5 0 281 KB
Hermeneutika Dalam Perspektif Metode Tafsir Sastra Âmîn Al-Khûli
Revisi M AK ALAH Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hermeneutika Al-Qur’an
Dosen Pengampu Dr. Imam Annas Mushlihin, MHI
Oleh :
MUJI NIM :92200316005
Prodi: Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT) PASCASARJANA Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri 2017
1
BAB I A. Pendahuluan Amin al-Khûlî (1895-1966) merupakan perintis penggunaan kritik sastra atas teks al-Qur'an. Mulanya ia mengkaji bahasa dan sastra arab, sebagai upaya mencari kebuntuan persepsi atas sakralitas al-Qur'an. Kedua bukunya yang berjudul Fi al-Adab alMishri (1943) dan Fann al-Qawl (1947) adalah karya
penting
dalam menapaki pendekatan susastra al-Qur'an itu. Al-Khûlî mengawalinya dengan mendekonstruksi wacana sastra Arab. Belakangan
kita
mengenal
pengembangannya
Khalafallâh, Aisha Abdurrahman bin
oleh
M.A.
Shâti (w. 1998), M. Syukri
Ayyad (w. 2000) dan terakhir, yang cukup dikenal di tanah air karena karya terjemahannya banyak terbit, adalah Nasr Hamid Abû Zaid. Karya dan pemikiran Amin al-Khûlî benar-benar memberikan pencerahan baru terhadap perkembangan kesusastraan dan kritik tafsir al-Qur’an. Sehingga Amin al-Khûlî mampu melahirkan tokoh-tokoh pembaharu sastra. Maka tema yang diangkat, akan memberikan pemahaman tersendiri bagi pecinta sastra arab, mengenai sosok Amin al-Khûlî. Dalam pembahasan makalah ini juga
akan dijelaskan
tentang pengaruh sosok ketokohan Amin al-Khûlî mengenai pemikirannya tentang sastra al-Qur’an. Sehingga melahirkan kritik tafsir kesusastraan tentang sakralitas al-Qur’an. Yaitu tentang bagaimana latar belakang intelektual, sosial, politik, dan idiologi Amin al-Khûlî dan pengaruh pemikiran terhadap
lahirnya
tokoh-tokoh
2
Amin al-Khûlî,
pembaharu,
tentang
perkembangan kritik tafsir kesusastraan al-Qur’an? melalui penelitian
kepustakaan
murni
(Library
research)
dengan
menggunakan pendekatan yang bersifat deskriptif-analitik. Hasil
penelitian
ini
menunjukkan
bahwa
kehidupan
pendukung Amin al-Khuli menjadi salah satu faktor penentu akan tumbuh kembangnya kecerdasan beliau. Kelurga yang cerdas, taat dalam beragama, sekaligus memberi dukungan penuh terhadap beliau, menjadi jalan mudah bagi Amin al-khuli untuk terus belajar tentang seni, sastra, dan metode metode untuk memahami tafsir al-Qur’an. Kondisi sosial yang maju pada saat itu memberikan nuansa kebebasan dalam berfikir baginya, ruang lingkup
pengetahuannya
terbuka
luas,
sehingga
dia
bisa
berkeliling eropa untuk melakukan research dan sekaligus untuk memperbaiki hubungannya dengan dunia Eropa. Maka semangat Amin al-Khuli harus dijadikan panutan, untuk kembali melahirkan ide-ide baru yang lebih cemerlang. Agar agama, pengetahuan, sastra,
seni,
tafsir
dan
sastra
al-Qur’an
tetap
terjaga
kemurniannya sebagai ilmu pengetahuan. Dengan pemahaman, kecerdasan, dan kejeniusan beliau. beliau mampu mengkritisi berbagai tafsir sastra al-Qur’an. Ditambah
lagi
dengan
pengetahuan
beliau
dibidang
kesusastraan, seni, balaghah, dan terntunya metode dalam penafsiran al-Qur’an, yang pada akhirnya membuat Amin al-Khuli memiliki pengaruh luar biasa bagi para cendikiwan muslim di zamannya.
3
BAB II A. Biografi Amin al Khuli Amin Ibn Ibrahim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf al-Khuli lahir 1 mei 1895 di sekitar Menoufya, sebuah kota kecil di Mesir. Ia berasal dari keluarga petani gandum yang berpegang ketat pada tradisi keagamaan al-Azhar. Dia memiliki wacana yang luas terhadap peradaban Barat dengan metodologi pengkajiannya.1 Ia menempuh pendidikan formal di Sekolah Tinggi Hakim Agama pada tahun 1920, kemudian di Eropa menjadi imam ekspedisi ilmiah dan Atase Agama Kedutaan Besar Mesir di Roma dan Berlin, Jerman. Sepulang dari Eropa, ia ditunjuk menjadi dosen di universitas Mesir dan mengajar ilmu Balaghah,
1 M. Aunul Abied Shah, “Amin al Khuli dan Kodefikasi Metode Tafsir : Sebuah Biografi Intelektual” (Bandung : Mizan, 2001) hlm. 131
4
Tafsir, dan Sastra Mesir. Di Al-Azhar, ia menjadi guru besar Filsafat dan Perbandingan Agama pada Fakultas Ushuluddin.2 Kakek Amin al-Khuli adalah Syekh Ali Amir al-Khuli yang terkenal dengan sebutan al-Sibhi seorang alumni al-Azhar,dengan speialisasi Qira’at. Pada usia tujuh tahun Amin tinggal bersama pamannya dan digembleng dangan pendidikan agama yang sangat ketat seperti meng hafal al-qur’an, menghafal tajwid al-tuhfah dan al-jazariah, fiqh, dan nahwu. Adapun kitab yang wajib di hafal adalah alSyamsiah, al-Kanz, al-Jurumiah dan Matan al-Alfiah. Dalam penghafalan itu dia diberi keistimewaan, yakni di usia yang ke sepuluh tahun dia sudah hafal Alqur’an, khususnya Qira’at Hafs dalam waktu singkat ”18 bulan”. Pada tahun 1957 dia menulis tesis dengan titel al-Jundiyah al-Islamiyah wa Nadmuha yang diterbitkan tahun 1960 dengan judul al-jundiyah wa silmu waqi’ wa nissal dan artikel yang ditulis al-Madinah al-Jundiyah fi fiqhiyah, al-Aslihah al-Nariyah fil Juyusy al-Islamiyah dan al-jundiyah fi al-Islam. Mulanya ia mengkaji bahasa dan sastra Arab sebagai upaya untuk membongkar kebuntuan persepsi tentang kesakralan Al-Quran. Kedua bukunya, Fi Adabil Masyri’ dan Fannul Qaul (1947) adalah dua karya penting dalam menapaki pendekatan sastrawi atas Alqur’an.3 Karena banyak mengkaji Ilmu Bahasa dan Sastra, al khuli menjadi redaktur penulis materi tafsir dalam Ensiklopedia Dairah al Ma’arif al Islamiyyah. Ia menekankan pengkajian Al Qur’an pada kajian tematis dan menafsirkannya dengan interpretasi sastra sambil tetap mempertimbangkan aspek psikis dalam Al Qur’an.4 Al Khuli yang mengajar Tafsir al Qur’an di Universitas Mesir di Giza, adalah sarjana Mesir yang menemukan jalan keluar dari dilematika antara filologi dan pengetahuan. Di dalam penafsirannya mengenai tafsir al Qur’an dan sejarah, ia telah mengembangkan suatu teori mengenai hubungan antara filologi dan penafsiran al Qur’an yang sangat berpengaruh di Mesir. B. Karya-Karya Amin al Khuli (w. 1967)
2 . Aunul Abied Shah Amin al Khuli, ..... hlm. 131- 132. 3 http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=615:fikrah-edisi-33-amin-al-khuli-tonggak-pembaharuan-tafsir-untuk-keadilan-dan kesetaraan&catid=38 :fikrah&Itemid=271 , diakses pada tanggal 06 Oktober 2013. Pukul 02.15 PM 4 . Aunul Abied Shah Amin al Khuli, .....hlm . 132
5
