Salah Satu Metode Karakterisasi Material (BJH) [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Kara
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Sekam Padi Sekam padi adalah bagian terluar dari bulir padi yang merupakan hasil sampingan saat proses penggilingan padi dilakukan. Sekitar lima belas persen dari komposisi sekam padi merupakan abu sekam (Harsono,2002). Sekam padi dapat mencapai 20% dari 649,7 juta ton beras yang diproduksi setiap tahunnya. Komposisi kimia dari sekam padi sangat bervariasi dari tiap sampel karena perbedaan jenis padi, iklim dan kondisi geografis. Tabel 2.1. Komposisi kimia dari abu sekam padi Komposisi Oksida (% massa) Abu Sekam Padi SiO2



88,32



Al2O3



0,46



Fe2O3



0,67



CaO



0,67



MgO



0,44



Na2O3



0,12



K2O



2,91



(Habeeb, 2009) Abu sekam padi sangat kaya akan silika amorf karena dapat mencapai 88,32% (Habeeb,2009). Tanaman padi banyak mengandung silika amorf karena secara alami tanaman ini menyerap dan mengangkut silikon dalam bentuk asam silikat pada epidermis tanaman padi (Singh, 1978).



Universitas Sumatera Utara



Tingginya kadar silika dalam abu sekam padi, ini memungkinkan untuk memisahkannya dengan cara ekstraksi pada temperatur rendah dan energi yang kecil (Thuadaij, 2008). Proses pengarangan sekam padi juga mempengaruhi silika yang diperoleh, dimana semakin tinggi temperatur pada proses pengarangan sekam dalam oven maka akan diperoleh kemurnian SiO2 yang makin tinggi (Hwang, 2002). Pencucian awal sekam padi dengan larutan HCl, HNO3, H2SO4, NaOH dan NH4OH sambil dididihkan, sebelum perlakuan termal dengan suhu berkisar 500 sampai 14000C dengan berbagai interval waktu, terbukti efektif dalam menghilangkan sebagian besar kotoran logam dan menghasilkan abu silika yang benar-benar putih (Della, 2002). 2.2 Silika (SiO2) Silika (Silicon Dioxide) merupakan senyawa kimia dengan rumus molekul SiO2 yang dapat diperoleh dari silika mineral dan sintesis kristal. Mineral silika adalah senyawa yang banyak mengandung SiO2 yang ditemukan dalam bahan tambang dan bahan galian yang berupa mineral seperti pasir kuarsa, granit, dan fledsfar (Kalapathy, 1999). Selain terbentuk secara alami, silika juga dapat diperoleh dengan cara memanaskan pasir kuarsa pada suhu 870oC sehingga terbentuk silika dengan struktur tridimit , dan bila pemanasan dilakukan pada suhu 1470oC dapat diperoleh silika dengan struktur kristobalit. Silika dapat dibentuk dengan mereaksikan silikon dengan oksigen atau udara pada suhu tinggi (Iler, 1979). Silika merupakan senyawa biner yang paling umum dari silikon dan oksigen yang merupakan dua elemen paling banyak tersedia di bumi yaitu sekitar 60% dari kerak bumi. Silika tersedia melimpah di bumi berupa senyawa murni maupun terikat pada oksida membentuk silikat. Dalam variasi bentuk amorphous, silika sering digunakan sebagai desiccant, adsorben, filler, dan komponen katalis. Silika merupakan bahan baku utama pada industri glass, keramik, dan industri refraktori dan bahan baku yang penting untuk produksi larutan silikat, silikon dan alloy (Kirk-Othmer, 1967) Silika ditemukan sedikitnya dalam dua belas bentuk yang berbeda. Bentuk kristal silika yang umum yakni quartz, trydimit, cristobalit, sedangkan bentuk silika amorf berupa endapan silika, silika gel, koloidal sol silika dan silika pyrogenik. Silika amorf sangat berperan penting pada berbagai bidang seperti digunakan sebagai adsorben dan untuk sintesis ultrafiltrasi membran, katalis, support material, dan bidang permukaan yang aplikasinya berhubungan dengan porositas (Rouqe-Malherbe, 2007). Ketiga bentuk umum dari kristal silika tersebut ditinjau berdasarkan kestabilannya terhadap kenaikan suhu tinggi (McColm, 1983), yaitu: a. quartz, sampai pada suhu 870oC b. trydimit, pada suhu 870oC sampai 1470oC



