Sekte Mu'tazilah (Uni Dan Itsna) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Sekte Mu’tazilah A. Pengertian Secara bahasa, Mu’tazilah berasal dari kata ‘azala, ta’azzala dan I’tazala. Artinya mengasingkan diri, menyingkir dan memisahkan diri. Ada beberapa pandangan, mengapa mereka disebut Mu’tazilah, yaitu kelompok atau orang yang mengasingkan dan memisahkan diri. Mereka adadalah Amr bin Ubaid, Washil bin Atha’ al-Ghazzal dan para pengikutnya. Mereka disebut demikian, saat memisahkan diri dari jama’ah setelah wafatnya al-Hasan al-Bashri awal abad kedua. Ketika itu mereka dalam majelis dengan memisahkan diri dari jama’ah, maka Qatadah dan lainnya mengatakan, “mereka adalah Mu’tazilah.”1 Pendapat pertama, pemisahan mereka lebih disebabkan karena politik (I’tizal siyasi), dimana mereka menamakan diri dengan mu’tazilah ketika Hasan bin Ali membai’at Mu’awiyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Mereka menetap di rumah-rumah dan masjid-mesjid. Pendapat kedua, pemisahan mereka lebih karena perdebatan (I’tizal kalam) mengenai hukum pelaku dosa besar antara imam Hasan al-Bashri dengan Washil bin ‘Atha’ yang hidup pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdil Malik al-Umawy2. Disebutkan dalam kitab Al-Milal Wan Nihal ; pada suatu hari seorang laki-laki masuk kedalam pengajian Imam Hasan al-Bashri dan bertanya: “wahai imam, di zaman kita ini telah timbul kelompok yang mengkafirkan para pelaku dosa besar (yaitu kalangan wa’idiyah khawarij) dan juga timbul kelompok lain yang mengatakan maksiat tidak mempengaruhi iman sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat sama sekali apabila bersama kekafiran (yaitu kalangan Murji’ah). Bagaimana menurut 1



Harun Nasution.1986.Teologi islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. Jakarta: UI press. Hlm 38 2 Romly Qomaruddin.2009.Memahami Manhaj Islam Membedah Ummahatul Firaq.Bekasi: Al-Bahr Press. Hlm 70



pendapat anda ? Imam Hasan al-Bahsri berfikir sejanak, namun Washil bin ‘Atha’ lebih dahulu menjawab pertanyaannya sendiri;” saya tidak mengatakan pelaku dosa besar itu mukmin secara mutlak dan tidak pula kafir secara mutlak, namun dia berada di satu posisi diantara dua posisi (al-manzilah bainal manzilatain), tidak mu’min juga tidak pula kafir”. Berikutnya, dia pergi memisahkan diri dari masjid, maka Hasan alBashri berkata : “Washil telah memisahkan diri dari kita..(I’tazala ‘anna washil). Sejak itulah, Washil dan orang-orang yang mengikutinya disebut Mu’tazilah. Tak terkecuali ‘Amr bin ‘Ubaid dan sahabat-sahabat (setelah kematian Hasan al-Bahsri) yang meninggalkan halaqah para sahabat Hasan al-Bahsri semisal Qatadah. Ayyub as-Sikhtiyani dan tokoh-tokoh lainnya. Selain disebut Mu’tazilah pengikut aliran ini sering disebut kelompok Ahl atTauhid (golongan pembela tauhid), ahl at-‘Adl (pendukung paham keadilan Tuhan), dan kelompok Qadariah. Pihak lawan mereka menjuluki kelompok ini sebagai golongan Free will dan Free Act, karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat ; al-Muatillah, karena mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan; dan Wa’idiah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman-ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang tidak patuh, pasti dan tidak boleh tidak akan menimpa mereka. Pendapat sebagian Orientalis, mereka dinamai Mu’tazilah kerna terdiri dari orang-orang yang menjaga diri, sulit ekonominya, dan menolak hidup bersenangsenang. Kata Mu’tazilah menunjukkan orang yang menyandang predikat itu hidup zuhud terhadap dunia walaupun tidak semua penganut aliran ini demikian. Ada sebagian yang betaqwa, ada pula yang melakukan pekerjaan-pekerjaan maksiat, banyak yang baik dan ada pula yang jahat3.



3



Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta : Logos Publishing House, 1996) , cet.1 hal.150



Selain itu, menurut Ahmad Amin dalam Fajar al-Islam, berdasarkan catatancatatan al-Maqrizi bahwa diantara sekte Yahudi yang berkembang waktu itu dan sebelumnya, sekte bernama Frosyem artinya Mu’tazilah (mengasingkan diri) yang membicarakan masalah al-Qadr dan berpendapat



bahwa tidak semua perbuatan



manusia diciptakan manusia sendiri. C.A. Nallion, seorang orientalis Itali mempunyai pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin berdasarkan pada versi Mas’ud sebelumnya ia berpendapat bahwa nama mu’tazilah sebenarnya tidak mengenadung arti “memisahkan diri dari umat Islam lainnya” sebagai yang terkandung dari versi Al-Syahrastani, al-Baghdadi, dan tasy Kubra Zadah. Tetapi sebaliknya nama itu diberikan kepada mereka karena menurut versi Mas’udi mereka kaum yang berdiri netral diantara khawarj dan murji’ah4. Tetapi teori ini di bantah leh Ali Sami Al-Nasysyar dengan berpendapat bahwa ada dianatara khlifah-khlifah Bani Umayyah yang menganut faham mu’tzilah, dan bani umayyah ini salah satu golongan yang bertentangan dengan kaum khawarij dan dipandang oleh kaum mu’tazilah sebagai orang yang berdosa besar dan akan kekal dalam neraka. Al-Nasysyar berpendapat bahwa mu’tazilah betul timbul dalam lapangan pertentangan-pertentangan politik islam terutama antara ‘ali dan mua’wiyah tetapi nama itu tidak dipakai untuk satu golongan tertentu. Argumentasi ini dimajukan AlNasysyar adalah bahwa kata-kata i’tazala dan mu’tazilah terkadang dipakai untuk orang yang menauhkan diri dari peperangan, orang yang menjauhkan diri dari Ali dan sebagainya. Orang yang demikian menjauhkan diri dari masyarakat dari masyarakat umum dan memusatkan pada ilmu pengetahuan dan ibadah. Diantara orang-orang yang serupa initerdapat dua orang cucu dari Nabi yaitu Abu Hasyim, Abdullah dab 4