Sebenarnya, Al Khuli bukanlah seorang penulis yang produktif seperti halnya cendikiawan-cendikiawan Mesir lainnya, seperti Mahmud Syaltut (18931963), Abbas Mahmud al Aqqad (1889-1964) dan lain sebagainya. Meskipun demikian, karya beliau yaang berhubungan dengan teori penafsiran al Qur’an sering dijadikan sebagai rujukan banyak orang hinnga sekarang karena ia dipandang sebagai rancang bangun metodologi baru, dimana aplikasi metode tersebut diterapkan secara produktif oleh murid sekaligus istrinya, ‘Aisyah ‘Abd Rahmad Bint Syati’5. Diantara beberapa karya beliau adalah sebagai berikut,6: 1. Fi al- Adab al- Misri : Fikr wa Manhaj 2. Al- Mujaddidun fi al- Islam ‘Ala asas Kitabay : al- Tanbi’ah Biman Yab’asuhu Allah ‘Ala Kulli Mi’at Li al- Suyuti wa Bugyat al- Muqtadin wa Minhat al- Mujiddin ‘Ala Tuhfat al- Muhtadin li al- Maraghi alJurjawi 3. Silat al- Islam bi Islah al- Masihiyyah 4. Manahij Tajdid Fi al- Nahwu wa al- Balagah wa al- Tafsir wa al-Adab 5. Min Huda al- Qur’an : Fi Amwalihim Misaliyyah 6. Min Huda al- Qur’an : Fi Ramadhan 7. Mu’jam Alfaz al- Qur’an al- Karim 8. Min Huda al- Qur’an : al- Qadat al- Rusul 9. Min Huda al- Qur’an : al- Qard al- Hasan 10. Al- Jundiyah wa al- Salam 11. Min Huda al- Qur’an : Musykilat Hayatina al- Lughawiyyah 12. Fann al- Qawl Sayangnya, tidak pernah menerbitkan karya tafsir. Namun banyak Tulisannya mengenai al-Qur’an, salah satunya Manahij at tajdid, sangat besar peranannya dalam memecahkan problem antara filologi dan edufikasi makna dalam penafsiran. Dapat dipahami mengapa beliau tidak pernah menulis tafsir, karena atmosfir di mesir pada era 40-an tidak mendukung. Sebagai fakta, ketika ia ditunjuk sebagai ketua proyek penafsiran al Qur’an di Mesir di Giza. ia menjadi promotor dari disertasi Muhammad Ahmad Khalafallah yang mempertahankan 5 Bin Syati’, al tafsir al Bayani Li al Qur’an al Kari, Vol I (Kairo : Dar al- Ma’rifah, 1972), hlm 10-11 6 Nur Syafa’atin, “Konsep Harta dalam Al- Qur’an Menurut Amin al- Khuli”, Skripsi Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta : 2005. Hlm 16-17
6
pendapat bahwa kisah-kisah yang disampaikan al-Qur’an mengenai nabi-nabi yang mendahului Muhammad saw. secara historis tidak benar. Akibat dari pendapatnya ini, terjadi perdebatan di Mesir dan menjadikan Amin al Khuli sebagai promotor danKhalafallah dituduh murtad. Sampai akhir hayatnya, beliau tidakmeninggalkan
satu
pekerjaan
yang
“selesai”
kecuali
satu
kumpulanpendapatnya yang berjudul Min Huda al Qur’an. Di kemudian hari, bungarampai karya-karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka Umum Mesir hingga mencapai 10 volume. Di antaranya yang paling terkenal berjudul Manahij Tajdid Fi al- Nahwu wa al- Balagah wa al- Tafsir wa al-Adab.7
BAB III Pemikiran Âmîn Al-Khûli A. Al Qur’an Sebagai Kitab Sastra Dalam khazanah Ilmu-ilmu al Qur’an, menurut Amin Abdullah, terdapat dua cara yang dapat digunakan untuk memahami al Qur’an yakni, Tafsir dan Takwil. Tafsir dikenal sebagai cara mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci. Dalam hal ini, teks ini dijadikan subyek. Sedangkan Takwil, adalah cara untuk memahami teks dengan menjadikan teks, atau lebih tepatnya disebut dengan pemahaman, pemaknaan dan interpretasi terhadap teks sebagai obyek kajian.8 Artinya perbedaan yang mendasar dalam memahami al Qur’an adalah meletakkan al Qur’an pada posisinya. Saat ia diposisikan sebagai subyek ataukah obyek dari sebuah pemahaman, begitu juga diskursus al Qur’an. Lain halnya dengan Amin al Khuli, beliau menyatakan bahwa status al Qur’an berpijak pada pertimbangan bahwa: secara historis, al Qur’an diturunkan dalam kemasan bahasa Arab. Dalam hal ini bahasa Arab dijadikan sebagai kode 7 M. Aunul Abied Shah, Amin al Khuli ..... hlm . 134 8 Yudiana, “Metode Tafsir Sastra al Qur’an : Telaah atas Pendekatan Kritik Sastra Amin al Khuli”, Skripsi Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta : 2011. Hlm 43-44.
7
yang dipakai Tuhan untuk menyampaikan risalah-risalahnya. Al Khuli menekankan bahwa ke-Arab-an al Qur’an hendaknya diperhatikan terlebih dahulu daripada hal-hal lain yang memiliki unsur religius ataupun tidak. Berangkat dari hal ini juga, al Khuli mendefinisikan tafsir sebagai kajian sastra yang kritis dengan menggunakan metode yang valid dan bisa diterima. Al- Khuli memposisikan alQur’an sebagai teks suci atau sebagai “dokumen” sastra suci. Disamping itu juga al- Qur’an di kategorikan sebagai kitab berbahasa Arab yang banyak memliki nilai-nilai trans-historis dan trans-kultural. Dengan kata lain penyusun menyimpulkan bahwa al- Qur’an menurut Amin al-Khuli adalah merupakan kitab hidayah, berbahasa Arab dan memiliki nilai sastra yang tinggi dengan pesan-pesan secara komprehensif dengan tetap tidak kehilangan segala fungsinya yang transhistoris dan trans-kultural. Untuk itu, terdapat beberapa aspek pemahaman mengenai al- Qur’an. Pertama, al- Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi manusia. Kedua, al- Qur’an sebagai dokumen yang berisikan pesan-pesan dari Allah SWT. Ketiga, al- Qur’an merupakan kitab yang berfungsi sebagai trans-historis dan trans-kultural. Dalam karya sastra terdapat unsur-unsur pembangunan yang secara bersamaan membentuk sebuah totalitas karya sastra. Disamping unsur bahasa, masih banyak lagi unsur yang lainnya yang ikut serta dicermati dari sebuah karya sastra. Secara garis besar, unsur sastra dikelompokkan menjadi dua macam yaitu : instrinsik dan ekstrintik. Unsur Instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, unsur ini adalah yang menyebabkan ide atau gagasan imajiner hadir sebagai karya sastra, yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra tersebut. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada diluar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi karya itu sendiri. Yang termasuk unsur ini adalah : kejiwaan/ psikologi, sosiologi, politik dan sejarah. Dalam hal ini al- Khuli termasuk pada kajian sastra yang berunsur ekstrinsik dalam hal epistemologis. Hal ini dibuktikan dengan beberapa aspek yang menjadi pokok utama dari pemikirannya. Unsur psikologis dari sebuah teks harus benarbenar dipahami secra natural. Artinya bahwa setiap teks harus bisa menafsirkan
8
dirinya sendiri dengan menggunakan keistimewaan teks itu sendiri. Berangkat dari hal tersebut faktor psikologis teks dan juga penafsir harus benar-benar ada. Unsur psikologis teks dan pembuat teks harus dipahami.9 Kajian Al-Khûli terhadap Alquran tidak dapat dipisahkan dari pikiranpikirannya tentang bahasa dan sastra Arab. Al-Khûli memulai upayanya dalam mendekonstruksi wacana sastra Arab dalam karya pentingnya yang membahas tentang sastra dan kri- tik sastra, yaitu al-Adab al-Mishri (1943) dan Fann al-Qawl (1947) Terdapat
dua metode kajian sastra
yang dikedepankan sebagai poin
