Semiotik Dan Penerapannya Dalam Karya Sastra [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra Prof Okke Zaemar Buku karangan Prof Okke Zaemar yang berjudul “Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra” membahas tentang penelitian karya sastra dengan pendekatan semiotik. Yang dimaksud dengan semiotik di sini adalah ilmu tentang tanda. Karya sastra adalah di antara bidang ilmu yang dapat diteliti dengan pendekatan semiotik. Buku tersebut membicarakan semiotik modern dengan dua orang pelopornya, yaitu Charles Sanders Peirce (1839—1914) dan Ferdinand de Saussure (1857— 1913). Gagasan Peirce adalah sebagai berikut: 1. Segitiga semiotik: representamen, objek, dan



objek



interpretan. Representamen adalah unsur tanda yang mewakili sesuatu, objek adalah sesuatu yang



representamen



interpretan



diwakili, interpretan adalah tanda yang tertera di dalam pikiran si penerima setelah melihat representamen.



Segitiga



semiotik



ini



dapat



objek objek biasa disebut proses objeksemiosis. berlanjut atau membentuk tanda lain yang



representamen



interpretan representamen



interpretan representamen



interpretan, dst



2. Trikotomi tanda, meliputi: a. Hubungan objek dengan tanda (representamen), yang mencakup: i.



ikon, hubungan berdasarkan kemiripan: ikon topologis, ikon diagramatik, dan ikon mataforis



ii.



indeks, hubungan yang mempunyai jangkauan ekstensial



iii.



simbol, hubungan berdasarkan konvensi



b. Hubungan representamen dengan objek, mencakup: qualisign, sinsign dan legisign



1



c. Hubungan interpretan dan tanda, mencakup: rheme, discent, dan argument. Ferdinan Saussure mengemukakan gagasan sebagai berikut: 1.



Hubungan sinkroni dan diakroni. Penelitian bahasa



tidak hanya dapat dilakukan secara diakronis (berdasarkan sejarah dan perkembangan bahasa) tapi juga secara singkronis (terhadap satu bahasa atau bahasa-bahasa yang sezaman). 2.



Langue dan parole. Langue adalah seluruh kekayaan



bahasa yang menjadi milik masyarakat dan merupakan konvensi. Parole adalah ujaran yang dihasilkan oleh individu. 3.



Tanda bahasa. Terdapat tiga istilah yaitu: bahasa (sign),



penanda (signifier), dan petanda (signified). Penanda berupa imaji bunyi dan petanda berupa konsep. 4.



Hubungan sintagmatik dan paradigmatik. Sintagmatik



adalah hubungan mata rantai dalam rangkaian ujaran karena sifat bahasa yang linear. Hubungan paradigmatik adalah hubungan antara unsur yang hadir dengan yang tidak hadir serta dapat saling menggantikan. Umberto Eco, seorang ahli semiotik Italia yang sangat berpengaruh mendefinisikan semiotik sebagai suatu program penelitian yang mempelajari semua proses kebudayaan sebagai proses komunikasi. Eco menggambarkan proses komunikasi yang ‘biasa’ terjadi dalam memahami teks melalui bagan berikut. teks yg sudah bisa ‘dibaca’



pengirim kode dan subkode



saluran komunikasi



teks sebagai ujaran



penerima



konteks situasi



Kode subkode



teks yg diinterpretasik an sebagai isi



Eco mengatakan bahwa komunikasi dalam karya sastra tidak selalu bermakna tunggal, karena penulis dan pembaca dipengaruhi oleh hal-hal dalam dirinya masingmasing. Meskipun demikian penyimpangan pemahaman bisa diterima sebagai interpretasi yang berbeda.



