Ringkas Sejarah Daktiloskopi PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Ringkas Sejarah Daktiloskopi Masa Prasejarah: - Gambar lukisan tangan dengan pola-pola lukisan seperti menunjukkan pola-pola garis papiler pada ujung ruas jari yang menggelembung pertama kali ditemukan di dinding-dinding goa di Nova Scotia, di Babilonia Kuno yang dimaksudkan sebagai bagian dari komunikasi saat itu; - Kemudian di Cina Kuno, teraan ibu jari ditemukan sebagai corak gerabah (keramik) atau segel tanah liat. Ini menunjukkan jika sidik jari sudah dipakai sebagai validasi dari sebuah transaksi, dimana dalam sebuah transaksi kontrak sidik jari yang direkam dalam segel tanah liat menjadi alat validasi; - Masa Romawi kuno, identifikasi dilakukan dengan cara pemberian cap atau tanda dan bahkan melukai digunakan untuk menandai kejahatan apa yang pernah dilakukan, misalnya pencuri dipotong tangannya, atau menggunakan jarum tato untuk mengidentifikasi dan mencegah desersi tentara bayaran; - Abad 14, di Persia, berbagai kertas resmi pemerintah memiliki teraan sidik jari sebagai tanda validasi. - Abad 17, Marcello Malpighi, seorang Profesor anatomi di University of Bologna dalam risalahnya mencatat, pola bentukan seperti bukit-bukit, spiral/lingkaran dan jerat dalam sidik jari. Dia tidak menyebutkan sidik jari sebagai alat untuk identifikasi individu. Sebuah lapisan kulit dinamakan dengan nama belakangnya yaitu lapisan “Malpighi” yang memiliki ketebalan sekitar 1,8 mm. - Abad 19, atau sebelum pertengahan tahun 1800-an, aparat penegak hukum dengan ingatan visual yang luar biasa mengidentifikasi penangkapan terdahulu dari para pelanggar hukum berdasarkan penglihatannya. Fotografi atau potret mengurangi beban memori atau ingatan tetapi tetap bukan jawaban untuk masalah identifikasi pelaku kejahatan sebab penampilan seseorang secara kasat masa dapat mudah berubah.



Pada tahun 1823, seorang profesor anatomi di Universitas Breslau, Cekoslowakia, John Evangelist Purkinje menerbitkan tesisnya yang membahas sembilan pola sidik jari. Tetapi seperti Marcello Malpighi ia juga tidak menyebutkan bernilainya sidik jari untuk identifikasi manusia. Pada tahun 1858, Orang Inggris pertama yang mulai menggunakan sidik jari pada bulan Juli 1858, ketika Sir William James Herschel, Hakim Kepala distrik Hooghly di Jungipoor, India, pertama kali menggunakan sidik jari pada kontrak dengan orang setempat. Sambil main-main, dan tanpa terpikir untuk identifikasi pribadi, Herschel menyuruh Rajyadhar Konai, seorang pengusaha



lokal, menerakan sidikjarinya pada kontrak. Gagasan itu agaknya untuk menakut-nakuti [dia] terlepas dari semua pikiran tentang menyangkal tanda tangannya." Orang setempat itu terkesan, dan Herschel menjadikan kebiasaan yang membutuhkan teraan telapak tangan - dan kemudian, hanya menerakan telunjuk kanan dan jari tengah kanan- pada setiap kontrak yang dibuat dengan penduduk setempat. Seseorang yang memiliki kontak dengan dokumen, mereka yakini membuat kontrak lebih mengikat daripada jika mereka hanya menandatanganinya. Dengan demikian, pada penggunaan skala luas, di hari baru penggunaan sidikjari didasarkan bukan pada bukti ilmiah, tetapi pada keyakinan takhayul. Bagaimanapun, seiring bertambahnya koleksi sidikjarinya, Herschel mulai mencatat bahwa teraan sidikjari bertinta tentunya memang dapat membuktikan atau menyangkal identitas. Sementara pengalamannya dengan sidik jari itu diakui terbatas, keyakinan pribadi Sir William Herschel bahwa semua sidik jari merupakan keunikan individu, serta permanen di seluruh kehidupan individu, mengilhaminya untuk mengembangkan penggunaannya. Pada



tahun



1863,



Profesor



Paul-Jean



Coulier



dari



Val-de-Grace



Paris,



mempublikasikan pengamatannya bahwa sidik jari (laten) dapat dikembangkan di atas kertas dengan



