Ruptur Perineum - CRS [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Case Report Session RUPTUR PERINEUM



Oleh: Nikita Shalifa



1840312449



Preseptor: dr. Firman Abdullah, Sp.OG



BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUD AHMAD MUCHTAR BUKITTINGGI 2019



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Ruptur perineum adalah suatu kondisi robeknya perineum yang terjadi



pada persalinan pervaginam, baik spontan maupun ditolong dengan menggunakan alat, termasuk melakukan episiotomi. Diperkirakan lebih dari 85% wanita yang melahirkan pervaginam mengalami ruptur perineum spontan, yang 60% - 70% di antaranya membutuhkan penjahitan. Angka morbiditas meningkat seiring dengan peningkatan derajat ruptur.1 Laserasi spontan pada vagina dan perineum dapat terjadi saat kepala dan bahu dilahirkan. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat atau tidak terkendali. Episiotomi dilakukan untuk mempercepat kelahiran bila didapatkan adanya gawat janin, adanya pernyulit pervaginam (letak sungsang, distosia bahu, ektraksi cunam atau vakum), dan adanya jaringan parut pada vagina yang memperlambat kemajuan persalinan.2 Ruptur perineum dibagi menjadi 4 derajat, sesuai dengan bagian anatomis yang dikenainya. Tatalaksana atau repair ruptur perineum didasarkan pada derajat beratnya ruptur perineum. Teknik reparasi yang digunakan juga disesuaikan dengan derajat rupturnya.1,4 1.2



Batasan Penulisan Makalah ini membahas tentang anatomi perineum, definisi, klasifikasi,



etiologi, faktor risiko, episiotomi, penatalaksanaan, dan komplikasi ruptur perineum.



1



1.3



Tujuan Penulisan Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui anatomi perineum, definisi,



klasifikasi, etiologi, faktor risiko, episiotomi, penatalaksanaan, komplikasi ruptur perineum. 1.4



Metode Penulisan Penulisan makalah ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang



merujuk kepada beberapa literatur.



2



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Anatomi Perineum Perineum terletak di antara vulva dan anus dengan panjang rata-rata 4 cm.



Jaringan yang mendukung perineum terutama adalah diafragma pelvis dan diafragma urogenitalis.3



Gambar 1. Anatomi Perineum 4



Diafragma pelvis terdiri dari atas otot levator ani dan otot koksigis posterior serta fasia yang menutupi kedua otot ini. Diafragma urogenitalis terletak eksternal dari diafragma pelvis, yaitu di daerah segitiga antara tuber ischiadika dan simfisis pubis. Diafragma urogenitalis meliputi muskulus tranversus perinei profunda, otot konstrikor uretra, dan fasia yang menutupinya. Perineum mendapat pasokan darah terutama dari arteria pudenda interna dan cabang-cabangya. Persarafan tertutama dari nervus pudendus dan cabang-cabangnya.3



3



Gambar 2. Kanalis Ani 4



Gambar 3. Sistem Perdarahan dan Persarafan Perineum 4 2.2



Defenisi dan Klasifikasi Ruptur Perineum Ruptur perineum adalah suatu kondisi robeknya perineum yang terjadi



pada persalinan pervaginam. Diperkirakan lebih dari 85% wanita yang melahirkan pervaginam mengalami ruptur perineum spontan, yang 60% - 70% di antaranya



4



membutuhkan



penjahitan.



Angka



morbiditas



meningkat



seiring



dengan



peningkatan derajat ruptur.1 Laserasi spontan pada vagina dan perineum dapat terjadi saat kepala dan bahu dilahirkan. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat atau tidak terkendali. Pengendalian pada saat kepala bayi membuka vulva (Crowning) dapat mengurangi risiko laserasi perineum. Di masa lalu, dianjurkan melakukan episiotomi secara rutin untuk mencegah laserasi berlebihan saat proses persalinan. Namun saat ini, prosedur itu tidak lagi dianjurkan secara rutin karena dapat meningkatkan jumlah darah hilang dan risiko hematoma, meningkatkan nyeri pascapersalinan pada perineum, dan meningkatkan risiko infeksi.2,4 Klasifikasi ruptur perineum dibagi menjadi 4 derajat, yaitu: 1,4 1. Derajat I : Robekan terjadi hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perineum. Mukosa vagina dan kulit perineum ruptur tetapi otot perineal masih intak. Biasanya tidak perlu dilakukan penjahitan. 2. Derajat II:



Robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinea



transversalis, tetapi tidak melibatkan kerusakan otot sfingter ani. Ada perlukaan yang lebih dalam dan bisa meluas ke vagina dengan melukai fascia serta otot-otot diafragma urogenitalia. Pada perlukaan tingkat II, hendaknya luka dijahit kembali secara cermat. Lapisan otot dijahit dengan jahitan simpul dengan katgut kromik no 0 atau 00, dengan mencegah terjadinya rongga mati (dead space). Adanya rongga mati antara jahitanjahitan memudahkan tertimbunnya darah beku dan terjadinya radang terutama oleh kuman-kuman anaerob. Lapisan kulit dijahit dengan benang katgut kromik atau benang sintetik yang baik secara simpul (interrupted suture). Jahitan hendaknya jangan terlalu ketat agar tempat perlukaan tidak timbul edema.



