rasa untuk mengembalikan uang yang telah digunakan dalam biaya politik sebelum menjabat; d. Memperkuat sistem check and balance dalam sistem pemerintah, sehingga bisa saling mengontrol dan memberikan teguran terhadap pelanggaran yang terjadi.



Judul Jurnal



: Dinamika Kekuasaan dalam Perubahan Organisasi



Volume



: Volume 07, Nomor 02



Tahun



: 2020



Halaman



: 88-94



Penulis



: Farid



Latar Belakang: Perubahan organisasi telah mengisyaratkan bahwa proses perubahan organisasi dipengaruhi oleh pelembagaan kepentingan kekuasaan dan perilaku kelompok di dalam dan di sekitar organisasi (Jacobs, Van Witteloostuijn, & Christe‐Zeyse, 2013). Pandangan ini memberikan arti bahwa suatu organisasi dimasa yang akan datang diperhadapkan berbagai tantangan dan tekanan persaingan global dan deregulasi yang telah menyebabkan banyak perusahaan dan lembaga untuk mencari bentuk-bentuk baru organisasi dan model yang berbeda dalam mengelola sumberdaya manusia (Haas, 2018). Kecendrunan ini terlihat dimana banya perusahaan menjadi lebih ramping dan kurang berorientasi fungsional. Tingkatan manajemen dieliminasi dan jumlah staf perusahaan dikurangi. Banyak perusahaan mencoba mencari bentuk-bentuk baru dalam hubungan kerja dan peran serikat pekerja serta dewan direksi. Kondisi ini memdorong sistem kelembagaan dan politik memainkan peran penting dalam perubahan organisasi. Tujuan Penelitian : Tujuan penelitian ini untuk memahami dinamika kekuasaan dan perubahan organisasi. Tulisan ini dielaborasi dari berbagai artikel dengan menggunakan lima perspektif untuk memahami hubungan antara pendekatan kekuasaan yang digunakan untuk efek perubahan, agen yang terlibat dalam proses perubahan, strategi perubahan yang paling menonjol dan taktik pengaruh, dan hasil perilaku. Metode Penelitian: Desain penelitian ini adalah Literature Review atau tinjauan pustaka. Studi literature review adalah cara yang dipakai untuk megumpulkan data atau sumber yang berhubungan pada sebuah topik tertentu yang bisa didapat dari berbagai sumber seperti jurnal, buku, internet, dan pustaka lain. Hasil dan Pembahasan: Terdapa tiga perspektif tentang dinamika kekuasaan yang berhubungan dengan model perubahan organisasi. ketiga perspektif tidak komprehensif namun menawarkan pandangan yang baik pada pandangan penting pada kekuasaan. Selain itu, pendekatan tidak mengecualikan satu sama lain tetapi dapat digunakan dalam kombinasi dalam proses perubahan organisasi. 1. Perspektif pertama berkaitan dengan kewenangan yang digunakan dan kekuasaan yang sah dari agen. Perspektif ini berakar pada tradisi penelitian psikologis sosial yang diselidiki basis kekuasaan. Dilihat dari perspektif ini diperlukan untuk mencapai tujuan perubahan.



2. Perspektif kedua memandang bahwa basis kekuasaan sebagai titik awal. Dalam perspektif ini kekuatan pribadi diperlukan untuk membuat perubahan dalam organisasi. Hal ini beranjak dari asumsi bahwa dinamika kekuasaan sebagian besar terlihat. Dalam proses perubahan manajer dan konsultan mempunyai pengaruh dengan mengacu pada fakta dan argumen logis sehingga lebih mengutamakan pada keahlian. 3. Perspektif ketiga berakar pada teori manajemen dan organisasi yang menekankan pembagian kekuasaan dalam organisasi dan penggunaan kekuasaan oleh lembaga untuk mengontrol proses perubahan organisasi. Penggunaan kekuasaan akan terlihat ketika kelompok-kelompok yang berbeda kepentingan bernegosiasi tentang arah proses perubahan. Perspektif ini lebih dikenal sebagai perspektif kekuasaan struktural, yang penekanannya jauh dari kekuasaan individu terhadap kekuatan kelompok yang saling bekerja dalam organisasi. Jaringan relasional kelompok saling ditandai dengan kerjasama dan persaingan. Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa hasil dari proses perubahan tergantung pada cara di mana dapat memberikan hasil. Berdasarkan studi kasus dan pertimbangan teoritis, beberapa model penelitian mengusulkan sebuah model perubahan yang secara bersamaan memobilisasi pendekatan kontinjensi dan politik. Landau membahas kasus manajemen perubahan di sektor publik dan berfokus pada hambatan kelembagaan dan budaya untuk perubahan organisasi di sektor ini. Dia menyimpulkan bahwa perubahan jangka panjang tergantung baik pada penggunaan alat-alat yang efektif oleh para manajer perubahan, dan cara individu yang bekerja dalam organisasi merasa dalam konteks kerja baru mereka. Dia mengusulkan bahwa konsultan harus mengadopsi peran pendengar empatik kepada semua orang yang terlibat dalam proses perubahan