fumigasi



(pengasapan)



yodium,



menjelaskan



bagaimana



untuk



melestarikan



(memperbaiki) teraan yang dikembangkan tersebut dan menyebutkan potensi untuk mengidentifikasi sidik jari tersangka dengan menggunakan kaca pembesar. Pada tahun 1870 antropolog Perancis Alphonse Bertillon merancang suatu sistem untuk mengukur dan mencatat dimensi bagian-bagian tulang tertentu dari tubuh. Pengukuran ini direduksi menjadi sebuah formula yang, secara teoritis, akan berlaku hanya untuk satu orang dan tidak akan berubah selama hidup dewasanya. Sistem Bertillon pada umumnya diterima selama tiga puluh tahun. Tapi itu tidak pernah pulih sejak peristiwa 1903, ketika seorang pria bernama Will West dijatuhi hukuman di Lembaga Pemasyarakatan AS di Leavenworth, Kansas. Ditemukan bahwa sudah ada tahanan di penjara pada waktu itu, yang dengan pengukuran Bertillon hampir sama, dan namanya adalah William West. Setelah penyelidikan, memang ada dua pria yang tampak persis sama. Nama mereka masing-masing Will dan William West. Pengukuran Bertillon pada cukup dekat untuk mengidentifikasi mereka sebagai orang yang sama. Namun, perbandingan sidik jari dengan cepat dan benar mengidentifikasi mereka sebagai dua orang yang berbeda. (Per catatan penjara kemudian ditemukan bahwa orang-orang Barat rupanya saudara kembar identik dan masing-masing memiliki catatan korespondensi dengan kerabat keluarga yang sama



langsung). Selama 1870-an, Dr Henry Faulds, Pengawas bedah asal Inggris pada rumah sakit Tsukiji di Tokyo, Jepang, yang mengambil studi tentang " kerutan kulit- " setelah melihat tandatanda jari pada spesimen tembikar "prasejarah". Seorang pria terpelajar dan rajin, Dr Faulds tidak hanya mengakui pentingnya sidik jari sebagai alat identifikasi, namun menemukan metode klasifikasi juga. Pada tahun 1880, Faulds meneruskan penjelasan tentang sistem klasifikasi dan contoh bentuk-bentuk yang telah ia rancang untuk merekam teraan sidikjari bertinta, kepada Sir Charles Darwin. Darwin, di usia lanjut dan kesehatannya yang buruk, menginformasikan Dr Faulds bahwa ia tidak dapat membantunya, tapi berjanji untuk mengirimkan bahan-bahan tersebut pada sepupunya, Francis Galton. Juga pada tahun 1880, Dr Henry Faulds menerbitkan sebuah artikel di Journal Ilmiah, "Nature". Dia membahas sidik jari sebagai alat identifikasi pribadi, dan penggunaan tinta cetak sebagai metode untuk memperoleh teraan sidik jari tersebut. Dia juga yakin dengan identifikasi sidik jari pertama dari sidik jari berminyak yang tertinggal pada botol alkohol. Pada tahun 1882, Gilbert Thompson dari US Geological Survey di New Mexico, menggunakan teraan ibujarinya sendiri pada sebuah dokumen untuk mencegah pemalsuan. Ini adalah penggunaan sidik jari pertama yang diketahui di Amerika Serikat. Klik gambar di bawah ini untuk melihat gambar yang lebih besar dari tanda-terima tahun 1882 yang dikeluarkan oleh Gilbert Thompson untuk " Bob Berbohong " dalam jumlah 75 dolar. Pada tahun 1882, Alphonse Bertillon, seorang Clerk di Prefektur Kepolisian di Paris, Perancis, merancang sistem klasifikasi, yang dikenal sebagai Antropometri atau Sistem Bertillon, menggunakan pengukuran bagian-bagian tubuh. Sistem Bertillon sudah termasuk pengukuran seperti panjang kepala, lebar kepala, panjang jari tengah, panjang kaki kiri, dan panjang lengan dari siku ke ujung jari tengah. Pada 1888 Bertillon menjadi Kepala Departemen Identitas Yudisial yang baru dibuat di mana ia menggunakan antropometri sebagai sarana utama identifikasi. Dia kemudian memperkenalkan sidikjari tetapi menurunkan peran sidikjari menjadi peran sekunder dalam kategori tanda-tanda khusus. Pada tahun 1883, Dalam buku Mark Twain, "Hidup di Mississippi", seorang pembunuh diidentifikasi dengan menggunakan identifikasi sidik jari. Dalam buku berikutnya oleh Mark Twain, "Wilson si Kepala Puding", terdapat sidang pengadilan dramatis tentang identifikasi sidik jari. Sebuah film yang lebih baru dibuat dari buku ini.