5



3. Derajat III: Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani Perlukaan pada diafragma urogenitalis dan muskulus levator ani yang terjadi pada waktu persalinan normal atau persalinan dengan alat, dapat terjadi tanpa luka pada kulit perineum atau pada vagina, sehingga tidak kelihatan dari luar dan mengakibatkan terbentuknya hematoma. Pembagian sebagai berikut: IIIa. Robekan < 50% sfingter ani eksterna IIIb. Robekan > 50% sfingter ani ekterna IIIc. Robekan juga meliputi sfingter ani interna 4. Derajat IV: Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dan mukosa rectum



Gambar 4. Derajat Ruptur Perineum4



2.3



Etiologi dan Faktor Risiko Ruptur perineum umumnya terjadi pada persalinan berikut:1 1. Kepala janin terlalu cepat lahir 2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya 3. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut 4. Pada persalinan dengan distosia bahu 5. Partus pervaginam dengan tindakan



2.4



Penatalaksanaan Ruptur Perineum Tindakan pada Fasilitas Pelayanan Primer hanya untuk Luka Perineum



Tingkat 1 dan 2. Untuk luka perineum tingkat 3 dan 4 dirujuk ke fasilitas 6



pelayanan kesehatan sekunder. Alat-alat yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan jalan lahir antara lain: 1 1. Retractor Weislander’s



Gambar 5. Retractor Weislander’s



2. Forceps gigi (fine & strong)



Gambar 6. Forceps Gigi 3. Needle holder (small and large)



Gambar 7.Needle Holder 4. Forceps Allis



7



Gambar 8. Forceps Allis 5. Forceps arteri



Gambar 9. Forceps arteri 6. Gunting Mitzembaum



Gambar 10. Guntung mitzembaum 7. Gunting pemotong jahitan



Gambar 11. Gunting pemotong jahitan 8. Spekulum Sims



Gambar 12. Spekulum Sims



9. Retraktor dinding samping dalam vagina 8



Gambar 13. Refraktor Vagina 10. Forceps pemegang kasa



Gambar 14. Forceps holder Bahan-bahan yang diperlukan untuk perbaikan jalan lahir antara lain: 1 



Tampon







Kapas besar







Povidon Iodine







Lidocain 1%







Benang catgut / Asam poliglikolik (Dexon, David&Geck Ltd, UK) / Poliglaktin (Vicryl, Ethicon Ltd, Edinburgh, UK)



Manajemen ruptur perineum untuk masing-masing derajatnya, antara lain sebagai berikut : 1,5 1. Robekan perineum derajat 1 Robekan tingkat I mengenai mukosa vagina dan jaringan ikat, tidakperlu dilakukan penjahitan. 9



2. Penjahitan robekan perineum derajat 2 a. Siapkan alat dan bahan. b. Suntikan 10 ml Lidokain 0.5% di bawah mukosa vagina, di bawah kulit perineum dan pada otot-otot perineum. Masukan jarum pada ujung laserasi dorong masuk sepanjang luka mengikuti garis tempat jarum jahitnya akan masuk atau keluar. c. Tunggu 2 menit. Kemudian jepit area tersebut dengan forsep hingga pasien tidak merasakan nyeri. d. Jahit mukosa vagina secara jelujur dengan benang 2-0 mulai dari 1 cm di atas puncak luka di dalam vagina sampai pada batas vagina.Carilah lapisan subkutis persis dibawah lapisan kulit, lanjutkan dengan jahitan subkutikuler kembali keatas vagina, akhiri dengan simpul mati pada bagian dalam vagina.



