Sap SLB Via-1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SATUAN ACARA KEGIATAN TERAPI BERMAIN MENEMPEL ORIGAMI PADA KERTAS PADA ANAK USIA SEKOLAH DI SLBN KAB. TEGAL



Oleh: 1. SAEVIANA PISCA BELLA (C1018039) 2. SALSA NABILAH P.



(C1018040)



3. SHINTA TIKA PUTRI



(C1018041)



4. SILVIERA AZMI



(C1018042)



PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI 2021



BAB I PENDAHULUAN A.   LATAR BELAKANG 1. AUTIS Autis spectrum disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan komplek yang dapat menyebabkan masalah dalam berpikir, perasaan, berbahasa dan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain. Keadaan ini merupakan kelainan neurologis, yang berarti mempengaruhi fungsi otak. Efek ASD dan keparahan gejala berbeda pada setiap orang (APA, 2013). Apa Saja Ciri-Ciri Anak Autis? Gejala autisme sangat beragam dan tiap anak yang menderita kondisi ini dapat menunjukkan gejala yang berbeda. Namun, secara umum, ciri-ciri anak autis terdiri dari 3 karakteristik utama, yaitu: a. Kesulitan komunikasi Masalah komunikasi yang kerap dialami anak penderita autisme, antara lain sulit bicara, menulis, membaca, dan memahami bahasa isyarat, seperti menunjuk dan melambai. Hal ini kemudian membuatnya sulit untuk memulai percakapan dan memahami maksud dari suatu perkataan atau petunjuk yang diberikan orang lain. Tak jarang anak dengan autisme mengucapkan satu kata secara berulang atau yang beberapa waktu lalu didengarnya, mengucapkan sesuatu dengan nada tertentu atau seperti sedang bersenandung, atau sering tantrum. b. Gangguan dalam berhubungan sosial Salah satu ciri-ciri anak autis adalah sulit bersosialisasi. Anak dengan autisme sering kali terlihat asyik dengan dunianya sendiri, sehingga sulit terhubung dengan orang-orang di sekitarnya. Terkadang anak dengan autisme juga terlihat kurang responsif atau sensitif terhap perasaannya sendiri atau pun orang lain. Oleh karena itu, anak autis biasanya tidak mudah berteman, bermain dan berbagi mainan dengan teman, atau fokus terhadap suatu objek atau mata pelajaran di sekolah. c. Gangguan perilaku Berikut ini adalah beberapa pola perilaku khas yang biasanya ditunjukkan oleh anak dengan autisme: Marah, menangis, atau tertawa tanpa alasan yang jelas Hanya menyukai atau mengonsumsi makanan tertentu



Melakukan tindakan atau gerakan tertentu dilakukan secara berulang, seperti mengayun tangan atau memutar-mutarkan badan Hanya menyukai objek atau topik tertentu Melakukan aktivitas yang membahayakan dirinya sendiri, seperti menggigit tangan dengan kencang atau membenturkan kepala ke dinding Memiliki bahasa atau gerakan tubuh yang cenderung kaku d. Sulit tidur Kendati demikian, gejala autisme tidak selamanya buruk. Beberapa anak dengan autisme ada yang memiliki kelebihan atau bakat di bidang tertentu, seperti mampu belajar secara rinci lalu mengingatnya untuk waktu yang lama dan tertarik mempelajari seni musik dan menggambar. Bagaimana Cara Memastikan bahwa Anak Menderita Autisme? Ciri-ciri anak autisme terkadang juga bisa menyerupai gangguan lain, seperti gangguan pendengaran, depresi pada anak, gangguan cemas, sindrom Asperger, serta reaksi trauma akibat kekerasan. Oleh karena itu, anak yang dicurigai menderita autisme perlu diperiksakan ke dokter anak. Dalam mendiagnosis autisme pada anak, dokter akan mengevaluasi tumbuh kembang anak, seperti menilai kemampuan berbicara, berperilaku, belajar, hingga pergerakan anak. Dokter juga mungkin akan menyarankan pemeriksaan lain berupa tes pendengaran, tes genetik, dan konsultasi psikologi anak.



