SGD Integumen-Skleroderma New Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Ffgu6jy6ASUHAN KEPERAWATAN DEWASA DENGAN GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN : SKLERODERMA



Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Keperawatan Integumen yang Diampu Ibu Ilya Krisnana, S.Kep. Ns., MKep. Oleh: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.



KELOMPOK 3 AJ-2 B18 Hairun Puspah 131511123016 Cicik Eka Irawati 131511123024 Auzan Muttaqin 131511123030 Novia Shinthia Dewie 131511123050 Muhammad Ali 131511123066 Lailatul Isnaini 131511123070 Muhammad Saelindra 131511123090 Kurnia Fidyastria 131511123092



Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya 2016 DAFTAR ISI 1



HALAMAN JUDUL........................................................................................ 1 DAFTAR ISI......................................................................................................2 BAB I PENDAHULUAN..................................................................................3 1.1 Latar Belakang.......................................................................................3 1.2 Tujuan.....................................................................................................4 1.3 Rumusan Masalah..................................................................................4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................6 2.1 Definisi...................................................................................................6 2.2 Etiologi...................................................................................................6 2.3 Patofisiologi...........................................................................................7 2.4 WOC....................................................................................................14 2.5 Klasifikasi............................................................................................15 2.6 Manifestasi Klinis................................................................................16 2.7 Pemeriksaan Diagnostik.......................................................................22 2.8 Penatalaksanaan...................................................................................24 2.9 Komplikasi...........................................................................................27 2.10 Prognosis............................................................................................28 BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORI................................................30 3.1 Pengkajian............................................................................................30 3.2 Diagnosa Keperawatan........................................................................32 3.3 Interevensi Keperawatan......................................................................32 BAB IV PENUTUP......................................................................................... 37 4.1 Kesimpulan.......................................................................................... 37 4.2 Penutup................................................................................................ 38 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................39



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.



Latar Belakang Skleroderma adalah penyakit yang cukup langka terjadi. Kata skleroderma berasal dari bahasa Yunani yaitu sclero berarti keras dan derma berarti kulit. Skleroderma merupakan penyakit kronis yang menyerang jaringan ikat, dan



2



diklasifikasikan sebagai salah satu penyakit rematik autoimun (Mort, 2010). Menurut Gilliland (2005) Sklerosis sistemik (skleroderma) ialah penyakit multisistim kronis, penyebabnya belum diketahui. Sklerosis sistemik ditandai dengan kulit menebal akibat penumpukan (akumulasi) jaringan ikat (konektif), disertai kelainan fungsi dan bentuk organ viseral termasuk saluran cerna, paru, jantung dan ginjal. Prevalensi skleroderma relatif rendah, anak-anak dan dewasa muda jarang terkena. Usia 30 sampai 50 tahun merupakan usia terbanyak yang terkena penyakit ini. Pada usia kurang dari 16 tahun, kejadiannya (insidens) sekitar 3% dari seluruh kasus skleroderma. Perempuan terkena 3 kali lebih sering dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Mort (2010) ada lebih dari lima ribu orang di Australia mengalami skleroderma sistemik. Secara statistik, wanita tiga hingga empat kali lebih banyak terkena penyakit skleroderma daripada pria. Skleroderma dapat berkembang dan ditemukan dalam setiap kelompok umur dari bayi sampai orang tua, namun paling sering ditemui pada usia antara 25-55 tahun. Patogenesis skleroderma sangat kompleks, diduga karena faktor pencetus yang sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Faktor yang diduga berkaitan dengan penyakit ini antara lain ras kulit berwarna, keadaan lingkungan, misalnya: debu silika, bahan kimia dan obat-obatan. Tanda dan gejala penyakit skleroderma berbeda-beda, kadang terlihat dan mungkin juga tidak terlihat, tergantung bagian tubuh yang terkena dan tingkat keparahannya. Pada beberapa kasus, skleroderma memberi dampak hanya pada kulit. Akan tetapi, ada juga yang berdampak pada struktur luar kulit seperti pembuluh darah, organ internal, dan saluran pencernaan. Salah satu tanda dan gejala yang ditemukan pada penderita skleroderma adalah adanya sindroma CREST (Calcinosis, fenomena Raynaud, disfungsi esofagus, sklerodaktili, dan telengiektasis) (Mort, 2010). Akibat munculnya tanda dan gejala di atas menimbulkan beberapa permasalahan diantaranya impairment berupa adanya rasa nyeri pada kedua tangan, kekakuan pada sendi sehingga menyebabkan terjadinya keterbatasan lingkup gerak, dan adanya penurunan kekuatan otot telapak tangan dan otot-



3



otot jari. Selain itu, terjadi keterbatasan saat pasien melakukan aktifitas fungsional seperti menggenggam, bersalaman, mengangkat barang, dan keterbatasan saat beraktifitas. Berdasarkan hal tersebut, maka penyakit Skleroderma ini perlu dipelajari khususnya dalam praktek Asuhan Keperawatan sistem integumen. Melalui makalah ini akan kami bahas tentang skleroderma yang meliputi; anatomi fisiologi, definisi, etiologi, patofisiologi, WOC,



klasifikasi,



manifestasi



skleroderma,



pemeriksaan



diagnostik,



penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi, dan prognosis, serta Asuhan keperawatan pada pasien dengan skleroderma. 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep teori skleroderma? 2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pasien dengan skleroderma? 1.3.



Tujuan 1.3.1.Tujuan Umum Setelah proses pembelajaran, diharapkan mahasiswa mampu melakukan Asuhan keperawatan sistem integumen pada klien dengan skleroderma. 1.3.2.Tujuan Khusus 1.



Mengetahui pengertian skleroderma



2.



Mengetahui etiologi dari skleroderma



3.



Mengetahui patofisiologi dari skleroderma



4.



Mengetahui WOC dari skleroderma



5.



Mengetahui klasifikasi dan patofiologis skleroderma



6.



Mengetahui manifestasi klinis skleroderma



7.



Mengetahui pemeriksaan dignostik pada skleroderma



8.



Mengetahui penatalaksanaan pasien dengan skleroderma



9.