terpenting dalam kedua bukunya tersebut. Dua metode tersebut, pertama, kritik ekstrinsik (an-naqdul khâriji) yang diarahkan pada ”kritik sumber”. Mulai dengan memperhatikan faktor sos- ial-geografis, religio-kultural, maupun politis, sebagai kajian ho- listik terhadap faktor-faktor eksternal kemunculan sebuah karya. Kedua, kritik intrinsik (an-naqdul dâkhili), yang diarahkan pada teks sastra itu sendiri, yaitu dengan analisis linguistik yang ter- arah, sehingga mampu menangkap makna yang ada.10 Kritik intrinsik terhadap sastra Arab ini membutuhkan per- angkat analisis ilmu balghah yang meliputi tiga aspek, yaitu, ma‘âni; yang berhubungan dengan analisis struktur
kalimat, bayân; berkenaan dengan ekspresi bentuk-bentuk
kalimat, dan badi’; yang berkaitan dengan keindahan ungkapan. 11 Al-Khûli juga menunjukkan kajian terhadap balaghah dari unsur bahasa dan sastra, serta menguji hubungan keduanya, kemudian memperke- nalkan penggunaannya pada metode sastra kontemporer untuk menemukan hubungannya dengan tradisi, antara perkembangan sastra dan bahasa secara umum. Hal ini bertujuan agar diperoleh penelitian lebih mendalam terhadap pengaruh bahasa intelektual dan kebudayaan manusia, serta bagaimana sastra dapat merubah garis kemajuan bahasa. Dengan kata lain, Al-Khûli bermaksud menegaskan bahwa ada hubungan erat antara sastra
9 Yudiana, “Metode Tafsir Sastra al Qur’an : Telaah atas Pendekatan Kritik Sastra Amin al Khuli” Hlm. 49-50 10 M. Nur Kholis Setiawan, Alquran Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2006), hlm. 8-9 11 Ibid...., hlm 10
9
dengan re- formasi pikiran, karena ia mencoba mencari inter-relasi bahasa dengan budaya dengan melihat pada pengaruh bahasa terhadap pertumbuhan peradaban.12 Perhatian yang mendalam terhadap balaghah dan kebudayaan Arab akan reformasi sosial, menurut Al-Khûli hal ini merupakan faktor-faktor mendorong intelektual
yang
Islam dalam memperhatikan pengetahuan terhadap
kehidupan berbahasa, sastra dan seni, yang tentunya harus dilengkapi oleh kritiknya sendiri, dekonstruksi serta rekonstruksi yang aktif dalam suatu diskursus yang baru. Agar tidak mengandalkan faktor-faktor studi ekster- nal terhadap hasil karya kaum intelektual asing ataupun Barat. B. . Kritik Terhadap Metode Tafsir Dari perhatiannya yang begitu besar terhadap sastra dan baha- sa Arab secara umum, kemudian menggiring perhatian Al-Khûli terhadap studi-studi Alquran. Tulisan beliau tentang tafsir yang kemudian di terbitkan menjadi buku adalah Al-Tafsîr Ma‘âlim Hayâtihî Manhâjuhul Yawma. Dalam bukunya tersebut, Al-Khû- li membahas persoalan-persoalan tentang tafsir, mulai dari era awal sampai masa Al-Khûli sendiri.
Munculnya pelbagai karya tafsir dengan
beragamnya kecendrungan yang melatarbelakangi para mufassir, mulai dari latar belakang intelektual, sosial, poli- tik dan idiologi, memengaruhi hasil-hasil penafsiran tersebut, yang pada akhirnya jauh dari maksud dan tujuan, serta misi uta- ma yang dibawa Alquran.13 Sikap berlebihan di dalam menjelaskan maksud ayat menye- babkan para mufassir menyimpang dari tujuan Alquran, yang ke- mudian munculnya mazhabmazhab yang mengabaikan makna sebenarnya dari Alquran tersebut. Al-Khûli mengutip pendapat Abduh dalam kaitannya dengan hal ini, bahwa terdapat dua ma- cam tafsir, salah satunya adalah tafsir yang dimaksudkan men- gurai kata-kata dan mempersoalkan cara baca kata-kata dalam kalimat, yang menurut Abduh tidak pantas disebut sebagai tafsir karena hanya merupakan bentuk latihan 12 M. Nur Kholis Setiawan, Alquran Kitab Sastra …, hlm 11, di kutip dari Amin al-Khuli, Fann al-Qawl, (Kairo: Dar al-Fikr,1947), hlm. 7 13 Ibid...., hlm 10
10
menerapkan ilmu Nah- wu dan Ma‘ani. Dan tafsir yang bercorak fikih merupakan sesuatu yang harus dihindari dalam penafsiran. Tafsir yang sebenarnya adalah tafsir yang dapat membawa mufassir pada memahami maksud yang sebenarnya dari firman Allah agar makna firman tersebut dapat terwujud sebagai hidayah dan rahmat.14 Berbeda dengan Abduh, menurut Al-Khûli tujuan yang dimaksudkan oleh Abduh bukan tujuan yang paling utama dari tafsir. Sebelum sampai pada tujuan tersebut, terdapat tujuan lainnya yang harus di- penuhi terlebih dahulu yaitu memandang Alquran sebagai kitab sastra Arab terbesar. Al-Khûli juga mengkritik tafsir saintifik (tafsir ‘ilmi) yang memaksa teksteks keagamaan agar senantiasa selaras dengan hal- hal yang temporer dan relatif. Tafsir saintifik (tafsir ‘ilmi), bagin- ya tidak memperhatikan konteks dan teks serta relasi antar teks secara serius. Seharusnya, dua hal ini merupakan hal terpenting bagi seorang mufassir ketika ingin mengetahui makna yang dikehendaki oleh sebuah teks. Jika keduanya diabaikan, seorang penafsir sebetulnya menempatkan Alquran bukan sebagai teks keagamaan yang suci. Terdapat
tiga aspek sebagai alasan Al-Khûli dalam menolak model
penafsiran saintifik tafsir ‘ilmi. Pertama, dari aspek ba- hasa. Penafsiran saintifik tidak kompatibel dengan makna kata- kata Alquran. Karena, perkembangan kata-kata
Alquran, secara
eksplisit, tidak bersinggungan dengan terminologi ilmu-ilmu kealaman. Kedua, dari segi filologi, bahasa dan sastra. Alquran yang diturunkan dengan masyarakat Arab sebagai sasaran wahyu pada abad ke tujuh, tentunya tidak berisi informasi-informasi pengetahuan alam yang tidak mampu dipahami. Aspek ketidaksesuaian ini dapat dilihat dari ketepatan makna pesan yang dibawa Alquran. Ketiga, dari aspek teologis. Alquran merupakan kitab suci misi pesan-pesan moral keagamaan, dan tidak bersentuhan dengan teori-teori kosmologis. Alquran tidak boleh dipaksakan untuk diselaraskan dengan penemuan-penemuan
di
bidang keilmuan, seperti fisika, kimia, astronomi, biologi, yang mana semuanya ini bersifat relatif dan temporer.15 Penolakan Al-Khûli terhadapap tafsir saintifik 14 Amin al-Khuli dan Nashr Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir …, 50-51 15 M. Nur Kholis Setiawan, Alquran Kitab Sastra Terbesar, hlm. 23
11
ini, tentunya sangat dipengaruhi oleh perhatiannya yang sangat besar terhadap pendekatan sastra dalam menafsirkan Alquran. Tafsir saintifik ini merupakan bentuk pemaksaan terhadap teks-teks Alquran untuk diselaraskan dengan penemuan- penemuan ilmiah yang senantiasa berkembang dan berubah. Dari semua problema yang menjadi perhatian dan kegelisa- han Al-Khûli tersebut, dia menawarkan metode tafsir yang dike- nal dengan metode tafsir susastra terhadap Alquran (al-Tafsîr al-Adabi lil Qurân). Motode ini dimaksudkan bisa terhindar dari kepentingan-kepentingan individual-ideologis, yang pada akhirnya bisa mendapatkan pesan Alquran secara menyeluruh sesuai dengan tujuan Alquran itu sendiri. C. Alquran sebagai Kitab Agung Berbahasa Arab Dalam hal ini, bahasa Arab merupakan atribut bagi Alquran dan merupakan kode yang dipakai Tuhan untuk menyampaikan risalah-risalah-Nya.