2. TUNARUNGU Anak tunarungu merupakan anak yang mempunyai gangguan pada pendengarannya sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali, tetapi dipercayai bahwa tidak ada satupun manusia yang tidak bisa mendengar sama sekali. Walaupun sangat sedikit, masih ada sisa-sisa pendengaran yang masih bisa dioptimalkan pada anak tunarungu tersebut. Berkenaan dengan tunarungu, terutama tentang pengertian tunarungu terdapat beberapa pengertian sesuai dengan pandangan dan kepentingan masing-masing. a. Karakteristik anak tunarungu Karakteristik anak tunarungu dari segi fisik tidak memiliki karakteristik yang khas, karena secara fisik anak tunarungu tidak mengalami gangguan yang



terlihat. Sebagai dampak ketunarunguannya, anak tunarungu memiliki karakteristik yang khas dari segi yang berbeda. Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1995: 35-39) mendeskripsikan karakteristik ketunarunguan dilihat dari segi: intelegensi, bahasa dan bicara, emosi, dan sosial. 1) Karakteristik dari segi intelegensi Intelegensi anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal yaitu tinggi, rata-rata dan rendah. Pada umumnya anak tunarungu memiliki entelegensi normal dan rata-rata. Prestasi anak tunarungu seringkali lebih rendah daripada prestasi anak normal karena dipengaruhi oleh kemampuan anak tunarungu dalam mengerti pelajaran yang diverbalkan. Namun untuk pelajaran yang tidak diverbalkan, anak tunarungu memiliki perkembangan yang sama cepatnya dengan anak normal. Prestasi anak tunarungu yang rendah bukan disebabkan karena intelegensinya rendah namun karena anak tunarungu tidak dapat memaksimalkan intelegensi yang dimiliki. Aspek intelegensi yang bersumber pada verbal seringkali rendah, namun aspek intelegensi yang bersumber pada penglihatan dan motorik akan berkembang dengan cepat. 2) Karakteristik dari segi bahasa dan bicara Kemampuan anak tunarungu dalam berbahasa dan berbicara berbeda dengan anak normal pada umumnya karena kemampuan tersebut sangat erat kaitannya dengan kemampuan mendengar. Karena anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, maka anak tunarungu mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Bahasa merupakan alat dan sarana utama seseorang dalam berkomunikasi. Alat komunikasi terdiri dan membaca, menulis dan berbicara, sehingga anak tunarungu akan tertinggal dalam tiga aspek penting ini. Anak tunarungu memerlukan penanganan khusus dan lingkungan berbahasa intensif yang dapat meningkatkan kemampuan berbahasanya. Kemampuan berbicara anak tunarungu juga dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh anak tunarungu. Kemampuan berbicara pada anak tunarungu akan berkembang dengan sendirinya namun memerlukan upaya terus menerus serta latihan dan bimbingan secara profesional. Dengan cara yang demikianpun banyak dari mereka yang belum bisa berbicara seperti anak normal baik suara, irama dan tekanan suara terdengar monoton berbeda dengan anak normal. 3) Karakteristik dari segi emosi dan sosial



Ketunarunguan



dapat



menyebabkan



keterasingan



dengan



lingkungan.



Keterasingan tersebut akan menimbulkan beberapa efek negatif seperti: egosentrisme yang melebihi anak normal, mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas, ketergantungan terhadap orang lain, perhatian mereka lebih sukar dialihkan, umumnya memiliki sifat yang polos dan tanpa banyak masalah, dan lebih mudah marah dan cepat tersinggung. b. Klasifikasi anak tunarungu Uden (dalam Murni Winarsih, 2007:26) membagi klasifikasi ketunarunguan menjadi tiga, yakni berdasar saat terjadinya ketunarunguan, berdasarkan tempat kerusakan pada organ pendengarannya, dan berdasar pada taraf penguasaan bahasa. 1) Berdasarkan sifat terjadinya a) Ketunarunguan bawaan, artinya ketika lahir anak sudah mengalami/menyandang



tunarungu



dan



indera



pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi. b)



Ketunarunguan setelah lahir, artinya terjadinya tunarungu setelah anak lahir diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit.



2) Berdasarkan tempat kerusakan a) Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga disebut Tuli Konduktif. b)



Kerusakan pada telinga bagian dalam sehingga tidak dapat mendengar bunyi/suara, disebut Tuli Sensoris.



3) Berdasarkan taraf penguasaan bahasa a) Tuli pra bahasa (prelingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli sebelum dikuasainya suatu bahasa (usia 1,6 tahun) artinya anak menyamakan tanda (signal) tertentu seperti mengamati, menunjuk, meraih dan sebagainya namun belum membentuk system lambang. b)



Tuli purna bahasa (post lingually deaf) adalah mereka yang menjadi



tuli



setelah



menguasai



bahasa,



yaitu



telah



menerapkan dan memahami system lambang yang berlaku di lingkungan.



