Shalat Ied [PDF]

  • Author / Uploaded
  • shofi
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Sholat Idain Makalah ini Diajukan guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fikih



Disusun oleh: Haliematul ‘Aalimah Rizqah Mufidah Safitri Salma Khoirunnisa Shofi Nur Bani



MA’HAD ALY LIDDIROSAH AL-ISLAMIYAH HIDAYATURRAHMAN SRAGEN 2019



A. Pendahuluan Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Masyarakatnya tentu sudah tidak asing lagi dengan berbagai macam ibadah yang disyari’atkan oleh Islam. Mulai dari sholat, zakat, puasa, dan haji yang merupakan rukun iman. Dari sekian banyak ibadah itu, ada yang dikerjakan pada saat momen yang istimewa, salah satunya sholat Id, sebab sholat tersebut dikerjakan pada dua hari raya Islam, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Idul Fitri yang dirayakan setelah sebulan penuh berpuasa Ramadhon dan Idul Adha yang disyari’atkan didalamnya untuk berkorban. Sholat Idul Fitri dan Idul Adha menjadi hal yang istimewa, tidak hanya bagi umat muslim Indonesia namun seluruh umat muslim di dunia. Namun tak semua umat muslim mengetahui dengan baik tentang pelaksanaan kedua sholat tersebut. Di Indonesia misalnya, banyak diantara mereka yang sekedar sholat mengikuti adat dan kebiasaan di daerahnya saja, sebagian bahkan melakukannya dengan asal-asalan karena lebih mementingkan acara silaturrahim yang biasa diselenggarakan seusai sholat. Lantas bagaimanakah sholat Id yang disyari’atkan oleh Islam? Oleh karena itu, makalah ini akan membahas seputar pelaksaan kedua sholat yang disyariatkan oleh Islam tersebut. B. Definisi Sholat Id Id merupakan pecahan dari bahasa Arab َ‫ العَوَد‬karena selalu terulang setiap tahun. Ada yang mengatakan karena banyak hamba-Nya yang kembali kepada Allah.َ Adapula yang mengatakan karena kembalinya kebahagiaan saat itu.1 Yang dimaksud dua hari raya adalah hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. shalat Idul Fitri dilaksanakan pada setiap tanggal 1 Syawal, selepas umat muslim menunaikan puasa Ramadhan selama sebulan penuh pada setiap tahun. Adapun shalat Idul Adha dilaksanakan pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah pada setiap tahun. Diberi nama id (hari raya) karena Allah SWT pada hari id itu memberikan berbagai ihsan kepada hamba-hamba-Nya pada setiap tahun. Di antaranya, dibolehkannya makan di siang hari setelah dilarang untuk makan di siang hari selama bulan Ramahdan, dan diperintahkan untuk menunaikan zakat fitrah. karena biasanya, hari raya itu penuh dengan kebahagiaan, kesenagan dan berbagai aktivitas. Sementara keceriaannya kebanyakan terjadi



1



Al-Khotib As-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj,Juz 1, (Beirut: Dar Al-Kotob AL-Islamiyah,2014), hlm.424



