Ruptur Uteri Patofisiologi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH HALAMAN JUDUL



RUPTUR UTERI Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Patofisiologi Kasus Kebidanan Pendidikan Profesi Bidan Semester Ganjil



KELOMPOK 6 ASTRIE SISWITA RANI BHERTA SINTASARI AMALIA RAKHMASARI AFRILIA RIZQI NUERDHIANINGTYAZ DIAS ORCHITA ADIANINGRUM



P07124521095 P07124521096 P07124521098 P07124521100 P07124521104



PRODI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN JURUSAN KEBIDANAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN YOGYAKARTA TAHUN 2021



i



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Penulisan makalah ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah patofisiologi kasus kebidanan pada Program Studi Pendidikan Profesi Bidan Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. Makalah ini terwujud atas bimbingan, pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu dan pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1.



Dr. Yuni Kusmiyati, S.ST.,M.PH selaku Ketua Jurusan Kebidanan



2.



Hesty Widyasih, S.ST.,M.Keb selaku Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Bdian



3.



Atik Ismiyati, SST., M.Keb selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Penulis mengakui bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan



makalah ini. Oleh karena itu penulis berharap kritik dan saran yang membangun guna perbaikan penulisan di masa mendatang. Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga makalah ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu. Yogyakarta, Juli 2021 Penulis



ii



DAFTAR ISI



Contents HALAMAN JUDUL...............................................................................................i KATA PENGANTAR............................................................................................ii DAFTAR ISI.........................................................................................................iii DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................v BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1 A. Latar Belakang..............................................................................................1 B. Rumusan Masalah.........................................................................................2 C. Tujuan...........................................................................................................2 BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................4 A. Anatomi Uterus.............................................................................................4 B. Pengertian Ruptur Uteri................................................................................6 C. Klasifikasi Ruptur Uteri................................................................................7 D. Etiologi dan Faktor Risiko Ruptur Uteri.......................................................8 E. Patofisiologi Ruptur Uteri...........................................................................10 F.



Diagnosis Ruptur Uteri...............................................................................13



G. Komplikasi Ruptur Uteri.............................................................................15 H. Penatalaksanaan Ruptur Uteri.....................................................................15 BAB III PENUTUP.............................................................................................18 A. Kesimpulan.................................................................................................18 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19 LAMPIRAN..........................................................................................................20



iii



DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Lokasi uterus dalam rongga pelvis..........................................................4 Gambar 2 Anatomi uterus........................................................................................5



iv



DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Dokumentasi Kebidanan tentang Ruptur Uteri..................................20 Lampiran 2 Artikel Penelitian................................................................................20



v



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ruptur uteri merupakan suatu kegawatan obstetri yang sangat mengancam nyawa ibu maupun janin. Perkembangan pengetahuan di bidang obstetri dan ginekologi berkontribusi besar dalam menganalisa dan mendiagnosis ruptur uteri yang dapat dilihat dari angka kejadian ruptur uteri yang juga semakin meningkat. Meskipun dalam beberapa kasus ruptur uteri dapat dicegah dengan asuhan antenatal dan asuhan persalinan yang baik, namun dalam beberapa kasus kejadian ruptur uteri tersebut tidak dapat terhindarkan. Parut pada uterus merupakan faktor risiko penting dari terjadinya rupture uteri. Kasus parut uterus dapat disebabkan oleh tindakan operatif dibidang obstetric ataupun ginekologi. Tindakan seksio sesarea merupakan penyumbang utama parut uterus pada kasus obstetri, sedangkan miomektomi merupakan kasus mayoritas bedah ginekologi.1 Mioma uteri merupakan tumor jinak yang sering ditemukan. Sekitar 10% dari wanita usia reproduksi didiagnosis dengan mioma uteri. Beberapa mengeluhkan gejala seperti menoragia, nyeri perut, anemia dan rasa tidak nyaman pada perut. Selain itu, mioma uteri juga dapat menimbulkan komplikasi obstetric seperti nyeri, malposisi fetus, dan plasenta previa. Maka dari itu, sering diperlukan tindakan baik secara medikametosa maupun pembedahan untuk menghilangkan gangguan yang disebabkan oleh mioma uteri tersebut.2,3 Miomektomi merupakan pilihan utama penanganan pada mioma uteri pada pasien yang masih menginginkan untuk mempertahankan fungsi reproduksi. Miomektomi dapat dilakukan dengan cara laparotomi maupun laparoskopi.4 Laparoskopi mulai berkembang pesat dari tahun 1900-an hingga sekarang. Saat ini, banyak tenaga ahli yang merekomendasikan tindakan laparoskopi miomektomi dengan keuntungan yang lebih banyak