Harun Nasution.1986.Teologi islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. Jakarta: UI press. Hlm 40



Hasan ibn Muhammad ibn Hanafiyah, dan wasil mempunyai hubungan erat dengan abu Hasyim. Jadi menurut al-Nasysyar, golongan mu’tazilah kedua timbul dari orangorang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadah, dan bukan dari golongan mu’tazilah yang dikatakan merupakan aliran politik. Untuk mengetahui asal-usul mu’tazilah itu dengan sebenarnya memang sulit, yang jelas ialah nama mu’tazilah sebagai designatic bagi aliran-aliran teologi rasionil dan liberal dalam islam timbul setelah peristiwa Wasil dan Hasan Al-Basri di Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa tersebut sudah terdapat kata-kata i’tazala mu’tazilah5. Dapat diketahui orang yang membina aliran mu’tazilah adalah Wasil Bin Ata’ sebagaimana dikatakan Al-Mas’udi yakni kepala dan mu’tazilah pertama, ia lahir di tahun 81 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H, Wasil belajar pada Abu Hasyim, Abdullah Ibn Muhammad,Ibn Al-hannafiah yang kemudian pindah ke basrah dan belajar pada Hasan Al-Basri. Bisa saja kata Mu’tazilah dipakaikan kepada kelompok orang yang memeluk islam karena melihat adanya persamaan di antara keduanya. Mu’tazilah Yahudi menafsirkan Taurat sesuai dengan logika filsafat, sedangkan Mu’tazilah islam mena’wilkan semua sifat-sifat (Tuhan) yang disebutkan dalam al-Qur’an sesuai dengan logika filsafat juga. Menurut al-Maqrizi tentang Frosyem yang mereka namai dengan Mu’tazilah, bahwa mereka memahami apa yang terdapat dalam Taurat sesuai dengan penafsiran para filosof pendahulu mereka.



5



Harun Nasution.1986.Teologi islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. Jakarta: UI press. Hlm 42



B. Sejarah timbulnya perkembangan Mu’tazilah Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan diri. Dalam Al-Qur’an, kata-kata ini diulang sebanyak



sepuluh kali yang kesemuanya



mempunyai arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i (menjauhi sesuatu) seperti dalam ayat:



‫سفبإبن ايعستسزكلو ك يم سفلسيم كيسق ابتكلو ك يم سوأس يلسقيوا ابلسي ك كم السسلسسم سفسم ا سجسعسل الك لس ك يم سعلسيبهيم سسبي ل‬ ‫ل‬ Artinya: “Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90) Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri. Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya



mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir. Sebenarnya, kelompok Mu’tazilah ini telah muncul pada pertengahan abad pertama Hijrah yakni diistilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya Perang Jamal dan Perang Siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah. Sedangkan pada abad kedua Hijrah, Mu’tazilah muncul karena didorong oleh persoalan aqidah. Dan secara teknis, istilah Mu’tazilah ini menunjukkan pada dua golongan, yaitu: Golongan pertama disebut Mu’tazilah I: Muncul sebagai respon politik murni, yakni bermula dari gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti diketahui, setelah Ustman terbunuh, ‘Ali diangkat menjadi Khalifah. Namun pengangkatan ini mendapat protes dari beberapa sahabat lainnya. ‘Aisyah, Zubair dan Thalhah mengadakan perlawanan di Madinah, namun berhasil dipadamkan. Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata melawan ‘Ali. Melihat situasi yang kacau demikian, beberapa sahabat senior seperti Abdullah ibn ‘Umar, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral6. Mereka tidak mau terlibat dalam pertentangan kelompok-kelompok di atas. Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka sengaja menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan hubungan kepada Allah. 6



http://syafieh.blogspot.com/2013/03/ilmu-kalam-aliran-mutazilah.html di unduh



pada tanggal 28 november 2013



Menurut Abdur Razak, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari. Golongan kedua disebut Mu’tazilah II: Muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Namun demikian, antara kedua golongan ini masih terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Mengenai pemberian nama Mu’tazilah untuk golongan kedua ini terdapat beberapa versi, di antaranya: 1.Versi Asy-Syahrastani mengatakan bahwa nama Mu’tazilah ini bermula pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Basrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya: “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian dia menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah. 2. Versi Al-Baghdadi menyebutkan bahwa Washil bin Atha’ dan temannya, Amr bin Ubaid, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian di antara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa



besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah. 3. Versi Tasy Kubra Zadah berkata bahwa Qatadah bin Da’amah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah”. Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah. Ketika pertama kali muncul, aliran Mu’tazilah tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaranajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aliran Mu’tazilah baru mendapatkan tempat, terutama di kalangan intelektual pada pemerintahan Khalifah al Ma'mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M). Kedudukan



Mu’tazilah



semakin



kokoh



setelah



Khalifah



al



Ma'mun



menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah al Ma'mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan ilmu pengetahuan. Pada masa kejayaan itulah karena mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan alirannya yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah (Pengujian atas paham bahwa Alquran itu makhluk Allah, jadi tidak qadim). Jika Al-Qur’an dikatakan qadim, berarti ada yang qadim selain Allah, dan ini hukumnya syirik. Pada umumnya ulama berpendapat bahwa tokoh utama Mu’tazilah adalah Wasil Ibn Atha’. Ia adalah seorang peserta dalam forum ilmiah Hasan Al-Basri. Dalam forum ini muncul masalah yang hangat pada waktu itu, yaitu masalah pelaku dosa besar. Wasil berkata dalam menentang pendapat Hasan. Kami juga berpendapat bahwa madzhab ini sudah ada lebih dahulu sebelum kisah washil, walaupun banyak ahlu bait yang menempuh pola pikir yang sama dengannya, seperti Zaid Ibn Ali yang merupakan teman dekat washil. Washil sendiri adalah salah