Pada tahun 1888 Sir Francis Galton, seorang antropolog Inggris dan sepupu Charles Darwin, memulai pengamatannya terhadap sidik jari sebagai sarana identifikasi pada tahun 1880 itu. Pada tahun 1891 Juan Vucetich, Seorang Pejabat Kepolisian Argentina, memulai penyimpanan sidik jari pertama berdasarkan jenis-jenis teraan Galton. Pada awalnya, Vucetich memasukkan Sistem Bertillon untuk penyimpanan. Juan Vucetich membuat identifikasi sidik jari kriminal pertamanya di 1892. Ia mampu mengidentifikasi Francis Rojas, seorang wanita yang membunuh dua anaknya dan memotong tenggorokannya sendiri dalam upaya untuk menyalahkan yang lain. Sidikjarinya yang berlumuran darahnya tertinggal di tiang pintu, membuktikan identitasnya sebagai pembunuh. Sir Francis Galton menerbitkan bukunya, "Sidik jari", membangun kemandirian dan ketetapan sidik jari. Buku ini memuat sistem klasifikasi pertama untuk sidik jari. Minat utama Galton pada sidik jari adalah sebagai bantuan dalam menentukan keturunan dan latar belakang ras. Sementara ia segera menemukan bahwa sidik jari tidak memberikan petunjuk tegas untuk kecerdasan individu atau sejarah genetik, ia mampu membuktikan secara ilmiah apa yang sudah diduga Herschel dan Faulds: bahwa sidik jari tidak berubah selama seumur hidup seseorang, dan bahwa tidak ada dua sidik jari yang persis sama. Menurut perhitungannya, kemungkinan dari dua sidik jari individu yang sama adalah 1 dalam 64 miliar. Galton mengidentifikasi karakteristik dimana sidik jari dapat diidentifikasi. Beberapa karakteristik yang sama (minutia) pada dasarnya masih digunakan hari ini, dan terkadang mengacu pada rincian Galton.



Pada tanggal 12 Juni 1897, Dewan Gubernur Jenderal India menyetujui laporan komite bahwa sidik jari harus digunakan untuk klasifikasi catatan kriminal. Kemudian tahun itu, di Calcutta (sekarang Kolkata), Kantor-kantor Antropometrik menjadi Kantor Sidikjari pertama di dunia. Bekerja di Kantor Antropometrik Kalkuta (sebelum menjadi Kantor Sidik Jari) adalah Azizul Haque dan Hem Chandra Bose. Haque dan Bose adalah dua ahli sidik jari India terpercaya dengan pengembangan utama Sistem klasifikasi sidik jari Henry (dinamai dengan nama atasan mereka, Sir Edward Richard Henry). Sistem klasifikasi Henry masih digunakan di negara berbahasa Inggris (terutama seperti sistem pengarsipan manual untuk mengakses file arsip kertas yang belum terpindai dan terkomputerisasi).