1



dibandingkan tindakan laparotomi akan tetapi juga terdapat beberapa efek samping yang dapat muncul dikemudian hari, salah satunya yaitu ruptur uteri spontan pada kehamilan berikutnya.2 Ruptura uteri dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma dan dapat terjadi pada uterus yang utuh atau yang sudah mengalami cacat rahim (pasca miomektomi atau pascasectio caesar) serta dapat terjadi pada ibu yang sedang inpartu (awal persalinan) atau belum inpartu (akhir kehamilan). Kejadian ruptura uteri yang berhubungan dengan cacat rahim adalah sekitar 40% ;r uptura uteri yang berkaitan dengan low segmen caesarean section ( insisi tranversal )adalah kurang dari 1% dan pada classical caesarean section ( insisi longitudinal ) kira kira4% – 7%.4 Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami penyebab, gejala dan tanda serta komplikasi ruptur uteri sehingga dapat menegakkan diagnosa dengan baik dan melakukan persiapan rujukan.



B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana anatomi dari uterus? 2. Apa yang dimaksud dengan rupture uteri? 3. Apa saja klasifikasi dari rupture uteri? 4. Bagaimana Etiologi dari rupture uteri? 5. Bagaimana patofisiologi dari rupture uteri? 6. Bagaimana diagnosis dari rupture uteri? 7. Bagaimana komplikasi yang dapat terjadi pada kasus rupture uteri? 8. Bagaimana penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada kasus rupture uteri?



C. Tujuan 1. Mengetahui anatomi uterus. 2. Mengetahui yang dimaksud dengan rupture uteri. 3. Mengetahui klasifikasi dari rupture uteri. 4. Mengetahui etiologi dari rupture uteri.



2



5. Mengetahui patofisiologi dari rupture uteri. 6. Mengetahui diagnosis dari rupture uteri. 7. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada kasus rupture uteri. 8. Mengetahui penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada kasus rupture uteri.



3



BAB II PEMBAHASAN A. Anatomi Uterus Uterus pada wanita non-gravida terletak di dalam rongga pelvis, dibatasi oleh kendung kemih di bagian depan dan rektum di bagian belakang. Hampir seluruh bagian posterior dari uterus dilapisi oleh lapisan serosa, yakni peritoneum visceralis. Uterus berbentuk seperti buah pir dan terdiri dari dua bagian yang tidak sama besar. Bagian atas, berbentuk segitiga yakni bagian korpus, sementara bagian bawah erbentuk silindris yakni bagian serviks, yang menonjol ke vagina. Bagian yang mengubungkan korpus dan serviks dinamakan dengan ishmus. Selama kehamilan, ishmus memegang peranan penting karena akan berkembang menjadi segmen bawah rahim.5



Gambar 1 Lokasi uterus dalam rongga pelvis Uterus pada pasien nulipara berukuran panjang 6-8 cm sementara pada pasien mutigravida berukuran 9-10cm. Berat uterus kurang lebih 60 gram. Kehamilan akan menstimulasi pertumbuhan uterus melalui hipertrofi serat otot. Sebagian besar uterus terbentuk dari miometrium yang merupakan otot polos yang dihubungkan oleh jaringan ikat elastis. Pembuluh darah miometrium dibungkus oleh anyaman-anyaman otot