10



Gambar 15. Penjahitan Mukosa 5 e. Lanjutkan jahitan pada daerah otot perineum sampai ujung luka pada perineum secara jelujur dengan benang 2-0. Lihat ke dalam luka untuk mengetahui letak ototnya. Penting sekali untuk menjahit otot ke otot agar tidak ada rongga di antaranya



Gambar 16. Penjahitan Otot Perineum 5 f. Carilah lapisan subkutikuler persis di bawah lapisan kulit. Lanjutkan dengan jahitan subkutikuler kembali ke arah batas vagina, akhiri dengansimpul mati pada bagian dalam vagina. Potong kedua ujung 11



benang, dan hanya disisakan masing-masing 1 cm. Jika robekan cukup luas dan dalam, lakukan colok dubur, dan pastikan tidak ada bagian rektum terjahit.



Gambar 17. Penjahitan Kulit 5



Ruptur perineum derajat 2, harus di jahit secara cermat. Lapisan otot yang di jahit tidak boleh terdapat rongga (death space). Rongga yang terdapat pada sela jahitan otot memudahkan terbentuknya hematoma di daerah tersebut dan memudahkan terjadinya peradangan serta infeksi oleh flora normal vagina. Jahitan kulit pada ruptur perineum derajat 2 tidak boleh terlalu ketat, untuk mencegah terjadinya edema.6 Penjahitan robekan perineum derajat 31 1. Perbaikan robekan harus dilakukan hanya oleh dokter yang sudah dilatih secara formal (atau dalam supervisi) mengenai perbaikan sfingter ani primer. Perbaikan harus dilakukan di kamar operasi dengan pencahayaan yang baik, peralatan yang memadai, dan kondisi aseptik.



12



a. Anestesi umum atau regional (spinal, epidural, kaudal) menjadi analgesik dan pelemas otot yang bermanfaat dalam evaluasi luasnya robekan. b. Luasnya robekan harus dievaluasi melalui pemeriksaan vagina dan rektal yang berhati-hati. Pada kasus yang jarang ditemui, tipe robekan "buttonhole" terisolasi dapat terjadi di rektum tanpa menyebabkan kerusakan sfingter ani. 2. Diperbaiki secara transvaginal menggunakan jahitan interrupted dengan benang Vicryl. 3. Untuk mengurangi risiko fistula rektovaginal persisten, selapis jaringan perlu disisipkan diantara rektum dan vagina. (Dengan aproksimasi fasia rektovaginal). 4. Kolostomi diindikasikan hanya jika terdapat robekan besar yang mencapai dasar pelvis atau terdapat kontaminasi feses pada luka.



Penjahitan robekan perineum derajat 41 1. Epitel ani yang mengalami robekan diperbaiki dengan jahitan interrupted menggunakan benang Vicryl 3/0 dan disimpul di dalam lumen ani. Perbaikan epitel ani secara subkutikular melalui pendekatan transvaginal juga diketahui memiliki keefektifan yang sama jika simpul terminalnya terikat dengan baik. 2. Otot sfingter diperbaiki dengan 3/0 PDS dyed sutures. a. Benang monofilamen dipercaya dapat mengurangi risiko infeksi dibandingkan dengan benang braided.



13



b. Benang monofilamen non-absorbable seperti nilon atau Prolene (polypropylene) dipilih oleh beberapa dokter bedah kolorektal dalam perbaikan sekunder robekan sfingter. c. Benang non-absorbable dapat menyebabkan abses pada jahitan (terutama pada simpul) dan ujung tajam jahitan dapat menyebabkan ketidaknyamanan. d. Absorpsi sempurna PDS lebih lama dari Vicryl dan kekuatan tensilnya bertahan lebih lama dari Vicryl. e. Untuk mengurangi perpindahan jahitan, ujung jahitan harus dipotong pendek dan tertupi oleh muskulus perinei superfisialis. f. Sebuah RCT menunjukkan tidak ada perbedaan morbiditas terkait jahitan menggunakan benang Vicryl dan PDS pada 6 minggu post partum. 3. Sfingter ani interna harus diidentifikasi dan jika mengalami robekan harus diperbaiki secara terpisah dari sfingter ani eksterna. a. Sfingter ani interna tampak pucat seperti daging ikan mentah sedangkan sfingter ani eksterna berwarna lebih terang, seperti daging merah. b. Ujung-ujung otot yang robek dijepit dengan forsep Allis dan perbaikan endto-end dilakukan dengan jahitan interrupted atau matras menggunakan PDS 3/0. 4. Sfingter ani eksterna harus diidentifikasi dan dijepit dengan forsep Allis karena sfingter ini cenderung mengkerut ketika robek. a. Setelah itu, otot dipisahkan dari lemak iskhioanal menggunakan gunting Mitzembaum. b. Ujung-ujung robekan sfingter ani eksterna kemudian dijahit menggunakan teknik overlap dengan benang PDS 3/0.