seorang penyiar paham iniyang menonjol sehingga kebanyakan ulama memandang dialah tokoh utamanya. Sebagian orientalis berpendapat bahwa mereka dinamai Mu’tazilah karena mereka terdiri dari orang–orang yang menjaga harga diri, sulit ekonominya, dan menolak hidup bersenag-senang. Kata Mu’tazilah menunjukkan bahwa orang yang menyandang predikat itu adalah mereka yang hidup zuhud terhadap dunia. Sebenarnya tidak semua penganut paham ini seperti itu, tetapi sebagiannya bertaqwa dan ada pula yang dituduh melakukan pekerjaan–pekerjaan maksiat, banyak yang baik dan ada pula yang jahat. Gerakan kaum Mu`tazilah pada mulanya memiliki dua cabang yaitu: 1. Di Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr Ibn Ubaid



dengan murid-muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil, Hafasah bin Salim, dll. Ini berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian Ibrahim bin Sayyar (211 H) kumudian tokoh Mu`tazilah lainnya7. 2. Di Bagdad (Iraq) yang dipimpin dan didirikan oleh Basyir bin Al-



Mu`tamar salah seorang pemimpin Basrah yang dipindah ke Bagdad kemudian mendapat dukungan dari kawan-kawannya, yaitu Abu Musa AlMurdan, Ahmad bin Abi Daud,(w.240 H), Ja’far bin Mubasysyar (w.234 H), dan Ja’far bin Harib al-Hamdani (w. 235 H)8. Inilah imam-imam Mu`tazilah di sekitar abad ke-2 dan ke-3. Di Basrah dan di Bagdad, khalifah-khalifah Islam yang terang-terangan menganut aliran ini dan mendukungnya adalah: 1. Yazid Bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125126 H) 2. Ma`mun Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H) 7



Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam…,hal. 78 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 165 8



3. Al-Mu`tashim Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H) 4. Al- Watsiq Bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H) Mu’tazilah sebenarnya merupakan gerakan keagamaan semata, mereka tidak pernah membentuk pasukan, dan tidak pernah menghunus pedang. Riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang keikutsertaan beberapa pemimpin kaum Mu’tazilah, seperti ‘Amru Ibnu ‘Ubaid dalam serangan yang dilancarkan kepada al-Walid ibn Yazid, dan yang menyebabkan gugurnya Al Walid ibnu Yazid, tidaklah menyebabkan Mu’tazilah ini menjadi suatu golongan yang mempunyai dasar-dasar kemiliteran, sebab pemberontakan terhadap Al-Walid itu bukanlah pemberontakan kaum Mu’tazilah, melainkan adalah suatu pemberontakan yang berakar panjang yang berhubungan dengan kepribadian dan moral Khalifah. Maka ikut-sertanya beberapa orang Mu’tazilah dalam pemberontakan itu hanyalah secara perseorangan, disebabkan prinsip-prinsip umum, yang menyebabkan rakyat memberontak kepada penguasa yang zalim. Walaupun gerakan Mu’tazilah merupakan gerakan keagamaan, namun pada saat ia mempunyai kekuatan ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan tekanan-tekanan terhadap pihak-pihak yang menantangnya. Pemakaian kekerasan itu dipandang sebagai salah satu dari sikap Mu’tazilah yang tercela. Dan adanya tekanantekanan itu menjadi sebab yang terpenting bagi lenyapnya aliran ini di kemudian hari. Meskipun aliran Mu’tazilah pada era dewasa ini sulit ditemukan, pemikiranpemikiran Mu’tazilah menurut hemat penulis sepertinya terus berkembang, tentunya dengan gaya baru dan dengan nama-nama yang cukup menggelitik dan mengelabui orang yang membacanya. Sebut saja istilah Modernisasi Pemikiran, Sekulerisme, dan nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemikiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran yang bersumber dari akal pikiran semata.



Untuk itulah, pada kesempatan ini penulis mencoba untuk membahas tentang asal usul aliran Mu’tazilah berikut prinsip-prinsip pemikiran mereka agar kita dapat mengetahui secara jelas apakah aliran ini memang dapat diterima atau malah menyimpang dari ajaran agama Islam. Namun pada pembahasan ini, penulis sengaja tidak banyak memaparkan bentuk bantahan-bantahan terhadap aliran Mu’tazilah ini, karena tujuan utama makalah ini hanya sekedar memperkenalkan prinsip-prinsip aliran tersebut.



C. Tokoh-tokoh dan lingkungan yang memengaruhi Mu’tazillah Telah melahiran semua dan tokoh-tokoh penting, baik kelompok Bashrah maupun elompok Baghdad. Yang termasuk kelompok bashra adalah Wasil bin Atha (80-131 H/ 699-748), Amr bin Ubaid (w.145 H), Abu Huzail al-Allaf (135235 H), an-Nazzam “(185-231 H),al-Jahiz Abu Usman bin Bahar (w. 869 H), dan alJuba’I (w. 303 H). Adapun yang termasuk kelompok Baghdad adalah Mu’ammar bin Abbad, Bisyr al Mu’tamir (w. 210 H), Abu Musa al-Murdar (w. 226 H), Sumamah bin Asyras (w. 213 H), Ahmad bin Abi Du’ad (w. 240 H), Hisyam bin Amir al-Fuwati, dan Abu al-Husain al-Khayyat (w. 300 H)9. Washil bin Atha (80-131 H/699-748 M), orang pertama yang meletakkan keranga dasar ajaran Mu’tazillah. Ajaran pokok yang yang dicetuskannya ada tiga paham yaitu faham al-Manzilah bain al-Manzilatain, faham Qadariah yang diambil dari Ma’bad dan Gilan, dan faham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran pokok itu kemudian menjadi doktrin Mu’tazillah, yakni al-Manzilah bain alManzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan. Abu Huzail al-Allaf (135-235 H), seorang filosof yang banyak mengetahui falsafah Yunani sehingga memudahkannya menyusun ajaran-ajaran Mu’tazillah yang bercorak filsafat. Antara lain, ia membuat uraian mengenai pengertian nafy as-Sifat. 9