4



miometrium, yang pada saat kontraksi akan menekan pembuluh darah tersebut. Hal ini sangat penting, terutama pada partus kala III untuk mencegah perdarahan post partum. Otot miometrium terdiri dari tiga lapis otot polos yang masing-masing lapisan memiliki arah yang berbeda, dimana lapisan paling luar merupakan longitudinal, tengah seperti anyaman dan paling dalam sirkuler. Jumlah otot miometrium bervariasi sesuai dengan lokasinya. Semakin ke caudal jumlah miometrium semakin sedikit.5 Kavum uteri diselubungi oleh endometrium yang terdiri atas jaringan epitel, kelenjar dan struma vaskular. Endometrium akan mengalami perubahan sesuai dengan siklus menstruasi dan kehamilan. Endometrium dibagi menjadi dua lapisan, yakni lapisan fungsionalis, yang akan meluruh selama menstruasi dan lapisan basalis yang akan beregenerasi setelah siklus menstruasi.5



Gambar 2 Anatomi uterus



5



D. Pengertian Ruptur Uteri Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau persalinan pada saat umur kehamilan lebih dari 28 minggu. Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada kehamilan lanjut dan persalinan, selain plasenta previa, solusio plasenta, dan gangguan pembekuan darah. Batasan perdarahan pada kehamilan lanjut berarti perdarahan pada kehamilan setelah 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan, sedangkan perdarahan pada persalinan adalah perdarahan intrapartum sebelum kelahiran. Ruptur Uteri adalah robekan atau diskontinuitas



dinding



rahim



akibat



dilampauinya



daya



regang



miomentrium.. Rupture uteri adalah robeknya dinding uteruspada saat kehamilan atau dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya perioneum visceral. 5,6 Terjadinya rupture uteri pada seorang ibu hamil atau sedang bersalin masih merupakan suatu bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinnya. Kematian ibu dan anak karena rupture uteri masih tinggi. Insidens dan angka kematian yang tinggi kita jumpai dinegara-negara yang sedang berkembang, seperti afrika dan asia. Angka ini sebenarnya dapat diperkecil bila ada pengertian dari para ibu dan masyarakat. Prenatal care, pimpinan partus yang baik, disamping fasilitas pengangkutan dari daerahdaerah perifer dan penyediaan darah yang cukup juga merupakan faktor yang penting. 5 Ibu-ibu yang telah melakukan pengangkatan rahim, biasanya merasa dirinya tidak sempurna lagi dan perasaan takut diceraikan oleh suaminya. Oleh karena itu, diagnosis yang tepat serta tindakan yang jitu juga penting, misalnya menguasai teknik operasi.



6



E. Klasifikasi Ruptur Uteri Klasifikasi ruptur uteri menurut keadaan robek6 1. Ruptur uteri inkomplit (subperitoneal) Ruptur uteri yang hanya dinding uterus yang robek sedangkan lapisan serosa (peritoneum) tetap utuh. 2. Ruptur uteri komplit (transperitoneal) Rupture uteri yang selain dinding uterusnya robek, lapisan serosa (peritoneum) juga robek sehingga dapat berada di rongga perut. Klasifikasi ruptur uteri menurut kapan terjadinya6 1. Ruptur uteri pada waktu kehamilan (ruptur uteri gravidarum) Ruptur uteri yang terjadi karena



dinding uterus lemah yang dapat



disebabkan oleh: a. Bekas seksio sesaria b. Bekas enukleasi mioma uteri c. Bekas kuretase/ plasenta manual d. Sepsis post partum e. Hipoplasia uteri 2. Ruptur uteri pada waktu persalinan (ruptur uteri intrapartum) Ruptur uteri pada dinding uterus baik, tapi bagian terbawah janin tidak maju/ turun yang dapat disebabkan oleh: a. Versi ekstraksi b. Ekstraksi forcep c. Ekstraksi bahu d. Manual plasenta Klasifikasi ruptur uteri menurut etiologinya6 1. Ruptur uteri spontan (non violent)