Mengetahui komplikasi skleroderma



11. Mengetahui prognosis skleroderma 12. Mengetahui Asuhan keperawatan pasien dengan skleroderma



4



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.



Definisi Skleroderma (Sklerosis Sistemik) merupakan suatu gangguan yang bersifat kronis dan jarang terjadi, yang ditandai dengan adanya perubahan degeneratif dan pembentukan jaringan parut pada kulit, persendian dan organorgan dalam, serta adanya kelainan pada pembuluh darah. Gangguan ini menyebabkan pengerasan dan pengencangan pada kulit dan jaringan ikat.



5



2.2.



Etiologi Etiologi belum diketahui secara pasti (Djuanda, 2007) diduga beberapa faktor dapat mempengaruhi skleroderma antara lain:



a. Faktor Genetik Skleroderma adalah penyakit yang tidak diturunkan sesuai dengan hukum Mendelian. Kembar dizigot dan monozigot menunjukkan kekerapan yang berbeda. Sekitar 1,6% pasien skleroderma memiliki resiko relatif sebesar 13 yang menunjukkan pentingnya faktor genetik. Resiko penyakit autoimun lain termasuk systemic lupus erythematosus (SLE) dan rheumatoid arthritis (RA) juga meningkat pada keturunan pertama pasien skleroderma. Penelitian genetik saat ini difokuskan pada polimorfisme gen kandidat, terutama gen yang berhubungan dengan regulasi imunitas, inflamasi, fungsi vaskuler dan homeostasis jarigan ikat. Hubungan yang lemah antara single nucleotide polymorphisms (SNPs) dengan skleroderma telah dilaporkan pada gen yang mengkode angiotensin-converting enzyme (ACE), endothelin 1, nitric oxide synthase, B-cell markers (CD19), kemokin (monocyte chemoattractantprotein 1) dan reseptor kemokin, sitotokin (interleukin (IL)-1 alpha, IL-4, dan tumor necrosis factor (TNF)alpha), growth factors dan reseptornya (connective tissue growth factor [CTGF] and transforming growth factor beta [TGF-beta]) dan protein matriks ekstraseluler (fibronectin, fibrillin, and SPARC) (Setiyohadi, 2006).



b. Faktor Lingkungan Agen infeksius terutama virus, paparan toksin lingkungan dan pekerjaan



serta



obat-obatan



telah



dicurigai



dapat



mencetuskan



skleroderma. Pada pasien dengan skleroderma ditemukan peningkatan antibodi



terhadap



human



cytomegalovirus



(hCMV)



dan



antitopoisomerase I autoantibodies yang dapat memicu terjadinya apoptosis dan aktifasi fibroblast kulit. Hal ini terjadi melalui proses mimikri



molekuler



antara



hCMV



dengan



host.



Penelitian



lain



6



menunjukkan implikasi infeksi hCMV pada vaskulopati allograft pada transplantasi organ padat. Vaskulopati ini dicirikan dengan pembentukan neointima vaskuler, proliferasi otot polos dan vaskulopati obliteratif. hCMV dapat secara langsung menginduksi produksi CTGF pada fibroblast yang terinfeksi sehingga hipotesis tentang peran hCMV terhadap kejadian skleroderma adalah rasional. Infeksi Human parvovirus B19 juga diperkirakan berhubungan dengan kejadian



Skleroderma (Gabrielli,



2009). Beberapa peneliti melaporkan terjadinya peningkatan insiden skleroderma pada pekerja yang terpapar silika. Paparan kerja lainnya yang mungkin berhubungan dengan skleroderma adalah polyvinyl chloride, epoxy resins dan aromatic hydrocarbons (toluene, trichloroethylene). Obat-obatan yang berhubungan dengan kejadian skleroderma adalah bleomycin, pentazocine, cocaine dan penekan nafsu makan (terutama derivat fenfluramine) yang berhubungan dengan kejadian



hipertensi



pulmonal (Gabrielli, 2009) 2.3.



Patofisiologi Patogenesis skleroderma terdiri dari proses vaskulopati, aktivasi respon imun seluler dan humoral serta progresivitas fibrosis organ multipel. Autoimunitas, perubahan fungsi sel endotel dan aktifitas vaskuler mungkin merupakan manifestasi dini dari skleroderma berupa fenomena Raynaud yang terjadi bertahun-tahun sebelum gambaran klinis lain muncul. Terjadi proses yang kompleks dari proses fibrosis mulai dari inisiasi, amplifikasi dan perbaikan jaringan (Varga, 2008). Cedera vaskuler dini pada penderita yang secara genetik rentan terhadap scleroderma, akan menyebabkan perubahan fungsi dan struktur vaskuler, inflamasi dan terjadinya autoimunitas. Inflamasi dan respon imun akhirnya menyebabkan sel fibroblast teraktifasi dan berdifernsiasi secara terus menerus, menghasilkan fibrogenesis yang patologis dan kerusakan jaringan yang ireversibel (Varga, 2008).



7



Gambar 1. Skema pathogenesis kompleks Sklerosis Sistemik(Mayes, 2008).



2.3.1 Vaskulopati Pada Skleroderma keterlibatan vaskuler yang terjadi tersebar luas dan penting dalam implikasi klinis. Fenomena Raynaud, sebagai manifestasi awal penyakit ditandai dengan perubahan respon aliran darah pada suhu dingin. Perubahan ini awalnya reversibel, terjadi akibat perubahan sistem saraf otonom dan perifer dengan kurangnya produksi neuropeptida seperti calcitonin gen-related peptide dari aferen saraf sensoris dan peningkatan sensitifitas reseptor alpha 2-adrenergik pada sel otot polos vaskuler. Pada fenomena Raynaud primer gejala klinis relatif lebih ringan dan tidak progresif seperti halnya Skleroderma yang mengakibatkan perubahan morfologi dan fungsi sirkulasi yang ireversibel dan mengakibatkan cedera endotel (Richard et al., 2006). Di dalan sel endotel terdapat perubahan produksi dan responsifitas endothelium-derived factors yang memediasi vasodilatasi (nitric oxide, 8