Hamdani dkk .2010 .Ilmu Kalam. Bandung.Sega Arsy;71



Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuanNya dan pengetahuanNya ini adalah Zat-Nya,bua sifatNya ; Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaannya dan kekuasaanNya adalah Zat-Nya, bukan sifatNya; demikian seterusnya. Tuhan menyebut diriNya dalam al-Quran mempunyai sifat-sifat. Dalam hal ini Abu Al-Huzail mencoba menjelaskan bahwa tuhan mengetahui tetapi bukan dengan sifat melainkan dengan pengetahuanNya, dan pengetahuanNya adalah sifatNya, adapun teks yang dipakai Abu Al-Huzaifah menurut Al-Syahrastani adalah10: ‫ان الب ارى تع الى ع الم بعلم وعلمه داته‬ Penjelasan ini dimaksudkan untu menghindari adanya yang qadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifatNya itu qadim. Dengan demikian ada banya yang qadim sehingga akan membawa kemusyrikan. Ajaranya yang lain, Tuhan menganugrahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan akal itu pula, manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Ia juga melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-Salah wa al-Aslah. An-Nazzam (185-231 H), berpendapat tentang keadilan Tuhan. Tuhan itu Mha Adil sehingga tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Ia lebih jauh dari gurunya, alAllaf yang berpendapat bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hambaNya. AnNazzam menegaskan bahwa hal itu



buan hanya mustahil, tetapi Tuhan tidak



mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Menurutnya berbuat zalim hanya dikerjaan oleh orang bodoh dan tidak sempurna sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga berpendapat, mukjizat al-Qur’an terletak pada kandungannya, 10



Harun Nasution.1986.Teologi islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. Jakarta: UI press. Hlm 46



buan pada uslubnya (gaya bahasa) dan balagah (retorika)-nya. Selain itu, ia juga memberi penjelasan tentang alam Allah SWT, yaitu segala sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Oleh karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak qadim11. Al-Jahiz Abu Usman Bin Bahar (w.869), pencetus faham naturalism atau kepercayaan aan huum alam yang oleh kaum mu’tazillah disebut sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudan oleh manusia itu sendiri, melainan ada pengaruh huum alam. Al-Juba’I (w.303 H), guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran asy’ariyah. Pendapatnya yang masyhur yaitu tentang kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai kalam Allah SWT, ia sependapat dengan Nazzam. Mengenai sifat-sifat Allah SWT, ia menerangan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak , dan mengetahui berarti Dia berkuasa, dan berkehendak, dan mngetahui melalui esesnsi-Nya, bukan dengan sifatnNya. Tentang kewajiban manusia, ia membaginya kedalam dua kelompok yaitu kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalanya (wajibah ‘aqliyah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wajibah syar’iah). Sementara itu daya akal menurut al-Juba’i sangat besar. Dengan akalnya, manusia dapat mengetahui yang baik dan yang buruk serta mengetahui kewajiban berbuat baik dan meninggalkan yang buruk. Pendapat ini menjadi ajaran mu’tazillah yang penting. Mu’ammar bin Abad, pendiri Mu’tazillah aliran Baghdad. Pendapatnya yang penting yaitu tentang kepercayaan pada hukum alam, sama dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi, sementara al-‘arad



11



Hamdani dkk .2010 .Ilmu Kalam. Bandung.Sega Arsy;72



atau accidents (sesuatu yang dating pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Bisyr al-Mu’tamir (w. 210 H), ajarnya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Baginya, ana kecil tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di ahirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu. Abu Musa al-Mudrar (w. 226 H), dianggap pemimpin Mu’tazillah yang yang esktrim karena pendapatnya yang mudah mengkafirkan orang lain. Menurut Syahrastani, ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai keqadiman al-Qur’an. Ia juga menolak pendapat bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat. Hisyam bin Amr al-Fuwati, berpendapat bahwa apa yang dinamakan syurga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surge dan neraka. Sumamah bin Asyras (w. 213 H), berpendapat bahwa manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya arena dalam dirinya telah tersedia daya berbuat. Tentang daya akal, ia berkesimpulan bahwa akal manusia sebelum turunya wahyu dapat mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui perbuatan baik dan perbuatan buruk; wahyu turun untuk memberikan konfirmasi12. Abu al-Husain al-Khayyat (w. 300 H), memberikan penafsiran yang berbeda dengan pemuka Mu’tazillah lainnya tentang peniadaan sifat-sifat Tuhan. Ia berpendapat bahwa jia Tuhan dikatakan berehendak, maka kehendak Tuhan itu 12



Hamdani dkk .2010 .Ilmu Kalam. Bandung.Sega Arsy;73



bukanlah sifat yang melekat pada zat Tuhan dan bukan pula diwujudkan melalui zatNya. Jadi kehendak Tuhan itu bukan Zat-Nya dan terlebih lagi bukan sifatNya, melainkan diinterpretasikan dengan Tuhan mengetahui dan berkuasa mewujudkan perbuatanNya sesuai denganNya. Dari tokoh-tokoh tersebut, sebagian mereka ada yang di Bashrah dan sebagiannya ada yang di Baghdad dengan ajaran-ajarannya yang satu sama lainnya ada persamaan da nada pula perbedaannya. Dalam beberapa sumber disebutkan, bahwa Mu’tazilah merupakan sekte yang menganut paham atau pemikiran yang mengandalkan rasio, mereka mengatakan bahwa akal (al-‘aql) mempunyai daya yang kuat serta memberikan interpretasi secara liberal terhadap teks-teks Al-Qur’an dan alHadits. Hal ini sama dengan filsafat Yunani dan Mu’tazilah termasuk yang paling tertarik dengan filsafat tersebut.(Abddin Nata, Ilmu Kalam, Filafat dan Tasawuf, hal . 36). kesamaan yang ketertarikan tersebut lebih disebabkan karena terjadinya kontak langsung antara ummat Islam dengan Filsafat Yunani yang secara historis dilakukan oleh para khalifah Abbasiyah, yaitu Al-Manshur (756-775 M), al-Mahdi (w.784 M), Harun al-Rasyid (786-808 M), al-Ma’mun (813-833 M), dan al-Mu’tashim (w. 841 M). Mereka itulah yang menyuruh para ahli untuk menyalin buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab dan menerbitkan kitab-kitab yang lengkap. Kegiatan tersebut lebih semarak lagi pada masa al-Ma’mun, diantaranya dengan berdirinya Baitul Hikmah, yaitu suatu lembaga tempat diadakannya penerjemahan dan penelitian yang dilengkapi dengan perpustakaan yang menyimpan buku-buku karya para ilmuwan dan filosof. Dari gesekan pemikiran tersebut, nampak jelas dampaknya bahwa Mu’tazilah menjadi landasan teologis kaum rasionalis. Untuk mengetahui corak rasional ajaran Mu’tazilah, dapat dicermati dalam ajaran-ajaran pokok mereka yang disebut al-Ushul al-Khamsah, yaitu lima dasar