Oleh
karenanya, ke-Araban Alquran harus diperhatikan lebih dahulu sebelum hal-hal lain, terutama bagi mereka yang mengkaji Alquran, baik yang berbeda-beda agama ataupun berbeda-beda kepentingan.16 Agama dan kepentin- gan bukan menjadi persoalan, selama sensitifitas ke-Arabannya
mampu mengenali
kedudukan Alquran dalam bahasa Arab, serta posisinya dalam bahasa Arab, tanpa harus didasarkan sedikitpun pada keimanan akan sifat keagamaan dari kitab tersebut, Sebelum langkah metodologis ditempuh dalam kajian terha- dap Alquran, Al-Khûli pertama-tama menempatkan Alquran sebagai kitab sastra Arab terbesar dan sebagai karya sastranya yang tinggi, sehingga Alquran harus dianggap teks sastra suci. Dengan demikian, agar bisa memahami Alquran dengan proporsional, seorang harus menggunakan metode pendekatan sastra. Inilah tujuan yang sebenarnya harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum berupaya mewujudkan tujuan yang lainnya. atau pembenaran tertentu terhadap aqidah dalam kitab tersebut. 17 16 Ibid...., 12 17 Amin al-Khuli dan Nashr Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, hlm. 57
12
Dengan kata lain, bukan kepentingan agama yang menjadi tolok ukur penafsiran terhadapa Alquran, tapi bagaimana sesorang yang ingin menafsirkan Alquran bisa lebih objektif dengan memandang Alquran sebagai kitab sastra Arab terbesar. AlKhûli memprediksi bahwa cara pandang seperti ini akan menghasilkan penafsiran yang sama antara mufassir muslim maupun non muslim. Dengan demikian, kajian kesastraan terhadap karya besar seperti Alquran ini merupakan kewajiban pertama yang harus di- lakukan, karena buku ini memang berhak mendapat perlakuan seperti ini, walaupun tidak harus menjadikannya sebagai sumber petunjuk, atau memanfaatkan apa yang dikandung di dalamnya. Setelah itu setiap orang yang memiliki tujuan, setelah memenuhi kajian sastra ini, dipersilahkan mengambil apa saja yang ingin di ambil dan menjadikannya pedoman berkaitan dengan apa saja yang dikehendaki, baik hukum, keyakinan, moral, dan sebagain- ya.
Semua hal tersebut tidak akan
terwujud dengan semestinya apabila tidak didasarkan pada kajian sastra terhadap kitab sastra Arab terbesar ini secara benar dan sempurna. Dengan kata lain, tujuan utama dan terpenting dari tafsir adalah murni bersifat sastra, tidak dipengaruhi dengan pertimbangan apapun di luar sastra, sehingga usaha untuk mewujudkan tujuan lain harus di- dasarkan pada metode sastra.18
Artinya penafsiran yang
diban- gun melalui cara pandang bahwa Alquran adalah kitab satra Arab tebesar, akan bisa mendapatkan dan mencapai pada makna sejati Alquran. D. Pengaruh Urutan-Urutan Alquran terhadap Tafsir. Setelah paradigma awal dibangun terhadap Alquran seb- agai kitab sastra Arab terbesar. Selanjutnya untuk membangun konsep bagaimana dalam penafsiran, apakah langkah-langkah metodologis nantinya langkah-langkah
akan
mengikuti
yang telah dipakai oleh para mufassir sebelumnya, yaitu
menafsirkan Alquran berdasarkan urutan surah dan ayat-ayatnya dalam surah tersebut, atau mengikuti langkah-langkah lain di luar urutan tersebut. Tentang
hal ini, Al-Khûli berpendapat bahwa Alquran tidak disusun
berdasarkan tema dan persoalan tertentu, sehingga persoalan-persoalan tersebut dapat dikumpulkan dan dibahas dalam bab atau pasal tersendiri, yang berusaha 18 Ibid..... hlm, 58
13
menyatukan segala sesuatu yang berkaitan dengan tema atau persoalan ter- tentu. Alquran memaparkan pelbagai tema di dalamnya, dengan tidak mengumpulkan satu tema tertentu,
sehingga bagian-ba- gian yang ada di
dalamnya dapat
bertemu. Semua tema tersebut dibiarkan tersebar dan terpisah-pisah, karenanya dalam satu surah terdapat pelbagai macam tema, serta dapat ditemukan juga persoalan-persoalan yang dipapakarkan oleh surah lainnya. Hal ini memiliki hikmah dan tujuannya sendiri, sebagaimana yang dijelaskan dalam kajian-kajian mengenai urutan-urutan surah dan ayat (‘ilm tanasub).19 Dalam proses penafsiran Alquran, tampak bahwa penafsiran Alquran surah per surah dan juz per juz, secara berurutan, tidak mungkin dapat mengantarkan untuk sampai pada pemahaman secara cermat dan menangkap secara benar makna-makna dan tujuan-tujuan yang ada di dalamnya. Oleh sebab itu, untuk sam- pai pada pemahaman yang benar dan sempurna, seorang mufassir harus memfokuskan satu persoalan tertentu dalam menafsirkan Alquran. Jika memahami sejumlah teks tertentu terkait dengan satu tema, akan dapat dipahami maknanya secara tepat dan cer- mat, apabila mengetahui keterkaitan antara bagian awal dan akh- irnya, bagian yang mendahului dan bagian yang datang kemudian, Dengan demikian, menurut Al-Khûli, Alquran harus ditafsir- kan berdasarkan tema pertema, dengan mengumpulkan ayat- ayat tertentu
yang
berbicara tentang satu tema secara tuntas, dan diketahui urutan-urutan waktu turunnya, munâsabah-nya, serta latar belakang yang melingkupinya. Kemudian, meneliti ayat-ayat tersebut untuk ditafsirkan dan dipahami. Dengan cara seperti ini, penafsiran tersebut akan lebih dekat mencapai makna dan lebih tepat dalam menentukan maknanya.20 E. Metodelogi Penafsiran Tujuan pertama ilmu tafsir menurut Amin al Khuli adalah melakukan kontemplasi terhadap al Qur’an sebagai sebuah kitab yang teragung (al-Kitab al-‘Araby al-akbar) dan mempunyai aspek kesusastraan paling besar. Pengkajian aspek sastra merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum seorang 19 Ibid., hlm. 62 20 Ibid....., hlm. 62
14
mufassir melangkah ke tahap selanjutnya. Sederhananya ilmu Tafsir kontemporer dalam pandangan al Khuli adalah interpretasi sastra yang didsarkan atas metodologi
yang
tepat,
kelengkapan
aspek
dan
kesinkronan
distribusi
pemahaman.21 Al Khuli juga menyatakan bahwa secara ideal, studi tafsir al Qur’an harus dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama tentang latar belakang al Qur’an, tentang sejarah kelahirannya dan tentang masyarakat dimana ia diturunkan dan tentang bahasa masyarakat yang dituju oleh al Qur’an tersebut. Kedua, penafsiran ayat-ayat al Qur’an dengan melihat kitab-kitab tafsir terdahulu. Penekanan pada pentingnya latar belakang historis mengapresiasi secara benar makna literal al Qur’an berarti pemegangan terhadap prinsip e mente auctoris, yang menyatakan bahwa penafsiran dinyatakan tidak sempurna jika tidak mampu mengungkap makna dari pengarangnya. Karena al Qur’an bukan karangan dari seseorang melainkan “karangan Tuhan”, maka penerapan prinsip ini adalah penekanan yang sangat bahwa al Qur’an harus dipahami secara komprehensif dengan
memahami masyarakat yang menjadi tujuan pertama kali al Qur’an
diwahyukan.22 Dalam bahasa yang sederhana, konsep al Khuli dalam tafsir sastra mencakup dua hal, yaitu pengkajian di sekitar al Qur’an dan pengkajian di dalam al Qur’an. Yang pertama, Dirasah ma haula an Nash, dilakukan dengan mengkaji segala hal yang berada di sekitar kitab suci yang tampak selama sekitar dua puluh tahun masa diturunkannya, periode penulisannya serta pengumpulan dan penyebarannya. Sedangkan yang kedua, Dirasah ma haula fi Nash, akan membahas kosa kata yang ada dalam teks kemudian membahan susuna kata tersebut dalam kalimat dengan menggunakan berbagai ilmu bahasa yang ada.23 Al-Khuli telah membuat rumusan tahapan sebagai kerangka operasional penerapan dua hal di atas yakni, Pertama, sarjana yang ingin menulis tafsir alQur’an hendaknya memperhatikan semua ayat yang membicarakan suatu subjek 21 M. Aunul Abied Shah, Amin al Khuli ..... hlm . 140-141. 22 Aan Radiana dan Abdul Munir, “Analisis Linguistik”, hlm. 298 23 Amin al Khuli, Manahij Tajdid Fi al- Nahwu wa al- Balagah wa al- Tafsir wa al-Adab (Qahirah dar al-Ma’rifat : 1961), hlm. 310-312.
