S2 2018 404394 Chapter1 [PDF]

  • Author / Uploaded
  • ade
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 1 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Studi



mengenai



perkembangannya



di



masyarakat



Tionghoa



Tanjungpinang



masih



dan relatif



sejarah jarang



ditemukan. Meski demikian terdapat beberapa peneliti Indonesia dan asing yang menulis mengenai masyarakat ini. Sebut saja peneliti Indonesia yakni Anastasia Wiwit Swastiwi yang telah mengkaji etnis Tionghoa di Tanjungpinang sebagai pedagang perantara pada periode 1945-1965,1 dan Aswandi Syahri yang telah menghasilkan dua artikel pendek, yaitu tentang kebakaran di Senggarang dan tentang Kapiten Oei Banhok. 2 Adapun peneliti asing yang kajiannya menyinggung tentang Kepulauan Riau dan Tanjungpinang beserta masyarakat Tionghoanya adalah Eric Tulisan Anastasia Wiwik Swastiwi lebih menonjolkan posisi etnis Tionghoa sebagai pedagang perantara yang memasok barang-barang dari luar Tanjungpinang seperti Singapura dan Johor untuk masyarakat setempat yakni etnis Melayu dan Bugis. Anastasia Wiwik Swastiwi, Peranan Pedagang Perantara Cina Dalam Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Tanjungpinang Tahun 1945-1965, (Tanjungpinang: BKSNT/Depdikbud, 1999/2000) 2 Aswandi Syahri adalah seorang sejarawan Kepulauan Riau yang sering menulis di berbagai media massa serta tertarik di bidang sejarah Melayu. Dua karyanya tersebut adalah “Ketika Senggarang terbakar 110 tahun yang lalu” Tanjungpinang Pos, Jumat 7 Maret 2014; dan “Mengunjungi Oei Banhok Kapiten Cina Riau di Tanjungpinang 1833”, Tanjungpinang Pos, 22 Februari 2013. 1



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 2 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



Tagliacozzo, Xu Xiadong dan Jeroen Touwen. Eric Tagliacozzo 3 mengkaji tentang perdagangan “rahasia” dan penyelundupan di daerah-daerah perbatasan termasuk di Kepulauan Riau pada masa Hindia Belanda. Sementara itu, Xu Xiadong4 membahas tentang proses terbentuknya hubungan segitiga ekonomi antara Singapura, Johor dan Kepulauan Riau (SIJORI) sejak tahun 1870 hingga 1970an. Sayangnya, karya ini tidak membahas secara spesifik mengenai etnis Tionghoa di Tanjungpinang, baik dari segi ekonomis maupun sosial-budaya. Adapun Jeroen Touwen mengkaji tentang perkembangan ekonomi di pulau-pulau luar Jawa termasuk di Kepulauan Riau pada masa Pemerintahan Hindia Belanda.5 Seperti dua karya sebelumnya karya Touwen ini juga tidak membahas secara spesifik aktivitas masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang. Gambaran



awal



tentang



Tanjungpinang



dan



masyarakat



Tionghoa diberikan oleh George Windsor Earl, seorang pengusaha Inggris yang memiliki bisnis gambir di sana. Dalam perjalanannya Eric Tagliacozzo, Secret Traders Porous Borders: Smuggling and States Along a Southeast Asian Frontier 1865-1915, (New Haven & London: Yale University Press, 2005) 4 Xu Xiadong, “Genesis as a Growth Triangle in South East Asia: A Study of economic connections between Singapore, Johor and Riau Islands 1870-1970s”, PhD Thesis, Universitas Leiden, 2015, http://hdl.handle.net/1887/360622015-11-04 diakses pada 24/08/17. 5 Jeroen Touwen, Extremes in the Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer Islands of Indonesia, 1900-1942, (Leiden: KITLV Press, 2001). 3



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 3 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



untuk meninjau gudang gambir miliknya di Tanjungpinang pada tahun 1833, ia menggambarkan keadaan Tanjungpinang sebagai sebuah kota yang dikelilingi oleh pulau-pulau kecil berwarna hijau, di mana terdapat gudang gambir dan permukiman penduduk yang mayoritasnya adalah etnis Tionghoa. 6 Penggambaran dari Earl tersebut menunjukkan pentingnya Tanjungpinang sebagai sebuah pelabuhan



yang



didominasi



oleh



etnis



Tionghoa.



Meskipun



demikian, tulisannya tersebut tidak menjelaskan lebih jauh mengenai masyarakat Tionghoa yang ada di sana. Berdasarkan dari beberapa tulisan di atas, dapat dikatakan bahwa sejarah masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang pada masa kolonial



masih



membutuhkan



kajian



lebih



lanjut.



Sejarah



perkembangan masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang dengan berbagai permasalahannya menarik untuk ditelusuri, mengingat Tanjungpinang



adalah



salah



satu



bagian



dari



kawasan



di



Kepulauan Riau yang secara geografis berbatasan langsung dengan Singapura, sebuah dominion Inggris yang berkembang pesat sebagai pusat perekonomian regional sejak abad ke-19. Selain itu, George Windsor Earl, The Eastern seas or voyages and adventures in the Indian archipelago in 1823-33-34, comprising a tour of the island of java- visits to Borneo, the malay peninsula, siam also an account of the present state of Singapore with observations on the commercial resources of the archipelago, (London: Wm Hallen and Co, 1837), hlm. 141. lihat juga pada Aswandi Syahri, “Mengunjungi Oei Banhok Kapitan Cina Riau di Tanjungpinang 1833”, Tanjungpinang Pos, 22-2-2013, hlm.9. 6



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 4 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



Tanjungpinang dihuni oleh penduduk yang beragam, yaitu Melayu, Bugis, Jawa, Arab, dan India, sehingga etnis Tionghoa sejak awal kedatangannya di pulau tersebut harus berinteraksi dengan berbagai kelompok yang berbeda tersebut. Dengan demikian, etnis Tionghoa berkembang menjadi masyarakat tersendiri ditengah kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang kompleks di Tanjungpinang. Menurut Carl A Trocki, Orang Cina pertama kali datang ke Tanjungpinang



secara



massal



pada



tahun



1740.