keyakinan sebagai berikut : Keesaan Tuhan (Tauhid) menurut Mu’tazilah, Keadilan Tuhan (al-Adl) menurut Mu’tazilah, janji baik dan janji buruk (al-Wa’d wa alwa’id), ,menurut Mu’tazilah, posisi diantara dua posisi (al-Manzilah bainal Manzilatain) dan al-Amru bil Ma’rufwan Nahyu’anil Munkar menurut Mu’tazilah. D. Doktrin – doktrin Mu’tazilah Al-Ushul al-Khamsah ; lima dasar



keyakinan Mu’tazilah a. Al-Tauhid (Keesaan Tuhan) Ini merupakan inti akidah madzhab mereka dalam membangun keyakinan tentang mustahilnya melihat Allah di Akhirat nanti, dan sifat-sifat Allah itu adalah substansi Dzatnya sendiri serta Al-Qur’an adalah makhluk. Dengan demikian, mereka pun disebut kaum Mu’aththilah yaitu penganut paham yang mengingkari adanya sifat-sifat Allah. Mereka berkata : “Kami menghendaki sifat-sifat ma’any”. Juga mengatakan bahwa Allah mengetahui dengan Dzatnya sendiri (yakni tanpa perantara sifat-sifatNya). (Mahmud Basuni Fuadah, at-Tafsir wa manahijuh, hal 101). Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik golongan



Mu’tazilah



saja.



Tetapi



mereka



menafsirkan



sedemikian



rupa



dan



mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-tauhid. At-tahuid berarti ku ke Maha Esaan Tuhan. Menurut faham mereka Tuhan akan benar-benar Maha Esa, apabila Tuhan merupakan zat unik, tiada yang serupa dengan Dia, serupa dalam segala hal, dalam sifat-Nya, perubatan-Nya, ciptaan-Nya dan sebagainya. Oleh karena itu mereka menolak faham antropomorphisme, yang menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluk-Nya. Tuhan tiada merupakan jisim atua syakhs, Tuhan adalah zat yang qadim. Tiada sesuatu yagn boleh qadim, selain Tuhan. Sejalan dengan ajaran ini, Mu’tazilah berpendapat dengan nafy sifat atau peniadaan sifat Tuhan, dalma arti Tuhan mengetahui bukan dengan sifat, tetapi dengan zat-Nya, Tuhan berkuasa dengan zat-Nya, berkehendak dengan zat-Nya. Dengan kata lain Mu’tazilah meniadakan sifat



Tuhan dalam arti sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar zat Tuhan. Tiada berarti Tuhan tidak diberi sifat-sifat. Tuhan bagi mereka tetap maha Mengetahui, maha mendengar, maha hidup, maha kuasa dan sebagainya, tetapi semua ini tidak dapat dipisahkan dari zat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan itu merupakan esensi Tuhan



Dalam buku Ahmad Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam) di kutip pandangan al-Asy’ari yang menyebutkan bahwa kaum Mu’tazilah menafsirkan Tauhid sebagai berikut : “ Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamaiNya, bukan benda (jisim), bukan orang (syakhs), bukan jauhar, bukan pula aradh…tidak berlaku padanya… tidak mungkin mengambil tempat (ruang), tidak bias disifati dengan sifatsifat yang ada pada mahkluk yang menunjukkan ketidak azaliaNya. Tidak dibatas, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak dapat dicapai panca indra, tidak dapat dilihat mata kepala dan tidak bias di gambarkan akal pikiran. Ia Maha Mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang yang berkuasa dan orang yang hidup, hanya Ia sendiri yang Qodim, dan tidak ada lainnya yang Qodim, tidak ada yang menolongNya dalam menciptakan apa yang diciptakanNya dan tidak membikin makhluk karena contoh yang telah ada terlebih dahulu.” Dengan kecenderungan tauhidnya yang sungguh-sungguh, maka mereka di kenal dengan Ahli Tauhid atau Ashhabut tauhid wal Adl (Ahmad Hanafi, Hal.42 dan as-Syahrastani, al-Milal wan Nihal,hal.43). b. Al-Adl (Keadilan Tuhan) Berdasarkan prinsip ini, mereka membina keyakinannya bahwa Allah bukanlah yang menciptakan semua makhluk yang ada dalam alam ini. Maksdunya paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya dengan Qudrah (kekuasaan) yang di tetapkan Tuhan pada diri manusia itu.