15
dan tidak hanya membatasi pada penafsiran satu ayat saja dengan mengabaikan pernyataan-pernyataan lain dalam topik yang sama24 Kedua, sarjana tersebut perlu melakukan studi dengan cermat dan teliti atas setiap lafal al-Qur’an, tidak saja dengan bantuan kamus-kamus klasik (kajian leksikal) melainkan juga pada tahap pertama dengan bantuan adanya paralel al-Qur’an dari lafal atau masadir yang sama,
Ketiga,
mufassir
seharusnya
menganalisis
bagaimana
al-Qur’an
menggabungkan lafal-lafal ke dalam kalimat serta hendaknya menjelaskan efek psikologis bahasa al-Qur’an terhadap para pendengarnya.25 F. Metode Sastra dalam Tafsir Berangkat dari beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum menerapkan metode sastra dalam tafsir, yaitu menempatkan Alquran sebagai kitab sastra Arab terbesar adalah hal pertama yang harus dilakukan oleh siapapun yang ingin mengkajinya. Dan untuk menghasilkan makna yang sempurna dalam kajian sastra terhadap Alquran ini, langkah selanjutnya adalah mengelompokkan ayatayat Alquran berdasarkan tema tertentu. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, AlKhûli mengedepankan dua prinsip metodologis, yang merupakan metode ideal dalam mengkaji teks sastra. Dua terhadap segala sesuatu
metode tersebut adalah: 26 pertama, kajian
yang berada sekitar Alquran (dirâsah mâ haw- lal
Qurân), kedua, kajian terhadap Alquran itu sendiri (dirâsah fi Qurân nafsih).. Kajian seputar
Alquran (dirâsah mâ hawlal Qurân) ini, terfokus pada
pentingnya aspek-aspek historis, sosial, kultural, dan antropologis wahyu bersamaan dengan masyarakat Arab abad ke tujuh hijriah sebagai obyek langsung ketika Alquran diturunkan. Kajian ini diarahkan pada latar belakang kemunculan Alquran, mulai dari proses pewahyuan dalam rentang waktu, kemudian dikodifikasikan, dibaca, ditulis, dan berbicara untuk pertama kalinya kepada masyarakat Arab saat itu. Secara teknis kajian-kajian tersebut lebih dikenal dengan 24 Misal ketika berbicara tentang Adam, maka tidak cukup hanya merujuk pada surat 2: 30 tetapi juga surat 7: 10, 15: 28, dan 18: 45. 25 Dalam analisis al-Khuli, terdapat hubungan yang erat antara ilmu Balagah dan Psikologi, yang menunjukkan urgensi interpretasi psikis terhadap teks al-Qur’an, yang harus ditetapkan secara maksimal sesuai dengan kemampuan sesorang dan kemajuan psikologi itu sendiri. Penetapan itu baik menyingkap akselerasi jiwa manusia dan dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan pembahasan al-Qur’an: kepercayaan agama, keyakinan akidah, olah perasaan, warisan sejarah, dan pemikiran masa lampau serta tuntutan reaktualisasi yang sesuai dengan zaman. 26 Ibid...., 64
16
‘Ulûmul Qur’ân”.27 Artinya seorang mufassir pada tahap ini harus melakukan identifikasi terlebih dahulu tentang bagaimana kehidupan manusia melakukan keArabannya saat itu, sebagai perangkat yang harus untuk memahami Alquran yang jelas ke-Arabannya. Secara umum kajian seputar Alquran ini (dirâsah mâ haw- lal Qurân) menyangkut dua hal, yaitu: pertama, aspek filologis, penetapan teks dan sejarah kelahirannya. Kedua, seting social, historis, geografis yang melahirkan teks dan memeroduksi maknanya.28 Kemudian kajian yang selanjutnya
dilakukan adalah
kajian terhadap
Alquran itu sendiri (dirâsah mâ fil Qurân nafsih). Dalam kajian ini di mulai dengan meneliti kosa kata Alquran dalam bentuk tunggalnya (mufradât), saat awal diwahyukan, perkemban- gannya, serta penggunaannya dalam Alquran, agar katakata tersebut dapat dipahami secara total. Pelacakan perkembangan mufradât tersebut diikuti kajian terhadap struktur kalimat dan frase-frase tertentu dengan perangkat ilmu Bahasa Arab, agar mampu mengungkap keindahan struktur teks. Kemudian ditelusuri perkembangan makna kata dan pengaruhnya pada setiap generasi agar dapat dilihat pergeseran maknanya dalam pelbagai generasi, serta pengaruh gejala psikologis, sosial, dan faktor-faktor peradaban umat terhadap pergeseran makna.29
Setelah melalui pertimbangan-pertimbangan
itu, lalu
menetapkan makna bahasa dari kata tersebut. Makna kata inilah yang dketahui untuk pertama kalinya ketika didengar oleh Bangsa Arab berkaitan dengan ayatayat Alquran. Setelah mengakaji makna kata dari segi bahasa dan perkembangannya, dilanjutkan dengan kajian terhadap maknanya berdasarkan pemakaian dalam Alquran. Kata-kata yang ada di dalam Al-quran diteliti untuk dipertimbangkan bagaimana pemakaiannya, apakah pemakaiannya bersifat menyeluruh, berlaku dipel- bagai masa turunnya Al-quran dan di pelbagai latar belakangnya yang berubah-ubah?, kalaupun tidak seperti itu, apa makna yang berbeda-beda tersebut 27 Ibid...., 67 28 Ibid...., 67 29 Ibid...., 71
17
terhadap pemakaiannya dalam Alquran. Dengan melalui proses ini, mufassir bisa menghasilkan penafsiran yang sesuai makna dalam ayat di mana kata tersebut berada.30 Metode
tafsir
rumusan
al-Khuli
ini
dikemukakan
dalam
karya
monumentalnya, Manahij al-Tajdid fi al-Nahw wa al-Balaga wa al-Tafsir wa alAdab,
khususnya pada bahagian tafsir. Amin al-Khuli (1895-1966) sangat
menganjurkan
pendekatan
tematik
dalam
menafsirkan
al-Qur’an
dan
menenekankan signifikansi interpretasi filologi yang didasarkan pada kronologis teks dan penggunaan semantik bahasa Arab untuk menganalisis kosa kata alQur’an.31 Pendekatan tematik32
ini merupakan respons terhadap metode penafsiran
klasik yang cenderung bersifat parsial dan atomistik. Menurut B. F. Stowasser, tafsir ini bercorak sastra (literary exegesis) yang didesain menjadi interpretasi inter-teks al-Qur’an yang secara metologis, dikategorikan sebagai tafsir modern. 33 Corak tafsir dengan pendekatan sastra ini terlebih dahulu menghimpun ayat-ayat al-Qur’an
menyangkut
masalah
yang
dibahas
dengan
memperhatikan
kemungkinan seluruh arti yang dapat dikandung oleh kata tersebut menurut penggunaan
bahasa.
Selanjutnya
memperhatikan
bagaimana
al-Qur’an
menggunakan kata-kata tersebut dengan melihat susunan redaksi secara utuh, bukan membahas secara terpisah yang terlepas dari konteksnya. Mufassir dituntut memahami kosa kata (mufradat) al- Qur’an dan uslūb (gaya bahasa)-nya dengan pemahaman yang bertumpu pada kajian metodologis-induktif sekaligus menelusuri rahasia-rahasia ungkapannya. Upaya penafsiran ini mencakup empat hal: 30 Ibid...., 75 31 Amin al-Khuli, Manahij al-Tajdid fi al-Nahw wa al-Tafs³r wa al-Adab (Kairo: Da>r al-Ma‘rifah, 1961), hlm. 304-407. 32 Menurut Abdul Djalal tafsir tematik ada dua macam: pertama, penafsiran suatu surat secara bulat sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh, dengan menjelaskan tujuan surat itu, baik yang umum atau yang khusus dan menerangkan perpaduan judul- judulnya antara yang satu dengan yang lain. Dengan demikian surat yang dikaji tampak sebagai satu topik yang mempunyai tujuan yang satu, meskipun mengandung beberapa pengertian. Kedua, penafsiran sejumlah ayat-ayat yang membicarakan satu judul yang sama yang diletakkan di bawah suatu judul yang satu, dengan dijelaskan tafsirannya dan segala segi secara topikal. Untuk keterangan lebih lanjut lihat Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maddu‘i pada Masa Kini, Cet. I (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hlm. 96-100. 33 Barbara F. Stowasser, Women in the Qur’an, Tradtion and Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1994), hlm. 120.