14



c. Teknik overlap akan menyebabkan area kontak otot menjadi lebih luas dibandingkan dengan teknik end-to end. d. Wanita dengan perbaikan sfingter ani eksterna secara end-to-end diketahui dapat tetap kontinen tetapi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami inkontinensia pada usia yang lebih lanjut. e. Jika operator tidak familiar dengan teknik overlap atau sfingter ani eksterna hanya robek sebagian (derajat 3a/3b) maka perbaikan end-to-end harus dilakukan menggunakan 2-3 jahitan matras, seperti pada perbaikan sfingter ani interna. 5. Setelah perbaikan sfingter, perineal body perlu direkonstruksi agar dapat mempertahankan sfingter ani yang telah diperbaiki. a. Perineum yang pendek dapat menyebabkan sfingter ani menjadi lebih rentan terhadap trauma dalam kelahiran per vaginam berikutnya. b. Kulit vagina harus dijahit dan kulit perineum diaproksimasi dengan jahitan subkutikular menggunakan benang Vicryl 3/0. 6. Pemeriksaan rektovaginal harus dilakukan untuk memastikan perbaikan telah sempurna dan memastikan bahwa seluruh tampon atau kapas telah dikeluarkan. 7. Catatan yang lengkap mengenai temuan dan perbaikan harus dibuat. Setelah tindakan, berikan informasi kepada pasien dan suami, mengenai, cara menjaga kebersihan daerah vagina dan sekitarnya setelah dilakukannya penjahitan di daerah perineum, yaitu antara lain: 1 1. Menjaga perineum selalu bersih dan kering. 2. Hindari penggunaan obat-obatan tradisional pada perineum.



15



3. Cuci perineumnya dengan sabun dan air bersih yang mengalir 3 sampai 4 kali per hari. 4. Kembali dalam seminggu untuk memeriksa penyembuhan lukanya. Ibu harus kembali lebih awal jika ia mengalami demam atau mengeluarkan cairan yang berbau busuk dari daerah lukanya atau jika daerah tersebut menjadi lebih nyeri. 2.5



Komplikasi Ruptur Perineum



Komplikasi yang dapat terjadi pada ruptur perineum antara lain:3 1. Perdarahan Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penatalaksanaan yang cermat selama kala satu dan kala empat persalinan sangat penting. Menilai kehilangan darah yaitu dengan cara memantau tanda vital, mengevaluasi asal perdarahan, serta memperkirakan jumlah perdarahan lanjutan dan menilai tonus otot. 2. Fistula Fistula dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya karena perlukaan pada vagina menembus kandung kencing atau rectum. Jika kandung kencing luka, maka urin akan segera keluar melalui vagina. Fistula dapat menekan kandung kencing atau rectum yang lama antara kepala janin dan panggul, sehingga terjadi iskemia.



3. Hematoma 16



Jika terjadi hematoma, buka dan alirkan. Apabila tidak ada tanda infeksi dan perdarahan berhenti, luka dapat ditutup kembali.



Gambar 18. Hematoma Vulva 4. Infeksi Jika terdapat tanda infeksi, buka dan alirkan luka. Singkirkan jahitan yang terinfeksi dan bersihkan luka.Jika infeksi berat, berikan antibiotika. Infeksi berat tanpa disertai jaringan dalam: amoksisilin oral 3 x 500 mg (5 hari) dan metronidazol oral 3 x 500 mg (5 hari).



17



BAB 3 LAPORAN KASUS 3.1



Anamnesis Identitas Pasien Nama



: Ny. D



Usia



: 22 tahun



Agama



: Islam



Suku



: Minang



Pendidikan



: SMA



Pekerjaan



: Ibu rumah tangga



Alamat



: Jalan Raya Padang Gelanggang Matur



MRS



: 16 April 2019



Keluhan Utama: Pasien datang ke IGD rujukan dari Puskesmas Matur dengan diagosis G1P0A0H0 parturien aterm kala 1 fase aktif Riwayat penyakit sekarang  Pasien datang ke IGD rujukan dari Puskesmas Matur dengan diagosis G1P0A0H0 parturien aterm kala 1 fase aktif  Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari sejak 11 jam sebelum masuk rumah sakit  Keluar lendir bercampur darah (+) sejak 11 jam sebelum masuk rumah sakit  Keluar air-air yang banyak dari kemaluan (-)  Keluar darah yang banyak dari kemaluan (-)  Pasien tidak haid sejak 9 bulan yang lalu.  HPHT : 14 Juli 2018, TP : 21 April 2019  Riwayat hamil muda : mual (-), muntah (-), ppv (-) Riwayat penyakit dahulu Tidak ada riwayat menderita penyakit jantung, hipertensi, diabetes mellitus, ginjal dan hepar. 18