7



Mereka



didatangkan oleh bangsawan Bugis, Daeng Celak (Bugis dipertuan muda II) untuk bekerja di perkebunan gambir yang ada di Senggarang. Dalam perkembangannya orang-orang Cina tersebut bertambah jumlahnya dan bekerja tidak hanya di kebun-kebun gambir milik bangsawan Bugis tetapi juga bangsawan Melayu. Sejak awal, Senggarang memang merupakan pusat perkebunan gambir yang memerlukan pelabuhan untuk mengirimkan hasil perkebunannya



tersebut



ke



berbagai



wilayah.



Untuk



itu,



Tanjungpinang berkembang menjadi kota pelabuhan, sekaligus Carl A Trocki, “The Origins of the Kangchu System 1740-1860”, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society Vol 49, no.2 (230), 1976, hlm. 135-136. Menurut sumber yang lain, orang Cina datang pertama kali di Pulau Bintan bersamaan dengan ekspedisi Ceng Ho pada tahun 1412. Pulau Bintan adalah pulau terbesar yang ada di Kepulauan Riau. Asumsinya adalah terdapat anak buah kapal Cheng Ho ada yang tinggal dan menetap di Pulau Bintan. Anastasia Wiwit, op.cit, hlm 28 7



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 5 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



pusat administrasi, 8 yang menyediakan sarana dan prasarana untuk aktivitas pengiriman-penerimaan barang, serta gudang untuk penyimpanan hasil bumi dari Senggarang. Jadi, dapat dikatakan bahwa hubungan antara wilayah Senggarang dan Tanjungpinang saling melengkapi. Dari



sisi



masyarakat



Tionghoanya,



wilayah



Senggarang



didominasi oleh subetnik Teochiu yang memiliki ketrampilan di bidang agraris, sedangkan di Tanjungpinang didominasi oleh subetnik



Hokkian



yang



memiliki



ketrampilan



dibidang



perdagangan. Oleh karena itu, Senggarang dikenal sebagai Chao-Po (kotanya orang Teochiu) dan Tanjungpinang sebagai Fu-Po (kotanya orang Hokkian).9 Kota Tanjungpinang sendiri semakin berkembang pada awal abad ke-20. Hal itu terjadi seiring diperkenalkannya berbagai kebijakan kolonial baru yang berbeda dengan periode sebelumnya, saat mana Pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan Tanjungpinang dijadikan sebagai ibukota Residentie Riouw en Onderhoorigheden (Residen Riau dan daerah taklukannya) pada tanggal 23 September 1828 dengan wilayah administratifnya meliputi afdeeling Lingga, afdeeling Karimon, afdeeling Batam, afdeeling Tanjungpinang dan afdeeling Pulau Tujuh. Lihat dalam Tj. Bezemer S, Beknopte Encyclopedia van Nederlandsch Indie naar den tweeden druk der encyclopedia van Nederlandsch Indie, (Leiden: S-Gravenhage Martinus Nijhoff,1921), hlm 458-459. 9 Denys Lombard and Salmon Claudine, “Review” Ng Chin-Keong, “The Chinese in Riau A Community on an unstable and restrictive frontier”, in Archipel, Volume 17, 1979, pp.185-186. 8



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 6 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



eksploitatif terhadap sumber daya alam dan manusianya tanpa adanya pembaharuan di berbagai bidang (pendidikan, ekonomi, birokrasi dan infrastruktur). Kebijakan baru yang bertujuan untuk mengubah sistem dan birokrasi pemerintah sebelumnya ini dikenal dengan sebutan Politik Etis.10 Meski demikian, Politik Etis secara umum hanya ditujukan untuk kepentingan orang-orang Pribumi daripada Tionghoa. Pemerintah kolonial merancang kebijakan tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan penduduk pribumi diberbagai bidang terutama pendidikan maupun ekonomi. Dengan demikian penduduk pribumi diharapkan bisa mengimbangi dominasi



orang-orang



Tionghoa



diberbagai



sektor



ekonomi.



Perhatian pemerintah kolonial seperti itu tidak dirasakan oleh etnis Tionghoa hingga mendorong munculnya gerakan sosial, politik dikalangan penduduk Tionghoa di Hindia Belanda yang diilhami oleh



gerakan



nasionalisme



di



Cina



Daratan.



11



Gerakan



nasionalisme Tionghoa berkembang di Batavia dan kemudian diikuti oleh masyarakat Tionghoa yang ada di berbagai wilayah Hindia Belanda, termasuk di Kota Tanjungpinang. Sumarsono Mestoko, Pendidikan Indonesia dari Jaman ke Jaman, RI: Depdikbud, 1989, hlm. 107. Rusli Amran, Padang Riwayatmu Dulu, (Jakarta: CV Yasaguna,1988), hlm. 61 11 THHK School Djakarta, Buku Kenangan Sekolah THHK/Pa Hoa, (Jakarta: Yayasan Pancaran Hidup, 2001), hlm. 67-70. 10



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 7 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



Tanjungpinang merupakan kota dan pusat administrasif di Residentie Riouw en Onderhoorigheden yang memiliki masyarakat Tionghoa



yang



besar.