Universitas Sumatera Utara



c. cristobalit, pada suhu 1470oC sampai 1730oC Masing-masing dari ketiga bentuk diatas memiliki perubahan pada suhu tinggi dan rendah dimana strukturnya hanya sedikit berubah oleh perubahan yang sederhana pada orientasi dari SiO4 yang relatif tetrahedral satu sama lain. Perubahan bentuk pada suhu tinggi memiliki simetri yang lebih tinggi atau memiliki unit sel yang lebih kecil daripada perubahan bentuk pada suhu yang rendah (McColm, 1983). Perubahan bentuk



Perubahan bentuk



867oC Kuarsa tinggi



1470oC Tridimit tinggi



Perubahan struktur 573oC



Kuarsa rendah



Perubahan struktur 160oC



Tridimit sedang



Kristobalit tinggi Perubahan struktur 200-270oC



Kistobalit rendah



Perubahan struktur 160oC



Tridimit rendah



Gambar 2.1. Perubahan Polimorf dari silika (Barsoum,1997) 2.2.1 Sifat Fisika dan Kimia Silika 2.2.1.1 Sifat Fisika Silika Silika dalam bentuk amorf memiliki densitas sebesar 2,21 gr/cm3 dengan modulus elastisitas sebesar 10 x 106 psi. Kandungan unsur silikon (Si) dan oksigen (O) pada silika jenis ini, adalah 46,7 persen dan 53,3 persen. Nilai kekerasan material ini pada pembebanan tegak lurus dengan menggunakan indentor intan (metode vickers atau knoop) sebesar 710 kg/mm2 sedangkan pada arah pembebanan dengan sudut elevasi diketahui nilai kekerasannya mencapai 790 kg/mm2 (Mantell, 1958).



Universitas Sumatera Utara



2.2.1.2 Sifat Kimia Silika Senyawa silika mempunyai berbagai sifat kimia antara lain sebagai berikut: 2.2.1.2.1 Reaksi dengan Asam Silika relatif tidak reaktif terhadap asam kecuali asam hidrofluorida seperti reaksi berikut.



SiF4(aq) + 2H2O(l)



SiO2(s) + 4HF(aq)



Dalam asam hidrofluorida berlebih reaksinya menjadi:



H2[SiF6](aq) + 2H2O(l)



SiO2(s) + 6HF(aq)



(Basset,J. 1989)



2.2.1.2.2 Reaksi dengan Basa Silika dapat bereaksi dengan basa, terutama dengan basa kuat, seperti dengan hidroksida alkali.



Na2SiO3(aq) + H2O(l)



SiO2(s) + 2NaOH(aq)



(Basset, J. 1989)



Secara komersial, silika dibuat dengan mencampurkan larutan natrium silikat dengan suatu asam mineral. Reaksi ini menghasilkan suatu dispersi peka yang akhirnya memisahkan partikel dari silika terhidra, yang dikenal dengan silika hydrosol atau asam silikat yang kemudian dikeringkan pada suhu 110oC agar terbentuk silika gel. Reaksi yang terjadi :



Na2SiO3(aq) + 2HCl(aq) H2SiO3(s)



SiO2.H2O(s)



H2SiO3(l) + NaCl(aq) (Bakri, R. 2008)



Universitas Sumatera Utara



2.3 Luas Permukaan dan Porositas Luas permukaan dan porositas merupakan karakteristik yang sangat penting pada berbagai material. Penentuan dari isoterm adsorpsi dan desorpsi merupakan variabel yang sangat penting untuk menentukan struktur pori dan metode BET digunakan untuk menentukan total luas permukaan (Brown, 2003). Suatu padatan dapat dikatakan sebagai berpori apabila memiliki pori-pori berupa lubang, terusan (chanel) atau celah yang lebih dalam dari luasnya. Poripori memiliki tipe yang berbeda dan diklasifikasikan berdasarkan aliran zat yang masuk melalui pori seperti gambar 2.2. berikut.