18
Pertama, untuk mencapai makna yang tepat dari kata-kata dan gaya pernyataan semaksimal mungkin dilakukan melalui studi-studi literal dengan cermat. Kegiatan ini diawali dengan mengumpulkan semua ayat mengenai topik yang dibahas dengan menggunakan pendekatan tematik. Kedua, guna memahami gagasan tertentu dalam al-Qur’an menurut konteksnya, ayat-ayat yang membahas gagasan ini disusun menurut tatanan kronologis pewahyuan (tartib nuzulnya) sehingga
keterangan
mengenai wahyu dan tempatnya dapat diketahui. Riwayat-riwayat yang berkaitan dengan asbab al-nuzul tetap perlu dipertimbangkan dengan catatan bahwa itu hanya merupakan keterangan-keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat. Bukan tujuan atau sebab kenapa pewahyuan terjadi. Pentingnya pewahyuan terletak pada generalitas kata-kata yang digunakan, bukan pada kekhususan sebab peristiwa pewahyuan. Ketiga, untuk memperoleh pemahaman yang benar terhadap teks alQur’an maka arti kosa kata yang termuat di dalamnya harus dilacak dari linguistik aslinya melalui bahasa Arab. Maka, makna sebuah kosa kata alQur’an ditelusuri melalui pengumpulan seluruh bentuk kata di dalam alQur’an dan mengkaji konteks spesifik kata itu. Dengan kata lain, al-Qur’an memiliki peran utama sekaligus menjadi standar untuk menilai berbagai pendapat dari para mufassir. Keempat, untuk memahami pernyataan yang sulit, naskah ditelaah baik secara tekstual maupun kontekstual. Di samping itu, pendapat- pendapat para mufassir juga ditelaah berdasarkan petunjuk bayan al- Qur’an. Bint alShati’ dalam tafsirnya, berupaya menghindari intervensi aneka ragam elemen dalam al-Qur’an dan mencoba mempertimbangkan penerapan teori kronologis dan konteks historis dari ayat-ayat al-Qur’an. Seluruh penafsiran yang bersifat sektarian dan israiliyyat yang
dianggap dapat mengacaukan pemahaman
haruslah dihindari. Dengan cara yang sama, penggunaan gramatika (nahwu) dan retorika (balagah) dalam al- Qur’an harus dipandang sebagai kriteria yang dengannya kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh ahli nahwu dan ahli balagah
19
harus dinilai, bukan menilai uslūb al-Qur’an dengan menggunakan tata bahasa tersebut.34 Sebagai hasil elaborasi terhadap ke 4 pokok penafsiran tersebut, Issa J. Boullata, guru besar sastra Arab dan tafsir di McGill University, Kanada menggaris bawahi beberapa hal.35 Pertama, metode tafsir seperti itu didasarkan pada diktum mufassir klasik yaitu al-Qur’an menjelaskan dirinya sendiri kendatipun mereka tidak menerapkannya secara sistematis. Kedua, bahwa alQur’an itu harus dipahami sebagai suatu keseluruhan yang komprehensif. Dan yang terakhir, metode tafsir tersebut mentolerir keterangan sejarah mengenai kandungan al-Qur’an. Seperti lazimnya dalam dunia ilmiah hampir semua–untuk tidak mengatakan semuanya–metode yang muncul selalu mendapat kritikan, namun tidak berarti semua yang dikritik itu identik dengan kekurangan. Demikian pula metode yang diusung oleh Bint al-Shati’ banyak mendapat kritikan dari berbagai pakar al-Qur’an. Namun menurut hemat penulis kritikan-kritikan itu justru memperkaya khazanah metode tersebut. Keberatan yang diajukan oleh kritikus tafsir terhadap metode yang ditawarkan amiin al-khuli
adalah kemungkinan pergeseran makna ayat
mengingat rentang waktu yang lama dari masa turunnya al-Qur’an: 22 hingga 23 tahun. Ungkapan dan gaya ayat-ayat pada masa awal pewahyuan tidak harus sama dengan yang turun kemudian. amiin al-khuli
menjawab persoalan ini
34 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayaniy…, hlm. 10-11. Metode tersebut dapat juga dilihat dalam bukunya Muqaddimah fi al-Manhaj (Kairo: Ma ‘had al-Buhu £ li al-Dir asah al-‘Arabiyah, 1971), hlm. 128-138. Lihat juga J.J. G. Jansen, The Interpretation of the Qur’an in modern Egyt (Leiden: E. Brill, 1974), hlm. 6869. 35 Issa J. Bullata, “Modern Qur’an Exegeis..., hlm. 103-115
20
dengan menekankan bahwa proses deduksi digunakan untuk menemukan makna fenomena linguistik dan gaya al-Qur’an yang tersatukan secara kronologis dapat membawa kita pada makna Qurani dari fenomena-fenomena tersebut, dan bahawa fenomena-fenomena itu secara keseluruhan bersifat konsisten. 3631 Argumentasi lain yang juga dilontarkan untuk menolak metode amiin al-khuli adalah bahwa para mufassir klasik tampaknya tidak selamanya setuju mengenai Asbab al-nuzul dan sekiranya laporan-laporan mengenai hal ini turut dimanfaatkan dalam menafsirkan al-Qur’an maka hasilnya akan dikacaukan oleh adanya perselisihan pendapat di sekitar masalah tersebut. Untuk menjawab masalah tersebut, amiin al-khuli
menyatakan bahwa
perselisihan pendapat mengenai “sebab-sebab pewahyuan” pada umumnya disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka yang hidup sezaman dengan masa diturunkannya sebuah ayat atau surat mengasosiasikan ayat atau surat itu dengan apa yang masing-masing mereka anggap sebagai sebab diturunkannya ayat.37 Sementara itu, metode yang diusulkannya menolak untuk menganggap setiap peristiwa dalam asbab al-nuzul tersebut sebagai sebab atau bahkan tujuan dari turunnya wahyu, tapi sekadar merupakan “rambu-rambu” eksternal dari pewahyuan itu sehingga penekanannya terletak pada universalitas makna dan bukan pada kekhususan kondisi tersebut. Selain itu, metode yang diusulkannya memperlakukan laporan-laporan tradisional mengenai “sebab-sebab pewahyuan” dalam suatu cara yang bebas, hanya melihat dukungan apa yang mungkin diberikan oleh laporan-laporan tersebut bagi makna-makna yang telah ditemukan 36 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayaniy…, hlm. 8. 37 Ibid...., hlm . 10
21
Argumentasi terakhir yang diajukan oleh kritikus al-Qur’an untuk melemahkan metode yang diusung oleh amiin al-khuli bahwa bahasa Arab yang digunakan pada masa Nabi Muhammad, sebagaimana yang diabadikan dalam syair-syair lisan dan prosa yang dikodifikasi kemudian mengindikasikan adanya penggunaan kosa-kata (mufradat) atau uslūb bahasa yang tidak terdapat atau berbeda dengan apa yang digunakan dalam al-Qur’an. Sebagai konsekuensinya, menyandarkan diri pada rasa keakraban untuk memahami mufradat al-Qur’an dalam berbagai penggunaannya, sama dengan membuka pintu bagi masuknya unsur-unsur asing ke dalam pemahaman atas teks al-Qur’an. Amiin al-khuli mengakui adanya bentuk dan peng gunaan- penggunaan bahasa Arab di luar al-Qur’an dan menjamin bahwa hal itu tidak berarti salah atau tidak bisa diterima karena tidak digunakan al-Qur’an atau al-Qur’an lebih memilih bentuk yang lainnya. Kendati demikian, ia menegaskan bahwa materimateri tersebut sebaiknya ditelusuri untuk mendukung pemahaman terhadap teks al-Qur’an, betapapun ditandaskannya bahwa al-Qur’an memiliki ungkapan yang khas dan penggunaan-penggunaan yang khusus tersendiri yang secara par exellence bersifat Qur’ani. Untuk alasan ini, Amiin al-khuli lebih cenderung untuk menilai unsur-unsur tata bahasa dalam al-Qur’an ketimbang mengikuti aturan-aturan buatan para pakar tata bahasa, retorika dan kritik sastra yang justru harus ditinjau kembali, atau bahkan direvisi, di bawah petunjuk al-Kitab.38 G. Pengaruh pemikiran al-khuli terhadap mufassir kontemporer Interpretasi
susastra
Alqur’an
di
era
kontemporer
mendapatkan perhatian pada paruh akhir abad ke-20. Ini terlihat 38 Bint al-Shati’, “Min Asrar al-‘Arabiyyah fi al-Bayan al-Qur’aniy”, dalam Lisan al-Arab 8: I, 1971, hlm . 11-37
22
dari munculnya karya-karya kesarjanaan yang dihasilkan pada kurun waktu tersebut. Kekayaan karya tersebut dapat dirunut pada
pemikiran
Amin
al-Khuli
(1895-1966)
yang
mengembangkan pemikiran al-Manhaj al-adabi dalam penafsiran al-Qur’an.