3. TUNAGRAHITA Anak tuna grahita atau disebut juga retardasi mental (RM) mempunyai fungsi intelektual dibawah rata – rata (70) yang muncul bersamaan dengan kurangnya perilaku adaptif, ketidakmampuan beradaptasi dengan kehidupan sosial sesuai tingkat perkembangan dan budaya, awitannya sebelum usia 18 tahun (Wong 2004). Anak merupakan potensi dan penerus cita-cita bangsa, yang dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Tumbuh kembang anak harus berjalan sejajar agar dapat menghasilkan insan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial anak. Pembinaan pada anak dapat dikembangkan dengan kegiatan bermain, karena aktivitas bermain merupakan kebutuhan yang tidak bisa dipisahkan dari dunianya dan merupakan salah satu kebutuhan dasar untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Selain itu, bermain merupakan bagian dari konsep pembelajaran bagi anak, dengan bermain mereka belajar tentang dunia luar dan lingkungannya dimana mereka berada. Bermain juga memiliki peran dan fungsi bagi anak dalam memperluas keterampilan sensorimotor, kreativitas, intelaktual dan perkembangan sosial. Berkenaan dengan anak tunagrahita, yang memiliki perkembangan intelejensi yang terlambat diklasifikasi selalu diukur dengan tingkat IQ mereka, yang terbagi menjadi tiga kelas yakni tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan tunagrahita berat. A. Tunagrahita Ringan Anak yang tergolong dalam tunagrahita ringan memiliki banyak kelebihan dan kemampuan. Mereka mampu dididikdan dilatih. Misalnya, membaca, menulis, berhitung, menjahit, memasak, bahkan berjualan. Tunagrahita ringan lebih mudah diajak berkomunikasi. Selain itu kondisi fisik mereka tidak begitu mencolok. Mereka mampu berlindung dari bahaya apapun. Karena itu anak tunagrahita ringan tidak memerlukan pengawasan ekstra. B. Tunagrahita Sedang Tidak jauh berbeda dengan anak tunagrahita ringan. Anak tunagrahita sedang pun mampu diajak berkomunikasi. Namun, kelemahannya mereka tidak begitu mahir dalam menulis, membaca, dan berhitung. Tetapi, ketika ditanya siapa nama dan alamat rumahnya akan dengan jelas dijawab. Mereka dapat bekerja di lapangan namun dengan sedikit pengawasan.



Begitu pula dengan perlindungan diri dari bahaya. Sedikit perhatian dan pengawasan dibutuhkan untuk perkembangan mental dan sosial anak tunagrahita sedang. C. Tunagrahita Berat Anak tunagrahita berat disebut juga idiot. karena dalam kegiatan seharihari mereka membutuhkan pengawasan, perhatian, bahkan pelayanan yang maksimal. Mereka tidak dapat mengurus dirinya sendiri apalagi berlindung dair bahaya. Asumsi anak tunagrahita sama dengan anak Idiot tepat digunakan jika anak tunagrahita yang dimaksud tergolong dalam tungrahita berat. Perkembangan intelektual menunjukkan kemajuan melalui proses yang bertahap ke arah berpikir logis. Mula-mula anak berpikir secara konkrit, pikirannya terikat pada hal yang nyata. Kemudian bersamaan dengan kemajuan perkembangan bahasanya lambat laun anak dapat berpikir secara abstrak dan atau menarik kesimpulan dari apa yang ditanggapinya. Kemampuan tersebut tidak dimiliki pada anak tunagrahita. Kalaupun ada sangatlah terbatas. Kapasitas belajar mereka juga sangatlah terbatas untuk hal-hal yang sifatnya konkrit. Mereka banyak belajar secara membeo (vote learning) bukan dengan pengertian. Perkembangan mentalnya mencapai puncak pada usia yang masih muda. Kegiatan bermain memberi banyak kesempatan pada anak tunagrahita untuk bereksperimen dan mengeksplorasi kegiatan-kegiatan untuk mengaktifkan pikiran dan memberikan latihan kepada anak untuk mellihat sendiri, berpikir sendiri dan berbuat sendiri.



B. TUJUAN 1. Tujuan Umum Setelah mendapatkan terapi bermain diharapkan anak dapat melanjutkan tumbuh kembangnya, mengembangkan aktifitas dan kreatifitas melalui pengalaman bermain dan beradaptasi. 2. Tujuan Khusus Setelah mengikuti terapi bermain anak-anak diharapkan mampu : a. Mengembangkan kreativitas dan daya pikirnya b. Mengembangkan keterampilan mendengar dan membuat klasifikasi. c. Mengekspresikan rasa senangnya terhadap permainan.