2



Terdapat dua macam teks menurut Eco, yaitu teks tertutup yang ‘keterbukaanya’ untuk setiap kemungkinan interpretasi terbatas dan teks terbuka yang membuka diri bagi berbagai interpretasi. Walaupun demikian, teks tidak dapat diinterpretasi seenaknya karena ditentukan oleh susunan kosakata dan sintaksisnya. Analisis semiotik atas karya sastra berfokus pada tiga aspek, yaitu aspek sintaktika yang mengemukakan hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam teks, aspek semantika, yaitu mengemukakan hubungan antara unsur-unsur yang hadir dalam teks dan acuannya yang berada di luar dunia kebahasaan, dan aspek pragmatika, yaitu studi tentang hubungan antara tanda dan pemakaiannya yang mencakup pemakaian bahasa dan efek yang ditimbulkannya. Untuk menghindari kritikan bahwa pendekatan strukturalisme dan semiotik terlalu memfokuskan diri pada karya, para ahli semiotik mencari jalan keluar dengan menghubungkan antara satu teks dengan teks yang lain. Usaha ini melahirkan teori tentang perluasan teks dan perluasan makna. Beberapa cara perluasan teks berupa hubungan antarteks yang dikemukakan oleh para ahli mencakup perluasan jenis teks, mulai dari teks lisan, tulis, dan teks audio-visual. Berkaitan dengan perluasan teks dan makna, Roland Barthes (1915—1980) memunculkan teori mitos, yaitu suatu sistem komunikasi yang membawakan pesan. Teori ini sangat penting karena dapat menjembatani teori dan penelitian berbagai macam teks, baik verbal, maupun nonverbal. Untuk memahami mitos Barthes mengemukakan teori signifikasi. Dalam teori dilakukan perluasan makan. Pemaknaan terjadi dalam dua tahap. Tanda (penanda dan petanda) pada tahap pertama dan menyatu sehingga membentuk penanda pada tahap kedua. Berikutnya penanda dan petanda yang telah menyatu membentuk petanda baru yang merupakan perluasan makan. Makna tahap pertama disebut denotasi dan tahap kedua disebut konotasi. Barthes juga mengemukakan perluasan bentuk yang disebutnya metabahasa. Perbedaanya dengan perluasan makna adalah bahwa setelah petanda dan penanda menyatu, yang muncul adalah tahap kedua yang merupakan perluasan bentuk yang menjadi ‘ros’ yang disebutnya metabahasa.



3



Mitos tidak memerlukan kebenaran sebagai saksinya. Tak ada yang tetap dalam konsep mitos, konsep dapat meluas melalui penanda yang sangat besar dan panjang, sebaliknya bentuk yang sangat kecil dapat menjadi penanda dari konsep yang sangat berkembang. Komentar Pribadi Analisis semiotis yang dilakukan terhadap karya sastra adalah dalam rangka memberi makna pada teks. Karena karya sastra merupakan sistem tanda yang memiliki makna dengan bahasa sebagai medianya. Bahasa sebagai media karya sastra merupakan sistem tanda. Dalam hal ini, arti bahasa disebut sistem tanda tingkat pertama (meaning) dan arti sastra disebut sistem tanda tingkat kedua atau makna (significance). Makna sastra tidak selalu sama atau hanya mencakup makna bahasanya. Makna sastra mencakup makna yang luas seperti arti bahasa, suasana, perasaan, arti tambahan, daya liris, pengertian yang timbul oleh konvensi sastra. Makna sastra berisi arti tambahan berdasarkan konvensi sastra bersangkutan. Memberi makna karya sastra berarti mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna karya sastra. Maka menurut Culler (1981) menganalisis karya sastra sama dengan memburu tanda-tanda. Dengan demikian, studi sastra dengan pendekatan semiotik adalah untuk menganalisis sistem tanda dan menentukan konvensi-konvensi yang memungkinkan karya sastra memiliki arti tambahan. Dulu penelitian sastra dianggap sebagai bukan penelitian ilmiah karena setiap peneliti dapat memperlakukan karya sastra sesuai dengan ‘kehendaknya’. Kini, hampir semua penelitian karya sastra didukung oleh pendekatan strukturalisme dan semiotik. Pendekatan strukturalisme dan semiotik dalam meneliti karya sastra tidak dapat dipisahkan karena strukturalisme mendasarkan pada struktur karya, sedangkan semiotik menganggap struktur sebagai tanda. Oleh karena itu kedua pendekatan ini saling melengkapi. Tanpa memperhatikan sistem tanda dan maknanya, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti secara maksimal.



4