Penerapan Mendunia Sistem Klasifikasi Henry Pada tahun 1900, Kantor Sekretariat Kerajaan Inggris melakukan penyelidikan pada "Identifikasi Penjahat berdasarkan Pengukuran dan Sidik jari." Edward Richard Henry (kemudian Sir Henry ER) muncul di hadapan komite penyelidikan untuk menjelaskan sistem yang diterbitkan dalam buku terbarunya "Klasifikasi dan Penggunaan Sidik jari." Komite merekomendasikan penerapan sidik jari sebagai pengganti untuk sistem pengukuran antropometrik Bertillon yang relatif tidak akurat, yang hanya sebagian mengandalkan sidik jari untuk identifikasi. Cabang Kantor Sidik Jari di New Scotland Yard (Kepolisian Metropolitan London) diciptakan pada Juli 1901 dengan menggunakan Sistem Klasifikasi Sidik Jari Henry. Pada tahun 1902 Penggunaan sidik jari sistematis pertama di Amerika Serikat oleh Komisi Pelayanan Sipil New York untuk pengujian. Dr Henry P. DeForrest adalah perintis sidik jari di AS. Pada tahun 1903 Sistem Penjara New York State memulai penggunaan sidik jari sistematis pertama di AS untuk penjahat. Pada tahun 1904 Penggunaan sidik jari dimulai pada Lembaga Pemasyarakatan federal Leavenworth di Kansas, dan St Louis Police Department. Mereka dibantu oleh seorang Sersan dari Scotland Yard yang telah bertugas di Pameran St Louis World’s Fair menjaga Tampilan Inggris. Beberapa waktu setelah Pameran St Louis World’s Fair, Asosiasi Kepala Polisi Internasional (IACP) menciptakan penyimpanan sidik jari nasional pertama Amerika, yang disebut Biro Nasional Identifikasi Kriminal. Pada tahun 1905 Angkatan Bersenjata AS mulai menggunakan sidik jari. Departemen Kehakiman AS membentuk Biro Identifikasi Kriminal di Washington, DC untuk menyediakan pusat acuan koleksi kartu-kartu sidikjari. Dua tahun kemudian Angkatan Laut AS memulai dan bergabung tahun berikutnya dengan Korps Marinir. Selama 25 tahun berikutnya semakin banyak kantor-kantor penegak hukum bergabung dalam penggunaan sidik jari sebagai alat identifikasi seseorang. Banyak dari lembaga ini mulai mengirimkan salinan kartu sidik jari mereka ke Biro Nasional Identifikasi Kriminal, yang didirikan oleh Asosiasi Kepala Polisi Internasional. Pada tahun 1907 Angkatan Laut AS mulai menggunakan sidik jari. Tahun yang sama Departemen Kehakiman AS Biro Identifikasi Kriminal bergerak ke Lembaga Pemasyarakatan Federal Leavenworth dimana setidaknya sebagian dikelola oleh narapidana. Pada tahun 1908 Korps Marinir AS mulai menggunakan sidik jari. Pada tahun 1911, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang menjajah Indonesia mulai menerapkan Sistem Klasifikasi Henry untuk identifikasi baik kriminal maupun non kriminal melalui Koninklijk Besluit tanggal 16 Januari 1911 (I.S. 1911 Nomor 234) tentang Penugasan



Kepada Departemen Kehakiman Untuk Menerapkan Sistem Identifikasi Sidik Jari (Daktiloskopi). Sebelumnya pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem Bertillon untuk identifikasi pelaku kejahatan. Pada tahun 1914, Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 28 Maret 1914 (I.S. 1914 Nomor 322) tentang Reorganisasi Kepolisian di Batavia, Semarang, Surabaya termasuk Meester Cornelis (Binnenlandsch Bestuur, Politie, Bezoldigingen, Batavia, Semarang, Soerabaja.Reorganisatie van de algemeene politie op de hoofdplaatsen van genoemde met inbegrip van Meester-Cornelis). Dengan reorganisasi ini maka ketiga kantor kepolisian tersebut diadakan fotografi dan daktiloskopi di bagian reserse. Kemudian masalah pembiayaannya diatur dalam Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda (I.S. 1917 Nomor 110) tentang Pembiayaan, pemeliharaan, dan pengadaan keperluan Kantor Pusat Daktiloskopi Kepolisian di Batavia, Semarang, Surabaya dengan pengurangan dari kebutuhan tempat kerja fotografi dan daktiloskopi. Demikian penting peran daktiloskopi dalam berbagai bidang kehidupan, namun penyelenggaraannya masih belum dilakukan secara baik, sistematis dan terpadu. Dari sisi pengaturan, penyelenggaraan daktiloskopi di Indonesia masih didasarkan pada produk hukum peninggalan kolonial Belanda yaitu Koninklijk Besluit tanggal 16 Januari 1911 nomor 27 (IS.1911 Nomor 234) tentang Penugasan kepada Departemen Kehakiman untuk menerapkan Sistem Identifikasi Sidikjari atau Daktiloskopi, Selanjutnya, kantor Daktiloskopi Departemen Kehakiman (Central Kantoor vor Dactyloscopie van de Department van Justitie) dibuka resmi berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Besluit van den Gouvernour General Nederlandsch – Indie) tanggal 30 Maret 1920 No. 21 (IS: 1920 Nomor 259) tentang Pembentukan Kantor Pusat Daktiloskopi Departemen Kehakiman. Begitu pula peraturan pelaksanaannya dan Keputusan Gubernur