7



Ruptur uteri yang terjadi karena dinding uterus lemah atau dinding uterus masih baik, tapi bagian terbawah janin tidak maju atau tidak turun. 2. Ruptur uteri traumatika (violent) Ruptur uteri yang terjadi oleh karena adanya rudapaksa pada uterus. 3. Ruptur uteri jaringan parut Ruptur uteri yang terjadi karena adanya locus minoris pada dinding uterus sebagai akibat adanya jaringan parut bekas operasi pada uterus sebelumnya. F. Etiologi dan Faktor Risiko Ruptur Uteri Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus saat kehamilan maupun melahirkan. Ruptur uteri merupakan kejadian yang jarang ditemukan, namun dapat berakibat fatal.7 Insidens ruptur uteri di seluruh dunia diperkirakan sekitar 0,05% dari seluruh kehamilan. Di negara berkembang, insidens ruptur uteri lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju. Sebagai contoh, di Yaman insidensruptur uteri diperkirakan sebesar 0,63%, di Ethiopia sebesar 0,57% sementara di negara maju seperti Australia insidens ruptur uteri didapatkan hampir sepuluh kali lebih rendah, yakni sebesar 0,086%, dan di Irlandia sebesar 0,023%. Ruptur uteri dapat mengakibatkan mortalitas ibu dan bayi. Flamm dkk melaporkan angka mortalitas ibu sebesar 4,2% dan mortalitas bayi sebesar 45%.4 Faktor etiologi ruptur uteri dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: faktor trauma pada uterus, faktor jaringan parut pada uterus, dan faktor yang terjadi secara spontan. Faktor trauma pada uterus meliputi kecelakaan dan tindakan. Kecelakaan sebagai faktor trauma pada uterus berarti tidak berhubungan dengan proses kehamilan dan persalinan misalnya trauma pada abdomen, sedangkan tindakan berarti berhubungan dengan proses kehamilan dan persalinan misalnya versi ekstraksi, ekstraksi forcep, alatalat embriotomi, manual plasenta, dan ekspresi/dorongan. Faktor jaringan parut pada uterus paling sering karena parut bekas seksio sesaria, enukleasi 8



mioma atau miomektomi, histerektomi, histerotomi, histerorafi dan lainlain. Faktor yang menyebabkan ruptur uteri secara spontan misalnya kelainan letak dan presentasi janin, disproporsi sefalopelvik, kelainan panggul, dan tumor pada jalan lahir. 5 Faktor predisposisi 6 : 1. Faktor uterus a. Jaringan parut pada uterus b. Kelaianan kongenital pada uterus 2. Faktor ibu a. Grande/multiparitas b. Usia tua 3. Faktor janin a. Hamil ganda b. Makrosomia c. Letak lintang d. Presentasi bokong 4. Faktor plasenta Kelainan letak dan implantasi plasenta misalnya pada plasenta akreta, inkreta, dan perkreta. 5. Faktor persalinan a. Jarak yang terlalu dekat dengan persalinan sebelumnya b. Induksi persalinan c. Persalinan lama d. Persalinan macet e. Persalinan dengan ekstraksi forcep f. Manual plasenta g. Versi luar h. Dorongan pada fundu Faktor risiko tersering pada ruptur uteri adalah riwayat operasi pada uterus sebelumnya, dengan paling banyak adalah bekas sectio cesarea. Faktor risiko ruptur uteri lainnya antara lain usia, paritas,



9



persalinan lama atau macet, persalinan dengan bantuan instrumen, dan penggunaan obat-obatan untuk induksi atau augmentasi persalinan. 1,4,7,8 Segmen bawah rahim merupakan lokasi tersering terjadinya ruptur uteri (83,3%). Perluasan ruptur ke daerah serviks juga sering ditemukan. Ruptur uteri pada fundus jarang ditemukan, namun dapat terjadi (16,7%). Cedera organ lain seperti kandung kemih dan rektum dapat juga ditemukan bersamaan dengan ruptur uteri.7 G. Patofisiologi Ruptur Uteri Saat his, korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan demikian, dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik ke atas oleh kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi.9 Apabila bagian terbawah janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab (misalnya panggul sempit atau kepala besar) maka volume korpus yang bertambah mengecil pada waktu ada his harus diimbangi perluasan segmen bawah rahim ke atas. Dengan demikian lingkaran retraksi fisiologis semakin meninggi ke arah pusat melewati batas fisiologis menjadi patologis yang disebut lingkaran bandl (ring van bandl). Ini terjadi karena rahim tertarik terus menerus ke arah proksimal sedangkan bagian distalnya tertahan oleh serviks yang dipegang ditempatnya oleh ligamentum ligamentum pada sisi belakang (ligamentum sakrouterina). Jika his berlangsung terus menerus kuat, tetapi bagian terbawah janin tidak kunjung turun lebih ke bawah, maka lingkaran retraksi semakin lama semakin tinggi dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas dan dindingnya menipis. Ini menandakan telah terjadi ruptur uteri iminens dan rahim terancam robek. Pada saat dinding segmen bawah rahim robek