Tuhan itu tidak memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang di kehendakiNya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkanNya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarangNya. Dengan pemahaman demikian, maka tidaklah adil bagi Tuhan seandainya ia menyiksa manusia karena perbuatandosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena perintah Tuhan. Tuha dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri13. Kalau dengan al-tauhid Mu’tazilah ingin mensucikan diri tuhan ddari persamaan dengan makhluk, maka dengan al-‘adl kaum Mu’tazilah ingin mensucikan perubatanperbuatan makhluk. Hanya Tuha yang dapat berbuat adil. Tuhan tidak dapat berbuat dzalim, tetapi sebaliknya makhluk dapat berbuat dzalim, dan tidak dapat berbuat adil. Oleh karena itu mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-tauhid wa al-‘adl. Dan dengan dasar itu mereka menolak pendapat Jabariyah yagn mengatakan bahwa manusia dalam semua perbuatannya tidak mempunyai kebebasan. Bertolak dari ajaran keadilan Tuhan ini maka Tuhan mesti memberikan hak-hak seseorang, dengan demikian Tuhan mempunyai



kewajiban-kewajiban seperti



memberikan



rizqi



bagi



manusia,



mengirimkan Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada manusia, untuk membantu manusia dari kelemahan-kelemahan dan sebagainya. Hal ini tidak bisa diterima oleh golongan Ahl alsunnah wa al-jama’ah.



c. Al-wa’d wa al-wa’id (Janji dan Ancaman) Dasar ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang al-‘adl. Golongan Mu’tazilah yakni bahwa janji tuhan akan memberikan upah atau pahala baig orang yang berbuat baik, dan memberikan ancaman akan menyiksa orang yang berbuat jahat pasti dilaksanakan, karena sesuai dengan janji dan ancaman Tuhan. Siapa yang berbuat baik akan dibalas dengan kebikan atau pahala, sebaliknya orang yang berbuat buruk akan dibalas dengan keburukan atau siksa. Tiada ampunan bagi orang 13



Romly Qomaruddin.2009.Memahami Manhaj Islam Membedah Ummahatul Firaq.Bekasi: Al-Bahr Press. Hlm 75



berbuat dosa besar tanpa ia bertobat, tiada sebagaimana faham murjiah yang mengatakan bahwa dapat saja orang berbuat dos abesar tanpa berbuat Tuhan akan mengampuni, jika Tuhan menghendaki. Yang erat hubungannya dnegan ajaran dasar ini ialah ajarannya tentang al-shalah wa al-ashlah, yaitu berbuat baik dan terbaik bagi manusia, kemudian al-luthf, pengiriman rasul kepada umat manusia dan al-qur’an bersifat qadim



d. . Al-Manzilah bain al-manzilatain (Posisi di antara dua posisi) Prinsip ini sangat penting dalam ajaran Mu’tazilah, karena merupakan awal persoalan yagn timbul dalam masalah teologi sehingga lahir golongan Mu’tazilah. Yaitu persoalan orang yang berdosa besar, ia mati belum sempat bertobat, orang tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi faqis, suatu posisi diantara dua posisi. Golongan Khawarij berpendapat bahaw orang tersebut menjadi kafir dan akan kekal di neraka. Golongan Murjiah berpendapat bahwa orang tersebut tetap mukmin, tidak kekal di negera dan mengharapkan rahmat dan ampunan dari Allah. Dan golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa orang tersebut tida mukmin dan tidak kafir tetapi fasiq dan akan kekal di neraka, tetapi siksanya lebih ringan dari orang kafir. Pendapat ini merupakan pendapat di antara pendapat Khawarij dan pendapat Murjiah. Menurut Ahmad Hanafi dalam hal jalan tengah ini, Mu’tazillah dipengaruhi oleh adanya keyakinan sebagai beriut: 1. Ayat-ayat dan hadits-hadits yang menganjurkan ita mengambil jalan tengah dalam sesuatu. 2. Pikiran-pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan (fadhilah;virture) ialah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan. 3. Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat diantara baik dan buruk.



e. Al-amr bil ma’ruf wa al-nahi ‘an al-munkar (Perintah untuk berbuat baik dan larangan berbuat jahat).



Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan Mu’tazilah saja, tetapi juga dimiliki oleh semua umat Islam. Tetapi ada perbedaanya, yaitu pelaksanaan ajaran tersebut menurut Mu’tazilah, bila perlu harus diwujudkan atau dilaksanakan dengan paksaan atau kekerasan. Sedang golongan lain cukup dengan penjelasan saja 14. Dengan berpengangan kepada Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 104 dan surat Luqman ayat 17, seperti halnya golongan lain bahwa perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat adalah wajib ditegakkan. Dalam pandangan Mu’tazillah ; dalam keadaan normal pelaksanaan al-amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi dalam keadaan tertentu perlu kekerasan. Dalam memastikan terlaksananya prinsip ini, mereka bertindak berlebih-lebihan dan berselisih pandangab dengan mayoritas (jumhur) ummat; mereka mengatakan al-amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar itu dilakukan dengan hati saja bila itu cukup, jika tidak cukup maka dengan lisan, dan jika dengan lisan saja tidak cukup maka dengan tangan, dan jika dengan tangan juga tidak cukup, maka prinsip tersebut haruslah dilaksanakan dengan senjata. Dalam hal ini mereka tidak pandang bulu antara penguasa dan rakyat biasa. E. Mazhab-mazhab Mu’tazillah dan ajaran-ajaranya a. Al-washiliyah Meraka adalah pengikut Abu hudzaifah Washil bin ‘Atha’ al-Ghazal al-Altsag (80131 H), dengan empat dasar ajarannya meniadakan sifat-sifat Allah, meniadakan tadir Allah( sependapat dengan Ma’bad al-Juhani dan Ghilan ad-Dimasyqi), serta paham Manzilah bainal man zilatain. Dan mengatakan salah satu dari dua pihak yang etrlibat dalam perang jamal (perang unta) dan shiffin bersalah tanpa menunjukkan pihak yang mana. Mereka juga mengatakan pihak yang membunuh dan membela Utsman fasik tanpa menunju pihak yang mana. Derajak fasik yang paling rendah menurut mereka kesaksiannya tidak diterima. b. Al-Hudzailiyyah Mereka adalah pengikut Abu Huzail Hamdan Bin al-Huzail al-‘Allaf (135-226 H), dia mengambil fikrah Mu’tazillah dari Utsman Bin Khalid athwil (murid Washil) diantara 14