Metode
yang
ditawarkan
tersebut
kemudian
dikembangkan dan diaplikasikan oleh M.A. Khalafallah (w 1998) , Aisha Abdurrahman bint Shati’ (w. 2000) M. Syukri Ayyad (w. 2001), dan Nasr Hamid Abu Zaid. Al-Khuli terpentingnya
seorang
kritikus
sastra
Arab
dengan
Fi Adb al-Mishry (1943), dan
karya
fann al-Qaul,
keduanya merupakan upaya al-Khuli untuk mendkonstruksi wacana sastra Arab dengan dua metode kritik yang diterapkan: al-naqd al-Khariji, dan al-naqd-dakhili39 Al-Khuli, memotori pendekatan susastra al-Qur’an melalui tesis yang dikedepankannya bahwa Alqur’an adalah teks sastra Arab, Kitab al-‘Arabiyya al-Akbar, ia mempopulerkan sekaligus mengembangkan
metode
tafsir
susastra
(almanhaj
al-
adabi).sasaran metode ini adalah untuk mendapatkan pesan Alqur’an secara menyeluruh dan bisa diharapkan terhindar dari tarikan-tarikan individual-ideologis. Al-Khuli mengedepankan dua prinsip metodologis yakni; (1) dirasah ma haula alqur’an ( studi sekitar alqur’an), (2) dirasah alqur’an nafsihi ( studi tentang teks itu sendiri). menitik
beratkan
pentingnya
aspek-aspek
Kajian ini
historis,
sosial,
kultural, dan antarpologis wahyu bersamaan dengan masyarakat Arab abad ke-tujuh.40 39 Amin al-Khuli, Manahij Tajdid al-nahwu wa al-Balagah wa al-Tafsir wa alAdab, hlm 4 dikutip Nur Khalis Setiawan.....hlm 8 40 Salah satu contoh tafsirnya dalam buku Min Huda al_Qur’an, dalam menafsirkan kata Qardhan hasan, secara leksikal berbeda artinya dengan aldain (hutang), kata Qardhan hasan memiliki inflikasi tanggung jawab sosial bagi mereka yang memilikinya, karena kata tersebut selalu digunakan Alqur’an untuk merepresentasikan properti ataupun kekayaan. Lihat Nur Khalis, ... hlm 15
23
Apa yang dikembangkan Al-Khuli ( 1895-1966) memilki mata
rantai
muncul
keterkaitan
setelahnya.
dengan
Diantara
pemikiran-pemikiran
tokoh-tokoh
yang
yang
mengikuti
pemikiran al-Khuli sbb: Pertama, Khalafallah menulis sebuah Disertasi berjudul al-Qashash fi al-Qur’a,n dalam disertasinya ia mengulas historisitas kisah-kisah kenabian yang termaktub dalam teks Alqur’an. Dengan metode induktif (istiqra’), Khalafallah berasumsi bahwa kisah-kisah yang tertera dalam Alqur’an bukan semata –mata data historisis, melainkan merupakan narasi yang bisa dimasukkan dalam bingkai sastra yang syarat dengan simbol-simbol keagamaan berupa ibrah, mauw’idzah, hidayah dan irsyad . investigasi yang dilakukan membuahkan
hasil
yang
berbeda
dengan
karya-karya
sebelumnya.41 Kedua, Binti Syathi’ yang memiliki nama lengkap Aisha Abdurrahman murid sekaligus istri dari al-Khuli. Ia menulis karya tafsir berjudul al-Tafsir al-bayani li al-Qur’an al-Karim, dalam karyanya secara konsisiten menerapkan metode alKhuli. Ada dua
elemen pengembangan dan modifikasi
model al-Khuli yang ditawarkan binti Syathi’; (1) penelitian terhadap makna leksikal kosa kata Alqur’an yang kemudian dijadikan sebagai sarana dikehendaki
dalam
untuk mengetahui makna yang
konteks
pembicaraan
ayat,
Kedua,
pelibatan semua ayat yang berbicara tentang satu topik tertentu saja.karya lainnya berjudul Min Asrãr al-Arabiyya fi bayan al-Qur’an membahas tentang gaya kalimat-kalimat Alqur’an, da karyanya berjudul maqa fi al-Insan: Dirasat
41 Nur Khalis...... hlm 31-33
24
Quraniyah,berbicara
tentang
manusia
dengan
metode
tematik al-Khuli.42 Ketiga, Syukri Ayyad menulis buku berjudul Yaum al-Din wa al-Hisab : Dirasat Quraniyah dalam karya ini Ayyad mengkritik para mufassir dan juga para orientalis yang ia nilai gagal memahami eksatologi. Melalui metode susastra ia berkesimpulan bahwa eksatologi Alqur’an bisa dilihat dalam tiga model; (1) penghadapan lansung ( al-taujih), (2) ilustratif yang
al-Tashwir , (3) menggunakan situasi dan kondisi berlawanan.
Diantara
penggambaran mizan
contohnya
adalah
seperti dalam 7: 8-9 kata mizan
dalam ayat tersebut harus dipahami secara metaforis, artinya mizan tidak berarti timbangan berat secara fisik , melainkan
ilustrasi
kemanusiaan seorang.
kualitas
dan
derajat
positif
dari
43
Keempat, Hamid Abu Zaid ( lahir 1942), menurut Abu zaid
untuk
menawarkan
menafsirkan
Alqur’an
secara
objektif
ia
dua premis, yakni premis mayor dan minor,
yang terkait erat dengan bahasa keagamaan Alqur’an . premis mayor mengatakan bahwa bahasa Alqur’an secara umum merupakan bahasa Arab yang tidak terlepas dari kerangka linguistik dan budaya Arab sebelum datangnya Islam
dan
memberinya
makna-makna
keagamaan.
Ia
menetapkan hipotesis bahwa teks Alqur’an mempunya sistem bahasa yang spesifik yang tidak saja mengubah makna terminologi pra Islam, melainkan mampu melewati batas-bats linguistik bahasa Arab pra Islam , bahkan mampu menciptakan karakter kebahasaannya sendiri.
42 Nur Khalis Setiawan...... hlm 37-38 43 Nur Kholis Setiawan,... . hlm 41
25
Pemikiran tokoh-tokoh tersebut dijadikan sebagai pijakan dalam mencari akar-akar pemikiran dalam tradisi turats dapat dijadikan sebagai pegangan bahwa pemikiran
dan
liberal
dalam Islam bukanlah “anak tiri” melainkan “anak kandung” dari sejarah Islam itu sendiri yang harus dikampanyekan.44 H. Contoh Penafsiran Sebagaimana
telah
diketahui
bahwa
penafsiran
yang
dilakukan oleh Al-Khûli ini dengan menggunakan metode tematik, hal ini bisa dilihat penafsirannya terhadapat ayat-ayat yang berbicara tentang harta. Dalam pandangan Al-Khûli, Al-quran juga berbicara tentang kewajiban para pemilik harta dalam menunaikan zakat, dimana Alquran menggunakan kata al-îtâ’, pada lebih dari 20 tempat. Al-quran hanya menggunakan kata tersebut untuk memerintahkan penunaian zakat,
di antaranya
adalah surah alBaqarah ayat 277, at-Taubah ayat 5 dan 11, alHajj ayat 41:
صةلة ةوتآةتووا الززةكةاة ةوأةةقةاوموا ال ز “Mendirikan shalat, dan menunaikan zakat” Kata al-îtâ’ adalah pemberian yang tulus, segera, dan ringan bagi jiwa pemberinya. Hal ini merupakan penunaian mulia dari seseorang
yang
mencerminkan
kesegeraan
dan
konsisten,
sehingga di dalamnya mengandung makna ringan tangan dan ketulusan yang dirasakan dalam menunaikan kewajiban memberi tersebut.