BAB II DESKRIPSI KASUS A.   SASARAN DAN KARAKTERISTIKNYA Sasaran terapi bermain ini adalah anak usia sekolah di SLBN Kabupaten Tegal. Dengan kriteria sebagai berikut : 1. Anak usia sekolah 2. Anak berkebutuhan khusus, seperti Autisme, tuna rungu dan tuna grahita. 3. Laki-laki dan perempuan



B. ANALISA KASUS SLBN Kabupaten Tegal merupakan sekolah untuk anak-anak dengan berkebutuhan khusus seperti autisme tuna rungu dan tuna grahita. Jumlah seluruh siswa saat ini yang bersekolah di sekolah tersebut ada 144 siswa yang terdiri dari 133 siswa SDLB dan 11 siswa SMPLB. Sebelum pandemi Covid-19, kegiatan belajar mengajar dihadiri oleh seluruh siswa pada setiap harinya. Namun, saat pandemi Covid-19, kegiatan belajar mengajar diubah menjadi kelas privat yang dihadiri oleh 34 siswa setiap kelasnya. Siswa yang bersekolah di SLB tersebut merupakan anak usia sekolah yang masih dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan. Sehingga diperlukan terapi bermain untuk mengasah kemampuan mereka.. Terapi bermain yang akan diberikan kali ini adalah menempelkan kertas origami pada kertas yang sudah diberi pola.



BAB III METODOLOGI BERMAIN A. JUDUL PERMAINAN Bermain menempelkan origami pada kertas yang sudah diberi pola. B. DESKRIPSI PERMAINAN Terapi bermain yang akan diberikan adalah menepel origami yang sudah diberi pola. Siswa akan dibagiakn lembaran kertas dan potongan origami yang sudah digunting sesuai pola, lalu siswa akan menempelkan origami yang sudah digunting ke selembar kertas sesuai dengan pola yang sudah ada. Misalnya origami berbentuk atap rumah maka siswa harus menempelkannya pada kertas yang berpola atap rumah. C. TUJUAN PERMAINAN a. Mengembangkan kreatifitas dan daya pikirnya. b. Mengembangkan keterampilan motorik halus. c. Meningkatkan konsentrasi. D. KETERAMPILAN YANG DIPERLUKAN a. Konsentrasi b. Memahami bentuk pola E. JENIS PERMAINAN Cooperative play: Anak bermain dalam kelompok yang terorganisir dan memiliki aturan. F. ALAT YANG DIPERLUKAN a. Selembar kertas b. Kertas origami c. Lem kertas



G. WAKTU PELAKSANAAN Tempat



: Ruang kelas SLBN Kabupaten Tegal



Hari/Tanggal



: Kamis, 28 Januari 2021



H. PROSES BERMAIN No 1.



Terapis Persiapan -



Waktu 10 Menit



kertas, origami dan lem kertas),



Menyiapkan alat-



siswa siap



alat -



Ruang kelas, Alat (selembar



Menyiapkan ruangan



-



Subjek Terapi



bermain



Menyiapkan Siswa



2.



Proses : -



Membuka proses



2 menit



Menjawab salam,



terapi bermain



Memperkenalkan



dengan



diri,



mengucap kan



Memperhatikan



salam, memperkenalkan



-



diri.



Bermain bersama



Menjelaskan



dengan antusias



pada siswa siswi



dan



tentang tujuan



mengungkapkan



dan manfaat bermain, menjelaskan cara permainan. -



Mengajak anak bermain .



-



Mengevaluasi respon siswa siswi



5 menit



perasaannya



15 menit



3 menit



3.



Penutup (1 menit).



5 menit



Menyimpulkan, mengucapkan salam



Memperhatikan dan menjawab salam



I. HAL-HAL YANG PERLU DIWASPADAI Dalam kegiatan bermain kadang tidak dapat dicapai keseimbangan dalam bermain, yaitu apabila terdapat hal-hal seperti berikut : a. Tidak ada variasi dari alat permaian b. Tidak ada kesempatan belajar dari alat permainannya c. tidak mempunyai teman bermain (Soetjiningsih, 2008) J. ANTISIPASI MEMINIMALKAN HAMBATAN Pemilihan siswa untuk mengikuti permainan ini mengikuti kriteria anak yang sudah ditetapkan, yaitu anak berkebutuhan khusus, seperti autisme, tuna rungu, tuna grahita serta siswa laki-laki dan perempuan. Selain itu kerjasama dengan guru sangat diperlukan dalam permainan ini, pendampingan guru akan memotivasi anak untuk mengikuti hingga akhir permainan. J. PENGORGANISASIAN DAN DENAH BERMAIN a. Pengorganisasian Leader