Riwayat penyakit keluarga Tidak ada riwayat keluarga menderita penyakit keturunan, kejiwaan, dan menular. Riwayat menstruasi 



menarche usia 13 tahun







siklus haid 28 hari, teratur







lama haid 6 hari dengan 2-3 kali ganti pembalut







hari pertama haid terakhir: 14 Juli 2018







taksir persalinan 21 April 2019



Riwayat perkawinan Perkawinan pertama, umur menikah 21 tahun, dan lama menikah 10 bulan Riwayat obstetrik 1. Sekarang Ante Natal Care Pasien sudah 3 kali memeriksakan kehamilannya di bidan di wilayah tempat tinggal pasien. Kontrasepsi Pasien tidak pernah menggunakan metode kontrasepsi apapun. Riwayat Kebiasaan Tidak ada riwayat merokok, minum alkohol, narkoba. 3.2 Pemeriksaan Fisik Antropometri



: Berat badan : 60 kg, tinggi badan : 145 cm



Keadaan Umum : Baik Kesadaran



: Composmentis Cooperative



Tanda Vital 19







Tekanan Darah



: 110/70 mmHg







Frekuensi Nadi



: 82x/menit, kuat angkat







Frekuensi Nafas



: 20x /menit, regular







Suhu



: 36,7oC, aksiler



Status Generalis 



Kepala



: normocephal







Mata



: konjunctiva anemis (-/-), Sclera ikterik (-/-)







Hidung



: Pernapasan cuping hidung (-)







Telinga



: gangguan pendengaran (-)







Mulut



: bibir sianosis (-)







Leher



: JVP 5-2 cm H2O, pembesaran KGB (-)







Thoraks Paru  Inspeksi : Pergerakan dada simetris, retraksi ICS (-)  Palpasi



: Gerakan dada simetris.



 Perkusi



: sonor



 Auskultasi : suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-) Jantung  Inspeksi



: Ictus cordis tidak tampak



 Palpasi



: Ictus cordis teraba



 Perkusi



: batas jantung kanan : linea sternalis dekstra, batas



jantung kiri : linea midclavicula ICS V sinistra  Auskultasi : S1 S2 normal, regular, murmur (-), gallop (-) Abdomen 



Inspeksi



: membesar arah memanjang, linea nigra (+)







Palpasi



: Soefl, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (-), nyeri tekan perut kanan bawah (-)







Perkusi







Auskultasi : bising usus (+) normal



: timpani



Ekstremitas 



Superior



: Hangat (+), edema (-)



20







Inferior



: Hangat (+), edema (-)



Status obstetri 



Inspeksi



: membesar arah memanjang, linea nigra (+)







Palpasi



: tinggi fundus uteri 32 cm, 2 jari dibawah proceccus



xyphoideus  Leopold I : teraba bokong  Leopold II : teraba punggung disebelah kanan ibu  Leopold III : teraba kepala  Leopold IV : sudah masuk PAP 



DJJ



: 137 x/ menit







His



: 2-3 x/20-40”/sedang







Taksir berat janin : (32-12) x 155 = 3100 gram







Inspekulo : tidak dilakukan







Pemeriksaan dalam : pembukaan 4-5 cm (4-5 jari longgar), presentasi kepala, Hodge I-II , ketuban masih utuh, lendir dan darah (+)



3.3 Pemeriksaan Laboratorium Darah Rutin 1.



Leukosit



: 20.190 /mm3



2.



Hemoglobin:



13,1 gr/dl



3.



Hematokrit



: 38,1 %



4.



Trombosit



: 321.000 /mm3



Hemostasis 5.



PT/APTT :



8,9 / 29,1 detik



Serologi 6.



HbsAg



: non reaktif



7.



Anti HIV



: non reaktif



Kesan : Leukositosis, PT memendek 3.4 Diagnosis kerja G1P0A0H0 parturien aterm kala 1 fase aktif Janin hidup tunggal intrauterin



21



Rencana 



Ikuti persalinan



3.5 LAPORAN PERSALINAN  Jam 21.00 WIB terlihat adanya tanda kala II persalinan, yaitu ibu merasa ada dorongan kuat untuk meneran, tekanan meningkat pada rektum dan vagina, perineum tampak menonjol, vulva dan sfingter ani membuka.  Menyiapkan pertolongan persalinan: Pastikan kelengkapan peralatan, bahan dan obat-obatan esensial untuk menolong persalinan dan menatalaksana komplikasi ibu dan bayi baru lahir. Untuk resusitasi tempat datar, rata, bersih, kering dan hangat, 3 handuk/kain bersih dan kering, alat penghisap lendir, lampu sorot 60 watt dengan jarak 60 cm di atas tubuh bayi 