Gambar 2.2. Perbedaan jenis pori (Schubert and Husing, 2006) Tipe pori umumnya diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu: A. Pori yang terisolasi dari pori yang lain disebut closed-pores (a) B. Pori yang terbuka kepermukaan luar dari padatan, yang dipengaruhi sifat makroskopik padatan dan tidak aktif dalam reaksi kimia disebut open-pores yang terdiri dari: bentuk botol tinta (ink-bottle) (b), bentuk silinder terbuka (c), bentuk (funnel atau slitshaped) (d), pori terbuka pada kedua ujung (through pores) (e), silinder tertutup (silinder blind) (f) dan porositas yang kasar (roughness) pada permukaan luar (g) (Schubert and Husing, 2006).



Universitas Sumatera Utara



Dalam karakterisasi pori sering digunakan istilah seperti yang terdapat pada tabel 2.2 berikut ini: Tabel 2.2. Istilah yang digunakan dalam karakterisasi pori padatan Istilah Keterangan Densitas True density Densitas dari material tidak termasuk pori dan kekosongan interpartikel (densitas dari jaringan padatan)



Volume pori



Apparent density



Densitas dari material tertutup dan pori yang tidak dapat dilalui



Bulk density



Densitas material termasuk pori dan kekosongan interpartikel (massa per total volume, dengan volume = fase padatan + pori tertutup + pori terbuka)



Vp



Volume pori



Ukuran pori



Biasanya disebut lebar pori (diameter); jarak dari dua dinding yang berlawanan



Porositas



Perbandingan dari volume total pori Vp dengan volume yang terlihat (apparent volume) V dari partikel atau serbuk



Luas Permukaan



Area yang tercapai pada permukaan padatan per satuan unit material



Luas pori atau diameter pori didefenisikan sebagai diameter untuk pori silinder dan jarak antara dinding pori yang berlawanan dalam pori bentuk celah. Luas pori diklasifikasikan oleh International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) terbagi tiga (Gates, 1992): 1. Mikropori, diameter lebih kecil dari 2 nm (d < 2 nm) 2. Mesopori, diameter antara 2 sampai 50 nm (2 nm < d > 50 nm) 3. Makropori, diameter lebih besar dari 50 nm (d > 50 nm) Untuk menjelaskan pori padatan secara kualitatif dan kuantitatif diperlukan informasi tentang porositas, densitas, luas permukaan spesifik atau ukuran pori dan distribusi ukuran pori pada padatan berpori. Nilai hasil pengukurannya sangat ditentukan oleh metode yang digunakan, biasanya metode hanya dapat mendeteksi pori yang terbuka. Metode yang digunakan berupa adsorpsi molekul ke dalam celah. Hasil yang diperoleh tergantung pada ukuran molekul yang dilewatkan pada permukaan pori. Misalnya untuk nilai luas permukaan akan lebih kecil jika digunakan molekul yang besar, sebaliknya nilai



Universitas Sumatera Utara



luas permukaan akan semakin besar jika digunakan molekul yang lebih kecil. Berikut ini skema adsorbsi gas pada permukaan menggunakan ukuran molekul yang berbeda (Schubert and Husing, 2006)



Gambar 2.3. Skema Adsorbsi gas pada permukaan pori material dengan perbedaan ukuran molekul gas (Schubert and Husing, 2006)



Menurut International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC), terdapat enam klasifikasi isotherm adsorbsi seperti yang diperlihatkan gambar 2.4. Isotherm Tipe I merupakan karakteristik material mikropori (d < 2 nm). Material yang tidak berpori dan makropori (d > 50 nm) diklasifikasikan sebagai isotherm Tipe II dan Tipe III dengan interaksi antara adsorbat dan adsorben yang kuat. Untuk material mesopori ( 2 nm < d > 50 nm) diklasifikasikan sebagai isotherm Tipe IV dan Tipe V dimana terdapat pembentukan multilayer dari kurva adsorbsi dan desorbsi. Untuk isotherm tipe III dan VI diprediksi bahwa interaksi antara adsorbat dan adsorben yang terlalu lemah sehingga sedangkan Tipe VI merupakan karakteristik padatan dua dimensi yang sangat homogeny seperti grafit (Kanellopoulos, N. 2011)