http://idhamstain.blogspot.com/2009/04/mutazilah-dan-pemikirannya.htm



pandangannya adalah manusia didunia bebas berbuat apa saja tanpa campur tangan Allah sedikitpun (Qadariyul Ula) namun di akhirat mereka diciptakan Allah (jabariyul akhirat), proses orang yang kekal dalam neraka terputus dan tidak menerima perubahan (pendapat ini mirip dengan jahm bin sofwan yang menurutnya surge dan neraka fana juga), dan dalam masalah yang ghoib hujjah tidak akan tegak kecuali dengan khabar dari 20 orang dan diantara yang 20 ini ada seorang atau lebih ahli surga karena bumi tidak kosong dari wali Allah yang ma’sum. Merekalah yang menjadi hujjah bukan hadits mutawatir karena bias saja sekelompok orang berdusta jika mereka bukan wali Allah. Adapun yang mendukung Abu Huzail diantaranya Abu Ya’qub as-Syaham dan al-Adami. c. An-Nazhzhamiyah Mereka adalah pengikut Ibrahim bin sayar bin Hani an-Nazhzham (tokoh Mu’tazillah yang banyak mengkaji filsafat). Di antara pendapatnya: Allah tidak mampu menciptakan keburukan dan kemaksiatan seluruh perbuatan hamba itu adalah gerak dan diam termasuk gerak hati, ijma dan qiyas bukanlah hujjah, hujjah itu hanya imam yang ma’sum dan mereka cenderung kepada Rafidhah. d. Al-Khobithiyah dan al-Haditsiyah Merea adalah pengikut Ahmad Bin Khabit (w. 232 H) dan fadhl al-Haditsi (w. 257 H) keduanya murid an-Nazhzham. Diantara ajarannya: menetapkan sifat keTuhanan al-Masih bin Maryam, manusia yang berbuat dosa nantinya akan dihidupkan kembali dalam wujud binatang atau manusia yang sesuai dengan kadar kejahatan dan kebaikannya, mena’wilkan seluruh hadits shahih tentang melihat Allah dan berpengang pada hadits palsu tentang akal; “makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah akal” al-Khabit pun berpendapat, seluruh hewan adalah ummat, karenanya setiap umat ada rasul dari bangsanya. Dengan demikian ada rasul dari semu gajah dan seterusnya. e. Al-Bisyriyyah Mereka adalah pengikut Bisyr bin Mu’tamar. Di antara ajarannya adalah : siapa bertaubat atas dosa lalu mengulangi dosa itu lagi, maka ia kan mendapat hukuman atas dosa yang pertama yang dikerjakan sebelum taubat.



f.



Al-Mu’ammariyyah



Mereka dalah pengikut Mu’ammar bi ‘Ibad as-Sulami (220 H). Di antara ajaranya adalah bahwa yang dimiliki manusia adalah hanya keinginan saja, adapun perbuatan taklifiyah seperti makan, bergerak, ibadah dan seterusnya tak lain adalah wujud dari keinginannya. Allah mustahil mengetahui dirinya karena apabila hal itu terjadi berarti antara ‘alim (mengetahui) dengan yang ma’lum (Yang diketahui) tidak satu. g. Al-Mardariyyaah Mereka adalah pengikut ‘Isa bin Shabih (226 H), yang dijuluki dengan nam Abu Musa atau Mardar (ia murid Bisyir bin Mu’tamar). Dikenal dengan hidup zuhudnya sehingga dijuluki ‘rahibul mu’tazillah, artinya pendeta mu’tazilah.daianatar ajarannya adalah : alQuran itu makhluk, karena itu manusia bias saja membuat buku yang semisal alQuran baik segi balahgah, fashahah, maupun mazm nya. Ia mengkafirkan orang yang meetapkan alQuran itu kekal (qadim), bahkan mengkafirkan seluruh umat islam. Ibrahim asindi menyindir sikap berlebihannya dengan mengatakan : “surge itu seluas tujuh lapis langit dan bumi, yang boleh masuk ke dalamnya hanya anda dan tiga orang teman anda yang sependapat dengan anda.” Adapun murid-murid Mardar, diantaranya Ja;far al- Harb as-tsaqafi, Ja’fan bin Mubasyir alHambali (keduanya dikenal Ja’faran), abu Jufar dan Muhammad bin suwaid. h. As-Tsumamiyyah Mereka adalah pengikut Tsumamah bin an-Numairi (213 H). Dia merupakan pemimpin Mu’tazillah zaman al-Ma’un al-Mu’tasim dan al-Watsiq. Pendapatnya merupakan sinkrestisme ajaran dan filsafat. Salah satu pendapatnya adalah orang fasik yang tetap dalam kefasikkanya tanpa berobat sampai akhir hayatnya akan kekal dalam neraka dan orang kafir, musyrik, penganut majusi, nasrani, yahudi, zindiq dan atheis pada hari kiamat nanti menjadi tanah seperti juga binatang dan anak orang yang tak beriman. i.



Al-Hisyamiyyah



Mereka adalah pengikut Hisyam bin Amr al-fuwathi (226 H). tokoh ini pandangannya lebih ekstrim dari rekan-rekannya yang semazhab tentang takdir, yaitu



menolak penyandaran suatu perbuatan kepada Allah. Allah tidak mempersatukan hati kaum muslimin, Allah tidak akan menjadikan orang beriman mencintai iman dan tidak pula menghiasi keindahan iman kedalam hatinya, menolak bahwa Allah berkuasa mengunci hati manusia dan saat ini surga belum diciptakan karena tidak ada gunanya. Dalam hal politik menolak imamah yang diangkat pada masa fitnah. j.



Al-Jahizhiyah



Mereka pengikut Amr bin Bahr Abi utsman al-Jahiz. Dia termasuk Mu’tazilah yang banyak menulis buku mazhab Mu’tazillah yang dalam tulisannya, al-Jahizh menggunakan metode, gaya bahasa, dan argumentasi yang sangat menarik. Hidup apada masa pemerintahan al-Mu’tashim dan al-Mutawakkil. Salah satu ajarannya adalah diantara penduduk neraka ada yang tidak kekal, namun sifatnya berubah menjadi sifat api dan al-qur’an mempunyai jasad, suatu saat bias berwujud laki-laki dan bias berwujud hewan. k. Al-Khayyathiyyah dan Al-Ka’biyyah Mereka adalah pengikut Abu Husain bin Abi Amr al-Khayyat (300 H). Guru Abu Qasim bin Muhammad al-Ka’bi. Diantara ajarannya adalah : kehendak Allah (iradah) bukan sifat yang terdapat pada Zat Allah; iradah bukan sifat ZatNya, iradah sifat dan bukan ZatNya. Yang dimaksud Allah berkehendakdalam perbuatanNya dan tidak ada yang mempengaruhinya. Maka apabila dikatakan bahwa Allah Maha Berkehendak dalam perbuatannya itu berarti Allah yang memerintah dan Allah senang terhadap perbuatan manusia. l.