prostacyclin) dan vasokonstriksi (endothelin-1). Terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah mikro sehingga diapedesis leukosit transendotelial meningkat, aktifasi kaskade koagulasi dan fibrinolitik serta agregasi trombosit. Proses ini menyebabkan terjadinya trombosis. Sel Endotel menunjukkan peningkatan ekspresi molekul adhesi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) serta molekul adhesi permukaan lainnya (Richard et al., 2006). Vaskulopati mempengaruhi pembuluh darah kapiler, arteriole dan bahkan pembuluh darah besar pada berbagai organ. Sel miointimal yang menyerupai sel otot polos mengalami proliferasi, membran basal menebal, reduplikasi serta terjadi perkembangan fibrosis adventitia. Oklusi lumen vaskuler progresif akibat hipertrofi tunika intima dan media serta fibrosis adventitia, ditambah dengan kerusakan persisten sel endotel dan apoptosis sehingga menjadi suatu lingkaran setan.



Angiogrom tangan dan ginjal



pasien Skleroderma stadium lanjut menunjukkan hilangnya gambaran vaskuler (Richard et al., 2006). Kerusakan endotel menyebabkan agregasi trombosit dan pelepasan vasokonstriktor (tromboksan) dan platelete derived growth factor (PDGF). Kerusakan vaskuler ini kemudian diikuti dengan gangguan fibrinolisis. Stress oksidatif akibat iskemia berhubungan dengan terbentuknya radikal bebas yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan endotel lebih lanjut melalui peroksidasi lipid membran. Sebaliknya, proses revaskularisasi yang seharusnya mempertahankan aliran darah pada jaringan yang iskemik tampaknya gagal pada Skleroderma. Kegagalan vaskulogenesis terjadi dalam keadaan kadar faktor angiogenik yang tinggi seperti



vascular



endothelial growth factor (VEGF). Pada pasien Skleroderma, jumlah progenitor sel CD34+ dan CD133+ dari sumsum tulang yang beredar dalam sirkuklasi jumlahnya menurun secara bermakna. Lebih jauh lagi, penelitian in vitro menunjukkan diferensiasinya menjadi sel endotel matur terganggu. Oleh karena itu vaskulopati obliteratif dan kegagalan perbaikan pembuluh darah adalah pertanda dari Skleroderma (Richard et al., 2006). 2.3.2. Autoimunitas Seluler dan Humoral Pada stadium dini penyakit, sel T dan monosit/makrofag yang teraktifasi akan terakumulasi di dalam lesi di kulit, paru dan organ lain yang 9



terkena. Sel T yang menginfiltrasi, mengekspresikan penanda aktivasi seperti CD3, CD4, CD45 dan HLA-DR serta menampakkan restriksi reseptor yang mengindikasikan ekspansi oligoclonal sebagai respon terhadap antigen yang tidak diketahui. Sel T CD4+ yang bersirkulasi juga meningkatkan reseptor kemokin dan mengekspresikan molekul adhesi alpha 1 integrin yang berfungsi meningkatkan kemampuan untuk mengikat endotel dan fibroblast (Mayes, 2008). Sel endotel mengekspresikan ICAM-1 dan molekul adhesi lain yang memfasilitasi diapedesis leukosit. Makrofag dan sel T yang teraktivasi menunjukkan respon Th2 terpolarisasi dan mensekresi Interlukin (IL) 4 dan IL 13. Kedua sitokin Th2 ini dapat menginduksi TGF-beta yang merupakan modulator regulasi imun dan akumulasi matriks. TGF-beta dapat menginduksi produksi dirinya sendiri serta sitokin lain karena mempunyai aktifitas autokrin/parakrin untuk mengaktifasi fibroblast dan sel efektor lain (Mayes, 2008). Penelitian DNA mengenai ekspresi sel T CD8+ pada lavase cairan bronchial menunjukkan pola ekspresi gen Th2 terktivasi yang dicirikan dengan peningkatan kadar IL-4 dan IL-13 serta penurunan produksi interferon gamma (IFN-gamma). Sitokin Th2 merangsang sintesis kolagen dan respon profibrosis lain. IFN-gamma menghambat sintesis kolagen dan memblok aktivasi fibroblast yang dimediasi sitokin (Mayes, 2008). Autoantibodi yang bersirkulasi terdeteksi pada pasien skleroderma. Autoantibodi



ini



spesifisitasnya



tinggi



terhadap



skleroderma



dan



menunjukkan hubungan yang kuat dengan fenotif penyakit individual dan haplotipe HLA yang dibedakan secara genetik. Kadar autoantibodi berhubungan dengan keparahan penyakit dan titernya berfluktuasi sesuai aktifitas penyakit. Autoantibodi spesifik Skleroderma adalah antinuklear dan menyerang langsung protein mitosis seperti topoisomerase I dan RNA polymerase. Autoantibodi lain langsung menyerang antigen permukaan atau protein yang disekresi. Autoantibodi Topoisomerase I pada Skleroderma dapat secara langsung mengikat fibroblast demikian juga autoantibodi terhadap



fibroblast,



sel



endotel,



fibrillin-1



serta



enzim



matriks



10



metalloproteinase. Beberapa autoantibodi ini mungkin mempunyai peran patogenik langsung sebagai mediator kerusakan jaringan (Mayes, 2008). Berbagai mekanisme potensial telah diajukan dengan memperhitungkan peran pembentukan autoantibodi pada Skleroderma. Menurut salah satu teori, pada pasien sklerodema self-antigen spesifik dapat membuat perubahan struktural melalui celah proteolitik, peningkatan level ekspresi atau perubahan lokalisasi subseluler sehingga sel tersebut dapat dikenali oleh sistem imun. Sebagai contoh, sel Tc melepaskan protease granzim B yang merusak autoantigen, menghasilkan fragmen baru dengan neo-epitop potensial yang merusak toleransi imun (Mayes, 2008). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel B berperan



