Rumah Atmaja by Bai - Nara [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Rumah Atmaja Bai_Nara



Rumah Atmaja Bai_Nara Editor: Bai_Nara Penata Letak: Suzanna Dewi Desain Sampul: Aimee Alvaro 14x20 cm, v+399 halaman ISBN: Diterbitkan oleh: CV. CREEPYPISAN Jln. Bojong Kavling RT 016 RW 004 Kel. Rawa Buaya Kec. Cengkareng, Jakarta Barat, DKI Jakarta 11740. Email : [email protected] Facebook: Creepypisan Publisher Instagram: creepypisan.publisher WhatsApp: 089683630586 Copyright © creepypisan, 2022 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian maupun seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun tanpa persetujuan tertulis dari penerbit.



Kata Pengantar Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan sehat dan karunia-Nya sehingga saya bisa merampungkan cerbung ‘Rumah Atmaja’ ini. Cerbung ini adalah cerbung kedua saya setelah menyelesaikan kisah Ricky-Lily. Sayangnya, saya membutuhkan waktu setahun lebih untuk menyelesaikannya. Luar biasa. Karena genre yang saya ambil memang beda, tidak seperti cerita-cerita saya yang lain. Tapi puas rasanya. Ketika saya mampu mengakhiri apa yang sudah saya mulai. Ada suatu kebanggaan pada diri karena saya mampu untuk menyelesaikan tantangan. Meski saya sadar, karya ini masih banyak kekurangan, tetapi saya berharap karya ini dapat diterima oleh para pembaca. Salam sayang dari Mamak Bai_Nara untuk semua orang yang mamak sayangi dan para pembaca semua. Love you all.



Bai_Nara



iii



Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi 1. Lari 2. Mawar Borneo 3. Bertemu Lagi 4. Jebakan 5. Terjebak 6. Sebuah Kisah 7. Melarikan Diri 8. Nikah Dadakan 9. Suami Istri 10. Haruskah Pulang 11. Pulang 12. Kisah Masa Lalu 13. Di Bawah Guyuran Hujan 14. Surat Kaleng 15. Anjing Gila 16. Serangan Pertama 17. Riak-Riak 18. Menanam Benih 19. Cucu Menantu 20. Kecemburuan Seruni 21. Konfrontasi Dua Cucu Menantu 22. Ngidam Cantik Ala Nawang 23. Kemarahan 24. Curhatan Budi 25. Rahasia Seruni 26. Ibu VS Anak 27. Dalang Kematian Bagus 28. Vonis iv



iii iv 1 7 13 19 26 33 39 45 51 57 63 67 73 79 86 90 97 102 108 117 124 129 140 149 155 165 175 183



29. Pembagian Warisan 30. Tingkah Aneh Budi 31. Ujian Cinta 32. Darah Lebih Kental 33. Rindu 34. Sang Mantan 35. Bekerja sama 36. Mencari Bukti 37. Tidak Terduga 38. Duel Langsung 39. Sedikit Terurai 40. Permintaan Maaf Budi 41. Bestari Bercerita 42. Medroxyprogesteron Acetat 43. Penyusup Itu? 44. Sosok Sebenarnya 45. Rumah Sakit 46. Amarah Bisma 47. Rencana 48. Diluar Dugaan 49. Sadar 50. Akhir yang Bahagia Ektra Part Tentang Penulis



v



192 199 207 217 226 235 247 255 266 275 285 294 303 311 319 328 338 346 355 362 372 380 389 398



1.



Lari S



eorang pemuda berusia 27 tahun tengah berjalan menelusuri perkebunan sawit milik PT. Nusa Bahtera yang berada di wilayah Kalimantan Selatan. Pemuda itu berperawakan tinggi tegap berkulit putih dan rambut cepak rapi. Sepintas mirip aktor korea Lee Min Ho. Bagas Surya Atmaja namanya, aslinya orang Jawa dan lulusan S1 Biologi. Dalam perusahaan, ia menjabat sebagai tenaga ahli dalam urusan riset dan pengembangan teknologi. Tugasnya adalah memastikan kualitas sawit yang digunakan untuk produksi serta produk hasil pengolahan sawit memiliki mutu bagus. “Bagas.” Seorang wanita cantik memanggilanya. “Kenapa, Na? Ada masalah sama hasil lab minyak sawit kita?” tanyanya dingin. “Oh enggak. Aku cuma mau ngajak kamu jalan-jalan. Mau ya?”



1



“Oh sorry, aku udah ada janji sama Ricky nanti malem. Kita ada urusan penting.” “Kamu tuh ya. Apa sih yang kurang dari aku?” Gadis bernama Nana mulai tersulut emosi karena setiap dia mengajak Bagas, respon lelaki itu selalu dingin. “Aku ini cantik, langsing, putih dan anak orang kaya juga. Jangan lupa papahku salah satu dewan direksi di perusahaan. Bisa pecat kamu kalau kamu menolak aku.” “Terserah. Coba saja kalau berani. Akan aku pastikan nama baik perusahaan ini hancur. Jangan lupa aku punya kartu AS papah kamu,” sinis Bagas. “Dasar cowok guy. Sana pergi saja sama pacar cowokmu itu.” Ungkap Nana benar-benar emosi. “Kalau kamu gak tahu apa-apa, diem! Dan jangan bikin gosip ngaco. Atau aku laporin tingkah kamu di club sama papah kamu. Biar papah kamu tahu seberapa liar putrinya di luaran sana.” Bagas kemudian pergi meninggalkan Nana. “Brengsek kamu Bagas, lihat aja, aku bakalan dapetin kamu!” Teriak Nana frustasi.



Di sebuah rumah kontrakan yang berisi lima anggota laki-laki dimana dua orang tampan nan rupawan, dua orang biasa saja dan satu orang sangat-sangat biasa. Kelimanya adalah perantauan dari luar Kalimantan. Ada Ricky dan Bagas yang berasal dari Jawa. Zidan dari Palembang, Hasan dari Padang dan Mateo dari Papua. Saat ini mereka sedang makan bersama sambil lesehan. Sesekali mereka mengobrol dan tertawa jika ada hal yang lucu. Rumah Atmaja - 2



“Kenapa kau Ky, muka kau pucat sekali?” tanya Mateo yang paling tua disini. Mereka kompak memanggilnya abang padahal Mateo orang Papua. “Aku lagi dilema Bang, mau ngajuin mutasi ke Jawa atau enggak,” jawab pemuda bertubuh tinggi atletis berkulit eksotik khas lelaki Jawa. “Kenapa galau? Kalau betah di sini ya di sini aja kalau mau balik Jawa ya balik Jawa aja. Repot sekali kau ini,” ucap Mateo. “Makanya aku bilang juga apa Ky, udah kamu nyari istri orang sini aja. Toh perawan Kalimantan cantikcantik. Gak bakalan galau kamunya,” sambung Zidan. “Macam kalian semua tak tahu saja kalau Ricky ini gak mungkin nikah sama perempuan. Orang pacarnya Bagas. Ya, kan Gas?” Serempak semua orang tertawa. Iya karena Ricky dan Bagas sahabat karib yang sering bersama. Samasama tampan, mapan dan rupawan sekaligus samasama suka nolak perempuan. Jadilah ada gosip kalau mereka pasangan sejenis. “Astaga, Dan! Aku sama Ricky masih normal kali. Ampun deh, siapa sih yang nyebarin gosip enggak bener tentang kami? Udahlah Ky, kamu nikah dulu sana! Biar aku gak dicap homo lagi gara-gara kamu gak kawin-kawin.” Bagas menyahut dengan santai. “Enak aja, kenapa harus aku? Kamu aja yang nikah sana sama si Nana. Bukannya dia yang ngejar-ngejar kamu ya.” Ricky tak mau kalah. “Halah gak usah pada rebutan sapa yang mau kawin duluan. Aku yang bakalan kawin duluan. Soalnya lamaranku untuk Syarifah sudah diterima.” Hasan yang awalnya diam akhirnya bersuara. “Serius?” tanya keempatnya kompak. 3 - Bai_Nara



“Seriburius. Bulan depan kita kawin,” sambung Hasan. “Alhamdulillah.”



Bagas beberapa kali menyulut rokok. Namun baru menghisap sebentar langsung dimatikan. Terus berulang-ulang sampai habis setengah bungkus rokok. Seseorang menepuk bahunya. Ia menoleh dan melihat Ricky sudah duduk di sampingnya. Mereka menatap malam di bawah langit Borneo. “Kasihan rokoknya. Kalau gak mau dihisap kasihkan ke yang lain aja. Kamu kan bukan perokok.” Ricky memulai percakapan. “Kamu mau?” Bagas menyerahkan bungkus rokoknya. “Ckckck. Aku, kan bukan perokok. Amnesia ya kamu,” ucap Ricky sarkas. Bagas hanya terkekeh mendengarnya. “Ada masalah?” Ricky memasang muka serius. “Seminggu ini aku mimpi ayah dan ibuku terus. Ayah melambaikan tanganku terus. Beliau berdiri di gerbang masuk rumah Eyang. Sedang Ibu selalu terlihat menangis. Ada apa ya?” Bagas mulai bercerita. “Aku bukan penafsir mimpi. Jadi aku gak tahu artinya,” jawab Ricky. “Kamu masih belum move on dari Lily?” tanya Bagas mengalihkan pembicaraan. “Gak akan pernah bisa, Gas. Kadung bucin aku sama dia.” Ricky tersenyum. “Ckckck. Kayak gak ada cewek lain aja.” Bagas menyeringai. Rumah Atmaja - 4



“Gak usah sok ngomongin move on sama aku kalau kamu sendiri malah lebih parah dari aku. Mending aku kangen sama mantan pacar tapi masih single. Lah kamu? Kangen sama istri orang. Lebih baik yang mana hayo?” Ricky tak mau kalah. “Sial!” umpat Bagas sambil memukul lengan sahabatnya itu. “Padahal udah lima tahun Ky, aku masih gak bisa ngilangin rasa cintaku sama dia,” ungkap Bagas. “Apa yang kamu suka dari Seruni?” “Entahlah. Hanya saja tingkah lakunya yang lemah lembut bikin aku teringat sama ibuku.” “Hem ... kamu melihat sosok ibumu dalam dirinya. Bukankah ibumu meninggal saat usiamu 10 tahun?” “Iya. Aku mengenalnya saat aku mulai tinggal sama Eyangku. Pembawaannya yang anggun, tutur katanya yang halus dan hanya dia yang mau berteman denganku. Disaat semua keluarga menolakku.” “Hati sangat rumit. Sebuah organ yang isinya tak bisa dihitung pakai ilmu apapun.” Pikiran Ricky mulai menerawang jauh kepada seorang gadis cantik, mantan pacarnya. “Mending kamu urus mutasimu, Ky.” Ricky menatap sahabat baiknya. Keningnya mengerut. “Paling gak, di Jawa ada kedua orangtua yang menyayangimu. Walau mungkin kamu gak bisa balik sama Lily masih ada orangtua yang bisa kamu perjuangkan kebahagiaannya. Jangan sampai kamu nyesel kalau mereka udah gak ada. Aku bahkan gak tahu wajah ayahku karena beliau meninggal sebelum aku lahir. Ibu pun menyusulnya saat usiaku baru 10 tahun. Aku bahkan belum bisa membuatnya bangga.” 5 - Bai_Nara



Bagas mengembuskan napas pelan setelah mengucapkannya. “Lari untuk menjauh ternyata belum pasti berhasil. Lihat saja kita berdua, mau lari sejauh apapun ternyata ujung-ujungnya mentok sama mantan,” lanjut Bagas. “Gagal move on.” Kompak keduanya. Keduanya tertawa miris mengingat kisah percintaan masing-masing. Lalu mereka beralih topik pembicaraan. Berusaha menghilangkan kesedihan masingmasing karena gagal move on dari pujaan hati. Memang benar, ternyata melarikan diri dari masalah belum tentu adalah jalan terbaik. Mungkin dengan menghadapinya justru cara yang lebih jitu untuk move on.



Rumah Atmaja - 6



2.



Mawar Borneo E



ntakan suara musik mengalun memekakkan gendang telinga. Hampir semua orang baik lelaki dan perempuan berbaur tanpa etika. Belum lagi bau minuman beralkohol yang mengganggu indera penciuman. Seorang pemuda terlihat muak karena harus berada di tempat ini. Kalau bukan karena urusan pekerjaan malas sekali rasanya, dia menginjakkan kaki di tempat maksiat seperti sekarang. “Oke Pak Toro, kita sepakat dengan kerjasama kita, ‘kan?” ucap seorang pria berusia tiga puluh lima tahunan. Feri namanya.



7



“Saya sepakat. Pokoknya masalah pembukaan perkebunan baru, beres. Anda tinggal tunggu kabar baik dari saya,” ucap Pak Toro. Keduanya bersalaman. Setelah itu, Pak Toro menghampiri beberapa wanita penghibur dan asik bermain dengan mereka. Huh, dasar bos-bos perut gendut doyan perempuan! umpat Bagas dalam hati. Feri heran dengan raut muka Bagas. “Kamu kenapa Gas? Kecut amat mukanya?” Feri memecah kebisuan diantara mereka. “Kenapa sih Bang, harus ketemuan di tempat kayak gini? Kenapa gak di cafe atau restoran aja?” “Hahaha. Kamu ini ya, udah lima tahun kerja di sini, gak tahu aja kelakuan bos-bos besar. Ya kayak gitu. Pak Toro contohnya.” “Besok-besok Bang Feri jangan ajak aku. Ajak aja orang lain. Pokoknya aku gak mau ikut lagi.” “Ah, sok suci kau Gas. Kelamaan gaul sama para ASN sok suci jadi kamu ikut-ikutan sok suci.” “Aku gak sok suci, Bang. Gak suka aja, aku ke tempat kayak gini. Dan jangan bawa temen-temen kontrakanku, Bang. Aku malah senang gaul sama mereka. Mereka itu gak banyak ulah.” Memang semua teman kontrakan Bagas adalah ASN. Ricky guru SMA, Hasan di departemen pertanian, Zidan perawat di sebuah puskesmas sedangkan Mateo di dinas ketenagakerjaan. “Hahaha. Terserah kamu lah, Gas. Pokoknya kita di sini dulu sampai Pak Toro pergi.” “Astaga Bang, Pak Toro aja udah sibuk sendiri noh di sana, ngapain ditungguin? Kayak kita kurang kerjaan aja,” sewot Bagas. “Pokoknya kita tunggu sampai beliau keluar!” tegas Feri. Rumah Atmaja - 8



Bagas hanya bisa menekuk wajahnya. Tak berselang lama, tampaklah seorang wanita cantik dengan rambut sebahu bergelombang, menggunakan gaun panjang sexy yang menampakkan bahu mulusnya. Bahkan terdapat salah satu belahan gaun sampai ke paha kanan wanita tersebut. Jangan lupakan bibir tipis namun menggoda yang terpoles lipstik warna merah. Wanita itu berjalan dengan anggun. Sang biduan naik ke atas panggung, dia menarik napas kemudian mulai memperdengarkan suara emasnya. Suaranya begitu indah dan mempesona. Hampir semua lelaki yang memandangnya akan berkata kalau dia sangat cantik pun demikian dengan Bagas. Bagas sering berjumpa dengan wanita cantik tapi entah kenapa wanita ini sangat cantik. Bahkan Seruni saja yang menurut Bagas cantik, kalah cantik dengan sang biduan. Mau tak mau Bagas terhanyut oleh suara merdunya sedang matanya tertawan akan paras cantiknya. Hingga tak mampu berkedip sekalipun. “Primadona sini itu.” Seorang pria yang duduk tak jauh dari Bagas berbicara. “Mawar namanya. Cantik ya,” sahut temannya. “Wah. Aku mau kenalan ah.” “Jangan mimpi kamu, dia itu kelasnya bos-bos besar bukan kacung macam kita.” “Ah. Sialan!” makinya. Bagas hanya mendengarkan saja tanpa berniat ingin tahu lebih lanjut. Tapi tatapannya masih tertuju pada sang Mawar yang menjadi primadona di club bernama ‘Borneo Rasta’. “Ternyata pria sok alim ada di sini juga,” sinis suara perempuan. Nana begitu cemburu karena melihat Bagas tengah menatap sang biduan dengan tatapan 9 - Bai_Nara



terpesona. Sedang pada dirinya Bagas selalu menatapnya dingin. Bagas tak mau menggubris wanita yang malam ini berbaju kurang bahan yang bahkan mengekspos dada dan pahanya. Matanya justru terus memandang ke arah panggung dan tak pernah lepas dari sang biduan. “Ckckck. Munafik kamu, Gas.” “Lalu kamu apa, hem? Kalau aku munafik kamu sendiri apa?” “Kamu ...!” Nana mulai tersulut emosi. “Beb. Kamu disini rupanya.” Seorang laki-laki menghampiri Nana. Bahkan tanpa malu mencium pipinya. “Halo Beb. Aku udah nunggu kamu,” ucap seorang lelaki berperawakan tinggi besar. “Hai Beb, iya aku nunggu kamu. Yuk ah kita ke sana aja.” Ajak Nana sambil memeluk mesra pinggang teman lelakinya. Tak lupa memandang sinis ke arah Bagas. “Dasar cewek gak bener!” umpat Bagas begitu Nana sudah tak terlihat.



“Ayolah Sayang, pergi sama saya ya? Kamu mau apa pun, aku kasih.” Nampak seorang bos besar tengah mencoba merayu sang biduan. Dan kegiatan mereka terekam oleh Bagas yang tengah berjalan menuju mobilnya. “Maaf Pak Sanjaya tapi hari ini saya sibuk. Bapak tenang saja hubungi saya lagi kapan-kapan. Oke,” ucap sang biduan dengan genit. “Baiklah demi kamu Sayang,” ucap Pak Sanjaya sambil mengecup tangan sang biduan. Kemudian Pak Sanjaya berlalu menuju ke dalam club. Sedang raut Rumah Atmaja - 10



muka sang biduan yang awalnya tersenyum manis langsung berubah sinis. “Dasar tua bangka gila!” umpatnya pelan. Sang biduan langsung bergegas ke mobilnya. Bahkan dengan sedikit berlari tanpa melihat dari arah samping kanannya Bagas sedang berjalan dengan menunduk. Mereka akhirnya bertabrakan. “Aw ... punya mata gak sih?!” umpat sang wanita, kasar. “Situ yang gak punya mata.” Bagas menjawab dengan tak kalah kasar. Kedua manusia berlainan jenis itu saling menatap, tetapi keduanya terdiam karena saling terpesona satu sama lain. Tampan. Mirip Lee Min Ho. Batin sang wanita merasakan kekaguman pada sang pria. Sang pria pun tak kalah terpesona pada wanita di depannya, cantik mirip Song Hye Kyoo, sexy lagi. Cukup lama mereka terdiam saling mengagumi dalam hati. “Minggir!” Akhirnya sang wanita tersadar, dia mencoba menutupi kekagumannya dengan berkata kasar. “Jalanan lebar. Kamu cukup geser bisa, ‘kan?” Bagas tak kalah bersikap kasar. “Kenapa gak kamu aja yang geser?” “Kenapa bukan kamu saja.” “Shit. Minggir, aku sibuk! Cepat geser biar kita gak tubrukan lagi.” “Dasar gak punya etika. Sok cantik. Gak minta maaf lagi, udah tahu situ yang nabrak saya.” “Emang aku cantik. Semua orang juga tahu. Dan ngapain minta maaf, orang kamu juga salah. Jalan kok lihatnya ke bawah.” Sang biduan tak mau kalah. “Ada apa. Mawar?” Seorang pria lemah gemulai mendekat ke arahnya. 11 - Bai_Nara



“Gak papa Bang. Udah yuk pulang,” ajak Mawar. “Oke Cin. Eh, ada abang ganteng. Boleh kenalan gak?” Iwan nama pria itu. Ia langsung mendekati Bagas dan menoel dagunya. Bagas tentu saja shock dibuatnya. “Jangan pegang-pegang!” bentak Bagas. “Eleh-eleh si abang. Udah cakep, sangar lagi. Tipe aku banget,” ucap si lemah gemulai, Iwan. “Najis!” umpat Bagas. “Hahaha. Udahlah Bang, pulang yuk. Ngapain Abang main-main sama tuh cowok. Palingan serdadunya juga cepet KO.” “Eh, kamu! Bilang apa kamu? Dasar cewek murahan!” “Aku emang murahan. Kenapa emangnya? Situ pengin nyoba main sama aku? Oke, tapi tarifku mahal.” “Cih! Jijik aku. Mending aku kelon sama kambing daripada sama kamu.” “Brengsek kamu!” Mawar mulai emosi. “Apa?!” Bagas tak kalah emosi. Kedua orang itu masih adu mulut di parkiran. “Oke stop-stop. Udah yuk Cin kita pulang aja. Dah ganteng.” Iwan mencubit gemas perut Bagas. Bagas melotot marah sekaligus jijik. Dalam hati Bagas berjanji tidak akan mengunjungi tempat ini lagi dan semoga tidak ketemu dengan cewek itu lagi.



Rumah Atmaja - 12



3.



Bertemu Lagi “S



epi banget, Bang. Pada kemana?” Bagas baru sampai di kontrakan. “Kamu tahu sendiri, Hasan udah pindah ikut Syarifah, Ricky sibuk ngurusi mutasi, Zidan sibuk pedekate, ya cuma kamu sama abang yang free,” ucap Mateo. “Hahaha. Benar juga ya, Bang. Bagas masuk dulu ya. Mau mandi.” “Oke. Mandi yang harum. Lumayan siapa tahu dirimu diapelin sama nyamuk betina. Hahaha.”



13



Mateo tertawa sedangkan Bagas hanya gelenggeleng kepala. Bagas lalu masuk ke kamarnya, membersihkan badan dan berbaring. Melepas lelah setelah seharian bekerja. Bulan-bulan ini Bagas sangat sibuk karena akan ada pengujian produk dari dinas kesehatan dan BPOM. Sebagai tenaga bagian riset dan teknologi, Bagas harus menyiapakan segala hal agar kualitas produk sesuai standar mutu. Pekerjaannya menjadi semakin menumpuk karena kemarin ada beberapa kesalahan dalam pelabelan waktu uji coba jadi Bagas dan timnya harus mulai menguji dari awal lagi. Rasa lelah yang tak tertahankan akhirnya membawanya ke pulau mimpi. Dalam tidurnya Bagas tersenyum, entah dia sedang bermimpi apa hanya Bagas yang tahu.



“Aduh!” pekik Bagas karena terkena pintu mobil yang tiba-tiba terbuka. “Makanya kalau jalan jangan ngelamun.” “Kamu lagi. Dasar cewek gak punya etika!” “Dan kamu pria dingin arogan,” balas Mawar. Mereka lagi-lagi adu mulut tak peduli banyak pasang mata yang tengah melihat mereka di sebuah mall terbesar di kota provinsi. “Gas, udah cukup. Ayok katanya mau cari HP,” ajak Ricky. Ricky mengulas senyum tipis pada Mawar. Mawar tersenyum balik. Mereka pun berpisah. Selama menuju kedalam mall, Bagas terus saja ngomel-ngomel tak jelas. Ricky hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah lakunya. Setelah menemukan apa yang mereka cari. Mereka memilih duduk di bagian foodcourt. Rumah Atmaja - 14



“Gas, aku cari toilet dulu ya?” “Oke,” jawab Bagas, tapi matanya tak mau lepas dari Hp. Ricky menuju arah toilet, sampai di sana dia mendengar kegaduhan di dalam sana. Ingin berusaha membantu tapi urung ia lakukan, akhirnya dia bersembunyi di balik dinding. “Ckckck. Kamu tuh ya. Kenapa gak hati-hati sih, Cin? Coba kalau kamu diapa-apain sama ini orang.” Seorang lelaki berpembawaan kemayu namun saat ini terlihat garang baru saja memukul tengkuk lelaki yang ingin berbuat kurang ajar. “Maaf Bang, aku kurang hati-hati,” jawab wanita cantik penuh penyesalan. “Udah abang bilang jangan pergi sendirian. Kalau mau pergi minta tolong sama abang atau minta ditemani sama Bara.” Sang wanita hanya menangis terisak. Akhirnya kemarahan Iwan surut dan kembali menjadi pria kemayu dan memeluk Mawar dengan penuh kasih sayang. “Cup cup cup. Udah Cin ... gak papa. Gak usah nangis.” “Bang, Nawang capek, Nawang pengen pulang ke Tasik, Bang. Nawang pengen jadi orang biasa aja kayak dulu, Nawang kangen sama Bapak dan Ibu. Hiks ... hiks.” “Kamu tahu ini susah. Bos besar bakalan marah, kamu itu sumber uangnya. Lagian lunasi dulu tuh utang kamu! Ingat perjanjian kamu sama tuh lelaki.” “Nawang pengen pulang Bang. Nawang takut gak bisa jaga diri. Kalau ada Abang, Abang bisa jagain Nawang. Tapi kalau ada orang jahat kayak gini lagi gimana, Bang? Nawang gak mau kehormatan Nawang 15 - Bai_Nara



diambil sama yang gak berhak, Bang. Nawang emang banyak dosa. Tapi Nawang gak mau zina.” “Udah kita pergi dulu aja dari sini ntar kalau ada orang lihat, kita bisa kena masalah. Kita pasti jadi tersangka utama karena ada di sekitar orang mati ‘kan gawat. Yuk, pergi!” “Tapi itu orang gak mati, kan Bang?” “Alah mati pun gak masalah, malah jadi mengurangi penjahat kelamin.” “Hahaha. Abang bisa aja.” “Udah ayok kita cepet pergi dari sini, mumpung masih sepi. Dan hei kamu yang bersembunyi di pojok situ, kalau mau selamat jangan kasih tahu siapa pun apa yang kamu lihat dan dengar sama siapapun. Mengerti?” Ricky terkejut karena ketahuan mengintip. Dia memilih menganggukkan kepala dan pergi menjauh. Bukan. Bukan karena takut adu fisik dengan Iwan. Dia cuma agak risih dengan penampilan Iwan yang ... hiiii ... bias gender. Raga pria tapi tampilan seperti kaum hawa, bagi Ricky itu lebih menakutkan daripada ketemu malaikat Izrail. “Lama bener Ky,” celetuk Bagas. “Habis antri banget.” “Owh. Habis ini mau kemana?” “Temani aku ngecek bengkel dulu ya?” “Oke. Sekalian aku mau nengok kebun aku juga.” Mereka pun meninggalkan mall dan segera menuju tempat tujuan selanjutnya.



Rumah Atmaja - 16



Hari ini pembukaan PT. Nusa Bahtera di Pontianak. Bagas akhirnya dipindahkan juga ke cabang ini. Sebenarnya Bagas tidak rela berpisah dengan teman satu kost-nya. Tapi mau bagaimana lagi, hidup terus berputar. Tak terasa satu tahun telah berlalu lagi. Genap enam tahun enam bulan dia di bumi Borneo. Zidan sudah menikah dan membeli rumah Ricky. Bang Mateo sebentar lagi juga menikah. Ricky sudah balik ke Jawa dan sepertinya sedang asik liburan ke Pangandaran. Beberapa kali dia mengirim fotonya selama di Pangandaran. Ckckck. Pantas Ricky gagal move on, orang Lily itu cantik sekali. Bagas tersenyum melihat foto dua gadis dan satu lelaki. Dia yakin Lily itu yang ada di tengah karena tatapan mata sahabatnya begitu penuh cinta ke arahnya. “Dasar bucin kau, Ky.” Bagas kemudian terkekeh. Perhatian Bagas dari ponsel teralihkan ketika mendengar suara sang pembawa acara. “Mari kita sambut sang biduan kita ... Mawar!” seru sang pembawa acara. Seorang wanita cantik berpenampilan sexy melangkah menuju panggung. Dia mulai menyanyikan lagu dengan sepenuh penghayatan. Meski Bagas tidak menyukai wanita itu tapi mau tak mau dia memang mengakui pesona sang biduan. Tatapan matanya pun tak pernah bisa lepas dari sang biduan. Di ujung meja lain, Nana menahan cemburu melihat tatapan Bagas pada sang primadona. Nana benci akan hal itu, karena Nana tak pernah mendapatkan tatapan kekaguman seperti itu dari Bagas. “Kamu harus jadi milikku, Bagas. Bagaimana pun caranya,” ucap Nana dengan senyum jahat. Tepuk tangan disertai dengung pujian menyertai langkah Mawar yang tengah turun dari panggung. 17 - Bai_Nara



“Gas.” “Pak Adi.” Kedua lelaki itu berjabat tangan kemudian ngobrol dalam satu meja. “Gimana Gas di tempat baru? Betah?” “Betah, Pak.” “Syukurlah. Ngomong-ngomong kamu udah punya calon belum?” Bagas memilih tersenyum dan tak menanggapi omongan Pak Adi. “Kalau belum, anakku masih berharap sama kamu loh?” Lagi, Bagas memilih tak menanggapi. Kedatangan para petinggi perusahaan menyelamatkan Bagas dari cecaran Pak Adi. Bagas memincingkan matanya, karena melihat sosok wanita yang selalu membuatnya emosi jika bertemu sedang berjalan menuju ke mejanya. “Kita gabung ya Pak Adi, Bagas.” “Iya, Pak.” Para petinggi itu membicarakan banyak hal. Termasuk Bagas pun ikut dalam obrolan. Sesekali pandangan mata Bagas dan Mawar bertemu namun mereka saling melengos. Mereka bahkan mampu berakting baik-baik saja.



Rumah Atmaja - 18



4.



Jebakan T



ak terasa hampir delapan bulan Bagas di Pontianak. Hidupnya memang terasa sepi tapi dia merasa lebih baik karena sudah tak diganggu lagi oleh Nana. Minggu kemarin dia baru saja ke Jawa mengunjungi sahabat baiknya yang baru saja menikah. Ternyata perjuangan hampir setahun lebih akhirnya sampai pelaminan juga. Bagas geleng-geleng kepala ketika mendengar Ricky pernah digigit ular karena insiden yang tak terduga. Bahkan menurutnya konyol dan tidak heroik sama sekali. Padahal dulu mereka berlima pernah mengalami insiden jatuh dari perahu motor bersama tiga penumpang lain dan ketemu buaya muara. Ricky menjadi salah satu pahlawan penyelamat mereka.



19



Dia dan Bang Mateo berupaya mengecoh bahkan menghalau si buaya yang hendak menerkam salah satu penumpang dan berakhir dengan tertangkapnya sang buaya. Berarti diantara semua teman sekontrakan, tinggal Bagas yang belum menikah atau setidaknya memiliki pacar. Bagas mengembuskan napas kasar. Andai hati bisa bekerja sama dengan otaknya, sebenarnya Bagas ingin move on dan berusaha mencari cinta yang lain. Bagas lelah dengan perasaan cinta tak sampainya ini. “Gas.” “Hai Gi, gimana kabar?” “Baik. Kamu di Pontianak sekarang?” “Iya Gi. Kamu ada urusan apa di sini?” “Pekerjaan.” Gio adalah salah satu teman kuliah Bagas. Dia ada urusan pekerjaan di Pontianak. Keduanya larut dalam obrolan seru hampir satu jam. Kemudian keduanya berpisah karena Gio harus segera kembali ke Jawa sedangkan Bagas ada urusan juga.



“Bagas, lama tak jumpa.” Nana datang menghampiri Bagas yang tengah duduk bersama Roni rekan kerjanya. “Kamu semakin tampan saja, Gas.” Nana duduk di samping Bagas. “Wah, Nana ya? Kamu juga makin cantik saja,” celetuk Roni. “Oh Hai Ron, gimana di tempat baru, betah gak?” tanya Nana. Rumah Atmaja - 20



“Betah gak betah sih. Paling gak betahnya karena gak bisa lihat senyum manis kamu.” Roni menggombal. Sedangkan Bagas seperti biasa, cuek. “Halo semua, wah akhirnya ngumpul di sini juga ya.” Feri datang dan langsung bergabung. “Wah Gas, kamu kok gak pernah main lagi ke Kutai. Betah di sini ya?” “Lumayan Bang, Abang gimana kabarnya?” “Baik, sesekali mainlah kalau gak sibuk.” “Nanti aku cari waktu Bang.” Mereka berbincang lama, saat ini sedang ada acara ulang tahun perusahaan di sebuah restoran terkenal di Pontianak. Bagas cenderung diam hanya menyimak. Nana bersikap sangat manis pada Bagas tapi seperti biasa Bagas cuek. “Wah, artisnya udah datang lihat tuh. Ckckck. Cantiknya.” Roni sangat terpesona pada Mawar. Sedangkan Bagas menoleh ke arah panggung, mau tak mau dia pun hanyut terbuai oleh suara merdu Mawar. Walaupun Bagas tak menyukai Mawar tetapi mendengar suaranya membuat hati Bagas berdesir. Suara Mawar begitu mirip dengan wanita masa lalunya. Wanita yang menjadi cinta pertama bagi seorang anak laki-laki. Seperti biasa Nana sangat kesal sekaligus cemburu melihat bagaimana Bagas menatap penuh pemujaan pada Mawar. Nana memutuskan pergi dari situ.



Di tempat lain, seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahunan dan cukup tampan meminta seorang 21 - Bai_Nara



pramusaji untuk membawakan minuman yang telah diberi obat perangsang untuk sang primadona. “Malam ini kamu harus jadi milikku Mawar,” ucap Kevin dengan senyum jahat. Tingkah lakunya diamati oleh Bara, teman sekaligus bodyguard Mawar yang sengaja diutus Iwan untuk menjaga Mawar. “Kamu akan jadi milikku.” Hal yang hampir sama juga terjadi pada Bagas. Nana wanita yang tergila-gila dengan Bagas berencana menjebak Bagas. Dia berniat akan menggunakan akal liciknya demi mendapatkan Bagas. “Pokoknya Bang Feri harus bantu aku. Bagaimanapun minuman ini harus diminum sama Bagas.” “Aduh Nana, kamu gila ya. Oke aku tahu kamu cinta mati sama Bagas tapi jangan kayak gini.” Feri berusaha menolak. “Kalau Bang Feri gak mau nolong Nana, Nana akan bilang ke Papa kalau Mas Feri pernah tidur sama istri simpanan Papa. Abang mau dipecat? Silakan Abang pilih mana?” ancam Nana. “Oke. Oke. Tapi aku gak mau tahu. Jangan sampai Bagas tahu aku bantu kamu.” “Abang tenang aja. Aku gak bakalan kasih tahu asal Abang bantu aku. Gimana?” “Oke deal.”



“Kamu kayaknya lesu amat, minum ini gih.” “Apaan ini, Bang?” “Cuma air putih. Abang tahu dari tadi kamu gak berani minum karena takut isinya alkohol semua.” Rumah Atmaja - 22



“Makasih Bang.” Bagas meminum air dari Feri hingga tandas. Feri tersenyum, tugasnya selesai. Walaupun ia merasa bersalah pada Bagas tapi dia lebih takut dipecat. Ditempat berbeda, Mawar baru saja meminum air putih yang dibawakan oleh pramusaji. Tiba-tiba ada pesan lewat chat dari seseorang. Bara: [“Kamu jangan minum air apapun, Kevin ngasih sesuatu ke minuman yang dibawa pramusaji.”] Mawar: [“Apa Bang? Aku udah minum ini. Aku pikir air putih biasa.”] Bara: [“Apa? Kamu udah minum? Oke usahakan kamu harus pergi dari situ akan kucoba mengalihkan perhatian. Kevin bener-bener licik dia sengaja bikin aku gak bisa di dekat kamu.”] Mawar: [“Iya Bang, aku akan berusaha. Tapi Abang harus bisa gimanapun caranya bantu aku.”] Bara: [“Sedang abang coba.”] Mawar segera menyambar dompetnya. Dia harus segera pergi. Begitu membuka pintu, dia melihat Kevin tengah menunggunya. Mawar gugup tapi berusaha menampilkan senyum manisnya. “Bang Kevin ada apa?” “Aku mau ngajak kamu jalan-jalan. Ayok.” Kevin langsung menggenggam tangan Mawar dan menariknya. Mawar terpaksa mengikutinya. Sedangkan Bagas tengah berada di taman resto memandang langit sambil membayangkan Seruni. Nana datang menghampiri Bagas. Bagas merasa kesal tapi malas berdebat. “Malam sungguh indah ya, Gas. Kamu merasa gak kalau malam ini sungguh panas,” ucap Nana dengan mendesah manja. 23 - Bai_Nara



Bagas merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Rasanya panas, jantungnya berdebar, dan ada hasrat yang ingin dituntaskan. Bagas mengamati Nana, raut wajah wanita itu begitu licik. Bagas merasa apa yang ia rasakan ada hubungannya dengan wanita itu. Tapi Bagas berusaha menahan, sekaligus mencari jalan keluar meninggalkan wanita itu. Di seberang Bagas yang terjarak oleh kolam renang, ia melihat Mawar yang juga tengah merasakan apa yang dirasakan oleh Bagas. Di sampingnya, terlihat Kevin yang menatap Mawar dengan tatapan lapar. Entah kenapa tatapan Bagas dan Mawar bertemu. Mereka saling berkomunikasi lewat tatapan mata. Sama-sama menahan gairah yang luar biasa. Samasama mencari jalan keluar. Mawar melihat kolam renang di depannya, refleks ide muncul di kepalanya. Ia pura-pura berjalan mendekati kolam dan berakting terkilir hingga ... Byur! “Mawar!” Kevin berteriak, ia tak bisa berenang sehingga hanya bisa berteriak dari luar kolam. Mawar berakting hendak tenggelam sehingga mengundang pengunjung lain menuju kolam. Bagas langsung berlari dan menyeburkan diri menyelamatkan Mawar. Setelah membawa Mawar ke tepi kolam. Bagas refleks menggendong Mawar. Bara yang sudah bisa terlepas dari para pengawal Kevin segera meminta Bagas membawa Mawar masuk ke mobil. Bara segera melajukan mobilnya meninggalkan tempat acara. Kevin marah. Lebih marah karena usahanya tidak berhasil. Harusnya tadi ia tak mengikuti kemauan Mawar berjalan menuju kolam. Mawar pasti sengaja karena ia tahu Kevin tak bisa berenang. Rumah Atmaja - 24



“Sial! Bagaimana bisa aku teledor! Aggh!” Sedangkan Nana, dia sangat marah karena rencananya gagal. Dia membenci Mawar yang telah menggagalkan rencananya. “Sial! Sial! Sial! Bagaimana bisa wanita itu merusak rencanaku.” Nana dan Kevin masih marah sedangkan Bagas dan Mawar merasa lega. Mereka selamat.



25 - Bai_Nara



5.



Terjebak B



agas bernafas lega karena bisa lepas dari Nana dan rasa sialan itu. Rupanya air mendinginkan hasratnya. Mawar pun sudah duduk dan tidak lagi berpura-pura pingsan. “Kita langsung ke mana, Cin?” tanya Bara. “Jangan ke apartemen aku Bang, kita ke rumah aku aja. Aku takut Kevin masih nyari aku.” “Anda mau saya antar kemana?” Bara menanyai Bagas. “Kost saya di daerah Patimuan,” jawab Bagas pendek. “Ckckck. Jauh itu, sudah turunkan saja dia di sini,” ketus Mawar. “Enak saja. Kamu harusnya berterima kasih sama aku yang udah menyelamatkan akting kamu. Kalau enggak. Beneran mati kamu.”



26



“Apa kamu bilang?” Mawar sangat marah pada Bagas, dia memukul Bagas tanpa ampun. Bagas pun mencoba menghindari amukan Mawar. Dengan mencengkeram kedua lengan Mawar. Ciiittttt. Brukk. “Aw.” Bagas dan Mawar refleks bertubrukan dan posisi Mawar berada di atas Bagas. “Kalian gak papa?” Bara menoleh ke belakang. Pemandangan dihadapannya membuatnya tersenyum. “Ekhem.” Refleks Mawar dan Bagas saling menjauh dan duduk tenang. “Cepat kalian pergi ke arah pepohonan di sana. Kalau kalian tidak tersesat, nanti kalian akan ketemu Desa Bernai. Kalian sembunyi dulu di sana. Aku merasa kita diikuti. Cepat!” perintah Bara. Mawar dan Bagas segera turun dan bersembunyi terlebih dahulu diantara pepohonan. Bara langsung melaju kencang dan benar saja, lima menit kemudian tiga mobil mengikuti Bara dari belakang. “Ayok jalan!” ajak Bagas. Entah refleks atau karena takut, Mawar menggenggam tangan Bagas. Bagas kaget tapi membiarkannya karena dia pun takut terpisah dan wanita itu terluka. Setelah menempuh perjalanan cukup lama mereka sampai di sebuah pedesaan. Suasana telah sepi, Bagas melihat sebuah rumah yang masih terang oleh cahaya petromaks. Dia pun mengetuknya. “Permisi. Permisi.” Seorang nenek renta membukakan pintunya. “Siapa?” 27 - Bai_Nara



“Maaf Nek, kami tersesat. Boleh minta ijin, kami menginap semalam saja,” pinta Mawar dengan wajah memelas. “Kalian pasangan yang kawin lari?” “Bukan Nek,” jawab keduanya serempak. “Sudah-sudah jangan malu-malu. Ayo masuk.” Sang nenek membawa mereka berdua ke sebuah kamar. “Ini kamar untuk kalian berdua. Untuk sementara sembunyilah di sini. Nenek juga pernah muda tahu rasanya kalau cinta tak direstui.” “Tapi Nek ....” Mawar ingin menginterupsi. “Sudah sudah, nenek tinggal dulu. Istirahat ya.” Sang nenek pun pergi meninggalkan mereka berdua.



Prang. “Kalian bodoh, bisa-bisanya kalian kehilangan jejaknya.” “Maaf Bos, kami mengejar mobil itu sampai ke sebuah pengisian BBM tapi pas kami cegat ternyata gak ada siapa pun kecuali si Bara,” terang salah satu anak buah Kevin. “Apa? Bodoh kalian. Lalu kemana lelaki yang bersamanya?” “Kami tidak tahu Bos.” Prang. Prang. Prang. Kevin membanting semua benda yang ada di dekatnya. Ia menyuruh anak buahnya pergi. Saat ini ia berada di bar milik cafe tempat diadakannya peringatan ulang tahun PT. Nusa Bahtera. Ia pun meminum minuman beralkohol sekali teguk. Netranya Rumah Atmaja - 28



memincingkan mata mengitari ruangan bar. Bar tampak sepi hanya ada beberapa pengunjung. Rupanya sudah pukul sebelas malam. Netranya menangkap seorang wanita mabuk yang ternyata adalah Nana. Kevin mendekatinya, daripada tidak ada sama sekali. Ia harus tidur dengan wanita manapun malam ini. Siapapun. Karena saat ini dia sangat marah, hasratnya sungguh menggelora. Nana membiarkan Kevin menemaninya karena dia sedang patah hati, marah dan kecewa karena usahanya untuk mendapatkan Bagas gagal total malam ini. Entah karena sama-sama mabuk atau karena mereka memang tipe penyuka seks bebas. Mereka tahu-tahu sudah berciuman panas dan mereka memutuskan menuju ke hotel untuk menuntaskan hasrat mereka. Tanpa mereka ketahui ada seseorang yang sengaja memotret mereka.



Bagas dan Mawar berusaha membuka mata mereka, karena takut tertidur. Suasana canggung terjadi diantara keduanya. Hawa dingin menembus kamar yang terbuat dari bilik bambu. Bagas yang sudah merasa tak kuat melepaskan bajunya hingga tersisa kaus oblong. Karena dia terbiasa memakai kaos oblong saat tidur. Ditambah lagi dia masih merasakan sedikit efek obat yang diminumnya tadi. Benar-benar sialan. Rupanya Bang Feri berusaha ikut menghancurkannya. Bagas mengumpati Feri dan Nana dalam hati. Sedangkan Mawar, dia benar-benar sudah tak sadar. Rupanya jenis obat perangsang yang diminum olehnya 29 - Bai_Nara



adalah tipe dengan dosis tinggi. Gejala yang ia alami baru terasa setelah beberapa lama. Tanpa ia sadari dia sudah membuka semua pakaiannya. Hanya menyisakan dalaman saja. Karena mereka duduk saling memunggungi Bagas tidak tahu menahu apa yang dialami oleh Mawar. Sebuah desahan keluar dari bibir Mawar. Bagas refleks memutar kepalanya dan kaget melihat Mawar yang sudah hampir telanjang dan sedang mencari kepuasan sendiri. “Hei ... kamu sedang apa?” Bagas sangat shock. “Berhenti gak, atau ... atau ....” Bagas tidak mampu mengeluarkan kata-kata karena dia pun merasakan efek yang sama. Bagian bawah tubuhnya mendadak tegang. Ah, efek obat sialan itu masih terasa. Mereka saling pandang penuh hasrat. Entah siapa yang memulai, mereka sudah saling melumat dengan ganas. Walau ini yang pertama kali, Bagas mampu memainkan insting alaminya. Bibirnya dengan agresif mencumbu bibir sexy dan tipis didepannya. Sesekali dia menggigitinya dengan gigitan kecil. Lidahnya ia sapukan pada permukaan bibir sang wanita bahkan menelusup masuk ke rongga mulut Mawar. Menggodanya dengan sepenuh hasrat. Mawar tak kalah antusias. Dia membalas setiap gairah Bagas. Mereka benar-benar sudah tak mampu mengendalikan diri. Mereka saling meraba, mencium dan memeluk. Hingga bunyi desahan keduanya begitu nyata terdengar. Lama mereka bergumul hingga Bagas melanjutkan permainan menuju puncak asmara. Mawar menjerit ketika merasakan bagian inti Bagas mulai memasukinya, menembus dengan keras dan kuat. Jeritan Mawar teredam oleh ciuman Bagas. Rumah Atmaja - 30



Hasrat pria itu sudah di ubun-ubun kepalanya hingga dia tidak mempedulikan jeritan Mawar. Bagas terus mencoba masuk hingga keduanya benar-benar menyatu. Bagas mulai bergerak secara perlahan. Awalnya Mawar merasa kesakitan ketika Bagas bergerak, tetapi lama-kelamaan ia pun tampak menikmati permainan mereka setelah beradaptasi dengan milik Bagas. Bahkan desahan-desahan erotis selalu keluar dari bibirnya hingga mereka benar-benar menuntaskan hasrat. Bagas tergolek di samping Mawar, dia sedang berusaha menetralkan detak jantung dan napasnya. Ini benar-benar pengalaman pertamanya. Rasanya sungguh luar biasa, ia menoleh ke arah Mawar. Mawar pun memandang Bagas, ia tak pernah tahu bahwa lelaki yang dingin dan arogan itu benar-benar lembut tapi ganas saat mencumbunya. Keduanya benar-benar tak menyangka akan seranjang seperti ini. Bagas menghampiri Mawar memeluknya dan membenamkan kepala Mawar di dadanya. Mereka tertidur pulas setelah bermandikan peluh kemesraan.



Keesokan harinya, Bagas terbangun, menggeliat dan duduk. Matanya belum fokus dengan keadaan sekitar. Mawar yang merasakan ada gerakan di dekatnya pun terbangun. Ia memandang ke sekeliling, matanya menubruk mata Bagas. Hening, hingga mereka menyadari mereka dalam keadaan polos. “Aaaaaaa.” Mawar refleks mendorong Bagas hingga Bagas terjungkal dari ranjang. 31 - Bai_Nara



Gedebuk. “Aduh sakit tahu!” omel Bagas. Mawar berusaha duduk tapi dia merasa kesakitan pada inti tubuhnya. Sakit sekali. “Awh. Sakit,” rintih Mawar. Bagas mendengar rintihan Mawar, mereka berdua berpandangan kemudian menoleh ke arah kasur dan terpampanglah bercak darah keperawanan di sana. “Mawar ....” Bagas berusaha memanggilnya. Mawar hanya terdiam bahkan mulai terdengar isakan dari mulutnya. Hartanya, mahkotanya, oh tidak? Mawar mengutuk dirinya dalam hati. Tak lama terdengar keributan di luar. Bagas dan Mawar refleks memakai pakaian mereka dengan tergesa. “Keluar kalian!” Sebuah suara lantang disertai gedoran. Bagas membuka pintu setelah memastikan mereka berpakaian. Terlihat sekumpulan warga tengah memandang kedua manusia itu dengan tatapan marah. “Kalian harus dihukum sesuai adat daerah kami atau dinikahkan,” seru salah seorang dari mereka.



Rumah Atmaja - 32



6.



Sebuah Kisah B



agas dan Mawar duduk sebagai tersangka di hadapan warga Desa Bernai. Bingung harus mengatakan apa karena memang mereka telah berbuat zina. Jadi mereka hanya diam. “Loh loh loh, ada apa ini?” Nenek pemilik rumah datang, sepertinya dari kebun karena membawa berbagai sayuran. “Nek. Nenek membiarkan mereka berzina di rumah nenek?” tanya seseorang yang ternyata adalah kepala desa.



33



“Lah kenapa memangnya, mereka kan cucuku.” “Jangan bercanda, Nek. Kami tahu nenek tinggal seorang diri.” “Iya, tapi kamu juga ingat kalau aku punya anak perempuan yang merantau ke Jawa, ini anaknya Sinai. Lihat ini mukanya sama kayak anakku.” Nenek mengambil foto putrinya. Dan benar saja ternyata mukanya mirip dengan Mawar. Semua warga yang hadir mulai percaya dengan penuturan sang nenek. “Mereka itu pengantin baru, tahu! Lagi honeymoon di sini. Baru nyampe tadi malam. Malah kalian mengganggu saja.” Setelah mendengarkan penjelasan nenek, kepala desa akhirnya meminta maaf dan semua orang akhirnya pamit. Kini tinggallah Bagas, Mawar dan si nenek. “Nek, terima kasih.” Mawar memeluk sang nenek. “Tidak apa-apa. Nenek tahu cinta yang tak direstui itu memang sungguh menyakitkan.” “Nek, Sinai siapa?” tanya Mawar lagi. “Putri tunggalku. Sinai dulu juga jatuh cinta dengan pemuda Jawa. Tapi ayahnya tidak mengijinkan Sinai menikah dengan si lelaki. Hingga akhirnya sang pemuda memilih pulang ke Jawa karena cintanya tak direstui oleh ayah Sinai. Sinai yang patah hati memilih pergi dan tak pernah kembali. Suamiku mencarinya bahkan hingga ke Jawa. Ternyata sampai di sana, suamiku memperoleh kabar Sinai bunuh diri karena mengetahui lelaki pujaan hatinya dijodohkan oleh orang tuanya. Sinai menabrakkan dirinya pada kereta yang melaju,” cerita sang nenek. “Suamiku merasa bersalah, andai dulu dia mengijinkan Sinai menikah dengan lelaki pilihannya Rumah Atmaja - 34



mungkin tak seperti ini nasib Sinai. Kami hanya terlalu takut Sinai dibawa ke Jawa karena dia satu-satunya anak kami. Tapi rupanya, kami lebih takut kehilangan Sinai. Andai saja dulu kami bisa mengekang ego kami. Setidaknya Sinai masih hidup walau kami terpisah jarak.” Nenek menangis mengenang putrinya. Mawar yang aslinya berhati lembut tersentuh dan memeluk sang nenek. Bagas hanya diam tapi matanya berkaca, ternyata nasib ibunya lebih beruntung. Sungguh wanita yang jauh lebih beruntung dari Sinai. Karena dia sempat merasakan dicintai dan diperjuangkan oleh ayahnya, Bagus Surya Atmaja.



Bara menjemput mereka berdua pada sore hari. Selama perjalanan mereka hanya membisu. Bahkan tak terlontar kata apapun ketika mereka berpisah. Malam hari, di kamar kostnya Bagas merasa kesepian. Bolak-balik dia merasa gelisah, semalaman bergumul mesra dengan Mawar benar-benar membuat otaknya tak waras. Dia benar-benar merindukan Mawar, merindukan orangnya dan kehangatannya. Ya Tuhan, Bagas mulai gila. Ditambah lagi status keempat kawannya yang semuanya tertuju pada istri/pacar masing-masing. Hasan: “Belanja bareng Ibu Negara.” Zidan: “Terima kasih istriku Sayang, atas kadonya. Muah. Muah. Makin cinta.” Mateo: “Ketemu camer deg-degan, tapi lihat senyum Adik Sayang, ketakutanku hilang.” Ricky: “Ayam geprek buatan istriku memang yang terbaik.” 35 - Bai_Nara



Bagas melempar ponselnya ke kasur, dia sengaja menutup wajahnya dengan bantal. Berharap segera tidur dan melupakan hasrat pribadinya pada Mawar.



Sementara di tempat lain, Iwan sedang bicara serius dengan Mawar. “Gimana Bang, apa uangku sudah mencapai satu milyar? Aku pengen terlepas dari Kevin. Aku tak mau jadi miliknya, Bang. Sudah cukup tiga tahun ini aku berbuat dosa.” “Kamu tenang aja, abang udah punya kartu AS kalau Kevin sampai macem-macem sama kamu,” sahut Iwan. “Maksudnya Bang?” “Udah kamu tenang saja. Percaya sama abang.”



Bagas melewati koridor kantor dengan wajah dinginnya. Feri yang sedang duduk bersantai langsung menghampiri Bagas. “Hai Bro,” sapanya ramah. Tiba-tiba Bagas langsung menonjok muka Feri. “Gas, kamu apa-apaan hah?! Kurang ajar kamu.” Feri marah dan berniat menonjol balik sayang Bagas bisa mengelak. “Lalu maksud Abang apa, ngasih aku minuman yang sudah dicampur sama obat hah?!” teriak Bagas. Feri terdiam, dia tak bisa menjawab. Bagas berlalu meninggalkan Feri. Beberapa orang yang melihat keributan hanya diam tak berani ikut campur. Rumah Atmaja - 36



Nana yang tanpa sengaja melihat kejadian itu terdiam. Saat tatapannya beradu dengan Bagas, Bagas memilih berlalu. Nana sakit hati, dia sangat menyesal andai saja dia dulu menjadi gadis baik-baik mungkin sikap Bagas akan melunak padanya. Sayangnya dia sudah rusak, dan sialnya Bagas beberapa kali memergokinya bersama dengan teman lelakinya. Jadi, walaupun di mata semua orang Nana dikenal sebagai wanita baik-baik tak pernah berulah tapi tidak di mata Bagas. Nana pun menyesal, akibat kebodohannya ia malah menghabiskan malam dengan Kevin dan itu malah dipergoki oleh ayah sekaligus istri Kevin. Ayahnya sangat murka, mengumpatnya dengan berbagai umpatan kasar. Padahal Nana seperti ini juga karena dia, dia dengan sifat buruknya yang suka main perempuan bahkan mempunyai simpanan dimanamana. Belum lagi istri Kevin yang ikut menamparnya dan bahkan mengumpatnya dengan berbagai kata-kata tak pantas. Nana merasa hidupnya sudah tak berarti lagi.



“Ini uang yang pernah saya janjikan kepada Anda, Pak Kevin. Satu milyar, terima kasih atas bantuan Anda pada adik saya. Walau akhirnya dia harus pergi juga menyusul kedua orang tua kandung saya.” “Kamu tidak ingin menjadi milikku? Kalau kamu jadi milikku hidup kamu akan bahagia.” Kevin masih bernegosiasi. “Tidak Pak, sungguh saya tak ingin jadi istri Anda. Saya takut istri Anda akan menyakiti saya. Saya dengar dua hari yang lalu istri Anda memergoki Anda sedang 37 - Bai_Nara



tidur dengan wanita lain. Banyak yang bilang istri Anda sangat beringas saat menghajar wanita itu. Saya tak mau bunuh diri. Saya masih mau hidup.” Seseorang tiba-tiba memasuki kantor Kevin, dia adalah Mayang istri Kevin. Mayang memancarkan aura permusuhan pada Mawar. Mawar berusaha tenang walaupun aslinya ketakutan. “Sedang apa kamu?!” selidik Mayang. “Membayar hutang saya, Bu. Sekalian mau pamitan pada Bapak dan Ibu.” “Oh bagus, pergi sana dan jangan kembali lagi.” “Iya Bu saya permisi.” Mawar memilih cepat meninggalkan ruangan Kevin. Saat hanya berdua dengan Kevin, Mayang mengutarakan ancamannya. “Sudah aku bilang Vin, kamu milikku. Awas saja kalau kamu ada main dengan wanita lain. Ingat, akan kubuat wanita itu seperti kekasihmu kemarin,” ancam Mayang. Kevin tak mampu berkutik. Walaupun dia sangat ditakuti oleh pesaingnya, tapi dia masih kalah dengan ayah mertuanya yang merupakan bandar narkoba.



Rumah Atmaja - 38



7.



Melarikan Diri “G



imana Bang, sudah dapat tiket buat aku pulang?” “Sabar Cin, beberapa daerah lagi terkena dampak asap. Kita belum bisa pergi jauh-jauh bandaranya belum buka.” “Iya Bang. Oh iya, makasih ya Bang Iwan udah mau bantuin Nawang selama Nawang ada di sini.” “Udah gak usah kayak gitu Cin ... kamu juga bantu abang. Kalau gak ada kamu abang mungkin udah jadi almarhum.”



39



Mereka saling menggenggam tangan. Hubungan mereka memang seperti saudara kandung. Mereka saling menjaga dan melindungi dengan cara mereka masing-masing.



“Kamu mau beli apa aja, Cin?” “Aku gak pengen beli apa-apa Bang. Aku cuma mau jalan-jalan aja.” Malam ini, Iwan dan Mawar berjalan berdua di mall terbesar di Pontianak. Di saat yang sama Bagas pun tengah menuju ke mall untuk membeli sepatu kets. Iwan bertemu beberapa temannya yang sama-sama melambai. Mereka ngobrol seru. Karena bosan Mawar memutuskan melihat-lihat sepatu. Mawar ingin mengambil sebuah sepatu cantik tapi tanpa sengaja menyenggol sepatu lain karena dia terdorong oleh anak kecil yang tengah berlarian kesana kemari mengganggu pengunjung lain. Mawar bermaksud mengambil sepatu itu namun sebuah tangan kekar mengambilnya terlebih dahulu dan menaruhnya di rak. “Bagas,” ucap Mawar lirih. “Hai Mawar, apa kabar?” Bagas menyapa Mawar dengan lembut. Pandangan matanya teduh dan penuh kerinduan. Mawar bukanlah gadis polos, dia tahu arti tatapan Bagas. Mawar akui Bagas memang berbeda dengan para lelaki yang pernah ditemuinya. “Kamu mau beli sepatu?” “Hem.” Mawar berusaha bersikap ketus. Bagas hanya tersenyum. Rumah Atmaja - 40



“Kamu suka yang kayak apa modelnya, suka yang hak tinggi atau wedges atau slip.” “Brisik tahu!” Bagas terkekeh melihat reaksi Mawar alias Nawang. Kalau saja Bagas belum pernah merasakan bagaimana kehangatan Nawang dan dia pula lelaki pertama yang berhasil menariknya ke ranjang, mungkin Bagas akan bersikap ketus juga. Tetapi tidak. Kali ini, Bagas ingin menghapus gencatan senjata antara keduanya. Dengan hangat, digenggamnya jemari Nawang lalu Bagas menariknya untuk melihat sepatu. Mau tak mau Mawar pasrah juga akan kehadiran Bagas. Mereka nampak seperti sepasang kekasih yang tengah berbelanja. Apalagi beberapa kali Bagas membantu memasangkan sepatu pada kaki jenjang Mawar. Tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang melihat mereka penuh cemburu.



“Kamu berkeringat.” Bagas mengambil sapu tangannya dan mengelap keringat Mawar. “M-makasih.” Mawar menjadi gugup akibat tingkah lembut Bagas. Iwan menatap dua orang di depannya dengan penuh selidik. Saat pertemuan pertama mereka dulu, mereka nampak seperti anjing dan kucing tapi sekarang seperti sejoli lagi kasmaran. “Kalian pacaran?” “Enggak.” “Iya.” Bagas dan Mawar saling pandang. 41 - Bai_Nara



“Ckckck. Malah pada gak ngaku lagi.” Iwan mulai bersungut-sungut. Mereka makan dengan santai. Sesekali obrolan terdengar dari ketiganya. Selesai makan, ketiganya menuju tempat parkir. Sesampainya di tempat parkir, mereka berpisah. Tiba-tiba ada beberapa orang yang menculik Mawar. Iwan berusaha membantu tapi sayang dia kalah. Bagas yang mengetahuinya segera menolong Mawar. Terjadi perkelahian sengit, tiga lawan satu tapi Bagas dengan mudah menghadapinya. Kedua orang yang tengah menarik Mawar segera menuju ke mobil. Tapi mawar berontak dan menginjak salah satu kaki penculik sedangkan yang lain ia gigit. Dia pun berlari menjauh. Bagas berlari menuju arah Mawar, dia segera menarik tangan Mawar. Salah satu penculik spontan memegang pistol dan mengarahkan ke arah Bagas. Bagas menghindar, mencoba melindungi Mawar. Adegan seperti di film action terjadi, dimana Bagas dan Mawar mencoba melindungi diri mereka dari serangan penculik yang membawa pistol. Mereka terus berlari untuk melarikan diri. Bagas bisa membuka mobilnya, menarik Mawar masuk lalu segera melajukan mobilnya cepat. Para penculik mengejarnya. Iwan hanya bisa pasrah, ia menangis, takut terjadi sesuatu dengan Mawar. “Bara, kamu dimana?” Iwan menghubungi Bara. “Saya di apartemen Bang.” “Cepetan ke sini. Kita harus menyelamatkan Mawar. Kevin bener-bener gila.”



Rumah Atmaja - 42



Aksi kejar-kejaran kedua mobil masih terjadi. Sesekali tembakan terlepas menuju mobil Bagas. Mereka menyusuri jembatan yang melintasi sungai Kapuas. Salah satu tembakan mengenai ban mobil Bagas, mobil oleng. Bagas kehilangan kendali dan terlempar menuju sungai Kapuas. Orang suruhan Kevin menghentikan mobilnya. “Gila kamu, sudah kubilang hati-hati. Kalau Bos Kevin tahu bagaimana?” Bentak orang yang paling besar badannya. “Aku tadi gemas. Udah, nanti kita bilang aja kalau buruan kita kabur karena ada yang membawanya lari.” “Ya sudah ayo.”



“Bodoh kalian semua, kalian tidak becus.” Kevin marah-marah karena wanita pujaannya jatuh ke sungai. Entah ia hidup atau tidak. Di sisi lain, Mayang tersenyum sinis mengetahui wanita yang dicintai suaminya mungkin sudah mati. Mayang tahu, kalau Kevin tergila-gila pada Mawar sejak pertama jumpa dengan wanita itu. Mayang tipe pencemburu, dia marah karena sampai hari ini Kevin tak mau mencintai Mayang. Mayang seorang putri bandar narkoba terkenal. Tapi dia tergila-gila pada Kevin. Hingga berbagai cara ia lakukan untuk mendapatkan Kevin. Sayang dia hanya mendapat raganya bukan hatinya. Mayang tahu Kevin selalu bersenang-senang dengan wanita lain. Jika wanita itu seorang PSK, Mayang tak ambil pusing tapi jika bukan maka wanita itu akan bernasib seperti 43 - Bai_Nara



Nana. Dihajar dan dipermalukan di depan banyak orang. “Bos, sudah saya laksanakan.” “Bagus. Biarkan mereka mati, aku tak perduli. Pergi sana!” “Baik Bos.” Mayang menatap foto Nawang dengan penuh kebencian. “Aku benci sama kamu Nawang Wulan.”



Rumah Atmaja - 44



8.



Nikah Dadakan B



agas dan Mawar berenang menuju tepian sungai dengan bertopang pada ban mobil. Entah ini kebetulan atau memang nasib mujur, Setyo menaruh ban mobil yang baru Bagas beli di jok belakang. Dengan terengah-engah akhirnya mereka sampai juga di tepian sungai. Bagas langsung rebah di rerumputan, sungguh ini hari yang sial baginya. Bagaimana bisa dia tadi terjun dan berusaha menyelamatkan diri. Lama dia rebahan hingga menyadari kalau dia bersama Mawar. Refleks dia bangun dan mendekati Mawar yang berada di sampingnya.



45



“Mawar. Bangun Mawar.” Bagas mengguncang bahu dan menepuk pipi Mawar. “Mawar. Hei ... Mawar buka matamu.” Bagas mulai panik. Ia meraba nadi Mawar masih ada lalu napasnya. Napasnya lemah. “Bagaimana ini, ah ayolah Gas cuma napas buatan. Kalian bahkan pernah melakukan lebih dari ini.” Bagas berucap untuk dirinya sendiri. Bagas melakukan heimlich manuver untuk mengeluarkan air dalam tubuh Mawar setelah itu ia memberinya napas buatan. Setelah sepuluh menit berusaha akhirnya Mawar memuntahkan air dan mulai batuk-batuk. “Alhamdulillah. Mawar hei kamu tak apa-apa?” Mawar membuka matanya, dilihatnya Bagas yang tubuhnya basah sama seperti dirinya. “Hei kalian berdua apa yang kalian lakukan?” Sontak Bagas dan Mawar terkejut. Dari jarak sepuluh meter tampak tiga warga yang tengah akan memancing ikan. “Kalau kalian ingin mesum jangan di sini!” bentak salah satu dari mereka. Rupanya mereka memergoki Bagas seperti sedang mencium Mawar padahal bukan seperti itu kejadiannya. “Bapak-bapak, tenang. Saya bisa jelaskan,” sahut Bagas pelan. “Sudah bawa mereka kepada kepala desa!” sahut yang lain. “Bapak-bapak mohon sabar, saya bisa jelaskan.” “Alah, kami tak percaya, cepat ikut kami!” Akhirnya mau tak mau Bagas dan Mawar mengikuti ketiga penduduk tersebut. Rumah Atmaja - 46



Sampai di rumah kepala desa, Bagas dan Mawar disidang. Bagas berulang kali mengatakan hal sebenarnya tapi tak ada satu pun yang percaya karena tiga orang yang menjadi saksi melihat bagaimana Bagas mencium Mawar padahal kejadian sebenarnya Bagas sedang memberi napas buatan. “Kalau menurut kalian kami bersalah, baik silakan beri kami hukuman yang menurut kalian pantas kami dapatkan.” “Baik, malam ini pula kalian akan menikah. Kami tak ingin kejadian ini menjadi contoh buruk bagi warga sini,” sahut kepala desa. “Kalau itu yang terbaik. Baiklah saya akan menikahinya saat ini juga.” Mawar memandang Bagas, kedua mata mereka bertemu. Bagas memberi isyarat agar menuruti warga. Demi keselamatan mereka. Mawar tak menolak, karena saat ini dirinya masih shock akibat kejadian yang batu saja ia alami. Pernikahan dadakan pun dilaksanakan. Bagas menyerahkan sebuah cincin seberat 2,5 gram yang merupakan cincin peninggalan ibunya. Cincin itu selalu ia bawa dan ia kaitkan pada kalung yang ia pakai sehari-hari. Meski berdandan ala kadarnya, tak mengurangi kecantikan dan ketampanan kedua mempelai yang akan menikah secara dadakan itu. “Mawar. Siapa namamu sebenarnya? Mawar atau Nawang? Aku pernah mendengar Iwan menyebutmu dengan nama Nawang.” “Apa itu penting?” ketus Mawar. “Penting, walau memang pernikahan ini bukan kemauan kita, tapi bagiku menikah itu perjanjian dengan Allah. Aku tak mau main-main. Walau aku 47 - Bai_Nara



sadar, entah aku mencintaimu atau tidak pun sebaliknya.” “Bagaimana jika kita berusaha berkomitmen untuk mencoba menjalani pernikahan ini?” lanjut Bagas. “Baiklah tapi jika salah satu dari kita merasa lelah maka dia berhak mengajukan perpisahan. Bagaimana?” tawar Mawar. “Deal.” Mereka pun bersalaman. “Siapa namamu?” “Nawang Wulan.” “Nama ayahmu.” “Saefulloh.” “Kamu tenang saja, kedua orang tua kandungku sudah meninggal sejak aku berusia 12 tahun,” imbuh Nawang. “Baiklah.”



“Saya terima nikah dan kawinnya Nawang Wulan binti Saefulloh dengan mas kawin cincin emas seberat 2,5 gram dibayar tunai.” “Sah.” “Sah.” Bagas mengulurkan tangan kanannya, Mawar menyambutnya dengan mencium tangannya. Bagas membaca doa, dalam hati dia meminta kebaikan untuk pernikahan mereka. Dia menyesal dulu tidak belajar masalah bab perkawinan pada Ricky, Hasan atau Zidan. Ia bahkan tidak tahu doa ketika akan melakukan sholat pengantin atau saat mereka melakukan ritual malam pertama. Astaga, Bagas merutuki dirinya sendiri kenapa malah mikirnya ke urusan ranjang? Rumah Atmaja - 48



Sedangkan bagi Mawar ini merupakan bencana. Dulu ia bermimpi menikah dengan pangeran berkuda putih, seseorang yang ia cintai sepenuh hati tapi nyatanya ... takdir membawanya harus menikah dengan lelaki dingin arogan seperti Bagas. Sungguh kesialan bagi Mawar. “Kalian bisa tinggal dulu di rumah milik desa yang berada di ujung sana. Tempat itu digunakan untuk pertemuan tapi ada kamar dan kasur di dalamnya. Tinggallah di sini dan besok bagaimanapun caranya kalian harus meninggalkan desa ini!” perintah kepala desa. Baik Bagas maupun Mawar tak berkomentar dan memilih mengikuti petunjuk kepala desa.