Al-Jubaiyyah dan Al-Bahsyaniyyah



Mereka adalah pengikut Abu Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubai (w.295 H) dan anaknya Abu Hasyim Abdus Salam (w. 231 H). Keduanya mengakui bahwa Allah Maha berkata-kata dan kalam Allah adalah ciptaanNya yang ditempatkan pada suara dan huruf. Karena itu hakikat kalam menurut mereka berdua terdiri dari suara yang terputus-putus dan terdiri dari huruf. Dikatakan mutakallim (yang pandai bicara) bukan yang sedang bicara. Al-Jubbai berbeda pendapat dengan reka-rekannya semazhab khususnya mengenai Allah menciptakan



kalam pada saat orang sedang membaca kalam yang dilahirkan dalam bentuk suara dan huruf. Oleh karena yang dibaca oleh pembaca buka kalam Allah, apa yang didengar buka kalam Allah. Karena kalau dikatakan kalam Allah berarti mengakui adanya sesuatu yang tidak akan terjadi pengakuan terhadap dua kalam pada suatu tempat. Pendapat lainnya mereka sepakat dengan Ahlus sunnah bahwa imam itu dipilih, urutan khulafaur Rasyidin menunjukkan keutamaan mereka. Meskipun ekstrim dalam kemakshuman nabi baik dari dosa kecil maupun dosa besar sampai niat berbuat dosa sekalipun, disamping itu mereka pun mengingkari karomah para wali baik dimasa sahabat ataupun sesudahnya.



F. Kritik Terhadap Ajaran Mu’tazilah Pada ajaran Mu’tazilah at-Tauhid dikatakan bahwasanya “Mereka menafikan/ meniadakan sifat-sifat Allah sebab bila Allah bersifat dan sifatnya itu bermacammacam, pasti Allah itu berbilang.” Sudah dijelaskan di Al-Qur’an bahwa Allah mempunyai



sifat wajib yang sebanyak 20, yaitu wujud, qidam, baqa’,



muqalafatililqawatisi, dsb. Jadi sangat jelas bahwa ajaran at-Tauhid ini menyimpang dengan esensi Al-Qur’an. Pada kasus ini, orang-orang Mu’tazilah salah menafsirkan sifat-sifat Allah. Sifat yang banyak tidak berarti Allah berbilang-bilang. Allah tetap Esa dengan segala sifat-sifatnya. At-Tauhid juga mengajarkan bahwa “Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti.” Ajaran ini juga tidak sesuai dengan Al-Qur’an, karena di Al-Qur’an dikatan barang orang-orang soleh akan berjumpa dengan Allah nanti di akhiat. Aliran Mu’tazilah juga tidak menyebutkan atas dasar apa ajaran ini dikeluarkan, jadi kefalidannya tidak jelas. Ajaran ketiga aliran Mu’tazilah adalah janji dan ancaman yang di dalamnya tertulis bahwa “di akhirat tidak akan ada Syafaat karena syafaat berlawanan dengan al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman).” Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa siapa yang selalu berolawat atas Nabi maka di hari akhir akan mendapat Syafaatnya. Memang Syafaat ini hanya untuk orang-orang yang taat, jadi orang-orang yang



berbuat dosa besar dan meninggal sebelum bertaubat sudah dipastiakan tidak akan mendapat Syafaat di hari akhir. Sesuai eseni Al-Qur’an, Syafaat ada di hari akhir, jadi ekali lagi ajaran ini menyimpang dari dasar-dasar agama Islam. Selanjutnya yaitu ajaran tentang tempat diantara dua tempat, tempat bagi orang Fasik, yaitu orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak Musyrik, nanti akan ditempatkan disuatu tempat yang berada diantara surga dan neraka. Ajaran ini sangat membingungkan, karena Mu’tazilah sendiri tidak mendiskribsikan bagaimana keadaan tempat tersebut. Bisa tempat yang setengah surga dan setengah neraka, atau mungkin bisa juga tempat yang setengah panas dan setengah indah. Kalau dipikir secara logika sangat tidak rasional. Tidak adil juga jika orang yang berbuat dosa besar tidak disiksa dalam neraka, padahal dikatakan dalam Al-Qur’an, jangankan dosa besar, dosa sekecil zahro saja akan dipertangjawabkan yaitu berupa siksa api neraga. Lalu bagaimana bisa orang yang berbuat dosa besar tidak masuk dalam neraka. Dalam ajaran amar ma’ruf nahi munkar, Mu’tazilah mengatakan bahwa “Orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan atau diluruskan”. Tercatat oleh sejarah bahwa kaum Mu’tazilah pernah membunuh ulamaulama Islam diantaranya ulama Islam yang terkenal Syekh Buwaithi, seorang ulama pengganti Imam Syafi’i dalam suatu peristiwa “Qur’an Makhluk”. Pada ajaran ini kaum Mu’tazilah menggunakan dasar al-Hadist yang artinya “siapa diantaramu yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tanganmu”. Nampaknya salah penafsiran terjadi kembali pada ajaran ini. Hadist mengatakan “rubahlah dengan tanganmu sendiri” maksudnya tidak dengan kekerasan tangan (membunuh) seperti yang dilakukan kaum Mu’tazilah tersebut. Namun bagaimana kita bertindak untuk membenarkan mereka yang salah dengan halus dan sopan seperti cara Rasul menyebarkan ajaran Islam. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan amar ma’ruf atau menyuruh kebaikan itu dimaksudkan hanya ma’ruf (kebaikan) bagi kaum



Mu’tazilah, yaitu hanya pendapat mereka bukan ma’ruf (kebaikan) yang sesuai dengan Qur’an15.



15



http://syafieh.blogspot.com/2013/03/ilmu-kalam-aliran-mutazilah.html



unduh pada tanggal 28 november 2013



di