karena sebab itu. Asal makna kata id sendiri secara bahasa adalah kembali, yaitu kembali dan berulangnya kebahagiaan setiap tahun.2 C. Dalil Disyari’atkan Sholat Id Sholat id disyariatkan dalam Islam pada tahun pertama hijrah, berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Kautsar ayat 2 yang berbunyi: َ‫فص ِّلَ ِّلربِّكَوانحر‬ “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” Sholat yang dimaksud disini adalah sholat Id, sedangkan yang dimaksud berkorban adalah menyembelih kurban. 3 Adapun dari hadits yaitu yang diriwayatkan oleh Anas r.a., َ‫ان َقالواكنَّاَنلعبَفِّي ِّهماَفِّيَالجا ِّه ِّليَّة‬ َِّ ‫ان َاليوم‬ ِّ ‫ان َيلعبونَفِّي ِّهماَفقالَماَهذ‬ ِّ ‫قدِّمَرسول َّللا َصلىَّللا َعليهَوسلمَالمدِّينة َولهم َيوم‬ َ ‫اَمنهماَيومَاألضحىَويومَال ِّفط َِّر‬ ِّ ‫فقالَرسولَّللاَصلىَّللاَعليهَوسلمَاَِّ َّنَهللاَقدَابدلكمَخي ًر‬ “Ketika Rosulullah ‫ ﷺ‬datang ke madinah dan para sahabat memiliki dua hari untuk berehat. Beliau ‫ ﷺ‬bertanya “Apakah dua hari itu?” para sahabat menjawab, “pada zaman jahiliyyah, kami biasa berehat pada duah hari itu.” Rosulullah‫ ﷺ‬segera menimpali, Allah SWT telah mengganti untuk kalian dua hari itu dengan dua hari raya yang lebih baik; yaitu hari raya Adha dan Fitri.” 4 D. Hukum pelaksanaannya dalam ilmu fiqih Hambali dalam dhahir pendapat madzhab mengatakan shalat hari raya idul fitri hukumnya fardhu kifayah. Artinya, jika ada orang yang melakukan shalat hari raya maka kewajiban pada yang lainnya gugur.5 Diwajibkannya shalat hari raya karena mengikuti apa yang telah Rosulullah ‫ﷺ‬dan para shahabat laksanakan bersama, yaitu shalat id bersama. Dan para khulafa’ur rasyidin setelah beliau juga sering melaksanannya.



2



http://repository.uin-suska.ac.id/7413/4/BAB%20III.pdf diakses pada 06 April 2019 pukul 21:14 Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Al-Fiqhi Al-Islami, juz 1,(Damaskus: Darl Fikr,2006), hlm.276 4 Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami wal Qodhoya Al-Mu’ashiroh, Juz ke-2, (Damaskus: Darul Fikr, 2010), hlm.4 5 Ibnu Qudamah Al-Maqdisi,Al-Mughni ‘ala Mukhtashor Al-Khiroqi,Juz ke-2,(Beirut: Dar Al-Kotob AlIslamiyah,2008), hlm.61 3



Namun, jika penduduk satu daerah yang berjumlahnya lebih dari empat puluh orang tidak mau melaksanakan shalat id



tanpa adanya udzur, maka imam boleh memerangi



mereka. Karena shalat Id merupakan salah satu syiar islam yang tampak, sedang meninggalkannya berarti meremehkan agama. Hanafi dalam pendapat yang paling kuat mengatakan shalat hari raya adalah wajib bagi siapa saja yang terkena wajibnya shalat jumat berikut syarat-syarat yang disebutkan sebelumnya, selain khutbah karena hanya sunnah. Adapun dalil mereka akan kewajiban shalat hari raya adalah kebiasaan nabi untuk melakukannya. Maliki dan syafi’i mengatatakan shalat hari raya adalah sunnah muakkadah, dibawah shalat witir dalam kuatnya. Bagi siapa saja yang terkena wajibnya shalat jum’at; yaitu lakilaki yang sudah baligh, merdeka, dan bermukim di tempat dilaksanakannya shalat jum’at, ataupun jauh dari daerahnya kira-kira satu farsakh (5544m). Menurut maliki shalat sangat dianjurkan untuk anak-anak, kaum wanita, hamba sahaya, musafir yang tidak berniat untuk mukim tetapi telah menempuh perjalanan. Dianjurkan biasa saja untuk selain wanita muda dan tidak dianjurkan untuk jamaah haji ataupun penduduk mina meskipun mereka tidak berhaji. Dalil madzhab imam syafi’i atas sunnahnya shalat Id adalah sabda nabi‫ﷺ‬ ََّ َ‫َالَاِّالََّانَتطو‬:‫ىَغيرهاَ؟َقال‬ ‫ع‬ َّ ‫َهلَعل‬:ٌ‫خمسَصلواتٍَكتبه َّنَّللاَتعالىَعلىَ ِّعبا ِّدهَِّقالَله‬ Lima shalat yang diwajibankan oleh Allah swt kepada hambanya. Orang Badui itu bertanya, “Apakah ada shalat lainnya yang wajib untuk saya?” Beliau menjawab, “Tidak ada keuali untuk sunnah saja.” namun shalat hari raya sangat dianjurkan untuk dilakukan karena Rosulullah ‫ ﷺ‬sering melakukannya.6 E. Tempat Pelaksanaan Jumhur berpendapat bahwa sholat id dilaksanakan di lapangan apabila jaraknya dekat dan melaksanakannya di masjid makruh, kecuali jika dalam kondisi darurat atau terdapat udzur. Adapun jika berada di Mekkah, maka yang paling afdhol adalah melaksanakannya di Masjidil Harom karena merupakan tempat yang mulia dan dari sana dapat melihat ka’bah.