Menggelar kain di atas perut ibu dan tempat resusitasi serta ganjal bahu bayi







Menyiapkan oksitosin 10 unit dan alat suntik steril sekali pakai di dalam partus set



 Memastikan pembukaan lengkap dan keadaan janin baik : Membersihkan vulva dan perineum, menyekanya dengan hati-hati dari depan ke belakang dengan menggunakan kapas atau kasa yang dibasahi air DTT 



Jika introitus vagina, perineum atau anus terkontaminasi tinja, bersihkan dengan seksama dari arah depan ke belakang







Buang kapas atau kasa pembersih (terkontaminasi) dalam wadah yang tersedia



Ganti sarung tangan jika terkontaminasi (dekontaminasi, lepaskan dan rendam dalam larutan klorin 0,5% )  Lakukan periksa dalam untuk memastikan pembukaan lengkap. Bila selaput ketuban belum pecah dan pembukaan sudah lengkap maka lakukan amniotomi



22



 Periksa denyut jantung janin (DJJ) setelah kontraksi/ saat relaksasi uterus untuk memastikan bahwa DJJ dalam batas normal (120 - 160x/ menit)  Mendokumentasikan hasil-hasil pemeriksaan dalam, DJJ dan semua hasil-hasil penilaian serta asuhan lainnya pada partograf.  Menyiapkan ibu dan keluarga untuk membantu proses bimbingan meneran.  Beritahukan bahwa pembukaan sudah lengkap dan keadaan janin baik dan bantu ibu dalam menemukan posisi yang nyaman dan sesuai dengan keinginannya. 



Tunggu hingga timbul rasa ingin meneran, lanjutkan pemantauan kondisi dan kenyamanan ibu dan janin, dan dokumentasikan semua temuan yang ada.







Jelaskan pada anggota keluarga tentang bagaimana peran mereka untuk mendukung dan memberi semangat pada ibu untuk meneran secara benar.



 Laksanakan bimbingan meneran pada saat ibu merasa ada dorongan kuat untuk meneran: 



Bimbing ibu agar dapat meneran secara benar dan efektif







Dukung dan beri semangat pada saat meneran dan perbaiki cara meneran apabila caranya tidak sesuai







Bantu ibu mengambil posisi yang nyaman sesuai pilihannya (kecuali posisi berbaring terlentang dalam waktu yang lama)







Anjurkan ibu untuk beristirahat diantara kontraksi







Anjurkan keluarga memberi dukungan dan semangat untuk ibu







Berikan cukup asupan cairan peroral (minum)







Menilai DJJ setiap kontraksi uterus selesai







Segera rujuk jika bayi belum atau tidak akan segera lahir setelah 120 menit (2 jam) meneran (Primigravida) atau 60 menit (1 jam) meneran (multigravida)



 Lindungi perineum dengan tangan kanan (dibawah kain bersih dan kering), ibu jari pada salah satu perineum dan 4 jari tangan pada sisi perineum yang lain. Tangan kiri menahan kepala bayi untuk menahan posisi tetap fleksi saat keluar secara bertahap melewati introitus dan 23



perineum. Anjurkan ibu untuk meneran perlahan atau bernapas cepat dan dangkal.  Periksa kemungkinan adanya lilitan tali pusat dan ambil tindakan yang sesuai jika hal itu terjadi dan segera lanjutkan proses kelahiran bayi  Jika tali pusat melilit leher secara longgar, lepaskan lewat bagian atas



kepala bayi.  Jika tali pusat melilit leher secara kuat, klem tali pusat di dua tempat



dan potong di antara dua klem tersebut. 



Pada pasien ini tidak terdapat lilitan tali pusat.



 Tunggu kepala bayi melakukan putaran paksi luar secara spontan.  Setelah kepala melakukan putaran paksi luar, pegang secara biparietal. Anjurkan ibu untuk meneran saat kontraksi. Dengan lembut gerakkan kepala ke arah bawah dan distal hingga bahu depan muncul di bawah arkus pubis dan kemudian gerakkan arah atas dan distal untuk melahirkan bahu belakang.  Setelah kedua bahu lahir, geser tangan bawah ke perineum ibu untuk menyanggah kepala, lengan dan siku sebelah bawah. Gunakan tangan atas untuk menelusuri dan memegang lengan dan siku sebelah atas (sanggah susur).  Setelah tubuh dan lengan lahir, penelusuran tangan atas berlanjut kepunggung, bokong, tungkai dan kaki. Pegang kedua mata kaki (masukkan telunjuk diantara kaki dan pegang masing-masing mata kaki dengan ibu jari dan jari-jari lainnya).  Jam 21.30 WIB lahir bayi perempuan, bayi lahir cukup bulan, menangis kuat dan bergerak aktif.  Bayi dikeringkan mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lainnya kecuali bagian tangan tanpa membersihkan verniks. Ganti handuk basah dengan handuk / kain yang kering. Biarkan bayi diatas perut ibu.  Memeriksa kembali perut ibu untuk memastikan tidak ada lagi bayi dalam uterus.  Memberitahu ibu bahwa ia akan disuntik oksitosin agar uterus berkontraksi baik.