Universitas Sumatera Utara



Gambar 2.4. Klasifikasi Isother Adsorbsi menurut International Union Of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) Silika berpori merupakan variasi dari bentuk silika amorf. Material berbahan silika banyak diteliti karena memiliki struktur variasi yang luas, dapat diatur ada reaksi hidrolisis dan kondensasi, stabilitas termal yang tinggi pada jaringan amorf dan memiliki kekuatan grafting pada fungsi organik. Silika berpori dibuat dengan mengasamkan larutan silikat basa berair dan diperoleh gel silika pori. Material padatannya diperoleh dengan proses sol-gel dalam larutan yang dikeringkan pada temperatur rendah dimana terjadi penekanan gel menjadi xerogel Parameter yang dapat mengkarakterisasi pori adalah luas permukaan spesifik (S) dengan satuan [m2/g], volume mikropori (WMP) dengan satuan [cm3/g], Volume pori (W) merupakan jumlah volume mikropori dan mesopori adsorben dalam [cm3/g] dan distribusi ukuran pori (PSD) yang merupakan suatu grafik dari βˆ†Vp/βˆ†Dp versus Dp dimana Vp adalah akumulasi pori hingga luas pori Dp diukur [cc-STP/GA]. Unit cc-STP menunjukkan jumlah pengukuran adsorbat dalam centimeter kubik pada STP yakni pada temperatur standar dan tekanan standar masing-masing 273,15K dan tekanan 76 Torr (1.011325 x 105 Pa) (Schubert and Husing, 2006).



2.4. Metode penentuan Luas Permukaan dan Mikroporositas 2.4.1. Metode Adsorpsi Brunauer-Emmet-Teller (BET) Teori BET adsorpsi multilayer untuk menentukan luas permukaan (S) dikembangkan oleh Brunauer, Emmet dan Teller. Proses adsorpsi digambarkan sebagai proses lapisan dengan lapisan (Layer-by-layer), permukaan secara energetik dianggap homogen, medan adsorpsi sama dalam setiap tempat permukaan. Proses adsorpsi dianggap tidak bergerak (setiap molekul yang diadsorb pada sisi dasar adsorbs pada permukaan). Lapisan pertama molekul yang



Universitas Sumatera Utara



diadsorb memiliki energy interaksi dengan medan adsorbs (Ea0) dan interaksi vertical antara molekul setelah lapisan pertama (EL0) sama terhadap panas liqufaksi adsorbat dan molekul yang diadsorb tidak berinteraksi secara menyamping. Model adsorbsi BET digambarkan sebagai berikut (RoqueMalherbe, 2007). Untuk menerapkan persamaan isotherm BET terhadap data adsorpsi yang diperoleh digunakan persamaan linier berikut: 𝑉𝑉 =



π‘‰π‘‰π‘šπ‘š . 𝐢𝐢. 𝑝𝑝 (π‘π‘π‘œπ‘œ βˆ’ 𝑝𝑝). [1 + (𝐢𝐢 βˆ’ 1). π‘π‘β„π‘π‘π‘œπ‘œ ]



Atau dapat dituliskan sebagai berikut: 𝑝𝑝



𝑉𝑉. (π‘π‘π‘œπ‘œ βˆ’ 𝑝𝑝)