10



spontan dan his berikutnya datang, terjadilah perdarahan yang banyak (ruptur uteri spontan).5,9 Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea lebih sering terjadi terutama pada parut pada bekas seksio sesarea klasik dibandingkan dengan parut bekas seksio sesarea profunda. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang tenang pada saat nifas memiliki kemampuan sembuh lebih cepat sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea klasik juga lebih sering terjadi pada kehamilan tua sebelum persalinan dimulai sedangkan pada bekas seksio profunda lebih sering terjadi saat persalinan.10 Ruptur uteri biasanya terjadi lambat laun pada jaringan-jaringan di sekitar luka yang menipis kemudian terpisah sama sekali. Disini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terjadi ruptur uteri inkomplit. Pada peristiwa ini perdarahan banyak terkumpul di ligamentum latum dan sebagian lainnya keluar.10 Dalam patofisiologi terjadinya ruptur uteri, dapat ditinjau apakah terjadi dalam masa hamil atau dalam masa persalinan, apakah terjadi pada rahim yang utuh atau pada rahim yang cacat, dan sebagainya. Tinjauan ini tidak penting dari sudut klinis akan tetapi sangat penting dalam menentukan



pilihan



operasi



apakah



dilakukan



histerektomi



atau



histerorafia. Dibawah diuraikan tinjauan tersebut dari beberapa aspek: 5,10,11 1. Aspek anatomi Berdasarkan lapisan dinding rahim yang terkena, ruptur uteri dibagi kedalam ruptur uteri komplit dan ruptur uteri inkomplit. Pada ruptur komplit ketiga lapisan dinding rahim ikut robek, sedangkan pada yang inkomplit lapisan serosanya atau perimetrium masih utuh. 2. Aspek Sebab Berdasarkan sebab mengapa terjadi robekan pada rahim, ruptur uteri dibagi ke dalam ruptur uteri spontan, ruptur uteri violent dan ruptur uteri traumatika. Ruptur uteri spontan terjadi pada rahim yang utuh oleh karena kekuatan his semata. Sedangkan ruptur uteri violent



11



disebabkan ada manipulasi tenaga tambahan lain seperti induksi atau stimulasi partus dengan oksitosin atau sejenis, yang menyebabkan dorongan yang kuat pada fundus dalam persalinan. Ruptur uteri traumatika disebabkan oleh trauma pada abdomen seperti kekerasan dalam rumah tangga atau kecelakaan lalu lintas. 3. Aspek keutuhan rahim Ruptur uteri dapat terjadi pada uterus yang masih utuh. Tetapi bisa terjadi juga pada uterus yang memiliki cacat seperti pada luka parut bekas bedah sesar atau parut jahitan ruptur uteri yang pernah terjadi sebelumnya (histerorafia), miomektomi yang dalam sampai ke rongga rahim, metroplasti, rahim yang rapuh akibat telah banyak meregang misalnya pada grandemmultipara atau pernah hidramnion atau hamil ganda, uterus yang kurang berkembang kemudian menjadi hamil dan sebagainya. 4. Aspek waktu Yang dimaksud dengan waktu disini adalah dalm masa hamil atau pada waktu bersalin. Ruptur uteri dapat terjadi pada masa kehamilan, misalnya karena traua atau rahim yang cacat, sering pada beda sesar klasik. Kebanyakan ruptur uteri terjadi dalam masa persalinan kala I atau kala II dan pada partus percobaan bekas seksio sesarea, terlebih pada kasus yang hisnya diperkuat dengan oksitosin atau prostaglandin yang sejenis. 5. Aspek sifat Rahim bisa robek tanpa menimbulkan gejala yang jelas seperti pada ruptur yang terjadi pada bekas parut bedah sesar klasik dalam masa hamil tua. Parut itu merekah sedikit demi sedikit dan pada akhirnya robek tanpa menimbulkan perdarahan yang banyak dan rasa nyeri yang tegas. Sebaliknya, kebanyakan ruptur uteri terjadi dalam waktu yang sangat cepat dengan tanda-tanda serta gejala-gejala yang jelas dan akut. Misalnya ruptur uteri yang terjadi pada kala I atau kala II akibat dorongan atau pacuan oksitosin. Ketuban ikut robek dan janin