6



Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami wal Qodhoya Al-Mu’ashiroh, Juz ke-2, (Damaskus: Darul Fikr, 2010), hlm.324



Menurut pendapat Syafi’iyah melaksanakan di masjid lebih utama karena masjid merupakan tempat yang lebih mulia dan lebih bersih dari tempat yang lain. Namun, jika masjid terlalu sempit bagi para jama’ah, maka sholat dilaksanakan di lapangan seperti yang telah dikerjakan oleh nabi ‫ﷺ‬.7 F. Waktu pelaksanaannya Ahli fiqih sepakat bahwa waktu pelaksanaan shalat hari raya adalah setelah terbitnya matahari seukuran satu atau dua tombak. Atau kira-kira setelah setengah jam terbit sampai sesaat sebelum tergelincirnya matahari, yaitu sebelum masuk waktu dzuhur. Sama dengan waktu shalat dhuha. Adapun shalat yang dilarang adalah shalat yang dilakukan ketika munculnya matahari, maka diharamkan shalat setelah ketika matahari terbit dan dimakruhkannya juga shalat setelah matahari terbit. Menurut mayoritas ulama, jika orang-orang melakukan shalat sebelum meningginya matahari seukuran satu tombak maka tidak dianggap melakukan shalat hari raya menurut hanafi, melainkan shalat sunnah yang diharamkan. Memajukan atau mengakhirkan waktu shalat; disunnahkan untuk memajukan atau menyegerakan pelaksanaan shalat Idul Adha pada awal waktunya bertepatan ketika para jamaah haji sedang berada di Mina untuk menyembelih hewan kurbannya. Adapun untuk shalat Idul Fitri, disunnahkan untuk sedikit menunda sedikit dari awal waktunya, seperti dalam hadist yang diriwayatkan oleh Syafi’i secara mursal bahwa Nabi ‫ ﷺ‬pernah menulis kepada ‘Amr bin Hazm, ketika ia berada di Najran. 8 َ ‫اس‬ َ ِّ َّ‫ا َّنَع ِّج ِّلَاألضحىَوا ِّخرَال ِّفط ِّرَوذ ِّك ِّرَالن‬ Hendaknya engkau menyegerakan pelaksanaan shalat idul adha, menunda sedikit shalat Idul Fitri, dan ingatlah orang-orang terhadap larangan dan perintah agama!. Karena dengan begitu waktu untuk menyembelih semakin banyak, begitu juga waktu untuk berzakat fitrah.



7



Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi, Juz 1, (Damaskus: Darul Fikr, 2006), hlm. 277 Por. Dr. Wahbah Az-Zuhail, Mausu’ahAl- fiqhAl-Islami wal Al-Qodhoya Al-Mu’ashiroh,Juz 2,(Damaskus: Dar AlKotob Al-Islamiyah,2010), hlm.327 8



G. Hukum mengganti Sholat Id yang Tertinggal •



Hanafi dan maliki berpendapat, siapa yang tertinggal shalat Hari Raya bersama imam maka tidak perlu mengqdhanya, karena waktunya sudah berlalu, disamping shalat sunnah tidak diqadha. Shalat hari raya tidak bisa dilakukan sendirian, tetapi hanya bisa dilakukan secara berjamaah.