baik dalam



autoimunitas dan fibrosis pada scleroderma. Selain menghasilkan antibodi, Sel B dpat berperan sebagai antigen presenting cell (APC), menghasilkan sitokin seperti IL-6 dan TGF-beta, serta memodulasi fungsi sel T dan sel dendritik. Sel B pada pasien skleroderma menunjukkan abormalitas intrinsik dengan peningkatan ekspresi reseptor sel B CD19, ekspansi sel B naif dan menurunkan jumlah sel B memori serta sel plasma (Mayes, 2008). 2.3.3. Komponen Seluler dan Molekuler Fibrosis Fibrosis yang terjadi pada berbagai organ adalah penanda utama Skleroderma yang membedakan Skleroderma dengan penyakit jaringan ikat lain. Fibrosis merupakan konsekuensi dari autoimunitas dan kerusakan vaskuler. Proses ini ditandai dengan penggantian arsitektur jaringan normal dengan jarunga ikat aseluler yang progresif yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas scleroderma (Denton and Black, 2006). Fibroblast dan sel mesenkim normalnya bertanggungjawab terhadap integritas fungsional dan struktural jaringan ikat parenkim organ. Ketika Fibroblast diaktivasi oleh TGF-beta dan sitokin lain, fibroblast mengalami proliferasi, migrasi, relaborasi dengan kolagen dan matriks makromolekul lain, mensekresi growth factor dan sitokin, mengekspresi reseptor permukaan untuk sitokin-sitokin tersebut dan berdiferensiasi menjadi miofibroblast. Respon fibroblast ini memfasilitasi perbaikan cedera jaringan yang efektif. Pada kondisi fisiologis, program perbaikan fibroblast akan



11



berhenti dengan sendirinya setelah penyembuhan terjadi (Denton and Black, 2006). Pada respon fibrosis yang patologis, aktivasi fibroblast terjadi terusmenerus dan makin besar yang menghasilkan perubahan matriks dan pembentukan jaringan parut.



Aktivasi fibroblast yang salah ini serta



akumulasi matriks adalah perubahan patologis utama yang mendasari terjadinya fibrosis pada scleroderma (Denton and Black, 2006). Selain aktivasi fibroblast jaringan ikat lokal, sel progenitor mesenkimal dari sumsum tulang yang beredar juga berperan dalam fibrogenesis. Sel mononuklear yang mengekspresikan CD14 dan CD34 berdiferensiasi memproduksi kolagen alpha-smooth muscle actin-positive fibrocytes pada penelitian in vitro. Proses ini diperkuat oleh TGF-beta (Denton and Black, 2006).



Gambar 2. Aktivasi Fibroblast pada scleroderma (Gabrielli et al., 2009).



Faktor-faktor yang meregulasi produksi progenitor sel mesenkim di sumsum tulang, perjalananannya dari dalam sirkulasi ke tempat lesi, dan meningkatnya diferensiasinya menjadi matriks adesif dan fibrosit yang kontraktil belum sepenuhnya diketahui. Transisi sel epitel menjadi



sel



mesenkim adalah proses yang terjadi dalam berkembangnya fibrosis di paru dan ginjal serta organ lain (Denton and Black, 2006).



12



Fibroblast dapat berdiferensiasi menjadi miofibroblast yang mirip otot polos. Baik proses transisi epitel dan diferensiasi miofibroblast dimediasi oleh TGF-beta. Miofibroblast bertahan di dalam jaringan terjadi karena adanya resistensi terhadap apoptosis. Miofibroblast berkontribusi terhadap pembentukan skar melalui kemampuannya dalam memproduksi kolagen dan TGF-beta, memperbesar kekuatan kontraktil pada matriks di sekitar dan mengubahnya menjadi skar yang rapat (Denton and Black, 2006). Ditemukan peningkatan kecepatan transkripsi gen kolagen tipe I dari fibroblast pasien skleroderma. Didapatkan juga peningkatan sintesis berbagai molekul matriks ekstraseluler, ekspresi reseptor kemokin dan molekul adhesi permukaan, sekresi PDGF, resitensi tehadap apoptosis dan sinyal autokrin TGF-beta. Aktivasi sinyal transduksi TGf-beta intraseluler yang tidak benar melalui Smad3 phosphorylation dan



kegagalan loop



umpan balik negative Smad-7 tampak pada Skleroderma. Protein koaktivator inti p300 memfasilitasi transkripsi yang dimediasi Smad dan merupakan lokus yang penting dalam integrasi sinyal ekstraseluler yang memodulasi fungsi fibroblast. Abnormalitas ekspresi, fungsi dan interaksi antara Smad, p300 dan protein seluler lain mempengaruhi progresifitas proses fibrogenik scleroderma dengan cara memodulasi transkripsi gen (Denton and Black, 2006)



13



Gambar 3. Perubahan lesi pada berbagai stadium Skleroderma (Gabrielli et al., 2009).



2.4. WOC 2.5. Klasifikasi Berdasarkan pola distribusi dan luasnya keterlibatan kulit, Skleroderma dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu : 1.



Skleroderma Lokal Morfea, yang juga dikenal sebagai skleroderma lokalisata (localized scleroderma), adalah suatu penyakit yang ditandai dengan deposit kolagen yang berlebihan yang menyebabkan penebalan epidermis, jaringan subkutan, atau keduanya (Jennife and Victoria, 20101) tanpa keterlibatan sistemik (Vincent and Christina, 2008). Skleroderma merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak putih kekuning-kuningan dan keras, yang sering kali mempunyai halo ungu disekitarnya. Termasuk dalam kelompok ini adalah : a. Plaque Morphea : Perubahan setempat yang dapat ditemukan dibagian tubuh mana saja, fenomena raynaud sangat jarang ditemukan. b. Linear Sklerosis : Terdapat pada anak-anak, ditandai



perubahan



skleroderma pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atrofi otot dan tulang dibawahnya 14



c. Skleroderma en coup de sabre : Merupakan varian skleroderma linier, dimana garis yang sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dana kelainan tulang (Sriwulandari, 2011). 2.