“Mau sampai kapan kita diam begini?” Bagas memulai obrolan. “Berisik. Kalau mau tidur, tidur saja sana.” “Kenapa kamu gak tidur juga?” “Belum ngantuk.” “Oh ya. Masa sih?” Entah kenapa malam ini Bagas ingin menggoda Mawar. “Udah diam, awas kalau mendekat aku mau tidur.” Mawar merebahkan diri di kasur lalu merapatkan selimut. Bagas mengikuti, merebahkan diri di sampingnya. Hening dan sunyi. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Hingga mereka tertidur karena kelelahan.



49 - Bai_Nara



Sinar matahari menembus melalui celah pagar rumah yang terbuat dari bambu. Mawar mulai terbangun dan menggeliat. Namun, dia merasa ada sebuah tangan yang melingkar di perutnya belum lagi kedua kakinya saling membelit dengan sepasang kaki lain. Mawar membalikkan tubuhnya, kaget karena melihat Bagas tidur di sampingnya dengan posisi mesra. “Aaaaaa,” teriaknya dan mendorong Bagas hingga terjungkal jatuh dari kasur. Gedebuk “Wadaw! Mawar, kenapa kamu dorong aku?” teriak Bagas. “Ngapain kamu peluk aku hah? Kenapa kita seranjang?” Mawar berucap ngegas. “Hehehe. Kamu lupa ya?” “Lupa apa?” “Kita udah nikah. Bahkan kawin sebelum nikah.” Mawar memelototkan matanya dan hanya ditanggapi Bagas dengan seringainya. “Gak mungkin. Kapan kita nikah?” “Tadi malam.” “Apa?” teriak Mawar. Mawar mengingat-ingat kejadian kemarin malam. Matanya melotot saat mengingat kalau benar dia sudah menikah. “Sudah ingat?” Mawar hanya mengangguk. Ia sudah ingat semuanya termasuk statusnya kini sebagai istri.



Rumah Atmaja - 50



9.



Suami Istri B



agas akhirnya bisa menghubungi salah satu temannya untuk membantu membawanya pergi dari desa, dimana dia harus menikah dengan Mawar. Bagas sengaja membawa Mawar ke tempat tinggalnya. Sesampainya di kost ternyata Iwan dan Bara sudah berada di sana. “Cin. Kamu gak papa. Ada yang luka?” Iwan nampak cemas melihat kondisi Mawar. “Lebih baik kita masuk, Bang. Kita bicara di dalam.” Bagas memberi saran.



51



Kemudian mereka masuk ke dalam rumah. “Mereka siapa Bang? Orang yang berusaha menculikku?” tanya Mawar. “Kevin,” jawab Bara. “Apa? Bukannya Mawar sudah memberikan apa yang dia minta Bang? Satu milyar. Lalu kenapa dia masih mengejarku?” “Kamu jangan sepolos itu Nawang. Kevin terlalu terobsesi padamu. Tapi sayang, istrinya juga terlalu cemburu padamu. Salah satu suruhan Kevin rupanya berbalik arah menuruti perintah Mayang,” lanjut Bara. “Yang penting sekarang kamu sembunyi dulu Cin. Kami sudah menemukan tempat persembunyian untuk kamu sementara waktu. Setelah semua urusan beres, kamu harus pulang ke Jawa saja untuk menghindari suami istri itu. Dan tak usah balik ke Tasik. Toh, mereka bukan orang tua kandungmu,” kata Iwan. “Tapi mereka yang merawat Nawang setelah Bapak Ibu meninggal. Tinggal mereka keluarga Nawang.” “Keluarga gimana? Mana ada orangtua yang rela menjual anaknya. Hanya demi mendapat uang,” ketus Iwan. Nawang menunduk, omongan Iwan benar. Kalau saja orangtuanya masih hidup tak mungkin hidupnya berakhir seperti ini. “Udah ayok kita pulang,” ucap Iwan akhirnya. “Maaf Bang, lebih baik Nawang sama saya saja.” Bagas bersuara. “Kenapa harus?” ucap Bara dingin. “Karena saya suaminya sekarang.” “Apa?!” kompak Iwan dan Bara berseru kaget. Nawang dan Bagas menceritakan kronologis kejadian yang menimpa mereka dan kenapa mereka menikah. Rumah Atmaja - 52



“Oke. Mending Nawang di sini saja, Bang. Sepertinya di sini aman,” usul Bara. “Oke. Eh kamu, jaga adik kita. Awas kalau dia kenapa-kenapa aku bawa temen-temen banciku buat memperkosa kamu!” ancam Iwan membuat Bagas begidik ngeri. Iwan dan Bara pun pergi menyisakan Nawang dan Bagas. “Kamu pasti lelah istirahatlah di kamar. Aku biar tidur di sofa.” Nawang menuruti ucapan Bagas, lagi pula dia sangat lelah. Saat memasuki kamar Bagas, hati Nawang bergetar. Kamar ini sungguh mengesankan aroma lelaki. Bau kamar ini begitu mengingatkan Nawang akan kehangatan Bagas saat mereka tengah bercinta. Ah! Otak Nawang sudah tak waras ternyata. Daripada membayangkan yang tidak-tidak, ia memutuskan untuk tidur.



“Kalian menemukan Mawar?” “Belum Bos, sepertinya dia sengaja sembunyi.” “Agggh.” “Pergi sana dan bawakan aku wanita untuk menemaniku. Cepat!” “B-baik Bos.” Kevin segera mengambil minuman keras yang ada di depannya. Dia sungguh marah karena hampir tiga tahun lebih tak bisa juga mendapatkan Mawar. Perjumpaan pertama mereka terjadi saat di club tempat Mawar bekerja. Kevin tahu dia gadis polos, dilihat sekilas pun dia tahu. Saat itu ia akan dijual 53 - Bai_Nara



kepada siapa saja untuk menjadi pria pertama yang menyentuhnya. Kevin membayar mahal satu milyar. Ketika mereka sudah dalam satu kamar. Mawar menangis dan meminta Kevin jangan memperkosanya. Ia berjanji akan melunasi uang Kevin. Tapi Kevin tidak mau. Akhirnya Mawar bernegosiasi bahwa ia akan berusaha mengembalikan uang itu dan menjadi milik Kevin dengan syarat dia jangan disentuh dulu dan Kevin masih sendiri. Kevin menyanggupi. Selama hampir dua tahun Kevin dengan setia menunggu. Bukan uang yang ia inginkan tapi Mawar. Dia jatuh cinta pada gadis cantik itu. Walaupun setiap malam ia tidur dengan wanita lain tapi yang ada dalam bayangan Kevin adalah Mawar. Hingga suatu malam ia bertemu dengan Mayang. Kevin pikir Mayang seperti wanita jalang lain yang hanya ingin bersenang-senang. Akhirnya mereka berkenalan dan mengobrol hingga hubungan mereka berakhir pada aktivitas ranjang yang panas. Kevin baru menyadari kalau Mayang ternyata masih perawan dan lebih sialnya lagi dia ketahuan menggauli Mayang oleh ayah Mayang. Seorang Bandar Narkoba yang terkenal kejam dan licik. Mau tak mau ia akhirnya menikahi Mayang. Mawar yang mengetahui hal itu, berkelit dan tak mau bersama Kevin. Ia hanya berjanji akan mengembalikan uang Kevin tapi tak mau bersamanya. Kevin marah sekaligus frustasi, beberapa kali dia berusaha membujuk Mawar tapi Mawar tegas menolak. Belum lagi sikap Mayang yang sangat over posesif kepadanya. Mayang selalu menggunakan kuasa ayahnya untuk menekan Kevin. Kevin sangat marah tapi tak mampu berbuat banyak. Rumah Atmaja - 54



Bahkan keinginannya memiliki Mawar secara paksa pun sepertinya sia-sia. Kevin tahu salah seorang anak buahnya ada yang berkhianat dan mencelakai Mawar. Prang. Kevin akhirnya membanting gelas minumannya dan berusaha memejamkan mata.



Dua minggu berlalu. Bagas bekerja seperti biasanya. Ada yang berbeda dari Bagas, ia lebih sering tersenyum. Semua ini karena Nawang. Iya, Nawang. Entah karena sudah jatuh cinta atau bukan tapi Bagas sangat senang akan kehadiran Nawang dalam rumahnya. Nawang ternyata pintar memasak. Setiap pagi sarapan selalu tersaji di meja makan dan saat pulang, makan malam pun sudah terhidang. Ah, sekarang ia mengerti kenapa semua temannya senang mempunyai istri. Bagas sedang mendaftarkan berkas pernikahannya dengan Nawang. Walau hubungan mereka masih dikatakan canggung tapi Bagas berpikir, pernikahan mereka tetaplah sah. Semua tetangga Bagas sudah tahu bahwa Nawang adalah istrinya. Oleh karena itu Bagas mantap melegalkan pernikahannya. Tingkah Bagas yang berubah menjadi lebih banyak senyum membuat rekan kerjanya bingung termasuk Roni. Apalagi Bagas sekarang lebih sering langsung pulang tak mau nongkrong lagi bersamanya. “Pak Bagas sekarang berubah ya?” kata salah satu pekerja wanita. “Iya lebih banyak senyum,” timpal yang lain. 55 - Bai_Nara



“Lebih ganteng, lebih terawat, kayak udah punya istri aja.” “Hihihihi.” Mereka cekikikan. Nana dan Roni yang secara tak sengaja mendengarnya begitu kaget, terutama Nana. Benarkah Bagas sudah menikah? Ah dia harus ke rumah Bagas.



“Kamu? Siapa kamu?” Nawang mengernyit ketika membuka pintu ternyata ada seorang wanita dan pria yang datang. “Nawang.” “Iya tapi kenapa kamu di sini?” Nana dan Roni tak menyadari jika Nawang adalah Mawar. Karena saat menjadi Mawar, Nawang akan berdandan semenor mungkin untuk menyamarkan wajah aslinya. Tak seorang pun yang mengetahui wajah aslinya selama ini. Kecuali Iwan, Bara dan tentu saja Kevin. Sedang saat ini wajahnya polos tanpa sapuan make up tapi justru kecantikan alaminya sangat terpancar. Roni bahkan sampai tak berkedip melihat wajahnya yang sangat cantik. “Aku tanya siapa kamu?!” bentak Nana. “Dia istriku.” ucap Bagas yang baru datang. Bagas mengulurkan tangan ke arah Nawang, Nawang menyambutnya. Sebuah kesepakatan tak terduga diantara mereka yang malah menjadi kebiasaan. Roni dan Nana shock mengetahui berita ini.



Rumah Atmaja - 56



10.



Haruskah Pulang P



rawira marah dan menatap tajam puterinya, Nana. “Kamu hamil? Dengan siapa?” “Nana ... tidak tahu.” “Bodoh kamu! Sekarang siapa yang akan tanggungjawab?” “Bagas.” “Apa maksudmu?” “Bagas, ayah anak ini.” “Baik. Lukman panggil Bagas ke sini!” titah Prawira.



57



Bagas menatap Nana dingin, dia sudah tahu maksud Prawira memanggilnya. “Bagas, kamu harus bertanggungjawab dengan kehamilan Nana.” “Maaf Pak, saya tak pernah menyentuh putri Anda. Saya menolak, lagian saya sudah punya istri.” “Kalau begitu jadikan Nana yang kedua.” “Maaf saya tidak mau.” “Kamu! Saya akan penjarakan kamu. Karena menghamili anak saya.” “Silakan coba saja atau saya umumkan kepada semua orang seperti apa kelakuan putri Anda. Karena saya punya banyak bukti dan saksi.” Aslinya ini hanya gertakan Bagas. Tapi sepertinya berhasil membuat Prawira khawatir bahkan Nana nampak pucat. “Gas, saya mohon bantu saya. Ini demi kehormatan saya dan Nana. Kamu nikahi Nana.” “Maaf Pak, saya tak mau.” “Nikahi Nana atau saya pecat kamu.” “Baik.” Nana tersenyum sedangkan Prawira merasa lega. “Saya berhenti!” tanpa sepatah kata pun Bagas pergi dari ruangan Prawira.



Rupanya kabar kehamilan Nana sudah didengar oleh seluruh pekerja, semua orang berspekulasi siapa ayah si bayi yang dikandung Nana. Semua menjurus ke Bagas. Dugaan mereka semakin besar karena Bagas sudah mengundurkan diri dari perusahaan. Rumah Atmaja - 58



“Nih!” Iwan menyerahkan beberapa foto antara Nana dan Kevin kepada Bagas. “Gunakan itu kalau dibutuhkan. Heran kalian berdua itu selalu punya masalah dengan lawan jenis,” lanjut Iwan. “Makasih Bang,” ucap Bagas tulus. “Kamu yakin akan bawa Nawang ke Jawa?” “Iya Bang.” “Baiklah jaga dia di sana. Urusan Kevin sama Nana kamu tenang aja. Yang penting satu permintaanku. Jaga Nawang dan jangan sakiti dia. Kalau kamu nyakiti dia, awas akan kubawa sepuluh teman banciku buat memperkosamu.” “Iya Bang. Saya akan berusaha menjaga Nawang.” *** Bagas tengah termenung melihat pemandangan sungai Kapuas di depannya. Ia merogoh HP-nya dan menghubungi seseorang. “Ya Gas, kenapa?” Suara Ricky dari seberang sana. “Aku ketiban sial, Ky.” “Kamu kenapa?” “Pokoknya ruwet. Aku juga sudah nikah sama Mawar Borneo.” “Apa? Lah kok bisa. Gimana ceritanya?” “Pokoknya ruwet. Minggu depan aku balik kampung ke Banjar. Pokoknya kita mesti ketemu. Aku kayak orang gila butuh teman buat nyari solusi. Nanti kita ketemu. Ya?” “Oke. Hubungi aku aja kalau udah nyampe Jawa.” “Oke. Eh gimana kabar istri kamu? Udah isi belum. “ “Udah. Ini kita habis control, lima minggu.” “Wihhhh. Gercep, hebat sekali serdadu perang punya kamu langsung tokcer.” 59 - Bai_Nara



“Hahaha. Ya udah tinggal kamu yang buktiin kualitas serdadu perangmu tokcer juga ga sama istri kamu.” Hening. “Gas, Bagas. Kamu masih disitu?” “Iya. Aku masih di sini.” “Kamu baik-baik saja Gas?” Bagas menghela napas kasar. “Iya aku baik-baik saja. Nanti aku hubungi lagi.” Klik. Bagas memutuskan sambungan telepon. Pikiran Bagas kembali menerawang jauh ke masa beberapa hari yang lalu. Sore itu, Bagas baru saja menyelesaikan masalahnya dengan Nana. Bagas membawa bukti foto dari Iwan di hadapan Nana dan sebagian direksi perusahaan. Jangan ditanya wajah Nana dan ayahnya. Bagas akhirnya bisa membela diri atas tuduhan Nana. Dan tetap memilih mundur walau jajaran direksi meminta dia tetap bekerja. Tapi Bagas kekeuh dengan keputusannya. Saat sampai di depan kontrakannya, ia bisa melihat ada tamu. Bagas sedikit panik. Takut kalau yang datang adalah Kevin atau orang suruhannya. Saat memasuki rumah, Bagas terkejut melihat kedua tamunya. Seorang lelaki berumur sekitar 60 tahun dan pemuda yang seumuran dengannya. “Den Bagas.” Lelaki tua itu bernama Maman. “Mbah Maman,” sahut Bagas. “Ya Allah, Den. Akhirnya mbah ketemu sama Den Bagas,” ucap Mbah Maman haru. Bagas dan lelaki paruh baya itu berpelukan. Bagas menengok ke arah pemuda yang seumuran dengannya. “Bagaimana kabarmu, To?” Bagas dan pemuda bernama Wanto saling berpelukan.



Rumah Atmaja - 60



“Saya baik Den, anak saya sudah dua, tahu. Yang gede sudah sekolah kelas satu SD,” ucap Wanto sambil cengengesan. Bagas ikut tersenyum lalu pandangannya beralih ke arah Nawang yang penuh tanya. “Oh iya, kenalkan ini Nawang istriku.” Mereka akhirnya mengobrol membahas banyak hal. Nawang ikut hanyut dalam obrolan. Satu hal yang baru Bagas ketahui kalau Nawang ternyata wanita yang supel dan mudah bergaul. “Den ... Juragan Kakung sakit. Beliau menanyakan Den Bagas terus. Bahkan beberapa kali meracau tentang Den Bagus ayah Aden.” Bagas menghela napas. “Untuk apa Eyang Kakung mencariku, Mbah? Bukannya aku ini hanya aib bagi keluarganya?” “Jangan begitu Den, meski keluarga besar tak ada yang mau menerima Aden, tapi ingat Juragan Kakung yang membawa Aden ke rumah. Menyekolahkan Aden dan melimpahkan semua kasih sayang kepada Aden melebihi semua cucunya.” Bagas membuang muka. Dia mengakui, kalau eyang kakung memang begitu meyanyanginya dibanding kepada ketiga sepupunya. “Iya Den, jangan sampai nanti Den Bagas menyesal kalau Juragan Kakung sudah gak ada,” tambah Wanto.



Di sinilah Bagas sekarang, di dalam pesawat yang akan membawa Bagas dan Nawang menuju ke bandara Soeta untuk transit sebelum menuju bandara Adi Sucipto Jogja lalu dilanjutkan dengan mobil jemputan 61 - Bai_Nara



menuju ke daerah Banjarnegara. Meski gamang dan tidak yakin dengan langkah yang dia ambil, Bagas memilih pasrah. Dia akan mengikuti arus. Bagas menoleh ke arah Nawang, dia membenarkan letak kepala Nawang dan menyandarkan kembali ke bahu kanannya. Bagas bahkan menyilakan rambut yang menutupi wajah sang istri. Senyum Bagas merekah. Dalam hati, Bagas merasa bersyukur bisa menikah dengan wanita secantik Nawang.



Rumah Atmaja - 62



11.



Pulang B



agas turun dari mobil bersama Nawang. Mereka telah sampai di sebuah desa terpencil di kecamatan Kalibening, Banjarnegara. “Kamu ternyata orang kaya ya Gas,” sinis Nawang. “Bukan punyaku. Ini milik eyang kakungku.” Bagas dan Nawang berjalan menuju gerbang sebuah rumah besar bergaya kuno. Saat sampai di gerbang, Wanto tergopoh-gopoh membuka gerbangnya. “Ya Allah Den, ayo masuk. Juragan Kakung pasti seneng.” Wanto tergopoh menghampiri Bagas dan membawakan barang-barangnya. Saat akan melangkahi pintu, Bagas tertegun sesaat kemudian menapakkan kakinya pada rumah yang penuh kenangan akan luka pada diri Bagas. “Bagas!” teriak seseorang.



63



“Hohoho, gak nyangka kamu balik ke sini Gas,” sapa Budi kakak sepupu Bagas yang berusia 30 tahun. Satu tahun lebih tua dari Bagas yang kini usianya menginjak 29 tahun. “Mas Bagas, Bowo kangen sama Mas Bagas,” ucap Bowo yang 2 tahun lebih muda dari Bagas dan memeluknya. Seorang wanita cantik mendorong kursi roda dimana seorang pria muda berusia 32 tahun duduk di atasnya. Kedua matanya menatap Bagas penuh kerinduan. Bagas memilih mengalihkan tatapannya daripada harus bersiborok dengan mata si wanita cantik itu. Seruni istri Bisma. “Selamat datang Gas. Selamat datang kembali saudaraku,” ucap Bisma tersenyum lebar. “Akhirnya kamu pulang. Dasar anak kurang ajar. Kamu mirip Mas Bagus. Pembangkang,” sinis seorang wanita berusia sekitar 45 tahunan. “Jangan bilang begitu Dik Betty, selamat datang Bagas. Wah kamu memang putera Bagus. Wajahmu mirip sekali dengannya. Pantas bapak begitu kangen padamu,” ucap seorang wanita usia 50 Tahunan. “Sangat mirip bahkan sifat pembangkang Mas Bagus menurun sama anaknya, Yu Binna,” sahut sang adik. “Apa kalian akan ribut terus di sini?!” bentak sebuah suara yang terkesan dingin dan diktator. Wanita sepuh ini berpenampilan seperti priyayi keraton memakai kebaya hitam dengan rambut disanggul rapi. Matanya tajam, wajahnya dingin dan angkuh. Usianya sekitar 70 Tahunan. Namanya Bestari Atmaja istri dari Binawan Atmaja. Mereka adalah kakek nenek Bagas dari pihak ayah. “Kamu pulang,” ucap Juragan Putri angkuh. “Iya Eyang,” sahut Bagas dingin. Rumah Atmaja - 64



“Siapa wanita itu?” Bestari menunjuk ke arah Nawang. “Nawang. Istri saya.” “Dasar. Kamu sama seperti ayah kamu. Grusa grusu. Gak sabaran. Heran ayah dan anak sukanya sama orang kampungan. Kere.” Nawang yang mendengarnya sedikit tersinggung. Huh. Dasar nenek sihir. Gila nih nenek tua. Kayaknya hidupku di sini bakal lebih susah. Apes bener hidupku,” batin Nawang. “Memang apa salahnya kalau Nawang cuma orang kampung atau ibuku juga orang kampung. Yang jelas mereka bukan orang yang hidupnya suka numpang sama keluarga istrinya atau punya istri simpanan dimana-mana,” sindir Bagas telak. “Kamu! Dasar cucu kurang ajar. Kalau bukan permintaan Mas Binawan mana sudi saya mengijinkan kamu masuk rumah ini.” “Dan kalau bukan karena Eyang Kakung mana sudi saya menginjakkan kaki di rumah ini.” Bagas membalas dengan memasang raut dingin. Juragan Putri meninggalkan ruang tamu dengan kesal dan amarah. Hatinya kesal bukan main. Rasa marah, terhina tapi kerinduan akan putra satu-satunya sangat besar. Mau tak mau harus ia akui Bagas sungguh duplikat putranya. Dan itu membuat dia semakin rindu akan putranya. Sedangkan yang lain memilih meninggalkan ruang tamu mengikuti Juragan Putri. Bagas menghela nafasnya. Nawang masih tetap diam tak tahu harus berbuat apa. “Den ...,” panggil Mbah Maman. “Iya Mbah.” “Sudah ditunggu di kamar Juragan Kakung sama Den Nawang juga.” 65 - Bai_Nara



“Baik. Ayo ikut aku.” Bagas menarik telapak tangan Nawang dan menggenggamnya. Nawang tertegun sebentar sebelum ikut menggenggam tangan Bagas.



Bagas menatap sosok kurus didepannya. Pria sepuh berusia 75 tahun. Pria tua itupun menatap Bagas dengan penuh air mata. “Bagas, cucuku. Kamu pulang?” Tak kuasa Bagas menatap tubuh renta itu. Ia pun mendekatinya dan menggenggam tangan kanan eyang kakungnya, menciumnya dengan penuh kasih. Tangan inilah yang 19 tahun lalu mengulurkan tangan untuk pertama kali kepada Bagas saat ia baru saja kehilangan ibunya. “Iya Eyang. Bagas pulang.”



Rumah Atmaja - 66



12. Kisah Masa Lalu “K



ita bakalan tidur di paviliun ini?” tanya Nawang sambil menyisir rambutnya. “Iya. Kenapa? Kamu gak suka?” “Enggak. Cuma aneh. Eh, kamu itu anak yang tak diharapkan ya?” “Kenapa kamu bisa berkesimpulan seperti itu?” “Kelihatan banget kok dari reaksi semua orang.” “Iya kamu betul. Aku ini anak yang tak diharapkan karena terlahir bukan dari rahim wanita kaya atau berdarah bangsawan.”



67



“Hem … pantes. Semua orang kayaknya benci banget sama kamu. Kecuali satu orang.” “Hah. Siapa?” “Seorang wanita cantik, bergelar istri dari Bisma. Kamu tahu gak. Matanya tak lepas menatap kamu penuh cinta. Penuh kerinduan. Huh, dasar! Kalau suaminya tahu gimana coba?” ucap Nawang berapi-api. Bagas hanya menatap Nawang sambil cengengesan. Bagas suka sekali melihat Nawang kalau sedang kesal. Entah kenapa justru kecantikannya bertambah jika dia sedang marah atau kesal. “Kamu cemburu?” “Gak.” “Terus kenapa sewot?” “Siapa yang sewot, gak ada ya. Aku cuma ngomong sesuai realita.” “Oh ya?” “Iya.” “Masa?” “Bagas!” bentak Nawang. “Hem ....” “Lepas!” ucapnya lirih. Karena Bagas ternyata sudah berada di belakang tubuhnya dan mencium lembut lehernya. “Gas ....” “Hem ....” “Lepas!” Tapi Bagas tak peduli, dikecupnya leher sang istri penuh gelora, bahkan tangannya sudah mulai merambat kemana-mana. “Gas ....” Suara Nawang menjadi parau. “Aku mau kamu,” bisik Bagas. Bagas segera menggendong isterinya. Menindihnya dan mencium mesra bibir Nawang. Mereka berciuman Rumah Atmaja - 68



mesra dan makin lama makin menuntut. Hawa yang dingin terasa panas dikarenakan gelora asmara yang mereka rasakan. Mereka saling memberi dan menerima. Mencecap setiap rasa yang ada pada pasangan halalnya hingga mencapai puncak surga dunia. Bagas menggulingkan tubuhnya ke samping sang istri kemudian berbalik memeluk tubuh sang istri dan menyelimuti tubuh telanjang keduanya. “Tidurlah,” ucap Bagas kemudian mencium kening sang istri dan mulai memejamkan mata. Nawang tidak tahu bagaimana perasaannya kepada Bagas. Hanya saja dia merasa nyaman saat berada di dekatnya. Bahkan tatkala Bagas berulang kali menyentuhnya, dia hanya pasrah bahkan menikmati segala bentuk cumbu rayunya. Di luar sana, terdapat sepasang mata tajam penuh amarah serta kebencian menatap paviliun tempat sepasang suami istri yang tengah tertidur pulas. “Nikmatilah waktumu Bagas. Karena sebentar lagi hanya akan ada rasa sakit yang akan kau rasakan.”



“Makan yang banyak, Eyang.” Nawang dengan telaten menyuapi Binawan. “Nama kamu Nawang?” “Iya Eyang.” “Hahaha. Kamu cantik persis kayak ibunya Bagas. Pantes Bagas mau nikah sama kamu.” Sudah dua minggu mereka tinggal di rumah Atmaja. Mungkin bagi seluruh penghuni rumah ini, Bagas dan Nawang dianggap orang asing. Tapi tidak bagi Binawan 69 - Bai_Nara



Atmaja. Cukup sekali dia melakukan kesalahan sehingga secara tidak sengaja menjadi penyebab kematian putera dan menantunya. Menantu yang tidak dianggap karena berasal dari kalangan biasa. Bagas sendiri sekarang diberi tugas mengatur jalannya perkebunan yang dimiliki keluarga Atmaja. Rupanya perkebunan Atmaja mengalami masalah serius karena tidak bisa ditangani oleh ketiga cucunya baik Bisma, Budi apalagi Bowo. Ditambah lagi keadaan Bisma yang lumpuh karena kecelakaan 5 tahun yang lalu. “Kamu lihat ini. Ini foto orangtua Bagas.” Binawan menunjukkan foto kedua orang tua Bagas. “Bagas fotokopi ayahnya. Dan ibunya cantik sekali Eyang.” “Hehehe. Makanya ayahnya Bagas ngotot menikahinya. Sampai kawin lari segala.” Nawang hanya tersenyum tipis dan masih mengamati foto sepasang suami istri itu. “Putra putriku ada tiga orang. Binna, Bagus dan Betty. Karena Bagus puteraku satu-satunya, aku menaruh harapan yang sangat besar padanya termasuk untuk calon istrinya. Sayang dia menolak menikah dengan gadis yang kami pilihkan. Bahkan menikah dengan Cempaka secara diam-diam. Aku dan istriku sangat marah, bahkan aku sampai mengancam dia tak akan kuberikan sepeserpun uangku. Tapi dia tetap memilih Cempaka. Hingga kesabaranku habis.” “Saat itu aku berusaha memfitnah Cempaka tapi sayang ternyata Bagus bisa membuktikan kalau itu ulah kami. Hingga istriku sangat marah dan menyuruh orang mencelakai Cempaka seolah-olah kalau itu kecelakaan. Tapi nahas, Bagus yang menjadi korban. Dia mendorong Cempaka hingga dialah yang terkena Rumah Atmaja - 70



hantaman mobil dan meninggal. Cempaka menghilang semenjak kematian Bagus. Kami pikir itu karena memang pada dasarnya dia mengincar harta kami. Ternyata dia hamil, dia sengaja bersembunyi dari kami karena takut kami akan mengambil Bagas.” “Aku tak sengaja bertemu dengannya di Solo, saat itu usia Bagas baru lima tahun. Cempaka mengiba-iba padaku agar jangan mengambil Bagas karena dia satusatunya hartanya. Buah cintanya dengan Bagus. Eyang baru menyadari jika Cempaka wanita yang baik. Karena itulah Bagus jatuh cinta padanya.” “Akhirnya Eyang menyetujui permintaan Cempaka dengan syarat eyang bisa bertemu dengan Bagas jika eyang rindu. Hampir 5 tahun eyang bisa menyembunyikan keberadaan Bagas. Tapi ternyata istriku tahu. Dia menyuruh orang mengambil Bagas tanpa sepengetahuanku.” “Cempaka yang ketakutan membawa lari Bagas hingga akhirnya ia tertabrak truk yang melintas saat melarikan diri dan itu disaksikan oleh Bagas. Sejak saat itu hubunganku dan Bestari yang sudah dingin semenjak kematian Bagus semakin dingin.” “Bagi eyang, ini semua salah Bestari yang terlalu gegabah mengambil tindakan sehingga Bagus harus pergi.” “Kekecewaan eyang semakin bertambah ketika melihat suami Binna dan Betty. Mereka adalah pilihan isteriku. Suami Binna suka berselingkuh padahal dia sudah punya Bisma dan Budi. Akhirnya mereka bercerai. Mantan suami Binna meninggal saat sedang berselingkuh dengan selingkuhannya lewat sebuah kecelakaan tragis sedangkan suami Betty, dia hanya pengangguran yang hidupnya cuma menumpang. Meninggal juga karena serangan jantung.” 71 - Bai_Nara



“Kamu tahu, kedua suami puteriku keturunan orang ningrat, orang kaya tapi perilakunya tak mencerminkan statusnya. Sejak itu eyang menyesal sehingga eyang berusaha menyayangi Bagas. Demi menebus rasa bersalah eyang selama ini. Tapi sekali lagi, eyang puterimu bertindak gegabah, dia justru menikahkan Seruni dengan Bisma padahal dia tahu Seruni dan Bagas saling menyukai. Sehingga Bagas memilih pergi.” “Tapi eyang senang, dengan begini Bagas jadi menikah dengan kamu. Eyang yakin kamu yang terbaik buat Bagas. Jadi eyang mohon sama kamu, dampingi Bagas selalu dalam suka dan duka. Jangan biarkan Bagas sendiri. Cukup selama ini dia merasa sendiri dan berjuang sendiri.” “Nawang mau kan selalu menemani cucu eyang baik dalam suka dan duka?” “Insya Allah Nawang akan berusaha Eyang.” “Bagus. Kamu memang cucu menantuku yang terbaik.”



Rumah Atmaja - 72



13.



Di Bawah Guyuran Hujan “A



yo ikut aku.” “Kemana?” tanya Nawang. “Ada deh.” Nawang mengikuti langkah Bagas. Mereka menaiki mobil menuju ke sebuah perkebunan teh yang dimiliki oleh keluarga Bagas.



73



“Hemmm ... sejuknya. Ini milik Eyang semua, Gas?” “Iya.” Mereka menikmati suasana sepi dan udara pegunungan yang sejuk. Nawang merentangkan kedua tangannya menikmati embusan semilir angin nan sejuk. Bagas mengamati tingkah istrinya dan tersenyum. Kemudian mendekati Nawang dan memeluknya dari belakang. Tak lupa menopangkan dagunya pada pundak sang istri. “Gas.” “Hem.” “Lepas!” “Gak mau. Nyaman kayak gini.” Nawang hanya bisa pasrah melihat perlakuan Bagas padanya. Karena mencoba menolak pun, ia akan tetap kalah. Tak jauh dari mereka hanya berjarak sekitar 20 meter terdapat sepasang mata yang menatap nanar kedua pasangan halal itu. Dia adalah Seruni. “Gak usah sedih gitu. Mereka suami istri ya wajarlah mesra-mesraan.” Budi datang dan langsung berdiri di samping kanan Seruni. “Jangan ganggu aku, Mas Budi!” pinta Seruni. “Hahaha. Nyesel kamu. Milih kakakku yang kamu anggap akan menjadi pewaris kerajaan Atmaja tapi ternyata ....” Budi melangkah mendekati Seruni. “Impoten.” Budi kemudian berjalan meninggalkan Seruni yang kini menangis meratapi hidupnya. Dia memutar kembali memori otaknya tujuh tahun yang lalu. “Aku akan berjuang meyakinkan Eyang, Runi. Aku cinta kamu. Aku memang belum punya apa-apa. Tapi aku akan kerja demi membahagiakan kamu,” ucap Bagas kala itu penuh kesungguhan. Rumah Atmaja - 74



“Sampai kapan? Bapak Ibuku sudah menerima pinangan Mas Bisma,” ungkap Seruni. “Tapi kamu bisa menolaknya Runi. Aku akan buktikan kepada kedua orang tuamu kalau aku bisa membahagiakan kamu.” “Percuma Bagas.” “Kenapa Runi? Apa kamu tidak mencintaiku? Apa selama ini kamu hanya kasihan kepadaku?” “Aku cinta kamu Gas, tapi aku gak mau durhaka sama orang tuaku. Aku ....” “Kamu gak bisa hidup susah sama aku. Aku tahu Runi. Aku hanya orang asing dalam keluarga ini. Kamu benar. Aku hanya cucu yang tak diharapkan.” Hening. “Kamu tahu apa penyesalan terbesarku?” ucap Bagas. Runi menatap Bagas. “Adalah berjuang sendirian.” Kemudian Bagas pergi meninggalkan Runi yang masih menangis. Hingga sampai Seruni menikah, Bagas tak pernah muncul. Rupanya dia telah pergi entah kemana. Seruni sedih tapi ia menyadari jika ini adalah salahnya. Menikah karena paksaan, ia pikir setidaknya dia bisa belajar mencintai Bisma seiring berjalannya waktu. Hingga dua tahun pernikahan ternyata hidupnya hambar, walau Bisma memperlakukannya dengan baik tapi untuk urusan ranjang, Seruni sungguh kecewa. Sekarang ia memahami kenapa seorang istri bisa selingkuh karena masalah ketidakpuasan terhadap pasangan. Berusaha bertahan dalam ketidakpastian hingga cobaan kembali menghadang. Musibah kebakaran tragis menghanguskan pabrik teh milik keluarga dan Bisma terkena runtuhan kayu yang berakibat dirinya 75 - Bai_Nara



lumpuh. Genap sudah penderitaan fisik dan batinnya. Bukan hanya nafkah fisik tapi batin tak pernah ia dapatkan lagi. Seruni menyesal, andai dulu ia bersabar, andai dulu ia berani membantah kedua orang tuanya, andai dia tak tergoda kemapanan Bisma mungkin saat ini dialah yang tengah dipeluk Bagas dengan mesra.



Bagas tengah mengendarai kuda dengan Nawang duduk di depannya. Mereka tengah berjalan-jalan melewati hamparan tanah lapang yang ada di depannya. “Kamu cantik,” ucap Bagas “Tentu.” Nawang berucap angkuh. “Ckckck. Sombong.” “Kamu berharap aku akan tersipu, malu-malu meong gitu. Jangan harap.” Bagas terkekeh lalu melanjutkan memacu kudanya kembali. Sesekali ia mencium pipi sang istri. Nawang beberapa kali mencubit perut Bagas. Dia merasa sebal dengan tingkah Bagas. Bagas hanya tertawa dan terus melajukan kudanya. Mereka sampai di sebuah sungai dengan air jernih dan banyak bebatuan besar di sana. Bagas membantu Nawang turun dari kuda. Lalu menggandeng tangannya menuju bebatuan besar. Mereka duduk dengan membiarkan kaki terkena aliran air sungai. Bagas menyilakan rambut Nawang yang menempel pada pipinya. Mengusap bibir merahnya dan melabuhkan ciuman mesra dan panjang. Rumah Atmaja - 76



Mereka asik berpagut, sesekali Bagas menggigit kecil bibir sang istri. Lidah mereka saling membelit saling mencecap rasa yang sudah tak asing bahkan seperti sebuah candu untuk mereka berdua. “Sudah berapa kali kita ciuman ya?” tanya Bagas sambil mengelap bekas lipstik Nawang yang rusak akibat ulahnya. “Tahu,” jawab Nawang cuek. Bagas kembali mencium mesra sang istri. Nawang seperti mendengar suara anak kecil tengah berlarian, ia segera mendorong Bagas karena takut dilihat sedang berbuat mesum dengan Bagas. Dan benar saja, lima bocah berusia antara 7-10 tahun sedang menuju sungai. “Hai. Kalian mau ngapain?” sapa Nawang. “Kami mau main di sekitar curug sana, Mbak. Asik. Terjun langsung dari sana,” jawab salah seorang anak. “Mbak boleh ikut?” “Boleh,” sahut mereka serempak. Kelima bocah tersebut bermain air dengan riang gembira. Ada 3 anak lelaki dan 2 anak perempuan serta Bagas dan Nawang. Mereka saling mencipratkan air, bermain lumpur bahkan terjun bebas dari atas curug setinggi 3 meter. Nawang dan Bagas benar-benar seperti anak kecil. Mereka tak memandang usia mereka berdua. Bermain dengan baju yang basah hingga sore telah tiba. Sore harinya, semua anak telah pulang menyisakan Bagas dan Nawang yang tengah membersihkan lumpur yang melekat pada baju di bawah guyuran air curug. Sesuatu di bawah Bagas bangun melihat kemolekan tubuh sang istri yang bajunya telah basah semua seperti dirinya. 77 - Bai_Nara



“Bagas!” teriak Nawang kaget karena Bagas telah menarik tubuhnya dan memepet dirinya menuju batu besar dekat guyuran air. Tanpa berkata Bagas langsung menyerang sang istri hingga keduanya larut dalam melodi asmara yang memabukkan. “Gas ... hentikan!” pinta Nawang saat Bagas akan membuka resleting celananya. “Kita masuk air,” bisiknya. Dan begitulah, mereka menuntaskan hasrat halalnya dengan penyatuan inti berada di dalam air. Sebuah pengalaman baru yang menggetarkan dan mendebarkan karena takut diketahui oleh orang lain.



Rumah Atmaja - 78



14.



Surat Kaleng S



uasana di meja makan berlangsung hening. Semua orang sibuk dengan makannya. Binna dan Betty saling melirik, Bestari memasang wajah dingin sedangkan Binawan memilih makan dengan lahap dibantu oleh Maman. “Bagas.” “Iya Eyang” “Bagaimana perkebunan kita?” “Bagas masih berusaha Eyang.” “Hehehe. Baiklah. Eyang tunggu kabarnya.”



79



“Kamu gak usah merendah Gas, kita semua tahu kok dalam sebulan ini perkebunan sudah mulai stabil. Pabrik teh pun sudah mulai berproduksi lagi, ‘kan?” Bisma bersuara. “Wuihhhh. Keren. Gak percuma ya Gas kamu kuliah di Biologi.” Budi berkata sambil berkelakar namun terlihat jelas nada sindiran pada setiap kata-katanya. Bagas hanya menanggapi keduanya bagai angin lalu. Dia sudah hapal kelakuan semua sepupunya itu. “Asal gak kamu jual aja, nanti mau makan apa kamu kalau dijual,” ketus Betty. “Ya makan nasi lah Bulik, masa makan hati. Gak baik banyak kolesterol,” jawab Bagas cuek. Nawang menahan tawanya dengan menutup mulutnya. “Yang sopan kamu sama orang tua.” Marah Betty pada Nawang. “Maaf Bulik, saya tertawa bukan karena omongan Bagas. Tapi itu loh Eyang Kakung sengaja membuat raut mukanya lucu. Nawang kan jadi ketawa,” kilah Nawang sambil mengedipkan mata ke arah eyang kakungnya. “Kamu itu memang gak punya selera humor, orang bapak sama Nawang dari tadi bercanda ya. Nih kamu lihat Nduk, kalau eyang mukanya begini.” Eyang kakung membuat mimik muka yang lucu dan membuat Nawang tertawa tanpa henti. Bahkan Bagas ikut tertawa. Bisma hanya tersenyum, sedangkan Budi dan Bowo malah ikut-ikutan memasang muka konyol mereka. Suasana meja makan yang tadinya dingin berubah menjadi ceria. Bestari menatap sebal ke arah Nawang. Ia cemburu, karena suaminya sudah mulai bisa tersenyum bahkan tertawa karena Nawang. Dia iri, karena bukan dirinya Rumah Atmaja - 80



yang membuat suaminya tersenyum kembali setelah puluhan tahun lamanya sejak kematian Bagus.



“Kamu ngapain?” “Gak ngapa-ngapain.” “Ckckck. Cuma pake daster aja milih-milih toh nanti bakalan gak pake apa-apa kalau naik ke ranjang,” gurau Bagas sambil mengedipkan mata. Nawang melotot ke arah suaminya. “Mesum.” “Tapi kamu suka, ‘kan?” “Bodo,” jawab Nawang dengan muka mulai memerah. Bagas tertawa lagi melihat pipi Nawang yang memerah. Dia meraih tubuh sang istri sehingga duduk di atas pangkuannya. Wajahnya ia dekatkan menuju sang istri. Sebentar lagi bibir mereka bertemu hingga .... Prang. Suara pecahan kaca terdengar nyaring. Refleks Nawang berdiri begitupun Bagas. “Apa itu, Gas?” “Aku akan melihatnya.” Bagas dan Nawang mencari sumber suara, terlihat pecahan kaca ruang tamu yang pecah karena dihantam sesuatu. Ternyata ada sebuah batu yang terbungkus kertas. Bagas membukanya dan melihat kalimat yang membuat darahnya mendidih.



81 - Bai_Nara



Kamu akan mati. “Gas?” Bagas tak menjawab, dia lalu membuka pintu paviliun dan mengamati keadaan sekitar. Hening. Bagas tak berencana mengejar si peneror, karena dia yakin si peneror sudah pergi. Pertanyaannya siapa dia? Salah satu sepupunya atau orang lain. Entahlah. Tapi yang jelas si peneror sangat hapal seluk beluk rumah ini. “Gas.” Bagas terdiam cukup lama kemudian mulai bersuara. “Aku yakin sedikit banyak kamu tahu bagaimana keluargaku. Aku tak ingin kamu kenapa-kenapa? Sisi hatiku ingin kamu meninggalkanku agar kamu aman tapi sisi yang lain menginginkan kamu tetap disini. Aku tak tahu bagaimana perasaanku padamu Nawang? Hanya saja aku merasa nyaman.” “Kalau kamu mengusirku, aku harus kemana? Kamu lupa aku ini yatim piatu? Jangan menyuruhku kembali ke Kalimantan. Kan kamu tahu sendiri aku sengaja ikut denganmu agar terbebas dari Kevin.” “Kalau begitu bertahanlah. Tetaplah selalu di sisiku. Apapun yang terjadi.” Bagas menggenggam lembut tangan Nawang dan tersenyum manis. Nawang pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya.



Rumah Atmaja - 82



Bagas tengah menekuri angka-angka yang berisi hasil perkebunan dan hasil pabrik. Tanpa menyadari seseorang masuk ke dalam ruangannya dan sudah duduk di depannya. Bagas menoleh ke arah orang itu. “Ada apa?” tanya Bagas dingin. “Kamu apa kabar, Gas?” “Seperti yang kamu lihat.” Seruni menarik napasnya pelan. “Maaf untuk semuanya, Gas. Maaf untuk keputusanku saat itu aku ....” “Sudahlah Runi, semua sudah terjadi. Waktu yang terbuang tak akan kembali.” “Aku menyesal Gas, andai waktu itu aku bisa mmenolak perjodohan itu mungkin ....” “Waktu tak akan pernah kembali Runi. Maka lebih baik jalani saja apa adanya.” “Aku tahu. Hanya saja aku merasa bersalah sampai hari ini.” “Lupakan.” Hening. Seruni meremas kedua tangannya. Dia seperti ingin bicara lebih banyak tetapi melihat wajah dingin Bagas, ia menjadi takut. “Baiklah, aku keluar dulu.” Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari bibirnya. Saat Seruni sudah pergi gantian Budi yang duduk di depan Bagas. “Wah kakak ipar kita yang cantik ngapain nyari kamu?” sinis Budi. “Kenapa?” “Hanya ingin tahu apakah dia sedang menggoda adik iparnya lagi atau tidak?” “Maksudmu?” Bagas menatap Budi tajam. “Hahaha. Lupakan. Bagaimana perkembangan pabrik dan perkebunannya?” 83 - Bai_Nara



“Aku masih berusaha.” Diam. Mereka sibuk dengan kegiatan masingmasing. Bagas dengan pekerjaannya. Budi dengan HPnya. Kring-kring. “Halo Sayang,” sapa Budi pada seseorang. “.......” “Baik, nanti aku datang.” “.......” “Oke Sayang. Miss you muah.” Budi mematikan sambungan teleponnya. “Cewek kamu?” “Iya. Kita baru jadian selama seminggu.” Bagas menarik napasnya pelan. “Kenapa kamu gak nyari istri aja, Bud?” Bagas memang tak pernah memanggil Budi dengan sebutan mas jika mereka sedang berdua. “Buat apa? Cuma bikin repot. Aku suka seperti ini, bebas.” “Kamu gak takut menanam benih dimana-mana? Bagaimana jika salah satu wanitamu itu hamil?” “Gak mungkinlah, aku selalu berhati-hati. Oke brother, aku pergi dulu. Selamat jadi kacungnya Eyang. Hahaha.” Budi pergi meninggalkan Bagas. Bagas kembali fokus dengan pekerjaannya. Tak lama kemudian Pak Gino salah satu pekerja senior di pabrik Atmaja, datang. “Den Bagas ini ada surat.” “Oh, makasih Pak Gino. Dari siapa?” “Gak tahu Den, kata satpam di depan ini sudah ada di kotak surat. Tapi memang gak ada alamat si pengirim Den.” “Ya sudah. Makasih ya Pak.” “Iya Den, saya permisi.” Rumah Atmaja - 84



Bagas membuka surat tersebut.



Sebentar lagi permainan dimulai Bagas Surya Atmaja. Bagas meremas surat itu dan mengumpat pelan. Ini sudah ketiga kalinya ia menerima surat kaleng berisi ancaman sejak semalam. Pagi tadi saat Nawang membuka pintu paviliun ia juga menemukan surat kaleng lagi. “Siapa pun kamu, aku akan menghadapi kamu,” lirih Bagas.



85 - Bai_Nara



15.



Anjing Gila H



ari ini ada sedikit masalah di perkebunan, mau tak mau Bagas harus turut menyelesaikan ditemani oleh Wanto. “Den Bagas kelihatan capek sekali?” tanya Wanto mengiringi langkah Bagas menuju ke mobil. “Iya To, Nawang sama istrimu, ‘kan?” “Iya Den, saya sudah minta Siti menemani Den Nawang. Bahkan Wisnu dan Wati ikut menemani. Mereka suka sama Den Nawang.” Bagas hanya tersenyum.



86



“Den Bagas pinter nyari istri. Saya dulu takut Den Bagas gak mau kawin gara-gara dikhianati Den Seruni. Tapi syukurlah gak terjadi.” “Saya juga gak nyangka To, ternyata rasa sakit itu sudah tidak ada.” Ya Bagas akui dulu dia sangat mencintai Seruni sampai susah move on darinya. Tapi entah kenapa, setelah kenal bahkan menikah dengan Nawang rasa cinta Bagas pada Seruni menguap begitu saja. Bahkan Bagas sering menertawakan dirinya kenapa terlalu hanyut akan cintanya dulu. Saat mobil mulai melaju dan mulai memasuki kawasan jalan yang dilewati hutan yang masih rimbun tiba-tiba mobil Bagas berhenti. “Kenapa, To?” “Mogok Den.” Bagas mengernyit, tak mungkin, harusnya mobilnya baik-baik saja. Mau tak mau mereka turun untuk mengecek apa penyebabnya. “Paku Den,” ucap Wanto ketika matanya tertuju pada paku besar yang menancap di ban belakang. “Siaga To, cepat hubungi siapa saja untuk menjemput kita.” “Baik Den.” Wanto segera menghubungi seseorang untuk membantu mereka. Sialnya sinyal susah dan mereka terjebak di jalan yang berada di tengah hutan. Dan jalan ini bukan jalan raya. Bagas mengamati sekitar, dia sudah siaga dengan segala kemungkinan. Terdengar gonggongan beberapa anjing hutan dari kejauhan. Suaranya semakin mendekat. “To, masuk mobil, cepat!” perintah Bagas. Mereka segera masuk ke mobil. Benar saja lima ekor anjing hutan beringas segera menuju ke arah mereka. Para anjing menggonggong di sekitar mobil, bahkan 87 - Bai_Nara



beberapa ada yang mengginggit dan mendorong badan mobil. “Den.” Wanto mulai panik. “Kita di dalam saja, jangan panik!” ucap Bagas. “Ini aneh, saya sering lewat sini bahkan sampai malam Den. Tapi gak pernah ketemu anjing hutan sebanyak ini.” Tentu saja tidak pernah karena semua anjing ini jelas dilepas oleh seseorang. Pikir Bagas. Cukup lama mereka terperangkap di dalam mobil hingga suara letusan senapan mengenai dua ekor anjing. Sehingga anjing yang lain memilih pergi menjauh. Setelah suara gonggongan anjing terdengar semakin jauh, Bagas segera keluar dan mencoba mencari tahu sosok yang berdiri di antara pepohonan dan memegang senapan. “Den jangan!” pinta Wanto. “Kamu siapa? Perlihatkan dirimu!” teriak Bagas. “Ckckck. Bagas Surya Atmaja. Kamu masih saja seperti dulu. Pemberani. Apa kamu tidak takut padaku dan senapan yang kubawa?” Suara itu tampak tak asing bagi Bagas. “Tunjukan dirimu!” teriak Bagas lagi. Orang itu menampakkan dirinya dan Bagas tercengang. “Genta.” “Hahaha. Kamu masih ingat aku, Gas,” ucap Genta dengan tawa renyah. “Kamu ...?” Bagas melihat dandanan Genta. “Aku polisi hutan sekarang. Kenapa? Kaget ya. Kamu pasti kaget, remaja berandalan kayak aku jadi polisi.” “Tentu aku kaget Ta, bagaimana kabarmu?” Mereka akhirnya bersalaman. Rumah Atmaja - 88



“Cukup baik. Kamu sendiri?” “Baik.” “Tersesat heh? Atau mobil mogok?” “Kena paku.” “Owh. Tunggulah di sini, aku akan memanggil rekanku yang lain, kebetulan ada mobil dinas. Kalau kamu mau ikut kami, tinggalkan saja mobilmu. Lagi pula gak akan ada montir tengah malam begini.” Bagas akhirnya ikut mobil bersama Genta sahabat SMA-nya. Di antara pepohonan terlihat seseorang yang tengah mengamati mobil mereka yang menjauh. “Sial, kenapa aparat mesum itu yang datang. Tunggu saja kalian semua. Terutama kamu Bagas dan kamu juga Gentabuana Wisesa,” ucap si pria misterius.



89 - Bai_Nara



16.



Serangan Pertama T



ak terasa sudah enam bulan Bagas berada di Banjarnegara. Kondisi Eyang kakung semakin membaik, tak dipungkiri semua berkat Nawang. Istrinya itu penuh perhatian menjaga dan merawat Eyangnya. Meski sindiran sinis masih selalu menerpa Bagas dan Nawang, mereka berdua kompak tutup telinga. “Gas.” “Iya Eyang.” Bagas menghampiri eyangnya yang tengah duduk di kursi roda.



90



“Kamu sudah berapa bulan nikahnya?” “Mau jalan tujuh bulan Eyang? Kenapa?” “Kamu gak pengin punya anak, Gas.” Bagas menarik napasnya dalam. “Ya kepengin Eyang. Tapi belum dikasih mau bagaimana lagi.” “Hehehe. Eyang doakan, anakmu nanti banyak ya, Gas. Dan akur.” “Amin Eyang.”



Bagas mengamati Nawang yang tengah mendorong kursi roda eyang kakungnya. Budi dan Bowo ikut serta. Tampaknya mereka sangat akrab dengan Nawang. Bahkan si playboy itu terlihat beberapa kali menggoda Nawang. Sedangkan Bowo tertawa lepas. Suatu hal yang baru dilihat oleh Bagas. Biasanya Bowo sangat pemalu dan introvert. “Istrimu mudah sekali akrab ya, bahkan Bowo yang pendiam kulihat nyaman ngobrol dengan Nawang. Padahal dengan Seruni saja dia tidak seakrab itu.” “Mungkin karena pembawaannya yang memang banyak omong,” sahut Bagas. “Benar. Kamu nampaknya cinta sama dia. Benarkan dugaanku.” Bagas tersenyum. “Tak akan ada lelaki yang mampu menolak pesonanya Mas Bisma.” “Hahaha. Kamu benar, terima kasih.” “Untuk?” “Karena mau melepas Seruni.”



91 - Bai_Nara



“Itu masa lalu. Mungkin memang sudah begini jalannya. Seruni jodoh Mas Bisma sedangkan jodohku adalah Nawang.” “Yah, kamu benar.” Lalu mereka mengobrol di teras belakang rumah. Dimana terdapat taman bunga yang cukup luas dengan sebuah paviliun kecil yang nyaman. Di paviliun itulah tempat tinggal Bagas dan Nawang. Dari dalam rumah, diam-diam Betty dan Binna mengamati interaksi mereka yang ada di luar. “Lihat Yu. Yu Binna sih terlalu baik, terlalu lemah. Jadi semuanya diambil alih sama Bagas. Apalagi istrinya, mampu memikat hati Bapak. Bahkan putraku dan putramu saja ikut-ikutan akrab sama dia.” “Wajarlah, karena Bagas punya kemampuan. Tapi gak mungkin Bapak ngasih semua sama Bagas. Tetep anak-anak kita punya andil dalam usaha Bapak.” Binna berusaha membesarkan hatinya sendiri. “Yu Binna yakin? Kita gak boleh diam saja Yu, pokoknya kita harus melakukan sesuatu sama mereka berdua. Jangan sampai kasih sayang Bapak hanya untuk mereka berdua.” “Memangnya kamu punya rencana apa?” “Yu Binna lihat saja nanti.” Tanpa mereka sadari Eyang putri mendengar semua perkataan kedua putrinya. Beliau perlahan menyibak gorden memperhatikan suami dan para cucunya. Mereka nampak bahagia, suaminya bahkan lebih banyak tertawa sekarang ini. Tapi satu hal yang membuatnya makin sedih, sang suami masih sangat dingin kepadanya. “Saya rindu njenengan Mas, rindu njenengan tersenyum sama saya. Saya tahu ini semua salah saya, akibat keegoisan saya. Tapi tak bisakah njenengan Rumah Atmaja - 92



memaafkan saya. Hampir 20 tahun Mas? Selama itu njenengan mendiamkan saya.”



Bagas baru saja keluar dari pabrik teh dan akan menuju mobil. Kondisinya sudah sore, banyak pekerja yang sudah kembali. Saat akan membuka pintu mobil, tiba-tiba sesuatu menubruknya. Guk guk guk. Gerrrr. Bagas diserang oleh sejenis anjing bulldog hitam. Si anjing terus menyerang Bagas tanpa ampun, Bagas berusaha melawan sekuat tenaga, berguling, meronta menghindari si anjing. Tapi rupanya si anjing memang sangat liar. “Den …! Tolong! Tolong ...,” teriak Wanto yang saat keluar menemukan Bagas sedang diserang seekor anjing. Dia mencari sesuatu untuk menolong Bagas. Dia menemukan sebilah kayu langsung dia pukulkan ke arah si anjing. Si anjing malah beralih menyerang Wanto. Kini Wanto yang sedang bergelut dengan si anjing bersenjatakan sebilah kayu. Meski terluka parah, Bagas segara bangkit mencari-cari sesuatu dan brak. Bagas membanting sebuah kursi kayu rusak yang ia temukan dekat dengan dirinya. Berulangkali dia hantamkan ke badan si anjing hingga si anjing terkapar tak berdaya. Bagas pun ikut ambruk. “Den! Ya Allah Den Bagas.” Wanto sangat khawatir melihat kondisi tuannya yang terluka parah terutama pada bagian tangan kirinya. Beberapa pegawai yang masih ada di kantor keluar ketika mendengar suara keributan di luar. 93 - Bai_Nara



“Bawa Den Bagas, Wanto. Kita harus bawa dia,” usul salah satu pegawai. “Tolong mobil, ayo kita bawa segera,” ucap Wanto. Sesampainya di klinik terdekat Bagas segera ditangani.



Prang. “Kenapa Nduk?” “Gak kenapa-kenapa Eyang. Tadi Nawang gak sengaja nyenggol gelasnya Eyang.” Nawang merasa resah, dia pernah merasakan hal ini saat kedua orang tua dan adiknya meninggal. Jangan bilang ada sesuatu yang buruk terjadi dengan Bagas. Karena jujur, Nawang sudah mulai mencintai suaminya sendiri. Hidup bersama hampir tujuh bulan, seatap bahkan seranjang membuat hubungan mereka kian mesra. Ditambah lagi hubungan suami istri yang rutin mereka lakukan. Meski Bagaslah yang selalu memulai, namun Nawang akan dengan sendirinya terlena dan membalas sama hangatnya. “Juragan!” Mbah Mamam datang tergopoh-gopoh. “Kenapa, Man?” “Den Bagas ... Den Bagas dibawa ke rumah sakit.” Baik Nawang dan Binawan terkejut. “Kenapa Mbah? Kok bisa?” tanya Nawang khawatir. “Tiba-tiba diserang anjing Den. Awalnya dibawa ke klinik setelah mendapat pertolongan pertama lalu dirujuk ke rumah sakit daerah.” “Ya sudah minta Budi atau Bowo yang nyopir untuk membawa kita semua. Ayo Nduk kita siap-siap.” Rumah Atmaja - 94



Nawang, Binawan dan Maman segera bersiap-siap. Bowo yang menyetir mobil, berangkat bersama kedua eyangnya, Nawang dan mbah Maman. Sementara Budi sedang pergi dan akan menyusul segera setelah urusannya selesai. Hanya tersisa Betty, Binna, Bisma dan Seruni di kediaman Atmaja. “Ini bukan ulahmu, kan Dik?” tanya Binna cemas. “Bukanlah Yu, tapi entah bagaimana itu anjing sudah membantu kita Yu, syukur lukanya parah kayak orang yang ada di berita itu. Bahkan mampus. Hahaha.” “Bulik!” bentak Bisma. “Kamu kenapa Bis? Harusnya kamu seneng Bagas itu mampus, kamu itu kan yang awalnya mengurus semua tapi gara-gara Bagas, semua kekayaan Atmaja malah dia yang ngurus.” “Cukup Bulik, kalau Bulik marah karena Bagas mengurus perusahaan harusnya Bulik ajari Bowo untuk bisa jadi orang. Bukan malah orang yang selalu bersembunyi di ketiak ibunya. Sudah umur 27 tahun tapi gak bisa apa-apa. Percuma ijazah ekonominya.” Bisma memutar roda kemudian bergerak menuju kamarnya. “Anakmu kenapa sih Yu? Memangnya ada yang salah dengan Bowo, toh Budi juga sama. Gak bisa bantubantu perkebunan dan pabrik Bapak juga.” Binna yang merasa tersinggung kemudian berucap, “Setidaknya Budi itu punya kerjaan sebagai pemilik rumah makan dan cafe di kota. Memang dia gak bisa ngurus pabrik dan kebun. Tapi cafenya sudah berkembang beda sama anakmu, memangnya dia ngapain? Cuma gambar, mending jadi lukisan dan laku dijual.” Binna memilih meninggalkan adiknya juga menyusul sang anak. 95 - Bai_Nara



“Hah. Dasar. Brengsek semua!” Betty masih mengumpat-umpat hingga kemudian pergi keluar entah kemana. Hanya tersisa Seruni yang terduduk lemas. Sungguh dia sangat khawatir tapi tak bisa berbuat apa-apa. Bagas bukan suaminya. Bagas, nama yang masih tersimpan dihatinya hingga sekarang. Nama yang selalu menggetarkan hatinya. Hidup dekat dengan Bagas selama hampir enam bulan ini membuat rasa cintanya semakin membuncah. Cemburu pun kerap singgah dihatinya. Saat dia mengintip dari balik tirai rumah utama dimana Nawang dan Bagas kerap duduk berdua sambil bercerita. Selalu dia menyalahkan dirinya karena dulu lebih memilih Bisma. Terbayang selalu setiap perlakuan Bagas pada dirinya. Bagas yang ringan tangan, Bagas yang perhatian, Bagas yang dulu mencintainya. Dulu sekali.



Rumah Atmaja - 96



17.



Riak-Riak M



ata Nawang berkaca-kaca melihat keadaan suaminya. Banyak gigitan pada tangan kirinya. Meski cukup parah tapi tidak sampai meremukkan tulang. “Hai,” sapa Nawang. “Hai,” jawab Bagas lemah. Bagas refleks mengusap pipi Nawang. “Aku pikir aku bakalan jadi janda.” “Gak akan kubiarkan, benihku saja belum ada yang tertanam di rahimmu.” “Dasar mesum.” “Hehehe. Aw.” “Sakit?” terlihat Nawang sangat khawatir. “Hem ....” Bagas memilih menggenggam jemari Nawang daripada menjawab pertanyaan Nawang. Nawang menemani Bagas hingga dia tertidur.



97



“Mas Bagas terlihat sayang banget sama Mbak Nawang.” Bowo yang dari tadi diam bersuara. “Kamu juga bisa kaya Bagas kok Wo. Tapi cari istri dulu.” Bowo menggelengkan kepalanya. “Gak akan ada wanita yang mau sama Bowo, Mbak.” “Kata siapa? Buka dong hati kamu.” “Entahlah Mbak.” Suara decitan pintu terbuka, Budi datang dan langsung duduk di sofa. “Mas dari mana?” tanya Bowo pada kakaknya. “Tadi ada sedikit masalah di cafe.” “Sudah beres Mas Budi?” Sekarang Nawang yang bertanya. “Sudah. Bagas tidur?” “Iya.” “Ya sudah kalian makan dulu sana, aku yang nungguin Bagas. Belum pada makan, ‘kan?” “Tapi Mas ....” “Kamu harus makan Nawang, jangan sampai kamu sakit. Temani Nawang, Wo.” “Ayok Mbak, biar Bowo temani.” Nawang akhirnya menyerah dan mengikuti saran Budi untuk makan di kantin. Hanya ada Bagas dan Budi di ruangan itu. Budi memilih menyandar pada sofa dan mengamati Bagas yang tertidur dengan tatapan tajamnya. “Ini belum seberapa Gas, baru permulaan. Aku harap kamu siap dengan gocangan selanjutnya.” Budi berucap sangat lirih dan menyeringai.



Rumah Atmaja - 98



Sementara itu, di dalam kamarnya Binawan tengah merenung tentang kejadian yang dialami oleh Bagas. Binawan mencoba mengingat lagi percakapannya dengan dokter yang menangani Bagas tadi siang. “Beruntung sekali, jaket yang dipakai cucu Anda berbahan sejenis kulit yang sangat tebal. Sehingga luka yang dialami tidak parah. Tapi tetap membutuhkan upaya penyembuhan yang cukup lama. Kami juga sudah memastikan dengan bantuan pihak polisi jika anjing itu tidak mengidap rabies. Dan kami juga sudah menyuntikkan antirabies serta sudah memastikan cucu Anda sehat dari rabies.” “Alhamdulillah, terima kasih dokter.” Lamunan Binawan terhenti, dia mengembuskan napas kasar lalu mulai berbicara sendiri. “Apa yang kamu sembunyikan dari eyang, Bagas? Apa kamu sudah tahu akan ada seperti ini jadi kamu selalu berjaga-jaga.” gumam Binawan. Tok. Tok. Tok. “Masuk.” “Ini Juragan, saya bawa anak saya Wanto.” “Duduk sini, To.” “Nggih Juragan.” Wanto duduk di atas karpet dekat juragan kakung. “Katakan apa yang kamu ketahui, semuanya.” Wanto menceritakan kronologis penyerangan si anjing tersebut serta pengalaman yang pernah mereka alami saat pulang kemalaman. Selain itu, Maman juga menceritakan bahwa Bagas pernah meminta kaca jendela depan paviliun untuk diganti karena pecah. Saat Maman bertanya kenapa jendelanya pecah. Bagas hanya menjawab karena terantuk kursi. “Rupanya ada yang berniat buruk pada cucuku. To, pokoknya kamu harus selalu dampingi Bagas. Dan 99 - Bai_Nara



kamu Man, awasi seluruh anggota keluargaku yang lain terutama istriku. Rupanya kematian Bagus tidak cukup mencairkan hatinya yang beku.” “Nggih Juragan,” sahut kedua bapak anak kompak. Dalam hatinya, Binawan mengutuk siapapun yang berniat menyakiti cucunya.



Betty menatap tajam putranya. Sedangkan Bowo hanya menunduk. “Mau kamu apa Bowo? ini sudah kesekian kalinya kamu menolak calon istri pilihan ibu. Kamu mau jadi bujangan terus hah?” “Bowo gak mau nikah Bu. Selamanya gak mau.” “Bowo. Kamu itu anak ibu satu-satunya. Kamu itu penerus ibu, kalau kamu nikah punya anak kamu bakalan jadi penerus keluarga dan kekayaan Atmaja.” “Bowo gak mau.” “Bowo. Harusnya kamu jadikan ini kesempatan emas, Bisma gak mungkin punya keturunan, Budi jelas gak bakalan menikah lagian kalau dia punya anak tak mungkin diakui sebagai darah Atmaja. Sedangkan Bagas kamu tahu dia juga belum punya anak dan bakalan ma ....” “Cukup Bu. Jangan bilang kalau ini ulah Ibu. Ibu jahat, jahat. Aku benci Ibu. Kalau Bowo boleh milih, Bowo gak mau jadi anak Ibu.” Bowo langsung pergi meninggalkan ibunya. “Bowo. Bowo. Agh!” Lihat saja, pokoknya semua kekayaan Atmaja akan menjadi milikku. Rumah Atmaja - 100



“Budi. Ibu mohon, menikahlah Nak. Ibu pengen punya cucu.” “Males Bu, Budi seneng hidup kayak gini bebas gak ada ikatan,” sahut Budi cuek. “Bud ... apa kamu gak mikirin perasaan Ibu saat Bapak selingkuh?” kini Bisma yang bersuara. “Mas mohon hentikan kelakuan kamu. Kamu sehat gak kayak mas. Apa kamu tahu, mas pengin banget punya anak. Tapi mas gak bisa.” Bisma mulai menangis. “Kalian itu sebenarnya pengen aku nikah itu biar seluruh harta Atmaja jatuh ke tangan kita, ‘kan?” “Budi. Jaga bicaramu!” Bisma tampak meradang. “Apa kamu pikir aku dan Ibu sehina itu hah?” “Bisma sudah cukup, Nak. Sudah. Terserah kamu Budi, kamu mau percaya dengan omongan kami atau tidak. Kami tak peduli. Kamu benar Nak, kalian anakku tentu aku berharap hidup kalian bahagia dengan harta dan juga keluarga yang sehat dan anak-anak yang sehat. Apa impian ibu salah?” Budi memilih memalingkan wajahnya dan tak menjawab. Karena ia tahu, disudut hatinya yang terdalam dia membenarkan perkataan ibunya.



101 - Bai_Nara



18.



Menanam Benih “K



ok bisa?” “Ya bisalah.” “Ruwet bener hidupmu. Aku pikir cuma masalah gagal move on.” “Memangnya kamu, Ky.” Kedua sahabat itu tengah menikmati secangkir kopi sambil memandang belahan jiwa masing-masing yang sedang bermain di ayunan bersama seorang bayi cantik berumur 4 bulan. “Putrimu cantik ya, Ky.” Bagas tersenyum melihat Ina putri Ricky.