Syafi’i dan Hambali berpendapat, siapa yang tertinggal shalat hari raya bersama imam maka disunnahkan untuk mengqodhonya sesuai bentuknya. Namun lebih baik diqadha pada hari-hari berikutnya. Shalat Hari Raya bisa dilakukan secara sendirian, juga oleh hamba sahaya, musafir, dan kaum wanita.



Mudrik menurut syafi’iyah dan hamabali; jika seseorang dapat mengikuti imam hanya ketika khutbah maka orang tersebut segera shalat tahiyatul masjid lalu duduk dan mendengarkan khotbah. Sedangan jika seseorang hanya dapat mengikut imam ketika sedang bertasyahud maka ia segera ikut sujud bersama imam. Lantas ketika imam mengucapkan salam, orang itu segera berdiri dan melakukan shalat dua rakaat dengan tetap melakukan takbir, seperti shalat Hari Raya, pada kedua rakaatnya.9 H. Syarat wajib Sholat Id Manzhab hanafi mengatakan, semua yang menjadi syarat wajibnya dan bolehnya shalat jum’at maka menjadi syarat wajib dan bolehnya dua shalat hari raya juga, baik dari imam, jamaah, kota, dan waktu, keuali khotbah karena hanya sunnah setelah shalat. Seandainya khutbah ditinggalkan shalat hari raya tetap sah. Adapun mazhab hambali mereka mengatakan, disyariatkannya menetapnya empat puluh orang, jumlah jamaah jumat, untuk sahnya shalat hari raya tetapi tidak disyariatkan shalat jum’at. Shalat hari raya juga dilakukan oleh musafir, hamba sahaya, kaum wanita. Keluarnya kaum wanita melakukan shalat hari raya Hanafiyah dan malikiyah sepakat bahwa tidak izinkan kepada gadis-gadis untuk keluar menunaikan shalat jum’at, dua hari raya, ataupun shalat lainnya. Berdasarkan firman Allah swt. (Al-Ahzab:33)



9



Ibid,.



Karena tidak diragukan lagi keluarnya para gadis itu akan menimbulkan fitnah, sedang fitnah itu haram maka sesuatu yang bisa membawa kepada keharaman maka hurumnya haram juga. Sedangkan pada kata-kata syafi’iyah dan hambali, tidak mengapa bila kaum wanita datang ketempat dilakukannya shalat dua hari raya bila tidak memakai wewangian, baju bermodel serta tren. Sebagaimana hadista yang diriwayatkan oleh ummu ‘Athiyyah, ia berkata: َّ ‫كان َرسول‬ َ‫صالة َويشهدن َالخير‬ ِّ ‫َّللا َيخرج َالعواتَِّق َوالحيِّض َوذوا‬ َّ ‫ت َالخد ٌو ِّر َفِّى َالعي ِّد َفأ َّماالخيَّض َفكن َيعت ِّزلن َال‬ َ‫ودعوةالمس ِّل ِّمين‬ Rosulullah saw memerintahkan para gadis, wanita haid, dan wanita yang memiliki ruangan tertutup (biasanya gadis perawan) untuk mengikuti shalat hari raya. Adapun wanita haid mereka tidak melakukan shalat dan hanya melihat kebaikan dan undangan kaum muslimin (khutbah). Jika para wanita ingin menghadiri shalat hari raya, mereka tetap bisa mandi tetapi tidak memakai wewangian, tidak memakai baju yang lagi tren ataupun baju mahal, terpisah dari kaum laki-laki. Dan bagi wanita yang sedang haid maka menjauhlah dari tempat shalat, berdasarkan hadist Rosulullah ‫ﷺ‬ َّ ‫اجد‬ َّ ‫الَتمنعواَاِّماء‬ ٍ ‫َّللاَِّوَاليخرجنَت ِّفيال‬ َ‫ت‬ ِّ ‫َّللاَِّالمس‬ Janganlah kalian cegah para wanita Allah untuk datang ke masjid-masjid Allah. Biarkanlah mereka keluar dengan tanpa wewangian. 10 I. Sifat Pelaksanaan Sholat Id Sholat Id dikerjakan sebanyak dua rakaat disertai niat ketika takbirotul ihram, sebagaimana perkataan Umar radhilallahu ‘anhu: َ‫((صالةَاألضحىَوَصالةَالفطرَركعتانَوصالةَالسفرَركعتانَوَصالةَالجمعةَتمامَغيرَقصرَعلىَلسانَنبيكمَوقدَخاب‬ َ ))‫منَافترى‬ “Sholat Idul Adha dan sholat Idul Fitri dikerjakan sebanyak dua rakaat, sholat ketika safar sebanyak dua rakaat, sholat jum’at dikerjakan secara sempurna tanpa diqoshor sesuai dengan yang disabdakan oleh nabi kalian dan sungguh rugilah orang yang mengada-adakannya”