12



terdorong masuk ke dalam rongga peritoneum, terjadi perdarahan internal yang banyak dan perempuan bersalin tersebut merasa sangat nyeri dan syok. 6. Aspek Paritas Ruptur uteri dapat terjadi pada perempuan yang baru pertama kali hamil sehingga sedapat mungkin padanya diusahakan histerorafia apabila lukanya rata dan tidak terinfeksi. Terhadap ruptur uteri pada multipara umunya lebih baik dilakukan histereektomi atau jika keadaan umumnya jelek dan luka robekan pada uterus tidak luas dan tidak compang camping, robekan pada uterus dijahit kembali dilanjutkan tubektomi. 7. Aspek gradasi Ruptur uteri timbul secara perlahan, kecuali pada kecelakaan. Pada kecelakaan atau trauma bisa terjadi ruptur uteri yang mendadak. Peristiwa robekan yang umumnya terjadi pada segmen bawah rahim didahului oleh his yang kuat tanpa kemajuan dalam persalinan sehingga batas antara korpus dan segmen bawah rahin yaitu lingkaran retraksi yang fisiologis naik dan bertambah tinggi menjadi lingkaran bandl yang patologis, sementara ibu yang melahirkan itu meras sangat cemas dan ketakutan oleh karena menahan rasa nyeri his yang kuat. Pada saat itu penderita berada pada stadium ruptur uteri iminens. Apabila keadaan yang demikian berlanjut dan tidak terjadi atonia uteri sekunde, maka pada gilirannya dinding segmen bawah rahim yang sudah sangat tipis itu robek. Peristiwa ini disebut ruptur uteri spontan. H. Diagnosis Ruptur Uteri Ruptur uteri dibagi menjadi 2, yakni ruptur uteri komplit dan inkomplit. Pada ruptur uteri komplit terdapat separasi pada seluruh lapisan dinding uterus. Sementara pada ruptur uteri inkomplit terdapat separasi hanya pada otot uterus dengan peritoneum viseral yang masih intak.4 Gejala yang ditimbulkan ruptur uteri bervariasi, antara lain : syok hipovolemik, nyeri perut, dan kematian janin dalam rahim. Seringkali,



13



gejala klasik ruptur uteri yaitu nyeri perut akut, perdarahan pervaginam, hilangnya kontraksi uterus, serta perburukan kondisi janin tidak didapatkan pada pasien. Nyeri yang semakin memberat dan perdarahan pervaginam kadang disertai dengan syok hipovolemik. Namun, pada beberapa kasus gangguan denyut jantung janin yang ditandai dengan bradikardia dan atau adanya deselerasi merupakan satu-satunya gejala yang muncul pada ruptur uteri.4,7 Ruptur uteri pada uterus yang belum pernah mengalami riwayat operasi sebelumnya seringkali merupakan suatu kejadian gawat darurat yang mengakibatkan kematian janin dalam rahim, kerusakan dinding uterus yang parah dan bahkan kematian ibu akibat kehilangan darah masif. Sementara, diagnosis ruptur uteri pada uterus dengan riwayat operasi sebelumnya biasanya lebih sulit karena gejala yang ditimbulkan bervariasi mulai dari gangguan pola denyut jantung janin, perdarahan pervaginam, dan nyeri perut.8 Penegakkan diagnosis pada kasus rupture uteri 6 1. Anamnesis a. Adanya riwayat partus yang lama atau macet b. Adanya riwayat partus dengan manipulasi oleh penolong. c. Adanya riwayat multiparitas d. Adanya riwayat operasi pada uterus (misalnya seksio sesaria. enukleasi mioma atau miomektomi, histerektomi, histeritomi, dan histerorafi) 2. Gambaran Klinik Keadaan umum penderita tidak baik, dapat terjadi anemia sampai syok (nadi filipormis, pernapasan cepat dangkal, dan tekanan darah turun). 3. Pemeriksaan Luar: a. Nyeri tekan abdominal b. Perdarahan per vaginam c. Kontraksi uterus biasanya hilang