102



Dua bulan sejak kejadian serangan anjing gila, Bagas dan Nawang memutuskan mengunjungi Ricky dan Lily di Wangon, Banyumas. “Kamu juga bisa punya kayak gitu kok, Gas.” Bagas menarik napasnya pelan. “Kenapa? Jangan bilang kalian belum ngapangapain. Soalnya melihat bagaimana kamu natap Nawang. Fix kamu sudah berhasil move on dan jatuh cinta sama istrimu itu. Jadi, gak mungkin kamu gak ngapa-ngapain dia.” “Kok tahu.” “Tahulah, kan aku lebih berpengalaman.” “Ckckck. Pasti kamu selalu bikin istrimu ronda malam.” “Jelaslah. Punya istri cantik kok dianggurin. Mubadzir tahu.” Kedua sahabat itu tertawa lebar. Bagas kemudian berubah murung lagi. “Apa masalahnya? Kalian sudah saling cinta dan menerima. Walau tanpa kata. Kenapa belum isi juga?” “Huft. Dia gak pernah mau aku ngeluarinnya di dalam.” Mata Ricky membulat. “Serius? Yah kurang asik dong.” “Banget, mau gimana lagi.” “Mungkin dia belum yakin sama kamu atau mungkin dengan perasaannya sendiri.” “Kurasa seperti itu. Entahlah aku juga gak tahu.” “Yakinkan dia dong, mumpung di sini ajak dia nginep di Baturaden kek atau Aston kek. Bulan madu.” “Ntar aku coba deh.” “Nah gitu, selamat mengarungi samudra cinta ya, Gas. Pastiin keluarinnya di dalam tuh. Hahaha.” Ricky 103 - Bai_Nara



masih menertawakan Bagas sedangkan Bagas mencebik kesal atas ulah jahil sahabatnya ini. Sementara itu, Nawang dan Lily tengah bermain di ayunan bersama Ina putri pasangan Ricky dan Lily. “Mbak Lily, anaknya cantik sekali.” “Panggil nama saja, Nawang. Toh kita seumuran.” “Baiklah.” Nawang asik bermain ciluk ba dengan Ina. Dia senang sekali pada bayi cantik ini. Pikir Nawang, wajah Ina seperti ayahnya tapi kulitnya seputih ibunya. “Ciluk ba ... ciluk ba ... Ina ... ba.” Lily dapat melihat sifat keibuan dalam diri Nawang. “Kamu sudah cocok loh buat punya sendiri.” “Eh, aku?” “Iya. Sudah cocok. Jangan ditunda. Anak itu rejeki. Anak itu perekat hubungan suami istri. Bukankah anak adalah tujuan hidup kita. Kita bekerja juga buat anak, ‘kan?” “Iya, kamu betul Ly. Hanya saja ... aku ....” “Kenapa?” “Mungkin Bagas sudah pernah cerita sama suamimu bagaimana kami bisa menikah. Hubungan kami tak seperti kalian. Kami ....” “Menurutku jodoh itu unik, Wang. Belum tentu kita berjodoh melalui cerita romansa yang memabukkan, banyak kok jodoh yang awalnya dari benci jadi cinta. Atau lewat perjodohan orang tua atau seperti kalian ini. Hehehe.” Nawang menyetujui pendapat Lily hanya saja entahlah. “Kamu belum yakin dengan perasaan kalian ya? Kalau begitu coba kamu rasakan saat kalian bersama apakah kamu nyaman sama dia, atau kamu rindu saat dia gak ada dan terutama cemburu. Kalau kamu sampai Rumah Atmaja - 104



cemburu melihat Bagas sedang bersama cewek lain. Fix, kamu itu sudah cinta sama suamimu. Aku sarankan kamu pergi honeymoon deh biar kalian saling mengeja rasa masing-masing.” Nawang merenungi perkataan Lily. Nawang memang selalu merasa nyaman saat bersama Bagas, rindu jika Bagas pulang larut malam. Dan tidak suka jika Seruni mencari kesempatan untuk ngobrol berdua dengan Bagas. Mungkinkah artinya dia cemburu? Pukul dua siang, Bagas dan Nawang berpamitan. *** “Kita mau kemana?” “Baturaden.” “Ngapain?” “Bulan madu. Aku sudah ijin sama Eyang kalau kita menginap di Rumah Ricky.” “Pembohong, orang kita gak nginep di sana.” “Sengaja biar gak ada yang tahu kita lagi dimana.” Nawang hanya menggelengkan kepalanya melihat ulah suaminya itu. Meskipun demikian ia pun merasa senang karena memang pemandangan di Baturaden sangat indah dan hawanya sejuk. “Ayok. Kita jalan-jalan dulu,” ajak Bagas. Mereka berjalan sambil bergandengan tangan. Udara Baturaden sangat sejuk. Masih terlihat beberapa pengunjung yang masih betah berlama-lama disana. “Kamu suka?” Nawang mengangguk lalu tersenyum manis. “Sayang kita ke sininya sudah sore, kalau saja masih pagi, aku akan mengajakmu ke pancuran tiga dan pancuran tujuh.” “Ya sudah kita menginap yang lama di sini oke.” “Oke.” 105 - Bai_Nara



Nawang membuka pintu kamar hotel yang mereka sewa. Nyaman dan romantis karena ada balkonnya. Dan dari sana mereka bisa menikmati panorama Baturaden yang sejuk. Nawang membuka pintu balkon dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. “Kamu senang?” Bagas memeluk Nawang dari belakang. “Iya.” “Bisakah malam ini aku memanjakanmu dan kamu memanjakanku.” “M-maksudnya?” Nawang sudah mulai mengelinjang karena Bagas sudah mulai bermain di lehernya. “Aku ingin menanam benihku di rahimmu. Bolehkah?” Bagas masih mengecupi leher sang istri. Nawang berpikir mungkin inilah saatnya dia memberikan kesempatan untuk dirinya dan Bagas. Sudah cukup lama Nawang menyiksa Bagas karena setiap pelepasannya, Nawang tak pernah mau dia mengeluarkan benihnya di dalam. Selalu diluar. Baiklah mungkin ini saatnya, bisik hati Nawang. “Bagaimana?” “Lakukanlah.” Bagas tersenyum. Dengan satu hentakan Bagas menggendong Nawang ala bridal style lalu membaringkannya di atas kasur. Bagas membelai lembut kepala Nawang kemudian mencium kening, kedua pipi, hidung, dagu dan berakhir di bibir Nawang. Rumah Atmaja - 106



Mulanya hanya ciuman mesra, namun lama kelamaan menjadi semakin panas dan saling menuntut. Keduanya hanyut dalam pusaran asmara yang menggelora. Mereka saling memagut, membelai, dan memeluk. Berbagi rasa dan kehangatan hingga puncak asmara yang menjadi ibadah halal keduanya berakhir. Bagas masih berada di atas tubuh Nawang dan memeluk erat tubuhnya. Hingga dirasa semua benihnya sudah tertanam di rahim sang istri, dia menggulirkan tubuhnya ke samping. Lalu menarik selimut ke arah tubuh telanjang mereka berdua. “Terima kasih,” bisik Bagas. Nawang tak menjawab, dirinya terlalu lelah dan terlalu bahagia dengan apa yang baru dia rasakan. Karena kelelahan mereka pun tertidur. Bagas memutuskan menginap di Baturaden selama tiga hari. Mereka benar-benar melakukan bulan madu di sini. Di pagi hari mereka akan menjelajahi objek di Baturaden seperti small world, the village, kebun raya, pancuran telu (tiga) hingga pancuran pitu (tujuh). Malamnya mereka akan makan malam romantis di pinggir jalan. Menikmati segala Jenis angkringan, nasi kucing, mendoan, Lamongan dan sebagainya. Mereka memang lebih suka makan di warung lesehan daripada di restoran. Kegiatan mereka akan ditutup dengan desahan menggelora di atas ranjang yang akan membuat siapa pun jadi iri karenanya.



107 - Bai_Nara



19.



Cucu Menantu “K



enapa? Ada yang aneh?” “Gak papa.” “Tapi kok mandenginnya gitu.” “Kamu cantik.” Blush. Pipi nawang memerah akibat gombalan Bagas. “Gombal.” “Hehehe. Beneran. Kamu cantik.”



108



Nawang pura-pura membuka kembali majalah untuk menutupi rasa malunya. Mereka sedang menikmati sore hari di teras paviliun. “Bagas,” panggil seseorang. Baik Bagas dan Nawang menoleh ke sumber suara. “Ada apa Runi?” “Mas Bisma panggil kamu.” “Oh. Aku nemuin Mas Bisma dulu ya,” pamit Bagas pada Nawang. Nawang hanya mengangguk kemudian mencium tangan suaminya. Bagas pun mengecup kening sang istri mesra. Kebiasaan baru bagi mereka semenjak melihat pasangan Ricky-Lily yang selalu melakukan hal itu ketika salah satu dari mereka harus pergi. Nawang memilih kembali pada majalahnya sedangkan Seruni duduk pada kursi yang tadi diduduki oleh Bagas. “Bagas selalu romantis ya? Dari dulu dia sangat perhatian dan romantis.” Mata Nawang melotot mendengar ucapan Seruni. Apa maksud kakak iparnya ini? “Ya begitulah,” jawab Nawang sambil mengamati raut muka Seruni. “Bagas itu suka cokelat, kalau makan gak pernah pilih-pilih tapi dia gak suka sayur kangkung katanya bikin ngantuk. Dia suka sekali warna hitam. Semua kaosnya dominan warna hitam dan dia itu pecinta kopi hitam.” “Oh ya?” “Masa kamu gak tahu?” Tentu Nawang tahu semua kesukaan Bagas dan warna kaos apa yang paling disukai Bagas. Hanya saja Nawang memang sengaja selalu membelikan kaos dengan warna cerah seperti maroon, navy, hijau, tosca. 109 - Bai_Nara



Dan pilihannya tak pernah salah karena Bagas terlihat semakin tampan. Masa bodo dia dengan pendapat Seruni. “Ada beberapa yang tahu sih tapi lainnya belum,” jawab Nawang cuek. “Kamu harusnya belajar untuk lebih memperhatikan secara detail yang disukai dan tidak disukai suamimu Nawang. Jangan sampai Bagas merasa kamu gak pernah memperhatikannya.” “Kenapa kok Mbak Seruni bisa perhatian sekali sama Bagas? Aneh. Kan Mbak Seruni itu cuma kakak ipar,” pancing Nawang. “Itu ....” “Orang yang mendengar Mbak bilang seperti itu akan merasa heran Mbak. Masa adik ipar sendiri lebih dikhawatirkan daripada suaminya sendiri kan aneh.” Seruni diam, dia bingung mau menjawab apa. “Seharusnya Mbak itu mikiran Mas Bisma. Bagaimana selalu membuat Mas Bisma nyaman dan tak merasa sedih akan keadaannya. Bukan malah lebih mengkhawatirkan adik ipar yang sudah jelas punya istri. Lagian Bagas gak pernah komplain kok mau pake kaos apapun. Masakanku juga tak pernah dikomplain kok sama dia. Jadi masalahnya apa? Jangan bilang kalau Mbak Seruni yang pengin nyiapin itu semua alias pengen jadi istri Bagas,” skakmatt Nawang. Muka Seruni memerah menahan marah dan malu. Istri Bagas ini telak menyindirnya. Ketika dia akan membalas perkataan Nawang. Bowo datang dengan wajah ceria. “Mbak Nawang lihat apa yang Bowo ba ... wa.” Bowo yang tadinya sangat bahagia mendadak diam dan mukanya pucat. Aneh. Dan itu tertangkap oleh mata Nawang. Rumah Atmaja - 110



Kenapa Bowo selalu nampak ketakutan jika berhadapan dengan Mbak Seruni? batin Nawang. “Ehm. Bo-wo Bo-wo pergi dulu. Ta-kut mengga-nggu kalian. P-permisi.” Bowo langsung pergi begitu saja. “Aku pergi.” Seruni ikut bangkit. Dia berjalan tergesa di belakang Bowo yang sudah tak terlihat. Nawang mengerutkan keningnya. Ada apa dengan mereka? Bukan hanya Bowo, Budi pun selalu bersikap aneh jika ada Seruni. Bedanya jika Bowo seperti ketakutan sedangkan Budi nadanya penuh rasa marah dan kebencian pada Seruni. Tapi mengapa? Ah keluarga suaminya benar-benar membingungkan. Penuh misteri. Asik melamun, Nawang tak sadar jika Mbok Narti salah satu pembantu eyangnya datang. “Permisi Den dipanggil Juragan Putri.” “Hah? Eyang putri manggil saya?” Nawang tak percaya. “Iya Den. Mari ikut saya.” Mau tak mau Nawang mengikuti langkah Mbok Narti menuju rumah utama. Dia diarahkan masuk ke kamar eyang putri. “Duduk!” perintah Bestari dingin. Nawang segera duduk mengikuti perintah Bestari. Bestari menatapnya tajam. “Kamu dulu bekerja sebagai penyanyi di club malam?” Nawang kaget karena Bestari tahu riwayat hidupnya. “Iya.” “Berapa tarif kamu hah?” “Maksud Eyang?” “Tinggalkan Bagas, aku akan membayarmu berapa pun yang kamu minta.” Nawang menatap sinis ke arah Bestari. 111 - Bai_Nara



“Hahaha.” “Kenapa kamu tertawa?” “Sikap Eyang Putri aneh. Padahal Bagas bukan cucu yang Eyang inginkan, kenapa Eyang tiba-tiba memikirkan dengan siapa Bagas menikah? Justru Eyang harusnya senang karena Bagas dapat istri kayak saya.” “Kamu ...!” Bestari berteriak marah. Apa yang diucapkan Nawang menohok hatinya. Iya, Bagas memang bukan cucu yang ia inginkan karena terlahir dari wanita biasa bukan keturunan ningrat. “Kenapa Eyang? Eyang gak bisa jawab, ‘kan?” “Dalam garis keturunan Atmaja hanya seorang berdarah ningrat yang pantas diakui sebagai keturunan Atmaja. Kamu dan Bagas gak pantas. Lebih baik kamu jauhi Bagas. Kamu akan aku bayar berapapun.” “Maaf Eyang, tapi Nawang akan selalu di sisi Bagas. Terserah Eyang mau menganggap aku matre atau mengincar harta Atmaja terserah toh saya hanya memakai uang yang Bagas kasih kok. Eyang bisa lihat isi dompet Nawang kalau gak percaya.” “Eyang tidak percaya. Kamu pasti mengincar harta kami.” “Ckckck. Kalau dugaan Eyang kepadaku seperti ini bagaimana dengan Mbak Seruni? Padahal posisi kami sama loh. Sama-sama cucu menantu Eyang. Apalagi melihat kondisi Mas Bisma. Eyang ngusir Mbak Seruni juga gak?” ucap Nawang berani. “Kamu ...!” Bestari sungguh kesal. Rupanya istri Bagas ini sangat berbeda dengan Cempaka. Cempaka mudah diintimidasi. Tapi Nawang, justru dia malah balik mengintimidasi. Perkataannya tentang Seruni memRumah Atmaja - 112



buatnya mau tak mau mengakui bahwa Seruni justru lebih parah dari Nawang. Saat tawaran menikah dengan Bisma dulu, Seruni dan keluarganya mendapat sebidang sawah yang cukup luas. Sedangkan ketika Bisma kecelakaan, demi menjaga perasaan Bisma dan tidak ditinggalkan oleh Seruni, terpaksa Bestari memberikan kompensasi yang sangat tinggi. Lahan yang ia miliki di Wonosobo warisan orang tuanya harus ia relakan untuk dijual demi kompensasi agar Seruni tetap di sini. Nawang tersenyum melihat raut muka Bestari. Dia sudah mendengar semua cerita tentang Seruni dan Bisma dari Binawan. Bahkan Binawan sudah mewantiwanginya agar menjaga Bagas dari Seruni. Karena Binawan sangat yakin Seruni pasti akan mencoba menggoda Bagas. Karena itulah baik Seruni maupun eyang kakungnya sudah bersekongkol agar menjauhkan mereka. Seruni yang dulu memegang keuangan pabrik sudah dialihkan kepada orang lain. Sehingga intensitas pertemuan mereka jarang. Sedangkan saat di rumah, tugas Nawanglah agar Bagas selalu betah bersamanya. Karena itu Nawang berusaha menyenangkan suaminya baik untuk masalah sandang, pangan bahkan ranjang. Nah, untuk urusan ranjang bukan hanya Bagas saja yang ketagihan. Nawang pun sama, dia juga terbius dengan keromantisan Bagas saat di ranjang. Mereka seperti bara api yang saling membakar jika percikan api gairah sudah tersulut. Oleh karena itu, dia tak mau suaminya berpaling dan membagi kehangatannya untuk wanita lain. Apalagi kalau itu Seruni. Tak boleh! “Kok diam Eyang?” Eyang putri mendengkus gusar, ia mati kutu. 113 - Bai_Nara



“Eyang mulai menyayangi Bagas ya? Makanya gak rela Bagas nikah sama Nawang?” “J-jangan ngawur kamu! Aku hanya mempertahankan Bagas agar masalah di sini teratasi. Jika sudah selesai, Bagas pasti akan Eyang usir.” “Oooo. Ya sudah Eyang. Nawang di sini saja sampai masalah pabrik dan kebun selesai terus Eyang ngusir Bagas. Kalau Bagas diusir jelas Nawang juga diusir, ‘kan?” Kata Nawang santai. “Kamu ... cukup! Keluar sana!” “Baik Eyang. Nawang pamit ya.” Nawang melangkahkan kakinya keluar dari kamar Bestari. Dia baru ingat kalau dia sudah berjanji melihat lukisan Bowo. Jadi dia bermaksud ke galeri milik Bowo. Nawang berjalan melewati lorong dan menuju ruangan paling pojok yang nampak sepi. Saat akan mengetuk pintu Nawang mendengar suara gaduh dan erangan. Nawang kaget, dia kemudian mengintip lewat sela-sela pintu, terlihat Bowo sedang bercumbu mesra dengan seorang wanita. Sayang dia tak tahu siapa wanita itu karena terhalang tirai. Astaga! Nawang memilih pergi. Dia tak mau cari masalah. Sekali lagi Nawang begidik ngeri melihat kelakuan dua sepupu Bagas. Sebulan pertama Nawang shock melihat Budi sedang asik grepe-grepe Juminten salah satu pembantu eyangnya yang masih gadis, eh single maksudnya. Dia tidak yakin Juminten masih gadis. Bulan kedua dia dibuat geleng-geleng kepala melihat Budi gonta- ganti jalan sama cewek dan dilihat dari cara berpakaiannya jelas bukan wanita baik-baik. Dan sekarang Bowo si introvert. Tapi dengan siapa? Ya Tuhan, semoga Bagas tidak seperti mereka. Karena terlalu banyak berasumsi Nawang kurang berhati-hati dan bruk! Rumah Atmaja - 114



“Maaf Den. Juminten gak sengaja.” Nawang menubruk Juminten yang menatap Nawang malu-malu. Nawang kaget melihat tanda cinta di leher Juminten. Matanya melotot dan mulutnya melongo. Tunggu! Juminten datang dari arah .... Hah … mungkinkah? Nawang menggelengkan kepalanya. Jadi Juminten sudah menjadi piala bergilir rupanya. “P-permisi Den.” Juminten berlalu dari hadapan Nawang dengan muka memerah. Nawang kaget karena ada sentuhan pada bahunya. Bagas yang baru keluar dari ruang perpus nampak bingung melihat kelakuan istrinya. “Kamu kenapa? Kayak orang melihat hantu saja.” “Hehehe. Sudah selesai Mas.” “Sudah ayok kembali. Eh, kamu tadi panggil aku apa?” Bagas memincingkan alisnya. “M-mas. Kan kamu lebih tua 3 tahun dariku,” ucap Nawang sambil memainkan jarinya di perut Bagas. “Hahaha. Ayok kita balik ke paviliun sekarang. Aku sudah lapar.” “Ih! Aku gak masak ya. Mas Bagas bilang mau ngajak aku makan mie ayam di perempatan.” “Bukan lapar itu.” “Terus?” “Mas itu lapar pengin makan kamu,” kedip Bagas. “Ish ... Mas ya.” Nawang mencubit mesra perut Bagas. Mereka tertawa-tawa dengan bahagia lalu berjalan menuju paviliun. Aksi pasangan halal itu tak lepas dari pengamatan dua pasang mata sepuh. “Kalau saja dulu kamu tidak egois. Pasti hidup kita selama 30 tahun ini tak akan penuh dengan kata 115 - Bai_Nara



penyesalan. Kamu memang tak pernah berubah, baik di masa mudamu dulu hingga sekarang. Kadang aku berpikir kenapa aku harus berjodoh dan bertahan denganmu.” Eyang kakung mendorong kursi rodanya menuju ke kamarnya. Eyang putri hanya menatap nanar, hati kecilnya mengaku kalau semua adalah salahnya. Tapi sisi egonya lebih mendominasi.



Rumah Atmaja - 116



20. Kecemburuan Seruni B



agas dan Nawang tengah menikmati mie ayam yang cukup terkenal di daerah Kalibening. Walaupun cuma lesehan dan di pinggir jalan tapi rupanya pengunjungnya banyak. “Suka?” “Iya.” “Mas.” “Hem.” “Boleh minta lagi?” “Hah? Kamu masih lapar?” Nawang hanya mengangguk. “Hahaha. Tumben biasanya jaim mau makan banyak.”



117



“Ish. Mas Bagas. Orang Nawang masih lapar juga.” Nawang cemberut dan mengerucutkan bibirnya. “Gak usah manyun gitu. Tambah cantik tahu. Iya ini aku pesenin lagi.” Nawang tersenyum senang. Matanya tampak berbinar ketika satu porsi mie ayam datang lagi. Nawang langsung melahapnya. Bagas tersenyum melihat tingkah sang istri. Puas menyantap mie ayam, mereka jalan-jalan di alun-alun kecamatan. Walaupun tak sebesar dan seramai di Pontianak tapi cukup menyenangkan. “Sayang gak ada mall ya Mas. Adanya pasar malam.” “Ya mau bagaimana lagi. Kan cuma kota kecamatan ya kayak gini. Mau ke Purwokerto?” ajak Bagas. “Mau Mas.” “Hari minggu ya?” “Oke.” Mereka menikmati pertunjukkan kesenian berupa kentongan. Bagas dan Nawang benar-benar menikmati kencannya. Mereka tak menyadari jika dari tadi ada sepasang mata yang selalu mengawasi gerak-gerik mereka. “Mereka serasi ya?” Komentar dari seorang wanita berpakaian kurang bahan yang baru saja datang dan membawa dua gelas cup kopi. “Iya.” “Ganteng. Ternyata semua cowok dalam keluargamu ganteng-ganteng. Pantes kalau ....” “Stop Marisa. Jangan sebut dia. Jijik aku sama dia.” “Hahaha. Sejak kapan seorang Budi yang terkenal playboy dan suka gonta ganti cewek jadi begini hah? Kamu cinta sama dia ya?” “Gak. Aku cuma jijik aja,” jawab Budi. Rumah Atmaja - 118



“Hahaha. Kamu gak pengin nyoba merayu istri sepupumu itu? Cantik loh. Coba aja ajak ke ranjang kamu. Pasti dia bakalan kayak ....” “Stop Marisa. Aku bilang sekali lagi jangan sebut namanya.” Budi memilih meninggalkan Marisa dan menuju mobilnya. “Dih. Ngambek.” Mau tak mau Marisa mengikuti langkah sahabatnya itu.



“Seruni.” Bagas sangat kaget karena tiba-tiba Seruni ada di dalam paviliun dengan kondisi dia hanya memakai celana kolor dan bagian atas tubuhnya tak memakai apapun selain handuk yang melingkari lehernya. Bagas baru keluar dari kamar mandi dan mengira hanya ada Nawang. “Sorry Gas. Mas Bisma manggil kamu. Aku tadi panggil-panggil gak ada yang nyahut jadi aku masuk.” “Ya udah kamu keluar dulu. Nanti aku nyusul.” Seruni mengikuti perintah Bagas. Dalam hati dia mengutuk dirinya sendiri. Bagas benar-benar berubah, bukan hanya tambah dewasa, mapan tapi bentuk fisiknya juga semakin gagah. Andai saja dulu dia memilih Bagas pasti sekarang yang menikmati tubuh hangat Bagas adalah dirinya bukan Nawang. “Ckckck. Tebar pesona rupanya,” sinis Budi. “Jangan mengajakku bertengkar Mas Budi.” “Hahaha. Bukan aku tapi kamu yang sering ngajak aku bertengkar, kalau kamu masih ingat,” ucap Budi sinis. 119 - Bai_Nara



“Sampai kapan kamu akan menyalahkanku hah? Belum puas kamu hah?” “Sampai aku atau kamu yang mati,” ucap Budi lalu melangkah meninggalkan Seruni. Seruni berkaca-kaca menatap nanar punggung Budi, sedangkan Nawang yang tengah membawa wedang jahe buatannya bersama Mbok Narti untuk Bagas memilih bersembunyi diantara rimbunan bunga sepatu karena tak ingin terpergok tengah menguping. Nawang baru menegakkan tubuhnya kembali setelah Seruni tidak ada. “Hadeh. Para cucu dan cucu menantu di keluarga ini sangat aneh. Eh, aku sama Bagas ikutan aneh dong. Iya juga sih, kita juga pasangan aneh.” Nawang berbicara pada dirinya sendiri.



Bagas dan Nawang masih bergelung malas di atas ranjang. Kedua kaki mereka saling membelit. Bahkan Bagas masih asik bermain di tubuh bagian atas sang istri. “Mas.” “Hem.” “Mas.” “Apa?” “Masssss.” Bagas tak menjawab sebagai gantinya dia hanya membungkam bibir sang istri dan menindihnya. Kemudian melanjutkan aktivitas asmara mereka kembali.



Rumah Atmaja - 120



Pagi harinya di meja makan, seluruh anggota keluarga Atmaja berkumpul untuk sarapan. “Gas, siang ini kamu sama Budi ke Wonosobo ya? Ada sedikit kendala di perkebunan kita yang ada di sana. Eyang minta kalian ke sana buat mengecek.” “Kenapa Budi harus ikut Eyang? Males.” “Kamu gak perlu ikut ngurusin cukup nemenin Bagas dan biar kamu ada kerjaan. Sepet eyang lihat kamu dolan terus. Sekali-kali dolannya jauh dikitlah biar eyang gak sepet lihat temen cewek-cewek kamu,” kelakar Eyang. “Hahaha. Eyang. Budi ini banyak fansnya tahu. Kan Budi ganteng.” “Iyalah semua cucu eyang ganteng.” “Karena gak ada cucu ceweknya.” Kompak Nawang, Budi, bahkan Bowo. Terdengar gelak tawa di seluruh ruangan. Makan bersama yang biasanya sepi dan terasa dingin sekarang menjadi penuh canda dan tawa. Budi yang jarang ikut makan sekarang tak pernah absen. Bowo yang biasanya pendiam pun sekarang turut menyumbang bahan canda tawa. “Eyang, boleh Bowo ikut?” “Ikutlah, biar kamu gak hanya di rumah.” “Makasih Eyang.” “Nawang. Kamu mau nginep di kamar Bagas dulu atau ditemani istrinya Wanto selama Bagas gak di sini.” “Di kamarnya Bagas saja, Eyang. Kasihan Wanto kalau istrinya nemenin Nawang selama tiga hari.” “Baiklah.” 121 - Bai_Nara



Tak banyak obrolan lagi, semua orang fokus dengan makanannya.



“Masuklah.” “Ini kamar kamu, Mas?” “Iya, dulunya.” “Aku mau tak obrak abrik ah nanti pas gak ada kamu.” “Hahaha. Boleh. Tapi satu hal yang aku minta sama kamu, jika kamu menemukan sesuatu yang berhubungan denganku dan Seruni jangan cemburu ya. Dia masa lalu mas.” Bagas membelai lembut rambut sang istri sesekali mengecup mesra rambutnya. “Tergantung.” “Tergantung apa?” “Tergantung yang Nawang temukan nanti, kalau foto kalian lagi mesra-mesraan aku bakar sekalian.” “Hahaha. Tenang. Kamu yang pertama kok untuk semuanya.” “M-maksudnya?” “Ini.” Bagas membelai lembut bibir Nawang. “Ini milik wanita yang pertama kali kucium.” Bagas mencium mesra sang istri, kemudian melumatnya. Mereka berpagutan cukup lama. Hingga Bagas mengakhirinya karena takut kebablasan, sebentar lagi dia harus ke Wonosobo. “Kok bisa?” “Bisalah.” “Kupikir Mas udah biasa gitu-gituan sama cewek lain. Gak kayak aku walau kerja di club tapi berusaha Rumah Atmaja - 122



menjaga hartaku dengan baik. Kupikir hanya cewek saja yang bisa.” “Cowok juga bisa cantik,” ucap Bagas sambil mencubit hidung sang istri. “Massss ....” “Hahaha.” Bagas asik menjahili sang istri sedangkan Nawang sibuk merajuk. Hingga mereka tak menyadari ada tatapan kecemburuan yang begitu kentara dari Seruni. Seruni penasaran karena mendengar suara di dalam kamar lama Bagas. Karena pintunya sedikit terbuka, dia bisa melihat kedua sejoli itu bercanda dan tertawa. Bahkan ia melihat bagaimana mesranya Bagas mencium Nawang. Dia cemburu, Bagas dulu tak pernah menciumnya. Hanya pegangan tangan, itupun terjadi saat perpisahan mereka sebelum Seruni menikah dengan Bisma.



123 - Bai_Nara



21. Konfrontasi Dua Cucu Menantu D



ua hari dua malam Bagas meninggalkan Nawang, Nawang melewati hari-harinya di rumah utama. Di sana dia harus menghadapi perlakuan dingin Bestari, perkataan sinis Betty, tutur kata manis Binna dan konfrontasi dengan Seruni.



124



Konfrontasi pertama terjadi saat Seruni mengatakan bahwa dia akan mengikuti acara reuni teman kampusnya di Purwokerto. “Runi mau menghadiri reuni temen-temen kuliah Runi, Eyang. Runi mau minta ijin,” ucap Seruni saat sarapan pagi. “Iya,” sahut Binawan pendek. “Jangan mampir kemana-mana Runi, kasihan Bisma kalau kamu tinggal kelamaan,” imbuh Bestari. “Iya Eyang.” “Oh iya, Nawang dulu kuliah apa? Mbak dulu ngambil Pendidikan Bahasa Inggris.” Runi mengucapnya dengan nada kalem tapi terkesan mengejek. “Nawang cuma lulus Kejar Paket C Mbak,” sahut Nawang kalem aslinya mangkel. “Oh ya? Ya ampun Bagas kok seleranya rendah banget,” sahut Betty. “Betty!” hardik Binawan. Betty mendengus kesal karena hardikan ayahnya, sedangkan Seruni mengulum senyum tipis. Dia merasa senang Nawang dihina karena pendidikannya. “Gak papa Eyang, soalnya Nawang memang lebih mikir nyari uang buat makan daripada sekolah. Lagian kata emak saya dulu, perempuan itu walau sekolah tinggi-tinggi pun tugasnya cuma tiga Eyang kalau sudah nikah.” “Apa itu?” “Masak, mancak (dandan) dan manak (melahirkan). Waktu itu sih Nawang anggap angin lalu. Nah, habis nikah sama mas Bagas baru deh Nawang sadar omongan emak Nawang bener. Kayaknya mau lulusan Paket C atau sarjana ya tugas wanita paling utama di rumah ya tadi. Kalau urusan masak sama mancak, 125 - Bai_Nara



Nawang udah pinter. Sayang urusan manak, Nawang belum dikasih sama Allah.” Nawang menyahut kalem namun menyindir balik Seruni yang hanya bisa mancak tapi gak bisa masak. “Wanita Jawa yang hebat memang harusnya seperti itu. Percuma pendidikannya tinggi tapi gak bisa masak, sama manak. Bisanya cuma mancak.” Bestari menyahut ketus. Rupanya tidak sadar ucapannya justru menyindir cucu menantu kebanggaannya. Hening. Semua orang memilih menyantap makanannya, Seruni menahan marah karena justru dia dihina sendiri oleh Bestari. Rupanya konfrontasi akibat membahas pendidikan Nawang menjadi pemicu perdebatan sengit lainnya. Akan tetapi bukan Nawang namanya kalau dia mengalah tanpa melawan. “Dimakan yang banyak Nawang, jangan sampai Bagas mengira kami tak memberimu makan,” komentar Bina dengan ramah seperti biasa. “Iya Budhe.” “Mungkin Nawang mau diet Ibu,” celetuk Seruni. Seruni menatap sinis Nawang, tentu dia ingin mengatakan kalau Nawang gemuk. Memang Nawang merasa napsu makannya satu bulan ini sangat luar biasa sehingga pipinya semakin cubby dan tubuhnya semakin berisi. Sekarang pun dia jarang berolahraga kecuali olahraga malam dengan Bagas. “Kamu diet Nawang?” tanya Binawan. “Enggak Eyang cuma maaf ini saya salah ambil lauk, ayam kecapnya keasinan makanya napsu makan Nawang jadi berkurang,” balas Nawang, dia tahu makanan ini masakan siapa dan memang keasinan. “Benarkah?” Binawan kemudian mencicipinya dan begidig. Rumah Atmaja - 126



“Iya keasinan, Juminten?!” teriak Binawan. “Nggih juragan.” “Kamu kok bisa masak ayam kecapnya keasinan?” “Mohon maaf Juragan tapi bukan Juminten yang masak, Den Seruni yang masak,” jawab Juminten. Hihihi. Rasakan! batin Nawang. Dia tadi sengaja menambahkan banyak garam di masakan Seruni tanpa ada satupun yang tahu. Nawang memang sengaja mengerjai Seruni gara-gara perkataannya yang menghina Nawang yang hanya lulusan Paket C. “Oh. Ya sudah yang penting masih bisa dimakan.” Wajah Seruni merah menahan malu. Dia memang jarang memasak, tapi karena setiap orang memuji masakan Nawang kemarin, sehingga hari ini dia bermaksud membuat semua orang terpesona akan masakannya. Tapi ternyata justru malah sebaliknya. Pantas dari tadi tidak ada yang menyentuh ayam kecapnya. Justru pecak cimongkak bikinan Nawang yang ludes tak bersisa.



“Aduh. Hati-hati Nawang.” Seruni berpura-pura jatuh saat bersenggolan dengan Nawang di pintu depan. “Nawang, kamu itu bisa gak sih gak bikin ulah. Seruni. Kamu gak papa, ‘kan?” tanya Bestari khawatir. “Enggak Eyang. Mungkin juga tadi salah Seruni yang tidak fokus.” “Halah, Nawang itu memang sembrono kok. Kemarin saja dia memecahkan vas kesayangan eyang yang eyang beli di Beijing,” sungut Bestari. “Sudahlah Eyang, Seruni gak apa-apa.” Nawang hanya menatap datar keduanya. 127 - Bai_Nara



Cih, dasar wanita ular. Awas kamu ya, lihat saja pembalasanku, batin Nawang.



“Aaaaaaa.” Suara jeritan terjadi di tengah kerumunan yang sedang mengadakan arisan. Seekor cicak masuk ke baju Seruni dan membuat dia bergoyang tak karuan dan membuat seisi ruangan tertawa. Seruni bahkan tak sengaja menyingap roknya. Sungguh ini sangat memalukan. Sementara di dalam kamar, sang pembuat onar tengah tertawa cekikikan. Dia sengaja menggunakan lem menaruh cicak pingsan karena sengaja disemprot memakai obat nyamuk pada gaun Seruni tanpa si korban tahu. Jika lem itu terputus dan cicaknya sadar ya sudah dapat dipastikan cicaknya jadi tak tahu malu alias jalan-jalan.



Rumah Atmaja - 128



22. Ngidam Cantik Ala Nawang “I



ni cucu menantu saya yang kedua, istrinya Bagas.” Binawan mengenalkan Nawang pada saudara sepupunya. “Loh Bagas yang anaknya Bagus to Mas. Wah cantik.” Puji Eyang Sundari sepupu Binawan. Pembawaannya kalem dan ningrat sekali.



129



“Kamu sudah isi Nduk?” tanyanya. “Minta doanya Eyang?” “Berapa lama nikahnya?” “Sepuluh bulan.” “Kamu yakin Nduk, lagi gak isi ini?” “Maksud Eyang?” “Ini perutmu kok beda? Yakin belum isi?” “Eh ... itu?” Nawang mengingat-ingat kalau dua bulan ini dia sudah tidak menstruasi. Mata Nawang melotot, mungkinkah? Dia memandang kepada Eyang Kakungnya dan Eyang Sundari. “Kita telepon Bu Titik bidan desa.” Binawan meminta Maman memanggil Bidan Titik. Dan setelah memeriksa Nawang, Bidan Titik keluar dengan wajah semringah. “Selamat Juragan Binawan, cucunya hamil, perkiraan saya masuk sepuluh minggu. Kayaknya yang hamil gak sadar ini.” Nawang hanya bisa meringis menahan malu. Binawan bahagia dan menyuruh Nawang untuk beristirahat. Sementara dia dan Bidan Titik menuju ke ruang tengah. Bidan Titik pamit dan berpapasan dengan ketiga cucu Binawan di pintu depan. Mereka saling menganggukan wajah. Bagas, Budi dan Bowo melangkah ke ruang tengah. Mereka kaget karena semua orang sedang berkumpul termasuk Sundari. “Loh kok pada ngumpul di sini. Ada apa ini?” tanya Budi. “Gas, sana temui istrimu!” perintah Binawan. Bagas mengernyit apalagi teringat tadi berpapasan dengan seorang wanita yang mungkin dokter dan habis memeriksa salah satu anggota keluarganya. Tunggu, dia baru keluar dari kamarnya? Apa Nawang sakit? Rumah Atmaja - 130



“Nawang sakit Eyang?” tanya Bagas. “Enggak. Sudah sana masuk ke kamarmu!” sahut Binawan. Bagas memasuki kamarnya, terlihat Nawang yang tengah berkaca sambil memegang perutnya. Tingkahnya aneh menurut Bagas. “Ekhem.” Nawang menoleh. “Mas, baru pulang.” Nawang langsung mencium tangan Bagas, Bagas mengecup sayang keningnya. Setelah itu Nawang memeluk manja suaminya. “Kok tumben manja.” “Pengen aja,” jawab Nawang centil. “Kamu sakit?” “Enggak.” “Kok tadi ada dokter yang ke kamar kita?” “Bukan dokter.” “Bukan dokter kok bawa stetoskop. Terus apa?” “Bidan.” “Oh, bidan.” Bagas kemudian membuka kancing kemejanya. Tunggu! Bidan? “Bidan?” tanya Bagas. Nawang memandang geli pada suaminya. “Iya, B.I.D.A.N!” “Bukannya bidan yang biasa memeriksa ibu hamil dan melahirkan anak ya?” “Iya.” “Trus ... kenapa?” Bagas diam, kemudian matanya membulat. “Kamu hamil?” Nawang menyerahkan hasil tespecknya.



131 - Bai_Nara



“Kamu hamil?” Bagas langsung menghambur ke arah istrinya dan langsung menciumi seluruh wajah sang istri. “Mas ... geli.” Nawang kegelian karena ulah Bagas. Bagas memeluk Nawang dengan penuh kasih sayang lalu menunduk dan mengecup perut sang istri. “Baik-baik ya Nak, sehat-sehat di sana. Gak boleh rewel ya. Ada kami yang bakalan jagain kamu.” Nawang begitu bahagia karena perlakuan Bagas. Bagas pun begitu bahagia. Tak percuma dia membawa Nawang honeymoon.



“Nawang hamil Mbakyu. Hal ini bisa membahayakan posisi kita.” “Lalu kamu maunya bagaimana?” “Kita singkirkan saja mereka, Mbakyu. Semuanya termasuk Ba—” “Cukup Betty, bagaimanapun Bapak adalah ayah kita. Beliau yang selalu membantu kita. Ingat saat Mas Rendra memilih selingkuh, ingat saat Wawan memilih jadi pengangguran. Kalau bukan Bapak siapa lagi yang mau memberi tumpangan pada kita,” ucap Binna penuh amarah. “Kalau begitu tidak masalah kalau yang lain disingkirkan kan Mbak.” “Ma-maksud ka-kamu apa?” Binna sungguh sangat kaget sekaligus takut. Katakata Betty membuat bulu kuduknya berdiri. Apa maksudnya? Apa Betty merencanakan sesuatu yang jahat. Rumah Atmaja - 132



“Aku sudah bilang, ‘kan? Kamu boleh meninggalkanku. Aku cacat, aku bahkan tak bisa memberimu nafkah lahir dan batin.” Bisma mengucapkan kata-kata itu dengan hati bagai disayat sembilu. “Memangnya jika kita pisah, akan mengembalikan tujuh tahun waktuku yang sudah berlalu,” sinis Seruni. “Tidak. Tapi setidaknya waktu tujuh tahun penuh dengan kompensasi yang begitu menguntungkan untukmu dan untuk kehidupan keluargamu.” Bisma mengucapnya pelan tapi terasa sembilu di telinga Seruni. Seruni memilih memunggungi Bisma. Dalam diam dia menangis. Iya kompensasi yang menggiurkan namun semua uang yang didapatkan oleh keluarganya sebagai kompensasi karena Seruni menikah dengan Bisma telah hilang tak bersisa. Semua ini karena ketamakan dan keserakahan kedua orang tuanya. Berharap dapat melipat gandakan kekayaan, mereka justru menyerahkan semuanya kepada seorang paranormal yang dipercaya mampu menggandakan harta agar jauh melimpah. Bukannya untung malah buntung. Si paranormal abal-abal justru pergi entah kemana membawa semua harta hasil kompensasi. Marah bercampur malu. Tak mungkin kedua orang tua Seruni mengadu sehingga diam jauh lebih baik karena tak mau malu ditertawakan keluarga besan. Berita kehamilan Nawang membuat Seruni cemburu. Dalam hatinya dia selalu menyalahkan kebodohannya. 133 - Bai_Nara



Harusnya kamu Runi. Sayang kebodohan kamu merusak segalanya, batin Seruni.



“Nawang hamil.” “Syukurlah.” “Pasti dia akan menjadi harapan bagi Eyang Kakung.” “Memangnya kita? Kamu pikir Eyang Kakung menginginkan kita menjadi penerus Atmaja hah?” ledek Budi sinis. “Tidak, bahkan aku tak tahu apa aku bisa punya anak atau tidak,” sahut Bowo. “Makanya tebar benihnya sama yang subur dong, kalau sama wanita mandul mana mungkin?” sinis Budi. “M-mas menyindirku.” “Gak. Mas ngomong apa adanya.” “T-tapi bukannya Mas duluan yang ....” “Cukup Bowo!” bentak Budi. Dia lalu meninggalkan kamar Bowo dan menuju ke kamarnya sendiri. “Kenapa harus seperti ini?” Bowo merutuki kebodohannya dalam hati, sedangkan Budi memukul-mukul samsak penuh kebencian di kamarnya. “Brengsek. Brengsek!” ucap Budi penuh kebencian sambil memukul-mukul samsaknya.



Rumah Atmaja - 134



Bestari menatap foto keluarganya dimana Bagus masih ada di foto itu. Ada kesedihan di mata tuanya. Bahkan sesekali Bestari meneteskan air matanya. Dia teringat akan kenangan yang lalu. 30 tahun yang lalu “Pembunuh kamu, puas kamu hah?! Sekarang Bagus sudah gak ada. Puas kamu.” Suara sang suami begitu menggema di seluruh ruangan. Wajah suaminya berubah garang dan menakutkan. Betty dan Binna bahkan meringkuk ketakutan melihat wajah sang ayah. Bestari hanya menangis dan menatap sedih mayat sang putra yang sudah terbungkus kain kafan dan berada di kamar jenazah sebuah rumah sakit. Hatinya hancur, putra kesayangannya meninggal akibat menyelamatkan sang istri. Pembunuh, mungkin itulah julukan yang patut disandangnya. Karena secara tidak langsung dialah yang menyuruh orang untuk mencelakai Cempaka. 25 tahun yang lalu “Kamu yakin dia Cempaka?” “Yakin juragan, tak salah lagi.” “Benar ini anak Cempaka?” “Benar Juragan. Lihatlah bukannya anak itu mirip ... mirip ....” sang pesuruh bingung mau mengucapkan nama Bagus. “Bagus.” 135 - Bai_Nara



“I-iya Juragan.” “Kalau begitu bawa anak itu. Bagaimanapun bencinya aku pada wanita itu, tapi anak itu anak Bagus. Di dalam darahnya mengalir darah Atmaja.” “Baik.” 20 tahun yang lalu “Hatimu terbuat dari apa sebenarnya hah? Belum puas kamu membunuh Bagus, sekarang Cempaka. Kamu benar-benar ingin mereka mati? Jangan harap, langkahi dulu mayatku. Jangan harap kamu bisa menyentuh Bagas seperti kamu membunuh anak dan menantuku.” ancam Binawan penuh kemarahan. Bestari hanya diam tak menjawab sang suami. Bestari mengusap air matanya, kini dia fokus berada di masa sekarang, bukan masa lalu. Dipandangi foto keluarganya lagi. “Sejak kematian Bagus dan Cempaka kamu begitu membenciku, Mas. Bahkan kita tak pernah bertutur sapa seperti dulu lagi. Apakah jika terjadi sesuatu dengan calon cicitmu, kamu juga akan menyalahkanku lagi?” tanya Bestari sambil menatap potret sang suami dan membelainya penuh kerinduan.



“Gimana, ada yang dirasa gak? Pusing, marah, capek, ngantuk atau pengin makan sesuatu?” tanya Bagas. “Gak pengin apa-apa cuma pengin ditemani Mas Bagas,” ucap Nawang manja sambil ndusel di ketek Rumah Atmaja - 136



sang suami. Bagas pernah mendengar berbagai keanehan ngidam para istri sahabatnya, ada yang pengin makan sesuatu yang aneh-aneh, ada yang muntah terus, ada yang benci sama suaminya dan ada yang berubah manja pada suaminya. Persis yang dilakukan Nawang. Tapi Bagas suka. “Eyang menyuruh kita tetap di rumah utama, apalagi kamu lagi hamil. Aku sudah meminta istri Mbah Maman dan istri Wanto lebih menjagamu. Hanya mereka orang-orang yang kupercaya untuk menjagamu,” desah Bagas. “Aku percaya pada Allah, Mas. Aku sudah rajin sholat sekarang. Aku mau jadi istri dan ibu yang baik. Aku selalu meminta Allah menjaga kita semua.” “Amin. Makasih ya. Udah mau belajar sholat, kita pelan-pelan jadi manusia yang lebih baik lagi.” “Iya Mas.” Sebuah ketukan pintu menyedot perhatian mereka. “Iya siapa?” tanya Bagas. “Juminten Den, Aden berdua diminta ikut sarapan.” “Oh iya, kami segera kesana.” “Baik Den.” “Ayok kita sarapan.” Mereka pun menuju ke ruang makan. Rupanya semuanya belum kumpul. Bisma dan Seruni belum kelihatan. Suasana aneh justru terlihat ketika Budi yang tak pernah mau ikut sarapan ternyata sudah duduk manis di samping ibunya. Tak lama setelah Nawang dan Bagas duduk di kursi, Bisma datang didampingi Seruni. Karena sisa tempat duduk tinggal dua lagi yaitu dua kursi di samping kanan Bagas. Seruni yang mengetahuinya segera mengarahkan kursi roda Bisma dekat dengan Bowo, sedangkan dirinya akan duduk di samping Bagas. 137 - Bai_Nara



Melihat gelagat Seruni yang mau pasang aksi membuat Nawang kesal. Entah karena kesal atau lagi ngidam. Begitu Seruni duduk, Nawang langsung mual. Dia segera berlari ke kamar mandi. Otomatis Bagas segera mengikuti langkah sang istri. “Hoek. Hoek.” Bagas dengan telaten memijit leher sang istri. “Mual?” “He’em.” “Gimana? Apa kita panggil dokter aja?” sahut Bagas cemas. “Mau ke kamar Mas, rebahan.” “Ya sudah. Mau jalan sendiri apa gendong?” “Gendong,” manja Nawang. Bagas pun menggendong Nawang dan meminta maaf tak bisa ikut makan bersama. Bagas menyuruh Juminten membawa makanan ke kamarnya. “Dasar, cari perhatian!” sinis Betty. “Memangnya kamu dulu gak kayak gitu!” sahut Binawan datar. Betty hanya bisa diam tanpa mampu membantah. Karena memang yang dikatakan ayahnya benar. Sementara Seruni kesal karena kesempatannya untuk dekat dengan Bagas ambyar. Semua gara-gara Nawang yang tiba-tiba muntah. Budi sendiri asik melihat drama di depannya. Tatapannya tajam menghujam Seruni. Memberinya senyuman mengejek karena tahu jika niat Seruni gatot alias gagal total. Seruni semakin kesal apalagi melihat tatapan sinis Budi dan tatapan iba dari Bowo.



Rumah Atmaja - 138



Bagas hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sang istri sekarang dan membandingkannya ketika di meja makan. Dan lihatlah begitu di kamar justru nafsu makan Nawang begitu besar. Dia makan semua jenis lauk yang ada tanpa berkomentar dan tanpa drama mual. “Aneh.” “Aneh kenapa Mas?” “Kok kamu gak mual? Padahal tadi mual-mualnya parah.” “Owh. Soalnya Nawang ngidamnya itu alergi sama mantan.” “Hahahaha. Ada-ada saja kamu.” Bagas mengacak rambut Nawang dengan sayang.



139 - Bai_Nara



23. Kemarahan “A



duh!” pekik Nawang. Dia terpeleset dan kedua kakinya seperti akan split namun Nawang refleks menekankan kedua tangannya menyentuh lantai. Sehingga tubrukan antara pantatnya dan lantai bisa dihindari. “Ya Allah, Den? Den Nawang gak papa? Maafin Juminten ya Den.” Bagas segera keluar dari kamarnya mendengar teriakan Nawang. “Kenapa?” tanyanya khawatir. Juminten ketakutan melihat ekspresi Bagas. Bagas melihat lantai yang basah habis dipel. “Bukannya kamu sudah ngepel? Kenapa ngepel lagi?” tanya Bagas dingin. “I-ini tadi kotor. Den Seruni menjatuhkan makanan buat Den Bisma.” Juminten berkata sambil menunduk takut.



140



“Mas.” Nawang berusaha meredakan amarah Bagas sambil mengelus-elus punggungnya. “Ada apa ini?” tanya Bestari dingin. “Gak papa Eyang,” sahut Nawang. Bagas hanya diam saja tapi matanya menatap marah pada Juminten dan Seruni yang baru saja datang bersama yang lain. Rupanya teriakan Nawang terdengar sampai ke seluruh rumah. “Ayok kita periksa kamu. Mas takut terjadi apa-apa.” Bagas langsung menggendong Nawang dan membawanya menuju ke mobil. Seruni menahan cemburu dan kesalnya. Sedangkan Budi tersenyum sinis ke arah Seruni. Bowo sendiri menatap Seruni dengan tatapan yang sukar didefinisikan.



“Kamu gak pengen apa-apa?” tanya Bagas sambil mengelus perut sang istri. “Gak Mas.” “Beneran?” “Beneran Mas.” Mereka tengah berjalan-jalan di sekitar kampung. Sesekali menyapa orang-orang yang lewat. Saat ini kondisi kebun teh milik Atmaja sudah mulai stabil pun pabriknya. Banyak penduduk sekitar yang sudah kembali lagi bekerja di pabrik. Apalagi sistem gaji yang ditawarkan Bagas menguntungkan kedua belah pihak. Beberapa rekan kerja yang dulu bekerja sama dengan pabrik teh Atmaja pun sudah mulai membuka kembali hubungan kerjasamanya. Mereka mengakui 141 - Bai_Nara



jika Bagas memang bertangan dingin. Persis seperti almarhum Bagus ayahnya dan juga Binawan. Selain itu sikap Nawang yang ramah membuat para penduduk menyukainya. Jadilah, kedua pasutri ini begitu sangat dihormati oleh warga sekitar.



“Kamu mau ngapain?” tanya Binna pada adiknya. “Udah, Mbakyu diam saja.” “Tapi ini sangat berbahaya, Betty. Kalau sampai Bapak tahu. Tamat riwayat kamu.” “Bapak gak akan tahu kalau gak ada yang cerita. Makanya Mbakyu diam saja.” Binna sangat cemas melihat apa yang akan dilakukan oleh Betty. Dia takut jika sampai bapaknya tahu, pasti mereka tidak akan selamat.



Ciiittt. Brakkk. “Mass ...!” Hap. Bagas segera menangkap tubuh Nawang dan menariknya kedalam pelukannya. Dia memutar tubuhnya sehingga dialah yang terkena hantaman sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya. Semua orang yang berada di parkiran sebuah rumah makan khas Korea sibuk mengerubungi pasangan yang baru saja terkena musibah. Orang-orang membawa keduanya ke rumah sakit. Salah satu dari mereka mengeluarkan darah yang cukup bayak. Rumah Atmaja - 142



Binawan mengepalkan tangannya dengan penuh amarah. Hari ini dia mendapat kabar jika cucu dan cucu menantunya terkena musibah diserempet mobil. Binawan merutuki dirinya. Harusnya dia lebih waspada. Pagi tadi mereka ijin untuk memeriksakan kondisi Nawang yang mau menginjak empat bulan. Bahkan Nawang bilang ingin makan makanan Korea gara-gara melihat aktor Lee Min Ho sedang makan. Makanya dia ingin memakan kimchi dan bulgogi. “Bagaimana?” tanya Binawan. “Ini tabrak lari. Sepertinya yang menjadi sasaran utama adalah cucu menantu anda. Karena berdasarkan info dia tengah menunggu es teler di pinggir jalan. Cucu anda yang menyadari ada bahaya langsung menarik istrinya sehingga dia yang terkena hantaman. Bahkan saat akan terjatuh pun, cucu anda masih sempat membalik tubuhnya sehingga cucu menantu anda tidak menghantam aspal,” sahut seseorang. “Bagaimana keadaan mereka?” “Nawang tidak apa-apa dia hanya shock. Tapi ....” “Tapi kenapa?” Binawan sangat menghawatirkan keadaan cucunya. “Bagas terluka parah. Bagian tubuh bawahnya terkena hantaman langsung dan kepalanya mengenai aspal. Kondisinya kritis.” “Ya Allah.” Binawan sangat sedih mendengar kabar tentang cucunya. Kenapa lagi-lagi cucunya harus terluka. Tahu begini dia tidak akan meminta Bagas kembali ke sini. “Genta ....” “Ya Eyang.”



143 - Bai_Nara



“Eyang mohon bantu eyang melindungi Bagas. Kamu sahabatnya, ‘kan? Tolong bantu eyang menangkap siapa yang berniat jahat pada Bagas.” “Iya Eyang. Genta pamit dulu.” Saat akan keluar dari kediaman Atmaja, Genta berpapasan dengan Bisma yang tengah didorong oleh Seruni. “Genta. Bagaimana Bagas?” tanya Bisma. “Masih kritis dan belum sadarkan diri,” jawab Genta. “Ya Allah, semoga dia baik-baik saja. Nawang bagaimana?” “Dia shock tapi keadaan Nawang dan bayinya tidak apa-apa.” “Syukurlah.” Genta melirik ke arah Seruni dan tersenyum ke arahnya. Seruni sendiri tampak gugup saat melihat Genta. Dia memilih memalingkan wajahnya. Rupanya tingkah keduanya tak lepas dari perhatian Bisma. Ada apa dengan mereka? batin Bisma. Sementara itu di tempat lain, Budi dan Bowo tengah duduk di kantin rumah sakit. Mereka tengah menunggui Bagas. Nawang sedang dijaga oleh Juminten di ruang perawatan. Kondisi Nawang cukup drop. Untung saja janinnya kuat. “Sepertinya sudah dimulai,” ucap Bowo dengan pandangan menerawang. “Iya.” “Mas.” “Hem.” “Kita harus bagaimana?” “Bagaimana apanya?” Budi bertanya balik. “Ibu dan Budhe, mereka ....” “Stop membawa nama ibuku Wo, kamu tahu itu ulah ibumu sama seperti dulu saat kejadian yang menimpa Rumah Atmaja - 144



Paklik Bagus. Bukannya itu juga ide ibumu. Sayang yang menjalankan adalah Eyang Putri,” sinis Budi. “I-iya aku juga pernah mendengarnya. Ta-tapi ....” “Lebih baik kamu diam. Kalau kamu ngomong mungkin akan membahayakan ibumu dan juga kamu,” ucap Budi tajam. Bowo tertawa miris. “Termasuk Budhe dan juga Mas, ‘kan?” Budi memilih tak menjawab dan berlalu menuju tempat Nawang dirawat. Sesampainya di ruangan Nawang, dia melihat Nawang tengah melihat potret hasil USG bayi yang dikandungnya. “Den ...,” panggil Juminten gugup. Budi hanya menganggukkan kepalanya. Juminten bermaksud keluar ruangan namun dicegah Nawang. “Di sini saja Ju, aku takut akan ada fitnah kalau aku hanya bersama Mas Budi,” ucap Nawang. Budi bermonolog dalam hati, Nawang ternyata memang berbeda dengan Seruni. Nawang itu supel, mudah akrab dengan siapapun namun tegas. Pernah saat itu tak sengaja Budi memegang bahu Nawang bermaksud menjahilinya. Dengan tegas dia meminta Budi untuk tidak menyentuhnya secara sembarangan. Karena bagaimana pun mereka bukan pasangan suami istri. Sungguh berbeda dengan Seruni yang tampak dari luar menjaga jarak namun sebenarnya …. Ah sudahlah. Tak penting. “Tidurlah!” titah Budi. Nawang hanya menggeleng. Matanya mulai berkacakaca. “Tidurlah, kamu harus kuat. Ada anak kalian. Jangan biarkan pengorbanan Bagas sia-sia.” Nawang nampak menangis sesenggukan. Dia menyentuh perutnya. Kemudian merapalkan sebuah 145 - Bai_Nara



doa meminta kebaikan untuk anaknya dan keselamatan untuk suaminya. Setelah beberapa lama menumpahkan tangisnya akhirnya Nawang tertidur. Budi membetulkan selimut Nawang. Dia pandangi wajah Nawang, cantik. Mungkin jika dia mau, dia sudah mengambil Nawang dari tangan Bagas. Tapi entahlah, Budi tidak tahu. Ada hal yang membuatnya tak bisa berbuat seperti itu pada Bagas. Padahal sisi hatinya ada rasa cemburu, iri dan kemarahan pada Bagas. Budi mengambil potret USG anak Bagas. Dia membelai lembut potret bakal calon anak yang sudah nampak di sana. Dia meneteskan air matanya. Kalau saja kamu hidup, pasti kamu sudah besar Nak. Papa mungkin sudah mengantar dan menjemputmu ke Sekolah, batin Budi berbicara. “Aku keluar dulu Ju, kamu jaga Nawang.” “I-iya Den.” Juminten menatap nanar punggung Budi. Hatinya sedih sekali. Juminten si gadis desa yang polos harus menjadi pembantu keluarga Atmaja karena keterbatasan ekonomi keluarganya. Sebagai seorang gadis yang masih polos dia pun bisa jatuh cinta. Sayang cintanya berlabuh pada Budi. Budi yang romantis dan selalu membuatnya bahagia. Tapi Juminten sadar, siapa dia dan siapa Budi. Apalagi, di sekitar Budi banyak wanita cantik yang siap menemaninya ke mana pun bahkan ke ranjang sekalipun. Juminten pasrah. Baginya yang penting dia bisa selalu dekat dengan Budi walaupun harus memendam cemburu dan sakit hati.



Rumah Atmaja - 146



Binawan menatap Bestari dengan kemarahan yang membuncah. Bestari sendiri hanya diam. “Kamu memang benar-benar sudah tak punya hati!” bentak Binawan. “Bunuh aku, Tari. Bunuh aku sekalian. Aku sudah tua, bahkan aku harus duduk di kursi roda. Tahu begini lebih baik aku sekarat dan mati. Daripada meminta Bagas kembali. Setidaknya di sana dia bisa bahagia bersama keluarganya. Tak masalah aku mati, pabrik dan kebun tehku hancur dan kalian semua akan mati karena jatuh miskin.” Dengusnya penuh amarah. Kemudian Binawan menangis dengan suara tangisan menyayat hati. “Kalau aku mati, aku akan ketemu Bagus.” Hening. Hanya suara tangisan Binawan yang terdengar. “Tapi kalian semua adalah istri, anak dan cucuku. Mana mungkin aku tega membiarkan kalian hidup menderita dalam kemiskinan. Kalian tak mungkin bisa hidup miskin. Karena itu aku memanggil Bagas, agar dia bisa memulihkan keadaan perkebunan dan pabrik. Agar kalian masih bisa hidup dengan hasil dari keduanya,” lanjutnya. Bestari mendongakkan wajahnya menatap sang suami. “Mas ....” “Semarah apapun aku padamu dan kepada anak cucuku. Kalian keluargaku. Tak mungkin kutinggalkan kalian dalam kondisi menyedihkan tanpa uang dan harta. Kalian tak terbiasa hidup susah. Tak bisa. Sekarang katakan padauk, Tari. Apa yang harus kulakukan? Memanggil Bagas agar dia memulihkan keadaan perekonomian kita atau membiarkannya pergi tapi kalian akan kehilangan harta? Sedangkan 147 - Bai_Nara



kalian adalah orang yang tak bisa hidup dalam kemiskinan.” Binawan lalu pergi meninggalkan sang istri yang termenung sendirian. Bestari merasakan sesak di dadanya. Sesekali dia meremasnya dan memukul-mukul dadanya. Kenapa? Kenapa harus kamu? Kenapa bukan wanita itu? Sekali lagi Bestari hanya mampu menangis dan memukul-mukul dadanya.



Rumah Atmaja - 148



24. Curhatan Budi B



estari mengintip ke dalam ruang ICU, dimana Bagas masih tak sadarkan diri. Air mata mengucur deras dari matanya. Bestari memasuki ruangan setelah menggunakan pakaian khusus. Dibelainya wajah sang cucu dengan sayang. Bestari menggigil ketakutan mengingat kejadian 30 tahun yang lalu. Dimana seseorang dengan wajah yang mirip dengan Bagas terbujur kaku dan tak bernyawa.



149



“Hei ... kamu mau tidur terus? Apa kamu tidak takut aku atau orang lain akan mencelakakan anak istrimu lagi? Ayo bangun karena aku tak akan tinggal diam saja,” ucap Bestari lirih di telinga sang cucu yang tak sadarkan diri. Setelah mengucapkan hal demikian, Bestari keluar dari ruangan Bagas. 1 menit 2 menit 3 menit 4 menit 5 menit Kemudian jari Bagas bergerak, tiba-tiba nafasnya seperti sesak. Suster yang berjaga segera mendekati Bagas dan menekan tombol untuk meminta pertolongan. Dokter segera melakukan tindakan penyelamatan. Tindakan memacu jantung dilakukan karena tibatiba saja layar monitor menunjukkan garis lurus. Beberapa kali sang dokter dibantu para perawat mencoba memompa jantung Bagas. Hingga setelah 15 menit berjuang, detak jantung Bagas mulai terdengar lagi dan terekam pada layar monitor. Dan bertepatan dengan detak jantung Bagas yang kembali, Bagas membuka matanya. Namun, kemudian menutupnya kembali.



Nawang menggenggam erat tangan Bagas. Dia sangat takut sekali. kemarin Bagas sempat mengalami henti jantung, bersyukur Allah masih memberinya kesempatan hidup. Nawang mencium lembut tangan sang Rumah Atmaja - 150



suami yang selama tiga hari ini berada di jurang kematian bahkan di hari keempat pun dia belum sadar. Ceklek. Pintu ruang rawat Bagas terbuka. Tampaklah Budi yang membawa makanan untuk Nawang. Juminten sedang ijin mandi di kamar mandi umum. Padahal sudah ada kamar mandi di ruang rawat ini, tapi Juminten menolak dengan alasan rikuh alias gak enak. “Makan dulu Nawang.” “Makasih Mas.” Nawang membuka bubur ayam yang dibawakan oleh Budi lalu memakannya tanpa banyak bicara. “Gimana Bagas?” “Kata dokternya menunggu hasil pemeriksaan selanjutnya.” “Kakinya?” “Alhamdulillah hanya benturan saja. Tak ada kondisi yang serius Mas dan tidak sampai terjadi patah tulang. Hanya saja benturan di kepalanya yang cukup parah makanya sempat koma.” “Syukurlah.” Hening. “Kamu cinta sama Bagas?” tanya Budi. Nawang mengernyitkan keningnya. “Tentu saja, dia suamiku.” “Berarti jika dia bukan suamimu kamu gak akan mencintainya?” Budi bertanya lagi. Nawang tersenyum menanggapi pertanyaan Budi. “Mas tahu, ada begitu banyak cara dua orang bisa terikat dalam sebuah pernikahan termasuk kami. Mungkin awalnya kami tidak saling mencintai, tapi setelah hidup bersama berbagi suka dan duka rasa itu tumbuh Mas.” 151 - Bai_Nara



Budi berusaha mendengarkan penjelasan Nawang dengan seksama. “Kalau misal aku suka sama kamu, gimana?” Nawang tersenyum kemudian menjawab pertanyaan Budi. “Hanya suka, ‘kan? Tak masalah bagi Nawang toh Nawang gak bisa memaksa Mas Budi. Tapi Nawang bisa memaksa dan menjaga hati Nawang hanya untuk orang yang Nawang cintai.” “Dan orang itu Bagas,” cetus Budi. “Iya Mas.” Hening. “Mas.” “Iya.” “Kalau Mas memang gak mau sama Juminten, tolong jangan beri dia harapan.” “Apa?” Budi kaget dengan perkataan Nawang. Nawang mengembuskan napasnya pelan. “Nawang tahu kalau Mas Budi ada hubungan sama Juminten, tapi Nawang diam saja. Hanya saja sekarang Nawang berpikir kalau Mas Budi gak mau menikahi Juminten, sebaiknya jangan memberi harapan palsu buat Juminten, Mas. Kasihan, dia gadis polos yang hanya sedang jatuh cinta sama Mas Budi. Nawang sering memergoki Juminten menangis setiap kali melihat Mas Budi pergi dengan wanita lain.” “Nawang juga wanita Mas, dan mungkin anak Nawang juga kelak perempuan. Nawang sedih saja jika melihat salah satu lelaki yang nanti akan dipanggil anakku dengan sebutan ‘pakdhe’ memiliki perangai yang buruk. Kita tak pernah tahu umur manusia. Lihat Ayah Bagus dan Ibu Cempaka, mereka meninggal secara tragis juga. Dan itu membuat luka tersendiri pada keluarga ini dan terutama untuk Bagas.” Rumah Atmaja - 152



Budi menunduk, matanya berkaca-kaca. “Mau dengar kisahku, Nawang.” “Tentu. Kalau Mas mau cerita.” “Dulu aku jatuh cinta pada seorang gadis, namanya Kinanti. Dia cantik sekali. Dia anak salah satu pemetik teh di kebun milik Eyang. Aku dan dia menjalani hubungan diam-diam hingga dia hamil. Kamu tahu, dia memilih pergi karena merasa tak mungkin menikah denganku. Tapi aku memintanya kembali karena aku akan memperjuangkannya. Sayang, aku melakukan sebuah kesalahan. Ada seorang wanita yang selalu menggodaku. Aku berusaha untuk tak tergoda hingga suatu malam saat keadaan sepi dan aku sangat lelah, dia menggodaku lagi dan ... aku tergoda.” Hening. Budi mengembuskan napasnya lemah. “Kinanti melihat saat kami sedang berciuman dan dia pergi sambil menangis, aku mengejarnya namun dia terjatuh. Aku membawanya ke rumah sakit. Sayang bayinya meninggal. Kinanti menjadi murung, dia tak pernah mau bicara lagi padaku. Hingga seminggu setelah kematian anak kami, dia ... dia ditemukan menggantung dirinya.” Nawang menutup mulutnya, dia sangat terkejut. “Sejak itu aku menyalahkan diriku, dan menyalahkan wanita itu. Kalau saja aku tak tergoda dengannya pasti Kinanti ....” Budi mengembuskan napasnya lagi. “Tapi demi Tuhan. Kami tak sampai melakukan sesuatu yang lebih. Hanya dengan Kinanti dan ….” “Juminten,” potong Nawang. “Iya. Hanya dengan mereka aku pernah tidur. Meski aku sering berganti-ganti pacar. Tapi sungguh, hubunganku tak pernah sampai ke arah ranjang. Memang kuakui tetap aku lelaki brengsek.” “Memang Mas Budi brengsek,” ketus Nawang. 153 - Bai_Nara



“Hehehe. Kamu benar, aku memang brengsek.” Hening. “Kenapa pengganti Kinanti itu harus Juminten?” “Mungkin karena Juminten mengingatkanku dengan Kinanti. Mereka sama-sama lugu dan apa adanya.” “Hem. Siapa wanita itu?” “Apa?” “Wanita yang membuat Mas Budi tergoda.” “Aku tak ingin membahasnya. Yang jelas aku sangat membencinya hingga sekarang.” “Apa aku mengenalnya?” “Iya. Kamu mengenalnya.” “Kalian memang keluarga yang aneh.” “Begitulah kami. Karena itu berhati-hatilah kepada kami,” ucap Budi dengan sorot menakutkan. Nawang tertegun, kemudian memilih untuk tak menjawab. “Istirahatlah. Aku akan melihat Juminten.” Budi berdiri dan berjalan keluar dari ruangan. Nawang menatap ke arah Bagas yang tengah tertidur. “Aku berharap kamu selalu berada di sampingku Mas, kita akan saling menjaga dan menguatkan,” bisik Nawang lalu mencium kening sang suami. Nawang menuju ke kamar mandi untuk menuntaskan hajatnya. Saat tak ada siapapun, Bagas membuka matanya. Dia aslinya sudah sadar dari tadi, hanya saja pembicaraan kedua orang itu membuatnya penasaran sehingga dia memilih berpura-pura masih belum sadar. Aku akan melindungimu Nawang dan juga anak kita. Aku tak tahu siapa musuhku, tapi pasti akan kutemukan siapapun dia, batin Bagas.



Rumah Atmaja - 154



25. Rahasia Seruni "M



asih sakit, Mas?” “Gak.” “Beneran? Kok meringis begitu.” “Gak papa. Anak kita gimana?” “Dia baik. Kangen dia ditengokin sama ayahnya.” “Yang kangen anaknya apa ibunya?” “Hehehe.” “Ish. Isteri mas sekarang ya?” “Tapi suka, ‘kan?” “Sukalah.”