Berdasarkan



kajian



Mely



G



Tan,



Tanjungpinang merupakan kota yang didominasi oleh etnis Tionghoa dengan persentase sebesar 58,86%, terbesar di antara kota lainnya di Hindia Belanda pada tahun 1906-1910.



12



Keunggulan demografi ini tidak terlepas dari keberadaan pelabuhan di Kota Tanjungpinang sebagai jalur masuk imigran dari Cina Daratan yang semakin intensif akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Beberapa penjelasan di atas menjadi landasan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perubahan-perubahan dalam aspek sosial, ekonomi dan politik masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang pada awal abad ke-20. B. Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, studi ini akan membahas mengenai perubahan



sosial,



ekonomi



dan



politik



yang



terjadi



pada



masyarakat Tionghoa yang ada di Tanjungpinang selama periode ini. Dari latar belakang yang telah di uraikan di atas tampak bahwa masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang mengalami mobilitas ekonomi yang penting dari kuli ke tauke dan perubahan-perubahan sosial dan sistem kangchu ke sistem kapitan. Tampak pula bahwa Mely G Tan, Golongan etnis Tionghoa di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979), hlm.xiii 12



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 8 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



ada perubahan dalam polarisasi politik masyarakat Tionghoa dari yang berkiblat pada nasionalis dan komunis. Dari permasalahan pokok ini, maka pertanyaan pokok adalah: 1. Mengapa dan bagaimana perubahan itu terjadi? 2. Faktor apa saja yang menyebabkan perubahan itu terjadi? Pembahasan



mengenai



masyarakat



Tionghoa



di



Tanjungpinang ini dibatasi oleh dua batasan yakni spasial dan temporal.



Batasan



spasial



akan



mengambil



wilayah



Kota



Tanjungpinang yakni Tanjungpinang dan Senggarang. Alasan pemilihan ke dua wilayah ini, karena keduanya merupakan satu kesatuan administratif baik pada masa kolonial maupun hingga saat ini, di bawah wilayah administrasi Kota Tanjungpinang. Pemilihan dua lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa etnis Tionghoa lebih terkonsentrasi di dua kawasan tersebut. Adapun lingkup temporal penulisan ini akan dimulai pada tahun 1825 hingga 1930an. Tahun 1825 menjadi awal periode penelitian dengan alasan terbentuknya sistem Kapitan sebagai bagian dari administrasi kolonial serta hasil dari traktat London (1824) yang membagi wilayah kekuasaan Inggris dan Belanda. Untuk mengakhiri penulisan tesis ini maka tahun 1930an dijadikan sebagai batas dari penulisan karena merupakan Pemerintahan



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 9 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



Hindia Belanda melarang seluruh aktivitas serikat rahasia di Tanjungpinang. Dengan demikian tulisan ini, dapat menambah kajian akademis tentang



etnis



Tionghoa



di



Tanjungpinang,



mengungkapkan



perubahan apa saja terhadap etnis Tionghoa baik sosial ekonomi dan politik di Tanjungpinang C. Tinjauan Pustaka Historiografi



mengenai



Tanjungpinang



dan



masyarakat



Tionghoanya masih relatif terbatas jumlahnya, khususnya yang ditulis oleh peneliti Indonesia. Beberapa literatur mengenai etnis Tionghoa di Tanjungpinang, salah satunya adalah karya Anastasia Wiwit Lestari yang berjudul Peranan Pedagang Perantara Cina Dalam Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Tanjungpinang Tahun 1945-1965. Tulisan ini menjelaskan bagaimana peranan pedagang perantara yang didominasi oleh etnis Tionghoa dipengaruhi oleh perubahan politik dari periode awal kemerdekaan hingga tahun 1965. Pada periode kemerdekaan hingga tahun 1954 aktivitas perekonomian di Tanjungpinang masih berorientasi ke Singapura dan Malaysia, terlihat dari penggunaan mata uang asing seperti dollar dan ringgit sebagai alat tukar yang sah. Baru kemudian pada tahun 1963, saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia maupun dengan bekas koloni Inggris lain di semenanjung, penggunaan mata



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 10 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



uang dollar Singapura maupun ringgit dihentikan dan digantikan dengan mata uang rupiah.13 Tulisan Wiwit ini setidaknya dapat memberikan gambaran mengenai peranan etnis Tionghoa sebagai pedagang perantara di Tanjungpinang sejak 1945 hingga 1965, meskipun jauh sebelum periode tersebut etnis Tionghoa sebenarnya sudah memainkan peranannya



sebagai



pedagang



perantara.



Oleh



karena



itu,



bagaimana etnis Tionghoa Tanjungpinang hidup dalam sebuah masyarakat serta menjalankan aktivitas sosial, budaya dan lainnya pada periode-periode sebelumnya perlu untuk diteliti lebih lanjut. Mengenai



jaringan



perdagangan



etnis



Tionghoa



di



daerah-daerah pulau perbatasan (border island) dapat dilihat dari tulisan Eric Tagliacozzo, yang berudul Secret Traders Porous Borders: Smuggling and States Along a Southeast Asian Frontier 1865-1915.14 Menurut Tagliacozzo, aktivitas perdagangan “rahasia” dan



penyelundupan



di



kawasan



perbatasan



atau



wilayah



pulau-pulau terluar yang jauh dari kekuasaan kolonial seringkali terjadi. Banyak faktor yang terlibat di dalamnya seperti, letak geografis, lemahnya pengawasan, dan keterlibatan elit lokal. Tagliacozzo, mengemukakan bahwa etnis Tionghoa di Kepulauan Riau juga ikut serta dalam aktivitas semacam ini. Akan tetapi, 13 14



Anastasia Wiwik Swastiwi, op.cit. Eric Tagliacozzo, op,cit.