Sklerosis sistemik Sklerosis Sistemik (Skleroderma) adalah penyakit sistemik kronis yang ditandai dengan penebalan dan fibrosis kulit (skleroderma) dengan keterlibatan organ internal yang luas terutama paru, saluran cerna, jantung dan ginjal. Stadium dini dari penyakit ini berhubungan dengan gambaran inflamasi yang menonjol, diikuti dengan perubahan struktural dan fungsional yang menyeluruh pada mikrovaskular dan disfungsi organ yang progresif akibat dari proses fibrosis. Adanya gambaran skleroderma, membedakan sklerosis sistemik dari penyakit jaringan ikat lain (Gabrielli et al., 2009). a. Sklerosis sitemik difusa : Dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas, muka dan seluruh tubuh. b. Sklerosis sistemik terbatas : Penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah



sindroma



CREST



(calcinosis,



esophageal



dysmotility,



sclerodactily, teleangiectasis). c. Sklerosis sitemik sine skleroderma : secara klinis tidak didapatkan kelainan kulit walaupun terdapat kelainan organ dan gambaran serologis yang khas untuk sklerosis sistemik. d. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome : Arthritis rheumatoid atau penyakit otot inflamasi e. Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensiasi : bila didapatkan fenomena Raynaud dengan gambaran klinis atau laboratorik sesuai dengan sklerosis sitemik (Sriwulandari, 2011). Tabel 1. Perbedaan antara sklerosis sitemik terbatas dan sklerosis sistemik difusa



Sklerosis Sistemik Terbatas versus Sklerosis Sistemik Difusa Tampilan Sklerosis Sistemik Terbatas Sklerosis Sistemik Difus Kulit yang



Terbatas pada jari, lengan



Difus: jari-jari, ekstremitas, wajah,



terlibat



distal, wajah, progresifitas



badan, progresifitas cepat



15



lambat Fenomena



Mendahului keterlibatan kulit;



Raynaud Fibrosis



berhubungan dengan iskemia



pulmonal Hipertensi arteri



Sejalan dengan keterlibatan kulit



Mungkin terjadi, moderat



Sering, awal dan berat



Sering, lambat, mungkin



Dapat terjadi, berhubungan dengan



terisolasi



fibrosis pulmonal



Sangat jarang



15 % terjadi; diawal



Sering, menonjol



Dapat terjadi, ringan



Antisentromer



Antitopoisomerase (Scl-70)



pumonal Krisis renal scleroderma Kalsinosis kutis Karakteristik autoantibody



2.6. Manifestasi Klinis a. Skleroderma sirkumskripta/ Skleroderma lokalisata/Morfea 1. Morfea soliter (Morfea en plaque) Morfea ditandai dengan satu atau beberapa patch atau plak berindurasi



dan



berbatas



jelas



umumnya



dengan



hipo



atau



hiperpigmentasi. Lesi dini ditandai dengan edema dengan atau tanpa eritema sekitar. Nyeri muncul beberapa minggu sebelum muncul gejala klinik. Lesi aktif biasa berindurasi dan berbatas eritema dan violaceous. Lesi berkembang menjadi keputihan atau kuning, khususnya di sentral. Ukuran bervariasi dari 0,5-30 cm2. Morfea tipe plak ini lebih sering ditemukan pada batang tubuh, khususnya bagian bawah, dibandingkan ekstremitas dan wajah (Jennifer and Victoria, 2010).



16



Gambar 4. Morfea bentuk plak. Pada stadium awal dapat terlihat batas keunguan dan edema. (Vincent and Christina, 2008).



2. Morfea linier Morfea linier ditandai dengan indurasi kulit band-like dan seringnya dengan perubahan pigmen, yang dapat melewati garis sendi dan kadang menyebabkan kontraktur. Bentuk morfea ini muncul lebih umum pada anak-anak dan pada ekstremitas. Proses fibrotik sering sering meluas ke jaringan subkutaneus, termasuk fasia dan otot. Kontraktur dapat menjadi penyebab morbiditas dan deformitas. Pada anak yang sangat muda, dapat mempengaruhi pertumbuhan tulang dan mengganggu pertumbuhan jaringan. Proses pansklerotik yang meliputi seluruh ekstremitas terlihat pada kasus yang sangat berat (Vincent and Christina, 2008). Skleroderma linier yang terdapat pada wajah dapat berupa lapisan coklat keunguan atau putih, pita atropi berjalan vertikal di dahi, umumnya dikenal dengan en coup de sabre. Perubahan meliputi seluruh kulit kepala biasa ditemukan. Jika hanya jaringan subkutaneus, otot, dan tulang terkena, bentuk ipsilateral ini dikenal sebagai progressive facial hemiatrophy atau Parry-Romberg syndrome. Perluasan yang meliputi kulit dan perkembangan hemiatropi wajah tidak selalu berhubungan secara langsung. Pasien terkena lesi wajah dan Parry-Romberg syndrome datang dengan keadaan yang sangat berat. Pasien yang bergejala ringan dapat ditandai hanya dengan single linea atrophic band. Pasien yang bergejala berat dapat memiliki hemiatropi wajah dengan hilangnya jaringan subkutaneus, otot, dan tulang serta atropi lidah dan kelenjar ludah pada sisi yang sama. Pasien bergejala berat ini juga dapat memiliki gangguan sistem saraf meningen sehingga berpotensial kejang, sakit kepala, dan perubahan penglihatan (Vincent and Christina, 2008).



3. Morfea Segemental Bentuk ini dapat berlokalisasi di muka dan menyebabkan hemiatropi. Bila berada di sebuah atau lebih dari sebuah ekstremitas, di samping ada indurasi ada pula atrofi pada lemak subkutis dan otot. 17



Akibatnya ialah kontraktur otot dan tendon serta ankilosis pada sendi tangan dan kaki (Djuanda, 2007).



Gambar 5. Morfea linier. Kiri: plak indurasi linier yang meluas dari dorsal tangan kanan ke jari ketiga dan meliputi sendi interfalang proksimal dan distal dengan kontraktur. Kanan: en coup de sabre, tampak oblik (Vincent and Christina, 2008).