Jenderal Hindia Belanda tanggal 28 Maret 1914 yang dimuat dalam



Staatblad Nomor 322 Tahun 1914, yang isinya memuat mengenai reorganisasi kepolisian di Batavia, Semarang, Surabaya, termasuk Meester Cornelis. Seiring berjalannya waktu, perkembangan pelaksanaan tugas daktiloskopi, baik pada Departemen Kehakiman maupun Kepolisian Republik Indonesia mengalami perkembangan yang berbeda. Pada Departemen Kehakiman, pelaksanaan tugas. Daktiloskopi masih berlandaskan payung hukum yang sama dan tidak kunjung mendapatkan dasar hukum yang lebih kuat daripada peraturan teknis seperti keputusan menteri atau surat edaran dengan obyek identifikasi yang masih



bersumber dari para pelintas batas pemohon paspor, pegawai kementerian, ataupun warga binaan pemasyarakatan. Pengembangan yang terakhir dilakukan Kementerian terkait sidikjari adalah upaya merealisasikan Rancangan Undang-Undang Daktiloskopi menjadi undang-undang yang sampai sekarang upayanya masih berjalan. Salah satu kebutuhan pembangunan nasional adalah adanya data dan informasi berkaitan dengan kependudukan yang mampu mengidentifikasi warganegaranya secara komprehensif, pengawasan pelintasbatas antarnegara, serta data dan informasi yang dapat dipergunakan untuk berbagai kepentingan. Identifikasi yang akurat sebagai bukti diri warganegara sangat dibutuhkan untuk berbagai keperluan, baik untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional maupun penegakan dan pelayanan hukum yang lebih baik, efektif dan efisien. Karena akurasinya, identifikasi sidikjari pada gilirannya menjadi alat verifikasi, autentikasi dan otorisasi yang oleh karenanya dapat dimanfaatkan di berbagai bidang kehidupan sipil baik sektor publik maupun privat. Sampai saat ini pengambilan sidik jari dilakukan dengan cara manual dan elektronik. Kecenderungannya kedepan akan digunakan pengambilan dan pengelolaan sidik jari secara elektronik sehingga lebih cepat, tepat dan akurat dalam melakukan verifikasi dan penemuan kembali. Pada Kepolisian Republik Indonesia, upaya pengembangan tugas daktiloskopi lebih dinamis dan fleksibel dalam arti pelaksanaan tugas yang semula hanya pada koridor pelaku kejahatan ataupun korban tindak kejahatan menjadi pada masyarakat sipil, seperti pembuatan SIM atau Surat Ijin Mengemudi. Demikian pula pemanfaatan sumber daya dalam tugas ini sudah memanfaatkan kemajuan teknologi seperti pembuatan Kartu Inafis. Secara implementatif selama ini Polri telah melaksanakan Daktiloskopi dan telah didukung oleh sumber daya serta sarana prasarana yang memadai. dalam pelaksanaan Daktiloskopi, Polri telah dilengkapi dengan teknologi yang digunakan untuk pengambilan dan identifikasi sidik jari yang lebih dikenal dengan Computer Aided Automated Fingerprint Information System (CAAFIS), yang telah tergelar di seluruh Polda, dan saat ini akan dikembangkan sampai tingkat Polres. Hanya saja peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masih senada dengan apa yang dimiliki Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dimana payung hukum pelaksanaan tugas daktiloskopi peninggalan Belanda.



Selain itu dengan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tanggal 28 Maret 1914 Nomor IT (IS 1914 Nomor 322) tentang Reorganisasi Kepolisian di Batavia, Semarang, Surabaya termasuk Meester Cornelis, Kepolisian ditugasi untuk mengambil fotografi dan daktiloskopi di bagian reserse. Berikut ini Gambaran sejarah pelaksanaan daktiloskopi yang dimulai sejak zaman penjajahan Hindia Belanda di Indonesia,1 Bagan I.1. Sejarah Pelaksanaan Daktiloskopi SEJARAH PELAKSANAAN DAKTILOSKOPI



SUDAH DITERAPKAN SEJAK ZAMAN PENJAJAHAN HINDIABELANDA



Koninklijk Besluit tanggal 16 Januari 1911 Nomor 27 (IS 1911 Nomor 243) tentang penegasan kepada Departemen Kehakiman untuk menerapkan Sistem Identifikasi sidikjari atau daktiloskopi.



Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tanggal 28 Maret 1914 Nomor IT (IS 1914 Nomor 322) tentang Reorganisasi Kepolisian di Batavia, Semarang, Surabaya termasuk Meester Cornelis, Kepolisian ditugasi untuk mengambil fotografi dan daktiloskopi di bagian reserse



Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Belanda (Besluit van den Gouverneur General Nederland Indie) tanggal 30 Maret 1920 Nomor 21 (IS 1920 Nomor 259) tentang Pembentukan Kantor Pusat Daktiloskopi Departemen Kehakiman



sumber: Naskah Akademis RUU Daktiloskopi, 2012



1.1.1. Instansi penyelenggara daktiloskopi Pada masa sekarang penyelenggaraan daktiloskopi (mulai dari pengambilan sidikjari sampai dengan penyimpanan dokuman sidikjari) dilakukan oleh berbagai instansi sesuai dengan kewenangan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Beberapa instansi penyelenggara daktiloskopi itu adalah: 1) Kementerian Dalam Negeri untuk keperluan e-KTP; 2) TNI untuk kepentingan identifikasi prajurit; 3) Kepolisian Negara RI untuk penegakan hukum dan administrasi lainnya;



1



Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang tentang Daktiloskopi, Desember 2012



4) Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI untuk kepentingan keimigrasian; 5) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI untuk identifikasi dan verifikasi warga binaan dan tahanan; 6) Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum untuk keperluan data kepegawaian dan menghimpun data sidikjari yang diambil oleh instansi lain serta melayani permintaan perumusan dan keterangan sidikjari; 7) Badan Kepegawaian Nasional untuk identifikasi Pegawai Negeri Sipil; 8) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pelengkap dan penguat tanda tangan di sertifikat tanda kelulusan; 9) Perbankan untuk keamanan transaksi perbankan. 10) Asuransi untuk kepentingan klaim asuransi; 11) Beberapa Pemerintah Daerah untuk kepentingan identifikasi dan verifikasi pegawai daerah masing-masing. 12) Rumah Sakit Bersalin untuk kepentingan identifikasi bayi untuk mencegah tertukarnya bayi. Sampai saat ini dapat dikemukakan data sidik jari yang telah diambil oleh beberapa instansi tergambar dalam Tabel I.1.1 berikut: Tabel I.1.1 Data Pengambilan Sidikjari oleh Instansi-instansi No



1.



Instansi



4. 5. 6.



170.000.000 penerapan



Dalam Negeri



e-KTP.



Ditjen AHU



9.478.000



Ditjen Imigrasi



20.000.000 Ditjen



Pemasyarakatan



500.000



Kepolisian



-



TNI Angkatan Darat



Keterangan Setelah



Kementerian



2. 3.



Jumlah



476.000



Sumber: Naskah Akademis RUU Daktiloskopi, 2012



1.1.2. Perkembangan Daktiloskopi Identifikasi saat ini telah diakui peran dan keberadaannya serta membawa dampak yang lebih luas dalam kehidupan. Dalam masyarakat modern peranan identifikasi diri digunakan, baik untuk kepentingan pengungkapan kasus kriminal maupun kepentingan non kriminal. Untuk itu pengelolaan identifikasi harus dilakukan secara benar, sistimatis dan terpadu. Banyak cara atau metode untuk mengidentifikasi seseorang seperti metode sidikjari, iris mata, retina, DNA, sidik suara, foto wajah, tanda tangan, telinga, thermograf wajah, gaya berjalan, geometri tangan, pembuluh tangan, hentakan tombol ketik. telapak tangan, bau badan, dan gigi yang semua itu masuk dalam identifikasi biometrik. Dari berbagai cara tersebut, daktiloskopi (sidikjari) merupakan salah satu cara yang dianggap akurat dan mudah untuk mengidentifikasi seseorang karena didasarkan pada prinsip bahwa sidikjari pada setiap orang tidak sama meskipun pada orang yang lahir kembar dan sidik jari tidak berubah selama hidup serta sangat cocok untuk identifikasi dengan populasi banyak, dapat diklasifikasi dan dirumuskan. Metode identifikasi melalui sidikjari juga terus berkembang, sehingga semakin mudah dalam pelaksanaannya. Perkembangan yang pesat terkait dengan pemanfaatan identifikasi sidikjari justru datang dari Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil dengan penerapan E-KTP (Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronis), di mana dalam pelaksanaannya saat ini sudah memiliki database sidikjari sebanyak 7 (tujuh) juta data dan jumlah ini masih akan terus berkembang seiring pelaksanaan penerapan E-KTP di seluruh Indonesia. Kementerian Dalam Negeri juga menerapkan manfaat biodata penduduk per-keluarga berikut sidik jari (biometrik) dalam Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) yaitu sebagai identifikasi jati diri yang termuat dalam dokumen penunjukan identitas diri penduduk bersangkutan secara cepat dan akurat serta mencegah pemalsuan dokumen dan kepemilikan dokumen ganda. Manfaat penggunaan chip dalam pembuatan e-KTP yaitu sebagai alat penyimpan data elektronik penduduk yang di dalamnya terdapat data biometrik. SIAK sampai saat ini sudah dimanfaatkan sebagai data awal Pilkada, Pemilu Legislatif dan Presiden, verifikasi layanan dokumen penduduk, dan indikator kependudukan, Selain itu program penerbitan dokumen e-KTP