10



Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami wal Qodhoya Al-Mu’ashiroh, Juz 2, (Damaskus: Darul Fikr, 2013), hlm. 324



Setelah takbiratul ihram, setelah mengucapkan do’a iftitah dan sebelum mengucap ta’awudz dilakukan takbir secara berturut-turut. Menurut Hanafiyah, takbir dilakukan sebanyak tiga kali, adapun menurut Malikiyah dan Hanabilah takbir dilakukan sebanyak enam kali pada rakaat pertama dan lima kali di rakaat kedua berdasarkan riwayat Ahmad dari Abullah bin Amru. Adapun Menurut Syafi’iyah takbir pada rakat pertama dilakukan sebanyak tujuh kali, sedangkan pada rakaat kedua sebanyak lima kali. Pada kedua rakaat tersebut dilakukan sebelum qiro’ah, namun menurut Hanafiyah, takbir dilakukan sesudah qiro’ah pada rakaat kedua. Apabila terdapat keraguan dalam bilangan takbir, maka diambil bilangan yang paling sedikit sebagaimana jika terjadi keraguan pada rakaat sholat. Jumhur berpendapat pada rakaat pertama surat yang dibaca adalah surat Al-A’la dan surat Al-Ghosyiyah dibaca pada rakaat kedua. Sedangkan menurut Malikiyah rakaat pertama membaca surat As-Syams dan rakaat kedua membaca surat Ad-Dhuha. Adapun menurut pendapat Syafi’iyah yang dibaca adalah surat Qaf dan Al-Qamar secara jahr sebelum khutbah atau bisa juga membaca surat Al-Kafirun dan Al-Ikhlas. Untuk pelaksanaan sholat id, tidak disyariatkan adzan dan iqomah, akan tetapi diganti ddengan lafadz seperti sholat khusuf dan istisqo’ yaitu



َ ))‫ ((الصالة َجامعة‬seperti yang



diriwayatkan oleh Syafi’i dari َAz-Zuhri ia berkata : َََ))‫َالصالةَجامعة‬:‫((كانَرسولَهللاﷺَيأمرَالمؤذنَفيَالعيدينَفيقول‬ Ketika diantara dua takbir mengucap Al-Baqiyat as-Sholihat, yaitu Subhanallah, Alhamdulillah, laa ilaaha illallah, dan Allahu Akbar. Atau bisa juga mengucapkan: ))‫((هللا َأكبركبيراَوالحمدَهلل َ كثيراَوَسبحانَهللاَبكرةَوأصيال))((وَصلىَهللاَعلىَمحمدَالنبيَوآلهَوَسلمَتيليما َكثيرا‬ sebagaimana yang telah dipaparkan Hanabilah berdasarkan hadits Ibnu mas’ud.11 J. Sunnah-Sunnah saat dalam sholat Id Selain bertakbir, berikut ini hal-hal yang disunnahkan ketika Id (hari raya): 1. Menghidupkan malam dengan ketaatan kepada Allah seperti berdzikir, mendirikan sholat-sholat sunnah, membaca Al-Qur’an, bertakbir, bertasbih, beristighfar disepertiga malam terakhir, tetapi melaksanakannya semalaman adalah lebih utama. Sebagaimana sabda Rasulullah ‫ ﷺ‬:



11



Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Al-Fiqhi Al-Islami, (Damaskus: Darul Fikr,2006), hlm. 277



َّ ِّ ‫َقالَ«َمنَقامَليلت ِّىَال ِّعيدي ِّن‬-‫صلىَهللاَعليهَوسلم‬-َ‫عنَأ ِّبىَأمامةَع ِّنَالنَّ ِّب ِّى‬ .»َ‫ََلِلَِّمحت ِّسبًاَلمَيمتَقلبهَيومَتموتَالقلوب‬ Dari Abu Umamah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang menghidupkan malam hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha karena Allah dan mengharapkan ganjaran dari-Nya, hatinya tidak akan mati tatkala hati-hati itu mati.” 12 2. Mandi besar, memakai minyak wangi, dan bersiwak, disunnahkan pula memakai baju terbaik bagi laki-laki sebagaimana di hari jum’at.untuk menampakkann nikmat dan rasa syukur kepada Allah. Adapun waktu untuk mandi besar menurut Hanafiyah dan Hanabilah adalah setelah subuh sebelum pergi ke tempat sholat. Sedangkan menurut Syafi’i mandi dimulai dari pertengahan malam, Maliki pada seperenam terakhir malam, dan dianjurkan mandi setelah melakukan sholat subuh 3. Makan sebelum sholat sholat Idul Fitri, tetapi tidak untuk sholat idul Adha. Disunnahkan untuk makan kurma dengan bilangan ganjil saat sholat idul fitri, namun diakhirkan saat sholat idul adha sampai pulang dari sholat 4. Bersegera untuk berangkat setelah subuh dengan sakinah dan tenang, disunnahkan pula untuk pergi dengan berjalan kaki dan menempuh jalan yang berbeda sepulang dari sholat, seperti yang telah nabi contohkan. 5. Membayar zakat fitrah sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan sholat, diperbolehkan pula membayarkannya beberapa hari sebelum sholat Id, supaya para fuqara’ bisa mengambil manfaat saat hari raya. 6. Dibolehkan bersendagurau saat hari raya, yaitu sendagurau yang diperbolehkan syariat seperti nyanyian yang baik seperti nasyid sebagai istirahat bagi jiwa. 7. Memperbanyak amal sholih pada 10 hari awal di bulan Dzulhijjah seperti dzikir, sholawat, sedekah, dan semacamnya.