155



Bagas memeluk tubuh sang istri penuh sayang. Sudah satu minggu Bagas dirawat setelah bangun dari koma. Hari ini niatnya Bagas akan pulang, tergantung bagaimana diagnosa dari dokter setelah visit nanti siang. “Mas kangen kamu tahu gak sih.” “Lah ini Nawang di sini.” Seruni memasuki kamar rawat Bagas bersama Bowo. Tentu saja Seruni melihat bagaimana mesranya Bagas dan Nawang. Sungguh menyebalkan dan membuat iri saja. “Mas,” panggil Bowo. “Eh, Wo. Baru datang,” ucap Bagas tanpa melepas pelukan tangannya pada bahu Nawang. Mereka tengah duduk di atas ranjang pasien. “Iya Mas. Ini aku sama Mbak Seruni.” Nawang menatap Seruni dengan malas, tiba-tiba perutnya bergejolak. Dia buru-buru lari menuju ke kamar mandi. “Hoek. Hoek. Hoek.” “Nawang. Dek. Kamu gak papa?” Bagas mencoba turun tapi dicegah oleh Bowo. “Biar Bowo yang lihat Mas.” Bowo menuju ke kamar mandi. Tok. Tok. Tok. “Mbak. Mbak Nawang gak papa?” “Hoek. Hoek. Gak papa, Wo.” Nawang akhirnya keluar dari kamar mandi. Dan melihat sekeliling. Dia melihat Seruni yang tampak masam. Sedangkan Nawang menatap Seruni sebal. Hoek. Nawang seperti ingin muntah lagi, aha! Sebuah ide cantik nan cemerlang muncul di kepala Nawang. “Maaas.” Nawang menuju ke arah Bagas dan memeluknya manja. Sengaja. Rumah Atmaja - 156



“Kenapa? Mau sesuatu.” “Iya. Tapi Nawang harus nungguin Mas. Hiks. Hiks.” “Kamu mau apa?” “Pop mie.” “Oke. Wo, bisa kamu beliin pop mie untuk Nawang?” pinta Bagas. “Bisa Mas.” “Tapi kalau Bowo pergi yang bantu Nawang angkat Mas Bagas siapa?” “Ya kita nunggu minta tolong perawat cowok. Kayaknya Wanto bentar lagi juga ke sini.” “Gitu ya. Tapi Mas jangan minta ke kamar mandi ya? Atau mau ngeluarin sesuatu. Nawang gak bisa angkat Mas.” “Iya. Tadi pagi kan sudah. Tapi aku belum diseka. Seka dulu ya?” “Oke.” “Tolong ya, Wo?” pinta Bagas. “Iya. Ayok Mbak Seruni. Temani Bowo.” Seruni menatap Bowo dengan kesal tapi mau gak mau mengikutinya juga. Setelah Seruni dan Bowo tak ada, Bagas mencubit hidung sang istri. “Jahil.” “Biarin. Biar pelakor tahu kalau istri sah lebih berkuasa.” “Hahaha. Pengen cium jadinya.” Nawang langsung mengecup mesra bibir Bagas, Bagas sempat kaget namun segera menekan tengkuk sang istri dan membalas dengan sama bergairahnya. Cukup lama mereka melepas kerinduan hingga Nawang menarik tubuhnya. “Takut ada yang lihat,” bisik Nawang sambil melirik pintu. “Hahaha. Sini peluk lagi.” 157 - Bai_Nara



Nawang mendekatkan tubuhnya ke arah Bagas dan memeluknya dengan mesra.



“Nih. Aku sudah menemukan orang yang menabrak kamu. Namanya Santoso.” Bagas menerima map yang diulurkan oleh Genta. “Seorang residivis yang pernah membunuh orang,” gumam Bagas. “Iya.” “Dan dia sudah mati.” “Iya. Overdosis.” “Aneh seperti disengaja.” “Tentu saja disengaja. Ck. Aku penasaran siapa yang berulah dalam keluargamu.” “Aku juga dan kenapa alasannya?” “Tentu alasannya karena kamulah. Si Bagas Surya Atmaja yang kemungkinan akan mewarisi seluruh kebun dan pabrik keluarga.” “Hem ... begitukah? Padahal aku sudah meminta pada Eyang, jika aku sudah bisa memulihkan kondisi pabrik dan perkebunan aku ingin pergi dari sini bersama Nawang.” “Maksud kamu?” “Alasan aku selalu membawa Budi dan Bowo setiap ada permasalahan kebun dan pabrik adalah melatih tanggung jawab mereka. Setelah mereka mau dan bisa mengurusnya aku akan pergi dari sini. Itulah perjanjianku dengan Eyang Kakung,” cerita Bagas. “Astaga. Dan membiarkan hak kamu diberikan juga untuk mereka?” Rumah Atmaja - 158



“Hahaha. Aku bukan orang yang takut kehilangan warisan. Toh selama kerja di Kalimantan, aku cukup punya tabungan untuk membangun usaha nantinya bersama anak dan istriku.” “Hem ... gitu ya. Lalu kamu akan balik ke Kalimantan?” “Gak.” Mana mungkin mereka balik ke Kalimantan kalau di sana ada Kevin dan Nana yang juga berusaha mereka hindari. “Lah terus, kalian mau kemana?” “Kemana saja asal jauh dari kediaman Atmaja.” “Ya sudah aku balik ke kantor dulu. Eh, istri cantikmu mana?” “Sengaja aku umpetin biar gak digoda sama buaya macam kamu.” Bagas berkata dengan seringai sinis. “Ck. Posesif.” “Biarin. Orang dia milik aku kok. Gak mau ya aku berbagi harta milikku.” “Ck. Bucin. Hahaha. Kasihan Seruni, melepas kamu dan dapat suami impoten kayak Bisma.” “Genta! Maksud kamu apa?” “Eh, enggak. Aku balik dulu ya.” “Ta, tunggu!” panggil Bagas dengan nada dingin dan tegas. Mau tak mau Genta membalikkan tubuhnya. “Maksud kamu apa?” “Hmmm ... Bisma mengalami gangguan disfungsi ereksi sebelum menikah dengan Seruni.” “Apa?” “Iya. Jadi kamu hati-hati. Dia itu ... jablay,” bisik Genta lalu tertawa ngakak. “Hati-hati ya. Di sini ada tiga pria perkasa terutama yang lagi duduk di depanku ini loh. Walau pake kursi 159 - Bai_Nara



roda tapi senjatanya jos. Istrinya aja sampai berbadan dua. Kalau yang dua kan belum terbukti. Hahaha.” Bagas melempar bolpoin ke arah sahabatnya itu. “Dasar edan kamu!” umpat Bagas. “Hahaha. Oke. Pergi dulu ya.” Genta pun segera keluar dari paviliun yang ditempati Bagas. Bagas sengaja meminta tinggal di sana karena di sana dia merasa tenang. Apalagi melihat kondisinya yang belum bisa jalan. Sebenarnya alasan utamanya adalah Seruni yang gencar sekali mendekatinya. Tahu-tahu dimana pun Bagas berada, Seruni akan menempelinya. Tapi bukan Nawang namanya kalau tidak bisa mengusir Seruni secara halus yaitu dengan alasan ngidamnya.



Saat akan menuju ke mobilnya, Genta berpapasan dengan Seruni. “Hai Runi apa kabar?” “Baik,” jawab Seruni datar. “Aku pergi duluan ya.” “Iya.” Seruni menatap Genta dengan pandangan yang entahlah. Seruni menggeleng lalu memutuskan masuk dan segera menuju ke kamarnya. Saat berada di dalam kamarnya, dia melihat Bisma yang tengah duduk di kursi roda sambil melamun. “Mas.” “Eh. Kamu sudah pulang?” “Ngapain Mas di situ?” “Mas cuma lagi melamun saja.” “Apa yang Mas lamunin?” Rumah Atmaja - 160



“Masa lalu, aku, kamu dan semuanya.” “Ngapain harus diingat Mas. Toh semuanya sudah terjadi,” lirih Seruni. “Maaf. Maafkan Mas. Karena ingin memiliki kamu, mas akhirnya merebutmu dari Bagas. Dan setelah mas nikah sama kamu, mas gak pernah bisa membahagiakan kamu.” “Sudahlah Mas.” “Maafkan mas. Mas gak tahu Runi.” “Mas!” teriak Seruni. “Mas gak tahu kalau mas punya masalah disfungsi. Maaf. Maafkan mas. Hingga membuat kamu menderita dan mencari kehangatan di luar sana.” “Mas!” bentak Seruni. “Cukup. Cukup kataku.” Seruni sudah mulai menangis. Bisma pun menangis. Mereka berdua sama-sama menangis. “Harusnya jangan kamu gugurkan dia. Aku tak peduli siapapun ayahnya yang penting kamu bahagia.” “Aku bilang cukup Mas. Cukup!” Seruni langsung menyambar tas dan kunci mobilnya. Dia langsung melarikan mobilnya ke suatu tempat. Bisma sendiri masih menangis meratapi hidupnya.



Seruni tengah menenggak minuman beralkohol di sebuah hotel kelas melati. Dia tengah meratapi perjalanan hidupnya yang begitu panjang dan melelahkan. Dan semua itu karena pilihannya yang salah. Andai dia memilih Bagas pasti saat ini dia 161 - Bai_Nara



bahagia dan mungkin akan memiliki banyak anak dengan Bagas. Seruni mengusap perutnya dengan sayang. “Dulu sekali pernah ada, hahaha.” Seruni seperti orang gila, terus meracau dan tertawa. Genta memasuki sebuah hotel kelas melati, menuju resepsionis dan menanyakan sebuah kamar. Ketika sudah mendapatkan info, dia segera menuju kamar itu. Genta bersidekap dan melangkahkan kakinya duduk di bawah ranjang. Dia merasa prihatin dengan wanita yang tengah menangis sambil menenggak minuman keras. “Runi.” “Genta.” Seruni langsung menangis di pelukan Genta sahabatnya. “Run. Kenapa lagi?” “Aku bodoh Genta. Bodoh.” “Sudahlah. Menangislah kalau kamu mau menangis.” Genta memeluk sahabatnya dengan sayang. Sahabat yang sangat disayanginya dan mungkin dicintainya juga. Pikiran Genta menerawang pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Setelah Bisma kecelakaan dan menjadi lumpuh. Dia yang tengah melakukan penggerebegan di sebuah club malam menemukan Seruni yang hampir saja dibawa oleh lelaki asing. Dia membawa Seruni dan segera membawanya agar tak digelandang ke kantor polisi ke sebuah hotel. Di sana Seruni menangis dan menceritakan semuanya kepada Genta. Masalah Bagas, Bisma, kelainan yang dialami Bisma hingga tekanan demi tekanan yang ia rasakan. Genta yang terenyuh mendengar kisahnya pun memeluknya. Merasakan Rumah Atmaja - 162



dekapan hangat dan kondisi yang masih mabuk membuat Seruni mencium Genta dengan penuh gelora. Genta yang aslinya memang playboy tak dapat menolak dan menyambut Seruni dengan sama panasnya. Hingga malam itu terjadilah hubungan terlarang yang tidak boleh dilakukan oleh yang bukan pasangan halal. Awalnya Seruni dan Genta merasa menyesal namun dorongan dalam hati Seruni yang merindukan kehangatan lelaki dan sifat playboy Genta membuat keduanya mengulang kembali hubungan terlarang itu di belakang Bisma. Hingga secara tak sengaja hubungan mereka terbongkar oleh Budi yang saat itu juga ke hotel yang sama dengan Seruni. Budi saat itu masih bersama Kinanti. Rasa takut yang begitu kuat menyebabkan Seruni nekat menggoda Budi beberapa kali dengan harapan si playboy Atmaja bertekuk lutut padanya. Apalagi dia tahu, hubungan Budi dengan Kinanti sedang bermasalah. Hingga malam itu, Seruni hampir berhasil menggoda Budi. Sayang Kinanti datang dan mengacaukannya. Kinanti keguguran akibat terjatuh saat berlari menghindari Budi dan sejak itu dia menjadi murung. Budi marah pada Seruni dan hampir mencekiknya kalau saja tidak ada Genta yang tiba-tiba datang, mungkin Seruni sudah mati. Perkelahian antara Genta dan Budi terjadi dan berlangsung seru. Seruni bermaksud melerai namun justru perutnya mendapat hantaman keras entah dari siapa dan dia jatuh dengan kerasnya. Bahkan pinggangnya sempat menabrak bodi mobil dengan kerasnya. Darah mengalir melalui bagian intinya. Semua orang kaget, terlebih Seruni. Segera Genta membawa Seruni 163 - Bai_Nara



ke rumah sakit. Dan betapa terkejutnya dia begitu mengetahui jika Seruni hamil. Hamil anaknya. Namun sayang, calon anaknya tak bisa diselamatkan. Dan lebih mengenaskan lagi. Pukulan yang diterima Seruni dan posisi jatuhnya yang sempat mengenai bodi mobil membuat rahimnya bermasalah dan menyebabkan dia sulit hamil. Genta menghembuskan nafasnya setelah pikirannya kembali dan menyudahi lamunannya. “Run. Istirahatlah. Aku temani. Aku duduk di sofa ya.” “Temani aku di sini Genta. Tidurlah bersamaku. Beri aku kehangatan,” pinta Seruni. “Maafkan aku Runi, kita pernah berbuat salah. Aku tak mau berbuat salah lagi.” “Kenapa semua lelaki menolakku?” “Bukan Runi tapi kami berusaha menjaga martabatmu.” “Persetan dengan itu semua. Plis ... tidurlah di sini, hangatkan aku, Genta.” Genta masih berusaha menolaknya namun bujukan Seruni membuatnya luluh dan akhirnya mereka melakukan dosa terlarang lagi. Desahan dari aktivitas panas mereka terdengar hingga keluar kamar. Seseorang yang bermaksud membuka pintu pun urung seketika. Badannya menggigil bukan karena takut namun karena merasa marah dan cemburu. Dia memutuskan pergi dari sana. “Brengsek. Kamu brengsek Mbak Runi,” ucapnya dengan tubuh bergetar dan menahan cemburu.



Rumah Atmaja - 164



26. Ibu VS Anak “K



ami sudah menangkap teman tersangka, Pak.” “Baik dimana dia?” “Mari saya antar.” Genta mengikuti salah satu rekan seprofesinya dan menemui rekan Santoso. “Kamu Dianto, ‘kan?” “Iya benar.” “Kamu tahu siapa yang menyuruh Santoso untuk mencelakai saudara Bagas?”



165



“Tidak. Orang itu hanya menelepon kemudian mengantarkan uangnya di tempat yang sudah dia tentukan.” “Benarkah?” “Dia laki-laki atau perempuan.” “Yang menelepon suara perempuan.” “Hem ... dari suaranya kira-kira usiannya masih muda atau sudah tua?” “Suaranya melengking.” “Melengking. Baiklah.” Genta berpikir suara melengking dalam keluarga Bagas hanya dimiliki oleh ... ya Ampun. Mungkinkah?



“Kamu kenapa, Wo?” “Gak papa, Bu. Bowo cuma kecapean.” “Sakit kamu?” “Gak.” “Makanya kamu nikah. Kalau nikah kan ada yang jagain kamu. Ada yang ngurusi kamu. Ada yang mau mengandung anak kamu. Ada yang ngasih ibu cucu,” sahut Betty dengan nada ketus. “Bu!” bentak Bowo. “Diam kamu Wo! Dari dulu ibu sudah bilang nikah sana. Dengan siapapun tidak masalah asal dia bisa ngasih ibu cucu. Ibu mau cucu Bowo, cucu yang mewarisi semua kekayaan Atmaja.” Betty tampak marah, napasnya naik turun sedangkan Bowo hanya terdiam. Dia sedang berusaha menahan amarahnya. “Jangan bilang kamu benar-benar menyukai lelaki Bowo?” Rumah Atmaja - 166



“Ibu!” bentak Bowo. “Ternyata benar kamu mbelok, bodoh kamu! Banyak cewek cantik tapi kamu sukanya ....” “Ibu! Cukup!” “Ibu gak bisa diam saja, Wo. Ibu sudah melakukan banyak hal untuk kamu, untuk kita berdua. Tapi kenapa?” “Bu, sudahlah Bowo lelah. Bowo mohon, tinggalkan Bowo. Bowo ingin sendiri.” “Kamu memang gak pernah sayang sama ibu!” “Bowo sayang sama Ibu. Ibu tahu itu.” “Kalau kamu sayang ibu, kamu bakalan menuruti kata ibumu ini.” “Bowo gak mau Ibu, Bowo gak mau. Bowo gak mau nikah.” “Tapi kenapa? Ibu sudah bilang silakan kamu nikah sama siapapun. Bahkan seorang pembantu sekalipun ibu gak peduli Wo. Yang penting dia memberi ibu cucu. Cucu yang akan menjadi penerus kamu. Penerus kekayaan Atmaja.” “Kenapa Ibu selalu meminta cucu cucu dan cucu. Apa Ibu kurang puas dengan semua yang kita nikmati ini.” “Gak. Ibu gak puas. Harusnya semua ini milik kita. Bukan milik Mbak Binna, anak-anaknya apalagi Bagas.” “Memangnya kenapa, Bu? Toh mereka anak dan cucu Eyang juga? Mereka berhak mendapatkannya.” “Gak. Mereka gak ada hak.” “Justru mereka yang berhak terutama Mas Bagas. Mas Bagas yang udah mengembalikan keadaan pabrik dan perkebunan. Bukan Bowo, Mas Budi ataupun Mas Bisma. Bukankah saat ini kita hanya pengemis. Pengemis dari belas kasih Eyang dan dari hasil keringat Mas Bagas.” 167 - Bai_Nara



“Bowo!” “Kenapa, Bu? Bukankah omongan Bowo benar. Sejak dulu baik Ibu bahkan Bapak hanya terima beres. Apalagi Bapak. Bapak seperti parasit saja.” “Bowo!” “Apa Bowo ngomong salah? Bukankah memang demikian adanya?” “Bowo. Kamu gak akan paham Nak.” Betty berusaha mengendalikan amarahnya. “Nak.” “Bukankah kita yang parasit Bu. Ibu, Budhe, bahkan Bowo.” “Wo ....” Betty berusaha meredakan amarahnya. Dia bertekad agar Bowo mau menikah dan menuruti katakatanya. “Bowo ingin keluar dulu, Bu. Bowo capek. Bowo ingin menenangkan diri. Bowo langsung keluar dari kamarnya dan segera menjalankan mobil. Betty menatap nanar putranya sedangkan dari kamar lain terlihat seseorang yang tersenyum tipis melihat adegan antara ibu dan anak itu.



Seruni sedang menikmati sebotol minuman beralkohol seorang diri. Dia tengah menunggu Genta. Mereka ada janji untuk kencan dan menghabiskan malam di salah satu hotel. Seruni sudah tak peduli lagi dengan moral dan etika. Dia sudah muak, terkungkung bertahun-tahun dengan berkedok sebagai istri setia tapi yang ia dapat hanya kekosongan dan kehampaan. Rumah Atmaja - 168



“Mbak.” Seruni kaget melihat kedatangan Bowo. “Bowo.” “Ayuk pulang Mbak, Mbak ngapain di sini?” “Bukan urusan kamu. Pergi sana! Biarkan aku sendiri.” Bowo tak peduli dan terus menarik tangan Seruni hingga Seruni masuk ke dalam mobilnya. “Kamu apa-apaan sih, Wo!” bentak Seruni. Bowo tak menggubris Seruni, dia langsung menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Kemudian menghentikan mobilnya di tempat yang sepi. “Kamu ngapain bawa aku ke sini hah?” “Kita harus bicara Mbak.” “Bicara apa? Aku sudah bilang kita harus hentikan semua ini. Kamu adik iparku, aku kakak iparmu.” “Kenapa baru sekarang? Dulu Mbak kemana saat menggodaku dan butuh seseorang untuk menghangatkan ranjangmu. Hah?” Bowo menatap Seruni penuh kemarahan. “Itu ....” “Kenapa? Apa karena ada Mas Bagas? Atau karena ada Genta?” “Bowo ... ammmph.” Bowo langsung mencium Seruni dengan buas. Bahkan tangannya sudah membelai bagian sensitif dari Seruni. Awalnya Seruni berontak hingga sentuhan Bowo tak mampu ia tolak. Terjadilah apa yang seharusnya tak terjadi. Genta yang baru saja sampai di club tempat janjian dengan Seruni kaget melihat Seruni yang ditarik paksa oleh Bowo dan dibawa ke dalam mobilnya. 169 - Bai_Nara



Genta berusaha mengikuti mobil Bowo, sayang pengejarannya terhalang oleh lampu merah. Butuh waktu setengah jam hingga dia menemukan mobil Bowo yang terparkir di tempat sepi. Genta langsung menuju ke arah mobil Bowo dan begitu kagetnya dia ketika melihat adegan yang terjadi di dalamnya. Seruni dan Bowo kaget. Genta menatap muak ke arah Seruni lalu segera pergi dari tempat itu. Dalam hati dia mengutuk diri sendiri yang menjadi korban Seruni. “Dasar wanita sialan. Aku pikir hanya aku. Sial!” Genta mengumpat terus sambil mengendarai mobilnya dengan kesetanan. “Hahaha. Budi saja yang playboy tahu kalau Seruni itu kakak iparnya. Hahaha. Bodoh kamu Genta. Bodoh.” Sementara itu Seruni berusaha melepaskan diri dari Bowo. “Bowo lepas.” “Gak akan Mbak. Kita belum menuju puncak.” Bowo terus memaksa Seruni hingga Seruni kembali terbuai oleh ulah Bowo dan mencapai puncak asmara bersama. Setelah selesai, Seruni menangis. Sungguh kali ini dia baru merasakan dirinya begitu kotor. Tidak punya harga diri. Dia bergelar istri tapi dengan mudahnya menerima cumbuan dari lelaki lain. Sahabatnya dan adik iparnya. “Mbak.” “Antar aku pulang, Wo.” “Mbak.” “Antar aku pulang.” Seruni masih menangis bahkan dengan sesenggukan. “Maaf Mbak.” “Untuk apa? Ini juga salahku. Salahku dari awal.” Rumah Atmaja - 170



“Mbak, aku mencintaimu Mbak. Aku cemburu saat kamu menghabiskan malam dengan polisi itu. Kenapa bukan aku?” lirih Bowo. Wajahnya menampilkan kesedihan yang tak terkira. “Antar aku pulang ,Wo.” “Mbak.” “Antar aku pulang.” “Mbak.” “Aku mohon, Wo. Aku lelah.” Bowo melihat Seruni yang tampak kelelahan. Diapun mengalah dan menjalankan mobilnya untuk kembali ke rumah.



Selama beberapa hari Seruni berusaha menghindari Bowo sedangkan Bowo selalu berusaha mengajak Seruni bicara. Tingkah keduanya tak ayal menjadi sesuatu yang mencurigakan di mata Nawang yang sering memergoki tingkah aneh keduanya. Hingga suatu hari, Nawang yang sedang melewati galeri milik Bowo mendengar adu mulut keduanya. Nawang berusaha mendengarnya. Namun, dia akhirnya memilih segera berlalu karena ada langkah kaki lain yang mendekat. Rupanya itu adalah Betty yang begitu khawatir dengan keadaan putranya. Betty hendak mengetuk pintu tatkala mendengar kegaduhan di dalam. Dengan pelan-pelan Betty membuka pintu dan terkejut melihat pemandangan yang ada di hadapannya. “Bowo, Seruni! Gila kalian!” pekik Betty. “Ibu.” “Bulik.” 171 - Bai_Nara



Betty menatap keduanya dengan mata nyalang penuh kemarahan. “Kalian ... jadi selama ini kalian ada hubungan.” “Bulik ....” “Diam kamu! Apa tak puas kamu jadi benalu di rumah ini. Apa kurang banyak Ibuku memberimu kompensasi hingga kamu juga merampas putraku hah?” Betty begitu marah. “Bu. Ini bukan salah Mbak Seruni. Bowo yang memang jatuh cinta padanya.” “Apa! Gila kamu! Apa tidak ada wanita yang lain hah?” “Gak ada Bu, Bowo memang cinta sama Mbak Seruni. Bowo hanya mau nikah dan punya anak sama Mbak Seruni.” “Gila kamu Wo,” pekik Betty. Saking marahnya Betty langsung mencekik Seruni. Seruni gelagapan dan sesak nafas. Bowo segera membantu Seruni. Namun cekikan ibunya ternyata sangat kuat. Hingga Bowo menarik kasar tubuh sang ibu hingga terjatuh. “Bu,” teriak Bowo. Dia langsung menghampiri sang ibu. “Maaf Bu, Bowo gak sengaja.” Betty menatap marah pada putranya. Putra kesayangannya. “Kamu mendorong ibumu, Wo?” Betty menatap putranya dengan binar terluka. “Maaf Bu, Bowo gak sengaja.” “Padahal ibumu ini melakukan banyak hal untuk kamu. Bahkan sampai mencelakai kakakku sendiri.” Baik Bowo dan Seruni kaget saat mendengarnya. “Kamu membela wanita itu?” Rumah Atmaja - 172



“Bu. Maafkan Bowo. Tapi demi Allah, Bowo mencintai Mbak Seruni. Bowo hanya mau nikah dengannya.” Betty gelap mata dan langsung memukuli putranya. Bowo hanya diam dan menerima setiap pukulan. Seruni dengan perlahan berusaha menyingkir namun gerakannya terhenti karena Betty sudah menarik rambutnya dan mendorongnya berkali-kali pada tembok. “Ibu. Hentikan. Ibu!” “Bulik ampun Bu ... ampun.” Seruni berusaha memohon ampunan dari Betty yang sudah kalap. Bowo sekali lagi menarik keras tubuh sang ibu hingga sang ibu terjatuh lagi. Bowo bahkan tak berusaha membantu sang ibu untuk berdiri. Dia malah sibuk membantu Seruni. “Mbak. Mana yang sakit? Coba Bowo lihat.” Betty yang melihatnya begitu marah. Dia melihat ada pisau pahat yang biasa digunakan Bowo untuk memahat patung. Betty langsung menyambarnya. “Wanita jahanam, kamu benar-benar wanita hina. Mati kau!” Betty langsung menghujamkan pisau ke arah Seruni. Seruni menghindar dan berteriak karena lengannya terkena sayatan pisau. Bowo yang kaget langsung menghalangi niat sang ibu. Mereka saling berebut pisau. Hingga .... Jleb. Mata keduanya saling melotot. Seruni berteriak kencang hingga suaranya mencapai ruang keluarga. Semua orang menghampiri ke arah suara. Kecuali Bagas, Bisma dan Binawan yang duduk di kursi roda. Nawang bermaksud ikut melihat ketika cekalan tangan Bagas menghalangi langkahnya. 173 - Bai_Nara



“Kamu di sini saja. Ingat kamu gak boleh kecapean. Ada anak kita di sana.” Nawang mengangguk dan memilih ikut menunggu saja. Bestari, Budi dan Binna langsung masuk ke galeri karena mereka mendengar teriakan Seruni dari dalam sana. Mata ketiganya melotot melihat adegan dimana Betty dalam posisi menusuk perut sang putra. “Bowooooo!” Budi langsung menerjang dan menangkap tubuh Bowo. “M-mas ...,” rintih Bowo. “Wo, bertahanlah. Aku akan membawamu ke rumah sakit.” Budi langsung menekan perut Bowo. Bestari berteriak histeris, Binna menutup mulutnya tak percaya sedangkan Maman dan Wanto tampak terkejut. Budi membopong Bowo dibantu oleh Maman dan Wanto menuju mobil. Wanto menjadi sopir sedangkan Budi dan Maman menemani Bowo di kursi tengah. Budi terus menekan luka Bowo Dengan menggunakan jaketnya. Namun usahanya sia-sia karena Bowo mengembuskan napas terakhirnya sebelum sampai di rumah sakit.



Rumah Atmaja - 174



27. Dalang Kematian Bagus D



uka menyelimuti keluarga Atmaja. Terutama bagi Binawan dan Bestari. Tampak sekali kesedihan pada raut muka keduanya. Mereka tak menyangka nasib cucunya begitu menyedihkan, mati ditangan ibunya sendiri, Betty.



175



“Bagaimana bisa, Betty membunuh darah dagingnya sendiri?” lirih Bestari. “Kamu bisa tanyakan nanti padanya,” ucap Binawan sambil mengembuskan napas. Bisik-bisik para tetangga dan keluarga mengiringi upacara pemakaman Bowo. Bahkan suara mereka sungguh terlalu keras. Seruni tidak ikut mengantar Bowo ke liang lahat karena harus dirawat setelah mendapatkan banyak luka fisik dari Betty. Betty sendiri tengah diinterogasi di kantor polisi. Bagas menatap gundukan tanah yang terdapat nisan bertuliskan Prabowo Putra Atmaja. Dia masih duduk di atas kursi roda ditemani Budi dan Wanto. Sementara keluarga lain sudah kembali ke rumah. Nawang sendiri tidak ikut, karena dia sedang hamil. Kata orang tua, ibu hamil tidak boleh ikut ke acara pemakaman katanya takut kena ‘sawan’. Entah benar atau tidak, baik Bagas dan Nawang ‘manut’ saja. Karena keduanya memang tak ingin terjadi hal-hal yang buruk dengan calon anak mereka. “Apa Bowo dan Seruni memang ada hubungan Budi?” tanya Bagas to the poin. “Iya.” Bagas mengembuskan napas panjang. “Sejak kapan?” “Entah sejak kapan. Mungkin sejak Mas Bisma berada di kursi roda.” Bagas tertawa miris. Seruni yang dia anggap wanita baik ternyata berbanding terbalik dengan Nawang. Bagas yakin jika orang tahu pekerjaan Nawang sebelumnya, mereka akan berpikir Nawang lebih buruk daripada Seruni yang berpenampilan anggun. Bagas kini sadar, jangan pernah menilai buku dari covernya. Rumah Atmaja - 176



“Termasuk kamu?” “Hampir.” “Ooo ... kenapa?” “Aku gak suka bekas orang. Aku suka menjadi yang pertama.” Bagas menatap Budi dengan tatapan bertanya, Budi menatap Bagas balik. Sedangkan Wanto memilih diam. Tapi telinganya sangat awas karena dia pun sangat penasaran dengan para penghuni Atmaja yang misterius. “Dulu aku juga punya seseorang, sayang dia mati karena ulahku yang hampir terjerat oleh Seruni.” Hening. “Mas Bisma mengalami masalah dengan alat reproduksinya. Malah mungkin Bisa dikatakan impoten.” Bagas kaget dan menatap Budi begitupun Wanto. “Bahkan sebelum duduk di kursi roda.” Budi paham arti tatapan Bagas. “Jadi?” “Mungkin Seruni tidak puas. Dia mungkin mendapatkan banyak harta dari Eyang karena mau menikah dengan Mas Bisma. Tapi aku yakin untuk urusan ranjang dia kurang puas. Karena itu dia menjadikan Aku, Bowo dan ....” “Dan?” “Pak Genta?” ceplos Wanto. Wanto kaget dan langsung menutup mulutnya. Budi terkekeh. “Kamu tahu rupanya?” “Gak juga sih Den. Cuma ya itu, saya sering ngelihat mereka jalan bareng. Dan ....” Wanto menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Hotel?” tanya Budi. 177 - Bai_Nara



“Iya beberapa hari yang lalu Den. Itu gak sengaja. Waktu nganter salah satu rekan Den Bagas itu loh yang dari Kalimantan.” “Oooo.” Bagas kemudian mengangguk. Mereka bertiga diam, kemudian Budi mengajak mereka kembali. “Aku ingin di sini sebentar Budi. Aku masih kangen sama ayahku,” tolak Bagas sambil menatap makam Bagus yang terletak di samping kanan pusara Bowo dan diselingi tiga makam. “Baiklah. Wanto jaga Bagas!” “Baik Den.” Budi berlalu meninggalkan pemakaman. Sedangkan Bagas mendorong kursi rodanya menuju makam sang ayah. “Ayah.” Bagas sedikit mencondongkan tubuhnya dan mengusap lembut makam sang ayah yang sudah dipondasi. “Ini Bagas. Maaf, Bagas baru nengokin Ayah.” Cukup lama Bagas berada di sana. Wanto hanya diam sambil sesekali melihat sekeliling hingga Bagas memanggilnya dan mengajak pulang.



Seluruh keluarga Atmaja duduk di ruang tamu. Selain mereka ada Genta dan juga beberapa polisi yang lain. Termasuk atasan Genta. “Jadi Pak Binawan, tindakan saudari Betty dipicu oleh kemarahan pada saudari Seruni karena ternyata saudari Seruni dan saudara Bowo ada affair. Dan kegiatan mereka terlihat oleh saudari Betty. Karena Rumah Atmaja - 178



marah, saudari Betty menyerang saudari Seruni. Hanya saja sayang, saudara Bowo yang cinta mati dengan saudari Seruni menghalangi niat sang ibu dan dialah yang menjadi korban.” Polisi yang bernama Hendra terus menjelaskan hingga kemudian .... “Ambisi saudari Betty untuk menjadikan putranya sebagai penerus kekayaan Atmaja juga menjadi pemicu tindakan saudari Betty. Salah satunya mencoba mencelakai saudara Bagas dan isteri serta kematian Pak Bagus.” “Ba-bagus. Kenapa dengan Bagus?” cecar Binawan. “Dia salah satu dalang kematian Pak Bagus, selain istri Anda tentunya.” Binawan kaget, pun dengan yang lain terutama Bagas. Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras, dahinya mengerut, dan matanya menatap marah kepada Eyang Putrinya. Nawang yang menyadari suaminya sedang marah, menggenggam tangannya. “Anda sudah tahu kalau istri Anda terlibat Pak Binawan?” “Iya. Tapi saya tak menyangka Betty juga ikut terlibat.” “Saudara Betty kondisi kejiwaannya sekarang terganggu. Dia terus meracau banyak hal. Salah satunya mengenai bujukannya kepada istri Anda untuk membunuh saudari Cempaka. Namun, di sisi lain dia sengaja menyuruh orang lain membunuh saudara Bagus.” “Mobil yang dikendarai suruhan istri Anda memang menyasar saudari Cempaka sedangkan orang lain atas suruhan saudari Betty bertugas untuk mencelakai saudara Bagus dengan kendaraan bermotor.” 179 - Bai_Nara



Hening. “Sayangnya saudara Bagus menjadikan dirinya tameng untuk sang istri. Sehingga dia terkena hantaman mobil sekaligus motor ketika menyelamatkan istrinya.” Bagas sudah menangis, ini adalah kebenaran yang baru ia ketahui. Ia tak pernah menyangka jika selama ini kedua orang tuanya sengaja dibunuh. Yang ia tahu mereka kecelakaan. “Apa kematian ibuku juga ulah Anda Eyang Putri?” tanya Bagas dengan tatapan penuh kebencian. Bestari hanya diam bahkan menundukkan kepalanya. “Hahaha. Kenapa Eyang membawaku ke tempat ini? Ke tempat yang tidak ada satupun yang menginginkanku.” “Bagas,” lirih Binawan. “Kenapa Eyang harus berbohong? Bukankah jika aku mati bersama ibuku kalian semua bisa tenang?” Bagas sudah tak mampu menahan amarahnya. Bagas langsung masuk ke kamar dengan mendorong kursi rodanya, Nawang segera mengikuti sang suami. Di dalam kamar, Bagas mengungkapkan kemarahannya dengan melempar semua barang yang ada. Walaupun ia marah, pantang baginya mengeluarkan di depan umum. “Mas ... sudah.” Nawang berusaha menenangkan Bagas tapi dia pun merasa takut. Bagas bukan Bagasnya lagi. Saat ini Bagas berubah menjadi seseorang yang menakutkan. “Mas ....” Nawang hanya bisa menangis saat suaminya masih melempar dan memukul-mukul kepalan tangannya pada benda di sekitarnya. Rumah Atmaja - 180



Sementara itu, di ruang tamu. “Kami harus membawa istri Anda, Pak Binawan,” ucap Hendra. “Baiklah. Sepertinya bangkai yang coba kusembunyikan akhirnya tercium juga.” Bestari menatap seluruh keluarganya dengan tatapan penuh keyakinan. “Ayo. Bawa aku segera.” Dengan tegak dan dagu diangkat, Bestari berjalan diikuti oleh para polisi. Binawan hanya mampu menatap punggung sang istri hingga dia menghilang dari pandangan. Cukup lama suasana keheningan tercipta. “Lebih baik Bapak kembali ke kamar Pak,” saran Binna. “Iya.” “Mbah Maman, tolong bawa Bapak ya.” “Nggih Den Binna.” Maman segera membawa majikannya menuju kamar. Saat melewati pintu kamar Bagas, Binawan mendengar teriakan Bagas dan hantaman benda-benda serta isakan Nawang. “Biarkan saja Juragan. Saya yakin Den Nawang mampu menangani suaminya. Biarkan saat ini Den Bagas meluapkan amarahnya.” “Iya.” Maman mendorong kursi roda majikannya hingga sampai ke kamar. Kemudian segera memindahkan Binawan menuju ranjang. Bahkan Maman masih setia menunggui majikannya itu.



181 - Bai_Nara



Budi tersenyum licik. “Akhirnya semuanya terbongkar juga.” “Iya,” sahut Binna lirih. “Ibu yakin tidak ikut terlibat?” “Bohong jika ibu bilang tidak, tentu ibu tahu ada andil Betty di sini. Dialah yang selalu memanasi ibu agar mencelakai Cempaka.” “Dan ibu diam saja?” “Budi ....” “Hahaha. Cara yang cerdas sekali ya Bu, mematikan dua lawan dalam satu hentakan. Tanpa ikut turun tangan. Cukup menyaksikan dan diam.” Budi menyeringai kemudian menatap sinis ke arah ibunya. Budi bangkit dan memilih keluar rumah. Dia butuh hiburan. Kini hanya tersisa Binna dan Bisma, sementara dari kamar Bagas suara bantingan benda-benda masih terdengar pun isakan Nawang. “Bisma ....” “Jangan lakukan apapun Bu, cukup Ibu bertindak seperti biasanya saja. Cukup diam walaupun Ibu tahu semuanya.” Bisma mengembuskan napasnya pelan. “Bisma ....” “Karena Bisma gak bisa bantu apa-apa jika Ibu terkena masalah.” Bisma menunjuk ke keadaan dirinya yang duduk di kursi roda. Binna mengangguk kemudian dia ingat dengan Seruni. “Seruni?” “Bisma akan menceraikannya. Selama ini Bisma tak masalah dia tidur dengan lelaki manapun tapi ... bukan dengan salah satu adikku, Bu.” Sekali lagi Binna mengangguk kemudian dia bangkit dan mendorong kursi roda putranya dan membawanya menuju kamar Bisma. Rumah Atmaja - 182



28. Vonis B



agas masih membanting apapun yang ada di dalam kamarnya. Sedangkan Nawang hanya bisa menangis sambil memegangi perutnya. “Hiks ... hiks. Mas Bagas. Hentikan. Nawang mohon ...,” lirih Nawang. “Kenapa mereka kejam Nawang, apa salah Ayah dan Ibuku. Apa!” Prang. Prang. “Mas ... Aw! Mas ...!” Bagas menatap Nawang, tiba-tiba dia sadar ketika melihat perut Nawang yang mulai membuncit. “Nawang ... kamu kenapa?” Bagas memutar roda dan mendekati sang istri. Bagas mengulurkan tangannya ke perut Nawang. Wajah Bagas pias. Dia baru sadar jika dia bertindak brutal dan labil.



183



“Naw ....” “Ssssttt ... diam.” Nawang mengarahkan tangan Bagas pada perut bagian bawah. Bagas terkesiap, Nawang sendiri tersenyum semringah. “Dia ....” Bagas tak mampu melanjutkan katakatanya. “Dia menendang Mas. Pertama kalinya menendang. Diusia kehamilan ke dua puluh empat minggu.” Bagas menatap Nawang dengan mata berkaca. “Kalau Mas seperti ini terus, lalu kami bagaimana? Mas mungkin lupa kalau seandainya Mas bahagia bersama Ayah dan Ibu atau ikut mati dengan mereka, lalu Nawang sama siapa?” Hening. Nawang melanjutkan bicaranya. “Mungkin aku akan berakhir dengan Kevin atau lelaki buaya yang lain.” “Nawang ....” “Nawang belum selesai Mas.” Bagas memilih diam, namun tangannya terus meraba perut sang istri dan lagi tendangan itu semakin terasa. Mau tak mau senyum terbit pada bibir Bagas. “Mas lihat anak yang di perut Nawang. Dia bisa merasakan kehadiran Ayahnya. Jadi Nawang mohon, bangkitlah Mas. Jaga kami, lindungi kami dan bahagiakan kami.” Bagas menatap Nawang dengan mata berkaca kemudian melingkarkan tangannya pada perut Nawang. “Mungkin Allah memang telah mengambil kedua orang tua Mas Bagas, tapi dengan begini kita jadi ketemu, kita jadi bertengkar, kemudian melakukan kesalahan satu malam, digrebek warga, dinikahin pula, lalu kita jatuh cinta.” Rumah Atmaja - 184



Nawang menatap Bagas yang sedang menatapnya pula. Tangan Bagas masih melingkar di perut Nawang. “Dan yang ada di perut Nawang ini adalah buah cinta kita. Amanat dari Allah untuk kita berdua. Bukankah tugas kita untuk menjaganya.” Nawang mengusap rambut Bagas penuh sayang. Tubuh Bagas bergetar, hatinya menghangat. Nawang benar, semua sudah menjadi takdir Bagas. Kematian kedua orang tuanya, tidak diterimanya dia di keluarga Atmaja, pertemuan dan perpisahan dengan Seruni. Dan dari semua hal buruk yang terjadi dia akhirnya bertemu dengan Nawang. “Maaf,” ucap Bagas tulus lalu mencium perut sang istri. “Nawang maafkan, tapi lain kali Mas Bagas jangan kayak gini lagi ya.” “Iya, Mas Janji.” Nawang memeluk Bagas dan sesekali mencium rambut suaminya yang menurutnya sangat harum. “Dek.” “Iya.” “Bisa kunci pintunya.” “Kenapa?” Nawang melepas pelukannya dan menatap Bagas bingung. “Tolong kunci.” Meski bingung Nawang akhirnya menuruti permintaan Bagas. Bagas berusaha berdiri, Nawang yang mengetahui Bagas hendak berjalan pun segera menolongnya. Dengan tertatih Bagas berjalan menuju ranjang mereka yang berantakan. “Kakinya gimana Mas?” “Udah ada perubahan. Ini buktinya bisa jalan walau masih tertatih. Sini duduk!” 185 - Bai_Nara



Nawang mematuhi perintah Bagas dan duduk di sampingnya. Bagas melempar semua benda yang ada di atas ranjang. Nawang hanya menatap Bagas bingung. Bagas mendekatkan tubuhnya dan dengan perlahan memperpendek jarak keduanya. Bagas mencium Nawang lembut sekali yang lama kelamaan berubah panas dan menuntut. Nawang pasrah tatkala Bagas mengajaknya untuk melakukan hal yang lebih panas lagi. Nawang menjatuhkan kepalanya di dada Bagas. Mereka berdua masih mengatur napas. Bagas memeluk sang istri dengan sayang. Sesekali mengusap perut sang istri dan mengecup lembut kepalanya. “Mas udah puas?” “Puas. Kamu selalu hebat, Dek.” Nawang tersenyum lalu menggulingkan badannya pelan di sisi kanan Bagas. “Mas juga selalu hebat, jantan kayak singa pokoknya.” Bagas hanya tertawa. “Sepertinya mulai sekarang kamu harus memimpin, Dek.” Nawang mencubit perut Bagas hingga keduanya tertawa bersama. Nawang memeluk mesra Bagas pun dengan Bagas. “Dek.” “Hem.” “Aku mencintaimu Sayang.” Nawang tersenyum. “Nawang juga Mas, Nawang sangat mencintaimu.” Bagas membawa kepala Nawang ke dadanya. Mereka pun terlelap dengan nyenyaknya.



Rumah Atmaja - 186



Seruni menatap kosong ke arah taman rumahnya. Beberapa luka di dahi dan tangannya bekas ulah Betty kadang masih menghadirkan rasa sakit. Namun, rasa sakitnya tak sesakit surat gugatan cerai yang dikirim Bisma untuknya. Belum lagi gosip di sekitarnya harus ia terima. Rupanya perselingkuhannya dengan Bowo sudah tersebar di seluruh penjuru desa dan mungkin beberapa orang di Indonesia juga tahu. Karena berita kematian Bowo oleh ibu kandungnya sendiri sempat viral di media. Mau tak mau para netizen yang budiman mencari tahu sebab yang mendasari tindakan Betty dan akhirnya menyeret kisah perselingkuhan Seruni dengan Bowo. “Run, makan dulu Nduk.” Kartini menghampiri putrinya dan membawakan makanan. “Bu ... Runi gak laper,” lirih Seruni. “Kamu harus makan Nduk. Satu minggu ini kamu jarang makan. Lihat tubuhmu. Kamu jadi kurus banget. Ibu sedih melihatnya.” “Nanti saja Bu, Runi belum lapar.” “Sedikit saja ya Nduk, Ibu mohon.” Seruni tetap tidak mau makan, Kartini terus membujuknya bahkan ikut menangis menyebabkan Seruni mau tak mau memakan makanannya walau enggan. Kartini menatap sedih putrinya, putri kesayangannya dan kebanggaannya. Kartini maupun Panji, Ayah Seruni tak bisa menyalahkan tindakan Seruni sepenuhnya. Karena bagaimana pun, mereka ikut andil dalam 187 - Bai_Nara



membentuk tindakan Seruni yang memang membutuhkan kasih sayang dan nafkah batin yang tak bisa dipenuhi oleh Bisma. “Kita ke Jakarta saja ya Nduk,” bujuk Kartini. Seruni menatap ke arah ibunya. “Maksud Ibu?” “Kita semua pindah. Kita lupakan semua yang sudah terjadi di sini. Kita mulai dari awal ya?” Seruni menatap kosong ke arah ibunya, lama dia terdiam kemudian menggeleng. “Gak Bu, Runi gak mau.” “Kenapa? Apa yang kamu harapkan? Kamu masih mengharapkan kembali dengan Bisma?” “Enggak Bu, Runi udah gak peduli dengan Mas Bisma.” “Terus apa? Jangan bilang karena ada Bagas. Dia udah nikah Runi?” “Iya Bu, dan harusnya Runi yang jadi istrinya. Kalau saja Runi gak mengikuti saran Ayah dan Ibu.” Seruni menunduk dan mulai menangis. “Runi ....” “Runi gak bahagia Bu, Runi gak pernah bahagia. Hanya materi Bu yang bisa Mas Bisma kasih, bahkan sebelum dia terkena musibah dan gak bisa jalan. Hiks ... hiks ... hiks.” Kartini menatap sedih sang putri kemudian memeluknya. “Maafkan kami Nduk, Ayah sama Ibu juga salah sama kamu. Kami terlalu silau dengan materi.” “Runi gak mau pergi Bu, Runi gak mau kehilangan Bagas lagi. Mas Bisma sudah menceraikan Runi tapi Runi mau mendapatkan Bagas lagi. Bagas milik Runi.” “Runi sadar Nak, apa kata orang tentang kamu nanti.” Rumah Atmaja - 188



“Runi gak peduli. Toh, semua orang sudah menganggap Runi jelek jadi gak masalah. Gak masalah Runi mau disebut tukang selingkuh atau pelakor. Dan kali ini Runi memang bertekad untuk merebut Bagas dari Nawang.” “Runi ....” Kartini menatap takut pada putrinya. Dalam mata putrinya terpancar kesungguhan akan kata-katanya tadi.



Kehamilan Nawang sudah mendekati kelahiran, selama tiga bulan ini Bagas Rutin melakukan terapi dan alhamdulillah keadaan kakinya sudah semakin membaik dan mampu berjalan normal. Betty divonis dua puluh tahun penjara sedangkan Bestari divonis kurungan sepuluh tahun. Tak ada yang bisa dilakukan oleh Binawan kecuali pasrah. Keadaan Betty yang terganggu pasca kematian Bowo mejadi pertimbangan bagi hakim ketua. Sehingga untuk sementara Betty dirawat di rumah sakit jiwa. Ketuk palu sidang hari ini mempertegas semuanya. Bertepatan dengan itu sidang perceraian Bisma dan Seruni pun diputuskan pada hari ini. Binawan menatap sang istri yang akan masuk ke bui. Sungguh ironis sekali takdir hidupnya. “Jadi ini akhirnya.” Bestari menatap suaminya dengan tenang. “Iya. Dan aku minta maaf jika mungkin tak bisa menunggumu. Aku sadar waktuku mungkin tak akan lama lagi Bestari,” lirih Binawan. “Mungkin aku duluan yang akan pergi, Mas.” 189 - Bai_Nara



Binawan terkekeh. “Entahlah, aku tak tahu. Tapi aku rasa ini saatnya aku pamit padamu Bestari. Aku hanya takut aku tak sempat mengatakannya. Maaf karena tak pernah bisa menjadikanmu ratu di hatiku. Aku hanya bisa menjadikanmu ratu di rumahku. Tapi terima kasih untuk semua pengorbananmu yang telah melahirkan anak-anakku.” Mata Bestari berkaca-kaca. Setelah hampir enam puluh tahun mereka bersama rupanya memang tak pernah ada cinta di hati Binawan untuknya. Meskipun demikian, Bestari paham jika Binawan tetaplah lelaki setia. Meski tak pernah ada kata cinta dia tak pernah selingkuh dan memilih memendam cintanya pada sang pujaan hati. “Andai Puspa masih hidup dia pasti senang sekali Mas, dia tak pernah memiliki ragamu tapi dia selalu memiliki hatimu.” “Andai kau bukan penyebab kematian Puspa mungkin aku bisa sedikit memberimu tempat di hatiku Bestari,” lirih Binawan. Bestari menatap mata sang suami. “Mas tahu?” “Tentu saja, karena itu aku sangat marah ketika kamu melakukan hal yang sama untuk putramu. Aku hanya merasa kamu tak pantas dicintai sedangkan untuk menghabisi saudari bahkan putramu sendiri bisa kamu lakukan dengan begitu tega.” Bestari menitikkan air mata, sekali lagi dia menatap mata suaminya. “Sejak kapan?” “Sejak dulu, sejak kita menikah. Hanya saja curhatan hati Puspa membuatku berusaha menerimamu dan memilih diam. Memilih memenuhi wasiatnya sebagai bukti cintaku untuk kembaranmu.” Rumah Atmaja - 190



Bestari tak mampu berkata apa pun dia bahkan tak mencoba mengelak saat para petugas lapas menggiringnya ke penjara. Sampai di penjara Bestari menangis mengingat segala kejahatannya. Salah satunya mencelakai Puspa dan mengaku-aku bahwa dialah yang bertemu dengan Binawan di sebuah pesta hingga berujung pada mereka dijodohkan. Puspa yang merasa ditikung memilih diam. Namun, Binawan rupanya mulai menyadari gadis yang ia temui di pesta adalah Puspa. Hingga beberapa kali dia berusaha menggagalkan perjodohan Binawan dengan Bestari. Bestari yang merasa takut akan ditinggalkan akhirnya melakukan tindakan nekat dengan membiarkan Puspa sendirian ketika ada acara mengawasi perkebunan. Bestari menyuruh orang membunuh Puspa bahkan hampir memperkosanya. Puspa yang ketakutan melawan dan memilih nekat terjun ke jurang daripada dirinya diperkosa oleh orang suruhan Bestari. Puspa pun meninggal dengan luka parah di sekujur tubuhnya. Binawan yang merasa kehilangan hanya diam saat dirinya dipaksa menikahi Bestari bahkan hingga semua kejahatan istrinya terbongkar Binawan hanya diam. Hal ini dikarenakan buku diary milik Puspa yang meminta Binawan mengikhlaskan semuanya dan menerima kembarannya dengan hati lapang. Bahkan memintanya membahagiakan Bestari. Tapi sungguh, hingga detik ini hanya nama Puspalah yang ada di hati Binawan dan akan selamanya tertanam tanpa terganti.



191 - Bai_Nara



29. Pembagian Warisan K



esibukan Bagas mengurusi pabrik dan perkebunan kian bertambah apalagi Bagas sudah mulai memasarkan hasil teh dari pabriknya sampai negeri tetangga seperti Malaysia, Singapura, China, dan Brunei. Budi sendiri masih sibuk mengurusi cafenya. Setelah bercerai dengan Seruni, Bisma memilih menenggelamkan dirinya pada kegiatan berlatih membatik. Hasil kerajinannya sedikit-sedikit dipasarkan dengan bantuan Bagas.



192



Kehamilan Nawang sudah menginjak sembilan bulan. Tinggal menunggu sinyal dari buah hatinya yang diperkirakan berjenis kelamin laki-laki. Binawan tak bisa menyembunyikan bahagianya. Calon cicitnya adalah sumber kekuatannya untuk berjuang tetap hidup hingga melihatnya lahir ke dunia. Sementara kehidupan keluarga Atmaja mulai tenang. Tidak dengan Seruni. Ambisinya mendapatkan Bagas kian menggebu. Hampir setiap hari dia melakukan teror dengan selalu mengirim chat mesra kepada Bagas. Bagas sama sekali tak menggubrisnya. Bahkan setiap Seruni datang ke pabrik atau perkebunan, Bagas tak mau menemuinya. “Bagas. Bagas, tunggu! Gas.” Bagas tetap melenggang santai dan keluar dari salah satu restoran ternama di Purwokerto. Dia baru saja bertemu dengan salah satu rekan kerjanya. “Gas. Bagas!” teriak Seruni. Bagas tak menghentikan langkahnya dan langsung memilih masuk ke mobil. Seruni ingin masuk namun rupanya Bagas hanya membuka pintu pengemudi. Seruni marah dan menjambak rambutnya. Tiga bulan ini dia berusaha merayu Bagas bahkan terangterangan mencoba mengambil Bagas dari Nawang. Namun, kedua suami istri itu begitu kompak. Bagas kompak cuek dan menghindar sedangkan Nawang kompak menghajar tanpa pedang. Seruni masih ingat bagaimana dia mati kutu di depan para kolega Bagas. Saat itu dengan pedenya dia menggunakan kemampuan bahasa Inggrisnya di acara peluncuran produk teh pabrik Atmaja. Namun siapa sangka Nawang juga bisa berbahasa Inggris. Padahal Nawang cuma lulusan Paket C. “Kamu benar-benar berubah ya Runi.” 193 - Bai_Nara



Seruni berbalik dan mendapati Genta tengah berdiri di belakangnya. “Genta, kamu di sini?” “Iya. Dan aku cukup melihat drama yang kamu lakukan.” Genta menatap mata Seruni dengan tatapan penuh cinta. “Dan aku cukup bodoh untuk selalu jatuh kepadamu. Padahal banyak wanita di luaran sana. Seperti Bagas yang bisa mendapatkan Nawang harusnya aku juga bisa.” Genta memilih berlalu meninggalkan Seruni. Seruni hanya mampu menatap kepergian Genta dengan tangan gemetar.



“Kenapa kamu manggil aku, Gas?” “Karena aku gak tahu mesti minta tolong sama siapa.” “Apa seserius itu?” “Banget. Lihat ini.” Genta melihat beberapa surat kaleng yang ditujukan kepada Bagas. Semuanya berisi ancaman. “Menurutmu, Bu Binna terlibat juga?” “Entah. Bisa saja Budi dan Bisma terlibat, ‘kan?” “Budi bisa jadi. Tapi kalau Bisma gak mungkin.” “Tapi Mas Bisma bisa jadi otaknya.” “Iya juga sih. Tapi masalahnya si peneror kayaknya tahu benar seluk beluk rumah kamu.” “Makanya. Aku was-was karena belum bisa membongkar semuanya.” “Kamu kok diam saja sih dapat ancaman kek gini.” Rumah Atmaja - 194



“Aku gak mau Nawang stres. Lagian keadaan Eyang juga gak baik semenjak Bulik Betty masuk RSJ dan Eyang Putri masuk penjara.” “Keluarga kamu memang gak beres ya, Gas.” “Iya.” “Tapi kamu terlihat berhubungan baik sama Bisma dan Budi.” “Aku gak mungkin konfrontasi langsung, Genta. Begitupun mereka.” “Iya juga sih. Tapi menurutku Budi punya potensi paling besar, Gas. Dia sehat dan mungkin sifat cueknya hanya alibi.” “Entahlah.” “Ya udah, aku bakalan bantu kamu kok buat mengungkap siapa dalang teror di keluarga kamu.” “Makasih.” “Gas.” “Iya.” “Hmmm ... masalah ....” “Seruni maksud kamu? Kisah kami udah selesai, Ta. Sejak dia memilih Mas Bisma. Dan aku gak mau jadi orang bodoh yang melepas berlian demi kuningan.” Genta hanya tersenyum kikuk. “Setiap orang punya pilihan Ta, termasuk kamu. Aku memilih bersama Nawang dan calon anakku. Karena memang merekalah yang harusnya aku prioritaskan. Bukan mantan.” Bagas menatap tajam mata Genta. Genta memalingkan wajahnya. “Kamu juga punya pilihan, Ta. Dari dulu kamu bisa memilih.” “Aku suka sama dia sejak dulu, Gas. Bahkan sejak kalian masih bersama. Aku memilih mengalah. Tapi ... saat melihat dia tak bahagia. Aku merasa dia mem195 - Bai_Nara



butuhkan seseorang dan aku ingin menjadi yang berarti baginya.” “Tapi hubungan kalian salah, Ta. Tak seharusnya kalian selingkuh.” “Aku tahu. Andai kamu melihat kerapuhannya Gas. Kamu pasti akan bersikap sepertiku.” “Buktinya aku tidak. Aku memilih setia dengan Nawang.” “Gas ... kamu tuh gak lihat saat dia rapuh. Kalau kamu lihat kamu ....” “Kalau aku melihatnya, aku akan memilih menjauh. Karena aku tak mungkin merusak pagar rumah orang lain. Pantang bagiku untuk ....” Ceklek. Baik Bagas dan Genta menoleh ke arah pintu. Terlihat di sana Bisma dengan Budi yang sedang menghampiri mereka. “Mas Bisma, Budi. Kalian jadi datang?” “Iya. Kamu yang minta kita datang ya kami datang,” ucap Bisma ramah. “Iya Mas. Ada yang mau Bagas bicarakan.” “Aku pamit aja ya. Pasti kalian mau bahas hal penting.” “Maaf ya Genta.” Bisma menatap Genta dengan mimik muka kurang enak. “Gak papa Mas. Aku duluan semua.” Genta segera keluar dan kini ketiga cucu Atmaja duduk bersama. Bagas dan Budi duduk di sofa sedangkan Bisma di kursi roda. “Kita jadi bahas pembagian warisan, Gas?” Budi langsung to the point. “Iya, Eyang yang minta. Eyang minta dibagi empat. Untuk kita semua.” “Empat? Bowo juga kah?” tanya Bisma. Rumah Atmaja - 196



“Iya, Mas.” “Eyang masih hidup Gas, apa ini patut?” “Eyang yang minta Mas Bisma. Bagas cuma menjalankan amanat Eyang.” “Kebun sama pabrik gimana? Jujur aku gak bisa ngurus Gas. Bukan passion aku.” Budi tampak cuek. “Aku juga gak mungkin Gas, lihat kondisi aku.” “Sistem pembagian saham untuk kita semua. Aku dapat tambahan gaji karena aku yang terjun langsung untuk mengelola. Pun selama ini.” “Berapa banyak pembagiannya?” “Masing-masing dua puluh persen sedangkan Budhe Binna dan Bulik Betty masing-masing dapat sepuluh persen.” Ketiganya diam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga Bisma mendesah. “Aku gak tahu aku ini pantes apa enggak mendapat bagian. Sementara selama ini aku menjadi beban. Aku ....” “Ini sudah keputusan Eyang, Mas. Eyang pasti sudah banyak pertimbangan.” “Jadi mau nolak juga gak mungkin kan, Gas.” “Gak mungkin Budi, karena sepertinya Eyang sudah menyiapkan semuanya. Dan berharap masalah ini segera selesai. Hingga di masa tuanya Eyang bisa tenang.” “Baiklah. Aku manut Eyang saja Gas,” ucap Bisma. “Oke. Aku setuju aja. Bukannya memang lebih baik seperti ini. Lalu bagian Bowo gimana, Gas?” tanya Budi. Bagas mengembuskan napas lalu mulai bicara. “Dibagikan untuk panti asuhan. Semua sudah diurus sama Eyang. Tinggal bagian saham Bowo aja yang belum diapa-apain sama Eyang.” 197 - Bai_Nara



Kedua kakak beradik menatap kaget ke arah Bagas. Sedetik Bagas seperti menangkap kilatan tidak terima pada sepasang mata itu. Namun, si pemilik mata langsung bisa menguasai diri. Hingga membuat Bagas bingung apakah yang tadi ia lihat itu benar atau tidak karena saking cepatnya. “Ooo. Eyang gercep banget kayaknya.” Budi mengucap sinis. Bagas masih menatap Budi penuh selidik kemudian aksinya teralihkan oleh ucapan Bisma. “Karena Eyang gak mau nantinya timbul masalah Budi. Ya kan Gas?” “Iya Mas, makanya Eyang ngotot untuk segera diselesaikan. Bagaimana?” “Aku terserah Eyang, Gas.” “Aku juga. Malas terlalu lama. Kalau memang Eyang maunya segera dibagi ya kita terima aja.” Budi walau terkesan cuek aslinya senang. Lumayan. Dia memang butuh uang juga dalam waktu dekat. Sedangkan Bisma bersyukur, dengan uang itu dia bisa memulai hidup baru. Sementara kenyataan di depan Bagas, membuat Bagas memiliki banyak argumen dan dugaan.



Rumah Atmaja - 198



30. Tingkah Aneh Budi B



agas sedang mengamati beberapa sertifikat tanah hasil warisan sang Eyang. Bukannya senang tapi Bagas justru terlihat enggan. Sebuah sentuhan menyadarkannya bahwa di ruang itu ada Nawang. “Mas kenapa?” “Mas capek, Dek.” “Mau Nawang peluk?” “Boleh.”



199



Bagas membaringkan diri dan menaruh kepalanya di pangkuan sang istri. Sengaja mukanya menghadap perut sang istri dan seperti biasa Bagas mengobrol dulu dengan jagoannya. Obrolan aneh yang akan membuat Nawang tertawa. Setelah mencium perut Nawang, Bagas mencoba memejamkan mata. Tak lupa tangannya melingkar di perut sang istri. Nawang membelai lembut rambut suaminya. Ia tak banyak bicara karena tahu Bagas sedang lelah dan butuh istirahat. Sementara itu, di salah satu bagian rumah, Budi sedang menatap marah hasil pembagian warisan dari eyangnya. “Ck. Kenapa Bowo harus dapat juga? Dia kan udah mati. Agghhhh ... sial. Mana mungkin aku ngambil bagian Mas Bisma sama Bagas. Pasti ketahuan. Aghhh ... sial sial sial. Lagian kenapa bagian Bowo langsung disedekahkan sih?” Budi hilir mudik mencoba berpikir. “Apa aku pinjam bagiannya Ibu yang sepuluh persen? Ah, tapi pasti Ibu bakalan bertanya untuk apa? Belum lagi Mas Bisma pasti juga akan bertanya ini itu.” Budi masih berjalan mondar mandir. “Perkebunan sama pabrik gak mungkin bisa diutakatik. Jadi hanya tanah atau kebun yang sudah dibagikan. Andaikata aku minta bagian Ibu tetep saja tidak akan cukup. Tapi ... kalau bagian Ibu dan Bulik digabungkan ... nah, baru bisa.” Budi langsung segera menemui ibunya. Berharap usahanya berhasil.



Rumah Atmaja - 200



“Bagaimana bisa Budi?” Binna kaget dengan kenyataan yang menimpa Budi. “Rumah ini gak mungkin dijual karena ini sudah atas nama Eyang Putri. Hanya ada bagian ibu saja. Bagian Betty gak mungkin bisa kita ambil. Karena yang menyimpan adalah pengacara Bapak.” “Bu, Budi mohon bantu Budi.” Binna bingung harus berbuat apa. Dalam hati dia menyesali kenapa Budi bisa seceroboh itu. “Bagaimana jika bagian Mas Bisma, Budi pinjem dulu.” Binna kaget dengan omongan Budi. “Jangan gila kamu! Kasihan mas kamu.” “Bu, Mas Bisma gak bakalan tahu. Lagian dia belum butuh. Tapi Budi butuh, Ibu. Tolong Budi, Bu? Ibu mau Budi celaka?” Binna bimbang antara memilih Budi atau Bisma. Bagaimanapun keduanya adalah putra-putranya. “Bu,” lirih Budi. Matanya menyorotkan permohonan. “Baiklah. Tapi janji segera kamu kembalikan.” “Budi janji asal Ibu gak ngomong ke Mas Bisma.” Dengan wajah semringah Budi keluar dari kamar ibunya. Dalam tas kerja miliknya, ia sudah mempunyai modal agar dia bisa keluar dari masalah yang menghimpitnya. Budi segera mengambil kunci mobil dan bermaksud menemui seseorang. “Budi.” Budi sedikit kaget, dia agak gugup mendapati Bisma tengah menghampirinya. “Kamu mau kemana?” “Mau ke cafe Mas, biasa mau ngecek keadaan cafe.” “Oooo, hati-hati ya?” “Iya Mas, Budi duluan ya.” 201 - Bai_Nara



“Iya. Jangan ngebut Budi.” “Oke.” Setelah Budi pergi Bisma mendorong kursi rodanya menuju teras belakang. Di sana ada Nawang, Juminten dan juga Binawan. Nawang terlihat sedang tertawa. Sungguh cantik sekali Nawang. Bagas sungguh beruntung mendapatkan Nawang. Selain cantik dia juga supel, ramah dan setia. Beda sekali dengan Seruni. Menyebut nama Seruni ada kemarahan dalam dadanya. “Kamu pasti sedang mencoba menggoda Bagas kan Runi, hehehe.” Bisma tertawa miris kemudian memilih menuju ke kamarnya.



“Hai Gas, makan siang yuk.” Seruni tanpa malu menghampiri meja kerja Bagas. Ia tak peduli dengan kasak kusuk para pekerja. Masa bodo, predikat tukang selingkuh sudah melekat pada dirinya jadi tak masalah jika ditambah satu predikat lagi yaitu pelakor. “Keluar Seruni, sebelum aku mengusirmu!” “Hahaha. Ayolah Gas, jangan gitu. Kamu pasti bakalan seneng kalau pergi sama aku. Karena aku bisa ngasih semua hal buat kamu. Sesuatu yang tidak bisa kamu dapatkan dari istrimu yang sedang hamil itu.” Seruni tersenyum genit berharap Bagas akan tergoda. “Oh ya, emang kamu bisa kasih apa ke aku. Sandang? Nawang selalu bisa memilihkan baju yang pas dan mampu menampilkan wajah tampanku yang kata Nawang mirip Lee Min Hoo. Dia juga bisa kasih aku makanan yang enak karena dia pintar masak.” “Tapi Gas, dia ....” Rumah Atmaja - 202



“Dia juga bisa kasih aku anak Seruni yang itu berarti untuk urusan ranjang dia sangat hebat sehingga aku begitu tergila-gila dengan tubuhnya.” Bagas mendekati Seruni yang sudah menahan kesal. “Jadi aku gak yakin kalau kamu lebih hebat dari Nawang.” “Tentu aku lebih hebat. Aku janji aku bisa puasin kamu lebih dari yang diberikan Nawang,” ucap Seruni berapi-api. Bagas tertawa mengejek. “Sayangnya aku lebih puas dengan milikku sendiri. Bukan milik orang lain apalagi harus berbagi,” desis Bagas. “Bawa wanita ini keluar Yudhi,” perintahnya pada satpam yang sudah datang karena dichat Bagas. Seruni berteriak akibat tarikan satpam. Seruni bahkan mengeluarkan sumpah serapah pada sang satpam maupun pada Bagas. Tingkah Seruni mengundang setiap orang menatapnya dengan tatapan mencemooh. Bruk. Seruni dehempaskan di pinggir jalan sedangkan satpam lainnya langsung menutup gerbang pabrik. “Buka. Buka. Aku perintahkan pada kalian untuk membukanya. Buka! Bagas brengsek kamu. Kamu itu cinta aku. Kita saling mencintai. Jangan lakukan ini sama aku. Hiks ... hiks ....” Kedua satpam yang berjaga tak bergeming. Mereka hanya menatap Seruni tanpa mau menolong. Orang yang melihatnya pun terlihat enggan menolong malah terkesan masa bodo. Seruni hanya bisa menangis. Tingkahnya terlihat oleh seseorang dan orang itu menghampiri Seruni. “Ayo pulang.” 203 - Bai_Nara



Seruni menatap ke arah orang itu, Genta. “Jangan permalukan dirimu dengan kentara seperti ini Runi. Ini bukan kamu.” Genta menarik tangan Seruni. Seruni hanya pasrah karena bertahan di sini pun percuma. Bagas tak akan menemuinya. Genta segera melajukan mobilnya begitu Seruni sudah masuk ke dalam mobil. “Aduh Den, kayaknya Pak Genta udah kadung bucin sama Den Runi.” “Kamu benar To, Genta udah gak bisa diajak kerjasama lagi. Kredibilitasnya sudah diragukan.” “Iya, makanya Pak Bagas minta tolong teman Pak Bagas yang orang Kalimantan ya?” “Iya. Mereka udah mulai bantu aku.” “Syukurlah.” Keduanya masih menatap mobil Genta sampai hilang dari pandangan.