4. Morfea Generalisata Morfea generalisata merupakan bentuk yang lebih berat yang ditandai dengan lesi multipel, sering konfluen dan meliputi luas tubuh yang besar. Beberapa pasien dapat memiliki bentuk subkutaneus dengan cakupan permukaan tubuh yang lebih kecil (Goodfield and Jones, 2004). Onsetnya biasanya perlahan-lahan. Lesi dengan warna ungu disekeliling indurasi ivory-white shiny biasanya terlihat pada stadium awal. Plak biasanya lebih besar dibanding morfea lain, dengan diameter dalam sentimeter. Biasanya plak dimulai pada batang tubuh dan secara bertahap meningkat dalam ukuran, dengan perkembangan plak baru selama satu atau dua tahun. Area utama yang terkena adalah batang tubuh atas, dada, abdomen, dan paha atas (James et al., 2008).



18



Gambar 6. Morfea generalisata pada subkutaneus dengan perubahan permukaan minimal (Vincent and Christina, 2008).



b. Skleroderma difusa progresiva/ Sklerosis sistemik Skleroderma sistemik biasanya dimulai dengan keluhan seperti fenomena Raynaud yang kronik, edema pitting pada tangan dan jari-jari. Sepertiga pasien pertama kali mengeluh adanya sakit dan kaku pada jarijari dan lutut. Pada beberapa kasus, keluhan pertama adalah poliartritis aktif yang sering berpindah. Dalam kasus lain, terdapata arthritis jari-jari yang erosif dan berat. Pada pemeriksaan sinar X ditemukan : 1. Resorpsi jari-jari 2. Kalsifikasi subkutan 3. Ruangan persendian menyempit 4. Erosi fokal tulang-tulang tertentu (Danukusumo, 2000). Kelinan kulit mendahului kelainan alat-alat dalam beberapa tahun sebelumnya. Penyakit lebih lanjut akan meluas ke anggota gerak atas, badan, muka, dan akhirnya anggota gerak bawah. Pada fase dini pitting edema yang ringan, tidak sakit berlangsung beberapa bulan, kemudian kulit menjadi kasar. Sebelumnya kulit terasa indurasi, kaku, kemudian atrofi, keras dan melekat dengan struktur di bawahnya. Kulit pada muka menjadi seperti topeng tanpa ekspresi, kehilangan garis-garis muka, penipisan dari bibir dan penyempitan pembukaan mulut (mikrostomia) (Danukusumo, 2000). Tampak adanya alur-alur radial sekitar mulut. Jarang mukosa mulut terkena. Kulit hidung ketat dan nampak hidung lebih runcing. Telengangiektasi pada muka dan badan bagian atas. Pada daerah yang terkena, kulit menjadi tipis dan rambut menghilang tak berkeringat.



19



Hiperpigmentasinya



menyeluruh



seperti



penyakit



Addison.



Fokal



hipo/hiperpigmentasi timbul sebagai reaksi setelah adanya peradangan pada daerah sklerosis (Danukusumo, 2000). Sklerodaktili menyebabkan jari-jari menjadi runcing dengan kulit yang jelas atrofi. Seperti pada lupus eritematosus sistemik (SLE) ataupun dermatomiositis nampak adanya telangiektasi pada pinggir kuku. Sekitar 75% dari kasus skleroderma sistemik, pembesaran, pelebaran kapiler pada lipatan kuku, membentuk “Giant” atau bentuk sosis dapat dilihat dengan optalmoskop, ini berguna menkonfirmasi diagnosis. Problem yang umum adanya rasa sakit kambuhan pada tukak ujung jari . Penyembuhan pada tukak kuku jari lambat. Kontraktur fleksi pada jari-jari yang kaku menimbulkan masalah (Danukusumo, 2000). Pada sinar-X gigi, sering ada pelebaran membran periodontal dan lamina dura hilang. Penyerapan tulang pada sudut mandibula, mungkin akibat dari pengelupasan kulit dan atrofi otot. Kelainan-kelainan alat dalam: 1. Disfungsi oesophagus (90%) mengenai 2/3 daerah distal biasanya disertai disfagia.  Rasa terbakar



didaerah



jantung,



karena



gangguan



spingter



oesophagus bagian bawah  Konstipasi, diare, kembung dan kadang-kadang gangguan absorpsi 2. Fibrosis paru 3. Gagal jantung atau perikarditis miokardial, prevalensi fibrosis cukup tinggi antara 50-70%. 4. Gagal ginjal sekitar 45% dengan uremia perlahan-lahan dan progresif (Danukusumo, 2000). Pada sklerosis sistemik terdapat sindrom CRST (calsinosis cutis, Raynaud phenomenon, sclerodactily and telangiectasis syndrome) yakni bentuk ringan skleroderma sistemik. Hanya esophagus terkena, alat-alat dalam lain tidak. Pada bentuk ini survival rate 10 tahun ialah 93% (Djuanda, 2007).



20



Gambar 7. (A) Hiperkeratosis pada lipatan kuku pasien pada fase edema pasien skleroderma terbatas. (B) Ulserasi jari pada pasien skleroderma terbatas (Gabrielli, 2009).



A



B



C



Gambar 8. (A,B) Keterlibatan kulit tersebar pada sklerosis sintemik, (C.) Amputatum (Denton and Black, 2006).



2.7 Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemeriksaan laboratorium a. Pemeriksaan Autoantibodi Autoantibodi yang paling umum ditemukan adalah antinuclear antibody (ANA) yaitu sebesar 46%-80% dari seluruh pasien, biasanya dengan susunan homogenous immunofluorescence. Bila meluas, 36%53% kasus memiliki anti-single stranded DNA dan/atau antibody antihiston. Umumnya, pasien dengan morfea generalisata memiliki



21



antibodi positif dengan frekuensi yang lebih tinggi dibanding jenis morfea lainnya, dan autoantibodi berhubungan dengan presentasi klinis yang lebih berat, jumlah lesi yang lebih banyak, lesi yang lebih sklerotik, dan durasi klinis yang lebih lama (Vincent and Christina, 2008). Pada 95% pasien sklerosis sistemik didapatkan antibody antinuclear. ANA spesifik terhadap DNA topoisomerase I (anti topoisomerase, anti Scl-70) didapatkan 20-30%, dan separuhnya terdapat pada pasien sklerosis sistemik difusa. ANA spesifik yang lain adalah DNA Histon kompleks, Anti PM-Scl dan anti RNA Polimerase I,II dan III (Setiyohadi, 2006).