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 11 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



pembahasannya mengenai etnis Tionghoa hanya berfokus pada jaringan dagang dan “penyelundupan” termasuk di Tanjungpinang tersebut, tidak diiringi dengan penjelasan mereka sebagai sebuah masyarakat. Oleh karena itu, bagaimana masyarakat Tionghoa Tanjungpinang terbentuk, siapa mereka, darimana asalnya serta aspek lainnya seperti aspek sosial, budaya dan ekonomi masih memerlukan kajian lebih lanjut. Satu-satunya tulisan yang membahas mengenai etnis Tionghoa secara spesifik di Riau adalah tulisan Ng Chin Keong yang berjudul The Chinese In Riau – A Community On An Unstable and Restrictive Frontier.15 Tulisan ini merupakan bagian dari research project series yang disponsori oleh Nanyang University. Chin Keong memulai dengan



Tanjungpinang



yang



mulanya



merupakan



pusat



administrasi dan ibukota provinsi yang kemudian pindah ke Pekanbaru pada tahun 1962. Ia mampu menjelaskan jejak awal proses kedatangan awal etnis Tionghoa dengan menggunakan menterjemahkan inskripsi Tionghoa baik pada papan di klenteng maupun di batu yang berada 4 kilometer dari Kota Tanjungpinang. Penulis juga mencoba untuk menjelaskan aktivitas ekonomi di mana Senggarang sebagai penghasil gambir dengan orang-orang



Ng Chin Keong, The Chinese In Riau: A Community On An Unstable and Restrictive Frontier, Research Project Series, (Nanyang University, December 1976). 15



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 12 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



Teochiu



sebagai



pekerja



maupun



pemilik



perkebunan



dan



orang-orang Hokkian sebagai pedagang di Tanjungpinang. Dia juga menganalisis 2 bentuk kepemimpinan yakni kepemimpinan yang dibentuk oleh kolonial di mana kapitan dengan para pengikutnya dan kepemimpinan oleh secret societies (serikat rahasia) dengan pengikutnya di sisi lain. Sayangnya, hasil tulisan Chin Keong ini memiliki beberapa kekurangan yakni dari segi sumber dan periodesasi.



Dari



segi



sumber,



ia



tidak



menggunakan



sumber-sumber arsip Belanda dan Inggris yang tentunya akan memberikan banyak hal mengenai etnis Tionghoa lokal dan hubungannya dengan Singapura. Sumber yang digunakanpun tidak diberi penjelasan dari mana ia peroleh. Kedua, periodesasi penelitiannya lebih fokus pada periode setelah kemerdekaan jika dibandingkan dengan periode kolonial. Sebagai pembanding, karya Mary Somers Heidhues yang berjudul Timah Bangka dan Lada Mentok: Peran Masyarakat Tionghoa dalam Pembangunan Pulau Bangka Abad XVIII s/d Abad XX 16 menjelaskan tentang peran etnis Tionghoa sebagai kuli di pertambangan timah dan perkebunan lada di Pulau Bangka pada abad ke-18 hingga abad ke-20. Heidhues, tidak hanya membahas peranan masyarakat Tionghoa dan segala aspek kehidupannya Mary F. Somers Heidhues, Timah Bangka dan Lada Mentok: Peran Masyarakat Tionghoa dalam Pembangunan Pulau Bangka Abad XVIII s/d Abad XX, (Jakarta: Yayasan Nabil, 2008). 16



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 13 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



saja, namun ia juga sedikit membahas mengenai hubungan Kepulauan Riau dan Bangka dalam



perdagangan timah. Dalam



konteks itu, Heidhues mengungkapkan adanya peran etnis Tionghoa tidak hanya dalam tindakan penyelundupan biji timah dari Bangka dengan menggunakan perahu-perahu kecil untuk kemudian dilebur di Lingga yang dilakukan oleh etnis Tionghoa. Menurut Heidhues, wilayah Kepulauan Riau merupakan sarang bagi para perampok, bajak laut, penyelundup dan perdagangan budak. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan yang menarik mengenai bagaimana dengan keberadaan etnis Tionghoa di Tanjungpinang, apakah kemudian mereka juga ikut serta menjadi bagian dari „dunia bawah tanah tersebut, dan jika ya mengapa hal itu bisa terjadi. Buku lain dari Mary Somers yang menjadi referensi penulis adalah Penambang Emas, Petani dan Pedagang di “Distrik Tionghoa Kalimantan Barat.17 Tulisan ini memberikan gambaran yang jelas mengenai etnis Tionghoa dari sisi perubahan peranan ekonomis mereka di Kalimantan Barat seiring dengan perubahan kebijakan, dari pekerja tambang emas hingga menjadi kongsi besar yang memiliki



kekuasaan



dan



wilayah.



Namun



akibat



kebijakan



Mary F. Somers Heidhues, Penambang Emas, Petani dan Pedagang di “Distrik Tionghoa Kalimantan Barat, (Jakarta: Yayasan Nabil, 2008). 17



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 14 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



Pemerintah Hindia Belanda yang membubarkan kongsi terjadi perubahan peran ekonomis sebagian etnis Tionghoa yang beralih ke pertanian dan perdagangan. Buku ini juga memberikan gambaran tentang bagaimana kongsi dalam menjaga kelompok dan ciri khas kultural mereka sebagai upaya untuk melakukan proteksi terhadap eksistensi masyarakatnya. Tulisan tentang masyarakat Tionghoa lainnya dihasilkan oleh Donald Earl Willmott yang berjudul The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia,18 Buku ini membahas tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat etnis Tionghoa di Semarang. Willmott menggunakan teori perubahan sosio-kultural untuk melihat perubahan secara menyeluruh dalam kehidupan etnis Tionghoa yang terdiri dari sosial, budaya, ekonomi, agama dan politik. Willmott juga menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi pada masyarakat Tionghoa ini disebabkan karena pengaruh kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda, relasi mereka dengan Etnis Jawa sebagai mayoritas, dan pergulatan internal etnis Tionghoa sendiri yang menginginkan adanya perubahan dalam diri mereka.



Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, (New York: Cornell University Press, 1960). 18



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 15 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



Selanjutnya,



untuk



mengetahui



bagaimana



pengaruh



pergantian kekuasaan terhadap masyarakat Tionghoa, maka tesis ini menjadikan karya Nasrul Hamdani dengan judul “Masyarakat Cina di Medan: Dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960” sebagai referensi utama. Dalam karyanya ini Nasrul menunjukkan bahwa perubahan kekuasaan memberikan pengaruh terhadap masyarakat Cina di Medan, baik dalam hal sosial, budaya, ekonomi dan politik. Pergantian



kekuasaan



dari



Pemerintah



Hindia



Belanda,



Pendudukan Jepang, Proklamasi Kemerdekaan hingga Revolusi memberikan



pengaruh



dikeluarkan



terhadap



terhadap



berbagai



masyarakat



Cina,



kebijakan serta



yang



bagaimana



masyarakat Cina berupaya untuk mempertahankan diri dan berperan dalam setiap perubahan yang terjadi. Buku Mona Lohanda yang berjudul The Kapitan China of Batavia19 dapat menjelaskan bagaimana sebuah masyarakat diatur oleh struktur sosial bentukan Pemerintah Hindia Belanda. Mona menjelaskan bahwa terbentuknya sistem kekuasaan tersebut seperti Mayor, Kapitan dan Letnan di Batavia merupakan tiruan dari hal yang serupa di Malaka. Dalam pelaksanaannya, tiap etnis pendatang



yang



memiliki



pengaruh



akan



diangkat



sebagai



pemimpin dengan diberi pangkat seperti Mayor, Kapitan, dan Mona Lohanda, The Kapitan Cina of Batavia, (Jakarta: Djambatan-KITLV, 2001). 19



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 16 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



Letnan. Pemimpin dari Vreemde Oosterlingen (Timur Asing seperti Tionghoa, Arab dan India) akan diberi pangkat Kapitan, sedangkan bumiputera diberi pangkat kommandant (bertahan hingga 1828). Pangkat Kapitan untuk etnis Tionghoa tetap bertahan lama seiring dengan menguatnya posisi dan peran mereka dalam struktur masyarakat kolonial, terutama dalam perdagangan. Untuk itu penting untuk diketahui apakah posisi kapiten Cina di dalam struktur



bentukan



Pemerintah



Hindia



Belanda



ini



juga



berpengaruh terhadap masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang. Any Rahmayani dalam bukunya “Permukiman Tionghoa di Singkawang:



Dari



Masa



Kongsi



Hingga



Masa



Kolonial”,



20



membahas tentang proses perubahan permukiman Tionghoa di Singkawang dari masa kongsi hingga kolonial dengan berbagai faktor pendukungnya, seperti mata pencaharian dan kesamaan daerah



asal.



Any



Rahmayani



juga



menyinggung



tentang



permukiman Tionghoa dengan berbagai aktivitas penduduknya sebagai bagian dari penduduk di Singkawang. Any Rahmayani menggunakan Tionghoa



yang



konsep diiringi



perkembangan oleh



wilayah



perkembangan



permukiman ekonomi



dan



perkembangan penduduk. Ia membagi atas permukiman pasar dan permukiman nelayan. Permukiman pasar menyesuaikan diri sesuai Any Rahmayani, Permukiman Tionghoa di Singkawang: Dari Masa Kongsi Hingga Masa Kolonial, (Yogyakarta: Ombak, 2014). 20



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 17 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



dengan fungsinya sebagai pusat komersil, perdagangan seperti bangunan modern yang sudah terbuat dari beton atau batu. Sedang permukiman



nelayan



menyesuaikan



dengan



permukiman



penduduk setempat, masih sederhana dan terbuat dari kayu dan beratapkan daun rumbia. Tulisan Any ini cukup banyak mengulas proses historis mengenai permukiman awal Tionghoa dengan segala aspek pembangunan infrastruktur dari terbentuknya kongsi hingga Pemerintah Hindia Belanda. Dari tinjauan pustaka tersebut, dapat disimpulkan bahwa kajian sejarah mengenai etnis Tionghoa di Tanjungpinang periode abad 19 hingga 20 belum banyak dilakukan oleh sejarawan. Beberapa karya di atas yang membahas mengenai sejarah masyarakat Tionghoa di berbagai wilayah seperti Medan, Bangka, dan



Kalimantan



Barat,



menunjukkan



berbagai



keunikan



masyarakat Tionghoa, dengan proses dan fokus permasalahan yang berbeda . Oleh karena itu, penelitian mengenai masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang yang dilakukan tesis ini diharapkan bisa menjadi sumbangan berarti bagi penulisan sejarah masyarakat Tionghoa di Nusantara. D. Pendekatan dan Kerangka Konseptual Penulisan



sejarah



tidak



akan



dapat



dilakukan



tanpa



menggunakan kerangka konsep ataupun teori untuk menjadikan



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 18 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



penulisan sejarah yang lebih analitis. Langkah penting dalam membuat tulisan sejarah analitis adalah suatu kerangka pemikiran yang menyangkut berbagai konsep ataupun teori. Untuk itu kita perlu mendapatkan bantuan dari konsep ataupun teori dari ilmu-ilmu sosial lainnya. Agar supaya narasi yang dibangun tidak saja berupa peristiwa namun juga terdapat analisis mengenai hubungan sebab dan akibat menjadi jelas, maka digunakan pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis digunakan untuk melihat peristiwa sosial yang dikaji seperti golongan sosial mana yang berperan, hubungan dengan golongan lain, nilai-nilai yang mendasari suatu golongan dan lainnya. Pendekatan ini juga berfungsi untuk menjelaskan struktur sosial masyarakat dan aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan kekuasaan, penguasaan atas tanah dan hubungan yang terbentuk dalam masyarakat tersebut.