“Ini.” Budi menyerahkan sejumlah uang untuk kliennya. Klien yang telah membohonginya sehingga cafenya hampir saja menjadi milik orang itu. “Hahaha. Bagus. Senang bekerja sama dengan Anda.” Budi hanya menatap sinis lelaki di depannya. Sial, bagaimana bisa dia bekerja sama dengan orang ini? Rupanya dia penjahat kelas kakap untuk prostitusi dan narkoba. “Sepertinya urusan kita sudah selesai, saya pamit. Saya cuma berharap Anda tidak mengganggu saya lagi.” Budi segera pergi dari hotel tempat mereka bertemu. Rumah Atmaja - 204



Orang itu mengembuskan asap rokoknya. Kemudian dia mengeluarkan selembar foto seorang biduan wanita cantik dengan dandanan seksi dan bibir terpoles lipstik merah menyala. “Aku tak sabar bertemu dengan kamu lagi Mawar. Sebentar lagi kamu akan menjadi milikku.” Lelaki itu mengecup foto sang biduan dengan mesra. Sementara itu di belahan bumi lain di Kalimantan. Beberapa polisi tengah mengevakuasi mayat perempuan beserta anaknya. “Bagaimana?” tanya salah seorang polisi. “Sudah tertangkap. Sepertinya karena faktor kecemburuan.” “Baiklah. Bawa tersangka ke kantor polisi dan segera proses.” “Baik.” Selanjutnya beberapa petugas tengah menyeret seorang wanita muda yang mencoba mengelak untuk ditangkap. “Lepasin aku. Kalian gak tahu siapa aku. Ayahku berbahaya. Ayah! Tolong Mayang! Mayang dijebak. Ayah harus bunuh Kevin! Bunuh dia Ayah.” Mayang masih meronta-ronta hingga tubuhnya menghilang dan masuk ke dalam mobil patroli. Sementara itu ada sepasang mata yang menatap putrinya dengan rasa sedih sekaligus marah. “Kevin benar-benar mencari masalah denganku. Apa kamu sudah dapat info dia dimana?” “Ada yang memberi kami kabar dia di Banjarnegara, Bos.” “Siapa?” “Tidak tahu.” “Kalau begitu tak usah dipikirkan yang penting aku hanya ingin Kevin. Dia harus mati di tanganku.” 205 - Bai_Nara



“Baik Bos.”



Prawira menatap sedih mayat Nana dan Gina, cucunya. Dia begitu sedih mendapat kabar anak dan cucunya meninggal karena dibunuh oleh Mayang, istri Kevin. “Kenapa nasib kamu harus setragis ini? Maafkan Papa Nana, ini semua salah Papa. Andai Papa mengajarimu arti kesetiaan. Kamu gak akan rusak seperti ini. Kamu akan bisa bersama dengan Bagas. Lelaki yang kamu cintai setengah mati. Bukan malah menjadi istri kedua Kevin dan berakhir seperti ini.” Prawira masih menangis. Hatinya sungguh pilu. Dia sudah menyerahkan semuanya kepada pihak berwajib. Prawira sudah pasrah karena yang ia hadapi adalah orang-orang kriminal yang berbahaya. Di salah satu sudut di rumah duka, ada dua orang yang tengah mengamati tingkah Prawira. “Mereka dalam bahaya Bang.” “Iya, belum lagi di sana mereka juga masih belum menemukan musuh mereka siapa. Ini ditambah ada Kevin.” Kedua orang itu hanya bisa menarik napas lemah. Dalam hati berharap kedua orang tercinta mereka dalam keadaan baik-baik saja.



Rumah Atmaja - 206



31. Ujian Cinta B



agas masih menatap ponselnya. Berita yang baru saja dia terima membuatnya termenung lama. Meski dia tak menyukai Nana, namun mendengar dia meninggal dengan tragis tetap membuat sudut hatinya sedih. Bagas merasa bersalah karena tak bisa memberi hatinya untuk Nana. Mau bagaimana lagi, hati lebih tahu dimana dia ingin dilabuhkan dan bertahan. Ting.



207



Sebuah notifikasi berhasil mengalihkan lamunan Bagas. Dahi Bagas mengerut, rahangnya mengeras. Kini tugasnya semakin banyak, selain mengungkap misteri di keluarganya kini dia harus ekstra menjaga Nawang karena Kevin sudah berkeliaran di Banjarnegara. “Mas.” Bagas berusaha tersenyum ketika melihat kedatangan Nawang. “Iya.” “Belum berangkat?” “Belum. Nantilah.” “Jangan gitu Mas, mentang-mentang jadi bos malah jadi pemalas.” “Hehehe. Enggak gitu Sayang. Aku cuma berat aja ninggalin kalian.” Bagas langsung memeluk sang istri. Nawang cuma tersenyum dan membiarkan Bagas memeluknya lebih lama lagi. “Mas.” “Hem.” “Sana berangkat.” “Iya.” Meski enggan, akhirnya Bagas berpamitan pada Nawang. Seperti biasa, Bagas meminta Nawang untuk berhati-hati dan jangan lupa memberi tahunya kalau terjadi apa-apa. Nawang mengantar sang suami hingga mobil Bagas tak terlihat lagi. Lalu dia pun masuk ke dalam rumah. Sampai di ruang tamu dia tertegun. Bisma rupanya melihat tingkah Nawang dan Bagas tadi. “Mas Bisma.” Nawang berusaha menyapa Bisma. “Kalian romantis sekali. Andai ... ah, sudahlah. Lupakan. Mas masuk ya Nawang.” “Iya Mas.” Rumah Atmaja - 208



Meski heran dengan tingkah Bisma, Nawang pun memilih kembali ke kamarnya. Sementara itu di tempat lain, Kevin sedang marah. Dia sedang mengobrak-abrik ruangannya. Beberapa anak buahnya hanya diam. Mereka paham sifat bos mereka jadi diam adalah hal yang terbaik. “Hahaha. Kamu nikah sama laki-laki itu, Nawang. Kamu nolak aku tapi kamu nikah sama laki-laki itu. Bahkan kamu sedang hamil. Hahaha. Brengsek!” Prang. Prang. Kevin masih mengamuk membabi buta. “Soni!” “Ya, Bos.” “Bunuh laki-laki ini.” “Baik, Bos.” Soni dan beberapa temannya segera melaksanakan tugas dari Kevin.



Bagas baru saja keluar dari pabrik, cuaca sudah mulai menggelap. Dia segera masuk dan menjalankan mobilnya. Untuk menuju ke rumah Atmaja, Bagas harus melewati kawasan hutan yang sepi. Sampai di kawasan hutan yang sepi itu, Bagas bisa melihat ada sebuah mobil mengikutinya. Bagas melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Namun sayang, rupanya sudah ada mobil lain yang menghadangnya. Ada sekitar enam orang yang keluar dari dua mobil dan mereka langsung menuju ke mobil Bagas. “Keluar!” bentak mereka. 209 - Bai_Nara



Bagas pun keluar. Belum juga dia menutup pintu salah satu dari mereka meninju Bagas. Bagas berkelit dan terjadilah baku hantam. Namun Bagas sudah lebih siap. Keenam pria itu mampu ditangani oleh Bagas. Seseorang dari mereka mengeluarkan pistol dan hendak membidik Bagas, namun justru orang itu yang tertembak. Lima penjahat yang lain kaget. Mendapati di balik pepohonan ada yang menolong Bagas. Bagas menggunakan kesempatan ini untuk menyerang salah satu dari mereka hingga terluka parah di bagian rahang dan perut. Penjahat yang lain juga mengeluarkan pistol namun sekali lagi, tembakan terdengar dari balik pohon. “Sial! Siapa kamu? Keluar!” Dor. “Aaaa.” Dor. “Aaaa.” Sebanyak empat tembakan dilancarkan ke arah para penjahat. Bagas bingung dan memilih bersembunyi di balik pohon. Dari balik pohon, Bagas bisa melihat kawanan penjahat terluka dan tak bergerak. Dengan pelan-pelan Bagas mencari siapa yang membantunya. Namun nihil, penolongnya sudah pergi. Bagas akhirnya menghubungi Genta. Tiga puluh menit kemudian, Genta dan anak buahnya datang dan memeriksa lingkungan sekitar. Bagas hanya diam sambil menyandar di kap mobil. Sungguh aneh, siapa penolongnya tadi? Bagas masih sibuk dengan berbagai dugaan di kepalanya. Sementara, dari jauh sekitar lima kilometer dari lokasi Bagas. Seseorang bertopeng tengah Rumah Atmaja - 210



memainkan senjatanya dan menghembuskan asap dari sebatang rokok. “Belum saatnya kamu mati, Bagas Atmaja. Keturunan Atmaja yang lain hanya boleh dibunuh olehku. Bukan yang lain. Hahaha.” Orang itu akhirnya berlalu meninggalkan tempatnya menuju ke suatu tempat.



Nawang memeluk suaminya dengan perasaan lega. Dia tadi sangat khawatir mendapat kabar suaminya diserang. Untung saja tak terjadi apa-apa dengan suaminya. “Mas. Mas gak papa, ‘kan?” “Enggak.” Bagas mengusap punggung Nawang lembut dan sesekali mengecup rambutnya. “Syukurlah. Kira-kira mereka yang mau jahatin Mas Bagas siapa ya?” Kevin, batin Bagas. “Mas gak tahu.” Hanya itu jawaban yang diberikan oleh Bagas. Dia tidak mau Nawang kepikiran dan akan membahayakan Nawang dan putranya. “Mas. Nawang takut.” “Gak akan terjadi apa-apa, Sayang. Kita akan baikbaik saja. Oke.” Nawang semakin mengeratkan pelukannya pada Bagas begitupun dengan Bagas. “Gas.” “Iya Eyang.” “Kamu sudah minta Genta mencari tahu siapa yang berusaha mencelakai kamu, ‘kan?” “Sudah Eyang.” 211 - Bai_Nara



Binawan mengembuskan napasnya pelan. Dalam hati dia mengutuk siapa pun yang berniat jahat kepada Bagas. Matanya berkaca-kaca menatap cucunya. Cucu yang paling disayanginya dibanding cucu yang lain. “Gas.” “Iya Eyang.” “Berjanjilah pada Eyang untuk selalu hidup.” Bagas menatap Eyang Kakungnya, terlihat sekali ada kerapuhan, kesedihan dan harapan dalam mata itu. “Insya Allah, Eyang. Semoga Allah memberi Bagas dan Nawang kesempatan untuk hidup sampai kakek nenek.” “Amin.” Di tempat lain, Kevin lagi-lagi marah karena anak buahnya malah mati sedangkan Bagas masih hidup. Prang. Prang. Prang. “Baiklah. Aku tak peduli. Bagaimana pun caranya kamu harus menjadi milikku Nawang.” Kevin menatap foto Nawang penuh cinta dan dendam. “Budi, aku harus memanfaatkan Budi untuk bisa mendapatkan Nawang. Ya. Hahaha.” Senyum licik Kevin terbit kemudian dia menyuruh anak buahnya memanggil Budi. Tanpa Kevin sadari, salah satu anak buahnya menatap Kevin dengan tatapan siaga. Kemudian sang anak buah segera mengirim chat pada seseorang dan mengabarkan niat jahat Kevin pada Nawang. Orang yang dihubungi membalas sang mata-mata dengan permintaan agar terus mengawasi Kevin dan anak buah Kevin yang lain.



Rumah Atmaja - 212



Budi mencengkeram HP-nya dengan tangan gemetar. Chat dari Kevin membuatnya marah. Bagaimana mungkin dia bisa berurusan dengan Kevin. Sungguh menyebalkan. Budi menggebrak meja kerjanya lalu mengacak-acak rambutnya tanda frustasi. Budi segera mengambil kunci mobilnya kemudian segera menjalankannya menuju ke kediaman Atmaja. “Mas Budi baru pulang?” tanya Nawang ceria. “Iya, Bagas mana Nawang?” “Masih di perkebunan, Mas. Bentar lagi pulang. Kan kita mau kontrol.” “Oh.” Budi menatap Nawang dengan tatapan bersalah. Dia dilema, apakah harus menjalankan perintah Kevin atau justru membantu Nawang. Jujur, Budi sangat menyayangi Nawang. Bukan cinta, tapi rasa sayang terhadap adik sendiri lebih tepatnya. “Nawang, tadi Bagas bilang aku suruh nganterin kamu ke dokter dulu. Dia pulang terlambat.” “Oh ya?” “Iya. Ayo aku antar.” “Ya sudah, Nawang siap-siap.” Nawang segera mengambil buku kehamilan, tas dan juga HP-nya tak lupa dia mengirimkan pesan kepada Bagas kalau dia berangkat lebih dulu dengan Budi. “Ayo Mas.” “Ayo.” Budi segera membawa Nawang dengan mobilnya. Namun sebelum sampai ke klinik yang dituju, Budi menghentikan mobilnya ketika masih di tengah-tengah hutan. “Loh, kok berhenti Mas.” 213 - Bai_Nara



Budi hanya diam, raut wajahnya sendu. Nawang memperhatikan perubahan wajah Budi. Tiba-tiba Nawang merasa takut. Apalagi ada sebuah mobil yang berhenti tepat di depan mobil Budi. “Mas,” lirih Nawang. “Maafkan Mas, Nawang. Mas terpaksa.” “Mas kena—” Sebelum Nawang berhasil menyelesaikan kalimatnya, pintu di samping Nawang terbuka dan dua orang menyeret paksa Nawang dan membawanya ke mobil di depannya. Nawang menginjak kaki salah satu dari mereka dan menggigit kuat yang lain. Kemudian Nawang segera berlari sambil berteriak. Kedua orang itu kaget pun dengan Budi. Budi langsung keluar dari mobilnya dan ikut mengejar Nawang. “Toloooong, tolooong.” Nawang terus berteriak dan berlari. Dia masuk ke tengah hutan dan bersembunyi di balik semak-semak. Kedua orang suruhan Kevin terus mencari Nawang pun dengan Budi. Nawang masih bersembunyi sambil terus berdoa dan mengirim pesan pada Bagas. Bagas yang baru selesai dengan pekerjaannya segera membuka HP. Mata Bagas membelalak. Dan dia segera menuju ke tempat Nawang. “Itu dia,” teriak salah satu suruhan Kevin. Nawang segera berlari masuk lebih dalam ke hutan. Dalam hati dia terus berdoa semoga Bagas atau siapapun menolongnya. Karena kurang hati-hati dia tergelincir dan dia segera berpegangan pada apa saja yang bisa ia raih. Ya Tuhan, Nawang tak percaya dia hampir jatuh ke dalam sungai. Rumah Atmaja - 214



“Tolong ...,” teriak Nawang. “Tolong ....” Nawang takut, semakin takut apalagi mendengar langkah kaki, sepertinya ada seseorang yang datang. Apa itu mereka? Tidak apa-apa jika itu mereka. Asalkan anakku selamat, begitu pikir Nawang. Namun, seseorang yang datang membuatnya ketakutan. Apalagi senyum jahat dari wanita itu begitu kentara. “Seruni ...,” ucap Nawang. “Gak percuma aku ngikutin kamu setiap hari. Ini saatnya, kamu harus mati dan Bagas akan jadi milik aku.” “Seruni ....” “Selamat tinggal Nawang, sampaikan salamku untuk Bowo. Hahaha.” Seruni langsung menarik akar yang digunakan Nawang untuk berpegangan dan melepaskannya. Nawang ketakutan, dia berteriak. “Mas Bagaaaas ....” Blum! Suara tubuh Nawang yang menghantam air sungai terdengar. Seruni tertawa penuh kemenangan kemudian segera pergi dari sana sebelum ketahuan. Bagas yang sudah sampai di dekat mobil Budi merasa mendengar suara jeritan Nawang. “Nawang ... kamu dimana? Nawang ...!” teriak Bagas. Bagas menyusur masuk ke dalam hutan, dia terus mencari hingga pandangannya menatap tiga orang yang sedang mencari-cari sesuatu. “Budiii!” teriak Bagas. Budi kaget, namun sebelum dia bisa berkata, Bagas sudah memukulnya membabi buta. Puas dengan Budi, Bagas menghajar kedua orang suruhan Kevin tanpa ampun. Bahkan salah satu dari mereka hampir mati 215 - Bai_Nara



oleh Bagas, kalau saja Genta tidak datang dan langsung menghentikan aksi Bagas. “Gas, tenang.” “Aku gak bisa tenang, kamu bilang kamu bakal jagain Nawang saat aku sibuk. Lalu kamu dimana hah? Jawab!” Bagas menarik kerah Genta penuh kemarahan. Bahkan, Bagas mendorongnya kasar hingga Genta terjatuh ke tanah dengan keras. Bagas terus mencari Nawang mengitari hutan, dia kaget. Mendapati ada robekan gaun Nawang dan seperti bekas tubuh yang terpeleset. Dia menelusuri jejak itu hingga hatinya mencelos mendapati kenyataan bekas itu menuju ke aliran sungai di bawah. “Nawang! Dek! Tidak!” Bagas seperti orang gila, hampir saja dia melompat namun tubuhnya langsung ditarik oleh Genta. “Lepas! Aku harus menyelamatkan Nawang. Lepas, Genta!” Bagas memberontak. “Kamu jangan gila, Bagas. Kita gak tahu kedalaman sungai itu. Kita akan minta bantuan polisi untuk menyusuri tempat ini.” “Gak. Aku harus menyelamatkan Nawang. Lepas!” “Gak akan! Kamu jangan bodoh! Kalau kamu terjun dan mati siapa yang bakalan nyari Nawang, siapa yang bakalan dipanggil ayah, sama anak kamu, hah?!” katakata terakhir Genta membuat kesadaran Bagas kembali. Bagas terduduk, kemudian menutup mukanya dengan kedua tangan. Dia menangis. “Nawang ... Nawang ... maafkan Mas, Sayang.”



Rumah Atmaja - 216



32. Darah Lebih Kental B



agas menatap potretnya dengan Nawang. Bahkan dia tak bisa membendung lagi air matanya. Binawan sendiri hanya bisa diam pun dengan Bisma dan Binna.



217



Kejadian hari ini menambah daftar guncangan pada keluarga Atmaja. Dari mulai kematian Bowo, Betty yang berada di RSJ, Bestari yang kini di penjara dan giliran Budi yang sedang diperiksa terkait dugaan percobaan penculikan. Genta masih sibuk mengurusi kasus ini. Dia sudah mengerahkan beberapa polisi hutan untuk mencari keberadaan Nawang. Bagas segera mengambil kunci mobilnya, dia harus bertemu dengan Budi. “Gas, kamu mau kemana?” tanya Binawan. “Bagas harus dengar sendiri dari mulut Budi, kenapa dia sampai mengumpankan istri Bagas, Eyang. Bagas gak percaya hanya karena masalah dia ditipu oleh rekan kerjanya sampai dia harus mengorbankan Nawang. Kalau dia memang butuh uang, ada Bagas. Bagas siap membantunya. Harusnya dia minta tolong. Toh, Bagas bisa menggunakan warisan Eyang. Apa susahnya menganggap Bagas saudara, bukalah dalam tubuh kami mengalir darah yang sama. Darah Atmaja.” Bagas mengucapkannya dengan penuh kemarahan. “Uang itu bisa dicari, gampang kok. Asal kita mau usaha. Tapi saudara gak bakalan bisa dibeli. Apa gunanya kami memiliki darah yang sama jika kami tak bisa saling berbagi, saling membantu layaknya saudara. Bagas gak butuh warisan Eyang. Bagas hanya ingin hidup normal seperti yang lain, punya istri, anak dan keluarga. Dari dulu Bagas gak pernah bermimpi punya saudara. Karena Bagas sadar, darah yang mengalir dalam tubuh kami semua terlalu sulit untuk disatukan. Kalian tahu kenapa? Karena ego kalian.” Setelah meluapkan kemarahannya, Bagas pergi begitu saja membuat ketiga Atmaja yang lain hanya terdiam. Namun, kebisuan mereka terpecah oleh kalimat pembuka yang disampaikan Bisma. Rumah Atmaja - 218



“Kenapa Ibu gak bilang ke Bisma kalau Budi butuh uang?” Binna menatap putra sulungnya penuh rasa bersalah. “Maafkan ibu, Bisma. Saat itu ibu takut. Takut Budi kenapa-kenapa jadi ... makanya ibu diam.” “Diam itu ternyata tidak menyelesaikan masalah Ibu. Lihat yang dilakukan Budi hari ini. Ini menambah masalah buat kita, buat keluarga kita.” “Ibu minta maaf, Bisma. Sungguh ibu tak bermaksud seperti ini. Ibu pikir, setelah menggunakan hak kamu dan ibu masalah Budi sudah selesai.” “Apa maksud kamu, Binna?!” Binawan membentak Binna dan memberinya tatapan tajam. Binna tertegun, kemudian matanya membulat. Astaga! Dia keceplosan. “Bu ....” “Binna, katakan sama bapak apa yang sudah kamu lakukan dengan hak milik Bisma!” Kini suara Binawan lebih keras lagi. “Ba-bapak ... maaf.” “Binna!” teriak Binawan. Binna hanya bisa menangis kemudian dia menceritakan kesulitan yang dialami Budi akibat ditipu oleh rekan bisnisnya. Hingga akhirnya, Budi meminta bantuan Binna untuk menggunakan bagian miliknya dan Bisma untuk melunasi hutang Budi. “Astaghfirullah, Binna! Bagaimana kamu tega. Itu hak Bisma, harusnya kamu bilang dulu sama Bisma. Atau jangan-jangan kamu juga berniat menggunakan bagian Betty juga. Iya!” “Bapak ....” “Cukup Binna, bapak selama ini diam meski bapak tahu kamu ikut andil dalam kematian Bagus. Meski bukan tanganmu yang ikut terlibat, tapi diammu itu 219 - Bai_Nara



sungguh keterlaluan Binna! Bapak kecewa dengan kalian semua. Kecewa.” Tanpa diduga, Binawan mendadak memegangi dadanya. Napasnya tercekat, seperti terhenti di tenggorokan. Lalu dia pingsan. “Bapak ...!” “Eyang!” Teriakan Binna dan Bisma membuat Maman yang berjaga di luar ruang perpustakaan segera melesat menuju ke dalam diikuti Wanto. Maman dan Wanto terkejut dan segera membawa Binawan menuju rumah sakit.



Bagas sedang menatap tajam Budi, Budi sendiri hanya menunduk sedangkan Genta hanya diam. “Siapa orang yang menyuruhmu?” tanya Bagas, dingin. “Kevin.” “Apa?!” “Kevin berbuat curang. Kami bekerja sama membangun sebuah cafe di Purwokerto. Tapi ... dia bermain licik sehingga aku harus membayar ganti rugi yang sangat banyak.” “Kanapa kamu gak bilang sama aku?” “Memangnya kita sedekat itu? Aku dan Mas Bisma saja yang satu ayah dan satu ibu tak begitu dekat, apalagi dengan kamu.” “Lalu kehadiranku kembali di rumah Atmaja, mengurus pabrik dan perkebunan kamu pikir karena apa? Karena aku begitu butuh warisan Eyang begitu? Hahaha. Maaf sekali saudaraku, aku tak butuh uang Rumah Atmaja - 220



Eyang untuk bisa hidup dengan layak. Aku membuktikannya selama hidup lima tahun jauh dari kalian.” Budi hanya bisa diam, tak bisa menyanggah. “Darah Atmaja yang membuatku kembali, darah Atmaja yang membuat tekadku semakin besar untuk menolong kalian. Aku sadar, darah kita terlalu kental. Seperti apapun hubungan kita semua.” Hening. Tak ada satupun dari mereka yang berbicara. Bagas berdiri kemudian tanpa pamit dia pergi. Setelah kepergian Bagas, Budi menangis. Genta yang melihatnya akhirnya bersuara. “Kamu ingat saat kamu berulah dengan merebut pacar salah satu rekan seangkatan kita?” Budi menatap Genta kemudian mengangguk. “Kamu hampir mati karena dipukuli oleh Wildan dan kawan-kawannya. Untung aku dan Bagas lihat. Bagas yang menyelamatkan kamu, Wildan sangat menghormati Bagas, tahu. Coba kamu bayangkan kalau Bagas gak dateng. Mati kamu.” Budi terkejut dengan terbukanya rahasia ini. “Kenapa Bagas gak cerita?” “Buat apa? Toh hubungan kalian gak baik.” “Kenapa Bagas menolongku?” lirih Budi. “Karena darah lebih kental daripada sirup.” Setelah mengatakan hal demikian, Genta keluar meninggalkan Budi yang masih terdiam dan menyesali perbuatannya. “Ya Tuhan, apa yang telah kulakukan? Ya Allah selamatkanlah Nawang.” Doa Budi. Kini dia sadar, sudah saatnya seluruh keturunan Atmaja berubah sikap. Jika dulu di generasi orang tua mereka kecemburuan begitu nyata hingga hubungan mereka renggang. Para anak harusnya belajar untuk tidak melakukan kesalahan para orang tua. Saatnya mereka 221 - Bai_Nara



harus belajar untuk saling menerima dan saling membantu. Seperti kata Bagas dan Genta, darah mereka terlalu kental. Bagas sendiri berjalan gontai menuju ke mobilnya. Sungguh dia seperti mayat hidup, kabar dari Genta mengatakan pihaknya belum menemukan Nawang, sehingga belum bisa dipastikan apakah Nawang masih hidup atau sudah mati. Meskipun harapan itu kecil, Bagas selalu berdoa agar kedua orang kesayangannya selamat. Ponsel Bagas, bergetar. Bagas segera mengangkatnya. “Kenapa Mas?” “Eyang, Gas. Eyang pingsan. Sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit.” “Oke. Rumah sakit biasa tempat Eyang kontrol, ‘kan?” “Iya.” “Baik, Bagas segera ke sana.” Bagas pun segera melajukan mobilnya menuju rumah sakit



Kevin sedang berusaha menyelamatkan diri. Pihak kepolisian sudah mengetahui lokasi persembunyiannya. Lebih sial lagi, kematian Nana dan putrinya sudah diketahui bahwa dialah dalangnya. Sial! “Kamu, kamu, kamu, lindungi aku!” titah Kevin pada anak buahnya. “Siap, Bos.” Kevin segera berlari untuk menyelamatkan diri sedangkan para anak buahnya masih berbaku tembak Rumah Atmaja - 222



dengan polisi. Kevin terus berlari, kebetulan dia sedang menuju ke area hutan, Kevin bisa bersembunyi di sana. “Sial! Sial! Sial! Kenapa jadi gini? Nawang, kamu dimana? Sial! Kenapa mereka semua bodoh. Aku menyuruh mereka membawa kamu bukan mencelakai kamu.” Kevin masih berusaha mencari persembunyian. Karena tergesa-gesa sampai dia lupa berpijak dan dia terpeleset. Kevin berguling-guling, dan tubuhnya membentur tanah, semak bahkan bebatuan yang cukup runcing. “Brengsek. Kenapa aku jadi sial begini!” gerutu Kevin. Kevin berjalan terpincang-pincang karena tadi kakinya membentur bebatuan yang sangat besar. Kevin terus berjalan hingga tak menyadari, dirinya sudah terlalu masuk ke dalam hutan. “Aku harus kemana ini? Mana hari sudah mau gelap lagi. Aggghhh.” Mau tak mau Kevin terus berjalan hingga dia bisa melihat ada jalan raya. Kebetulan hari sudah malam. Kevin mengedarkan pandangan matanya. Sepertinya ini adalah kawasan perkampungan yang lain. Begitu pikir Kevin. Tiba-tiba ada sorot lampu mobil yang masih lumayan jauh. Kevin melambai-lambai dan berdiri di tengah. “Tolong! Saya tersesat,” teriak Kevin. Mobil pun berhenti, sopirnya pun hanya diam. Kevin mengetuk pintu sebelah kanan. “Permisi, boleh saya ikut. Saya baru saja dirampok.” Karena gelap, Kevin tak bisa melihat siapa yang ada di dalam. Pintu sebelah kiri terbuka dan Kevin tersenyum lalu segera menaikinya. 223 - Bai_Nara



“Makasih.” “Sama-sama.” Mobil pun melaju dengan cukup kencang. Kevin sama sekali tidak curiga walau sang pengemudi sejak tadi hanya diam. Apalagi dia terlalu lelah, setelah seharian melarikan diri dan menjelajahi hutan. Kevin menyandarkan kepalanya dan lama kelamaan dia tertidur. Kevin merasakan sakit pada seluruh tubuhnya. Tangannya pun terasa terkunci. Tunggu! Kevin segera membuka mata dan kaget mengetahui jika kedua tangan dan kakinya terikat. “Lepaskan aku! Siapa kalian?” teriak Kevin. Namun, orang-orang yang berada di sekitar Kevin hanya diam. “Hei, siapa kalian. Lepaskan aku.” Kevin masih meronta-ronta. Tatapan kemarahan menguasai matanya. Namun, kemarahan di matanya berubah menjadi ketakutan ketika melihat siapa yang datang. “Halo, menantuku. Apa kabar?” sapa Hanggoro penuh seringai licik. “K-kamu. Bagaimana bisa kamu di sini.” “Hahaha. Aku di sini untuk menghukum lelaki yang menyakiti putriku.” “Tidak. Lepas!” “Gak akan Kevin. Kamu sudah berani menyakiti putriku. Sudah kubilang jangan coba-coba menyakiti dia. Kamu pikir kamu telah menjebloskanku ke dalam penjara? Hahaha. Kamu perlu banyak belajar Kevin.” “Tolong, tolong lepaskan aku!” pinta Kevin dengan nada memohon. Kevin kini sadar, hidupnya ada dalam bahaya. Tahu begini, mending dia ditangkap polisi.



Rumah Atmaja - 224



“Hahaha. Tidak ada ampun buat kamu, mantan menantu. Habisi dia!” perintah Hanggoro dengan nada bengis. Anak buah Hanggoro langsung menyiksa Kevin hingga Kevin hanya bisa berteriak kesakitan dan meminta tolong. Sayang, usahanya sia-sia. Dia akhirnya meregang nyawa di tangan anak buah Hanggoro. “Buang mayatnya di tengah hutan. Biarkan jadi santapan binatang buas!” titah Hanggoro. “Siap, Bos.” Ponsel Hanggoro berbunyi, tampaklah di sana nama putrinya, Mayang sedang memanggilnya. “Bagaimana Papah?” tanya Mayang di seberang telepon. “Beres, nanti Papah kirim fotonya.” “Hahaha. Itu pantas untuk lelaki macam dia. Makasih Pah.” “Untukmu apa yang tidak, Manis.” “Iya. Papah harus hati-hati. Tenang aja. Mayang akan hidup dengan baik dan pura-pura jadi wanita baikbaik.” “Terima kasih, Sayang. Kalau butuh bantuan Papah, kamu tahu cara menghubungi Papah. Untuk sementara Papah akan ke luar negeri agar polisi tidak bisa menemukan Papah.” “Iya Pah, dan Mayang akan berusaha menjadi tahanan yang teraniaya dan manis. Anak manis.” Kedua anak bapak itu saling tertawa kemudian mengakhiri percakapan keduanya.



225 - Bai_Nara



33. Rindu B



agas melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sampai di parkiran rumah sakit, Bagas segera bergegas mencari ruangan dimana eyangnya dirawat. Tubuh Bagas melemas melihat kondisi eyangnya yang nampak rapuh. “Den.” “Den Bagas.” Wanto dan Maman dengan setia menunggui juragan mereka. “Mbah Maman, Eyang gimana?” tanya Bagas khawatir. “Den Bagas masuk aja, biar langsung bicara sama dokternya,” saran Mbah Maman. Bagas menuruti saran Mbah Maman. Sampai di dalam ruangan eyangnya, Bagas bertemu dengan dokter yang menangani sang kakek.



226



“Dokter, bagaimana keadaan Eyang saya?” “Kami sudah berusaha, semua tergantung Allah.” Jantung Bagas berdetak lebih kencang, ia segera melangkah mendekati Binawan. “Eyang,” sapa Bagas lembut. Binawan mencoba membuka matanya, tubuhnya terlihat tak bertenaga. Berbagai peralatan penunjang kehidupan melekat pada tubuhnya. “G-gas ....” “Iya Eyang.” “Ber-janjilah, ka-mu ha-rus hi-dup.” “Eyang ....” Bagas tak mampu lagi membendung air matanya. “Ma-af-kan E-yang. E-yang su-sudah ti-dak ku-at. Eyang sa-yang sa-ma kamu ....” Napas Binawan tersekat di tenggorokan, dokter segera mencoba menolong namun rupanya ajal Binawan memang sudah waktunya. Dalam sekali embusan panjang, Binawan mengembuskan napas terakhirnya. “Eyaang ...!” teriak Bagas. Maman dan Wanto yang berada di luar terkejut, ayah dan anak itu pun sudah menduga kalau di dalam ruangan pasti terjadi sesuatu pada juragan sepuh. Namun, mereka berdua tak berani masuk. “Eyang ... Eyang ... bangun Eyang ...!” teriak Bagas sambil mengguncang badan Binawan. “Maafkan kami saudara Bagas, kami sudah berusaha. Kami akan mempersiapkan proses pemandian jenazah.” Bagas hanya bisa menangis sambil memeluk Binawan. Bagas sedih, kini dia sudah kehilangan salah satu pelindungnya sejak dulu, meski dalam beberapa kesempatan Binawan tidak bisa selalu menjadi 227 - Bai_Nara



pelindungnya, tapi kasih sayang Binawan pada Bagas tidak diragukan lagi. Binawan langsung dimandikan di rumah sakit. Bagas, Maman dan Wanto ikut membantu. Setelah diberi kain kafan dan di sholati, jenazah Binawan dibawa menuju kediaman Atmaja.



Binna hanya bisa menunduk sedih. Kini, Binawan sudah tidak ada, Bisma lumpuh, Budi di penjara. Binna sudah tak mempunyai pelindung lagi. Tempat dia menggantungkan hidup selama ini telah pergi. Bisma sendiri hanya bisa diam, dia sama sekali tak bisa membantu apa pun. Bestari sedang mengamati wajah suaminya untuk terakhir kalinya. Rupanya benar firasatnya beberapa hari ini. Dan pertemuan waktu itu adalah perpisahan keduanya. “Istirahatlah dengan tenang, Mas. Aku minta maaf untuk semua hal yang telah kulakukan padamu, pada Puspa. Berbahagialah di sana, sampaikan salamku untuk Puspa dan untuk anak kita, Bagus. Aku menyayangi kalian berdua, sungguh aku sangat menyayangi kalian. Mungkin ... caraku dalam mencintai kalian salah dan aku minta maaf,” bisik Bestari di dekat jenazah sang suami. Bagas sendiri hanya diam menyaksikan tingkah Bestari. Pandangan matanya bertumbukan dengan Budi. Bagas memilih memalingkan wajah. Dia enggan menatap Budi. Menatapnya hanya akan membuat amarah Bagas naik dan ingin mencekiknya. Rumah Atmaja - 228



Pemberangkatan jenazah pun dilakukan. Bagas, Budi, Genta dan Wanto mengangkat keranda Binawan hingga mencapai kuburan desa. Selanjutnya Bagas, Budi dan Genta turun ke dalam liang lahat untuk menerima jenazah Binawan. Bagas melafalkan azan dan iqomat untuk Binawan. Meski sedih, Bagas berusaha menahan air matanya. Selanjutnya, ketiganya membantu proses penguburan dari dalam lubang dengan menginjak-nginjak tanah yang dimasukkan oleh si penggali kubur. Hingga pemakaman usai, keluarga inti Atmaja termasuk Genta, Wanto, Maman dan empat orang anggota polisi masih setia di pusara Binawan. Binawan dimakamkan bersebelahan dengan makam Bagus di sebelah kanan, dan sebelah kanan Bagus ada pusara Bowo. Tak ada satupun dari mereka yang mengeluarkan suara. Hanya gesekan dedaunan dengan angin serta riuh pepohonan yang terkena angin dan bergoyang. Bagas mengusap lembut pusara eyangnya kemudian ganti mengelus pusara sang ayah. Dalam hati, Bagas berdoa untuk kedua orang yang begitu dicintainya. Tak lupa pula doa ia panjatkan untuk adiknya, Bowo. “Kita pulang,” ucap Bagas ketika dirinya sudah merasa cukup berada di pusara sang eyang. Bagas berjalan tegap tanpa menoleh. Menoleh hanya akan membuatnya semakin sedih dan hancur. Saat akan meninggalkan tanah kuburan, Bagas berpapasan dengan Seruni. “Gas ... aku ikut berduka cita,” ucap Seruni dengan mimik muka sendu. Bagas tak menanggapi dan terus berjalan tanpa menghiraukan Seruni. Pun dengan keluarga yang lain. Hanya Genta yang sempat melirik ke arah Seruni 229 - Bai_Nara



namun dia tetap berjalan mengikuti semua keluarga Atmaja. “Silakan kamu cuek, Gas. Kamu pasti akan jadi milikku. Nawang pasti sudah mati,” lirih Seruni dengan tatapan marah. “Kita lihat sampai kapan kamu akan bertahan. Kamu pasti akan bertekuk lutut padaku.”



Ini sudah hari kesepuluh setelah kematian Binawan. Hari kesebelas dimana kabar Nawang belum diketahui. Polisi masih berusaha menyusuri jejak Nawang, bahkan kemarin Bagas ikut mencari. Namun, nihil. Keadaan Nawang masih menjadi misteri, apakah dia mati atau masih hidup, tidak ada yang tahu. Bagas berharap Nawang masih hidup. Tapi kalau masih hidup kenapa Nawang tidak menghubunginya? Bagas sedang menatap album foto mereka, di dalamnya juga ada foto hasil USG calon anak mereka. “Harusnya kamu lahir hari ini, Nak? Kata Bu Dokter perkiraan kamu lahir hari ini.” Bagas membelai potret Nawang dan calon bayinya. “Aku rindu kamu Nawang, aku rindu kalian.” Bagas memeluk album fotonya dengan penuh kerinduan. Air matanya tak bisa dibendung lagi. Dia terlalu rindu, terlalu terluka dan terlalu lelah menghadapi semua ini sendirian. Sementara itu, Bisma sedang duduk di kursi rodanya sambil menatap ke jendela kamarnya yang terbuka. Dia melamun hingga tak menyadari kehadiran Binna. Rumah Atmaja - 230



“Bisma,” panggil Binna dengan suara lembut. Lalu dia duduk di tepi ranjang. “Ya.” “Besok, Budi akan dibebaskan. Bagas membebaskannya.” “Iya, Bisma tahu.” Bisma tersenyum ke arah ibunya. “Maafkan ibu, Nak. Ibu menyesal. Tapi Genta berjanji akan mencarikan pengacara untuk mengambil milik kita yang direbut oleh Kevin. Cuma agak lama mungkin. Mengingat Kevin juga ditemukan terbunuh di tengah hutan.” Binna menangis setelah mengucapkan kalimat itu membuat Bisma menggerakkan kursi rodanya menuju ke dekat ranjang. Bisma mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan sang ibu. “Bu ... gak papa. Bisma ngerti kok. Justru Bisma merasa bersalah dan merasa menjadi anak dan kakak yang gak bisa diandalkan oleh Ibu dan Budi. Bisma minta maaf.” “Gak Bisma, kamu kebanggaan ibu selama ini. Kalau bukan karena musibah yang menimpa kamu, pasti kamu yang akan meneruskan usaha Bapak, bukan Bagas.” Ada kilatan kebencian dan kecemburuan di mata Binna. “Sejak dulu, Bapak sama Ibu selalu menjadikan Bagus anak kesayangan. Hanya karena dia laki-laki. Padahal ibu yang tertua. Bapak sama Ibu bahkan tidak mau memberi ibu kesempatan untuk mencoba mengelola pabrik atau kebun. Semua diserahkan ke Bagus. Ibu juga ingin Bisma. Tapi ibu tak punya kesempatan, ibu hanya bisa menjadi seorang istri yang diselingkuhi oleh suaminya.” “Bu ....” 231 - Bai_Nara



“Dan dia itu pilihan Eyang Putri. Hahaha.” Binna tertawa lalu raut wajahnya berubah menjadi amarah. “Bapakmu membuat hati ibu semakin hancur. Parasit, menggunakan uang dari Bapak untuk kesenangannya dengan wanita lain. Tapi ibu senang dia akhirnya mati mengenaskan.” “Bu ....” Bisma menggenggam tangan ibunya dan mengusapnya lembut. Tatapan Binna berubah menjadi sedih. Kemudian Binna memegang kedua pipi Bisma. “Ibu sedih, sedih untuk diri ibu, untuk kalian berdua. Ibu sedih, Nak. Ibu tak bisa berbuat apa-apa untuk kalian. Makanya ibu diam, saat Betty begitu berambisi merebut warisan Bapak. Setidaknya, kita sedikit diuntungkan jika Betty sampai ketahuan. Dan ... semuanya akan menjadi milik kamu dan Budi. Tapi ....” Binna menatap keatas kemudian bicara lagi. “Tapi semuanya tak sesuai harapan ibu. Ada beberapa kejadian tak terduga, seperti musibah yang menimpamu, kematian Bowo, Budi yang ditipu, kepergian Nawang, semua diluar kendali ibu.” “Bisma tahu. Sudahlah Bu, Ibu yang tenang saja.” “Tolong jangan marah pada Budi, kalian bersaudara, tetaplah rukun,” pinta Binna dan diangguki oleh Bisma.



Semalaman Bagas tak bisa tidur, dia merasa gelisah. Perutnya tiba-tiba melilit kesakitan. Seperti ingin buang air besar namun ketika sampai di kamar mandi tak ada yang keluar. Sementara itu, di sebuah tempat ada seorang wanita sedang berjuang untuk melahirkan. Rumah Atmaja - 232



“Terus Nduk, terus. Kamu bisa. Tarik napas dalamdalam.” Seorang nenek tua sedang mencoba memberinya semangat. Sedangkan suami si nenek hanya bisa menunggu di luar sambil berdoa. Sebelas hari yang lalu dia menemukan seorang wanita yang sedang berpegangan pada sebatang kayu. Dia berusaha meraihnya dan kaget mendapati wanita itu ternyata hamil besar. Lelaki tua itu segera membawa Nawang menuju rumahnya yang berada di dalam hutan. Dia dan sang istri memang sengaja hidup di dalam hutan karena bosan dengan kehidupan di luar sana yang penuh dengan intrik. Lelaki tua itu memiliki garis rupa sedikit mirip dengan Binawan Atmaja karena lelaki itu adalah kakak sepupu Binawan yang bernama Bimasena Atmaja sedangkan sang istri bernama Kinasih. Keduanya dulu mempunyai anak, tetapi anaknya meninggal karena sakit. Intrik di keluarga Atmaja dalam hal perebutan harta oleh orang tua Binawan dan Bimasena serta kematian sang anak membuat Bimasena memilih membawa sang istri menjauh dan tinggal di dalam hutan yang jarang terjamah. “Alhamdulillah, laki-laki Mas. Anaknya laki-laki,” teriak Kinasih. “Alhamdulillah.” Bimasena bersyukur wanita yang ia tolong selamat meski sempat tak sadarkan diri selama tiga hari. Saat sadar, Nawang memanggil-manggil nama suaminya dan meminta dipertemukan dengan sang suami. Tapi mengingat kondisi Nawang yang belum pulih, Bima meminta Nawang untuk berada di sini dulu bersama mereka. Apalagi, setelah mendengar cerita Nawang tentang keadaan di rumah Atmaja semakin membuat 233 - Bai_Nara



Bima dan Kinasih tak tega membiarkan Nawang kembali ke sana. “Ganteng pisan anakmu, Nduk.” “Iya. Nek. Mirip Bapaknya. Padahal Nawang yang mengandung. Kok gak ada garis wajah Nawang sama sekali.” “Hahaha. Anak itu masih molak-malik. Wajahnya masih berubah-ubah.” Nawang membenarkan penuturan Kinasih. tiba-tiba wajahnya menjadi sendu. “Nawang rindu sama Mas Bagas, Nek.” “Kamu yang sabar. Kakek Bima sedang mencari tahu keadaan di rumah Atmaja. Jangan sampai kamu kembali ke sana malah justru membahayakan keselamatan kalian berdua.” Nawang mau tak mau memang harus mengikuti saran Nenek Kinasih. Dalam hati dia berdoa, semoga mereka bisa segera kembali bersama. Bagas, Nawang dan putra mereka. Mas, anakmu sudah lahir. Dia mirip kamu, bisik hati Nawang. Bagas yang tak bisa tidur dari tadi tiba-tiba merasakan lega yang luar biasa. Perutnya sudah tak melilit lagi. Bahkan air matanya tiba-tiba jatuh tanpa sengaja. “Aku rindu kamu, Nawang,” lirih Bagas.



Rumah Atmaja - 234



34. Sang Mantan T



epat satu bulan, Nawang belum juga ditemukan. Pihak kepolisian sudah menghentikan pencarian setelah lima belas hari mencari tanpa hasil. Tapi tidak dengan Bagas, hampir setiap hari dia menyusuri anak sungai, berharap bertemu dengan Nawang, berharap ada suatu keajaiban yang datang. Bagas masih menatap aliran sungai ketika semaksemak di sekitarnya bergerak. Bagas waspada, ternyata seorang kakek tua sedang membawa tumpukan ranting kayu.



235



Bagas dan kakek itu sedikit terkejut, terutama Bagas, karena wajah kakek itu sedikit mirip dengan eyangnya. Bima tersenyum ke arah Bagas yang ditanggapi Bagas dengan masih diam. “Kamu sedang apa? Kok bengong? Saya bukan hantu.” Bagas mengerjapkan matanya. “Oh, maaf Kakek. Saya cuma sedikit terkejut.” Bima tersenyum, dalam hati dia sudah menduga kalau lelaki muda yang ada di depannya salah satu anggota Atmaja. Dia mirip sekali dengan Binawan ketika masih muda. “Kamu cari apa?” Bagas menatap Bima, “Istri saya, Kek. Sebulan ini saya terus mencari tapi nihil. Meski pihak kepolisian bilang kemungkinan istri saya selamat kecil, tapi saya masih berharap istri dan anak saya selamat.” Bima duduk di sebuah batu besar kemudian menepuk batu besar di sebelahnya. Bagas paham dan ikut duduk di batu besar yang tadi ditepuk Bima. “Namaku Bima, kamu?” “Bagas, Kek.” “Berdoalah terus, siapa tahu ada keajaiban.” “Iya Kek, Kakek pernah lihat wanita di sekitar sini? Wanita hamil yang jatuh ke sungai ini?” “Tidak.” Bima sengaja berbohong. Karena semua ini dia lakukan untuk keselamatan Nawang. “Kakek tinggal di sini?” lirih Bagas. Terlihat sekali dia kecewa karena harapannya menemukan sang istri pupus. “Iya, di kawasan hutan sebelah sana. Saya dan istri sengaja menepi, karena lelah dengan kehidupan di luar sana yang penuh intrik dan orang-orang gila harta dan kekuasaan.” Rumah Atmaja - 236



Bagas tersenyum, memahami semuanya karena Bagas pun sekarang sedang mengalaminya. Mengurus kebun, pabrik dan semua aset Atmaja. Namun, Bagas sama sekali tak bahagia karena salah satu alasannya bertahan, yaitu Nawang kini entah ada dimana. “Iya Kek, rasanya lelah sekali,” lirih Bagas sambil menatap ke arah sungai. Bima tersenyum kemudian Bima mengajak Bagas bercerita banyak hal. Kesedihan Bagas sedikit terobati setalah berbincang-bincang dengan Bima. “Lain kali mampir ke rumah kakek ya?” “Pasti, Kek. Bagas permisi dulu Kek.” “Iya.” Bima pun berlalu sambil membawa kayu bakarnya. Bagas memutuskan segera kembali. Cukup lama perjalanan yang dibutuhkan Bagas untuk bisa mencapai jalan utama. Bagas menatap sekeliling dan menyadari mobilnya kali ini kempes lagi. Ini sudah kelima kalinya dalam dua minggu ini. Bagas segera mengganti ban yang kempes dengan ban serep yang sudah ia siapkan. “Kamu rupanya kembali, dan ingin bermain-main denganku,” lirih Bagas saat sudah berada di belakang kemudi.



Bagas, Budi, Bisma dan Binna sedang berkumpul untuk menikmati makan malamnya. Tidak ada satu pun yang berbicara. Bagas hanya mengaduk-aduk makanannya setelah memasukkan tiga suapan. “Makan, Gas!” titah Bisma. 237 - Bai_Nara



Bagas hanya tersenyum dan mencoba memasukkan makanannya kembali. Keheningan menyelimuti keempat anggota Atmaja. Hingga Bagas memutuskan untuk menyelesaikan makannya. “Saya duluan.” Bagas langsung minum, mengelap mulut dengan tissue lalu segera berlalu. Sejak Budi kembali, Bagas memilih tidur di paviliun. Dia hanya di meja makan demi menghormati keinginan Bisma. Bagas berjalan gontai menuju paviliun. Tatapan tajamnya mengedar ke seluruh lingkungan. Gelap dan sunyi. Bagas menatap ke langit, tampak bulan separuh terlihat terang dan cantik. Melihat bulan, Bagas tersenyum. Kerinduannya pada Nawang benar-benar tak terhindarkan lagi. “Nawang Wulan,” lirih Bagas. “Kamu mau bikin aku jadi Jaka Tarub ya, Dek. Hehehe.” Bagas tertawa miris. Cukup lama Bagas berdiri menatap bulan tanpa berniat mengalihkan tatapannya. Tanpa Bagas sadari beberapa pasang mata tengah mengamatinya dari dalam tirai yang sengaja dibuka. “Apa mayat Nawang sama sekali tidak ditemukan, Mas?” tanya Budi dengan tatapan bersalah kepada Bagas. “Tidak ada tanda-tanda sama sekali.” Budi mendesah, dia bergerak menuju ke taman belakang. “Kamu mau kemana?” “Menemui Bagas, Mas.” “Jangan dulu! Kamu tahu alasan Bagas memilih tidur di paviliun belakang?” “Bagas takut khilaf dan membunuhku, ‘kan?” Rumah Atmaja - 238



“Benar. Biarkan saja! Dia masih berduka. Jangan ganggu dia dulu.” “Iya Mas.” Budi akhirnya memilih kembali ke kamarnya. Pun dengan Bisma. Hanya Binna yang masih mengawasi Bagas dengan tatapan tajam. Senyum merekah dari bibirnya apalagi ketika melihat sekelebat orang sedang mendekati paviliun.



Bagas menatap potret Nawang tanpa merasa jemu. Bolak balik dia membuka album foto miliknya. Suara pecahan kaca membuat Bagas kaget dan waspada. Bagas segera keluar dari paviliunnya, mengawasi pergerakan di sekitar paviliunnya. Pandangan matanya tertuju ke rumah utama, hanya gelap dan beberapa ruangan yang lampunya dibiarkan menyala. Bagas mengitari Paviliun, tak ada siapa pun. Tapi telinganya awas. Dia mendengar langkah terburu-buru seseorang, segera ia kembali ke depan dan mendapati jejak tanah yang masuk ke paviliun. Bagas dengan hati-hati masuk ke paviliun. Suara keran air menyala di kamar mandi. Bagas waspada. Dia menunggu hingga keran air sudah tak menyala. Pintu kamar mandi terbuka menampilkan seseorang yang hanya memakai handuk. Hal itu membuat amarah Bagas semakin memuncak. “Keluar!” bentak Bagas. “Ck. Gak usah gitu Gas. Aku tahu kamu butuh pelukan. Aku tahu kamu butuh kehangatan makanya aku datang.” 239 - Bai_Nara



“Keluar kamu!” bentak Bagas. Tapi Seruni hanya memasang tampang manis kemudian sengaja menjatuhkan handuknya. Refleks Bagas memalingkan muka. Grep. Seruni menerjang Bagas bermaksud menciumnya. Namun Bagas segera mendorong Seruni keras sekali, Seruni bahkan sampai menjerit. “Bagas! Sakit.” Bagas menarik selimutnya dan langsung melemparkan ke tubuh Seruni. “Jadi, kamu seperti ini sebenarnya? Wanita licik, wanita tak punya malu. Kamu pikir aku bakalan terbujuk rayumu! Kamu boleh bangga tubuhmu bagus, seksi. Sayang kamu tak menghargainya. Kamu berikan untuk siapa saja yang kamu inginkan. Bowo, Genta, Mas Bisma dan Budi. Tapi maaf, istriku tak kalah seksi dari kamu.” Bagas langsung melangkah keluar tanpa menoleh ke arah Seruni yang kini mencoba berdiri sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. “Kenapa kamu jadi dingin sama aku!” teriak Seruni. Bagas menghentikan langkahnya dan menatap Seruni. “Dulu kamu cinta mati sama aku,” tangis Seruni sudah pecah. “Iya, dan itu adalah suatu kebodohan. Tapi dibalik kebodohanku karena pernah mencintai kamu hingga nyaris gila, aku jadi ketemu Nawang. Bidadariku, tulang rusukku.” “Nawang udah mati! Gak mungkin dia masih hidup!” teriak Seruni. “Nawang belum mati, dia masih hidup aku yakin itu!” Bagas tak kalah berteriak. Rumah Atmaja - 240



“Kenapa? Kenapa kamu gak seperti Bowo atau Genta. Kenapa?!” teriak Seruni histeris. “Karena aku bukan mereka. Aku Bagas Surya Atmaja, ingat itu!” Bagas segera berbalik dan menuju ke rumah utama tapi Seruni tak mau melepaskannya. Dia berlari dan menarik lengan Bagas. “Gas, aku mohon terima aku. Aku cinta kamu. Aku menyesal, Gas. Mas Bisma gak pernah bisa kasih nafkah batin ke aku makanya aku butuh pelampiasan. Tapi aku janji, kalau kamu mau menerimaku, aku akan jadi istri yang baik untuk kamu.” “Gak!” Bagas menghentakan lengannya kasar. Tapi Seruni tetap ngotot bahkan mencoba meraih lengan Bagas kembali. “Gas, aku mohon. Aku cinta kamu. Aku cemburu pada Nawang, kamu selalu menyayangi Nawang. Kamu menunjukkan semua cintamu sama Nawang. Harusnya aku, Gas. Harusnya aku yang jadi istri kamu, mengandung anak kamu, Gas.” “Minggir! Lepas!” Bagas dan Seruni masih saling tarik menarik hingga Bagas menghempaskan tubuh Seruni keras. Seruni merintih, tubuhnya terjerembab dan mulutnya bahkan memakan sedikit rumput dan tanah. “Gas ... kenapa kamu jahat sama aku?” “Kamu hanya mantanku Seruni, bukan istriku! Hentikan tingkah tak bermoralmu. Daripada kamu menggodaku. Carilah laki-laki yang mau menerimamu apa adanya.” “Gaaaas ...! Aku cinta kamu, aku mau kamu, aku mau kita bercinta Gas. Aku ingin merasakan apa yang Nawang rasakan. Kamu gak tahu aku selalu marah dan cemburu setiap mendengar desahan Nawang saat 241 - Bai_Nara



kamu membuatnya melayang. Bagas, aku mohon. Ayo kita bercinta agar kamu tahu kalau aku gak kalah dari Nawang. Aku bisa menyenangkan kamu, Sayang ...,” bujuk Seruni. Bagas menggeleng dan segera berjalan ke rumah utama lagi. Keributan yang ditimbulkan Seruni dan Bagas membuat Maman keluar untuk memeriksa apa yang terjadi. Bahkan Budi dan Binna sudah ikut keluar. “Den.” “Bawa dia pergi, Mbah,” titah Bagas. “Ba-ik, Den.” Bagas tak memperdulikan kehadiran Binna dan Budi. Dia memilih masuk ke kamarnya. Dengan keras dia membanting pintu tepat ketika Bisma keluar dari kamarnya. Bisma menatap pintu kamar Bagas dengan tatapan sendu kemudian menggerakkan kursi rodanya menuju keluar. Tampak di sana, Seruni sedang menangis dengan duduk bersimpuh. Tubuhnya hanya terbalut selimut. Amarah Bisma tiba-tiba muncul. “Kamu mencoba menggoda adikku lagi, Seruni? Tidak cukupkah Budi dan Bowo?!” teriak Bisma. Seruni menatap Bisma. Kemarahan muncul di matanya. “Ini semua karena kamu, coba kamu gak mempengaruhi kedua orang tuaku dengan uang kamu. Aku udah bahagia sama Bagas. Hahaha. Lelaki impoten. Hahaha. Bahkan kamu gak bisa memerawaniku. Hahaha.” Baik Budi dan Binna terkejut dengan omongan Seruni. Meskipun Budi sudah bisa menduganya tetapi mendengar langsung dari mulut orang lain perihal kekurangan sang kakak, Budi merasa marah. Binna apalagi, dia sangat terkejut. Binna tidak tahu kalau Rumah Atmaja - 242



selama ini putranya memiliki masalah dengan kejantanannya. Ya Tuhan, Binna merasa sebagai ibu yang buruk. “Diam kamu?!” bentak Bisma. “Apa?! Biar semua tahu. Hahaha. Kamu impoten hahaha.” “Diaammm ...!” Bisma hendak berdiri namun dia terjatuh dan berguling-guling. “Bisma ...!” “Mas ...!” Budi dan Binna segera menolong Bisma. “Hahaha. Impoten, lumpuh! Hahaha. Tidak berguna. Hahaha.” Seruni terus mengatai Bisma membuat Bisma marah dan hanya bisa berteriak sambil menangis. Binna yang tidak tahan melihat putranya dikatai oleh Seruni langsung menerjang Seruni. “Jangan hina putraku! Dia lebih baik dari pada kamu. Dia memberi kamu uang.” Dengan membabi buta Binna menyerang Seruni. Maman berusaha melerai, tapi justru ia dicekal oleh Budi. “Den Budi,” lirih Maman. “Biarkan! Biarkan ibuku mengeluarkan semua amarahnya.” “Aw, sakit! Lepas! Aaaa ... sakit!” Seruni merintih kesakitan. Dia ingin melawan, tapi entah kenapa kekuatan Binna bisa begitu besar bahkan lebih beringas dibanding Betty saat menyerangnya dulu. “Wanita murahan, cih! Kamu dan kedua orang tuamu hanya bisa menjadi parasit.” Binna sekarang menjambak rambut Seruni, bahkan selimut yang Seruni gunakan sudah terlepas. “Hahaha. Itu pantas buat kamu.”



243 - Bai_Nara



Binna mengambil selimut itu kemudian menghampiri Budi yang sudah membantu Bisma duduk di kursi roda. “Ayo masuk!” Binna mendorong kursi roda Bisma. Kini hanya ada Budi, Maman dan Seruni yang berusaha menutupi tubuhnya. Budi menyeringai jahat. “Aku pernah melihatmu seperti ini, beberapa kali. Dulu, saat kamu selalu mencoba menggodaku hingga aku tergoda dan kehilangan Kinanti. Hahaha. Rupanya kamu gunakan cara yang sama untuk menggoda Bagas. Sayang, Bagas lebih waras daripada aku, lelaki yang lebih baik dari pada aku.” Seruni hanya bisa menangis, sungguh dia merasa malu. Apalagi Wanto, Narti istri Maman dan Juminten datang. Mereka semua kaget. Wanto bahkan memilih berbalik seperti Maman. “Andai aku juga dulu seperti Bagas. Menolakmu, pasti Kinanti masih hidup. Kami akan hidup bahagia dengan anak kami,” ucap Budi dengan mata berkacakaca membuat Juminten sedih. Juminten sadar, dirinya hanya pelampiasan Budi, sedangkan di hati Budi selalu hanya ada Kinanti. Budi menuju ke dalam rumah. Sejenak dia dan Juminten saling menatap hingga Budi memutuskan masuk ke dalam rumah. “Juminten, sana ambil bajumu!” perintah Narti. “Iya, Budhe.” Juminten langsung berlari ke dalam rumah mengambil bajunya. “Sudah, Den.” Narti memeluk Seruni guna menutupi tubuhnya. Maman dan Wanto masih berbalik. Mereka berdua bingung. Tak lama kemudian Juminten datang dan membawa bajunya. Rumah Atmaja - 244



Narti dan Juminten membantu Seruni memakai baju. Setelah selesai, Wanto dan Juminten mengantar Seruni pulang ke rumahnya dengan mobil. “Jangan antar aku pulang, tolong antarkan aku ke mobilku saja,” pinta Seruni. Wanto hanya mengangguk tanpa banyak komentar pun dengan Juminten. Wanto dan Juminten meninggalkan Seruni. Seruni menolak diantar sampai rumah. Seruni masuk ke dalam mobilnya, dia menangis. Sungguh menyesal rasanya kenapa dulu dia bertindak bodoh dan kali ini pun dia bertindak bodoh lagi dengan menggoda Bagas. Harusnya Seruni sadar, Bagas bukan Bowo atau Budi. “Bagas, Bagas, Bagas ... aku cinta kamu.” Seruni menyembunyikan mukanya di atas stir mobil. Sesekali Seruni memukulkan dahinya pada stir mobil. Tanpa Seruni ketahui, ada seseorang yang datang dengan pakaian serba hitam. Dia memakai hodie hitam dan mukanya ditutup topeng. Dengan langkah pelan dia mendekati mobil Seruni yang pintunya masih terbuka. Manusia berhodie hitam itu langsung menarik Seruni kasar. Seruni kaget dan berteriak. “Siapa kamu! Tolong ... tolong ...!” Seruni mencoba melepaskan diri. Dia bergelut dengan orang itu hingga tanpa sengaja Seruni menarik topeng orang itu. Seruni kaget, sebelum sempat melarikan diri atau berteriak orang itu memukulkan benda tumpul ke kepala Seruni. Seruni kesakitan, dia berteriak, matanya melotot ketakutan namun sekali lagi, orang itu menghantam kepala Seruni hingga Seruni tak berdaya dan akhirnya meninggal. Senyum terukir dari bibir manusia berhodie hitam. “Hahaha. Itu hukuman yang pantas untuk kamu!” 245 - Bai_Nara



Dia segera pergi meninggalkan Seruni tanpa menyadari jika Seruni ternyata masih hidup. Dengan sisa tenaganya, Seruni mencoba menuliskan sesuatu pada body mobil.



B— Sayang, Seruni hanya bisa menuliskan satu huruf saja karena setelah itu dia mengembuskan napas terakhirnya.



Rumah Atmaja - 246



35. Bekerja Sama T



ok. Tok. Tok. Pintu kamar Bagas diketuk dengan keras, membuat Bagas akhirnya terbangun. Bagas mengernyit mencoba menyadarkan diri dimana dia sekarang? Ah, kamarnya yang terletak di rumah utama. Bagas pun akhirnya mengingat mengapa dia sampai tidur di sini bukan di paviliun. “Den, Den Bagas bangun! Den, Den, bangun! Ada Berita lelayu (kematian), Den.” Wanto, masih menggedor-gedor pintu kamar Bagas.



247



Bagas menggeliat kemudian bangun untuk membuka kunci kamarnya. Tampaklah Wanto dengan mimik muka yang terlihat takut dan cemas menjadi satu. “Kenapa? Siapa yang meninggal?” “Den Seruni.” “Apa?! Maksudnya?” tanya Bagas bermaksud mempertegas pendengarannya. “Den Seruni ditemukan meninggal Den. Lokasinya dekat kebun Atmaja,” terang Wanto. Bagas tak bisa menyembunyikan raut terkejutnya. Kok bisa? “Kamu yakin itu Seruni?” “Yakin Den, soalnya saya yang mengantar Den Seruni sampai mobilnya. Tapi, semalam Den Seruni tidak mau saya antar ke rumah. Jadi, saya sama Juminten cuma mengantar sampai ke tempat dimana mobilnya terparkir. Habis itu saya sama Juminten disuruh pergi.” “Oke. Aku mandi dulu. Kamu siapkan mobil.” “Baik, Den.” Bagas segera mandi sedangkan Wanto menyiapkan mobil yang akan membawa seluruh keluarga Atmaja.



Bagas terdiam sambil menatap mayat seruni. Bekas cakaran milik Binna masih membekas di wajah Seruni. Sedangkan sisa darah membeku di rambutnya adalah tanda bagaimana luka itu membuat Seruni sampai menjemput ajalnya. Bagas sedih tentu saja. Bagaimana pun, dulu mereka pernah saling mencintai walau akhirnya harus Rumah Atmaja - 248



berpisah karena pilihan Seruni, dan yang jelas mungkin mereka tidak berjodoh. “Gas.” Bagas menoleh ketika namanya dipanggil oleh Genta. Tampak wajah Genta terlihat sendu dan penampilannya acak-acakan. Pasti Genta habis menangis. Meskipun Genta playboy dan suka bercanda, Genta aslinya melankolis. “Kamu dan seluruh anggota Atmaja akan diinterogasi. Pun dengan para pembantu kalian. Karena menurut beberapa tetangga kalian, Seruni malam-malam mendatangi rumah kalian dan membuat gaduh.” “Baik.” Hening, keduanya menatap mayat Seruni dengan berbagai pikiran yang bersarang di kepala masingmasing. “Gas, kenapa kamu usir Seruni?” Genta menatap sendu ke arah Bagas. “Seruni bermaksud menggodaku. Aku mengusirnya tapi aku meminta Mbah Maman mengantarnya.” Bagas menatap tajam Genta. “Aku masih punya hati, Genta. Makanya aku mengusir Seruni. Aku tidak mau menyakiti siapa pun. Aku yakin Nawang masih hidup. Aku memilih setia. Dengan aku menyentuh Seruni sama saja aku menyakiti Nawang, Mas Bisma dan kamu.” Genta menatap Bagas dengan sendu. Dia menangis, Bagas yang paham langsung memeluk Genta. Rupanya Genta benar-benar sedang rapuh. “Aku selalu meyakinkan dia, Gas. Meyakinkan kalau aku menerima dia apa adanya. Aku selalu memintanya menikah denganku. Tapi dia terobsesi denganmu. Aku 249 - Bai_Nara



mencintainya Gas, sejak dulu. Sejak kita masih sekolah.” Bagas hanya bisa menepuk punggung sang sahabat. Kedatangan orang tua seruni membuat pelukan keduanya terlepas. “Runi! Runi! Anakku ....” Kartini berteriak-teriak kemudian menangis di atas jasad Seruni. Panji hanya bisa mengelus punggung sang istri sambil mengucap kata sabar. Panji pun tak bisa menahan laju air matanya. “Kamu!” Kartini menatap Bagas penuh amarah. “Semua karena kamu dan keluarga kamu! Kenapa kamu harus mengusir Seruni! Kenapa kamu mengusir dia?” Kartini menatap Bagas penuh amarah sedangkan Panji masih berusaha menenangkan. “Bu, sabar!” ucap Panji sambil menahan tubuh sang istri. Bagas menatap kedua orang tua Seruni, dia memilih diam. “Seruni mencintai kamu, kenapa kamu tidak menjadikan dia yang kedua saja. Seruni pun tidak masalah. Kenapa Bagas? Lagi pula istrimu sudah mati. Kenapa?” Kartini menangis kemudian terduduk sambil dipeluk oleh Panji. “Karena aku bukan lelaki jahat,” ucap Bagas dengan lantang. “Aku pernah mendatangi kalian, meminta Seruni baik-baik. Tapi kalian menolakku dengan alasan aku bukan siapa-siapa. Setelah kalian menerima Mas Bisma, aku memilih pergi karena aku sadar, aku tak boleh merusak pagar rumah orang. Jadi ... jangan salahkan aku memilih istriku bukan putri kalian. Karena semua hal sudah berbeda. Dulu Seruni hidupku tapi ... kini semua berubah. Lalu ... jika kalian Rumah Atmaja - 250



menyalahkanku atas kematiannya, itu bukan salahku. Aku memang mengusirnya, tapi aku memastikan dia sampai ke rumah kalian. Meski ... kudengar dia menolak saat Wanto akan mengantarnya.” Bagas berbalik tapi setelah tiga langkah dia berhenti. “Kenapa kalian tidak menyalahkan diri kalian sendiri? Bukankah kalian seharusnya bisa membimbing putri kalian jika dia bersalah? Aku pria beristri, tak sepantasnya Seruni menggodaku. Dan masalah pelaku yang membunuh putri kalian, polisi pasti akan berusaha menangkap dan memenjarakannya.” Setelah mengucap hal itu, Bagas memilih berlalu meninggalkan kamar jenazah diikuti oleh Genta. Sementara Kartini dan Panji merasa terpukul dengan perkataan Bagas.



Seluruh penghuni Atmaja diinterogasi pada saat itu juga. Setiap orang sudah mengatakan dimana dia berada saat Seruni meninggal. “Saya, Budi dan Ibu di kamar saya. Saya sangat sedih dengan perkataan Seruni tentang kelemahan saya. Budi dan Ibu sayalah yang menenangkan saya,” tutur Bisma. “Ada saksi?” tanya petugas. “Hanya kami bertiga.” “Para pembantu kalian.” “Saya sama istri saya langsung ke kamar juga, Pak,” jelas Maman.