Gambar 9. Autoantibodi pada scleroderma (Gabrielli, 2009).



b. Pemeriksaan Darah Lengkap Eosinofilia darah ditemukan pada 6%-50% pasien morfea. Kadar eosinofilia berhubungan dengan aktivitas penyakit. Penurunan kadar eosinofilia dapat bersamaaan dengan penurunan aktivitas dari lesi kutaneus dan rasio sedimentasi eritrosit meningkat 25% . c. Pemeriksaan Imunoglobulin Imunoglobulin



yang



meningkat,



khususnya



kadar



serum



imunoglobulin G, dihubungkan dengan penyakit yang aktif dan lebih luas dan kontraktur sendi. Faktor rheumatoid positif ditemukan pada 26% pasien. d. Pemeriksaan Fungsi Ginjal, Jantung



22



2. Uji fungsi paru Fibrosis paru dapat menyebabkan penurunan kapasitas difusi vital (penyakit paru restriktif) 3. Pemeriksaan histopatologi a. Gambaran Histopatologi Morfea Pada lesi dini dapat tidak memiliki perubahan histologi yang spesifik. Terdapat vakuolisasi dan penghancuran sel endothelial dengan reduplikasi lamina basalis, khususnya pada lesi dengan indurasi yang terlihat sebagai tepi persegi (squared-off edge) pada spesimen biopsi. Infiltrat peradangan superfisial dan dalam kadang-kadang dapat terlihat. Pada lesi yang sangat dini terdapat infiltrat peradangan di dermis dalam dan jaringan subkutaneus. Juga dapat terlihat limfosit, makrofag, sel plasma, eosinofil, dan sel mast. Deposit glikosaminoglikan dapat terdeteksi di stadium awal morfea, khususnya bila proses pembuatan preparat histologis dilakukan dengan hati-hati untuk menjaga komponen matriks ini(Vincent and Christina, 2008) .



Gambar 10. Histopatologi morfea. Perhatikan squared-off edge dari spesimen biopsi dengan infiltrat peradangan ringan dan serat kolagen padat, yang terletak paralel epidermis.



b. Gambaran histopatologi skleroderm sistemik Pada stadium dini gambarannya sama dengan morfea. Pada stadium lanjut terlihat menghilangnya unit pilosebasea, kelenjar keringat dan salurannya. Dengan mikroskop elektron serat kolagen yang “imatur” ukurannya antara 100-400 A” sedangakan yang normal ukurannya antara 700-800 A”. Semua pembuluh darah dari semua ukuran terkena. Pada fase dini hanyalah terjadi pelebaran kapiler dan pembuluh limfe, kemudia proliferasi intima dan mungkin perklengketan



23



komplit. Perubahan tersebut mungkin juga terjadi pada pembuluh darah otot.



Gambar 11. Gambar (C.) Infiltrasi limfosit disekitar pembuluh darah pada spesimen kulit pasien skleroderma. (D) Deposisi matriks kolagen yang melewati dermis dan meluas ke jaringan lemak subkutan. (E) Penebalan tunika intima dan media arteri interlobar dari biopsi ginjal pasien skleroderma. (Gabrielli, 2009)



2.8 Penatalaksanaan Tidak ada obat yang dapat menghasilkan perkembangan penyakit skleroderma. Pada beberapa kasus, masalh sulit yang berhubungan dengan skleroderma akan menghilang dengan sendirinya dalam waktu 3-5 tahun. Bentuk skleroderma yang mengenai organ-organ dalam biasanya semakin memburuk dengan berjalannya waktu. Pengobatan yang diberikan bertujuan untuk meredakan gejala dan mengurangi kerusakan organ. Penanganan lain yang dapat dilakukan: 1.



Menggunakan pakaian yang hangat, sarung tangan, dan menjaga kepala tetap hangat



2.



Terapi fisik dan latihan untuk membantu menjaga kekuatan otot, tetapi tidak dapat sepenuhnya mencegah kontraktur sendi



3.



Penderita dianjurkan untuk tidur dengan kepala lebih tinggi untuk membantu mengatasi refluks asam lambung



4.



Pembedahan, misalnya untuk: a.



Melebarkan bagian esofagus yang menyempit karena jaringan parut



b.



Amputasi jari. Jika luka terbuka pada jari-jari tangan akibat fenomena Raynaud sampai mengalami gangren, maka mungkin penting untuk dilakukan amputasi jari



24



c.



Transplantasi paru pada orang-orang dengan gangguan paru berat. Secara umum belum ada pengobatan yang memuaskan untuk



scleroderma, baik bentuk lokal maupun sistemik. 1. Penatalaksanaan Skleroderma Lokalisata/Morphea Pada kebanyakan kasus, lesi skleroderma lokalisata menjadi inaktif secara spontan dan pada kasus yang lebih berat dapat menyebabkan fibrosis/sklerosis ireversibel dari kulit dan jaringan subkutan.



Pengobatan



ditujukan



pada



komponen



peradangan,



pelepasan sitokin, dan aktivasi dan deposit kolagen. Banyak terapi yang telah digunakan pada pengobatan morfea dengan keberhasilan yang bervariasi (Vincent and Christina, 2008). Pada bentuk lokal dapat dilakukan operasi bedah plastik atau injeksi triamsinolon acetonid intralesi, dengan dosis 1 mg/lokasi suntikan, maksimal 10 lokasi suntik. Pengobatan topikal dengan salep kortikosteroid (triamsinolon, betametason dll) dapat mencegah meluasnya lesi. Perlu emolien dan sunscreen. Fototerapi juga dapat digunakan untuk pengobatan. Beberapa studi telah menunjukkan perkembangan pada mayoritas pasien morfea menggunakan psoralen dan sinar ultraviolet A, broad band ultraviolet A (UVA), atau fototerapi UVAI (Vincent and Christina, 2008). Pendekatan praktis: untuk cakupan yang terbatas dengan satu atau sedikit lesi morfea, dapat menggunakan pengobatan topikal seperti calcipotriene,



tacrolimus,



retinoids,



atau



tidak



menggunakan



pengobatan sama sekali. Di sisi lain, lesi en coup de sabre dapat menyebabkan kecacatan yang nyata. Pendekatan pada lesi wajah menggunakan hydroxychloroquine dan mungkin methotrexate dalam kombinasi dengan dosis kecil (5 sampai 10 mg) dari kortikosteroid sistemik. Pada cakupan yang lebih luas, dapat digunakn fototerapi. Jika pendekatan tersebut tidak berhasil, atau jika



terdapat keterlibatan



subkutaneus yang banyak, pengobatan yang bermanfaat adalah methotrexate. D-penicillamine, cyclosporine, dan agen immunosuppressive lainnya juga telah digunakan (Vincent and Christina, 2008).