14



d. Pada palpasi bagian janin mudah diraba di bawah dinding perut ibu atau janin teraba di samping uterus e. Di perut bagian bawah teraba uterus kira-kira sebesar kepala bayi f. DJJ biasanya negatif (bayi sudah meninggal) g. Terdapat tanda-tanda cairan bebas h. Defans muskular menguat 4. Pemeriksaan Dalam: a. Pada ruptur uteri komplit 1) Perdarahan pervaginam disertai perdarahan intra abdomen sehingga didapatkan tanda cairan bebas dalam abdomen. 2) Pada pemeriksaan pervaginal bagian bawah janin tidak teraba lagi atau teraba tinggi dalam jalan lahir, selain itu kepala atau bagian terbawah janin dengan mudah dapat didorong ke atas hal ini terjadi akrena seringkali seluruh atau sebagian janin masuk ke dalam rongga perut melalui robekan pada uterus. 3) Kadang-kadang kita dapat meraba robekan pada dinding rahim dan jika jari tangan dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba omentum, usus, dan bagian janin. 4) Pada kateterisasi didapat urin berdarah. b. Pada ruptur uteri inkomplit 1) Perdarahan biasanya tidak terlalu banyak, darah berkumpul di bawah peritoneum atau mengalir keluar melalui vagina. 2) Janin umumnya tetap berada dalam uterus. 3) Pada kateterisasi didapat urin berdarah. I. Komplikasi Ruptur Uteri Syok hipovolemik merupakan penyebab kematian tersering dari ruptur uteri. Ketepatan dalam mendiagnosis dan rujukan tepat waktu ke pusat kesehatan diharapkan dapat membantu menurunkan angka morbiditas akibat ruptur uteri.1 Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan dari ruptur uteri adalah disseminated intravascular coagulation (DIC), dan septikemia.7



15



Pada uterus dengan bekas operasi sebelumnya, insidens ruptur uteri lebih sering terjadi dibanding uterus tanpa riwayat operasi sebelumnya, namun angka mortalitas ibu yang terjadi lebih rendah.7 Kematian janin berhubungan erat dengan interval waktu sejak terjadinya ruptur uteri sampai bayi lahir. Hasil terbaik akan didapatkan bila bayi lahir 15-30 menit sejak ditemukannya tanda gawat janin. 7 J. Penatalaksanaan Ruptur Uteri Penatalaksanaan yang tepat pada ruptur uteri akan dapat menghindarkan kematian ibu dan janin. Hal tersebut dapat dicapai dengan kewaspadaan,



penegakkan



diagnosis



yang



tepat,



transfusi



untuk



menggantikan kehilangan darah yang cepat dan teknik operasi yang baik.4 Penatalaksanaan yang bisa dilakukan yaitu6 1. Perbaiki keadaan Umum a. Atasi syok dengan pemberian cairan dan darah b. Berikan antibiotika c. Oksigen 2. Laparatomi a. Histerektomi Histerektomi dilakukan, jika: 1) Fungsi reproduksi ibu tidak diharapkan lagi 2) Kondisi buruk yang membahayakan ibu b. Repair uterus (histerorafi) Histerorafi dilakukan jika: 1) Masih mengharapkan fungsi reproduksinya 2) Kondisi klinis ibu stabil 3) Ruptur tidak berkomplikasi Asuhan antenatal yang baik merupakan kunci utama untuk melakukan skriring pasien yang berisiko tinggi mengalami ruptur uteri. Sejak awal kehamilan, pasien dengan risiko tinggi mengalami ruptur uteri seperti pada pasien dengan parut uterus harus diberikan informasi tentang risiko terjadinya rupture uteri sehingga harus melahirkan di rumah sakit