251 - Bai_Nara



“Saya dan Juminten yang mengantar sampai lokasi mobil Den Seruni berada, tapi kami diusir sehabis itu,” jelas Wanto. “Saudara Bagas, Anda sendiri dimana?” “Di kamar.” “Ada saksi?” “Mereka semua melihat saya masuk. Tapi yang jelas mereka tidak melihat kalau saya di kamar terus.” Sang penyidik menatap Bagas, Bagas pun menatap mata sang penyidik tak kalah berani. Cukup lama mereka bertatapan hingga kemudian penyidik bernama Darsa memutus kontak mata dengan Bagas. “Baiklah, kalian semua boleh pulang. Kami harap kalian semua mau bekerja sama dengan pihak kepolisian.” Selesai diinterogasi, semua anggota Atmaja dan para pembantu pulang ke rumah. Kecuali Bagas, seperti biasa dia akan lebih dulu menghabiskan waktu di tempat Nawang jatuh guna mengobati rasa rindunya. “Kamu betah sekali di sini.” “Aku rindu istriku, Genta.” “Gas ... Nawang mungkin ....” “Nawang masih hidup, aku yakin itu. Dia mungkin hanya bersembunyi dari orang-orang yang bermaksud menyakitinya.” Genta pasrah, dia kemudian menyulut batang rokok sambil menunggui Bagas. Dia sendiri sedang berduka karena kematian Seruni. Tadi, dia sempat mengikuti pemakaman Seruni dan memilih menemani Bagas setelahnya. “Di sana.” Genta menunjuk ke suatu titik. Bagas menoleh ke arah yang ditunjuk Genta. “Aku dan Seruni sering bercinta. Memarkirkan mobil disela-sela sana itu, tak terlihat tahu. Hahaha. Rumah Atmaja - 252



Bahkan sebelum istrimu jatuh, aku dan Seruni baru saja bertemu dan bercinta.” Bagas menatap tajam ke arah Genta. “Maksud kamu? Kamu ada di sekitar sini ketika istriku butuh bantuan?” ucap Bagas dingin. “Apa?!” Genta tiba-tiba gelagapan, lalu memandang Bagas. “Jadi, kalian di sini?” Suara Bagas masih dingin. “Katakan padaku, apakah Seruni sempat meninggalkan kamu dalam waktu lama? Pada hari dimana istriku terjatuh?” “Gas ....” Bugh. Bagas memukul Genta bertubi-tubi. Dia tidak peduli walau Genta kesakitan. Genta melawan jadilah mereka kini saling serang. Tak ada satu pun yang mau mengalah, hingga keduanya terkapar dengan kondisi yang sama-sama babak belur. Bagas dan Genta masih berbaring sambil menatap langit yang mulai gelap. “Maaf, harusnya saat itu aku sadar ketika mendapati Seruni datang dengan sepatu yang terlihat kotor serta senyum kepuasan. Aku sempat mendengar teriakan tapi ... aku justru malah mempercayai perkataan Seruni dan mengira itu hanya perasaanku.” Genta menoleh ke arah Bagas. Bagas hanya diam dan memilih menatap langit. “Aku benar-benar minta maaf Gas dan aku sudah berjanji akan mencari tahu siapa pembunuh Seruni. Dan ... aku yakin mereka adalah salah satu dari penghuni di rumahmu. Karena Seruni memberi petunjuk lewat tulisan tangannya dengan darah. Inisial yang baru bisa dia tulis adalah huruf ‘B’ dan kamu pasti paham maksudku.” Bagas menoleh ke arah Genta. 253 - Bai_Nara



“Termasuk aku dicurigai sebagai tersangka, ‘kan?” Bagas mengucap dengan nada sinis. “Sayangnya iya, Gas. Karena itu, ayo kita bekerja sama mengungkap dalang pembunuh Seruni dan peneror kamu.” Genta duduk pun dengan Bagas. Mereka saling menatap dalam. Bagas mengangguk. Mereka diam dan kembali merebahkan diri menatap awan yang kini mulai semakin gelap. Meskipun tak ada kata. Keduanya menyadari, kini mereka harus saling bekerja sama demi memecahkan kasus kematian Seruni dan mengungkap siapa dalangnya. Karena bisa jadi, sang pelaku pun akan melakukan hal yang sama pada anggota Atmaja yang lain. Bagas mungkin yang paling memahami semua hal yang terjadi dalam keluarganya. Entah ini memang suatu takdir atau kebetulan yang terencana, Bagas kini sadar. Darah Atmaja telah mati atau pergi satu per satu. Ayahnya, Bowo, Betty yang gila, Bestari yang harus mendekam di hotel prodeo, Binawan dan ... mungkin gilirannya. Dari semua peristiwa, ada satu hal yang jelas. Hanya tersisa Bagas, Binna dan kedua putranya. Keadaan ini membuat asumsi Bagas semakin yakin jika salah satu atau mungkin ketiganya terlibat. Apalagi, mengingat saat pembagian warisan, Bagas menangkap sorot mata itu, Sorot mata tak terima dan penuh kebencian.



Rumah Atmaja - 254



36. Mencari Bukti B



estari sedang duduk sambil menyandar di tembok. Suara riuh tiga teman satu sel-nya tidak terlalu ia tangapi. Pikirannya menerawang jauh entah kemana. Dan yang jelas hatinya rindu. Rindu pada suaminya. Belahan jiwa yang tak pernah bisa ia miliki hatinya. Bestari semakin sedih, di masa tuanya. Ia malah menghabiskan waktu di penjara tanpa suami, anak ataupun cucunya.



255



Hampir setengah tahun Bestari di penjara tetapi tak ada satu pun yang mau menjenguknya. Bahkan Binna yang selama ini ia lindungi, ia beri limpahan materi pun kini tak mau menjenguknya sama sekali. “Kamu sama sekali melupakan ibu, Binna. Padahal dulu aku selalu menjaga kamu dan Betty. Dengan tanganku aku merawat kalian berdua, Bagus juga. Tapi ... apa yang kudapat dari kalian semua. Bagus membangkang, dia malah memilih Cempaka. Sedangkan kamu dan Betty ... ah, aku lupa Betty pun sekarang gila hahaha.” Bestari menangis, dia sungguh merindukan anakanaknya, keluarganya. Tiba-tiba saja ada salah satu sipir wanita yang datang dan mengatakan ada yang mau menjenguknya. Bestari hanya diam, dia lupa bahwa hampir setiap minggu ada satu orang yang selalu menjenguknya. Seseorang yang tak pernah ia anggap. “Bu Bestari, mari ikut saya,” ucap sang sipir wanita. Bestari segera berdiri dan mengikuti sang sipir.



Kedua orang itu hanya duduk dan saling menatap. Selalu seperti itu. Bagas memperhatikan wajah eyang putrinya yang semakin terlihat keriput dan semakin kurus. “Kamu tidak bosan menemuiku? Binna saja tak pernah mau menjengukku.” “Bosan. Tentu saja. Tapi aku masih ingat pesan Eyang Kakung untuk selalu menengok Eyang Putri setiap minggu sebagai gantinya yang tidak bisa menengok Eyang.” Rumah Atmaja - 256



Bestari tertawa miris. Suaminya sungguh lelaki baik, selalu baik walaupun sudah tahu jika dirinya adalah penyebab kematian kekasih hatinya. Dan sifat itu menurun pada putranya dan kini cucunya. Ah, kenapa bukan pada Binna dan Betty serta keturunan mereka. “Apa Nawang sudah ketemu?” “Belum.” “Hem. Mungkin dia su—” “Nawang masih hidup, aku yakin itu. Dia hanya bersembunyi dari monster jahat yang ada di rumah Atmaja,” sahut Bagas dingin. Bestari menatap Bagas dengan sinis. Bagas pun menatap Bestari dengan tatapan dingin. Keduanya hanya terdiam dan saling menatap hingga waktu untuk menjenguk habis. Bagas pun segera berdiri, namun sebelum kaki Bagas melangkah, Bestari memanggilnya. “Selalu saja terjadi dalam garis keturunan Atmaja, hanya salah satu yang bertahan dan menempati rumah itu hingga generasi selanjutnya. Dulu Mas Binawan juga bersaing dengan sepupu-sepupunya. Tapi dia yang akhirnya bertahan, sedangkan para sepupunya ada yang mati, pergi dan entah berada dimana sekarang ini. Sepertinya, salah satu dari kalian pun akan mengalami hal yang sama.” Begitu mengucapkan kalimat itu, Bestari memilih meninggalkan Bagas dan mengikuti penjaga untuk kembali ke sel-nya. Bagas termenung cukup lama kemudian segera berlalu menuju ke tempat lainnya. Sampai di tempat tujuan berikutnya, Bagas hanya diam sambil mengamati tingkah Betty yang kini sedang bersenandung sambil memeluk bonekanya. Bagas menghembuskan nafasnya, ia lelah ... sangat lelah. Dulu mengunjungi Bestari dan Betty sangatlah mudah untuk dilakukan. Mengingat semua ini ia lakukan untuk menjalankan 257 - Bai_Nara



perintah eyangnya. Apalagi terkadang Nawang ikut jadi Bagas tidak merasa bosan. Tapi kini ? Semua terasa berat. “Mas Bagus.” Bagas menoleh ke arah Betty yang kini menghampirinya. Lagi, Betty selalu mengira kalau Bagas adalah Bagus. Begitu miripkah dia dengan sang ayah? Bagas hanya bisa melihat kemiripannya dengan sang ayah melalui foto saja. “Iya.” “Betty mau beli permen,” rengek Betty. “Oke. Mas belikan.” Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Bagas. “Makasih Mas. Oh iya Mas, jangan lupa hati-hati nyebrangnya hihihi. Nanti ada yang nyerempet hihihi. Hahaha.” Bagas tercenung kemudian sebuah ide melintas di benaknya. “Nanti mas kan nyebrangnya hati-hati. Gak akan tertabrak kok.” “Hahaha. Nanti aku suruh orang nabrak Mas Bagus, kalau enggak kayak Mbak Binna. Hahaha. Bummm ... si Rendra sama selingkuhannya mati. Hahaha.” Bagas mengernyit, pernyataan Betty membuat dirinya diliputi berbagai dugaan. “Mas Rendra sengaja dibunuh?” Bagas sengaja menggunakan kata ‘Mas’ untuk menyebut Rendra. “Iya. Meski Mbak Binna gak ngomong ke aku, tapi aku tahu hahaha. Dia sudah terlalu sakit hati sama si Rendra makanya dia bikin Rendra mati.” “Gimana caranya?” “Gak tahu. Tapi aku yakin itu ulah Mbak Binna hahaha ... bum hahaha ....” Bagas masih mendengarkan celotehan Betty. Entah kenapa Bagas tertarik dengan setiap ucapan Betty. Rumah Atmaja - 258



“Bowo dari dulu gak mau dekat dengan cewek, dia pemalu, Budi playboy sedangkan Bisma punya pacar tapi tiba-tiba dia meminta Ibu untuk melamar Seruni. Padahal pacarnya anak bungsu dari keluarga Ganesha, lebih kaya dari Seruni. Hahaha. Wanita itu mati, mati kecelakaan hahaha. Kasihan, padahal dia meminta pada keluarganya agar bisa nikah sama Bisma hahahaha. Kamu tahu Mas, aku dengar, wanita itu sering mendatangi Bisma hahaha. Bahkan sering menemani Bisma kemana pun Bisma pergi. Bahkan saat Bisma harus menyelesaikan pekerjaan di luar kota.” “Bagaimana kamu tahu?” “Aku meminta orang untuk mencari tahu. Hahaha ... wanita itu katanya pernah terlibat pertengkaran dengan Bisma karena Bisma memilih menikah dengan Seruni. Kata detektif yang aku sewa, Bisma sering bermalam di hotel dengan wanita itu. Berarti ... Bisma sudah sering tidur dengan wanita itu, ‘kan? Hahaha. Sssttt ... jangan bilang-bilang ya. Hahaha.” Betty langsung pergi meninggalkan Bagas sambil menari-nari. Bagas termenung mendengar berita yang ia peroleh dari Betty. Bagas memutuskan untuk mencari tahu siapa wanita itu. Setelah beberapa hari mencari tahu dengan bantuan Genta dan rekan seprofesinya, Bagas dapat menemukan informasi yang ia butuhkan. “Namanya Niken Ayu Putri Ganesha. Putri bungsu keluarga Ganesha. Dia memang pacaran dengan Bisma. Sayang, Bisma tiba-tiba minta putus dan menikahi Seruni. Tapi ... Niken tetap mencoba meyakinkan Bisma untuk memilih dia, bahkan dengar-dengar dia meminta Bisma menikahi keduanya dengan syarat, Nikenlah yang menjadi istri pertama. Tetapi Bisma menolak. 259 - Bai_Nara



Bisma tetap menikahi Seruni. Niken sepertinya patah hati, dia mengendarai mobil dalam keadaan mabuk dan terjadilah kecelakaan tunggal dan dia meninggal,” papar Hamdan, rekan kerja Genta. “Kapan Niken meninggal?” tanya Genta. “Seminggu sebelum Seruni dan Bisma menikah,” jelas Hamdan. “Mas Bisma ada dimana saat Niken kecelakaan?” “Di luar kota, urusan bisnis menurut info yang saya peroleh.” Bagas mencoba memahami semuanya. “Kenapa Eyang Putri tidak memilih Niken untuk Mas Bisma, justru malah Seruni?” tiba-tiba kalimat itu meluncur di bibir Bagas. “Iya yah. Padahal kan, kalau dilihat dari silsilah keluarga jelas Niken menang banyak dari Seruni. Yah, walau keluarga Seruni termasuk orang terpandang,” sambung Genta. “Karena permintaan Bisma sepertinya. Dia yang meyakinkan Ibu Bestari untuk bisa memperistri Seruni dan ....” “Agar aku pergi, ‘kan?” Tiba-tiba sebuah dugaan melintas di kepala Bagas. “Iya,” tegas Hamdan. “Luar biasa, aku sudah menduga dari dulu. Kalau dibalik sikap seorang kakak yang mengayomi tetap saja Bisma merasa kamu saingannya, Gas.” Genta mengeluarkan asumsinya. “Saingan dalam hal apa? Mendapatkan cinta Seruni?” Kening Bagas mengernyit. “Bukan. Kamu saingan terberat Bisma dalam hal merebut kekayaan Dinasty Atmaja. Sepertinya Bisma berharap dialah yang bakalan menjadi penerus.” Rumah Atmaja - 260



“Tapi ... memang dialah yang digadang-gadang Eyang untuk meneruskan kebun dan pabrik, ‘kan?” komentar Bagas. “Iya sih, tapi bisa saja kan kalau Bisma tetap menganggap kamu saingan terberatnya. Maka dari itu dia melakukan strategi menikahi Seruni agar kamu patah hati dan pergi.” Bagas menganggukkan kepalanya menyetujui perkataan Genta. “Kamu harus tahu, Gas. Kalau dalam Dinasty Atmaja itu hanya akan ada satu saja yang bertahan sedangkan yang lainnya akan meninggal atau mungkin pergi.” “Maksud kamu?” Bagas semakin heran dengan perkataan Genta. “Ada sebuah rumor, bahwa rumah Atmaja hanya akan diteruskan oleh satu garis keturunan saja. Terakhir aku dengar, itu melibatkan kakek buyut kamu dan adik sepupunya, tapi kakek buyutmu yang menang sedangkan adiknya meninggal karena sakit. Sedangkan keturunan sang adik entah ada dimana.” “Benarkah?” “Iya. Karena eyang kamu gak ada saingan makanya dia bertahan tapi beda dengan generasi orang tuamu dan kamu. Entahlah, mungkin apa yang dialami oleh kakek buyutmu akan kamu alami dan ... bukankah generasi ayahmu sudah mengalaminya?” Bagas diam, dia berusaha mencerna semua ucapan Genta. Mau tak mau Bagas sekali lagi membenarkan ucapan Genta. Meskipun Bagus sang ayah lebih memilih Cempaka dan tak mengharapkan harta sang eyang tapi Bagus pun akhirnya meninggal karena ulah Betty yang ketakutan jika harta eyangnya dikuasai oleh Bagus. 261 - Bai_Nara



“Bagaimana Mas Bisma bisa ... kau tahu kan maksudku?” Bagas mengeluarkan unek-uneknya selama ini tentang Bisma. “Impoten?” Bagas mengangguk, membuat Genta tertawa. “Entah. Itu yang perlu kamu cari tahu.” “Dia bukan pecinta seks bebas, ‘kan? Atau pecinta onani?” tanya Hamdan mau tak mau kepo juga. “Sepertinya bukan, soalnya Pakdhe Rendra suka selingkuh jadi gak mungkin Mas Bisma seperti Pakdhe mengingat bagaimana sakitnya hati Budhe Binna karena dikhianati.” Bagas berusaha meyakinkan dirinya sendiri. “Kamu yakin Gas?” tanya Genta. “Gak juga sih,” lirih Bagas. “Kamu lihat aja gimana tingkah Budi, kamu yakin Bisma gak kayak gitu juga. Jangan-jangan Bisma malah lebih berbahaya. Predator wanita dia. Ingat ada Niken loh.” Bagas termenung, kemudian dia menatap Genta. “Mas Bisma beneran lumpuh, ‘kan?” “Kalau itu iya. Soalnya bukan hanya satu dokter yang ngomong. Dia sudah berobat kemana-mana dan hasilnya ... tidak bisa kembali seperti semula alias lumpuh.” “Budi?” “Dia bisa mengorbankan Nawang untuk menghindari ancaman Kevin, dia juga sama saja. Lagian, kamu harus tahu. Budi punya bisnis lain selain usaha cafe-nya itu.” “Apa?” “Perdagangan narkoba. Itulah kenapa dia bisa mengenal Kevin. Tapi ini masih diselidiki karena kami Rumah Atmaja - 262



belum punya bukti yang cukup kuat untuk menjerat Budi.” Bagas diam, ternyata ada banyak hal yang tidak ia ketahui tentang saudara-saudaranya. “Budi ... seorang bandar?” Bagas sungguh tidak percaya dengan apa yang dia dengar. “Iya.” “Kenapa dia tak mengurus perkebunan saja dari pada menjadi bandar?” “Ayolah Gas, mengurus perkebunan dan pabrik itu susah. Butuh pengalaman dan kemampuan. Apa kamu pikir seorang Budi mau capek-capek kerja di kebun? Bisma saja kudengar mengalami kesulitan mengelola kebun dan pabrik. Keadaan pabrik dan perkebunan mengalami kemunduran tahu di tangan Bisma. Bisma keteteran untuk menstabilkan keadaan hingga kecelakaan membuatnya lumpuh dan akhirnya kamu dipanggil eyangmu untuk mengatasinya.” Bagas hanya bisa diam. Ya Tuhan, kenyataan apalagi ini. “Kamu tahu kematian Pakdhe Rendra karena apa?” Akhirnya Bagas malah bertanya ke hal lain. “Ngantuk, kelelahan yang berakibat pada kecelakaan tunggal. Om Rendra dan selingkuhannya sedang dalam perjalanan pulang dari Puncak.” “Hem. Beneran kecelakaan tunggal? Atau ....” “Tidak ada bukti yang mengarah pada percobaan pembunuhan. Jika itu yang kamu tanyakan.” Bagas kembali diam. Pun Genta. Hamdan sendiri hanya menjadi pendengar. Cukup lama Bagas, Genta dan Hamdan berdiskusi. Mereka masih belum memperoleh hasil dari dugaan mereka. Bagas kembali ke rumah setelah sholat ashar. Sampai di rumah, dia langsung menuju ke kamarnya di 263 - Bai_Nara



paviliun tanpa mengindahkan ajakan Bisma untuk makan bersama. Bagas kembali menempati paviliun. Di sana, Bagas merasa lebih nyaman daripada di dalam rumah. Semalaman Bagas hanya duduk diam di kursi kerjanya. Ia tak bisa tidur, ada berbagai rasa yang ia rasakan. Rasa sedih, kehilangan, rindu, marah, benci semua menjadi satu. Bagas bingung, dia tidak punya pijakan untuk hidupnya saat ini. Akhirnya Bagas memutuskan merebahkan diri. Mencoba tidur dan menghilangkan penat hati. Bagas pun tertidur.



Di rumah Atmaja Seseorang sedang berada di kamar Binawan. Dia sedang mencari-cari sesuatu. Sesuatu yang harus dia temukan sebelum, Bagas atau orang lain menemukannya. “Hem, lelaki tua sialan. Dimana kamu menyembunyikan semuanya hah? Aku harus segera menemukannya.” Orang itu terus mencari, tanpa ia ketahui ada sepasang mata yang mengamatinya dengan raut penuh ketakutan. Juminten memilih bersembunyi dan tidak bergerak sama sekali. Dia takut. Sang penggeledah keluar dengan hati-hati, ia segera berlalu dari kamar Binawan sambil menoleh ke kanan Rumah Atmaja - 264



dan ke kiri. Setelah memastikan keadaan aman, dia langsung pergi. Juminten masih diam di tempatnya. Setalah dirasa aman dia pergi ke kamarnya. Ketika akan berbelok dia kaget mendapati Binna yang sama kagetnya. Meski kaget dan takut, Juminten tersenyum ke arah majikannya. “Kamu dari mana?” tanya Binna berusaha memasang wajah baik-baik saja. “Ambil minum Juragan, ini dia.” Juminten menyodorkan segelas air yang ia bawa.” “Oh, ya sudah.” Binna segera berlalu kembali ke kamarnya pun dengan Juminten. Di kamarnya Juminten segera mengunci pintu dan mencoba tidur. Suara-suara aneh terdengar dari luar, Juminten memilih abai saja. Dia tak mau melihat sesuatu yang aneh lagi. Juminten memutuskan akan tutup mulut. Dia takut. Klotak. Klotak. Klotak. Suara yang dibuat orang itu terus menggema. Kini yang menjadi sasaran adalah ruangan Betty. Dia terus mencari dan mencari hingga senyumnya melebar. Dia menemukan perhiasan emas milik Betty. “Lumayan. Hahaha.” Orang itu pun segera berlalu dengan senyum terkembang.



265 - Bai_Nara



37. Tidak Terduga J



uminten meladeni tiga anggota Atmaja dengan berdebar-debar. Dia sedikit takut tapi memilih pura-pura tidak tahu. “Bagas gak ikut, Bu?” Bisma memulai percakapan. “Sepertinya tidak, buktinya hanya ada kita bertiga.” “Oh.” Hening. Ketiganya makan dalam diam. Juminten sendiri sudah kembali ke dapur. Dari sela-sela pintu, Juminten mengamati interaksi ketiga Atmaja. “Kenapa, Ju?” bisik Narti.



266



“Gak papa Budhe. Cuma Juminten bingung, Den Bagas kok gak mau ikut?” Juminten sengaja berbohong, padahal sejak tadi dia mengamati tiga Atmaja dengan keingintahuan yang besar. “Den Bagas sepertinya masih marah sama Den Budi, sudahlah bukan urusan kita. Tugas kita hanya melayani mereka sebagai Majikan bukan mengurusi urusan mereka.” Narti kembali ke aktivitas mencuci piringnya sedangkan Juminten masih menatap ketiga anggota Atmaja dengan penuh keingintahuan hingga dia berpikir untuk apa ikut campur. Lagian Juminten hanya pembantu bukan calon anggota keluarga ini. Mengingat statusnya, Juminten menjadi sedih. Aku harus melupakan Den Budi dan belajar menerima Mas Damar, batin Juminten. Juminten pun memilih ikut membantu Narti. Di ruang makan, ketiga anggota Atmaja makan dalam diam tanpa ada yang berbicara. Sungguh berbeda ketika Binawan masih hidup dan Nawang masih bersama mereka. Biasanya meja makan akan ramai oleh celotehan Nawang dan suara tawa Binawan. “Budi selesai. Budi mau keluar dulu Mas, Bu. Budi bosan pengen nyari angin.” “Hati-hati.” “Iya Bu. Duluan Mas.” “Iya.” Budi mengendarai mobilnya menuju ke suatu tempat. Dia sudah ada janji dengan salah satu temannya. Budi berjalan menuju ke salah satu kamar hotel kelas melati di daerah Banjar. “Maaf menunggu lama.” “Gak papa. Duduk!” Budi segera duduk berseberangan dengan rekannya. 267 - Bai_Nara



“Kamu masih aman sekarang. Tapi kamu harus hatihati, polisi sepertinya sedang mengintai kamu,” ucap rekan Budi. “Ck. Ini semua karena kamu Indra. Coba kamu gak jadiin cafeku tempat transaksi narkoba. Pasti semuanya gak akan kayak gini,” sungut Budi. “Hahaha. Kamu lupa ya. Kamu juga menikmatinya bahkan mengambil banyak untung juga dari usahaku.” Indra tak mau kalah. Muka Budi mengeras, dia sungguh sebal dengan sahabatnya ini. Tapi mau bagaimana lagi, memang sepenuhnya bukan salah Indra juga, sih. Budi juga salah karena membiarkan kelakuan Indra bahkan ikut menikmati hasilnya. “Gimana kalau kamu bantu Bagas ngurusi kebun sama pabrik. Lumayan dapat gaji. Hahaha.” “No. Aku gak mau, hasil gak seberapa malah adanya buntung. Belum lagi kalau hasil panen teh dan sayuran gagal dan tidak sesuai target. Buktinya dulu, Mas Bisma gagal total.” “Hahaha. Tapi di tangan Bagas buktinya bisa kembali berjaya.” “Dia kan lulusan Biologi, itu bidang dia.” “Terus bidang kamu apa? Ngabisin duit eyangmu hahaha.” Indra masih meledek Budi, Budi sedikit terintimidasi tapi bukan Budi namanya jika memperlihatkan dia sakit hati. Dia malah menganggap omongan Indra seperti angin saja. “Eh, istri Bagas udah ketemu belum?” tiba-tiba Indra mengubah topik pembicaraan. “Belum.” Wajah Budi berubah menjadi sendu. “Yah, kasihan. Mungkin udah mati kali ya. Padahal cantik. Aku aja suka liatnya.” Rumah Atmaja - 268



“Dasar Aligator!” sinis Budi yang dibalas Indra dengan tawa yang keras. “Oh iya, aku cuma mau ngajak kamu kerja bareng. Biasa, ini berhubungan dengan bisnis haramku. Hehehe.” “Ck. Aku lagi gak minat. Cukup kemarin aku ada masalah dengan Kevin. Aku gak mau lagi ketemu orang-orang kayak Kevin. Ini aja keadaan cafeku masih gonjang ganjing belum kembali normal. Ditambah lagi aku belum bisa mengembalikan uang milik Mas Bisma dan Ibu. Ibu berulang kali memintaku menyelesaikannya. Dia takut jika Mas Bisma tahu kalau aku dan Ibu berbohong.” “Emangnya kenapa? Bukannya sudah bisa kalian ambil?” “Aku dibohongi Kevin. Rupanya aku menjual tanah bagianku, Mas Bisma dan Ibu kepada kaki tangan Kevin. Padahal aku ngasih uang penjualan sama Kevin. Beneran licik Kevin itu. Kini warisan kami sudah beralih tangan lagi.” Budi terlihat frustasi sekali. Dia bahkan sampai mengacak rambutnya. “Kok bisa?” Indra juga tak kalah kagetnya. “Nah itu. Aku juga gak nyangka. Benar-benar sial hidupku.” Budi kembali mengacak-acak rambutnya. “Kenapa kamu gak ambil aja milik Bagas, kalau perlu sekalian pabrik dan kebunnya.” Budi menatap Indra tajam. Sungguh dia kaget dengan solusi yang ditawarkan oleh Indra. “Gila kamu!” “Hahaha. Daripada kamu bingung. Lagian, bukannya Bagas hanya saudara sepupu kamu. Ambil aja semua milik Bagas. Gampang, ‘kan?” 269 - Bai_Nara



“Gak. Sudah cukup aku bikin kesalahan dengan mengorbankan Nawang. Padahal Nawang begitu baik padaku. Bahkan Bagas juga tak pernah mencari masalah denganku.” Tatapan Budi menerawang jauh, kembali ke masa saat mereka masih kecil. Bagas sejak dulu selalu diam walau dia dan beberapa temannya sering menjahilinya. Bahkan ketika Bisma merebut Seruni, Bagas memilih pergi. Dia kembali setelah eyang kakung memintanya pulang agar membantu memulihkan keadaan pabrik dan perkebunan. Dengan kata lain, berarti dia kini membantu perekonomian utama keluarga Atmaja. “Kamu nyadar gak sih, kalau eyang kamu memang sengaja menjadikan Bagas sebagai penerusnya. Buktinya kuliahnya Bagas Biologi.” “Entah. Aku hanya tahu, memang sejak kecil Bagas menyukai tanaman dan sering membantu Mbah Maman mengurus kebun di rumah.” Hening. Indra menyulut rokoknya pun dengan Budi. “Kamu gak pengen belajar mengelola dulu sambil menunggu keadaan cafe kamu kembali membaik. Lagian, Bagas sering ngajakin kamu sama Bowo juga kan untuk mengurusi masalah pabrik.” Budi mengembuskan napasnya kasar. “Iya, tapi itu karena ibuku dan Bulik Betty yang memaksa kami ikut padahal aku sama Bowo gak mau. Sekarang Ibu juga semakin getol memintaku belajar lagi, padahal keduanya bukan bidangku.” “Hahaha. Ya sudah sekarang belajar. Apa kamu mau jadi kurir narkoba? Aku lagi banyak job ini,” tawar Indra. “Gak. Cukup sekali aku harus berurusan sama orang macam Kevin. Gak mau lagi.” Rumah Atmaja - 270



Indra tertawa. Kedua sahabat itu mengobrol untuk waktu yang lama.



Budi kembali ke kediaman Atmaja pada malam hari. Sebelum masuk ke rumah utama dia memilih melangkah menuju ke arah paviliun. Cukup lama Budi diam saja hingga kemudian dia memutuskan masuk ke dalam rumah. Bagas sendiri sedang merenung. Tadi siang dia bertemu dengan Genta. Genta memberinya kabar tak terduga bahwa warisan yang dijual Budi sudah atas nama orang lain. Kevin rupanya bermain curang di belakang Budi. “Jadi ... warisan Eyang saat ini hanya pabrik, kebun, bagianku dan Bulik Betty?” “Sayangnya iya, Gas.” “Astaghfirullah. Bagaimana bisa? Berarti bagian Mas Bisma dan Budhe Binna sama sekali tidak ada?” “Iya. Budi rupanya salah strategi. Dia meminta bantuan pada orang yang salah. Tuan Kurniawan itu nama samaran. Dia aslinya anak buah Kevin.” “Ya Allah, Budi.” Bagas menyandar pada kursi kerjanya. Dia lelah. “Terus rencana kamu apa, Gas.” “Aku gak punya rencana apa-apa. Aku akan purapura tidak tahu. Satu hal yang aku tahu, setiap bulan aku harus menyisihkan persentase keuntungan pabrik dan kebun untuk semua yang berhak.” “Kamu gak pengen kasih tahu Bisma.” “Untuk apa? Itu bukan hakku, itu kewajiban Budi untuk memberitahu kakak dan ibunya.” 271 - Bai_Nara



Bagas mengembuskan napasnya dalam. Dia meraup mukanya yang terlihat lelah. Pikirannya masih menerawang pada berita yang disampaikan oleh Genta tadi siang. “Kamu di mana Sayang? Aku kangen sama kamu. Kamu tahu, Dek. Aku bertahan di sini karena berharap bisa menemukan kamu. Berharap kamu masih hidup.” Bagas mengambil salah satu daster milik Nawang dan memeluknya mesra. Berulang kali dia menciumi daster istrinya. “Bahkan orang yang kuminta untuk mencari kamu, belum bisa menemukan kamu, Dek.” Hening. “Mas kangen, Dek.” Bagas membaringkan tubuhnya yang lelah. Lamakelamaan dia tertidur pulas. Sementara itu, disudut ruang di kediaman Atmaja. Seseorang sedang terlihat berjalan hilir mudik. “Dimana Bapak menyembunyikan semuanya. Apa mungkin Bagas yang menyimpan surat-surat penting? Huh, semua perhiasan Ibu juga sudah kuambil. Tapi ini kurang, masih kurang. Agh ...!” Orang itu tampak frustasi. Semua rencananya kacau. Terdengar suara notifikasi chat masuk pada ponsel. Dia meradang membaca isi chat dari seseorang. “Kurang ajar! Dia malah memerasku. Padahal hasil kerjanya gak ada yang sesuai. Dia pikir aku punya banyak uang apa! Kemarin masih ada emas milik Ibu. Sekarang? Agh, sial!” Binna masih berjalan mondar-mandir di kamarnya. Dia bingung bagaimana mencari uang sepuluh juta dalam waktu tiga hari.



Rumah Atmaja - 272



“Agh, mana Budi juga bodoh! Bagaimana bisa dia ditipu sama Kevin. Kasihan Bisma. Dia gak punya apaapa,” lirih Binna. “Jadi sekarang warisan yang tersisa hanya milik Bagas dan Betty, kebun dan pabrik. Agh, kenapa kamu gak mati aja sih, Gas? Kayak bapak kamu. Padahal kalian sama-sama tertabrak mobil. Bapakmu mati tapi kenapa kamu masih hidup? Malah kayak orang yang gak pernah kecelakaan aja. Agh sial! Apa yang harus aku lakukan kalau orang itu menunjukkan semua bukti ke polisi? Dan juga ....” Binna begidig ngeri, tidak! Dia tidak mau di penjara seperti ibunya. “Aku harus cari cara. Cara untuk menghancurkan lawan tanpa ada seorang pun yang tahu. Dan terutama mengambil semua hakku dan anak-anakku.” Bina tersenyum sinis, lalu tatapannya tertuju ke jendela yang tirainya terbuka. Dimana pemandangan paviliun yang sepi tampak nyata. “Hanya satu keturunan yang boleh hidup. Dan itu adalah keturunanku.” Binna tersenyum jahat sambil menatap ke arah paviliun. Di luar kamar, Juminten yang sedang berada di dapur, sesekali memandang ke arah kamar Binna dan Binawan. Meski mencoba abai, Juminten tetap penasaran dengan tingkah Binna. Sudah sejak lama, Juminten menyadari sikap aneh Binna. Terutama semenjak kedatangan Bagas dan Nawang. Juminten sering mendapati Binna mengintip paviliun dengan tatapan kebencian. Kadang Betty juga melakukan hal yang sama. Tapi jujur, tatapan Binna yang pembawaannya kalem lebih menakutkan di mata Juminten dari pada milik Betty. 273 - Bai_Nara



Juminten segera ke kamarnya dengan membawa segelas air. Rupanya, Binna tidak memasuki kamar Binawan lagi seperti aksinya beberapa hari yang lalu. Binna keluar dari kamarnya selang lima menit ketika Juminten kembali ke kamarnya. Binna menoleh ke kiri dan kanan kemudian dia menuju ke kamar ujung di mana kamar Bagas berada. Sampai di kamar Bagas, Binna mulai mencari tapi hasilnya nihil. “Sial! Dimana anak itu menaruh surat-surat pentingnya? Agh!”



Rumah Atmaja - 274



38. Duel Langsung B



agas masih duduk memandang sekelilingnya. Lagi, usaha pencariannya tidak berhasil. Bahkan orang yang ia suruh pun belum menemukan hasil. Bagas menatap hamparan lautan hijau kebun milik eyangnya. Mata tajamnya menatap awas setiap aktivitas di sekelilingnya. “Pagi Den Bagas.” “Pagi.” “Pagi, Den.” “Pagi.”



275



Sesekali Bagas menjawab sapaan dari para pemetik teh atau lalu lalang orang yang lewat. Tanpa Bagas sadari dari kejauhan ada sepasang mata dengan bulu mata lentik sedang menatapnya dengan penuh kerinduan. Selintas saja semua orang yang menatapnya dengan cermat akan mengatakan jika dia cantik. Sayang, saat ini dia memakai caping dengan wajah ditutupi kain seperti kebanyakan pemetik teh yang lain. Sehingga tak ada yang menyadari kalau orang itu adalah Nawang. Nawang menatap suaminya dari kejauhan. Ingin sekali dia berlari dan menghampiri suaminya. Tapi Bima melarang Nawang untuk menampakkan diri. Nawang, Erlangga dan Kinanti kini tinggal di rumah mereka yang berada di dusun Sukasari. Dusun yang bersebelahan dengan kebun milik keluarga Atmaja. Bima sendiri masih tinggal di rumah yang terletak di dalam hutan. Bima memang sengaja mengungsikan Kinasih, Nawang dan Erlangga demi keselamatan mereka. Beberapa kali Bima bertemu dengan orang suruhan Bagas bahkan orang itu beberapa kali singgah di rumah Bima yang ada di tengah hutan saat mencari Nawang. Namun, Bima berakting dia hidup sendirian. Ada alasan kenapa Bima sengaja menghalangi pertemuan Bagas dan Nawang. “Kek, ijinkan Nawang menemui Mas Bagas. Minimal Nawang harus kasih tahu Mas Bagas kalau kami masih hidup,” pinta Nawang kala itu. “Kakek tidak mengijinkan, Nduk. Dengar. Masih banyak rahasia yang perlu suamimu ungkap. Ada banyak hal yang harus dia selesaikan dulu sebelum kalian bisa bersama. Kakek tidak mau kamu dan Erlangga terluka.” Rumah Atmaja - 276



“Memangnya siapa yang jahat Kek? Kakek tahu?” “Kakek hanya punya dugaan. Tapi bisa benar bisa salah. Musuh ini adalah orang yang sangat licik. Dia selalu bisa bersembunyi dalam sikapnya dan membodohi semua orang.” “Maksud Kakek, apa mungkin dia ...?” “Iya. Makanya kamu harus sembunyi dulu. Usia Erlangga sudah dua bulan. Kakek akan membawa kamu, Erlangga dan Nenek ke rumah kami di dusun Sukasari yang terletak di sebelah perkebunan Atmaja. Kamu bisa menjadi pemetik harian lepas biar bisa sesekali melihat suamimu. Tapi kakek mohon, demi keselamatan kalian semua. Kamu jangan menampakkan diri. Percayalah pada kakek.” “Tapi, Mas Bagas ....” “Bagas lelaki yang kuat. Kakek yakin dia yang akan membuat perubahan pada dinasti Atmaja. Percayalah pada suamimu.” Nawang akhirnya hanya bisa pasrah. Benar juga kata Kakek Bima. Kini yang bisa Nawang lakukan hanya berdoa demi keselamatan sang suami dan putranya. Bagas memutuskan kembali ke pabrik setelah cukup lama memantau perkebunan. Dia berjalan dengan gontai dan sesekali tersenyum atau menjawab salam para pemetik teh. “Den Bagas makin kurus ya?” celetuk salah seorang pemetik teh. Kebetulan Nawang berada di dekatnya. “Iya. Kasihan. Den Nawang katanya belum ketemu,” timpal yang lain. “Kira-kira Den Nawang masih hidup gak ya?” pemetik yang lain ikut nimbrung juga. “Gak tahu. Semoga saja masih hidup. Kasihan Den Bagas.” 277 - Bai_Nara



“Ho’oh.” Segerombolan pemetik teh masih membicarakan Bagas sambil menjalankan aktivitas memetik teh. Nawang memilih diam dan memetik teh bagiannya. Namun, telinga Nawang awas dan mendengarkan dengan baik. “Hei, kalian udah denger berita itu belum?” “Yang mana?” “Itu, Den Seruni.” “Oooo. Hihihi. Iya, aku denger. Katanya sebelum ditemukan meninggal di dekat sana. Dia habis godain Den Bagas, ‘kan?” Nawang menghentikan aksi memetik tehnya. Kini telinganya dia pasang baik-baik demi mendengar info sejelas-jelasnya. “Iya, katanya dia diusir sama Den Bagas. Gak berhasil dia bikin Den Bagas tidur sama dia.” “Lagian, Den Bagas itu putranya Den Bagus. Jelas gak mungkinlah asal celup jelas nyelupnya sama istrinya.” “Ho’oh, apalagi nyelupin bekas banyak orang.” “Hahaha.” Tawa segerombolan ibu-ibu terdengar membahana. Nawang sedikit geram pada Seruni. Dalam hati dia mengumpati Seruni. Benar-benar nenek sihir. Pertama dia mencoba membunuhku sekarang malah merayu suamiku, awas saja dia! umpat Nawang dalam hati. “Iya. Tapi kasihan ya. Matinya mengenaskan.” Salah seorang dari mereka menyeletuk membuat Nawang yang awalnya geram pada Seruni justru berubah kaget. “Kira-kira siapa yang bunuh ya?” Rumah Atmaja - 278



“Gak tahu, ada yang bilang sih dirampok tapi ... ada yang bilang dibunuh salah satu penghuni Rumah Atmaja.” “Pasti. Soalnya kan Den Seruni udah bikin banyak salah ke keluarga itu.” “Kalau iya. Kira-kira siapa?” “Hei, kalian mau kerja apa ngobrol. Cepetan kerja!” Salah satu mandor tiba-tiba datang dan menghentikan ghibahan mereka. Mereka pun segera memetik teh kembali dan menghentikan gunjingan terhadap Seruni. Tak terkecuali Nawang yang berhenti nguping. Namun pikiran Nawang kini jadi kemana-mana. Dia penasaran dengan berita kematian Seruni. Dalam hati Nawang akan bertanya kepada Nenek Kinasih saat dia sudah di rumah nanti.



Bagas menghentikan laju mobilnya. Tiba-tiba ban mobilnya kempes. Bagas keluar dari mobil dan mengeceknya. “Hem, kamu lagi.” Bagas mengedarkan pandangannya ke penjuru jalan. Sepi. Benar-benar tempat yang bagus untuk mencelakai bahkan membunuhnya, begitu pikir Bagas. Bagas menatap siaga ke sekelilingnya. Tak ada pergerakan. Bagas segera mengambil ban cadangan dan dongkrak. Meski tangannya bekerja mengganti ban mobil belakang sebelah kanan tapi telinganya awas dengan sekelilingnya.



279 - Bai_Nara



Dari kejauhan ada sepasang mata yang mengawasi Bagas. Dengan pelan-pelan dia bergerak mendekati Bagas. Bugh. Bagas yang siaga menghindar dan langsung meninju balik si penyerang. “Aaaaa.” Duel terjadi antara Bagas dan orang itu. Tak ada satu pun yang mau mengalah. Rupanya keduanya sama-sama bisa bertarung. Bugh. Bugh. Bagas melakukan gerakan memutar sekaligus menyikut perut sang musuh saat sang musuh memerangkap Bagas. “Aaaaaa.” Bagas tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia langsung memukul lagi perut si penyerang dan dengan sekuat tenaga menarik topeng yang dipakai oleh si penyerang. “Sial. Mati kau!” teriak si penyerang. Bagas sempat kaget tapi untung dia siaga sehingga ketika si penyerang menyerang lagi dia sudah siap. Si penyerang kewalahan menghadapi Bagas. Hingga dia mengeluarkan pistolnya. Bagas segera menghidar dengan bersembunyi di balik pohon. Dor! Dor! Dor! Bagas berlari dari satu pohon ke pohon yang lain demi menyelamatkan diri. Si penyerang mengikuti Bagas. “Sial. Kamu harus mati. Kamu sudah melihat wajahku.” Rumah Atmaja - 280



Terjadi aksi kejar-kejaran. Bagas berusaha menghindari tembakan sang penyerang, tapi nahas salah satu bahunya terkena tembakan. “Agh ...!” Bagas berguling-guling karena selain terkena tembakan, kakinya terantuk batu. Si penyerang sudah menodongkan pistolnya ke arah Bagas dengan seringai jahat. Namun, saat pelatuk digerakkan justru tak ada peluru yang keluar. “Sial!” umpat si penyerang. Bagas langsung menggunakan kesempatan ini untuk menyerang balik. Menggunakan kakinya. Dia menjegal sang penyerang kemudian berusaha melumpuhkannya. Terjadilah aksi saling gulat. Bagas menggunakan segala kekuatannya, dan dengan menahan rasa sakit dia mampu memukul si penyerang hingga si penyerang pingsan. Bagas tersengal-sengal. Dia meringis menahan sakit. Dengan sisa tenaganya dia menuju mobil, mencari ponselnya dan segera menghubungi Genta. “Iya Gas.” “Aku sharelock lokasiku. Tolong bantu aku. Aku habis diserang ....” Bruk. Bagas terjatuh dan tak sadarkan diri. “Gas. Gas. Bagas!” teriak Genta di seberang sana.



Bagas melenguh dan membuka matanya perlahan. Langit putih, bau obat, bahu yang terasa sakit dan selang infus. Bagas tersenyum lemah. Dia di rumah 281 - Bai_Nara



sakit. Mungkin Genta yang membawanya. Suara pintu yang terbuka mengalihkan fokus Bagas. “Hai. Gimana perasaan kamu?” “Gak baik. Berapa lama aku pingsan?” “Hampir lima jam.” Bagas tersenyum lemah. Kemudian dia ingat sesuatu. “Si penyerang kamu tangkap?” “Nah itu, gak ada siapa-siapa kecuali kamu dalam keadaan pingsan dan beberapa luka di tubuhmu.” “Apa?” Bagas bangun dengan tergesa-gesa namun kembali rebahan karena merasakan sakit di bahu kirinya. “Hati-hati Gas. Kamu masih terluka.” Genta terlihat khawatir pada sahabatnya. Bagas memegang bahunya. Sakit. “Maksud kamu, gak ada siapa-siapa?” “Iya.” “Gak mungkin. Aku sudah membuatnya pingsan.” “Beneran Gas, gak ada siapa-siapa.” Bagas terdiam. Dia nampak berpikir, apa mungkin si penyerang itu tiba-tiba sadar kemudian melarikan diri. Tapi kenapa dia tak membunuh Bagas sekalian? “Menurut analisamu, dia bekerja sendirian atau berkelompok?” “Entahlah. Bisa saja dia tiba-tiba sadar lalu segera pergi atau memang dia bekerja tidak sendirian.” “Lalu kenapa dia tidak membunuhku?” “Mungkin karena kami datang bertepatan dengan dia yang sadar. Dia takut tertangkap sehingga memilih kabur setelah sadar.” “Tapi aku yakin membuatnya benar-benar pingsan.” Genta hanya mengedikkan bahunya, karena tak mempunyai dugaan apa pun. Rumah Atmaja - 282



“Sudahlah, kamu istirahat saja. Jangan pikirkan macam-macam. Aku pergi dulu. Ada yang harus aku selesaikan termasuk kasusmu ini. Aku sudah menghubungi Wanto. Dia segera datang.” Bagas hanya mengangguk. Dia pun merasa lelah dan butuh istirahat. Setelah Genta pergi dan digantikan oleh Wanto. Bagas pun memutuskan untuk tidur. “Aku tidur dulu ya, To.” “Nggih Den, Den Bagas tidur aja. Den Bagas terlihat lelah sekali.” Wanto membantu Bagas merapikan selimutnya. Tak kurang dari lima menit, Bagas sudah tertidur. Wanto sendiri dengan setia menungggui Bagas. Di tempat lain, Binna sedang berjalan mondar mandir di kamarnya. Suara dering di ponselnya menghentikan aksi berjalan bolak baliknya dan segera menekan tombol hijau. “Gimana?” tanya Binna to the poin. “Dia selamat, polisi datang membawanya?” “Maksudmu?” “Kita duel dan aku menggunakan pistolku tapi aku kehabisan peluru dan dia membuatku pingsan. Untung aku sadar tepat waktu sehingga aku bisa segera pergi dari situ.” Binna mendengarkan penjelasan Broto, orang suruhannya dengan seksama. “Aku kan sudah bilang Broto, buat seolah-olah dia dirampok. Kenapa kamu malah menggunakan pistol? Bodoh kamu!” teriak Binna. “Jangan membuatku marah, Binna. Ingat, kalau bukan karena aku. Kamu gak mungkin bisa membalaskan sakit hatimu pada suamimu dulu, atau pada Seruni!” ancam Broto dan berhasil membuat Binna diam. 283 - Bai_Nara



“Aku butuh uang untuk bersembunyi kalau tidak, kamu akan menyesal. Aku akan membeberkan semua kebusukanmu.” “Aku tidak punya uang.” “Hahaha. Aku tak peduli! Siapkan pokoknya atau kamu akan menyesal!” Klik. Sambungan telepon diputuskan sepihak oleh Broto membuat Binna hanya bisa mengumpatinya. Binna ingin cuek tapi kalau Broto sampai tertangkap, ini bisa menjadi masalah jika orang itu sampai tertangkap. “Dasar Broto bodoh! Semoga saja polisi tidak menemukannya. Lalu bagaimana aku mendapatkan uang? Agh ... kenapa semuanya jadi begini?”



Rumah Atmaja - 284



39. Sedikit Terurai W



anto sedang ke mushola untuk melaksanakan sholat subuh sementara Bagas masih tertidur. Semalaman Bagas tak bisa tidur akibat rasa sakit pada seluruh tubuhnya. Wanto dengan sabar dan setia menemani Bagas. Pintu ruangan Bagas terbuka, ada seseorang memakai seragam petugas kebersihan dan masker mendatangi ranjang Bagas. Dia membersihkan ruangan sambil sesekali menatap sang suami. Ketika ruangan telah selesai dibersihkan, Nawang mendekati Bagas.



285



“Kamu harus kuat, aku dan putramu membutuhkanmu, Mas. Tetaplah hidup,” bisik Nawang lalu mengecup pipi sang suami. Dia segera pergi karena takut ketahuan. Samar-samar Bagas melihat seseorang yang membuka pintu. Namun, karena rasa lelahnya Bagas memutuskan untuk tidur lagi. Nawang keluar kamar Bagas dan cukup terkejut mendapati Budi dan Wanto yang sedang berjalan menuju ke kamar Bagas. Nawang pura-pura biasa saja dan memilih segera berlalu. Budi sedikit tertegun. Entah kenapa perawakan tukang bersih-bersih itu sepertinya tidak asing. “Kenapa Den?” Wanto bertanya kepada Budi yang cukup lama terdiam menatap kepergian petugas kebersihan. “Wanita itu kok kayak gak asing.” “Gak asing gimana?” “Perawakannya kayak gak asing. Dia seperti ... astaga!” Budi langsung berlari mengejar Nawang. Namun Nawang yang memang masih trauma dengan ulah Budi langsung bersembunyi. Budi sudah mencari ke sana ke mari. Namun, bayangan Nawang sudah menghilang. “Itu Nawang. Dia masih hidup. Apa mungkin dia sengaja menemui Bagas?” celoteh Budi pada dirinya sendiri. “Aku harus memastikan sendiri.” Budi langsung kembali ke kamar rawat Bagas. Sampai di sana, Bagas masih tidur sedangkan Wanto sedang menikmati sarapannya. “Makan dulu, Den Budi.” “Gak usah, To. Kamu aja. Aku belum lapar.” Rumah Atmaja - 286



Budi duduk di sebelah Wanto. Dia mengamati Bagas dengan intens. “Den Budi tumben, masih pagi sekali sudah ke sini.” “Aku gak bisa tidur aja. Dari kemarin pengen ke sini, cuma ....” Budi menghentikan kalimatnya. “Wanto tahu, Den. Emang susah buat lupa. Tapi, kalian tetep saudara. Darah kalian sama. Saran Wanto, coba deh Den Budi yang baik-baikin Den Bagas dulu. Sesekali ngalah gak papa Den. Dari pada musuhan terus. Jadi anak tunggal kayak Wanto nyebelin tahu Den. Gak ada yang dijadiin temen gelud sama tukar pikiran.” Budi tersenyum. “Tapi punya banyak saudara gak enak juga, To.” “Soalnya pada gak dibiasain bareng-bareng. Selalu pada bikin sekat. Jadi sampai sudah gede kayak gini.” “Iya. Mau gimana lagi. Dari Ibu, Paklik dan Bulik kan gak pernah akur.” “Iya sih. Habis kesenjangan kasih sayang terlalu kentara banget. Kata Bapak, Juragan Bagus dari dulu jadi kesayangan dan harapan buat keluarga Atmaja. Makanya Juragan Binna sama Juragan Betty cemburu banget. Nah, sekalinya udah meninggal pun masih jadi kesayangan ya udah deh.” Budi tersenyum lagi. “Tapi, kalau saja Den Budi sama Den Bowo mau belajar mengelola kebun sama pabrik pasti juragan kakung bakalan seneng. Maaf ya Den, Wanto dari dulu tuh mau ngomong gini ke Den Budi. Cuma Wanto takut. Tapi dipikir-pikir mending Wanto bilang aja dari pada nanti kebanjur (terlanjur basah).” “Gak papa, To. Aku seneng kok ada orang yang masih nasehatin aku. Berarti dia pengen aku jadi baik.” 287 - Bai_Nara



“Iya. Dan Wanto juga minta sama Den Budi, tolong jangan kasih harapan buat Juminten kalau memang Den Budi gak bisa kasih kepastian buat Juminten. Kasihan Den. Bagaimana pun dia adik sepupu Wanto. Gak rela rasanya, adik sendiri cuma jadi pelampiasan orang lain. Dia bukan Kinanti, Den. Dan cukup Kinanti aja yang pernah terluka gara-gara Den Budi.” Budi menatap Wanto dengan mata sendu. Mendengar nama Kinanti membuatnya teringat akan mendiang kekasihnya dan juga calon anaknya. “Kamu tahu Kinanti hamil anakku?” “Tahu, makanya waktu Kinanti ninggalin Den Budi. Wanto diam, Wanto gak bisa nolongin Kinanti meminta pertanggungjawaban sama Den Budi jadi Wanto memilih menolong Kinanti dengan diamnya Wanto. Tapi ... malah Den Budi rupanya minta Kinanti balik. Saat Kinanti udah balik eh malah ....” Wanto memilih menghentikan kalimatnya. “Aku malah tergoda sama Seruni. Kami bahkan hampir kebablasan kalau saja Kinanti gak datang. Tapi ... aku harus kehilangan mereka berdua, To.” Budi menangis setelah mengucapkan kalimat itu. Wanto merasa trenyuh juga. Dia bimbang ingin mengatakan sesuatu. Sebuah kebenaran yang lama ia sembunyikan. Setelah berkutat dengan pikirannya, akhirnya Wanto memilih mengatakan suatu rahasia kepada Budi. “Den.” “I-iya.” “Wanto mau kasih tahu sesuatu sama Den Budi, tapi ... Den Budi jangan marah sama Wanto ya. Soalnya Wanto udah janji sama Kinanti. Hanya saja sepertinya Den Budi harus tahu.” Budi menatap Wanto dengan penuh tanya. Rumah Atmaja - 288



“Apa? Ceritakan saja jika itu berhubungan dengan Kinanti.” Wanto menarik napas kemudian mengembuskannya pelan. “Begini. Waktu Kinanti habis keguguran. Saya sama istri mengunjungi Kinanti. Nah, pas mau masuk. Wanto lihat ....” “Lihat siapa?” “Wanto lihat Juragan Binna keluar dari kamar rawat Kinanti. Tapi Wanto gak berani nyapa. Wanto memilih menunggu juragan Binna pergi baru ketemu sama Kinanti.” Budi menatap Wanto dengan tatapan sedikit nyalang. “Benarkah? Lalu?” “Lalu, Wanto tanya sama Kinanti. Apa juragan tahu kamu hamil anak Den Budi dan keguguran?” “Terus?” “Kinanti cuma diam dan minta Wanto gak kasih tahu siapa-siapa.” Budi mengempaskan punggungnya pada sofa. Dia bahkan memijit pelipisnya. “Ya Tuhan. Apa mungkin perkataan Ibu yang bikin Kinanti putus asa dan memilih bunuh diri, To?” “Wanto gak tahu, Den. Wanto cuma tahu, besoknya Kinanti bunuh diri.” Budi hanya diam tapi air mata sudah mengalir deras dan membasahi pipinya. “Makanya Wanto minta sama Den Budi, kalau mau memperjuangkan Juminten tolong perjuangkan dan jaga dia. Tapi kalau gak sanggup, lepaskan Juminten, Den. Biar dia sama orang lain yang bisa menerima Juminten apa adanya dan mau menjaganya seumur hidup.” 289 - Bai_Nara



Budi hanya diam saja, tak mampu menjawab perkataan Wanto. Namun, Budi sadar selama ini dia salah pada Juminten. Juminten berkali-kali berusaha menghindar tapi Budi selalu saja mendekati Juminten dan memanfaatkan cinta si gadis polos untuk kesenangannya. Meski Budi sadar, dia salah. Tapi jujur. Juminten selalu mengingatkannya pada sosok Kinanti. Makanya, Budi tidak bisa melepas Juminten begitu saja. Tapi ... apakah selamanya Juminten hanya akan ia manfaatkan padahal gadis itu berhak dicintai juga. Ah, sungguh Budi tak rela rasanya melepas Juminten. Budi memutuskan segera kembali ke rumah. Lagian Bagas juga masih tidur. Sampai di rumah, Budi secara tak sengaja bertemu dengan Juminten yang sedang membawa tumpukan baju kotor dari kamar Budi. Keduanya kaget. Keduanya diam untuk waktu yang cukup lama. Hingga Juminten memilih pergi. “Permisi, Den.” Juminten melewati Budi namun tangannya dicekal oleh Budi. “Den!” Juminten sedikit berteriak. “Kita harus bicara, Ju.” “Gak perlu, Den. Juminten lebih suka begini saja. Tolong. Jangan bilang apa-apa. Juminten udah nerima lamaran Mas Damar, jadi Ju minta jangan ganggu Juminten lagi.” Juminten melepaskan cekalan Budi lalu segera berlalu. Budi masih terbengong-bengong namun segera berlari dan memeluk Juminten. “Jangan pergi, Ju! Jangan tinggalin aku. Aku mohon. Aku minta maaf, aku salah. Tapi jangan tinggalin aku, Ju.” Budi menangis pun dengan Juminten. Hati Juminten pun tak mau berpisah dengan Budi. Tapi buat apa Rumah Atmaja - 290



mempertahankan hubungan tanpa status mereka. Apalagi, Budi tak pernah bisa menghilangkan sosok Kinanti dari hatinya. Juminten memilih menyerah. “Lepas, Den! Maaf.” Juminten memilih pergi meninggalkan Budi yang masih menangis. Adegan drama keduanya disaksikan oleh Binna. Binna dan Budi saling menatap. Ada binar mata tak menyenangkan terpancar di mata Binna dan itu tertangkap di mata Budi. “Kenapa, Bu? Bukannya Ibu sendiri yang mengijinkanku menikah walau dengan pembantu sekalipun. Kenapa Ibu menatapku seperti ini?” Ada kilat kemarahan di mata Budi. Binna tertegun, dia berusaha menormalkan tatapan matanya. “Bukan begitu, Nak. Ibu cuma kaget aja, kamu sama Juminten ada hubungan?” Budi tertawa sinis. “Ya, seperti dulu. Dulu Ibu pernah menatapku seperti ini beberapa hari sebelum Kinanti meninggal. Katakan padauk, Bu. Apa Kinanti bunuh diri akibat ucapan Ibu? Apa yang Ibu katakan saat menemui Kinanti?” cecar Budi. Binna tidak menjawab. Dia sedikit menimbangnimbang harus berkata apa pada putranya. “Hahaha. Jadi benar, ini semua ulah Ibu. Ibu jahat. Ternyata Ibu gak jauh beda dengan Eyang Putri dan Lik Betty.” Budi segera berlalu dengan amarah yang memuncak. “Budi. Budi tunggu, Nak! Dengarkan ibu ngomong dulu.” Budi tak menghiraukan teriakan Binna. Bahkan ketika Binna mengetuk jendela mobilnya, Budi tetap melajukan mobilnya. 291 - Bai_Nara



Di dalam mobil dia merutuki dirinya sendiri. Ternyata memang benar semua salah ibunya. Ya, Tuhan. Kenapa seperti ini? Ternyata Ibunya benarbenar jahat. Selama bertahun-tahun Budi diam walau dia tahu jika Binna terlibat dalam kematian ayahnya dan Bagus. Tapi, Budi berpikir tak masalah, toh ayahnya memang salah. Bagus juga salah karena mendapatkan semua limpahan kasih sayang dari kedua eyangnya. Tapi Kinanti? Budi tidak bisa memaafkan Binna. Sementara Budi sedang kalut mengetahui kebenaran tentang kematian Kinanti, Binna justru dilanda perasaan was-was. Budi tak pernah membentaknya. Budi selalu diam, meski tahu kalau dirinya juga terlibat banyak kejahatan. Tapi gara-gara Kinanti dia malah dimusuhi oleh Budi. “Dasar wanita kampung! Kenapa juga Budi harus menyukai wanita kampung. Dulu Kinanti sekarang Juminten. Dan kenapa juga dia harus tahu kalau ini ulahku? Agh.” Sebuah chat masuk di ponselnya. Binna semakin marah melihat isi chat itu. Siapkan uangnya besok. Kalau tidak, semua rahasiamu kubongkar. Begitulah isi pesan chat dari seseorang. Binna mengumpat dan berteriak. Mengeluarkan sumpah serapah untuk Broto. Lalu segera mengetik pesan balasan. Singkirkan Bagas dulu, baru uangnya kuberikan padamu. Rumah Atmaja - 292



Send. Chat sudah centang biru dan balasan segera ia peroleh. Oke. Binna sudah tak peduli lagi. Pokoknya Bagas harus mati agar semua warisan jatuh ke tangannya dan anakanaknya.



293 - Bai_Nara



40. Permintaan Maaf Budi W



anto membantu Bagas turun dari mobil. Setelah lima hari dirawat akhirnya Bagas diperbolehkan pulang. “Den, mau ke kamar Den Bagas atau paviliun?” “Paviliun aja, To.” “Baiklah.” Wanto akhirnya membantu Bagas memutar ke samping melewati jalan setapak menuju ke paviliun. “Makasih, To,” ucap Bagas ketika sudah membaringkan diri di ranjang. “Sama-sama, Den. Den Bagas mau Wanto ambilkan apa? Atau mau makan apa?”



294



Bagas menggeleng dan memilih untuk memejamkan mata. Wanto yang paham, Bagas butuh waktu untuk istirahat, memilih keluar dari kamar Bagas. Sampai di depan pintu kamar Bagas, rupanya Maman sudah menunggunya. Kedua bapak dan anak itu berjalan menuju ruang depan. “Den Bagas tidur?” “Iya, Pak.” “Syukurlah. Kamu sana istirahat juga biar bapak yang nungguin Den Bagas. Kebetulan semua tugas bapak sudah selesai bapak kerjakan.” “Iya, Pak.” Wanto akhirnya memilih pulang dulu ke rumahnya sementara Maman menuju ke kamar Bagas. Maman menatap majikan mudanya dengan tatapan sendu. Masih terngiang jelas di ingatannya tentang amanat terkahir Binawan beberapa hari sebelum meninggal, Binawan meminta Maman menjaga Bagas. Dan hampir saja Maman dan Wanto gagal. Maman memilih segera keluar, takut kehadirannya mengganggu Bagas yang membutuhkan istirahat.



Hampir satu minggu Bagas memulihkan kondisinya. Selama satu minggu pula, Bagas sama sekali tidak berhubungan dengan penghuni Atmaja lainnya. Namun, pagi ini berbeda. Bisma dan Budi pagi-pagi sudah berada di depan paviliun membuat Wanto yang tadi malam bertugas menemani Bagas sampai kaget. “Bagas, sudah bangun, To.” “Sampun, Den. Mau saya panggilkan.” 295 - Bai_Nara



“Kalau kami masuk saja gimana, To?” tanya Bisma sopan. “Oh, monggo. Masuk.” Budi mendorong kursi roda Bisma dan ketiganya memasuki ruang tamu paviliun. Budi segera memposisikan sang kakak kemudian dirinya duduk di kursi tamu. Tak lama kemudian Bagas datang bersama Wanto. Bisma tersenyum ke arah Bagas dan hanya ditanggapi Bagas dengan senyum tipis. Bagas pun segera duduk berseberangan dengan Budi. “Gimana kabar kamu, Gas.” “Baik, Mas.” “Alhamdulillah. Sebenarnya sudah dari pertama, mas mau mengunjungi kamu. Tetapi ... mas takut kamu tidak berkenan.” Hening, ketiganya terdiam cukup lama. Bisma lalu memulai pembicaraan lagi. “Mas minta maaf, Budi juga. Semenjak kejadian Nawang, hubungan kita menjadi renggang. Meski pun sejak dulu kita pun tidak bisa dikatakan akrab tetapi, kita semua bisa saling bicara dan memahami. Bagaimana jika mulai hari ini kita saling memaafkan semua kesalahan. Apalagi mas, mas di sini yang paling salah. Sebagai yang tertua, Mas tidak bisa mengayomi kalian bertiga. Mas tidak bisa menjadi pelindung kalian bertiga. Mas minta maaf.” Bagas hanya diam saja, dia tidak ingin berkomentar. Budi pun melakukan hal yang sama. Sesekali dia melirik ke arah Bagas. Secara tidak sengaja tatapan Budi dan Bagas bertemu, Budi masih bisa melihat ada kemarahan di mata Bagas untuknya. Tak tahan dengan perasaan bersalah yang mendera, Budi pun mencoba meminta maaf kepada Bagas pun berniat jujur kepada Bisma. Rumah Atmaja - 296



“Maafkan aku ya, Gas. Aku tahu, salahku memang tak termaafkan. Dulu aku khilaf, aku takut Mas Bisma tahu apa yang terjadi. Mas Bisma, Budi minta maaf, karena telah mengecewakan Mas Bisma.” Bisma menatap sang adik bingung, Bagas yang menyadari tatapan bingung Bisma menoleh ke arah Budi. “Aku tidak punya hak untuk cerita Budi, kamu yang lebih berkepentingan dengan Mas Bisma.” “Iya Gas.” Budi menarik napas dalam lalu mengembuskan pelan. Budi sekali lagi melakukan hal yang sama lalu akhirnya mampu bercerita semua hal yang berhubungan dengan usahanya yang gagal, hampir terjerat bisnis narkoba serta menggunakan uang Bisma dan Binna serta hampir mengambil alih hak milik Betty demi menyelesaikan masalah keuangan yang mendera. Bisma sendiri yang mendengar hanya diam, tidak ada kemarahan pada kedua matanya. Justru dia tampak pasrah dengan semua yang terjadi. “Maafkan Budi, Mas Bisma. Budi menyesal.” Bisma hanya diam, tetapi air matanya mengucur deras. Dia menatap sang adik dengan tatapan sendu. “Ini semua salah, Mas. Andai tragedi itu tidak terjadi, mungkin kamu tidak akan seperti ini. Semua salah mas, mas harusnya menjadi pelindung kalian. Tapi mas gagal. Maaf ... maaf.” Kini Bisma menangis pun Budi keduanya berpelukan. Mereka saling mengungkapkan rasa. Bagas hanya menatap tingkah keduanya tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Tetapi matanya sudah sedikit berkaca. Bagas mengalihkan tatapannya hingga tertuju pada pajangan kaca yang menampilkan pantulan mata tajam penuh amarah. Bagas sedikit terhenyak, mata itu pun pernah dia lihat sebelumnya. 297 - Bai_Nara



Saat pembagian warisan, dimana bagian Bowo disumbangkan semua untuk panti asuhan. Dulu Bagas pikir itu hanya halusinasi Bagas. Tetapi kini Bagas sadar kalau itu nyata. Hampir satu jam, Bisma dan Budi berada di paviliun. Keduanya kini sudah kembali ke rumah utama meninggalkan Bagas yang sedang berpikir keras. Apa yang kamu sembunyikan, Mas Bisma. Apa kamu justru lebih berbahaya dari pada saudaramu dan ibumu? batin Bagas.