25



Pada kasus pediatrik dengan pertumbuhan yang terganggu dari ekstremitas yang terkena, intervensi bedah, dan stapling dari lempeng epifisis dari sisi yang normal dapat efektif. Hal ini akan menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat, namun berkelanjutan, dari ekstremitas yang terkena dan dapat menyebabkan tingkat perbedaan ekstremitas yang lebih sedikit (Vincent and Christina, 2008). 2. Penatalaksanaan Skleroderma Sistemik Tujuan penatalaksanaan disesuaikan dengan organ mana yang terlibat. Derajat penyakit merupakan kunci untuk dimulainya terapi. Progresifitas perubahan kulit menunjukkan perlunya terapi segera utnuk mencegah kerusakan organ internal. Pemilihan terapi yang tepat tergantung manifestasi organ spesifik. Pada bentuk yang sistemik adapat digunakan kortikosteroid secara oral: Prednison dosis awal 30 mg/hari diturunkan secara perlahanlahan hingga dosis maintenance 2,5 – 5 mg/hr. Bisa diberikan juga vitamin E 200 IU per hari selama 3-6 bulan. Juga bisa digunakan methyldopa 125-500 mg/hari, dinaikkan secara bertahap dipertahankan 1-3 bulan sampai ada kemajuan klinis. Strategi penatalaksannan skleroderma telah berkembang dengan pesat beberapa tahun terakhir ini seperti tampak pada gambar di bawah ini.



26



Gambar 12. Ringkasan penatalaksanaan skleroderma terbatas dan difusa sesuai keterlibatan organ (CTGF : connective tissue growth factor; GAVE : gastric antral venous ectasia; GERD : gastroesophageal refl ux disease; MCP-1 : macrophage chemoattractant protein 1; MMF, mycophenylate mofetil; MTX : methotrexate; NTG, nitroglycerin; OT/PT : occupational therapy/physical therapy; PAH : pulmonary arterial hypertension; PDE-5 : type 5 phosphodiesterase; RP : Raynaud’s pheno menon;SRC:scleroderma renal crisis; SSRI, specifi c serotonin receptor uptake inhibitor; Stem cell Tx, stem cell transplantation; TGF-β, transforming growth factor beta.)



2.9 Komplikasi Atropi jaringan subkutaneus dan otot dan kontaktur sendi paling sering ditemukan pada skleroderma linier, generalisata, dan subkutaneus (profunda), dan dapat menyebabkan gangguan mobilitas. Kontraktur sering terlihat pada skleroderma linier meliputi ekstremitas dan garis sendi berlawanan. Anakanak sering terkena skleroderma linier dibanding dewasa. Pada kasus yang berat dan jarang, morfea pansklerotik membutuhkan amputasi pada ekstremitas yang terlibat karena pertumbuhan yang terganggu. Pasien dengan keterlibatan kraniofasial linier, seperti en coup de sabre dan hemiatropi fasial, dapat memiliki abnormalitas neurologik, oftalmologik, dan oral. Kasus berat morfea dikarakterisasi dengan hiper atau hipopigmentasi, kontraktur, dan atropi jaringan yang mendasari dapat menjadi hancur (Ricard et al., 2006). Komplikasi Skleroderma sistemik terjadi akibat PAH (pulmonary arterial hypertension), RP (Raynaud’s phenomenon) dan SRC (scleroderma renal crisis) (Sardana dan Garg, 2008). 2.10



Prognosis 27



Walau ditemukan autoantibodi serum, morfea dicirikan dengan tidak melibatkan sistemik, walaupun kadang tumpang tindih dengan penyakit jaringan penghubung lainnya yang pernah dilaporkan. Kebanyakan kasus adalah self-limited, dengan aktifitas klinik yang nyata untuk umur rata-rata 35 tahun. Beberapa pasien dapat memiliki reaktivasi dari lesi inaktif secara nyata. Dalam 13% pasien dengan skleroderma linier, satu terlihat berreaktivasi setelah beberapa tahun remisi. En coup de sabre dapat tidak terdeteksi selama beberapa dekade. Hal ini mungkin karena morfea menjadi proses kronik dengan kadar rendah dari aktivitas selama beberapa tahun. Sedikit atropi dengan atau tanpa hiperpigmentasi dapat menjadi satu-satunya gejala penyakit yang persisten (Vincent and Christina, 2008). Angka harapan hidup lima tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar 68%. Harapan hidup akan makin pendek dengan makin luasnya kelainan kulit dan banyaknya keterlibatan organ visceral. Pada sklerosis sitemik difus kematian biasanya terjadi karena kelainan paru, jantung atau ginjal. Sedangkan pada sklerosis sistemik terbatas, kematian terjadi karena hipertensi pulmonal dan malbsorbsi. Pasien sklerosis sitemik mempunyai resiko yang tinggi untuk mendapatkan keganasan, terutam karsinoma payudara, paru dan limfoma non Hodgkin Hal ini turut meningkatkan angka kematian pasien sklerosis sitemik. Satu hal yang unik adalah bahwa resiko timbulnya adenokarsinoma esophagus sangat rendah walaupun terdapat metaplasi mukosa esophagus distal (metaplasia Barret). Penelitian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor yang memperburuk prognosis sklerosis sitemik adalah : -



Usia lanjut( > 64 tahun)



-



Penurunan fungsi ginjal (BUN