21



Pendekatan ini juga



berkaitan dengan perubahan sosial yang digunakan untuk melihat perubahan dalam masyarakat Tanjungpinang dengan adanya pergantian kekuasaan dari masa Pemerintahan Hindia Belanda ke Pendudukan Jepang. Edy Budi Santoso, “Perubahan Sistem Penguasaan Tanah dan Pengaruh Sosialnya Terhadap Petani di Pedesaan Boyolali Tahun 1911-1939,” Tesis, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada), 2012, hlm. 28-29. 21



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 19 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



Etnis Tionghoa adalah sebuah entitas dari etnis tertentu yang memiliki keunikan dan ciri khas yang membedakannya dengan etnis Melayu, Bugis, dan Etnis lainnya, mulai dari bahasa, bentuk fisik dan lainnya. Untuk melihat etnis Tionghoa sebagai sebuah etnis, maka kita perlu untuk melihat makna dan arti dari kata etnis itu sendiri. Menurut Wang Gungwu, etnisitas memiliki kaitan dengan ras, budaya serta identitas yang berbeda dengan etnis lainnya. 22 Dari pengertian etnis di atas dapat dilihat bahwa masyarakat Tionghoa memiliki pandangan akan budaya, agama dan sosial yang berbeda dengan masyarakat lokal. Melly G. Tan menjelaskan dari proses kedatangan dan pembagian penduduk etnis Tionghoa berdasarkan asal kedatangannya yakni: a. Orang Hokkian yang berasal dari Fukien Selatan b. Orang Teociu yang tinggal di pedalaman Swatow dan Sepanjang Pantai Barat Daya Kota Pelabuhan Fukien. c. Hakka yang berasal dari pedalaman Propinsi Kwangtung d. Kanton yang berasal dari delta raya Sungai Mutiara atau Sungai Barat.23



Jennifer Cushman & Wang Gungwu, Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti 1991), hlm.9. 22



Melly G. Tan, Golongan etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: PT. Gramedia, 1979), hlm. 6-8. 23



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 20 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



Pembagian etnis Tionghoa ini berdasarkan asal kedatangannya, tentunya akan memberikan pandangan baru mengenai perbedaan bahasa, dialek dan budaya yang lebih kurang berbeda satu sama lain. Dengan adanya akulturasi dan asimilasi yang terjadi di antara etnis Tionghoa dengan Etnis lainnya, tentu akan memberi warna tersendiri dan berbeda satu sama lain di berbagai daerah. Selain membahas mengenai asal kedatangan etnis Tionghoa ini, Ong Hok Ham juga membahas tentang kategori etnis Tionghoa berdasarkan kategori peranakan dan totok. 24 Perbedaan etnis Tionghoa ini tentunya juga akan mempengaruhi interaksi serta pola yang terbentuk pada masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang. Perbedaan diantara keduanya ini dapat dibedakan berdasarkan kepada



waktu



kedatangan,



pekerjaan



serta



pendidikannya.



Pernyataan dari Ong Hok Ham akan Tionghoa totok dan peranakan diperkuat oleh Andaya tentang etnis Tionghoa di Tanjung Pinang adalah kombinasi antara Tionghoa campuran dan totok.25 Sementara



itu,



untuk



memperkuat



analisis



mengenai



perubahan aktivitas ekonomi, maka pada penelitian ini memakai dua konsep yaitu



konsep “middleman minority” (minoritas



Onghokham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, (Depok: Masyarakat Bambu, 2009), hlm. 17. 24



Barbaya Andaya, Recreating a Vision daratan dan Kepulauan in Historical Context, in Bijdragen tot de taal land en Volkenkunde Riau in transition 153 (1997) no.4 Leiden, hlm. 17. 25



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 21 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



menengah) dan Vreemde Oosterlingen.



Menurut Anthony Reid,



konsep middleman minority adalah suatu konsep yang menjelaskan etnis



Tionghoa



sebagai



kelompok



menengah



dalam



bidang



perdagangan (Entrepreneur minorities) di Asia Tenggara. Konsep ini dikembangkan berdasarkan bukti-bukti historis bahwa etnis Tionghoa menengah



memiliki yang



kemampuan mampu



sebagai



meluaskan



seorang



aktivitas



minoritas



ekonominya



diberbagai bidang mulai dari memproduksi barang, jual beli, makelar, dan menyediakan modal.26 Posisi masyarakat Tionghoa sebagai middleman minority muncul sebagai akibat dari perkembangan ekonomi dan perubahan politik yang menyebabkan mereka melakukan migrasi ke berbagai belahan dunia, di mana mereka kemudian menggeluti profesi yang berbeda-beda, mulai dari pedagang, penambang dan perkebunan. Mereka juga terdiri dari berbagai tingkatan kelas sosial yang berbeda, ada pedagang besar yang terdiri atas orang-orang kaya, orang yang berpendidikan, maupun dari kalangan orang-orang miskin yang terabaikan.27 Bagi pelaku ekonomi dengan modal dan Anthony Reid, “Entrepreneurial Minorities, Nationalism, and the State”, in Daniel Chirot and Anthony Reid (edited), Essensial Outsiders: Chinese and Jews in the Modren Transformation of South East Asia and Central Europe, (Seattle and London: University of Washington Press, 1997), hlm. 33-42. 27 Anthony Reid, “Entrepreneurial Minorities, Nationalism, and the State”, hlm. 33-34. 26