Setelah satu minggu beristirahat di rumah, Bagas mulai beraktivitas kembali seperti biasa. Pelaku penyerangan masih menjadi buronan dan Genta sudah mengantongi siapa nama pelaku. Bahkan, Genta sudah mengetahui dimana dia tinggal dan siapa saja keluarganya. Hal yang Bagas lakukan adalah mengumpulkan semua pembukuan pada masa Bisma masih menjadi penanggung jawab. Dan ternyata susah. Karena semua bukti lenyap bersama tragedi kebakaran di pabrik. Di samping itu, sejak awal Bagas sudah menduga ada oknum yang melakukan mark up, tetapi dia tidak tahu siapa pelakunya. Bagas belum berani bertindak gegabah, ditambah lagi, dia tidak tahu harus percaya kepada siapa untuk saat ini. “Kirain kamu masih istirahat, Gas.” Bagas menoleh ke arah pintu. Genta sendiri segera menutup pintunya kemudian duduk di kursi di depan Bagas. “Bosen.” Jawaban yang meluncur dari Bagas. Rumah Atmaja - 298



“Hehehe. Dasar. Dan kamu langsung memeriksa banyak laporan seperti ini?” “Iya. Aku takut ada yang tidak sesuai.” Bagas mencoba beralibi. “Ckckck.” “Aku dengar kamu dipindahtugaskan ke bagian kriminal?” “Iya, sejak aku sering ikut menangani kasus yang menimpa keluargamu. Atasanku percaya dengan kemampuanku.” Genta menepuk dadanya dengan bangga sedangkan Bagas hanya menatap geli sang sahabat. Bagas tiba-tiba mengerutkan keningnya. Dia baru saja menemukan sesuatu hingga membuatnya tercenung. Rupanya perubahan mimik wajah Bagas terbaca oleh Genta. “Kenapa, Gas?” “Enggak.” “Ck. Kamu gak bisa bohongin aku. Aku udah bisa baca mimik muka kamu. Ada yang gak beres, ‘kan?” Bagas menatap Genta, dia berusaha menimbangnimbang sesuatu hingga akhirnya Bagas memutuskan lebih baik mengungkapkan saja pada Genta. Toh, saat ini, hanya Genta yang bisa ia mintai tolong. “Jadi gini Ta, sejak aku kembali ke sini. Aku sudah menemukan banyak kejanggalan dengan keuangan di pabrik maupun di perkebunan. Tetapi aku tak berani berasumsi, karena takut akan membuat Eyang sedih. Tapi ... setelah beberapa kali aku cek. Hasilnya memang benar.” Genta yang awalnya duduk menyandar kini menumpukkan kedua tangannya di meja, matanya menatap Bagas dengan sorot keingintahuan. “Jadi bener ada yang mark up alias nilep duitnya?” 299 - Bai_Nara



Bagas mengangguk sedangkan Genta tampak sedang berpikir, terlihat dari keningnya yang mengerut. “Bisa saja si Bisma, Binna, Betty, Budi bahkan Bowo, ‘kan?” “Iya. Atau mungkin orang lain. Entahlah.” Bagas memijit keningnya, sungguh Bagas bingung apa yang harus dia lakukan. Dibiarkan akan menjadi beban, tidak dibiarkan mereka semua tetaplah keluarga Bagas. “Pusing?” “Iya.” “Terserah kamu aja, Gas. Kamu yang berhak memutuskan. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, jika mereka terlibat dalam pembunuhan Seruni, aku gak akan tinggal diam.” Rahang Genta mengeras ketika menyebut nama Seruni. “Iya, aku tahu. Hukum tetap harus ditegakkan, ‘kan?” “Tentu.” “Kalau begitu, bisa minta tolong satu hal.” “Apa?” “Selidiki Mas Bisma dan kesehatannya. Entah kenapa, aku berpikir semua yang terjadi berawal dari dia.” “Maksudmu? Bisma pura-pura lumpuh? Tapi berdasarkan hasil ....” “Bukan, aku bukan mencurigai Mas Bisma pura-pura lumpuh. Maksudku alasan kenapa dia lumpuh.” “Loh, itu kan karena kece–” Mata Genta melebar, tiba-tiba dia paham maksud Bagas. “Kamu punya dugaan kalau Bisma sengaja membuat dirinya kecelakaan dan lumpuh?” Bagas mengangguk. “Sudah dari awal aku curiga, tapi aku berusaha menepisnya mengingat keadaan Mas Rumah Atmaja - 300



Bisma seperti itu. Namun, setelah aku pikir-pikir, Mas Bisma kecelakaan pas keadaan pabrik dan perkebunan sedang kolaps dan setelah aku cek, pembukuan selama dipegang Mas Bisma kacau. Aku bahkan menemukan banyak kejanggalan di dalamnya. Dan banyak pembukuan yang hilang atau ....” “Atau dihilangkan. Begitu, kan maksud kamu.” “Iya.” Genta dan Bagas terdiam cukup lama. Keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing. “Oke. Akan kuselidiki dan kamu Gas, hati-hati karena musuh kamu kali ini tidak ada yang tahu.” “Iya.” Genta meninggalkan kantor Bagas ketika waktu menunjukkan pukul sebelas siang. Bagas segera melanjutkan pekerjaannya.



“Kita mau ke mana dulu, Den?” tanya Wanto. “Langsung pulang aja, To.” “Baik, Den.” Bagas menatap pemandangan di sekelilingnya dari jok belakang. Sudah satu minggu ini, Bagas selalu didampingi Wanto sebagai sopir. Wanto sendiri yang berinisiatif selalu menemani Bagas, dan Bagas pun tak masalah karena memang Bagas butuh bantuan Wanto. Kondisi Bagas belum sepenuhnya pulih. Selain itu, ada banyak rahasia di keluarganya yang belum terungkap. Salah satunya adalah teka-teki bagaimana kebakaran di pabrik. Walau pihak kepolisian mengatakan karena hubungan arus pendek, tetapi Bagas memiliki firasat kalau ini adalah kesengajaan. 301 - Bai_Nara



Aku harus menyelesaikan semuanya, walau dalam hal ini nyawaku menjadi taruhan. Lagi pula untuk apa aku hidup jika aku tidak punya alasan untuk hidup lagi, batin Bagas.



Rumah Atmaja - 302



41. Bestari Bercerita B



agas menatap seseorang yang sedang tergeletak tak berdaya di atas ranjang. Beberapa peralatan medis terpasang di tubuhnya. Wanita tua itu terdiam dan memejamkan mata, sesekali terlihat gerakan naik turun dadanya nampak tak teratur. “Pak Bagas.” Bagas menoleh ke arah salah satu sipir wanita, namanya Sri Rahayu. Dialah sipir wanita yang selama ini berkomunikasi dengan Bagas perihal keadaan Bestari di penjara. Dia jugalah yang mengabari Bagas keadaan Bestari yang drop dan harus dibawa ke rumah sakit.



303



“Bapak sudah datang.” “Iya, terima kasih Ibu sudah mengabari saya.” “Itu tugas saya, Pak.” Bagas memilih mengamati eyang putrinya sedangkan Sri mengamati Bagas. Sri yang masih single bukan tanpa alasan mau menjadi penghubung antara Bagas dan Bestari, selain sudah menjadi tugasnya, Sri juga menaruh hati pada Bagas. Sri berharap bisa menjadi lebih dekat dengan Bagas. Apalagi, Sri mendengar jika istri Bagas sampai hari ini tidak ada kabar. Dan Sri berharap jika Nawang tak pernah kembali dan dia yang akan menggantikan posisi Nawang di sisi dan hati Bagas. “Pak Bagas, minum dulu.” Sri mengangsurkan kopi cup kepada Bagas. “Terima kasih, saya tidak suka minum kopi!” tolak Bagas. “Oh. Apa mau saya belikan teh manis atau Pak Bagas ....” “Bisa tinggalkan saya sendiri, Bu Sri! Saya hanya ingin privasi saya dan eyang putri tidak terganggu.” Bagas memasang wajah dinginnya. Sri yang paham maksud Bagas hanya bisa mendesah lalu segera keluar. Bagas melirik pintu yang baru saja ditutup oleh Sri. Bagas mendengkus kasar. Bukan sekali ini, Bagas menerima perhatian lebih dari Sri. Bagas merasa muak, pada Sri bahkan semua wanita yang bermaksud menggodanya. Tidakkah mereka paham jika Bagas begitu mencintai Nawang. Tidakkah mereka tahu kalau Bagas selalu berharap Nawang masih hidup. Oh, tentu mereka tidak tahu, bahkan pernah suatu hari Bagas sampai memarahi salah satu buruh pabrik karena terang-terangan menggoda Bagas. Dan besoknya lagi Bagas langsung memecat buruh wanita itu karena Rumah Atmaja - 304



tanpa sengaja Bagas mendengar buruh itu mendoakan sang istri tidak pernah kembali dan mati. Tentu Bagas naik pitam dan tanpa mendengarkan alasan si buruh, dia langsung memecatnya, bahkan memberi skorsing selama satu minggu pada buruh lain yang ikut mendengarkan ghibahan. Bagas mendesah pelan, dia menghampiri ranjang Bestari, menyilakan rambut putih yang tampak berantakan di sekitar wajahnya, kemudian menaikkan selimut hingga ke batas dada. Gerakan Bagas terkesan lembut dan penuh perhatian. Bagas kembali duduk di sofa, dia kemudian memainkan ponselnya untuk mengatasi kegelisahan. Gerakan dan suara lenguhan Bestari mengagetkan Bagas. Bagas segera menghampiri Bestari. Bestari membuka matanya, dia mengedarkan pandangan dan menemukan Bagas yang berdiri diam di sampingnya. Bestari tersenyum, lalu dengan suara lirih meminta Bagas duduk di sebelahnya. Bagas menarik kursi dan segera duduk, tak lupa tangannya menggenggam tangan kanan Bestari. “Terima kasih, sudah mau datang.” Bestari tersenyum lagi, senyum tulus pertama kalinya yang ia lemparkan untuk Bagas. Bagas hanya mengangguk sebagai jawaban. Bestari dan Bagas hanya saling menatap penuh keharuan. Meski tanpa kata, keduanya tahu bahwa di dalam hati masing-masing ada rasa yang dinamakan cinta. Bagaimana pun darah keduanya sama. “Mau dengar cerita?” Kalimat pertama yang diucapkan Bestari setelah keheningan cukup lama diantara keduanya. Bagas mengangguk. “Dulu, Atmaja adalah anak kedua dari lima bersaudara. Keluarga mereka termasuk keluarga 305 - Bai_Nara



terpandang dan masih ada hubungan dengan keraton dari Jogjakarta. Sehingga sangat disegani oleh masyarakat.” “Sayang, diantara kelima bersaudara, Atmaja terkenal sangat ambisius hingga rela melakukan apa pun demi bisa mendapatkan apa yang dia inginkan, termasuk membunuh keempat saudaranya.” Bagas terdiam, dia begitu fokus mendengarkan. “Jaman dahulu, masyarakat kita pada saat itu sangat mempercayai segala hal berbau klenik, mistis mau pun kutukan. Dan Atmaja menerima sebuah kutukan dari saudara keempatnya.” “Saudara keempat saat itu bisa melarikan diri dan bersembunyi dari Atmaja. Sayang, salah satu abdinya yang ia percaya berkhianat sehingga ia ditemukan oleh Atmaja. Saudara keempat disiksa. Semua anak dan istrinya dibunuh. Di akhir hidupnya, saudara keempat mengutuk Atmaja akan mati mengenaskan di tangan anaknya. Dan dia pun mengutuk hidup para keturunannya akan diwarnai dengan perebutan harta dan kematian.” Bestari terus bercerita dan Bagas masih setia mendengarnya.



Peristiwa masa lalu Atmaja “Aku ti-dak terima perbu-atanmu Mas Atmaja. Padahal aku tak pernah mengusikmu.” “Hahaha, kalian semua harus mati. Agar kekayaan Romo semuanya menjadi milikku. Hahaha.” “Ter-kutuklah kamu Atmaja hingga tujuh turunanmu. Terkutuk-lah ka-mu. Kamu pun akan mati ... ma-ti di tangan anakmu sendiri dan keturunanmu akan merasaRumah Atmaja - 306



kan apa yang kamu la-ku-kan!” Saudara keempat mengembuskan napas terakhirnya. “Hahaha. Persetan dengan omonganmu. Kalian semua! Bawa mayat ini, terserah kalian akan membuang dimana, dan pastikan tidak ada yang tahu!” perintah Atmaja. “Siap Ndoro.” Pengawal suruhan Atmaja segera melakukan perintah Atmaja. Atmaja sendiri segera berlalu dari tempat persembunyian saudara keempatnya. Dia memilih kembali ke rumah. Selang beberapa waktu, Atmaja dipilih menjadi salah satu pemimpin kademangan Wanasari (Kademangan = kecamatan untuk saat ini). Atmaja memiliki banyak lahan dan juga tanah perkebunan. Selama menjadi pemimpin, Atmaja menjadi pemimpin yang murah senyum dan suka menolong, tetapi di dalam rumah, dia adalah sosok yang otoriter dan pilih kasih terhadap putra putrinya. Istrinya pun kerap mendapat perlakuan tak menyenangkan dan memendam sakit hati karena sifat Atmaja yang dibalik sikap sok wibawanya gemar main perempuan. Hingga terjadilah suatu kejadian, salah satu gadis yang ia gauli hamil dan meminta Atmaja menikahinya. Atmaja berang, dia menuduh balik sang gadis melakukan kebohongan dan menghukum mati gadis tersebut. Meski pun gadis itu mati, rupanya tidak membuat bisik-bisik warga terhenti. Bahkan nama Atmaja kian merosot. Warga banyak yang tidak mempercayainya lagi. Meski begitu, Atmaja mencoba meredam gejolak dan melakukan fitnah keji pada saingannya saat bertarung untuk menjadi demang selanjutnya. Atmaja yang merasa di atas angin, tidak sadar jika putra bungsunya memendam dendam kepada Atmaja. 307 - Bai_Nara



Karena gadis yang dihamili sang ayah dan dibunuh adalah gadis yang ia cintai. Putra bungsu Atmaja menyusun rencana rapi dan saat Atmaja sedang tidur, dia membunuhnya. Kematian Atmaja membuat geger warga apalagi begitu mengetahui siapa pembunuhnya. Putra bungsunya dengan bangga menyatakan dia memang sengaja membunuh sang ayah karena sakit hati. Dia pun dengan rela dibawa ke penjara dan mati hingga akhir hayatnya di penjara. Sedangkan putra putri Atmaja yang lain malah berebut harta kekuasaan hingga saling membunuh. Bagi mereka yang ingin selamat atau menghindari konflik, memilih menyingkir ke daerah lain. Semua kejadian ini berlangsung terus menerus dari generasi ke generasi hingga sekarang.



Bestari menarik napas dalam lalu mengembuskan pelan. Kemudian dia melanjutkan ceritanya. “Mas Binawan adalah generasi kelima Atmaja, ayahmu adalah generasi keenam, dan kamu adalah generasi ketujuh, Bagas. Jika kutukan itu memang berlaku, maka kamu adalah generasi terakhir yang mendapat kutukan dari saudara keempat Atmaja.” Bestari menatap sang cucu penuh sayang, Bagas masih menggenggam tangan kanan Bestari dan sesekali mengusapnya. “Dan sepertinya, Bagas paham sekarang. Setidaknya dengan kematian Budi dan beberapa hal yang terjadi pada Bagas, keluarga kita memang dikutuk,” respon Bagas setelah mendengarkan cerita Bestari. Rumah Atmaja - 308



“Iya. Eyang boleh mengungkapkan isi hati eyang sebenarnya.” “Tentu.” Bagas tidak mengerti tapi dia memilih mengiyakan. “Setelah kematian Bagus, eyang didera perasaan bersalah. Sangat merasa bersalah apalagi ketika melihat kamu benar-benar seperti Bagus. Tidak hanya rupa tapi sikapmu. Karena itu, setiap melihatmu, ada campuran benci dan sayang. Tapi ego eyang lebih mendominasi sehingga rasa benci lebih muncul daripada kasih sayang eyang sama kamu.” Bestari menjeda kalimatnya. “Hingga Bisma menemui eyang, meminta dinikahkan dengan Seruni. Eyang kaget, karena saat itu eyang tahu Bisma menjalin hubungan dengan Niken. Tetapi eyang memilih mengiyakan dengan harapan kamu patah hati dan pergi dari rumah Atmaja. Ternyata prediksi eyang benar. Kamu pergi.” Bagas menatap eyangnya dengan tatapan tak bisa terbaca. Antara marah, sedih dan merasa dibuang. “Alasan eyang menyanggupi permintaan Bisma karena eyang sangat menyayangi kamu Bagas.” Deg. “Eyang sangat menyayangi kamu dibandingkan semua cucu eyang yang lain, sama seperti rasa sayang eyang pada Bagus. Eyang berpikir, dengan kamu pergi kamu akan selamat. Keturunan Bagus akan selamat dari kutukan saudara keempat. Eyang sangat berharap demikian. Eyang memilih dibenci oleh Mas Binawan dan olehmu. Tak masalah bagiku, asal kamu selamat dan jauh dari rumah Atmaja. Jauh dari kami. Tetapi rupanya semua tidak berjalan dengan harapan eyang. Pabrik terbakar, Bisma lumpuh dan kamu harus kembali. Dan kutukan itu tetap akan sampai padamu.” 309 - Bai_Nara



Bagas menggenggam tangan eyangnya dengan erat sementara air mata Bestari sudah keluar. “Kamu kembali itu artinya kamu akan mengalami apa yang dialami oleh generasi Atmaja selanjutnya. Saling bertikai dan saling membunuh.” Air mata Bestari kini sudah mengalir deras. Bagas sendiri masih menggenggam tangan sang eyang dengan erat. “Berjanjilah untuk tetap hidup, berjanjilah, Bagas. Kamu harus hidup bahagia dan putuskan kutukan menyebalkan itu dari keluarga kita. Hiduplah dengan damai dan buatlah sebuah keluarga bahagia yang bisa kamu ajarkan untuk anak keturunanmu kelak.”



Rumah Atmaja - 310



42. Medroxypr ogesteron Acetat M



endung menyelimuti hari, beberapa tetes air sudah mulai nampak. Meski pun begitu, beberapa orang yang sedang mengerumuni sebuah pusara baru, tampak tidak bergeming. Ada yang masih memanjatkan doa, ada yang menangis dan ada yang terlihat diam saja.



311



Binna masih sesekali mengusap air matanya, sejak tadi malam dia menangis terus setelah mendengar kematian sang ibu. Budi, Bisma dan Bagas cenderung diam saja. Tidak terlihat ada air mata pada mata ketiga cucu Bestari. Maman, Wanto, Narti dan Juminten juga masih setia menemani keluarga Atmaja. Mereka memilih diam, dan fokus membaca doa-doa. Bagas menarik napas dalam, ingatannya kembali ke masa tiga hari yang lalu. “Eyang bagaimana keadaannya?” “Eyang baik.” “Alhamdulillah.” “Kamu gak istirahat di rumah saja. Kasihan kamu, pasti kecapean.” “Gak papa Eyang, lagian di rumah gak ada yang bisa Bagas peluk. Buat apa Bagas di rumah.” Bestari tersenyum mendengar ucapan Bagas. Tampak sekali jika nada suara Bagas begitu sangat rindu pada Nawang. “Andai Mas Binawan seperti kamu, mencintaiku dengan tulus, pasti eyang akan menjadi salah satu wanita paling bahagia di dunia. Sayang, kesalahan eyang terlalu besar.” Bagas hanya diam, tidak ingin berkomentar. “Kamu benar-benar mewarisi sifat setia Mas Binawan, Bagus juga. Bahkan Bowo dan Budi pun sama, sayang Budi terlalu mudah tergoda wanita meski eyang tahu cintanya pada Kinanti sangat besar. Sementara Bowo, dia salah melabuhkan hatinya.” Tatapan Bestari menerawang jauh. Setelah menjeda kalimatnya Bestari mulai berbicara lagi. “Eyang tidak tahu dengan Bisma. Yang jelas, yang eyang tahu dia hanya sekali berhubungan dengan wanita yaitu Niken dan tidak ada wanita lain. Perkara Rumah Atmaja - 312



dia memilih Seruni, eyang paham maksudnya. Jelas itu berhubungan dengan warisan Mas Binawan.” “Waktu kebakaran, apa yang eyang ketahui tentang kondisi pabrik?” tanya Bagas mencoba menggali informasi pada Bestari. “Bisma sangat pandai menutupi masalah di pabrik. Baik aku dan Mas Binawan pun percaya saja, tetapi begitu kebakaran terjadi dan Bisma mengalami kecelakaan saat mencoba menyelamatkan diri, kakinya tertimpa reruntuhan bangunan, untung saja ada beberapa karyawan yang menemukannya dan bisa menyelamatkan Bisma. Kalau tidak, mungkin Bisma sudah mati.” “Siapa karyawan itu?” “Eyang kurang tahu, mereka mengundurkan diri beberapa bulan kemudian.” “Mas Bisma sudah berobat kemana saja?” “Ke semua tempat, bahkan ke Singapura. Mas Binawan yang menemaninya beserta Budi. Tapi tak ada hasil, Bisma dinyatakan lumpuh, itulah kenapa Mas Binawan langsung drop dan dia pun tak bisa berjalan karena komplikasi penyakitnya yang membuat kondisinya lemah.” “Kalau tentang Niken, Eyang tahu kenapa Niken meninggal?” “Polisi bilang kecelakaan tunggal bukan pembunuhan tapi entalah, mungkin ada campur tangan Bisma juga. Bisa saja karena kalimat atau perbuatan Bisma. Eyang tidak tahu. Bisma punya alibi bukan dia penyebab kecelakaan Niken. Selain itu, polisi sudah mencari berbagai kemungkinan percobaan pembunuhan tapi nihil. Murni kecelakaan karena Niken mabuk.” Bagas mengangguk-anggukan kepalanya. 313 - Bai_Nara



“Tapi, menurut keterangan orang suruhan eyang, Bisma dan Niken pernah bermalam bersama di sebuah hotel di Bandung. Sebelum Niken meninggal dan sebelum Bisma menikahi Seruni. Menurut keterangan orang yang eyang suruh, Niken keluar terlebih dulu dari kamar yang mereka sewa tanpa Bisma. Bahkan selama seharian Bisma tak keluar kamar, dia baru keluar kamar dan langsung checkout keesokan harinya.” “Sebenarnya ketika berita Seruni berselingkuh dengan Bowo, eyang sangat terkejut. Selama ini, eyang tahunya, Seruni selingkuh semenjak Bisma lumpuh dan tidak bisa memberi nafkah batin untuk Seruni. Akan tetapi menurut cerita Narti, saat kejadian Seruni menggodamu lalu meninggal, Seruni mengatai Bisma impoten sejak dulu, bahkan sebelum kecelakaan. Apa itu benar?” “Iya Eyang. Katanya Seruni gak bahagia karena Mas Bisma gak pernah bisa muasin Seruni.” “Aneh, lalu kenapa Niken suka menghabiskan malam dengan Bisma? Bukankah lebih baik Niken mencari lelaki lain yang bisa memuaskannya dan mencintainya pula?” “Selama bersama Niken, Mas Bisma bisa menjadi lelaki tetapi setelah menikah dengan Seruni, Mungkin Mas Bisma mengalami sesuatu. Atau ....” Tiba-tiba Bagas mendapatkan sebuah dugaan. Namun sebelum Bagas berkata, Bestari sudah mendahului. “Atau Niken melakukan sesuatu pada Bisma pada malam itu. Buktinya Niken pergi dulu sebelum Bisma.” Bagas mengangguk, membenarkan dugaan eyangnya. “Mungkin kamu bisa mencari tahu apa yang dilakukan Bisma saat keluar kota. Hampir setiap bulan, Bisma keluar kota dengan alasan pekerjaan tetapi ... Rumah Atmaja - 314



pernah suatu ketika, Bisma bilang ke Bandung tetapi ada yang melihat Bisma sedang di Jogja.” “Aneh.” “Iya memang aneh, setiap Mas Binawan bertanya, Bisma selalu mempunyai alasan.” Keduanya terdiam cukup lama, hingga Bestari mulai berbicara lagi. “Bagas.” “Iya, Eyang.” “Eyang seneng bisa ngobrol begini sama kamu.” Bestari tersenyum tulus pada Bagas, Bagas sendiri memilih menggenggam tangan Bestari dan menciumnya penuh sayang. “Kita lupain semua ya Eyang, Eyang harus sembuh. Kita perbaiki semuanya.” Bestari menggeleng lalu tersenyum lagi. “Eyang sudah kangen dengan Mas Binawan, meski di hatinya hanya ada Puspa, tapi eyang tetap istrinya sampai dia meninggal dan eyang berharap kami akan dipertemukan lagi di alam akhirat.” “Amin.” Tiga hari setelah percakapan antara Bagas dan Bestari, Bestari mengembuskan napas terakhirnya dengan didampingi oleh Binna dan ketiga cucunya.



“Selamat tinggal Eyang. Terima kasih untuk semuanya.” Seluruh anggota Atmaja memilih meninggalkan makam Bestari yang berdampingan dengan Makam Binawan, Bowo maupun Bagus. Tanpa mereka ketahui, 315 - Bai_Nara



sejak tadi ada dua pasang mata yang mengawasi gerak gerik mereka dari kejauhan. “Kasihan Eyang Putri,” lirih Nawang. “Memang sudah nasibnya Bestari untuk meninggal. Kalau jatah umur kita sudah habis ya ... mau bagaimana lagi.” Bima mencoba menghibur Nawang. “Meski Eyang Putri tidak pernah menyukaiku tetap saja kan dia eyangku, mau tak mau aku pun sedih.” “Tidak apa-apa. Mungkin memang ini yang terbaik. Ayok kita segera pergi sebelum ada yang menyadari kehadiran kita.” Bima menarik tangan Nawang agar segera menjauhi makam. Nawang mengikuti langkah Bima walau enggan. Tanpa keduanya sadari, saat itu Bagas mendadak berhenti dan menoleh. Bagas sempat melihat kehadiran seorang lelaki dan seorang wanita. Tapi karena wajah keduanya tak terlihat, Bagas memilih tak menggubrisnya. Saat Bagas sudah kembali menghadap depan dan berjalan, Nawang malah yang menengok ke belakang. Dapat Nawang lihat punggung Bagas yang tampak kokoh dan begitu ia rindukan.



“Maaf, kemarin gak bisa ikut ke pemakaman eyang kamu.” “Gak papa. Kamu dapat info apa selama beberapa hari gak ada kabar?” “Sesuatu yang bakalan bikin kamu terkejut.” “Apa?” “Aku sudah dapat informasi melalui beberapa teman Niken saat itu. Salah satunya ada yang memberi keterangan mengejutkan tahu.” Rumah Atmaja - 316



“Apa?” “Salah satu teman Niken menemani Niken membeli Medroxyprogesteron acetat secara ilegal melalui perantara seseorang.” Bagas mengernyit. “Apa itu?” “Bahan kimia yang digunakan untuk mengkebiri pelaku kejahatan seksual.” Bagas memelototkan matanya, dia yang awalnya bersandar kini terduduk. “Serius?” “Yups, setiap bahan kimia mempunyai jangka waktu berapa lama bisa menekan libido seseorang, nah itu tergantung dosisnya kalau tidak salah. Kemarin ahli forensik ada yang menjelaskan tapi aku lupa. Hehehe.” Bagas mencebik mendengar alasan Genta. Apaapaan alasannya itu. “Nah, pertanyaannya Si Niken itu ngasih dosisnya berapa banyak dan nyuntiknya dimana? Jangan-jangan di ... You know I mean.” Bagas mengangguk, memahami perkataan Genta. “Kasihan, pantas Seruni jadiin kamu mangsa,” sinis Bagas. Genta hanya mendesah, ia tahu dia salah tapi mau bagaimana lagi. Habisnya, dia sudah lama suka sama Seruni sih! “Kan aku dari dulu cinta sama dia, bahkan ketika kalian masih pacaran. Lagian kucing disodorin ikan asin, ya aku caplok aja.” “Gak mutu kamu Ta, ada ikan bandeng, tuna, tenggiri, kakap dan lainnya malah pilih ikan asin.” “Yeee, kamu gak tahu sih, hot banget tahu Seruni itu, buktinya Bowo juga ketagihan sama dia. Harusnya kamu coba juga.” 317 - Bai_Nara



“Never, aku pria setia dan bukan tukang celap celup sembarangan.” Genta merasa tertohok, bibirnya mengerucut sebal. “Loh, kok manyun? Kan aku ngomong bener.” “Berarti aku gak bener ini?” “Iyalah, buktinya kamu lebih memilih bermesraan dengan istri orang daripada nikah dan melepaskan semua hasratmu pada yang halal.” “Ck. Yang hidupnya lurus,” sindir Genta. “Oh harus! Aku pengin jadi suami dan ayah yang ...!” Perkataan Bagas hanya menggantung, dia diam tak melanjutkan bicaranya. Genta yang paham perubahan mimik muka sang sahabat memilih mengalihkan pembicaraan. “Nah, pokoknya begitulah berita yang aku peroleh. Aku masih menyelidiki alasan Niken waktu itu keluar duluan daripada Bisma.” “Iya, lakukan yang terbaik Ta.” “Pasti.” Keduanya akhirnya berpisah. Genta masih ada pekerjaan sedangkan Bagas memilih pulang. Selama perjalanan, Bagas lebih banyak diam, pikirannya melayang kemana-mana.



Rumah Atmaja - 318



43. Penyusup Itu? M



alam ini, Bagas menginap di kamar utama. Sejak tadi dia berada di dalam kamarnya. Keheningan menyelimuti rumah Atmaja. Masing-masing penghuninya lebih memilih berada di kamar masing-masing pun dengan Bagas.



319



Bagas sedang merenung. Saat kembali menempati kamarnya, Bagas menyadari perubahan posisi beberapa benda yang ada di kamar. Meski kamarnya terlihat rapi, tapi Bagas tahu letak beberapa benda yang ada di kamar. Dan beberapa berubah. Bagas berpikir jika ada orang yang memasuki kamarnya dan mengacak-acak kamarnya demi untuk menemukan sesuatu. Bagas tersenyum sinis, dia sudah punya dugaan siapa saja yang bisa menjadi tersangka utama. Bagas memegang sesuatu di tangannya. Tak percuma dia minta bantuan pada Wanto dan yang lain. “Apa kamu mencari sesuatu yang berharga di kamarku hai musuh dalam selimut?” Bagas bicara sendiri. “Sayang, aku lebih pintar dari kamu. Kamu tidak akan bisa merebut apa pun yang bukan menjadi hak kamu,” ucap Bagas lirih. Bagas membolak balik sesuatu yang dia dapatkan berkat bantuan Wanto, Maman dan Narti, Bagas menemukan sesuatu yang menarik dari kamar Bisma. Geraham Bagas berbunyi karena dia sedang menahan amarahnya. Ingin sekali dia menghancurkan sesuatu. Bersyukur logikanya masih berjalan. Bagaimana dia tidak marah jika mendapati, di tempat tersembunyi foto-foto sang istri yang diambil secara sembunyi-sembunyi berada di kamar Bisma. Foto-foto ini tidak sengaja ditemukan Wanto saat menggeledah kamar Bisma sedangkan Maman dan Narti bertugas menggeledah kamar Budi dan Binna. Selain menemukan foto-foto Nawang, Wanto juga menemukan ada bungkus racikan obat herbal di tempat sampah milik Bisma. Genta sedang menyelidiki obat apa yang diminum oleh Bisma. Rumah Atmaja - 320



Sementara di kamar Budi, Narti tidak menemukan apa pun yang menarik. Berbeda dengan Maman yang menemukan satu kuitansi penjualan perhiasan. Dan gilanya, ketika dicek di toko perhiasan. Kuitansi pemilik perhiasan bukan atas nama Binna tapi Betty. “Kalian ibu dan anak sungguh sama-sama berbahaya. Apa yang kamu sembunyikan Mas Bisma? Dan kamu Budhe, untuk apa uang yang kamu peroleh dari penjualan perhiasan milik Bulik Betty?” gumam Bagas. Suara berisik di ruang tengah membuat Bagas terkesiap. Bagas segera menuju ke ruang tengah. Dalam kegelapan ruangan, Bagas mencoba mencari tahu. Bagas siaga. Matanya mencoba awas dalam keremangan, indera pendengarnya pun tak kalah siaga. Bagas terus berjalan hingga langkah kakinya menuntun ke arah galeri seni milik Bowo, dengan gerakan pelan dia berjalan mencari letak sakelar lampu. Setelah ketemu dia mencoba menghidupkan sakelar lampu, namun nihil. Rupanya lampu di ruang galeri mati. Bagas mengedarkan pandangannya, meski begitu sedikit cahaya ada yang menerobos masuk sehingga beberapa siluet benda-benda di sampingnya terlihat. Ada beberapa siluet patung yang terlihat samar. Bagas masih mengedarkan pandangannya. Setelah dirasa tidak ada sesuatu yang aneh, Bagas berbalik hendak kembali ke kamar. Namun, suatu hal tak diduga muncul. Salah satu siluet yang Bagas kira adalah patung bergerak cepat dan mengahantamkan benda tumpul ke arah Bagas. Sayangnya, Bagas memang sudah mengira salah satu siluet memang sesosok manusia. Bagas mengelak 321 - Bai_Nara



dengan menjatuhkan diri, memutar kakinya dan menjegal kaki sang penyerang. Bruk! Brak! “Aaaa.” Bagas dan si penyusup adu duel, kali ini Bagas lebih siap. Ketika si penyusup masih lengah dia langsung menyerangnya dan memukul tengkuk si penyusup keras hingga pingsan. Melihat si penyusup tak berdaya, Bagas segera menyeretnya menuju ke ruang tengah. “Wanto! Mbah Maman!” teriak Bagas berulang kali. Teriakan Bagas membangunkan seluruh penghuni Atmaja termasuk Wanto. “Iya, Den. Astaghfirullah!” Wanto kaget melihat sesosok tubuh tak berdaya pun dengan Maman yang berlari di belakang Wanto. “Den!” pekik Maman. “Ambil tali untuk mengikatnya, Mbah. Dan kamu Wanto telepon Genta.” “Baik, Den.” “Baik.” Keduanya segera menjalankan perintah Bagas. Sementara itu, Budi dengan ekspresi bangun tidur keluar dari kamarnya. Binna dan Bisma juga keluar. Wajah Binna langsung pucat mendapati sosok terbujur kaku di lantai dan kini sedang diikat oleh Maman dan Wanto. Bisma pun tak kalah kaget sementara Budi masih bingung dengan keadaan sekitarnya. “Gas, ini apa?” tanya Bisma. “Penyusup,” sahut Bagas datar. Keheningan menyelimuti ruang tengah Atmaja. Tak ada satu pun yang berani bicara. Suara lenguhan terdengar dari seseorang yang kini terjerat tali di tangan dan kedua kalinya. Lelaki itu mengerjapRumah Atmaja - 322



kerjapkan matanya. Matanya membelalak, dia berusaha melepaskan tapi yang menjerat tubuhnya. Pintu depan diketuk, Maman segera membuka pintu. Dari arah luar tampaklah Genta dengan empat orang anggota kepolisian yang lain. “Selamat malam, Pak. Sapa salah satu dari mereka.” “Malam, monggo Pak silakan masuk.” Genta dan empat orang lainnya segera masuk. Genta menganggukan kepala kepada Bagas lalu setelah berbasa-basi sebentar, Genta langsung membuka penutup wajah si pelaku. Beberapa orang begitu terkejut sedangkan Bagas hanya menatap si penyusup dengan mimik datar karena dia sudah tahu seperti aja wajahnya. Wajahnya sudah pernah Bagas lihat saat penyerangan waktu itu. “Den Broto!” pekik Maman dan Narti. “Mbah Maman dan istri tahu siapa dia?” tanya Genta. “Jelas tahulah, Den Genta. Dia kan keponakan jauh Juragan Binawan. Tapi tidak mempunyai darah Atmaja, karena sepupu asli Juragan tidak punya anak, meninggal saat masih muda. Lalu jandanya menikah lagi dan punya Den Broto,” terang Maman. “Hem, sungguh suatu kejutan. Pak Hendra, sepertinya kita punya pekerjaan yang harus kita ungkap.” Hendra sang kapten polisi mengangguk. Dia langsung menginterogasi Broto di hadapan seluruh anggota Atmaja. “Siapa yang nyuruh, kamu?” Hendra mulai interogasi. “Wanita itu, dia yang memintaku melenyapkan Bagas.” Broto menjawab apa adanya. Masa bodo dengan Binna, kalau dia di penjara maka Binna juga harus merasakan hal yang sama. 323 - Bai_Nara



“Apa kamu juga pelaku yang meneror saudara Bagas selama ini?” “Iya betul, dia yang memerintahkanku membuat surat kaleng yang berisi ancaman, meneror mereka di paviliun dan melepas beberapa ekor anjing untuk menyerang Bagas.” “Kenapa?” “Sudah jelaslah wanita tua itu merasa kedudukannya dan anak-anaknya terancam jadi dia melakukan berbagai cara untuk melenyapkan Bagas.” “Apa kamu yang membunuh Seruni? Kami menemukan sidik jari di sekitar jam tangan yang digunakan oleh Seruni dan sidik jari itu bukan sidik jari anggota Atmaja.” “Hahaha. Coba dicek aja. Tetapi yang jelas jika sidik jariku di sana itu berarti memang aku dan yang menyuruhku adalah wanita itu.” Dagu Broto menunjuk ke arah Binna. “Bohong!” Binna tiba-tiba menginterupsi. “Kamu jangan memfitnahku.” Binna menatap tajam ke arah Broto. “Hahaha. Fitnah! Aku punya banyak bukti kok.” “Jangan percaya! Itu fitnah.” “Hahaha, kamu mengelak Binna. Apa kamu juga mengelak kalau kamu ikut terlibat dalam kematian mantan suami kamu itu, hah? Hahaha.” “Gila kamu! Bukan aku yang membunuhnya, mereka kecelakaan.” “Tentu karena aku yang membuat seolah-olah keduanya kecelakaan.” “Jangan percaya pada orang itu, dia bohong.” Broto dan Binna saling adu mulut. Aksi keduanya terhenti oleh Hendra. Rumah Atmaja - 324



“Bawa saudara Broto dan saudari Binna ke kantor polisi. Kita akan cecar keduanya di markas!” perintah Hendra pada Genta dan yang lain. “Baik.” Binna dan Broto dibawa ke kantor polisi. Binna berteriak meminta bantuan kepada Budi dan Bisma. Bahkan pada Bagas juga. Budi dan Bisma sejak tadi diam, mereka terlalu shock dengan apa yang terjadi. Begitu Binna sudah dibawa ke markas polisi, Bisma bisa bersuara. “Gas, ibuku tidak mungkin melakukan ini semua.” “Aku gak tahu Mas. Kita bisa tanyakan pada pihak kepolisian nanti.” Bagas memilih masuk ke kamaranya, mengambil jaket dan kunci mobil setelahnya dia keluar. “Wanto, aku akan ke kantor polisi. Budi, kamu ikut atau tidak?” Budi terdiam, jujur saat ini dia masih bingung dengan apa yang terjadi. Dia juga bingung harus merespon bagaimana. “Aku ambil jaket dulu.” Bagas mengangguk sementara Budi menuju kamarnya. Bisma menatap Bagas, matanya berkacakaca. “Gas,” panggil Bisma. Bagas pun menoleh ke arahnya. “Ibuku tidak mungkin seperti itu. Dia wanita yang baik.” “Aku tahu, Mas. Makanya biarkan pihak kepolisian yang mengungkapnya.” Budi kembali dari kamarnya. “Aku udah siap.” “Ayok berangkat!” ajak Bagas. “Mas, kami duluan. Mbah Maman, Wanto. Titip Mas Bisma.” 325 - Bai_Nara



“Baik Den.” “Baik Den.” Bagas dan Budi segera masuk ke mobil. Budi yang menjadi sopir. Dia melajukan mobilnya dengan hatihati. Selama perjalanan, keduanya hanya diam. Tak ada satu pun yang bersuara. Tiba di jalan yang menurun, Budi tiba-tiba hilang kendali. “Budi! Kenapa?” “Rem! Rem blong!” teriak Budi panik. Bagas berpegangan pada pegangan di pintu mobil sedangkan Budi mencoba mengatasi mobilnya. “Budi! Tenang, arahkan ke area Mandiraja. Aku ingat di sana tidak ada jurang.” “Aku sedang mencobanya Gas. Aku ....” Dor, suara ban meletus terdengar. Budi semakin kehilangan kendali karena kini jalan yang dilalui ada jalan berkelok dan menurun. “Budi, awas!” teriak Bagas. Sebuah mobil melaju dari arah berlawanan. Demi mencegah tabrakan, Budi membanting setir ke arah kiri. Tetapi nahas, sebelah kiri mereka adalah jurang hingga membuat mobil oleng dan terperosok ke bawah. Mobil terus berguling hingga suara hantaman keras dan suara jeritan menjadi penutup. Bagas mengedarkan tatapannya ke sekeliling. Badannya tak bisa bergerak. Dia bisa merasakan rasa sakit dan basah di kepalanya. Bagas menoleh ke arah Budi yang keadaanya sangat memprihatinkan sama seperti dirinya. Bagas tersenyum menyadari, mungkin inilah akhir hidupnya. Tak kuat menahan rasa sakit, Bagas sesekali memejamkan matanya sambil meringis hingga dia benar-benar menutup mata. Keadaan Budi dan Bagas yang terluka parah berbanding terbalik dengan seseorang yang sedang Rumah Atmaja - 326



berdiri di dekat jendela kamar. Seringai bengis terbit di wajahnya. “Semoga kalian mati,” desisnya lalu lelaki itu tersenyum penuh kemenangan.



327 - Bai_Nara



44. Sosok Sebenarnya G



enta melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah sakit. Kini dia berada di depan ruang IGD. Genta melirik jam yang ada di pergelangan tangannya, pukul tiga pagi. Genta yang sedang menginterogasi Broto dan Binna terkejut ketika mendapati telepon dari salah satu anak buahnya, kalau Bagas dan Budi mengalami kecelakaan parah. Mobil keduanya masuk ke jurang. Beruntung saat kejadian, ada mobil patroli lewat dan melihat bagaimana mobil Bagas jatuh akibat menghindari mobil di depannya. “Genta.”



328



Sebuah panggilan mengalihkan pandangan Genta dari ruang IGD. “Hai, Adit.” Genta menyalami Adit, yang merupakan salah satu rekan kerjanya. Adit bekerja di bagian lakalantas. “Beruntung sekali ada kamu, Dit. Gimana keadaan korban?” “Parah, sama-sama luka berat. Semoga saja mereka bisa selamat.” “Ya Allah, Bagas. Kenapa nasibmu ngenes banget?” Genta mencecar Adit kronologis kejadian bagaimana bisa Bagas dan Budi mengalami kecelakaan. “Kamu yakin?” “Masih harus dibuktikan dan kita harus mencecar semua orang yang ada di rumah Atmaja.” “Broto! Aku harus menginterogasi dia. Dit, bisa minta tolong salah satu anak buahmu menjaga mereka. Aku sudah menghubungi Wanto dan dia baru dalam perjalanan ke sini bersama Mbah Maman.” “Tentu saja.” “Terima kasih.” Genta langsung bergerak menuju ke penjara untuk menemui Broto sekaligus Binna.



“Jangan mengelak, pasti kamu kan yang menyabotase mobil Bagas?” cecar Genta pada Broto. “Hahaha. Iya betul, itu memang ulahku tapi targetku Bagas bukan Budi!” sahutnya santai. “Brengsek kau!” Genta hendak menyerangnya tapi dicegah oleh Hendra. “Sabar, Ta. Kamu jangan pakai emosi.” 329 - Bai_Nara



Genta masih mencoba meredam emosinya sedangkan Hendra terus mencecar Broto. Genta mendapat telepon dari Adit. “Iya Dit.” “Keduanya koma.” “Innalilahi. Ya Tuhan.” “Sebaiknya kamu kabarkan pada ibunya.” “Iya, Dit. Makasih ya.” “Iya.” Genta memasukkan kembali ponselnya pada saku baju. Dia segera menuju ke tahanan wanita. “Genta.” “Tolong penggilkan Bu Binna ya, Sri. Aku ada perlu sama dia.” “Aku gak percaya Ta kalau Bu Binna mencoba membunuh Bagas.” Raut wajah Sri terlihat sedih. “Sri bisa segera kamu panggilkan dia, gak?” “Dia benar-benar jahat. Masa keponakan–” “Sri!” bentak Genta. Sri kaget, mengerjapkan matanya berulang kali akibat bentakan Genta. “Aku minta kamu manggilin Bu Binna bukannya komen!” Genta mengeluarkan aura dinginnya. Sri mengangguk dan langsung menuju sel tempat Binna berada. Lima belas menit kemudian, Sri datang bersama Binna. “Tolong tinggalkan kami berdua, Sri!” Sri ingin mendebat tapi percuma saja, dia memilih keluar. Padahal Sri penasaran sekali karena semuanya menyangkut Bagas, lelaki yang beberapa waktu ini begitu dia puja. “Ada apa?” Binna menampilkan sorot dinginnya dan dibalas Genta tak kalah dingin. “Anak buahmu berhasil menyabotase mobil Bagas.” Rumah Atmaja - 330



“Hahaha. Biar dia mampus, aku memang memintanya membunuh Bagas di rumah, berharap semua orang percaya kalau ini usaha perampokan disertai pembunuhan. Tetapi aku takut dia gagal, karena beberapa kali Broto gagal jika menyangkut Bagas makanya aku memintanya membuat rencana cadangan. Hahaha.” Kini Binna bisa bernapas lega, keinginannya membuat Bagas mati akhirnya terlaksana. Dia tak peduli lagi dengan statusnya yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Masa bodoh, selama Bagas mati maka semuanya akan baik-baik saja. Polisi jelas tidak akan mencelakai Bisma dan Budi juga. Anak-anaknya selamat meski menanggung malu. Dan harta Atmaja akan sampai di tangan anak-anaknya. “Mobil Bagas masuk jurang, dia dan sang sopir kini kritis.” “Hahaha. Mampus dia hahaha.” Binna masih saja tertawa, sedangkan Genta menatap Binna dengan tatapan marah. “Kamu tidak penasaran siapa yang kini sekarat selain Bagas?” “Paling Wanto. Dia dan Maman itu kan kesayangan Bapak. Dan mereka juga terlalu membela Bagas. Hahaha. Memang siapa lagi selain Wanto. Maman tidak bisa mengendarai mobil, Bisma lumpuh, Budi ....” Wajah Binna tiba-tiba memucat. Dia ingat kalau tadi ada Budi. “Tidak!” pekik Binna menyadari senyum mengejek di bibir Genta. “Tidak mungkin!” teriak Binna. “Mungkin saja, jika yang diajak Bagas adalah salah satu anak pelaku kejahatan. Menurut Anda, Bagas akan mengajak siapa? Bukannya Anda tahu jika kondisi 331 - Bai_Nara



lengan Bagas belum kuat untuk menyetir sendiri,” kini senyum Genta semakin mengejek. Binna histeris, dia berteriak-teriak. Binna langsung berlari ke arah pintu. Sayang pintu dikunci dari luar. Dia menggedor-gedor pintu sambil berteriak. “Keluarkan aku, aku harus menemui anakku. Keluarkan aku!” Binna berteriak histeris. Air matanya sudah keluar. Dia menangis, meraung-raung memanggil nama putranya. “Budi, kamu gak boleh mati. Cukup Bagas yang mati. Tidak! Tidak! Budi ....” Genta hanya menikmati pertunjukkan di depannya. Dia duduk sambil sesekali menatap ponselnya. Adit mengabarkan jika kondisi kedua korban sudah dibawa ke ruang ICU dan selalu dipantau secara intensif. Puas melihat Binna yang histeris dan seperti orang gila, Genta memilih keluar. Binna sendiri sudah dibawa kembali ke dalam sel. “Genta tunggu!” teriak Sri. Dia bergegas menghampiri Genta. “Apa benar Pak Bagas kecelakaan? Dia koma?” cecar Sri. “Iya.” “Ya Tuhan. Aku sudah minta ijin hari ini. Aku ikut kamu buat menjenguknya.” Genta menatap Sri menyelidik. “Kamu suka sama Bagas?” Sri tersipu malu. “Cewek mana yang gak jatuh hati sama dia, Ta. Orangnya ganteng, gagah, walau dingin, sih! Tetapi justru itu pesonanya.” “Ck. Jangan terlalu berharap saja Sri. Bagas bukan tipe cowok yang mudah melabuhkan hati.” “Asal dia ngasih aku kesempatan, Ta. Aku pasti akan berusaha.” Sri tampak optimis. Rumah Atmaja - 332



Genta hanya diam, dan memilih berjalan diikuti oleh Sri. Genta paham gerak gerik adik sepupu dari garis ibunya ini. Sri jatuh hati pada Bagas. Bagi Genta tak masalah, toh siapa tahu Bagas bisa menerima Sri. Tetapi melihat sifat Bagas sepertinya akan susah bagi Sri mengambil hatinya. Ah, kenapa dia harus memikirkan ke sana? Sekarang saja nasib Bagas ada di ujung tanduk. Kini, Genta dan Sri sedang berdiri di depan dua sosok yang terbaring tak sadarkan diri. Beberapa peralatan penunjang kehidupan terpasang di bagian dada, jari, pergelangan tangan, hidung dan mulut. Sama-sama mengalami cedera kepala. Bagas mengalami patah tulang selangka bagian kiri sedangkan Budi tidak mengalami patah tulang, tetapi ada sedikit retakan di bahu kanan. Beberapa luka lecet dan lebam pun memenuhi tubuh keduanya. Sri menatap Bagas dengan linangan air mata. Baru kemarin dia merasakan jatuh cinta dan berencana menggaet sang pujaan hati. Tetapi malah sang pujaan tak sadarkan diri. Bahkan nyawanya kritis antara hidup dan mati. “Saya mohon Pak Bagas, bertahanlah. Saya janji akan menemani Bapak seumur hidup saya, hiks hiks hiks.” Genta hanya menatap sedih keadaan sahabatnya. Meski tak terlalu akrab dengan Budi tetap saja dia bersimpati dengan keadaan Budi. Kalian adalah korban keserakahan dan keegoisan seseorang. Jika kalian mati, maka hanya satu orang yang akan diuntungkan, batin Genta. Kamu pasti sedang tersenyum kan Bisma? Kamu hanya diam dan duduk manis. Bersembunyi dalam kekuranganmu. Kamu hanya perlu menunggu hingga 333 - Bai_Nara



orang lain yang akan bekerja demi keuntunganmu, batin Genta masih bermonolog. Aku bersumpah akan memenjarakanmu Bisma, jika aku sudah mendapatkan bukti kalau kamu terlibat juga. Lihat saja nanti, batin Genta bermonolog lagi.



Di sebuah kamar, seseorang sedang mengepulkan asap rokok dengan nikmatnya. Kedua kakinya dia taruh di atas meja kerja. Sesekali dia memainkan jemarinya dengan mengetuk-ketuk meja. Bunyi dering ponsel mengalihkan sang pria dari kegiatan yang baginya menyenangkan. Bisma mematikan rokoknya, dia berjalan menuju ke ranjang dan mengambil ponselnya. Dia segera menekan tombol hijau dan menaruh ponsel di telinga kanan. “Ya.” “Kedua adikmu koma, ibumu histeris begitu mengetahui Budi ikut terlibat dalam kecelakaan.” Bisma tertawa sinis. “Biarkan saja!” “Kamu gak kasihan sama ibu dan adikmu?” “Cih! Justru nasibku jadi begini karena saran tololnya. Coba kalau dulu aku memilih Niken, hidupku tak akan seperti ini dan untuk Budi, itu balasan karena dia telah menghilangkan seluruh bagian warisanku.” “Hahaha. Lalu bagaimana kamu akan mengambil alih milik Bagas?” “Itu tugasmu sebagai notaris, Rangga.” Terdengar tawa di seberang sana. “Baiklah. Itu bisa diatur. Oh iya, bagaimana keadaan kakimu.” Rumah Atmaja - 334



“Luar biasa, setidaknya sudah bisa menapak dengan baik.” “Hahaha. Butuh empat tahunan agar bisa digunakan lagi.” “Iya, kalau saja si Husni tidak melakukan kesalahan, aku tidak akan lumpuh untuk waktu yang lama.” “Hahaha. Kamu masih dendam dengan dia?” “Tentu saja. Suatu saat akan kubunuh dia! Aku memintanya hanya membuat kakiku cedera bukan lumpuh tapi dia malah membuatku lumpuh dan semakin impoten.” “Hahaha. Salahmu sendiri. Kamu terlalu menganggap Niken lemah, sampai tak sadar dia menjebakmu dan menyuntikkan zat kimia melalui junior kamu hahaha. Sungguh wanita yang sakit hati sangat menakutkan. Hahaha.” Bisma mengumpat mendapati dirinya ditertawakan oleh Rangga. Tapi semua kata Rangga ada benarnya juga. “Aku marah dengan tindakan Niken yang membuatku menjadi impoten tetapi aku tak bisa menyalahkannya. Ini semua akibat salahku juga. Padahal aku memintanya menunggu hingga aku bisa menguasai semua harta Atmaja. Tetapi dia terlanjur sakit hati.” Tatapan Bisma menerawang jauh di sana. Hening. Bisma diam pun dengan Rangga. “Bagaimana obat yang kuanjurkan? Ada perubahan?” “Tidak! Masih tak mau berdiri.” “Ckckck. Sepertinya kamu harus pasrah Bisma kalau kelak kamu tak mempunyai keturunan, ah maksudku tak bisa lagi bersarang wkwkwk.” Bisma mengumpat sementara Rangga hanya tertawa. Mereka mengobrol cukup lama sebelum 335 - Bai_Nara



memutuskan sambungan. Bisma mengempaskan tubuhnya di ranjang. Tatapannya menerawang. Tangannya mencari-cari di bawah kasur. Tampaklah beberapa lembar foto Nawang dengan berbagai gaya. “Kamu cantik Nawang, aku selalu berimajinasi bisa tidur dengan kamu. Semangatku bisa berjalan karena kehadiranmu. Sosokmu seperti Niken.” Bisma mengeluarkan lembar foto lama, dia bahkan menciumi foto itu dengan sayang dan penuh kerinduan. Air mata Bisma menetes. “Niken Sayang, mas merindukanmu. Tenang Sayang, Ibu sudah di penjara. Aku menyayanginya tetapi aku membencinya jika ingat dia yang mencetuskan ide agar aku menikah dengan Seruni. Tapi ... bagaimana pun dia ibuku. Hahaha, aku akan menjadi generasi Atmaja terakhir Niken Sayang. Kutukan saudara keempat akan berakhir dan akulah yang akan hidup. Hahaha. Hiks hiks hiks. Aku hidup tapi aku tak akan punya keturunan. Hahaha.” Bisma masih saja berbicara sendiri dan tertawa sendiri, dia begitu merasa bahagia bisa lepas berekspresi. Bahkan setelah puas mengurung diri, dia sengaja keluar dari kamar dengan berjalan kaki. Tentu dia tidak takut jika aksinya ketahuan karena tak ada seorang pun di rumah ini. “Hahaha. Semua akan menjadi milikku. Hahaha.” Bisma masih berjalan dengan pongah mengelilingi seluruh ruangan. Dia tak menyadari jika sejak tadi ada sepasang mata yang mengawasinya dengan senyum sinis. “Dapat!” Orang itu segera bersembunyi. Karena dia sudah lama tinggal di Rumah Atmaja, dia paham seluk beluk Rumah Atmaja - 336



rumah itu pun tempat terbaik untuk bersembunyi agar Bisma tak menyadari akan keberadaannya.



337 - Bai_Nara



45. Rumah Sakit B



isma menatap dua sosok yang masih tak sadarkan diri. Bisma mampu menampilkan mimik sedihnya dengan apik. Hingga membuat semua orang yang melihatnya iba. Wanto dan Maman sendiri sejak tadi hanya mampu menyeka air matanya yang sesekali menetes. “Mohon maaf, Pak. Waktu menjenguknya sudah habis.” Salah satu suster memberi tahu. “Oh iya, saya sudah selesai. Wanto!” “Iya, Den.” “Aku minta tolong!” “Baik, Den.”



338



Wanto langsung mendorong kursi roda Bisma dan membawanya keluar dari ruang ICU. Sampai di luar, Bisma sudah ditunggu oleh Kapten Polisi Hendra. “Bisa kita bicara Pak Bisma. Kami butuh keterangan dari Anda.” Bisma mengangguk. “Baik, Pak.” Hendra membawa Bisma ke taman rumah sakit yang sepi. Di sana dia mulai mencecar Bisma dengan berbagai pertanyaan. Bisma tentu saja dengan tenang menjawab setiap pertanyaan. “Baiklah, cukup untuk hari ini. Kami mohon maaf jika suatu saat kami butuh bantuan saudara Bisma.” “Tidak masalah.” “Apakah Anda mau menemui ibu Anda?” “Iya. Saya sebenarnya berniat menemui ibu kemarin pagi, tetapi malah musibah datang dan kedua adik saya mengalami kecelakaan. Jadi saya menunggu, karena menyadari Wanto dan Mbah Maman pasti juga sibuk.” “Baiklah, biar salah satu anak buah saya yang mengantar kalau anda tidak keberatan.” “Oh, malah saya sangat berterima kasih. Biar Wanto saya minta menjaga Bagas dan Budi.” Hendra tersenyum. Setelah sedikit berbasa basi dengan Bisma lalu keduanya berpisah. Hendra masih harus menyelesaikan tugasnya sedangkan Bisma menuju ke penjara bersama salah satu polisi suruhan Hendra. Sampai di kantor polisi, Bisma langsung dibawa menuju ke ruang tunggu. Lima menit menunggu, Binna datang dan langsung menghambur memeluk Bisma. Bisma pun membalas pelukan Binna.



339 - Bai_Nara



“Bisma, maafkan ibu, Bisma.” Binna menangis dalam pelukan Bisma. Bisma mengelus lembut kepala Binna dengan penuh sayang. “Maafkan ibu Bisma, ibu bersalah sama kamu. Tolong, jaga adikmu. Bagaimana pun dia adikmu. Ibu minta maaf karena waktu itu diam saja. Ibu minta maaf untuk semua kesalahan ibu. Ibu melakukan ini semua untuk kalian, untuk kamu, untuk Budi.” Bisma tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia hanya memeluk sang ibu dan sesekali mengelus punggungnya. “Semua demi kalian, semua demi kalian.” “Bisma tahu, terima kasih untuk semua hal yang Ibu lakukan untuk kami.” “Hiks hiks hiks, ibu melakukan semua ini untuk kalian. Tolong jangan benci ibu. Hiks hiks hiks.” Binna berulangkali mengucapkan kata maaf, Bisma pun hanya merengkuh sang ibu dalam pelukan dan sesekali mengusap lembut punggung sang ibu. Pertemuan hari ini tak ada pembicaraan serius antara ibu dan anak. Hal ini membuat Kapten Hendra dan Genta hanya bisa mendesah kecewa. “Mereka tak membicarakan apa pun, Ta.” “Iya, Pak. Sudah jelas Binna bersalah. Tapi firasatku mengatakan Bisma tak kalah mengerikan seperti sang ibu.” “Begitukah?” “Iya. Ada banyak hal yang masih membuat saya bingung, Pak. Salah satunya adalah keterangan Broto saat mengatakan mencoba menyabotase mobil Bagas. Membuat rem menjadi blong. Tetapi setelah Adit coba mengecek bersama tim ahli, ada sedikit kerusakan di bagian kabel mesin dan seperti disengaja. Kalau Rumah Atmaja - 340



dibiarkan bisa menimbulkan percikan panas dan terbakar.” “Astaga! Mungkinkah?” “Iya, Pak. Dugaan saya, ada dua pelaku berbeda tetapi motifnya sama yaitu melenyapkan Bagas. Karena itu sekarang Adit sedang berada di kediaman Atmaja, mencoba membuktikan atau mematahkan dugaan saya. Nanti kita tunggu saja hasil pemeriksaan Adit.” Hendra manggut-manggut keduanya segera menuju ke ruangan Hendra sambil menunggu hasil penyelidikan dari Adit.



Genta tersenyum puas, begitu mendengar hasil penyelidikan Adit. “Mobil itu sekarang masih di garasi rumah Atmaja?” “Masih, Pak.” “Kamu harus bisa memastikan Wanto untuk tidak menggunakan mobil milik Budi, Ta.” “Tentu, bahkan kuncinya ada padaku.” Genta menunjukkan sebuah kunci mobil. “Bagus. Kita sekarang harus bisa menyusun strategi guna mencari tahu siapa pelaku satunya lagi. Dugaan sementara adalah saudara Bisma,” analisa Hendra. “Betul.” Ketiganya masih mendiskusikan strategi untuk menjebak pelaku yang masih menyembunyikan dirinya. Sementara itu di sebuah rumah sederhana, bayi Erlangga sejak dua hari yang lalu terus saja menangis. Membuat Nawang dan Kinasih kewalahan. “Badannya panas, Nek.” 341 - Bai_Nara



“Kita bawa ke rumah sakit saja. Gimana, Kek?” Kinasih menatap Bima, suaminya. “Iya. Kakek juga takut terjadi apa-apa dengan Erlangga.” “Ya sudah, kita siap-siap.” Nawang, Bima, dan Kinasih segera membawa Erlangga ke rumah sakit. “Dia panas, kami harus merawatnya secara intensif. Takutnya nanti kejang, Bu.” Dokter anak yang menangani Erlangga menjelaskan keadaan Erlangga. “Lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok.” “Baik. Silakan tanda tangani dulu berkas-berkas dan segala administrasi yang dibutuhkan.” “Baik, Dok.” Erlangga segera dibawa ke ruang perawatan setelah semua administrasi beres. Nawang dan Kinasih dengan telaten menunggui Erlangga di dalam ruangan sementara Bima yang menjaga di luar ruangan. Malam harinya, Bima berjalan-jalan guna mengatasi rasa bosan. Apalagi keadaan Erlangga sudah lebih baik. Saat melewati ruang ICU, Bima tertegun karena secara tak sengaja dia bertemu dengan Maman yang kini bertugas menjaga Bagas dan Budi. “Den Bima.” “Maman.” Maman langsung menyalami Bima dengan mata berkaca-kaca. “Ya Allah, Den. Den kemana saja? Den Binawan begitu kehilangan Aden. Aden tiba-tiba menghilang setelah Den Puspa meninggal. Membuat Den Binawan sedih sekali.” “Ceritanya panjang, Man.” “Den pasti patah hati, ‘kan? Karena Den Bestari memilih Den Binawan.” Rumah Atmaja - 342



“Salah satunya. Tapi alasan yang lain, aku menghindari takdir Atmaja. Aku tak mau menjadi salah satu cicit Atmaja yang harus mati konyol gara-gara perebutan harta. Selain itu, Kinasih baru saja keguguran. Aku merasa bersalah padanya. Karena sibuk mengejar Bestari, aku malah mengabaikan wanita yang sejak dulu membersamaiku.” Maman dapat melihat kesedihan di wajah salah satu kerabat Binawan. Tampak sekali kesedihan pada mata tua itu. “Aku melepas semuanya, Man. Demi aku sendiri, agar aku bisa menikmati hidup. Alhamdulillah, aku benar-benar menikmatinya walau tanpa anak.” “Den Kinasih?” “Tidak bisa punya anak lagi.” “Astaghfirullah. Kasihan Den Kinasih “ “Ini semua salahku, Maman. Makanya aku merasa perlu bertanggung jawab.” Maman manggut-manggut memahami maksud baik Bima. “Kamu kenapa di sini?” Bima baru menyadari jika Maman di rumah sakit pasti karena suatu alasan. “Den Bagas sama Den Budi kecelakaan.” “Apa?!” Bima kaget mendengarnya. Lalu mengalirlah cerita dari mulut Maman. “Berarti kejadiannya pas Erlangga semalaman menangis,” gumam Bima. “Den Bima ngomong apa?” “Eh, bukan apa-apa.” Bima menyadari kesalahannya. Hampir saja dia kelepasan cerita tentang Nawang dan Erlangga. “Lalu, dimana Bagas dan Budi?” “Di dalam, Den.” “Bisa aku melihatnya?” 343 - Bai_Nara



“Bisa Den. Ini pakai kartu penunggu pasien saya.” Bima segera mengambil kartu dari tangan Maman dan segera masuk ke ruang ICU. Bima mendesah melihat dua cucu Binawan tergeletak tak berdaya. “Kamu benar-benar diuntungkan, Bisma. Semoga saja Bagas sudah melakukan tindakan pencegahan agar kamu tidak mendapatkan apa yang kamu inginkan,” lirih Bima. “Kasihan kamu Erlangga. Semoga ayahmu bisa melewati semua ini.” Bima mendekati sisi ranjang Bagas kemudian mengarahkan bibirnya dekat telinga Bagas. “Anakmu ada di sini. Dia pun merasakan kesakitan kamu. Berjuanglah Bagas, berjuanglah demi anak dan istrimu.” Bima menegakkan tubuhnya, memandang sekali lagi pada ranjang Bagas dan Budi lalu segera keluar. Tetes air mata Bagas keluar, dalam ketidaksadarannya dia seperti mendengar ucapan Bima. *** Nawang sesekali mengusap air matanya. Bima baru saja bercerita tentang kondisi Bagas. “Kenapa, selalu Mas Bagas yang jadi korban, Kakek? Kenapa?” lirih Nawang. Bima tidak bisa menjawab, Kinasih pun hanya bisa mengelus punggung Nawang penuh kasih. “Nawang pengen lihat Mas Bagas, Kek.” “Akan kakek usahakan. Tapi kita harus berhati-hati. Ingat, keselamatan kalian juga menjadi prioritas kakek. Jangan sampai musuh mengetahui kalian masih hidup.” Nawang memilih menyetujui usul Bima. Karena benar, setelah Betty menjadi gila, Bestari sudah tidak ada, kini malah muncul Binna yang jika dilihat sepintas Rumah Atmaja - 344



tidak mungkin menjadi lakon antagonis. Nawang masih ingat bagaimana sikap Binna padanya. Dia ramah, baik dan murah senyum, berbeda sekali dengan Betty yang langsung menunjukkan ketidaksukaannya pada Bagas dan dirinya. Tapi siapa sangka, dibalik sikap ramah Binna tersembunyi sosok jahat yang bahkan rela melakukan apa saja demi mencapai tujuan.



345 - Bai_Nara



46. Amarah Bisma R



icky menatap sahabatnya dengan tatapan sedih. Setetes air matanya jatuh. Dia baru saja mendengar kabar kalau Bagas sedang koma. Padahal masih ingat dalam ingatan Ricky jika sahabatnya baru sembuh setelah mengalami peristiwa penembakan. Rasanya sebagai sahabat Ricky benar-benar tidak berguna.



346



Rengkuhan hangat membuat Ricky memalingkan muka pada istri cantiknya. Dia berusaha tersenyum. “Mas.” “Mas sedih, Dek. Mas gak bisa bantu apa-apa.” “Mas ... udah dong jangan nangis.” Lily masih mencoba memberikan semangat pada sang suami. Karena takut mengganggu pasien yang lain, Lily mengajak Ricky keluar ruangan. Di depan, Ricky bertemu dengan Wanto yang menceritakan semua kejadian yang menimpa Bagas. “Astaghfirullah! Bagaimana bisa Bagas gak cerita sama sekali, dia nganggap aku sahabat bukan sih?!” Nada suara Ricky terdengar marah namun tak bisa menutupi kesedihan di matanya. “Den Bagas cuma gak mau bikin Den Ricky repot dan kepikiran mungkin.” “Ck. Benar-benar gak berubah anak itu. Selalu merasa sungkan, selalu merasa dia itu Superman. Lalu Nawang gimana?” “Belum ada kabar, Den.” “Sampai sekarang, Mas Wanto?” Kini Lily yang bertanya. “Iya, Den.” “Ya Allah, Nawang. Kasihan dia, semoga dia baikbaik saja dan anaknya juga selamat. Harusnya dia sudah melahirkan kalau sesuai dengan cerita Mas Wanto.” “Mungkin usia anak Den Bagas tiga bulanan, Den Lily.” “Benar.” Ketiganya diam, bingung mau membahas apa. Akhirnya Lily dan Ricky pamit. Sebelum pamit, Ricky berjanji akan sering menjenguk Bagas dan meminta 347 - Bai_Nara



Wanto selalu menghubunginya dan mengabarkan keadaan Bagas.