16



yang memiliki fasilitas ruang operasi dan persiapan darah. Selain itu, kewaspadaan yang tinggi akan gejala ruptur uteri dan rujukan yang tepat waktu diharapkan akan dapat mengurangi angka mortalitas dan morbiditas yang diakibatkan oleh ruptur uteri. 4 Tindakan operatif diperlukan pada seluruh kasus ruptur uteri. Pilihan tindakan yang dapat dilakukan antara lain penjahitan (repair) atau histerektomi, serta dapat dilakukan tindakan tambahan, seperti penjahitan kandung kemih. Pilihan tindakan dilakukan berdasarkan jenis, lokasi, seberapa luas kerusakan yang terjadi pada uterus, serta keinginan pasien untuk mempertahankan fungsi reproduksi. Paska dilakukannya penjahitan uterus, jaringan uterus yang rusak dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi, perdarahan, dan DIC. 4 Pada wanita yang mengalami ruptur uteri, tidak disarankan untuk kembali hamil. Namun, pada beberapa kasus dimana terjadinya kehamilan paska rupture uteri, baik disengaja maupun tidak disengaja, angka rekurensi bervariasi antara 5- 33%. Dan sebagian besar klinisi menyarankan untuk dilakukan seksio sesarea elektif pada pasien dengan riwayat ruptur uteri. 4



17



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Ruptur uteri merupakan salah satu ben¬¬tuk perdarahan yang terjadi pada ke¬ha¬mil¬an lanjut dan persalinan yaitu robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau persalinan pada saat umur kehamilan lebih dari 28 minggu. Faktor etiologi ruptur uteri dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: faktor trauma pada uterus, faktor jaringan parut pada uterus, dan faktor yang terjadi secara spontan. Selain itu pula, faktor prediposisi terjadinya ruptur uteri dipengaruhi oleh faktor uterus, ibu, janin, plasenta, dan persalinan. Di Indonesia, ruptur uteri merupakan salah satu penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi. Untuk mencegah hal tersebut terjadi maka harus dapat mendiagnosis adanya ruptur uteri sehingga dapat segera menatalaksana dengan cepat serta meningkatkan kecermatan dan kehatihatian dalam memimpin persalinan. Selain itu pula tatalaksana yang baik terhadap syok dan infeksi sangat penting dalam penanganan ruptur uteri.



18



DAFTAR PUSTAKA 1. Ahmed, M.A., Elkhatim, G.E.S., Ounsa, G.E., Mohamed EY. Rupture uterus in Sudanese women : management and maternal complication. World J Pharm Pharm Sci. 2015; 2. Kim, M.S., Uhm, Y.K., Kim, J.Y., Jee, B.C., and kim YB. Obstetric outcomes after uterine myomectomy: Laparoscopic versus laparotomic approach. Obs Gynecol Sci. 2013; 3. Clayes, J., Hellendoorn, I., Hamerlynck, T., Bosteels J. The risk of uterine rupture after myomectomy: a systematic review of the literature and metaanalysis. Gynecol Surg. 2014; 4. Brahmantara BN. Ruptur Uteri pada Kehamilan Trimester II Paska Laparoskopi Miomektomi. Progr Pendidik Dr Spes Obstet dan Ginekol Fak Kedokt Univ Udayana. 2015; 5. Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Spong, C.Y., Dashe JS, Hoffmas, B.L., Casey, B.M., Sheffield J. Williams Obstetrics. 24th ed. Mc Graw Hill Education; 2014. 25–31 p. 6. Sari RDP. Uterine Rupture. Obstet Gynecol Dep Fac Med Lampung Univ. 7. Ara, J., Naheed, K., Kazmi, F., and Sial SS. Uterine rupture : a castatrophic complication. J Rawalpindi Med Coll. 2010; 8. Hofmeyr, G.J., Say, L., Gulmezoglu AM. WHO systematic review of maternal mortality and morbidity: the prevalence of uterine rupture. BJOG. 2005; 9. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011. 10.



Locatelli A, Regalia AL GA. Risk of Induction of Labour in Women with a Uterine Scar from Previous low Transverse Cesarean Section. BJOG. 2014;



11.



Norwitz, Errol dan Schorge J. At a Glance Obstetri dan Ginekologi. III. Jakarta: Erlangga; 2012.



19



LAMPIRAN Lampiran 1 Dokumentasi Kebidanan tentang Ruptur Uteri



Lampiran 2 Artikel Penelitian



20