24



 Dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir, suntikan oksitosin 10 unit IM (intramaskuler) di 1/3 paha atas bagian distal lateral (lakukan aspirasi sebelum menyuntikan oksitosin).  Setelah 2 menit pasca persalinan, jepit tali pusat dengan klem kira-kira 3 cm dari pusat bayi. Mendorong isi tali pusat kearah distal (ibu) dan jepit kembali tali pusat pada 2 cm distal dari klem pertama  Pemotongan dan pengikatan tali pusat: Dengan satu tangan. Angkat tali pusat yang telah dijepit (lindungi perut bayi), dan dilakukan pengguntingan tali pusat diantara 2 klem tersebut. Kemudian dilakukan pengikatan tali pusat.  Agar ada kontak kulit ibu ke kulit bayi, bayi diletakkan tengkurap di dada ibu. Lurus kan bahu bayi sehingga bayi menempel di dada / perut ibu. Usahakan kepala bayi berada di antara payudara ibu dengan posisi lebih rendah dari puting payudara ibu dan selimuti bayi  Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5 -10 cm dari vulva.  Meletakkan satu tangan diatas kain pada perut ibu, di tepi atas simfisis, untuk mendeteksi pelepasan plasenta. Tangan lain meregangkan tali pusat.  Saat uterus berkontraksi, tegangkan tali pusat dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati kearah dorso kranial.  Timbul tanda-tanda pelepasan plasenta:  Fundus uteri naik  Tali pusat yang terlihat menjadi lebih panjang ± 3 cm  Bentuk uterus menjadi membulat dan keras  Disertai pengeluaran darah dengan tiba-tiba  Saat plasenta muncul di introitus vagina, plasenta dilahirkan dengan kedua tangan. Memegang dan memutar plasenta hingga selaput ketuban terpilin kemudian lahirkan dan tempatkan plasenta pada wadahnya.



25



 Setelah plasenta dan selaput ketuban lahir, dilakukan masase uterus dengan meletakkan telapak tangan pada difundus dan dilakukan gerakan melingkar hingga uterus berkontraksi.  Memeriksa plasenta dan selaput plasenta, Plasenta lahir spontan, lengkap 1 buah, berat ± 500 gram, insersi parasentralis. Evaluasi kemungkinan laserasi pada vagina dan perineum (dengan 2 jari telunjuk dan tengah tangan kanan membuka liang vagina untuk memeriksa apakah ada laserasi atau robekan perineum dan vagina yang menyebabkan perdarahan). Lakukan penjahitan bila laserasi menyebabkan perdarahan.  Melakukan asuhan pasca persalinan, yaitu :  Memastikan uterus berkontraksi baik  Melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD)  Dilakukan penimbangan bayi, memberikan tetes mata antibiotika dan vit K.  Berat badan bayi



: 3000 gram



 Panjang badan bayi: 51 cm  Evaluasi perdarahan : perdarahan ± 50 cc Diagnosis : P1A0H1 post partus spontan Sikap : 



Kontrol KU,VS, PPV, Kontraksi







Awasi kala IV



Terapi : 



IVFD RL 20 tpm drip met : oxy 1:1







Inj. Ceftriaxon 2x1 amp







Paracetamol 3x500 mg







Sulfat ferosus 2x180 mg







Vit. C 3x50 mg



Rencana: Pindah ke bangsal. 26



3.6 KALA IV Jam



Waktu



TD



Nadi



Suhu



TFU



Kontraksi



ke



uterus 2 jari



1



21.45



130/80



92x



36,80



Kandung Darah kemih Kosong



Baik



Normal



bpst 2 jari 22.00



130/80



96x



36,80



Baik



Kosong



Normal



Baik



Kosong-



Normal



Baik



Kosong



Normal



Baik



Kosong



Normal



Baik



Kosong



Normal



bpst 2 jari 22.15



120/80



88x



36,80 bpst 2 jari



22.30



120/80



84x



36,80 bpst 2 jari



2



22.45



120/70



80x



36,70 bpst 2 jari



23.15



120/80



80x



36,70 bpst



Laporan Kelahiran Bayi: Pada pukul 21.30 WIB lahir bayi jenis kelamin laki-laki dengan Apgar score 8/9, berat badan 3000 gram dan panjang badan 51 cm, anus ada dan tidak didapatkan kelainan yang lain. Penatalaksanaan: 