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 22 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



jaringan yang luas, tentunya akan mudah dalam memperoleh peluang yang lebih besar dalam mendominasi perdagangan. Sedangkan mereka yang tidak memiliki modal dan jaringan, biasanya



akan



berakhir



menjadi



kuli



di



perkebunan



atau



pertambangan. Sejalan dengan pemahaman Reid, menurut Wertheim etnis Tionghoa yang datang ke Asia Tenggara lebih dikenal sebagai minoritas dagang. 28 Terdapat beberapa wilayah, di mana etnis Tionghoa melakukan pekerjaan lebih dari sekedar berdagang, sebagaimana bisa ditemukan di beberapa kawasan yang jarang penduduknya seperti Pantai Timur Sumatera dan Bangka. etnis Tionghoa di kawasan ini biasanya akan lebih menonjol di bidang pertanian, pekerja tambang, petani dan nelayan. Sedangkan kawasan yang padat penduduknya seperti Jawa biasanya akan menempatkan etnis Tionghoa sebagai pedagang. Hal ini disebabkan oleh sistem pemerintahan lokal yang kuat dan adanya larangan kepemilikan tanah bagi orang asing, sehingga mereka sulit untuk memperoleh tanah dan lebih fokus di bidang perdagangan.29



Wertheim, East- West Parallels: Sociological Approach to Modren Asia, (Chicago: Quadrangle Books, 1965), hlm. 43 29 Wertheim, ibid, hlm.43-45, lihat lebih lanjut dalam Charles A Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, hlm. 46. 28



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 23 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



Twang Peck Yang juga menjelaskan adanya dominasi etnis Tionghoa di berbagai bidang pada tahun 1860 dan 1930 dan jumlah kedatangan etnis Tionghoa dari Tiongkok bagian selatan mengalami peningkatan.



Peningkatan



jumlah



etnis



Tionghoa



serta



eksistensinya di awal abad ke 20 telah menciptakan landasan sistem ekonomi yang kuat di daerah mana mereka tinggal. Twang Peck Yang menggunakan Volkstelling 1930 untuk melihat dominasi etnis Tionghoa di berbagai bidang, yang hasilnya menunjukkan bahwa etnis Tionghoa mendominasi kategori industri umum di Jawa dan kategori perdagangan dan industri di Sumatera. 30 Pendapat dari berbagai ahli di atas dapat dijadikan landasan dalam melihat aktivitas ekonomi etnis Tionghoa di Indonesia secara umum dan di Tanjungpinang secara khusus. Selain konsep middleman minority, konsep lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vreemde Oosterlingen (masyarakat timur asing). Vreemde Oosterlingen adalah status kewarganegaraan yang diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada etnis Tionghoa, Arab, India dan masyarakat Timur Asing lainnya. Dalam struktur hierarkhis masyarakat kolonial, kelompok ini berada di lapisan tengah sedangkan masyarakat Eropa Twang Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950, (Yogyakarta: Niagara, 2004), hlm. 39-40. 30



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 24 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



merupakan golongan lapisan pertama dan golongan tiga adalah golongan Bumi Putera (Pribumi/Inlanders) berada pada lapisan sosial terbawah. Sistem penggolongan masyarakat ini memiliki kekhususan sendiri, baik dari segi hukum maupun sosial. 31 Golongan Timur Asing dan Pribumi dapat menaikkan status dirinya secara hukum dengan cara equalisation dan memodernisasi dirinya dengan cara mengikuti pendidikan barat dan memeluk agama kristen. Selain itu, bagi penduduk Golongan Timur Asing untuk menjadi bagian dari masyarakat lokal, maka mereka akan melakukan proses asimilasi dengan masyarakat setempat.32 Selain



itu,



mendapatkan



etnis



Tionghoa



berbagai



pada



akhir



abad



XIX



juga



pembatasan



yang



dilakukan



oleh



Pemerintah Hindia Belanda. Pembatasan ini diantaranya melalui Etnis Tionghoa di atur perkawinannya, kelahiran, kepemilikan harta, kongsi dan kematian melalui badan yang ditunjuk oleh pemerintah. Selain itu, mereka juga diberikan surat yang berisikan identitas dirinya lengkap dengan she (marga), nama, pekerjaan, umur dan tempat tinggalnya (seperti kartu tanda penduduk sekarang), yang semuanya harus melalui kantor pengadilan. Privaatrecht dan Burgerlijke stand buat bangsa Tionghoa, (Batavia: Tjiong Koen bie-electr drukkerij, 1919), hlm 4-114. lihat lebih lanjut, Ming Govaars, Dutch Colonial Education: The Chinese Experience in Indonesia 1900-1942, (Singapore: Chinese Heritage, 2005), hlm. 22 32 Penduduk Hindia menurut Coppel dibagi atas tiga tingkatan yakni, Eropa, Timur Asing (Tionghoa, Arab, India dan lainnya) dan pribumi (inlander). Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 38. Lebih lanjut lihat dalam Erniwati, “Cina Padang dalam Dinamika Masyarakat Minangkabau: Dari Revolusi sampai Reformasi”, Disertasi, (Depok: UI, 2011), hlm. 56 31