Di kediaman Atmaja, Rangga hanya menatap tingkah Bisma yang sedang membanting semua benda yang ada di depannya. Karena rumah Atmaja hanya ada Narti dan Juminten yang jelas berada di bagian belakang rumah, Bisma bisa meluapkan emosinya dengan leluasa. Wanto dan Maman sendiri jelas tidak ada di rumah. Mereka sibuk bergantian menjaga Bagas dan Budi setelah memastikan Bisma sudah mandi dan sarapan. Tugas selanjutnya menjadi tugas Narti dan Juminten untuk meladeni Bisma terutama dalam hal memberi makan. Bisma masih mondar mandir menghancurkan semua yang ada di depannya. Saat akan meraih salah satu guci mahal, kakinya mendadak sakit dan dia jatuh terjerembab. Umpatan keras dan kasar keluar dari bibir Bisma. Rangga yang sudah bosan dengan tingkah Bisma memutuskan bicara. “Mau kamu banting semua pun percuma Bisma. Gak ada yang bisa kulakukan kalau udah kayak gini.” Rangga sama sekali tidak ingin membantu Bisma berdiri. Bisma berdiri dengan mengandalkan diri sendiri. Lalu memutuskan duduk di kursi setelah merasakan sakit yang teramat pada tulang kering kaki kanannya. “Kan dokter udah bilang, kaki kamu belum kuat, jangan dipaksakan. Masih harus rutin terapi juga, ‘kan?” Rumah Atmaja - 348



“Brengsek, Bagas itu! Bagaimana bisa dia sudah menghibahkan semua asetnya atas nama Budi dan Bulik Betty. Lalu apa maksudnya baru akan memberikan kepadaku jika dua orang itu mati, hah?!” Bisma menggeram marah, tangannya mengepal, rahangnya mengeras sehingga sosok yang awalnya terlihat tenang kini berubah menakutkan. “Kurang ajar, aku tidak terima.” “Dia mencurigai kamu,” komentar Rangga. Bisma menatap Rangga dengan tatapan nyalang. “Maksudmu?” “Aneh gak sih! Tiba-tiba dia menghibahkan semua pada Budi dan Betty tanpa melibatkan kamu. Bukankah itu berarti dia mencurigai kamu. Dan lebih aneh lagi itu terjadi dua hari sebelum Bagas kecelakaan.” Bisma mencoba mencerna perkataan Rangga. Tibatiba dia ingat sesuatu. Bisma menatap ranjang tidurnya. Ada satu foto Nawang yang tidak terlihat. Dan saat itu, Bisma sedang berjalan-jalan menikmati sinar matahari. Jangan-jangan? Sebuah pemikiran merasuki kepala Bisma. “Sial! Dia pasti menemukannya.” Rangga mengernyit. “Menemukan apa?” Bisma tidak menjawab meski dicecar terus menerus oleh Rangga. “Ya udah kalau kamu gak mau jawab. Yang jelas, aku udah berusaha bantu kamu sekuat yang kubisa. Tapi untuk sekarang, aku udah gak bisa bantu apa-apa lagi. Beneran. Bagas sudah menutup semua lubang sampai aku gak bisa main curang untuk saat ini.” “Iya. Aku tahu. Nanti aku pikirkan cara lain.” “Oke. Aku pulang dulu. Jangan bertindak gegabah.” Rangga menepuk bahu Bisma dan memilih keluar. Sementara Bisma masih terlihat marah. 349 - Bai_Nara



“Argh, sialan kamu Bagas!” Rangga mengawasi kediaman Atmaja, dia tersenyum. “Ckckck. Padahal ini kesempatan dapat komisi banyak dari Bisma.” Rangga segera keluar rumah dan menuju mobilnya. Dia tidak terlalu memperhatikan jika sejak tadi Juminten dan Narti mengawasinya dengan hati-hati. “Den Bisma bisa berjalan, Budhe,” bisik Juminten yang kaget melihat Bisma berjalan keluar kamar. Saat itu dia bermaksud mengambil baju ganti milik Bagas dan Budi. Beruntung dia hapal setiap bagian sudut rumah sehingga dia bisa bersembunyi. “Iya. Budhe takut, Ju. Mana Mas Maman sama Wanto gak mesti di rumah ini lagi.” Terdengar nada khawatir dari suara Narti. “Ju juga. Mana Den Bagas sama Den Budi belum siuman lagi.” “Kamu masih menyukai Den Budi?” Juminten tertunduk. “Iya, Budhe.” Narti mendengkus keras. “Lupakan saja ya. Lagian kamu sudah dilamar sama Damar, satu bulan lagi nikah. Mengharapkan Den Budi sama saja menusukkan jarum ke hatimu, sakit tapi tidak berdarah. Apalagi melihat sikap Den Binna, kamu tahu kan? Kinanti sudah menjadi salah satu korban mulut pedas Den Binna. Budhe gak mau kamu juga jadi korbannya.” “Iya, Budhe.” “Ya sudah, mending kita ke belakang. Jangan sampai Den Bisma menyadari kalau kita semua sudah tahu dia bisa berjalan.” “Iya, Budhe.” Juminten dan Narti segera menuju ke belakang lagi. Rumah Atmaja - 350



“Aku sudah mencoba mencari cara agar hukuman-mu lebih ringan. Tetapi sulit.” Wisesa, pengacara keluarga Atmaja menemui Binna. Dulu, dia pula yang ditunjuk Binawan untuk membantu Budi dan Bestari. “Iya, aku tahu. Wisesa, bagaimana kabar Budi? Aku tidak diperbolehkan menjenguknya.” Wisesa menatap sedih ke arah sahabat sekaligus sepupu jauh dari garis ibu. “Masih koma.” “Ya Tuhan. Lalu bagaimana dengan Bisma? Siapa yang akan merawatnya jika Budi tak sadarkan diri atau bahkan ... pergi,” lirih Binna. “Ya, Bisma akan sengsara. Aku baru dikabari jika Bagas ternyata sudah membuat surat kuasa jika bagian miliknya dan seluruh aset Atmaja jatuh ke tangan Betty dan Budi. Bisma tak mendapat sepeser pun.” “Apa?! Bagaimana bisa? Ini tidak mungkin.” Binna tidak mempercayai apa yang ia dengar. “Begitulah, Rangga salah satu notaris dan sahabat Bisma pun tak bisa membantu Bisma. Karena dalam surat kuasa yang sah, Bisma hanya bisa mendapatkannya jika Betty dan Budi ... mati.” Deg. Wajah Binna memucat. “Kurang ajar, si Bagas! Dia mendoakan putraku mati baru dia mewariskannya pada Bisma? Tidak, aku tak terima.” Ada nada kemarahan di mata Binna. “Entahlah, ini memang masih rahasia. Tapi ... beberapa pihak yang terkait sudah mengetahuinya dan aku berharap polisi jangan sampai tahu dulu.” “Ya, polisi jangan sampai tahu. Jangan!” 351 - Bai_Nara



Keduanya terdiam untuk beberapa saat. “Aku masih ada urusan lain Binna, oh iya satu hal yang perlu kamu tahu. Aku pernah beberapa kali melihat Rangga dan Bisma pergi ke tempat alternatif, apa kamu tahu itu?” “Setahuku Bisma sudah menyerah berobat setelah vonis kakinya lumpuh tapi tunggu! Iya, Bisma memang beberapa bulan terakhir sering pergi dengan Rangga dengan alasan dia bosan dan ingin sedikit menyibukkan diri. Dan ....” Mata Binna membelalak, dia jadi mengingat beberapa kejadian aneh. Semenjak kedatangan Bagas, Binna sering mengawasi paviliun Bagas dari dalam rumah, tetapi dia pun sering kali melihat bayangbayang seseorang berpakaian hitam melintas di sekitar rumah terutama paviliun, mungkinkah? Dan juga Binna ingat dengan perkataan Broto saat itu. “Aku hendak menjalankan perintahmu Binna, tapi Seruni sudah mati saat aku datang.” “Benarkah? Kamu yakin itu bukan perbuatanmu?” “Bukan! Kamu yakin itu bukan ulah Budi atau Bisma?” “Sembarangan, Budi bersamaku, Bisma di dalam kamarnya menenangkan diri, memangnya dengan kondisi Bisma dia mau pergi kemana hah?” “Ya siapa tahu kalau Bisma sudah sembuh, bisa jalanjalan dan membunuh Seruni.” “Gak mungkin, Bisma bukan pembunuh.” Binna tidak terima dengan ucapan Broto. Broto hanya mengedikkan bahu lalu memilih menyeruput kopinya. Lamunan Binna pecah mendengar panggilan Wisesa. “Bin, kamu kenapa?” “A-aku ba-baik, aku baik-baik saja Wisesa. Terima kasih.” Rumah Atmaja - 352



“Baiklah, aku pulang dulu ya, Bin.” “Iya hati-hati.” Sepeninggal Wisesa, Binna tampak merenung. Jika dirunut lagi, Binna memang kurang memperhatikan Bisma. Jika Bisma sudah di kamar, Binna menganggap Bisma baik-baik saja dan tidak perlu ditemani atau ditengok. Makanya Binna tidak pernah mengetuk kamar Bisma. Tiba-tiba Binna merasa khawatir dan takut.



Senyum sinis terukir pada pria yang sedang menatap bangunan Rumah Sakit Jiwa. Di dalam genggamannya dia membawa sesuatu. Pria itu segera masuk dengan menggunakan pakaian perawat dan menggunakan masker. Suasana ramai mendukung aksinya. Bisma pura-pura memberi makan pada beberapa pasien rumah sakit jiwa, salah satunya adalah Betty. Betty berteriak senang melihat kue lapis yang begitu dia sukai ada di tangan salah satu perawat. “Enak?” “Enak.” “Aku punya banyak di depan, kamu mau?” “Mau,” pekik Betty. Betty mengikuti Bisma menuju ke depan. Beberapa petugas kurang memperhatikan tingkah Betty dan Bisma karena Bisma sengaja mengecoh para petugas dengan melakukan tindakan pengalihan. Dua pasien RSJ sengaja Bisma buat bertengkar demi memperebutkan makanan, membuat keduanya saling berebut hingga terjadi pertikaian. Para petugas pun datang dan 353 - Bai_Nara



mencoba mengurai perkelahian yang malah merambat pada pasien yang lain. Di tengah kericuhan inilah, Bisma membawa Betty menuju keluar melalui pintu samping. Bisma terus menuntun Betty hingga Betty terus berjalan ke arah jalan raya sambil berlari karena dia melihat sesuatu yang menarik. Nahas, jalan sedang ramai dan Betty pun tertabrak. Betty jatuh terkapar dengan banyak luka dan darah di tubuhnya. Betty kejang-kejang lalu menghembuskan napas Terakhirnya saat itu juga. Kehebohan terjadi, para pejalan, pengguna kendaraan motor dan orang-orang yang ada di sekitar panik dan langsung membawa jasad Betty ke dalam rumah sakit. “Satu masalah selesai, tinggal kalian berdua saudaraku. Hahaha.” Bisma langsung berlalu, dia tidak mau ada seseorang yang mencurigainya. Dia harus secepatnya kembali ke rumah Atmaja sebelum orang-orang sadar, dia tak berada di sana.



Rumah Atmaja - 354



47. Rencana B



inna meluruh ke lantai, informasi dari Sri Rahayu membuatnya terhenyak. Wajahnya kalut. Berbagai dugaan mampir di otaknya. “Ibu Binna mendapat keringanan untuk menengok saudari Anda.” Binna tidak menjawab, dia terlalu shock. Bahkan seletah Sri pergi. Binna malah menangis. “Kenapa kamu harus pergi, Betty. Lalu, aku sama siapa?” lirih Binna ditengah isak tangisnya. Sementara itu, di kediaman Atmaja. Suasana duka sedang menyelimuti para penghuninya. Bisma duduk dengan wajah sedih di kursi rodanya, sungguh bagi yang melihat tingkah Bisma, mereka pasti tidak akan menyangka pria yang terlihat sopan, baik hati dan penyayang tega membunuh liliknya (tante) sendiri.



355



Para pembantu pun hanya bisa pasrah dan segera melakukan proses pemandian, menyolati dan penguburan Betty. Bisik-bisik para tetangga dan sanak saudara terdengar di setiap bagian rumah yang ada kerumuman massanya. “Kayaknya keluarga ini dikutuk, loh?” “Ho’oh, kayaknya gitu. Kan denger-denger emang mendiang Atmaja dikutuk sama saudara keempatnya.” “Iya, aku denger juga seperti itu.” Kedatangan Binna yang dikawal oleh beberapa anggota polisi dan Polwan menarik minat para pelayat. Mereka begitu antusias melihat kehadiran Binna, bahkan banyak ibu-ibu yang dengan berani mengghibah Binna sampai suaranya terdengar nyaring sekali. “Ibu.” Bisma mengarahkan kursi rodanya ke arah Binna. Binna tersenyum dan memeluk Bisma. Binna tidak bisa melingkarkan tangannya pada tubuh sang anak karena kedua tangannya di borgol. “Kamu sehat, Nak?” tanya Binna. “Bisma sehat, Bu.” Binna hanya tersenyum, dia mencoba mengamati putra sulungnya. Dapat Binna tangkap raut kesedihan tetapi bola mata Bisma tak bisa membohongi Binna. Ada kepuasan pada mata Bisma dan Binna tidak suka melihatnya.



Binna masih menatap gundukan tanah milik sang adik. Sesekali Binna menghapus air matanya. Seperti apa pun hubungan Binna dan Betty di masa lalu. Tetap saja, Binna menyayangi Betty sebagai adik. Mereka selalu Rumah Atmaja - 356



berbagi keluh kesah bersama mengingat keduanya adalah anak yang kurang mendapat kasih sayang dari Binawan maupun Bestari. Karena semua kasih sayang kedua orang tua mereka sudah tercurahkan pada Bagus, ya hanya Bagus. Satu-satunya anak lelaki yang dibanggakan. Ada rasa marah di hati Binna ketika mengingat nama Bagus pun ketika nama Bagas terlintas. Dua bapak dan anak yang telah memicu kecemburuan di hati Binna pun di hati Bisma. Binna tidak akan menyalahkan Bisma yang mendendam pada Bagas, tapi ... tidak dengan mengorbankan Budi. Tidak! Bagaimana pun, keduanya anak Binna. Binna menatap sang putra yang tampak khusu’ berdoa. Namun, sudut bibir Bisma yang membentuk lengkungan ke atas terlihat oleh Binna yang ada di sampingnya. Sebelum kembali menuju penjara, Binna meminta waktu berbicara dengan Bisma. Dalam pembicaraan itu, Binna meminta Bisma menjaga Budi. “Bisma, ibu mohon. Jaga Budi ya, kalian anak ibu. Ibu sayang sama kalian berdua. Kalian harus hidup, saling membantu dan menyayangi. Kamu mau berjanji, kan sama ibu?” “Iya, Ibu. Bisma janji.” “Terima kasih.” Binna mengulas senyum penuh ucapan terima kasih pada Bisma. Binna pun dibawa kembali menuju penjara. Setelah kepergian Binna, Bisma dan para pembantunya segera kembali menuju kediaman Atmaja.



357 - Bai_Nara



“Sudah kamu temukan CCTV-nya?” “Sudah Pak. Dan lihat!” Salah seorang petugas kepolisian menunjukkan video sosok berseragam perawat yang menemui Betty. “Dapat! Kita bisa menjerat Bisma, ‘kan?” Genta begitu semangat ingin menangkap Bisma. Hendra menggeleng. “Terlalu riskan, dia punya alibi, lagian sosok di video menggunakan masker. Ini sangat sulit membuktikan kalau itu adalah Bisma.” “Ck. Sial! Jadi kita biarkan dia melenggang bebas?” “Tidak! Tentu kita akan awasi terus.” “Baiklah, sepertinya aku harus sabar.” Genta nampak pasrah sedangkan Hendra hanya tersenyum melihat tingkah Genta yang masih sering gegabah. “Pak Genta.” “Iya.” “Saya sudah mendapat info terbaru dari pengacara saudara Bagas.” “Mana?” Genta dan Hendra membaca laporan yang dibawakan salah satu penyidik. “Astaga! Bagas bikin kayak ginian? Kok seolah-olah Bagas siap mati dan Budi juga akan mati!” Genta geleng-geleng kepala. “Hem. Menarik!” komentar Hendra. “Kok menarik?” Genta menaikkan alisnya. “Apanya yang menarik, Pak? Astaga!” Tiba-tiba Genta dapat memahami maksud Hendra. “Bagas, tidak mempercayai Bisma, makanya dia berusaha mengamankan aset Atmaja. Sayang, apa yang sudah disiapkan oleh Bagas, bocor duluan.” Hendra mencoba menarik kesimpulan. “Karena ada pihak yang mencoba mengutak-atik, ‘kan?” Genta tersenyum. Rumah Atmaja - 358



“Ya, yang berujung pada tindakan spontan karena perasaan takut kehilangan.” “Bapak betul! Andi, kamu tahu siapa pengacara atau notaris yang berhubungan dengan Bisma?” “Ada, Pak. Pak Rangga namanya.” “Bagus! Kamu selidiki si Rangga itu.” “Siap, Pak!” Setelah anak buah Hendra pergi, Hendra dan Genta terlibat pembicaraan serius. “Kapten, kita harus memakai pancingan. Agar Bisma sendiri yang membuka kedoknya. Saya sudah mencecar Broto, dia tidak membunuh Seruni, jadi ... ada kemungkinan itu adalah Bisma sendiri.” “Kamu betul, tapi itu berarti kita harus berani ambil resiko. Mencoba menangkap Bisma, itu berarti kita harus mengorbankan ... anggota Atmaja yang lain.” “Bagas dan Budi,” ucap Genta sedih. “Iya.” Genta tampak berpikir, kemudian sebuah ide terlintas di otaknya. “Saya tahu, Kapten. Kita bisa mencobanya.” “Kamu yakin?” “Sangat yakin.” “Baiklah.” Keduanya akhirnya menyusun sebuah rencana untuk membongkar kedok Bisma.



Dua minggu berlalu, kondisi Bagas dan Budi masih belum ada perkembangan. Bisma sesekali mengunjungi keduanya pun dengan Ricky. 359 - Bai_Nara



Ricky sedikit terkejut ketika melihat Bisma. Hari ini dia sengaja mengunjungi Bagas sendirian malah bertemu dengan Bisma. Lily sengaja tak diperbolehkan ikut karena harus menunggu putri mereka. “Temennya Bagas?” “Iya.” Mereka bersalaman. “Namanya siapa?” “Ricky.” “Oooo.” Keduanya sedikit berbasa-basi hingga Bisma ijin harus kembali karena dia merasa lelah. Ricky sendiri masih mengamati Bisma dengan tatapan tajamnya. Bahkan hingga Bisma menghilang bersama Wanto. Panggilan dari Genta menyadarkan Ricky. “Kamu lihat apa, Ky?” “Bisma.” Genta mengerutkan kening. “Kenapa? Ada yang menarik dari Bisma?” “Iya. Aku pernah melihatnya di sebuah tempat alternatif di daerah Kroya, Cilacap. Saat itu aku menemani salah satu sahabatku di sana. Dan aku melihat dia. Tapi ... aku sangat ingat, dia sedang berlatih berjalan. Makanya aku kaget dia masih memakai kursi roda. Gak mungkin mereka orang berbeda, ‘kan?” “Kamu yakin?” “Sangat yakin. Karena aku tipe orang yang mudah menghapal nama dan wajah.” Genta tersenyum semringah. “Katakan padaku, dimana tempat itu?” Ricky mengangguk dan memberikan alamat salah satu tempat praktek patah tulang di Kroya. Dengan mengikuti petunjuk Ricky, Genta menuju ke tempat Rumah Atmaja - 360



yang dimaksud. Genta tak bisa menyembunyikan raut bahagianya. Semua informasi yang dia butuhkan semuanya sudah dia dapat. Ternyata benar, Bisma sudah bisa berjalan meski masih belum sempurna. Hanya tinggal banyak latihan saja agar tulangnya terbiasa digerakkan. Selain itu, sang ahli alternatif yang juga merupakan dokter itu sedang membantu mengatasi masalah gangguan kesehatan pada alat reproduksi Bisma yang masih bermasalah. “Ckckck. Kamu benar-benar hebat Bisma. Kamu benar-benar sutradara hebat. Selama ini kamu bersembunyi di balik layar. Kamu membiarkan semua orang saling berkelahi bahkan membunuh, kamu cukup menunggu dan melempar sedikit bara di dekat percikan api. Hahaha.” Genta menghubungi Hendra dan memberitahukan semua hal yang dia peroleh. “Baiklah, kita mulai saja rencana kita.” “Siap, Pak!”



361 - Bai_Nara



48. Diluar Dugaan J



ari-jari tangan seseorang bergerak, kemudian makin merambat hingga jempol kaki kiri dan jari kaki yang awalnya bertautan merenggang. Suara napas sedikit keras terdengar. Mata sang pria terbuka dengan pelan. Cukup lama dia hanya diam mengamati langitlangit kamar, sambil mencoba mengingat apa yang terjadi.



362



Akhirnya sang pria mengingat kejadian yang menyebabkan dirinya berada di rumah sakit. Cukup lama sang pria hanya diam sambil menatap langitlangit kamar. Dia kemudian menoleh ke kanannya, dia tertegun. Setetes air matanya jatuh. “B-ba-gas,” ucapnya tanpa suara. Sementara lelaki yang ia panggil namanya hanya diam.



Dokter yang menangani Budi dan Bagas sedang memeriksa keadaan Budi. Senyum merekah di bibirnya. Sang dokter segera ke luar ruangan. “Alhamdulillah, saudara Budi sudah melewati masa kritisnya.” “Alhamdulillah,” seru Wanto yang kini sedang bertugas menjaga Bagas dan Budi. Wanto segera menghubungi Maman dan Genta. Maman berteriak ketika mendapat telepon dari sang putra. “Alhamdulillah, semoga Den Bagas juga segera sadar, ya To.” “Amin. Wanto kayaknya gak balik, Pak. Wanto masih harus nungguin Den Budi.” “Iya iya, nanti bapak bilang sama istrimu.” “Baik.” Maman mematikan sambungan dan langsung berjalan menuju ke dapur untuk memberitahu Narti, sang istri. Tanpa dia ketahui jika sejak tadi Bisma sudah menguping. Bisma mengepalkan tangannya. “Kenapa kamu malah sadar? Harusnya kamu mati! Gak. Aku harus berbuat sesuatu.” Bisma segera masuk ke kamarnya. 363 - Bai_Nara



Di tempat lain, Binna begitu bahagia mendengar jika Budi sadar, sedangkan Bagas masih koma. “Bagus Budi, kamu harus selamat, kamu harus sehat. Harta Atmaja milik kalian anak-anakku. Bukan Bagas!” lirih Binna. Dia terlalu bahagia sampai tak sadar sejak tadi senyam senyum sendiri. Di saat kebahagiaannya sedang membuncah, tibatiba Binna ingat akan Bisma. “Ya Tuhan, semoga Bisma tidak melakukan apa pun pada Budi. Aku ... aku harus memastikan Bisma tidak akan melakukan apa pun pada adiknya. Tapi ... tapi bagaimana caranya?” Binna berjalan hilir mudik. Aktivitasnya mengganggu salah satu napi senior di sana. “Woi, diem gak! Pusing aku lihatin kamu.” Tubuh Binna terlonjak karena kaget. Dia melihat ke arah si napi senior. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya. Iya, ide gila tapi ini semua harus dia lakukan untuk memastikan keadaan putra-putranya. “Terserah saya dong, mau jalan, mau tidur atau mau duduk.” Binna mencoba menantang. Sengaja dia pasang mimik muka sinis padahal aslinya dia sangat takut. Apalagi jika melihat wajah sangar sang napi dan tubuh gempalnya. “Berani, kau sama aku, hah?” ancam si napi. “Berani lah, emang situ siapa?” “Kurang ajar!” Si napi langsung menyerang Binna. Binna kaget karena mendapat serangan bertubi-tubi tapi dia berusaha melawan walau sudah bisa dipastikan Binna yang akan kalah. Binna mencoba mencakar, menjambak, menggigit tapi dia tetap kalah. Pukulan demi pukulan, jambakan demi jambakan, tendangan maupun tamparan harus ia Rumah Atmaja - 364



terima dari seorang napi bernama Firda. Membuat tubuh Binna dipenuhi luka-luka. Binna pasrah, dia membiarkan tubuhnya menjadi bulan-bulanan. Napi yang berada satu sel bukannya meredam perkelahian malah bersorak. Semakin tubuh Binna kena hajar, mereka bertepuk tangan dan menyoraki. Kegaduhan yang ditimbulkan menarik perhatian para petugas. Para petugas mencoba menengahi dan akhirnya kegaduhan bisa teratasi. Tetapi kondisi Binna sudah sangat parah. Binna bahkan pingsan. Petugas membawanya ke RSUD.



Kondisi Budi masih lemah, dia bahkan masih diam tak mampu bicara. Dia juga masih berada di ICU. Rencana awal, rabu pagi tadi Budi akan dipindahkan ke ruang rawat jika kondisinya membaik, namun tidak jadi. Budi melirik ke ranjang sebelahnya. Terlihat Bagas masih belum sadarkan diri. Budi menatap Bagas dengan sorot mata yang berbeda. Sorot matanya menyiratkan kebencian, kemarahan dan seringai kepuasan. Dengan memaksakan diri, Budi bangun dan mencoba berjalan pelan menuju ranjang Bagas. Dia merasakan sakit pada bahu dan kepalanya tetapi Budi tak peduli. Karena tujuannya kini hanya satu, melenyapkan Bagas. “Aslinya aku udah berdamai sama kamu, Gas. Tapi ... dipikir-pikir aku manfaatin aja keadaan ini.” Hening. Budi sedikit membungkuk. 365 - Bai_Nara



“Maaf, aku bekerja sama dengan pengacara kepercayaanmu, hihihi. Seluruh aset Atmaja harus jatuh ke tanganku dan Mas Bisma ... aku harus menyingkirkannya begitu aku sembuh nanti. Agar aku tak perlu berbagi dengan siapa pun,” bisik Budi. Lalu dia tertawa lirih. “Kamu bermaksud membunuhku, Budi?” Tiba-tiba, Budi mendengar sebuah suara yang diucapkan dengan nada dingin. Budi menoleh dan kaget mendapati Bisma yang tengah berdiri tegap di belakangnya. “M-mas Bisma, kamu ...?” Bisma menyeringai. “Kaget? Inilah aku. Kamu pikir aku akan membiarkan rencana yang kususun hancur hanya gara-gara ulah kamu yang tiba-tiba ingin menguasai semuanya? Tidak!” Kedua kakak dan adik saling menatap sinis. Budi mencoba menopang tubuhnya yang belum kuat. Bisma tertawa tanpa suara. Tanpa aba-aba Bisma langsung menyerang Budi. Bisma menyeret Budi ke ranjangnya, mengambil bantal dan membekap muka Budi. Budi meronta-ronta, ingin melepaskan diri tetapi tenaganya kalah kuat dengan Bisma. Budi meraba-raba hingga dia menemukan leher Bisma dan mencekiknya. Keduanya sama-sama berjuang untuk bertahan atau mati. Saat kedua bersaudara mencoba saling membunuh, Binna datang dengan langkah tertatih. Untung waktu itu Binna berpikir cepat, dia tahu jika dia terluka pasti pihak polisi akan membawanya ke rumah sakit yang sama dengan Budi dirawat. Binna melirik ke kiri dan kanan. Beruntung dia sempat mengganti baju, kalau tidak? Binna tidak tahu bagaimana caranya keluar dari kamar rawatnya.



Rumah Atmaja - 366



Sampai di ruang ICU, Binna tertegun karena ruangan sangat sepi dan tidak ada perawat jaga di bagian depan. Binna mencoba melongok ke tempat perawat jaga. Mata Binna terbelalak. Ada tiga perawat yang tertidur dengan posisi berantakan. Ah, lebih tepatnya seperti sengaja dibuat tidur. Binna mendengar suara gaduh di ruang ICU. Binna segera berjalan ke sana walau tertatih-tatih. Mata Binna semakin membelalak melihat kedua putranya sedang saling melukai. “Bisma! Budi! Hentikan!” Binna mencoba melerai keduanya walau dengan susah payah. Hampir sepuluh menit Binna berusaha hingga keduanya benar-benar saling melepas. “A-apa yang kalian lakukan? Kalian saudara. Gak boleh kayak gini. Harusnya kalian bekerja sama, kalau perlu lenyapkan Bagas saat ini juga.” Binna menunjuk ke arah Bagas. “Hahaha. Aku tak mau berbagi dengan dia, lelaki payah. Bersembunyi dibalik kursi roda.” Perkataan Budi menyulut api amarah di hati Bisma. “Bukannya kamu sama saja, hah? Kamu pikir aku mau berbagi sama kamu? Gak! Ini milikku, milikku!” “Hahaha. Memangnya Mas yang bikin perkebunan dan pabrik balik lagi. Jaya lagi. Bukannya Mas yang bikin hancur gara-gara Mas korupsi? Dan ... demi untuk mengobati penyakit Mas itu.” “Diam kamu!” “Apa?! Memangnya Budi tidak tahu kalau kebakaran pabrik itu ulah Mas sendiri?” “Apa? Benar itu Bisma?” Binna menatap sang putra tak percaya. “Iya, andai bukan karena campur tangan Ibu, Niken pasti akan menjadi istriku. Kami akan hidup bahagia, 367 - Bai_Nara



punya anak dan menguasai harta Atmaja. Tapi karena ancaman Ibu, semua hancur. Bisma benci sama Ibu!” Bisma akhirnya mengeluarkan kemarahannya pada Binna. “Bis-ma, ibu melakukan ini demi kamu demi Budi juga demi kalian.” Binna menatap ke arah Budi dengan tatapan sendu. “Ibu minta maaf pada kalian berdua, ibu melakukan ini demi kalian. Kalau Niken dan Kinanti bersama kalian, pasti kalian tidak akan bisa menguasai harta Atmaja. Kalian ...” “Aku harusnya sudah punya anak dengan Kinanti, tapi semua hancur karena Seruni, dan ... juga ulah Ibu.” “Ibu tahu, ibu minta maaf. Sekarang saatnya kita bekerja sama, kita ... kita harus menyingkirkan Bagas.” Kedua kakak beradik itu diam, keduanya memikirkan hal yang sama. Binna melihat kedua putranya sudah tenang. Kini dia berjalan menuju ke arah Bagas. Ditatapnya Bagas dengan tatapan benci. Dengan gemetar Binna mengulurkan tangan, hendak mencabut alat bantu oksigen yang terpasang di mulut Bagas. Binna terlalu fokus ingin menghabisi Bagas sampai tidak menyadari raut muka Bisma yang berubah. Bisma menatap Budi yang sedang mengawasi aktivitas Binna. Bisma melayangkan pukulan pada tengkuk Budi, sayang Budi yang melihat kilasan bayangan Bisma menghindar. Kedua saudara itu kini malah saling menyerang kembali. “M-mas!” Budi sedang mencoba melepas cekikan Bisma. “Aku tak akan mau berbagi denganmu, tidak. Apalagi setelah melihat kelicikanmu. Dua kali. Dua kali kamu membuat hartaku melayang,” bisik Bisma. Rumah Atmaja - 368



Budi berada pada posisi terdesak. Dia mencoba memanggil Binna. Sayang Binna terlalu fokus dengan Bagas. Hingga tak menyadari keadaan kedua putranya. Budi meraba-raba dan tangannya menemukan sesuatu. Seperti bekas suntikan yang mungkin terjatuh. Budi mengambilnya dan langsung menusukkan ke mata kiri Bisma. Bisma menjerit keras. Suara jeritan Bisma mengalihkan konsentrasi Binna yang sudah memegang masker oksigen dan hendak melepasnya tapi urung. “Bisma!” pekik Binna. Bisma marah, darah mengucur dari matanya. Budi terbatuk-batuk. Dia mencoba mencari sesuatu untuk menyelamatkan diri. Bisma yang sudah geram, dia menghampiri Budi lalu menyerang membabi buta. Binna menjerit, dia mencoba melindungi Budi dari amukan Bisma. Ketiga ibu dan anak saling melukai, saling melindungi dan saling menjerit. “Bisma jangan, Bismaaaa ... Budiiii ...!” Bruk. Brak. Bugh. Pukulan dan hantaman keras dari Bisma merobohkan Budi hingga tersungkur ke lantai. Binna memekik keras sedangkan Bisma tertawa terbahak. Binna menuju kepada Budi. Diraihnya tubuh Budi dan dipangkunya kepala Budi di atas pahanya. Dibelainya rambut sang anak dengan sayang. “Bisma, hentikan, Nak! Dia adikmu,” pinta Binna. “Hahaha. Aku tak peduli hahaha.” Binna menangis, Budi sekarat dan Bisma terus tertawa. Mereka tidak menyadari jika di luar sana, beberapa petugas tengah tergesa-gesa menuju ruang ICU. “Kita dapat buktinya, Genta?” 369 - Bai_Nara



“Iya. Saya dan Wanto menemukan Rangga yang sedang tiduran di kamar Bisma.” “Bagus. Itu berarti Bisma sedang berada di ruang ICU.” “Betul. Makanya kita harus bergegas. Saya takut terjadi apa-apa sama Budi dan Bagas.” Genta, Hendra dan beberapa anggota kepolisian sudah masuk ke ruang ICU. “Astaga! Mereka pingsan.” Salah satu petugas berteriak setelah memeriksa para perawat yang diam tak berdaya. Genta segera berlari menuju ruangan Bagas. Genta langsung membuka pintu keras. Bisma menoleh dan kaget pun dengan Genta. Bisma yang menyadari dia dalam masalah segera berlalu tetapi Genta menghadangnya hingga terjadilah duel diantara keduanya. Meski salah satu mata Bisma berdarah, tapi tak mengurangi kekuatan Bisma. Genta bahkan sampai kewalahan. Bisma bisa melepaskan diri, dia berlari keluar. Genta mengikuti, Hendra dan yang lain berusaha menangkap Bisma tetapi mereka tak berani bertindak gegabah karena Bisma menggunakan tameng salah satu pasien yang ada di ICU. “Jangan mendekat. Atau dia mati. Jangan mendekat.” Bisma mendorong salah satu brankar, sengaja membuatnya menyilang di depan pintu dan dia langsung kabur. Genta mengikuti Bisma sementara Hendra tertinggal karena harus memanggil petugas guna memeriksa keadaan pasien yang tadi dijadikan sandera.



Rumah Atmaja - 370



Sepanjang lorong rumah sakit, Bisma dan Genta berkejar-kejaran. Bisma sedikit kepayahan karena kakinya yang belum sembuh seratus persen. Selain itu salah satu matanya yang terluka membuat gerak larinya terganggu. Tapi Bisma tak mau menyerah. Dia terus berlari. Keadaan Bisma terdesak karena dia kini dikejar oleh beberapa orang. Bisma tak peduli dia terus berlari hingga Genta mau tak mau melakukan tindakan nekat yaitu menembak kaki Bisma. Dor! Bisma berteriak namun dia tetap berlari walau dengan kaki pincang. Bisma tersenyum karena melihat mobilnya. Dia segera masuk dan menjalankan mobilnya. Genta dan beberapa polisi mengikuti mobil yang dikendarai Bisma. Bisma tidak bisa konsentrasi dalam mengendarai mobil. Kakinya sakit, sebelah matanya dari tadi mengeluarkan darah dan terasa sakit. Suara klakson sebuah truk besar membuat Bisma kaget, dia oleng menyebabkan konsentrasi menyetirnya buyar. “Tidak!!!” Blum! Brak! Gedebuk! Dung! Daar! Bisma tak mampu menghindari tabrakan. Karena mobilnya lebih kecil dan dalam kecepatan tinggi, justru mobil Bisma yang kalah dan berbalik. Mobil yang dikendarai Genta serta polisi lain bisa berhenti tepat waktu hingga tak terjadi kecelakaan beruntun. Genta hanya bisa menatap bagaimana mobil Bisma menabrak truk besar sampai berguling-guling, hancur kemudian berhenti.



371 - Bai_Nara



49. Sadar G



enta sedang duduk sambil mengamati kerja Tim Polisi Lakalantas. Mereka sedang mengupayakan mengambil tubuh Bisma yang berada di dalam mobil. Melihat posisi mobil yang rusak parah, Genta sudah bisa menyimpulkan hanya saja ia ungkapkan di dalam hati. “Ta.” “Pak.” Genta berdiri menyambut Hendra, mereka kemudian memilih duduk kembali. “Bagaimana keadaan Bagas, sandera sekaligus para perawat yang di sana Pak?” “Sandera baik-baik saja, para perawat sudah siuman, Bagas masih koma, Budi tidak tertolong dan Binna pingsan. Setelah sadar seperti orang gila.”



372



“Ckckck. Benar-benar keluarga psikopat. Gak nyangka Bisma segila itu, sampai membunuh adik kandungnya sendiri lagi.” “Nanti kita hubungi pengacara saudara Bagas. Rupanya ada hal mencurigakan pada surat wasiat saudara Bagas.” “Apa yang mencurigakan?” “Tanda tangannya sedikit berdeda.” “Jangan-jangan Budi terlibat?” “Saya juga berpikir ke arah sana. Sepertinya saudara Budi pun ikut-ikutan tamak. Apalagi keadaan cafenya kian sepi dan terancam bangkrut.” Genta hanya mendesah tak menyangka hubungan para penghuni Atmaja benar-benar seburuk itu. Genta dan Hendra masih mengawasi kerja tim polantas yang dibantu warga. Setelah kurang lebih setengah jam, akhirnya tubuh Bisma bisa dikeluarkan. Dokter forensik yang diundang, langsung memeriksa Bisma. “Korban meninggal.” “Innalillahi Wa Inna ‘Ilahi Roji’un.” Genta, Hendra dan beberapa petugas menatap mayat Bisma yang kini sedang dimasukkan ke dalam kantung jenazah. “Tak disangka endingnya seperti ini, Ta.” “Iya, Pak. Padahal rencana kita membiarkan Bagas dan Budi tidak dijaga dengan harapan agar Bisma bertindak. Saat itu kita akan menangkapnya. Ternyata ... malah penuh drama antar saudara kandung terlebih dahulu.” “Iya. Ayo kita kembali. Kita harus menginterogasi banyak orang.” “Baik, Pak.” 373 - Bai_Nara



Genta menatap sosok cantik di depannya dengan mulut terbuka. “Nawang? Kamu Nawang? Kamu masih hidup?” Nawang mengangguk, dia berani menampakkan diri bersama Bima dan Kinasih setelah mendengar kabar yang terjadi. Bahkan Erlangga dia bawa. “Bagas? Bagas junior?” teriak Genta saat melihat Erlangga. Lagi-lagi, Nawang hanya bisa mengangguk. “Ya Tuhan .... “ Genta langsung mengambil alih Erlangga dari gendongan Bima. Dia bahkan tanpa canggung menggendong sekaligus mengajak Erlangga bercanda. “Kamu mau ketemu Bagas?” “Iya, Mas. Boleh?” “Tentu. Dia pasti kangen sama kamu. Dia kayak orang gila tahu, setelah kamu pergi.” “Aku tahu, Mas.” “Sudah sana! Kamu temui dulu suamimu, kami yang akan menjaga Erlangga.” Nawang mengangguk, dia kemudian masuk ke ruang ICU. Sampai di ranjang Bagas, Nawang menatap sang suami dengan tatapan cinta sekaligus sedih. Diciumnya kening sang suami, mesra. “Mas ... Mas dengar Nawang? Ini Nawang.” “Mas. Maaf, Nawang baru bisa menemui Mas Bagas. Mas ... bangunlah. Nawang rindu.” “Apa Mas Bagas gak mau ketemu sama Erlangga? Dia mirip Mas banget? Padahal aku yang hamil, loh.”. Nawang masih berkata lirih di dekat telinga Bagas. Rumah Atmaja - 374



Terkadang suara Nawang terdengar bahagia, kadang sedih bahkan kini Nawang sedang menangis lirih. “Bangun, Mas! Jangan tinggalin kami. Hiks ... hiks.” Nawang menaruh kepalanya di perut sang suami. Tak lupa kedua tangannya memeluk Bagas. Cukup lama, Nawang berada dalam posisi itu. Hingga jam kunjungan selesai dan Nawang pun akhirnya keluar. Di luar ruangan, sudah ada Wanto, Maman, Narti dan Juminten. Kedua ART itu memeluk Nawang penuh suka cita. Wanto dan Maman menyalami Nawang. Suasana haru begitu kentara. “Lebih baik, Den Nawang istirahat dulu. Den Nawang mau tinggal dimana? Apa mau ke kediaman Atmaja lagi?” Nawang menggeleng. “Nawang gak mau ke sana dulu, Mbah Narti. Nawang masih takut.” “Ya sudah, kita kembali ke rumah kakek dulu. Besok ke sini lagi. Kasihan Erlangga kalau di rumah sakit terlalu lama.” “Iya, Kek.” Nawang beserta Bima kembali ke rumah Bima. Narti, Juminten dan Maman kembali ke rumah Atmaja. Sedangkan Wanto bertugas menjaga Bagas sementara Genta harus kembali ke kantor polisi.



Bagas berjalan tanpa arah di sebuah padang yang sangat luas. Dia lelah. Entah sudah berapa lama dia berada di sana. “Aku dimana? Apa ini alam barzah? Atau ... surga?” lirih Bagas. Bagas mengawasi sekelilingnya. Sepi. “Kenapa tak ada orang? Sebenarnya dimana aku?” 375 - Bai_Nara



Bagas masih mengawasi sekelilingnya. Tiba-tiba dia mendengar orang yang sedang bercengkrama. Bagas segera berlari menuju suara-suara yang dia dengar. Bagas tertegun. Dia diam. Tampak di depan matanya, sebuah taman teduh, dengan beberapa kursi dan sebuah meja bundar. Tiga orang duduk mengelilingi meja itu. Wajah mereka penuh cahaya dan senyuman. Bagas terdiam, setetes air matanya turun saat menyadari tiga wajah yang begitu dia kenal. “Bapak, Ibu, Eyang,” lirih Bagas. Ketiga orang yang dipanggil menoleh ke arah Bagas. “Kamu ngapain di sini, Nak? Kamu gak pengen pulang apa? Kasihan istri dan anakmu.” Seorang lelaki dewasa dengan postur tubuh dan wajah yang menyerupai Bagas berkata dengan senyum ceria. “Mas ... sebentar dong, biar Cempaka lihat anak kita dulu.” Wanita cantik di sebelahnya menginterupsi sang pria. “Hehehe. Jangan lama-lama, Dek. Kasihan nanti dia gak mau pulang.” Cempaka menghampiri Bagas yang hanya berdiri saja sejak tadi. Dia sedang menatap orang-orang terkasihnya yang sudah lebih dulu pergi. Cempaka tersenyum manis. Wajahnya cantik sekali. “Ibu ....” “Putra ibu sudah besar.” Cempaka memeluk sang putra dengan sayang. Bagas pun membalasnya. Bagus bangun dan menghampiri istri dan putranya. Dia pun memeluk keduanya. Bagas terisak. “Bapak, Ibu. Bagas rindu.” “Kami tahu, Nak. Karena itu doakan selalu kami di sini. Agar kelak kita bisa bertemu lagi.” “Iya, Ibu.” Rumah Atmaja - 376



Pelukan ketiganya terlepas. Bagas menatap ke arah Binawan. “Pulanglah. Perbaiki apa yang harus diperbaiki di sana. Jadikan semua hal sebagai pelajaran agar keturunanmu tak merasakan apa yang dialami kami semua.” “Tapi ... tapi, Bagas gak mau hidup sendirian. Bagas ....” “Mas ....” Sebuah panggilan dari seseorang menghentikan ucapan Bagas. Suara itu tampak dari tempat yang jauh sekali. “Mas Bagas. Bangun dong? Masa betah banget tidurnya. Mas gak pengen lihat Nawang nih! Peluk Nawang, cium Nawang, godain Nawang lalu ngajakin Nawang gulat di ranjang. Mas beneran gak kangen? Bangun dong, Mas? Kasihan Erlangga, masa Mas gak kepengen ketemu sama anak sendiri sih?!” “Nawang! Nawang. Dimana kamu? Dimana kamu, Sayang?” Bagas berteriak memanggil Nawang, tetapi hanya suara Nawang yang bisa dia dengar sedangkan sosoknya tidak ada. Lelah memanggil Nawang, Bagas menatap ketiga orang terkasihnya. “Kembalilah kepada istri dan anakmu. Jaga mereka!” Bagus tersenyum sambil melingkarkan tangan ke bahu sang istri. Bagas menatap nanar ketiga keluarganya, dia lalu tersenyum. “Bagas sayang kalian, Bagas janji akan menjaga keluarga Bagas, mendidik putra putri Bagas dengan baik.” Bagas memeluk kedua orang tuanya bergantian lalu berjalan menuju Binawan. 377 - Bai_Nara



“Bagas pamit, Eyang.” Bagas mencium tangan Binawan. Binawan mengelus kepala Bagas dengan sayang. “Hiduplah bahagia, Nak. Kami akan menunggu kalian di sini. Doakan kami selalu.” “Pasti. Pasti Eyang.” Bagas mencium tangan Binawan lagi. Memeluk kembali kedua orang tuanya terutama pada sang ibu. Bagas melambaikan tangan, dia segera berjalan menuju suara lain yang sangat dia rindukan. Jalan yang Bagas tuju lama kelamaan terasa gelap. Tetapi dengan mantap Bagas tetap berjalan. Karena di kegelapan itu, suara Nawang semakin jelas terdengar. Hingga dia melihat sebuah pintu. Bagas membuka pintu itu, tibatiba Bagas merasa terdorong masuk dalam pusaran yang membuatnya pusing. Suara orang tercekat dan bunyi alat pendeteksi jantung yang tiba-tiba membuat Nawang yang sedang memotong kuku Bagas tercekat. “Mas Bagas,” pekik Nawang. Teriakkan Nawang membuat beberapa perawat jaga yang ada di ruang perawat berlari mendekat ke ranjang Bagas. Nawang panik, karena tiba-tiba Bagas kejang dan napasnya seperti sesak. “Mas! Mas Bagas!” teriak Nawang. Sementara para tenaga medis sedang menangani Bagas. “Alhamdulillah.” Salah satu perawat lelaki mengucap hamdalah begitu detak jantung dan napas Bagas mulai normal. Selain itu terlihat kelopak mata Bagas yang mulai bergerak. Nawang yang awalnya panik sedikit lega, dia mendekat ke arah ranjang Bagas. Terlihat kelopak mata Bagas terus bergerak. Dan kelopak mata itu pelan-pelan terbuka. Mata itu Rumah Atmaja - 378



menatap Nawang menutup kembali dan menatap lagi. Mau tak mau Nawang tersenyum lebar. “Mas Bagas.” Seulas senyum terukir di bibir Bagas, meski masih ada kantung oksigen yang melingkupi mulut Bagas, tetapi senyumnya terlihat oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Senyum manis untuk menyambut sang istri tercinta, Nawang.



379 - Bai_Nara



50. Akhir yang Bahagia G



enta menatap sebal pada dua orang di depannya. Sungguh dua orang tidak berperasaan dan tidak berperikejombloan. Bagaimana bisa di depan orang lain mereka begitu mesra. Lihatlah bagaimana sang wanita naik ke atas ranjang, meletakkan kepalanya di dada sang pria sementara kedua tangannya memeluk erat sang pria. Si pria pun tak kalah menyebalkan, sesekali dia memainkan rambut sang wanita, membawanya ke hidung dan menghirup dalam-dalam. Belum lagi sesekali suara kikikan sang wanita terdengar saat sang pria sesekali mencium pipinya. Astaga!



380



“Bisa gak sih, kalian gak mesra-mesraan di depanku!” sinis Genta menatap sebal pada pasangan suami istri di ranjang ruang perawatan VIP. “Suka-suka akulah, lagian udah tahu aku lagi kangen sama istriku, kenapa kamu malah di sini? Jadi iri, kan kamunya?” “Ckckck. Ini orang. Gak nyadar apa sejak kamu sakit, aku yang nungguin kamu, menemani kamu bersama Wanto, Mbah Maman bahkan Ricky setiap sabtu dan minggu.” “Terus ... aku harus meluk kamu gitu sebagai ucapan terima kasih?” “What? Gue normal yak! Belum pindah haluan.” Genta berubah jadi sewot. “Ya ya ya, terserah.” Lalu Bagas kembali memainkan rambut sang istri dan sesekali mencium pipi Nawang. Genta hanya memutar bola matanya jengah melihat aksi lebay sang sahabat bersama istri. Sejak dinyatakan sadar dari koma lima jam yang lalu dan kemudian dipindahkan ke ruang rawat, yang dilakukan Bagas dan Nawang adalah saling memeluk, menempel seperti perangko sama kertas. Keduanya tak peduli akan kehadiran Genta yang tergesa-gesa datang begitu dikabari kalau Bagas sudah sadar. Karena kehadirannya tak dianggap, Genta memilih keluar. Sampai di luar dia bertemu dengan pasangan Ricky dan Lily yang langsung meluncur begitu mendengar berita kalau Bagas sudah sadar. “Mau masuk?” “Iya.” “Gak usah dulu. Tuh pasangan lagi mode nyebelin.” Ricky menaikkan sebelah alisnya. “Emangnya nyebelin gimana?” 381 - Bai_Nara



“Sejak tadi pelukan terus. Tebar keromantisan, gak berperikejombloan. Aku gak dianggap.” Genta mengucap dengan cara dramatis. Ricky dan Lily hanya tertawa dan segera membuka pintu kamar rawat Bagas. Rupanya yang dikatakan Genta benar, Bagas dan Nawang sama sekali tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Mereka hanya asik dengan dunia keduanya tanpa menghiraukan keadaan sekitar. “Ekhem, pokoknya yang lagi bahagia. Dunia serasa milik berdua ya, Dek.” “Ho’oh, Mas. Kita mah ngontrak.” “Betul sekali.” Nawang dan Bagas menoleh, keduanya tersenyum lebar menatap pasangan Ricky-Lily. Nawang segera turun dan tergesa menghampiri Lily. Keduanya berpelukan dan bercipika-cipiki. Ricky sendiri segera menghampiri Bagas, dan duduk di kursi samping ranjang. Bagas yang masih belum bisa duduk karena baru saja siuman, mengulas senyum tulus pada sang sahabat. Mereka bersalaman dengan cara mempertemukan dua kepalan tangan alias tos. “Gimana?” “Masih banyak yang dirasa tapi aku seneng.” “Udah ketemu anakmu belum?” “Udah, tadi vidcall sama Wanto dan istrinya yang lagi di rumah Kakek Bima. Wanto ikut jagain Ega (Panggilan untuk Erlangga).” “Oooo.” Nawang dan Lily memilih duduk di sofa. Keempatnya mengobrol dengan diselingi tawa. Hampir setengah jam mengobrol, Genta datang lagi. Dia langsung menarik kursi lain dan duduk di samping Ricky. Rumah Atmaja - 382



“Dari mana?” “Makan, habis itu terima telepon.” “Oooo.” “Jantung kamu kuat, kan Gas?” “Kenapa?” “Aku cuma mau mengabarkan hal sedih.” “Hal sedih apa?” Ada sedikit ketakutan di wajah Bagas pun dengan Nawang. “Ega baik-baik saja, kan Mas Genta?” tanya Nawang dengan raut khawatir. “Anak kalian baik. Yang gak baik, Binna.” “Kenapa dengan Budhe?” Alis Bagas tertarik ke dalam. “Meninggal, bunuh diri.” “A-apa?! Kapan?” “Barusan.” Bagas terdiam cukup lama. Semenjak sadar, dia memang belum bertanya apa pun selain memeluk sang istri. Dan sepertinya orang-orang di sekitarnya juga belum mau bercerita. Bagas baru ingat saat kecelakaan dia bersama dengan Budi. “Budi sama aku saat kecelakaan, dia dimana, Ta? Budi gak …?” Bagas tidak berani melanjutkan kalimatnya. Genta menarik napas kasar, dia memutuskan bercerita saja. Toh, suatu saat Bagas akan tahu juga. “Budi meninggal, setelah berkelahi dengan Bisma.” Deg. Bagas kaget dan tak mampu bersuara. “Bisma, Binna, dan Broto. Mereka memiliki andil dalam semua peristiwa yang terjadi, Gas. Binna dan Broto memang merencanakan membunuhmu. Tapi, Bisma pun sama. Hanya saja permainan Bisma sangat rapi.” 383 - Bai_Nara



Genta terus menceritakan tentang perbuatan Bisma. Tentang masalah disfungsi alat reproduksinya, pengobatannya yang tak membuahkan hasil bahkan sampai harus menggunakan uang pabrik dan perkebunan. Makanya, Bisma membuat dirinya seolaholah kecelakaan saat kebakaran di pabrik. Sayang, orang suruhan Bisma malah benar-benar membuatnya lumpuh, padahal maksud Bisma cukup membuat Bisma cedera saja lalu dia akan berpura-pura lumpuh. Dengan Bisma yang lumpuh, dia tidak perlu lagi mengurusi pabrik dan perkebunan serta tidak akan disalahkan jika kedua peninggalan Binawan sampai bangkrut. “Rangga yang selama ini membantu Bisma. Dia sudah ditangkap. Dari dia semua bukti penggelapan uang oleh Bisma, kematian Betty, kematian Seruni, sabotase mobil, bahkan Bisma juga yang sering meneror kamu dengan pesan ancaman dan tragedi anjing galak yang kedua adalah ulah Bisma. Kalau yang di tengah hutan itu ulah Broto.” “Astaghfirullah,” teriak Nawang yang duduk di sofa. “Jadi ... jadi Mas Bisma ikut terlibat?” “Iya, Nawang. Cuma mereka bergerak sendirisendiri. Untuk kasus Budi, dia sebenarnya netral. Hanya saja, sejak dia terjerat kasus bersama Kevin, usahanya kian merosot. Makanya dia jadi ikut-ikutan kayak ibu dan saudaranya. Ingin menguasai semua harta Atmaja. Dia bahkan sampai bekerja sama dengan pengacara keluarga kalian, Gas.” “Om Hari mengkhianati, Eyang?” tanya Bagas tak percaya. “Iya.” “Memangnya Budi menjanjikan apa pada Om Hari?” “Tanah kalian yang dekat dengan Dieng. Hari berniat membuat penginapan di sana.” Rumah Atmaja - 384



Bagas hanya bisa menggelengkan kepala. Refleks dia mengangkat sebelah tangannya dan memegang kepalanya. Pusing. “Mas!” “Gas!” “Ya udah, kamu istirahat aja, Gas. Kondisimu belum pulih. Ta, pembahasan ini lain kali aja. Sekarang kita urus pemakaman budhenya Bagas dulu. Dan kamu, Gas. Kamu jangan banyak pikiran dulu. Ingat, kamu harus sehat. Kamu mau ketemu anakmu, ‘kan? Cowok loh, siapa tahu kita bisa besanan. Siapa tahu Ega mau sama Ina.” Bagas tersenyum dengan kalimat terakhir Ricky. Sepertinya lucu kalau anak-anak Ricky dan Bagas ada yang menikah. Sahabat yang berubah menjadi besan. “Iya. Aku minta tolong ya Ta, Ky.” Akhirnya Bagas memutuskan meminta bantuan kedua sahabatnya. “Kamu tenang aja, penting habis ini kamu harus kasih hadiah yang spesial buat aku.” Genta berkelakar. Bagas tertawa tetapi dia berkata akan mempertimbangkannya.



Nawang dengan telaten menyeka tubuh Bagas. Setelah itu, segera memakaikan pakaian ganti pada Bagas. “Nah, udah ganteng.” Ini adalah hari ketujuh, Bagas berada di rumah sakit setelah sadar dari koma. “Makasih ya.” Bagas menatap sang istri penuh cinta. “Sini, Sayang. Duduk dekat, Mas!” Bagas menepuk ranjang di sebelah kirinya. 385 - Bai_Nara



Nawang duduk di samping Bagas, refleks keduanya saling memeluk. Bagas yang begitu merindukan sang istri sesekali mengecup kepala sang istri. Cup. Cup. Cup. Nawang tersenyum, lalu mendongakkan kepala. Keduanya tersenyum bahagia. Bagas tak tahan, sudah lama sekali dia merindukan sang istri. Tanpa aba-aba, bibirnya ia labuhkan pada bibir Nawang. Mengecupnya dengan lembut dan penuh perasaan. Cukup lama keduanya terbuai dalam lumatan yang memabukkan. Kerinduan yang begitu lama terpendam, mereka keluarkan tanpa beban. “Aku mencintaimu, Sayang,” ucap Bagas disela-sela aktivitas bibirnya. “Nawang juga, Mas.” Keduanya kembali berciuman. Tak perlu kata untuk menggambarkan betapa bahagianya hati Nawang dan Bagas. Setelah melalui drama yang pelik, kini biarlah mereka merayakan kebahagian melalui sentuhan. Meski mereka sadar, hidup terus berputar dan masalah selalu akan datang.



Bagas tak bisa menyembunyikan raut bahagianya. Akhirnya setelah sekian lama berada di rumah sakit, kini dia bisa pulang. Dulu kembali ke kediaman Atmaja selalu membuat Bagas enggan tapi kini, dia benarbenar merasa senang bisa kembali ke sana. Tentu ada alasan yang membuat Bagas senang kembali ke rumah Atmaja. Dan alasan utamanya adalah karena kehadiran Rumah Atmaja - 386



Nawang dan putranya, Erlangga Satria Atmaja. Nama yang memang dari dulu sudah disiapkan oleh Bagas jika sang anak kelak terlahir laki-laki. Berharap anaknya kelak menjadi keturunan Atmaja yang berjiwa pemimpin yang baik dan disegani oleh orang lain. “Ya Tuhan, kamu tampan sekali, Nang.” Bagas mengecupi sang putra penuh sayang. Senyum merekah di bibir Bagas apalagi melihat sang putra yang langsung menempel padanya. “Rupanya Ega tahu siapa ayahnya. Lihatlah, Kek.” Kinasih menunjuk interaksi Bagas dan Erlangga. “Iya.” Bagas menatap ke arah suami istri Bima-Kinasih. “Kakek dan Nenek jangan kembali ke hutan lagi ya, di sini aja. Temani kami,” pinta Bagas. “Iya, Nek. Nawang kan gak punya orang tua lagi. Udah menganggap Kakek dan Nenek keluarga Nawang. Temani Nawang sama Ega ya?” rengek Nawang pada Kinasih. Kinasih menatap sang suami dengan penuh permohonan. Bima tampak berpikir kemudian mengangguk. Nawang bersorak bahagia. “Ayok, kita masuk Den. Makanan sudah siap,” ajak Maman yang datang menghampiri Bagas di halaman rumah. “Oke. Ayo masuk semua.” Bagas, Nawang, Bima, Kinasih serta Maman menuju ke dalam rumah. Di dalam rumah, selama acara makan siang, semuanya berlangsung penuh canda, tawa dan semua orang terlihat bahagia. Bagas menatap semua orang dengan bibir terulas senyum. Secara tidak sengaja tatapan Bagas bertemu dengan Nawang. Nawang tersenyum manis pun dengan Bagas. Melalui sorot mata keduanya, mereka 387 - Bai_Nara



berjanji akan selalu bersama baik dalam suka dan duka.



TAMAT



Rumah Atmaja - 388



Ektra Part N



awang membuka pintu kamarnya, dia tersenyum mendapati sang suami masih bergelung dengan sangat nyaman di kasur. Maklumlah, Bagas baru pulang setelah seminggu berada di Singapura guna urusan bisnis. Produk teh buatan pabrik Atmaja mengalami perkembangan pesat hingga mampu menembus pasar Asia Tenggara khususnya Singapura, Malaysia dan Brunei. Nawang segera menutup pintu kamar, menguncinya dan mendekati sang suami. Nawang duduk di tepi ranjang, dengan pelan ditepuknya pipi sang suami. “Mas ... bangun, sudah siang.” “Hem.” Bagas hanya mengguman tidak jelas. “Mas ... Mas Bagas, Bapaknya anak-anak ....” “Hem.”



389



Nawang mengerucutkan bibirnya. Tiba-tiba sebuah ide jahil mampir di otaknya. Nawang mendekati pipi sang suami mengecupnya tipis berulang kali. Cup Cup Cup Cup Kemudian menggigit-gigit kecil pipi Bagas. Bagas menggeliat, bibirnya melengkung indah meski matanya masih terpejam. Tangannya refleks mendekap sang istri. Nawang masih asik menciumi pipi Bagas, kemudian turun ke lehernya. Bagas tertawa geli namun matanya masih terpejam. Kecupan Nawang masih di sekitar leher Bagas, naik hingga ke telinga kanan. Nawang sengaja memasukkan telinga Bagas ke mulutnya, Bagas sedikit menggelinjang. Dia menyukai aksi Nawang. Nawang masih asik dengan tingkahnya lalu melepasnya sebentar dan mulai mengulum telinga Bagas lagi dan .... “Aaaaaa!” Bagas berteriak dengan keras sedangkan Nawang segera berdiri lalu tertawa sambil memegang perutnya. Bagas otomatis langsung duduk sambil mengusapngusap telinganya yang baru saja digigit oleh sang istri. Bagas masih setengah sadar, kemudian tatapannya beralih ke sang istri dan menatapnya galak. “Sakit, Dek! Jahil bener sama Mas.” “Hahaha.” Nawang masih tertawa kemudian setelah tawanya mereda dia segera membalas ucapan sang suami. “Lagian, Mas Bagas dibangunin susah bener. Ya udah deh, Nawang terpaksa pakai cara lain.” Rumah Atmaja - 390



“Tapi jangan digigit juga kali, Dek.” Bagas masih mengusap-usap telinganya. Nawang menggeleng kemudian menatap intens kepada sang suami. Nawang sedikit terkesiap karena selimut yang digunakan Bagas melorot hingga menampakkan sesuatu yang sangat pribadi. Tubuhnya bergetar. Bagas yang menyadari tingkah aneh sang istri menatap Nawang dengan intens. Bagas menyeringai jahil, dia mengerti kenapa istrinya terlihat kikuk dan mendamba. Ya iyalah, orang dia lihat Bagas gak pakai apa-apa. Hanya selimut yang kini sudah melorot tanpa bisa menutupi apa pun. Bagas sengaja berdiri membuat Nawang gugup dan bermaksud keluar kamar. Sayang, karena saking gugupnya. Nawang malah langsung memutar knop tanpa menyadari kalau tadi dia mengunci pintu kamar. Bagas yang menyadari Nawang mau kabur bergerak cepat, menyergap tubuh Nawang. Mengungkungnya dengan pelukan. “Mas!” pekik Nawang. “Mau kemana hem? Tanggung jawab. Adik kecil mas kadung bangun.” Bagas langsung membopong tubuh Nawang, membawanya ke ranjang, membaringkannya lembut dan langsung merebahkan diri di samping tubuh sang istri. Tangannya dengan lihai berusaha melepas semua kain yang menempel di tubuh Nawang. “Ta-tapi semalam kan udah.” Nawang berkata dengan gugup. “Iya betul, tapi kan paginya belum.” “Ta-ta hmmppp ....” Nawang tak bisa melanjutkan ucapannya karena bibirnya kini sudah dilumat oleh sang suami dengan 391 - Bai_Nara



sangat rakus, menuntut dan penuh pemujaan. Nawang yang tadinya hendak memberontak akhirnya hanya bisa pasrah. Keduanya terbuai dalam cumbuan asmara pasangan halal. Bagas menumpahkan segala kerinduan serta pemujaan pada setiap jengkal bagian tubuh Nawang, membuat Nawang berkali-kali mendesah dan hatinya berbunga-bunga. Bagas mulai bergerak menyatukan diri dengan sang istri. Nawang menunggu dengan berdebar-debar. Tok! Tok! Tok! Gedoran pintu kamar terdengar nyaring. Bagas yang hampir sempurna menyatukan diri mengumpat keras. Bagas akhirnya berdiri walau aslinya enggan. Nawang sendiri kaget dan sedikit shock. Dia segera menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya. “Bapak! Ibu! Buka!” terdengar lengkingan bocah perempuan berusia lima tahun sambil menggedorgedor pintu kamar orang taunya. Bagas mengacak-acak rambutnya. Frustasi. Dengan masih menahan kekesalan, Bagas memakai kaos oblongnya dan juga sarungnya. Dia segera menuju ke pintu. Sebelum membuka pintu, Bagas melirik ke sang istri. “Kamu pura-pura tiduran. Anak-anak biar kuurus,” titah Bagas. Nawang hanya bisa menurut setelah sebelumnya dia mengambil baju-bajunya yang berserakan di lantai. Dia menyelimuti tubuhnya sebatas leher lalu memejamkan mata. Setelah yakin sang istri aman, Bagas membuka pintu. Tampaklah putrinya, Sekar Ayu Nirmalasari sedang memasang wajah marah sambil berkacak pinggang. Bagas yang tadinya juga marah malah Rumah Atmaja - 392



tertawa melihat wajah marah sang anak yang justru terlihat imut baginya. “Kenapa hem?” Bagas berjongkok agar tingginya menyamai sang putri. “Bapak sama Ibu ngapain, sih? Lama banget buka pintu kamarnya.” “Bapak lagi mijitin ibu, ibu sakit.” Mata Sekar menatap Bagas dan Nawang bergantian. Ekspresi marahnya berubah menjadi cemas. “Apa perlu panggil, Dokter?” “Gak perlu, nanti ibu sembuh kok. Nah, Sekar sama Mas Ega dulu ya, katanya nanti mau ke tempat Om Genta tengok dedek bayi. Sekarang biar bapak mijitin ibu dulu, biar cepet sembuh. Oke?” Bagas tersenyum penuh arti sambil melirik ke arah sang istri yang masih pura-pura tidur. “Oke, deh.” Sekar segera berlalu, membuat senyum kembali terbit di wajah Bagas. Seperti anak kecil yang baru dapat mainan, Bagas bersorak riang. Nawang yang sedikit membuka matanya tersenyum geli melihat tingkah sang suami. Bagas segera menutup pintu, menguncinya dan kembali meloloskan semua kain yang menutup tubuhnya. Dia segera menghampiri sang istri menarik lepas selimut, dan jangan ditanya apa yang dia lakukan. Pokoknya, semua yang dilakukan membuat Nawang maupun Bagas sama-sama mendesah dan berakhir dengan erangan penuh kepuasan dan kenikmatan. Bagas masih memainkan rambut sang istri. Begitu ibadah halal selesai mereka tunaikan, baik Bagas maupun Nawang begitu enggan turun dari ranjang. Nawang menyandarkan kepalanya dengan nyaman di dada Bagas. Bagas pun sesekali mengecup kepala sang istri kemudian tangannya beralih mengelus perut 393 - Bai_Nara



sang istri, senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Karena sesekali perut sang istri bergetar akibat tendangan dari calon anak ketiganya yang kini sudah berusia menginjak sembilan bulan di kandungan. “Kayaknya si jagoan tahu deh kalau bapaknya lagi elus-elus,” guman Nawang. Sesekali matanya terbuka lalu tertutup kembali. Jujur, sekarang dia mudah merasa capek. Apalagi, semalam dia harus melayani sang suami bahkan baru saja dia melayani Bagas lagi. “Ngantuk?” “He’em.” “Tidur dulu, gih? Nanti anak-anak biar mas yang urus.” “Hem.” Nawang hanya mengguman tak jelas, karena dia benar-benar mengantuk. Tak berapa lama Nawang akhirnya tertidur pulas. Bagas yang menyadari sang istri sudah tertidur tersenyum. Dengan pelan direbahkannya kepala Nawang di atas bantal. Kemudian dia menyelimuti Nawang sampai leher. Dibelainya rambut Nawang, lalu dikecupnya kening sang istri dengan penuh sayang. Cukup lama Bagas memperhatikan sang istri. Dia memutuskan beranjak dari kasur dan segera mandi. Dia tidak ingin kedua anaknya terutama si cerewet Sekar, tiba-tiba menggedor pintu seperti tadi dan mengganggu sang istri yang baru saja terlelap.



Hampir dua belas tahun usia pernikahan Nawang dan Bagas. Kini usia Ega sebelas tahun. Saat Ega berusia empat tahun, Nawang dan Bagas memutuskan Rumah Atmaja - 394



memberinya adik. Alhamdulillah, setelah setahun berusaha akhirnya Nawang hamil, sembilan bulan kemudian lahirlah Sekar. Saat usia Sekar empat tahun, lagi-lagi Bagas dan Nawang mencoba memberinya adik dan alhamdulillah langsung berhasil tanpa menunggu lama setelah Nawang lepas KB. “Gak nyangka, malah Genta nikahnya sama si Sri. Bukannya mereka sepupu ya Mas?” “Sepupu jauh, masih bisa nikah, Dek.” “Oooo. Gitu.” “Iya.” Mobil Bagas sampai di halaman rumah Genta. Keempat anggota Atmaja segera keluar dari mobil. Mereka menuju ke dalam rumah Genta. Di pintu depan, keempatnya disambut hangat oleh ibu Genta dan Arjuna, anak pertama Genta yang usianya dua tahun di bawah Ega. “Ayo masuk. Wah, udah besar. Masuk berapa bulan?” Siti ibu Genta mengelus perut Nawang dengan lembut. “Mau sembilan, Tante.” “Oooo. Ya ya ya, semoga gangsar ya lahirannya.” “Amin.” Kompak Bagas dan Nawang. Bagas dan Nawang langsung menuju ke ruang tengah. Di sana terlihat Genta yang sedang membantu Sri Rahayu mengganti popok putrinya. “Woi, Gas. Akhirnya datang juga.” Genta langsung menghampiri Bagas, mereka bersalaman. Nawang pun menyalami Sri. Keempatnya kini asik bercerita. Sementara para anak, sudah bermain di halaman belakang dengan ditemani oleh Siti. “Udah mau tiga aja, Gas. Ckckck. Kalah start akunya.” 395 - Bai_Nara



“Ya udah, habis masa nifas selesai. Langsung gaspol aja.” “Oooo pasti. Aduh!” Sri mencubit perut suaminya dan menatap Genta dengan tatapan melotot. “Gak tahu apa ini bekas jahitan di perut masih sakit.” “Hehehe. Maaf Yang, bercanda.” Hampir satu jam Bagas dan keluarganya mengunjungi Genta. Mereka akhirnya pamit. Di perjalanan, Nawang sesekali mengelus perutnya dengan penuh sayang. Sementara Bagas pun sesekali ikut mengelus perut sang istri dengan mata yang selalu fokus ke jalan. “Semoga kita selalu bersama ya Mas, sampai tua. Sampai maut memisahkan kita.” “Amin.” Bukan hal yang mudah mengarungi rumah tangga. Dua belas tahun bukan waktu yang singkat juga. Meski tahun-tahun yang mereka lalui tidak lagi disisipi drama perebutan warisan seperti dulu, namun tiga tahun terakhir merupakan tahun terburuk bagi Nawang dan Bagas. Karena di tahun-tahun itu, Bagas dan Nawang harus kehilangan beberapa anggota keluarga yang meninggal karena sakit yaitu, Bima kemudian setahun kemudian, Kinasih juga meninggal. Meski sedih, keduanya sadar jika usia Bima dan Kinasih memang tak lagi muda, pasti suatu saat Allah akan mengambil keduanya. Bagas dan Nawang pun sadar jika keduanya bisa suatu waktu pergi dan meninggalkan anak-anak mereka. Walau takut dan cemas, sebagai manusia, baik Nawang dan Bagas tetap berdoa semoga umur mereka panjang hingga saat harus kembali kepada Tuhan, mereka sudah membekali anak-anaknya dengan pendidikan, ilmu dan Rumah Atmaja - 396



bekal agama yang akan membawa mereka mengarungi kehidupan nantinya.



397 - Bai_Nara



Tentang Penulis Bai_Nara adalah nama pena seorang mamah muda kelahiran tahun 1988. Pernah menempuh S1 Pendidikan Kimia di Universitas Negeri Semarang dan lulus tahun 2010. Setiap hari disibukkan dengan kegiatan di sekolah dan mengurus suami beserta dua buah hati jika berada di rumah. Menulis menjadi salah satu hobinya. Melalui hobinya itu, Bai_Nara sudah melahirkan beberapa karya cetak seperti Bukan Calon Kakak Ipar, Pelabuhan Terakhir, Tetanggaku Bukan Mantanku, Mr. Kulkas Itu Suamiku dan Bukan Mantan. Jika ingin mengetahui beberapa cerbung lainnnya, pembaca bisa mengunjungi penulis pada akun sosial media milik Bai_Nara.



398



Wattpad : @Bai_Nara KBM aplikasi : @Bai_Nara Instagram : @Bainarabookstore Facebook : Mamak Bainara Innovel/Dreame : @Bai_Nara Good Novel : @Bai_Nara Ceriaca : @Bai_Nara



399 - Bai_Nara