Ikuti persalinan



Follow Up di Bangsal Kebidanan Tanggal/Jam 17-04-2019



 Keadaan umum : sakit sedang  Kesadaran



: composmentis



 Keluhan



: tidak ada keluhan, ASI (+)



 Tanda-tanda vital : TD = 110/70 mmHg, N = 86 x/menit, RR = 18 x/menit,



27



T = 36,7 oC  Konjungtiva pucat : (-/-)  Abdomen



: TFU 3 jari dibawah pusat, kontraksi baik



 Genitalia



: V/U tenang, PPV (-)



Penatalaksanaan :  Cefixime 2 x 200 mg  SF tablet 1 x 180 mg  Vit C 2 x 50 mg  Antalgin tablet 3x 1 18-03-2019



 Keadaan umum : baik  Kesadaran



: komposmentis



 Keluhan



: tidak ada keluhan, ASI (+)



 Tanda-tanda vital : TD = 120/80 mmHg, N =880 x/menit, RR = 20 x/menit, T = 36,7 oC  Konjungtiva pucat : (-/-)  Abdomen



: TFU 3 jari dibawah pusat, kontraksi baik



 Genitalia



: V/U tenang, PPV (-)



Penatalaksanaan :  Cefixime 2 x 200 mg  SF tablet 2 x 180 mg  Vit C 2 x 50 mg  Asam mefenamat tablet 3x 500 mg



BAB 4 DISKUSI



28



Dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis dengan G1P0A0H0 parturien aterm kala 1 fase aktif.. Dari anamnesis didapatkan pasien sudah mengeluhkan nyeri pinggang menjalar ke ari-ari dengan keluar lendir bercampur darah dari kemaluan sejak 11 jam sebelum masuk rumah sakit, pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien dalam keadaan umum lemah, sadar, tanda vital dalam batas normal. Dari hasil laboratorium mendapatkan hasil dengan kesan leukositosis. Pada pasien ini dilakukan episiotomi dengan indikasi perineum kaku. Ruptur perineum pada pasien ini



merupakan ruptur



perineum tigkat II yakni robekan tidak hanya pada mukosa vagina tetapi juga mengenai otot bulbocavernosus yang merupakan otot yang membentuk badan perineum, dan cincin hymen. Ruptur ini paling sering terjadi pada primigravida, akibat perineum masih lebih kaku dibanding pada kehamilan berikutnya. Pada perineum yang kaku yang tidak dilakukan episiotomi, maka ruptur perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin terpaksa lahir ke belakang daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipitobregmatika. Episiotomi tidak rutin dilakukan karena memiliki risiko perdarahan, hematoma, infeksi, dan nyeri pascapersalinan. Indikasi episiotomi adalah apabila ada gawat janin, penyulit pervaginam, dan adanya jaringan parut pada vagina. Ruptur perineum dapat dibagi menjadi 4 derajat. Pada ruptur derajat 1 tidak dibutuhkan penjahitan. Pada rupture derajat 2 dibutuhkan penjahitan mulai dari mukosa vagina, otot-otot perineum, dan kulit. Ruptur derajat 3 dan 4 merupakan indikasi rujukan ke layanan kesehatan sekunder, karena tindakan repair perineum dengan derajat 3 dan 4 membutuhkan operator yang sudah terlatih. Teknik menjahit yang tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi berupa hematoma. Pasca tindakan repair perineum, pasien harus diedukasi untuk menjaga kebersihan perineum untuk mengurangi risiko infeksi. DAFTAR PUSTAKA



29



1. Ikatan Dokter Indonesia. Ruptur Perineum Tingkat 1-2 dalam Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2014. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia. 2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kala Dua Persalinan dalam Pelatihan Klinik Asuhan Persalinan Normal, 2008. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 3. Rachimhadhi T. Anatomi Alat Reproduksi dalam Ilmu Kebidanan Edisi 4, 2010. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal 115-129. 4. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Daseh JS, et.all.Maternal Anatomy dalam Williams Obstetric 24th Edition, 2014. New York: McGraw Hill. Hal 16-35. 5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Perbaikan Robekan Vagina dan Perineum dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Hal 276-280. 6. Bratakoesuma DS, Angsar MD. Perlukaan pada Alat-alat Genital. Ilmu Kandungan Edisi 3. 2011. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal 323-339.



30