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 25 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



sistem penetapan tempat tinggal (wijkenstelsel), sistem surat jalan (passenstelsel) dan pelarangan pemilikan tanah oleh etnis Tionghoa dengan adanya undang-undang agraria pada tahun 1870.33 Sementara itu, prinsip-prinsip sejarah sosial akan digunakan untuk mengungkapkan dampak sosiologis dalam kehidupan etnis Tionghoa dan masyarakat Tanjungpinang pada umumnya. Menurut Kuntowijoyo, kajian sejarah sosial tidak saja membicarakan tentang kelas sosial, namun juga berbicara mengenai masyarakat dan struktur sosialnya. Sejarah sosial juga memanfaatkan teori dan konsep ilmu sosial untuk mempertajam analisisnya mengenai suatu fenomena.34 E. Sumber Penulisan dan Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah metode sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik sumber, analisis dan interpretasi serta penulisan berupa tesis.35 Heuristik



Erniwati, “Cina Padang dalam Dinamika Masyarakat Minangkabau : Dari Revolusi sampai Reformasi”, Disertasi, (Depok: Universitas Indonesia, 2011), hlm.46-47, lihat juga dalam Suhartoko, “Aktivitas Ekonomi Orang-orang Cina di Surabaya 1870-1930”, tesis, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2003), hlm. 9-10. 34 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 39-43 35 Heuristik adalah serangkaian kegiatan awal yang dilakukan oleh peneliti sejarah dalam mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan penelitiannya, baik berupa dokumen maupun 33



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 26 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



yang dilakukan adalah mengumpulkan sumber dari studi pustaka dan arsip untuk mendapatkan sumber primer dan sumber skunder. Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh data sebagai landasan pandangan guna melihat kehidupan sosial, budaya dan ekonomi etnis Tionghoa di Tanjungpinang. Studi pustaka dilakukan di beberapa perpustakaan, baik perpustakaan pribadi, perpustakaan Fakultas



Ilmu



Budaya



UGM,



Perpustakaan



Pusat



UGM,



perpustakaan daerah di Tanjungpinang, maupun perpustakaan nasional. Untuk



memperoleh



arsip



dan



melengkapi



data



dengan



laporan-laporan Pemerintah Hindia Belanda, penelitian dilakukan di Arsip Nasional Jakarta. Sumber-sumber yang dicari berupa Encyclopedia van Nederlandsch Indie (ENI), Memorie van Overgave (M.V.O), Kolonial Studien (KS), Regeering Almanak (RA), Koloniaal Verslag, Indisch Verslag, Indische Gids dan sumber lainnya yang masih berkaitan. Selanjutnya data diperoleh dari Perpustakaan Nasional Jakarta, berupa koran-koran periode kolonial yang berhubungan



dengan



Riau



dan



Tanjungpinang,



maupun



buku-buku yang relevan. Selain itu, untuk melihat perkembangan kehidupan masyarakat Tionghoa secara lebih mendalam dilakukan pengumpulan data di perpustakaan daerah dan Provinsi Kepulauan secara lisan. Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 86.



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 27 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



Riau



dan



Provinsi



Riau,



perpustakaan



perhimpunan



atau



kongsi-kongsi keturunan Tionghoa serta koleksi pribadi. Selain menggunakan data yang tertulis, penelitian ini juga menggunakan data elektronik yang diperoleh dari database online, seperti Delpher.nl dan KITLV Media digital library. Pada dua situs ini, penelusuran dilakukan dengan memasukkan kata kunci berupa Riouw dan Tanjoengpinang untuk memudahkan proses pencarian koran-koran yang sesuai. Data yang telah dikumpulkan melalui studi pustaka dan penelitian arsip selanjutnya disusun secara sistematis dan dianalisa secara kualitatif untuk kemudian dilakukan interpretasi.36 F. Sistematika Penulisan Deskripsi hasil penelitian ini selanjutnya akan diuraikan ke dalam lima bab pembahasan. Bab pertama merupakan fondasi penting dalam tulisan ini. Penjabaran mulai dari latar belakang, permasalahan penelitian, tinjauan pustaka, pendekatan dan kerangka konseptual, sumber penulisan dan metode penelitian, diharapkan mampu untuk memberi gambaran kepada pembaca mengenai poin penting yang menjadi gagasan penulis dalam tulisan ini. Bab pertama akan membahas mengenai latar belakang Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, (Yogya: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 219. 36



Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825-1930an ZULFA SAUMIA 28 Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/



masalah,



permasalahan,



tinjauan



pustaka,



pendekatan



dan



kerangka konseptual, sumber penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Pada Bab kedua akan membahas mengenai kedatangan



etnis



Tionghoa



dan



perkembangan



pemukiman



Tionghoa di Tanjungpinang sampai tahun 1825 yang meliputi tanjungpinang sebagai tujuan migrasi baik geografis, ekologis.



Kedatangan



orang



teochiu



dan



hokkian



dan serta



perkembangan pemukiman Tionghoa di Tanjungpinang. Pada Bab ketiga



mengenai



peran



Tauke:



kebijakan



kolonial



dan



perkembangan ekonomi masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1825 hingga 1930an meliputi kebijakan kolonial di Tanjungpinang, migrasi orang-orang Teochiu dari Senggarang ke kota serta terbentuknya mobilitas ekonomi dan peran tauke maupun kongsi Tionghoa. Bab ke empat mengenai mobilitas sosial dan orientasi politik masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang 1910-1930 an meliputi pendidikan masyarakat Tionghoa, perkumpulan dan orientasi politik masyarakat Tionghoa, serikat dan kriminalitas: gerakan sosial dan politik masyarakat Tionghoa. Terakhir adalah bab kelima yang membahas tentang kesimpulan yang akan menjawab semua pertanyaan dari rumusan masalah.