=



1 𝐢𝐢 βˆ’ 1 𝑝𝑝 + . π‘‰π‘‰π‘šπ‘š . 𝐢𝐢 π‘‰π‘‰π‘šπ‘š . 𝐢𝐢 π‘π‘π‘œπ‘œ



Dimana p = tekanan akhir po = tekanan jenuh V = volume gas yang terserap pada tekanan p Vm = volume gas terserap pada monolayer C merupakan parameter yang dapat ditentukan dengan cara berikut: 𝐸𝐸1 βˆ’ 𝐸𝐸𝑙𝑙 𝐢𝐢 = 𝐴𝐴. 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 𝑅𝑅𝑅𝑅 Dengan A adalah konstanta, E1 merupakan panas yang diserap lapisan pertama dan El adalah panas yang kondensasi dari gas. Untuk area yang dilewati setiap molekul dalam monolayer dianggap sempurna, dimana untuk nitrogen (N2) = 0,162 nm2 pada 77K dan argon (Ar) = 0,138 nm2 pada 87K (Kanellopoulos, N. 2011). Metode BET tidak tepat untuk perhitungan mikropori, karena ketika metode ini diterapkan pada adsorben mikro maka akan terjadi penyerapan pada tekanan yang relatif rendah sehingga memungkinkan volume monolayer yang dihitung lebih dari satu lapisan terserap. Jika nilai ini diubah menjadi luas permukaan BET maka nilai yang dihasilkan akan lebih besar dari nilai yang sebenarnya. Meskipun metode BET tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya, namum metode ini yang lebih umum digunakan untuk analisa isotherm adsorbsi. Ini disebabkan metode BET relatif sederhana dan dianggap memberikan kapasitas adsorpsi yang baik dari adsorben yang digunakan (Kanellopoulos, N. 2011). 2.4.2. Metode Barret-Joyner-Halenda (BJH) Metode BJH digunakan untuk menentukan distribusi ukuran pori (PSD) merupakan grafik yang menyatakan βˆ†Vp/βˆ†Dp versus Dp, dimana Vp adalah akumulasi volume pori dan Dp merupakan luas pori diukur dalam [cc-STP/g.Γ…) dan cc-STP menunjukkan jumlah adsorbat dalam centimeter kubik pada STP berlangsung pada temperatur standar (273,15 K) dan tekanan standar (760 Torr



Universitas Sumatera Utara



atau 1.01325 x 105 Pa). Volume pori (W) adalah jumlah volume mikropori dan mesopori adsorben dalam [cm3/g] (Roque-Malherbe,2007). Tekanan relatif awal proses desorpsi dalam metode Barret-Joyner-Halenda (BJH) berlangsung pada range 0,9 < P/Po < 0,95 dan semua pori telah diisi fluida adsorbat. Pada tahap pertama (j=1) dalam proses desorpsi hanya melibatkan pemindahan kondensasi kapiler. Tahap berikutnya melibatkan pemindahan kondensat dari inti pori dan penipisan multilayer dalam pori yang lebih besar (misalnya pori telah siap dikosongkan dari kondesat.



Universitas Sumatera Utara



Distribusi ukuran pori Barret-Joyner-Halenda (BJH-PSD) dapat dihitung menggunakan persamaan berikut ini. π‘Ÿπ‘Ÿπ‘π‘π‘π‘



Keterangan :



2



π‘›π‘›βˆ’1



𝑉𝑉𝑝𝑝𝑝𝑝 = οΏ½ οΏ½ οΏ½βˆ†π‘‰π‘‰(𝑛𝑛) βˆ’ βˆ†π‘‘π‘‘π‘›π‘› οΏ½ 𝐴𝐴𝐴𝐴𝑗𝑗 οΏ½ βˆ†π‘‘π‘‘ π‘Ÿπ‘ŸπΎπΎπΎπΎ + 2𝑛𝑛 𝑗𝑗 =1



Vpn rp rk Dv dt Ac



: volume pori pada berbagai tekanan relatif : jari-jari pori : jari-jari inti : perubahan volume pada berbagai tekanan relatif : ketebalan lapisan yang diserap : area terbuka pori yang kosong (Roque-Malherbe, 2007).



2.5 Spektroskopi Difraksi Sinar-X (XRD) Spektroskopi difraksi sinar-x (X-Ray diffraction / XRD) merupakan salah satu metode karakterisasi material. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkaan ukuran partikel. Difraksi sinar-x terjadi pada hamburan elastis foton-foton sinar-x oleh atom dalam sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar x dalam fasa tersebut memberikan interferensi yang konstruktif. Dasar penggunaan difraksi sinar-x untuk mempelajari kisi Kristal adalah berdasarkan persamaan Bragg (Cullity, 1978) : n.Ξ» = 2.d.sin ΞΈ ; n =1,2,… dengan; Ξ» adalah panjang gelombang sinar-x yang digunakan, d adalah jarak antara dua bidang kisi, ΞΈ adalah sudut antara sinar datang dengan bidang normal, n adalah bilangan bulat yang disebut sebagai orde pembiasan.