didukung dengan berbagai aspek terutama dari segi kualitas fisik, keamanan, fleksibilitas, kehandalan, skalabilitas, dan konformasi standar biometrik.2 Salah satu perkembangan kebutuhan identifikasi dengan sidik jari saat ini adalah dengan penggunaan dari sistem manual ke sistem elektronik. Seperti identifikasi sidik jari dengan menggunakan biometric fingerprint, yang hanya menambahkan satu perangkat berupa live fingerprint scanner, maka identifikasi seseorang dapat lebih cepat dan mudah diketahui. Tidak berhenti sampai identifikasi, sidikjari menjadi objek pokok perangkat teknologi dengan fungsi yang lebih jauh seperti verifikasi, otentikasi, sampai otorisasi. Fungsi verifikasi sidikjari banyak digunakan di kantor-kantor baik pemerintah maupun swasta bagi kehadiran pegawai. Sedangkan fungsi otentikasi (bahwa orang yang mengakses atau memberikan informasi adalah betul-betul orang yang berwenang) sampai otorisasi (pemberian hak atau wewenang, yang menyebabkan subjek memiliki legitimasi untuk mengakses sistem atau objek-objek dalam sistem) dimanfaatkan oleh kalangan perbankan. Dengan demikian, keberadaan sidikjari sebagai data identifikasi orang menjadi semakin penting seiring perkembangan teknologi. Data sidik jari menjadi informasi yang penting dan digunakan tidak hanya pada dua koridor semata seperti kriminal dan non kriminal, tetapi secara kualitatif fungsi dan perannya meningkat karena tidak hanya sebatas identifikasi melainkan juga data tersebut menjadi pendukung verifikasi, otentikasi bahkan sampai otorisasi jatidiri seseorang dan memiliki kepastian hukum. Data ataupun informasi (sidikjari) tersebut kemudian menjadi informasi yang menjadi basis data bagi kepentingan kependudukan, perbankan dan administrasi birokrasi. Mengingat perkembangan pesat tersebut, sudah saatnya Indonesia memiliki pengaturan mengenai identifikasi warga negara secara terpadu untuk mengganti peraturan perundangundangan kolonial dalam identifikasi warga negara, khususnya melalui penggunaan daktiloskopi. Hal itu disebabkan secara filosofis tujuan pengaturan peninggalan kolonial tidak sesuai lagi dengan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disamping itu perkembangan kebutuhan negara dan masyarakat dalam melakukan identifikasi, yang semakin luas penggunaannya, memerlukan upaya



2



FGD (Focus Group Discussion) Pembahasan RUU Tentang Daktiloskopi, diselenggarakan oleh Kepolisian RI tanggal 03-04 November 2010, Jakarta dan dihadiri perwakilan dari Kemenkumham RI dan Kementerian Dalam Negeri.



penyusunan kembali atau untuk mengganti pengaturan mengenai daktiloskopi harus memperhatikan pula penyelenggaraan identifikasi melalui sidikjari yang berlangsung saat ini. Pelaksanaan identifikasi sidikjari atau daktiloskopi saat ini telah dilakukan oleh berbagai instansi dan tidak terkoordinasi. Untuk kepentingan identifikasi sidikjari secara lebih efektif dan efisien diperlukan adanya legalitas kewenangan bagi institusi penyelenggara daktiloskopi yang jelas, sehingga penyelenggaraan daktiloskopi dapat dilakukan secara terpadu dan sinergis.