Alquran
mengungkapkan
pelaksanaan
hak-hak
tersebut dengan kata al-îtâ’, atau pemberian dengan maksud yang lurus sebagai pelaksanaan hal tersebut dengan ringan tangan dan mudah. Al-quran juga menjelaskan bahwa spirit dari pelaksanaan tindakan yang merupakan perwujudan dari pelbagai keutamaannya dan mengandung unsur perbaikan di dalamnya 44 Nur Khalis Setiawan,...... hlm 49
26
adalah mengeluarkan pemberian yang efektif, penuh kerelaan, dapat diterima, dan dilakukan dengan senang. Selain itu, di sisi lain Alquran juga berbicara tentang persoalan-persoalan masyarakat yang berkaitan dengan harta, termasuk
juga
orang-orang
yang
menelantarkan
hak-hak
masyarakat tersebut, sebagaimana firman-Nya:
م م م مم م ذنمههههوم ة م ذنممميم م إإزن صههههلل ةعةلي إههههه م صههههةدةق م وتةطلهوروهههههم ةووتةزلكيإهههههم إبةهههههةا ةو ة ةميإلإهم ة وخههههذ إمههههن ةأمم و م م م ةوٱ زو نممعقو مةبهةة وا أةزن ٱزلةهه وه ةو ةيق ةبهول ٱلزتو ملةومه م ةيع له ةسهإميمع ةعإليهم أةةلهم وقةتةك ةسةكن لزوهه م ونممع ة صلةو و م م نأ صةدنأقوإت ةوأةزن ٱزلة وهةو ٱلزتزواوب ٱلزرإحيوم ةعن إعةبةاإدإهم ةوةيأ وخوذ ٱل ز “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambaNya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?” (QS. AtTaubah [9]:103-104) Ayat di atas merupakan salah satu bentuk perhatian kepada situasi yang dialami oleh para pemilik harta dan pemenuhannya atas kebutuhan masyarakat. Para ahli tafsir generasi awal menyampaikan hal lain tentang makna shadaqah. yaitu makna kata shadaqah berasal dari kata sidq (ketulusan), karena kata tersebut
merupakan
bukti
dari
kebenaran
iman
yang
diekspresikan. Batin seseorang yang beriman atau percaya bersama tindakan lahir, sehingga orang tersebut tidak dianggap sebagai orang munafik yang mencela orang mukmin. Hal ini merupakan penafsiran bahwa mereka selalu memungut zakat itu, karena
harta
adalah
milik
Allah,
serta
tidak
merupakan
kemuliaan, pemberian, dan anugerah dari para pemilik harta, atau dari tangan yang lebih tinggi kepada tangan yang lebih
27
rendah.
Penyebutan
tindakan
Allah
yang
tegas
tentang
shadaqah, disebutkan dalam ayat 104 surah at-Taubah. Dengan pelbagai metode analisis yang digunakan, Al-Khûli sampai pada penafsiran bahwa ketika Allah memerintahkan para pemilik harta untuk memberikan sesuatu dari hartanya, atau menyebutkan tindakan mereka dalam pemberian harta, maka Alquran menggunakan kata al-îtâ’. Karena sebagaimana yang telah disebutkan bahwa kata tersebut berarti sebuah pemberian untuk maksud tertentu, efektif, dilakukan dengan ringan tangan dan segera. Sedangkan bagi pihak-pihak yang menerima, pemungut atau
mereka
yang
mengumpulkan
pemberian
dengan
menggunakan kata al-Akhz untuk menyebut tindakan mereka, yang berarti penerimaan yang kuat dan mantap. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dekonstruksi Al-Khûli terhadap bahasa Arab merupakan awal dari perhatiannya pada kajian Alquran. Kegelisahan Al-Khûli ter- hadap penafsiran yang sarat dengan kepentingan idiologis dan madzhab, membuat Al-Khûli menempatkan Alquran sebagai kitab sastra terbesar. Dengan demikian seorang mufassir akan terlepas dari pelbagai macam kepentingannya, karena telah memosisikan Al-quran sebagai kitab sastra terbesar. Yang kemudian menjadi fokus pada kajian kebahasaan dari Alquran itu sendiri. Sehingga langkah tersebut dapat menghilangkan subyektifitas mufassir dalam menafsirkan Alquran. Sebelum menetapkan metode sastranya, Alquran harus ditafsirkan berdasarkan tema pertema, dengan mengumpulkan ayat-ayat tertentu yang berbicara tentang satu tema secara tuntas. Kemudian Al-Khûli mengedepankan dua prinsip metodologis, yang merupakan metode ideal dalam mengkaji teks sastra. Dua metode tersebut adalah: prtama, kajian terhadap segala sesuatu yang berada sekitar Alquran (dirâsah mâ hawl Qurân), kedua, kajian terhadap Alquran itu sendiri (dirâsah fil Qurân nafsih).
28
Dari ulasan di atas, maka akan didapati posisi metode AlKhûli dalam menafsirkan Al-quran ini dapat digolongkan dalam hermeneutika teoritis, yaitu berangkat dari pemahaman dengan mengedepankan pembacaan terhadap teks daripada makna, maka makna harus diteliti dan digali dari aspek struktur teks, kemudian dilanjutkan dengan kritik historis. Dan jika dilihat dari kajian linguistik, maka motode yang digunakan Al-Khûli ini dapat digolongkan pada kajian semantik dengan analisis diakronik, yaitu analisis terhadap perkembangan historisitas teks tersebut untuk mencapai pada sebuah makna. Serta kajian stilistika yang fokus pada analisis terhadap penggunaan kata yang terdapat dalam Al-quran, kemudian diteliti untuk dipertimbangkan bagaimana pemakaiannya. Metode yang dikembangkan Al-Khûli ini memberikan wacana baru dalam perkembangan ilmu tafsir. Terlepas dari pelbagaimacam pendapat yang menolak dan menerimanya, menurut penulis hal terpenting yang harus digarisbawahi adalah bagaimana semangat Al-Khûli untuk menjauhkan tafsir dari subyektifitas mufassirnya, hal ini lah yang harus terus dipelihara untuk menjaga kemurnian Alquran dari kepentingan-kepentingan idiologis dan madzhab. Sehingga Alquran benar-benar menjadi kitab petunjuk bagi umat Islam khususnya. DAFTAR PUSTAKA Al-Banna, Gamal, Evolusi Tafsir; Dari Zaman Klasik Hingga Modern, terj. Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi Press, 2004 Al-Khûli, Amin, Min Hudâ Qurân fi Amwâlihim, Mitsâliyya lâ Madzhâbiyya, Kairo: tp, 1987 Al-Khûli, Âmîn dan Nashr Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, terj. Khoiron Nahdiyyin, Yogyakarta: Adab Press, 2004 Atho’ Fakhruddin (ed), Hermeneutika Transendental: Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies, Yogyakarta: IRCiSOD, 2003 Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Alquran, Tema-Tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2011 Mubarok, Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalisme Linguistik; dalam Tafsir Alquran Kontemporer ala M. Syahrur, Yogyakarta: eLSAQ ress, 2007
29
Setiawan, Nur Kholis, Amin Al-Khuli And Qur’anic Studies; an Analysis Of The Literary Exegesis In Modern Egypt, Netherlands: INIS, 1996 _______, Alquran Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta: elSAQ Press, 2006 Wijaya, Aksin, Arah Baru Studi Ulum Alquran; Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009 Yusron, M., dkk, Studi Kitab Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: TH press, 2006
30