Universitas Sumatera Utara



Berdasarkan persamaan Bragg, ketika seberkas sinar-x menumbuk sampel kristal, maka bidang kristal itu akan mendifraksi sinar-x yang memiliki panjang gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal. Semakin banyak jumlah elektron yang terdapat disekeliling atom pada suatu bidang, makin besar intensitas pantulan yang disebabkan oleh bidang tersebut dan menyebabkan makin jelas spot yang terekam pada film. Dengan menggunakan suatu metoda yang dikenal dengan nama metoda sintesis Fourier, kita dapat menghubungkan intensitas spot dengan kepekatan distribusi elektron yang terdapat dalam unit sel. Dengan mengamati kepekatan distribusi elektron dalam unit sel, kita dapat menduga letak atom dalam unit sel tersebut. Atom akan terletak pada daerahdaerah yang mempunyai kepekatan distribusi elektron maksimum (Bird, 1993). Persamaan Bragg dapat digambarkan seperti berikut: So



S



Gambar 2.5. Refleksi sinar X pada Hukum Bragg ((Eisenber, 1979) Dimana: So : Sinar Datang S : Sinar Pantul A : Lapisan Atas Benda B : Lapisan bawah benda d : diameter benda (Eisenber, 1979)



Universitas Sumatera Utara



2.6 Spektroskopi Inframerah (FT-IR) Spektroskopi inframerah merupakan metode yang digunakan untuk mengamati interaksi interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik. Prinsip dasar spektroskopi inframerah yaitu interaksi antara vibrasi atom-atom yang berikatan/ gugus fungsi dalam molekul yang mengadsorbsi radiasi gelombang elektromagnetik inframerah. Adsorbsi terhadap radiasi inframerah dapat menyebabkan eksitasi energi vibrasi molekul ketingkat energi vibrasi yang lebih tinggi. Untuk dapat mengadsorbsi, molekul harus mempunyai perubahan momen dipol sebagai akibat dari vibrasi. Daerah radiasi spektroskopi inframerah berkisar pada bilangan gelombang 12800-10 cm-1. Umumnya daerah radiasi inframerah terbagi dalam daerah inframerah dekat (12800-4000 cm-1), daerah inframerah tengah (4000-200 cm-1), daerah inframerah jauh (200-10 cm-1). Daerah yang paling banyak digunakan untuk berbagai keperluan adalah 4000-690 cm-1, daerah ini biasa disebut sebagai inframerah tengah (Khopkar, 2008). Instrument yang digunakan untuk mengukur serapan radiasi inframerah pada pelbagai panjang gelombang disebut spectrometer inframerah. Pancaran inframerah umumnya mengacu pada bagin spektrum elektromagnet yang terletak diantara daerah tampak dan daerah gelombang mikro. Pancaran inframerah yang kerapatannya kurang daripada 100 cm-1 (panjang gelombang lebih dari 100 Β΅m) diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi energi putaran molekul. Penyerapan itu tercatuh dan demikian spektrum rotasi molekul terdiri dari garisgaris yang tersendiri (Hartomo, 1986). Terdapat dua macam vibrasi molekul, yaitu vibrasi ulur dan vibrasi tekuk. Vibrasi ulur adalah suatu gerakan berirama disepanjang sumbu ikatan sehingga jarak antar atom bertambah atau berkurang. Vibrasi tekuk dapat terjadi karena perubahan sudut-sudut ikatan antara ikatan-ikatan pada sebuah atom atau karena gerakan sebuah gugusan. Contohnya liukan (twisting), goyangan (rocking), dan getaran punter yang menyangkut perubahan sudut-sudut ikatan dengan acuan seperangkat koordinat yang disusun arbiter dalam molekul. Hanya vibrasi yang menghasikan perubahan momen dwikutub secara berirama saja yang teramati di dalam inframerah (Hartomo, 1986). Identifikasi pita absorbsi khas yang disebabkan oleh berbagai gugus fungsi merupakan dasar penafsiran spektrum inframerah (Creshwell, 1972). Hadirnya sebuah puncak sarapan dalam daerah gugus fungsi dalam sebuah spektrum inframerah hampir selalu merupakan petunjuk pasti bahwa beberapa gugus fungsi tertentu terdapat pada senyawa cuplikan. Demikian pula, tidak adanya puncak dalam bagian tertentu dari daerah gugus fungsi sebuah spektrum inframerah biasanya berarti bahwa gugus tersebut yang menyerap pada daerah itu tidak ada (Pine, 1980).



Universitas Sumatera Utara