: shinta



Observer



: saeviana



Fasilitator



: salsa dan silviera



b. Denah Bermain



Keterangan: : Leader : Fasilitator : Observer : Peserta K. KRITERIA EVALUASI 1. Struktur a. Mahasiswa melakukan kontrak waktu dengan guru SLB N Slawi b. Mahasiswa membuat SAP terapi bermain untuk Siswa/siswi Tunagrahita di SLB N Slawi c. Pada H-1 mahasiswa menyiapkan peralatan dan ruangan untuk terapi bermain d. Di hari H mahasiswa melakukan terapi bermain dan sebelumnya menginstruksikan kepada siswa/siswi untuk keluar ruangan 2. Proses Siswa/siswi akan diawasi oleh mahasiswa, kemudian siswa/siswi akan diberikan selembar kertas, kertas origami dan lem kertas. Mahasiswa mengintruksikan dan membimbing siswa untuk mulai menempel origami yang sudah digunting ke selembar kertas yang sudah berpola. 3. Hasil Peserta terapi bermain mampu: a. Menjalin kerjasama yang baik antar siswa b. Berkonsentrasi dengan baik c. Melatih kesabaran d. Mau mengikuti instruksi yang diberikan.



BAB IV PELAKSANAAN BERMAIN A. TAHAP PERSIAPAN a. Mahasiswa meminta ijin kepada guru kelas untuk melakukan terapi bermain menempel origami b. Mahasiswa berkenalan dengan siswa c. Mahasiswa menjelaskan cara dan aturan bermain kepada siswa d. Mahasiswa menyiapkan alat permainan B. PELAKSANAAN KEGIATAN Siswa duduk di tempat yang sudah diatur



C. EVALUASI 1. Evaluasi Struktur a. Kondisi lingkungan tenang kondusif, sehingga anak dapat berkonsentrasi terhadap terapi bermain b. Alat yang digunakan dalam kondisi baik c. Leader, fasilitator dan observer berperan sesuai tugasnya. 2. Evaluasi Proses a. Leader mampu memimpin terapi bermain b. Fasilitator mampu memotivasi anak selama mengikuti tarapi bermain c. Observer sebagai pengamat melaporkan hasil pengamatan selama terapi bermain d. Anak mengikuti kegiatan yang dilakukan dari awal hingga akhir 3. Evaluasi Hasil a. Anak mampu mengikuti permainan hingga akhir b. Menyampaikan perasaan setelah melakukan kegiatan c. Anak menyatakan rasa senangnya



D. FAKTOR PENDUKUNG a. Anak berpartisipasi dengan baik jalannya kegiatan b. Anak mampu memahami penjelasan dan berinteraksi dengan baik c. Lingkungan cukup tenang untuk melakukan terapi permainan d. Leader, fasilitator, dan observer bekerjasama dengan baik E. HAMBATAN a. Anak sulit berkonsentrasi b. Anak sulit diajak berkoordinasi F. KEBERHASILAN a. Anak mampu menyebutkan nama dan suara hewan yang ditunjuk b. Anak mampu bekerjasama dengan baik c. Anak mengungkapkan rasa senang setelah melakukan permainan



BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Bermain merupakan aspek penting dalam kehidupan anak yang mencerminkan kemampuan fisik, intelektual, emosional, dan social anak tersebut, tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan atau memberikan informasi, memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi anak, dimana dalam bermain anak akan menemukan kekuatan serta kelemahannya sendiri, minatnya, serta cara menyelesaikan tugas-tugas dalam bermain. B. SARAN a. Orang tua Sebaiknya orang tua lebih selektif dalam memilih permainan bagi anak agar anak dapat tumbuh dengan optimal. Pemilihan permainan yang tepat dapat menjadi poin penting dari stimulus yang akan didapat dari permainan tersebut. Faktor keamanan dari permainan yang dipilih juga harus tetap diperhatikan. b. Mahasiswa Mahasiswa diharapkan lebih mempelajari bagaimana menangani anak dengan berkebutuhan khusus dengan terapi bermain sesuai dengan tingkat kemampuan siswa tunagrahita. Karena dengan terapi bermain yang tepat, maka anak dapat terus melanjutkan tumbuh kembang anak walaupun mempunyai keterbatasan mental.



DAFTAR PUSTAKA Wong, D. L, (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, EGC, Jakarta. Hal: 194-197, 651. Parker, Deborah K. (Terjemahan, 2006). Menumbuhkan Kemandirian dan Harga Diri Anak. Jakarta. Prestrasi Pustaka