12



Diriwayatkan oleh Ibnu Majah



K. Sholat Sunah Qobliyah dan ba’diyah untuk Sholat Id Tidak ada satu hadits pun tentang sholat sunnah qobliyah dan ba’diyah untuk hari raya. Nabi‫ ﷺ‬dan para sahabat tidak pernah melakukan sholat apa pun apabila masuk ke tempat sholat Id, baik sebelum maupun sesudah sholat hari raya. Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan,”Pada hari raya, Nabi ‫ ﷺ‬datang ke tempat sholat, lalu mengeerjakan dua rakaat sholat hari raya. Beliau tidak mengerjakan sholat sebelum atau sesudahnya.”(HR. Jama’ah) Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa pada hari raya ia tidak mengerjakan sholat apa pun sebelum atau sesudah hari raya. Bukhori meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.., bahwa dirinya tidak menyukai sholat sunnah qabliyah untuk sholat Id. Mengenai sholat sunah tidak ada dallil khusus yang melarangnya kecuali apabila dilakukan pada waktu-waktu yang dimakruhkan sebagaimana pada hari-hari yang lainnya.13 L. Khutbah dalam Sholat Id Disunnahkan, mayoritas ulama dan dianjurkan menurut maliki adanya dua khutbah untuk sholat hari raya seperti dua khutbah jum’at dalam rukun, syarat, sunnah dan makruhnya. Dua khutbah itu dilakukan setelah selesai sholat ,berbeda dengan khutbah jum’at. Ini tidak diperdebatkan lagi oleh umat islam. Pada khutbah iedul fitri, imam mengingatkan tentang hukum zakat fitrah, sesuai sabda Nabi ‫ﷺ‬. “Buatlah mereka tidak perlu meminta pada hari ini.” Sedangkan pada idul adha tentang hokum berkurban, takbir pada hari-hari tasyri’, wukuf di Arofah, dan lain-lain. Untuk menggambarkan keadaan para jama’ah haji dan apa yang dibutuhkan oleh mereka pada saat manasik haji. Lebih baik lagi, bila mengajarkan mereka semua itu pada khutbah jum’at sebelum hari raya. Ketika khotib sudah naik diatas mimbar maka ia tak perlu duduk, menurut Hanafi, dan boleh duduk menurut Hanbali, Maliki, dan Syafi’I untuk sekedar beristirahat. Dalil sunnahnya khutbah adalah mencontoh perbuatan 13



Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta:Al-I’tishom), hlm.475



Nabi ‫ﷺ‬, dan para khulafarasyidin dan tidak wajib untuk datang dan mendengarkannya. Berdasarkan hadist yang diriwayatkandari ‘Athaa, dari Abdullah bin Saib, ia berkata ,” aku ikut sholat hari raya bersama Nabi ‫ ﷺ‬. Ketika sholat telah selesai beliau bersabda, “aku akan berkhutbah, siapa yang ingin mendengarkan silahkan duduk, sedang siapa yang ingin pulang silahkan beranjak pergi. ” Seandainya khutbah itu tidak dilakukan maka shalat hari rayanya tetap sah. Khutbah dilakukan setelah sholat itu juga mengikuti sunnah, karena Ibnu Umar r.a.pernah berkata,” Nabi ‫ﷺ‬, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka semuanya melakukan sholat dua hari raya terlebih dahulu sebelum berkhutbah.” Namun, seandainya imam berkhutbah sebelum shalat maka sah tetapi tetap salah menurut Hanafi, karena meninggalkan sunnah. Sebab, mengakhirkan khutbah itu adalah sunnah. Khatib memulai khutbahnya dengan takbir, sebagaimana ia melakukan juga ditengahtengah khutbah. Tanpa ada batasan dalam jumlah menurut Maliki. Dikatakan menurut mereka bisa tujuh pada awal khutbah. Adapun menurut mayoritas ulama, khatib bertakbir sebanyak sembilan kali secara berurutan pada khutbah pertama, sedang khutbah kedua sebanyak tujuh kali dengan berurutan juga. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dari Ubaidillah bin Utbah, ia berkata, “Pada hari raya, imam bertakbir sebelum memulai khutbah sebanyak sembilan takbir, sedang pada khutbah kedua sebanyak tujuh kali”. Menurut Hanafi disunnahkan juga kepada imam untuk bertakbir sebanyak empat belas kali sebelum turun dari mimbarnya dan dianjurkan kepada imam setelah selesai berkhutbah untuk mengulangi takbir lagi bagi orang-orang yang tidak mendengarkannya, meskipun itu para wanita, untuk mengikuti sunnah, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim. Perlu diketahui, bahwa khutbah-khutbah yang disyari’atkan itu berjumlah sepuluh macam: khutbah jum’at, khutbah hari raya, khutbah dua gerhana, istisqo’ nikah, empat kali ketika haji menurut syafi’i dan tiga menurut Hanafi, semuanya setelah sholat kecuali dua khutbah saja: jum’at dan Arafah, yaitu sebelum sholat. Sedangkan khutbah nikah maka tidak disertai sholat, semuanya tediri dua khutbah kecuali tiga macam, khutbah terakhir ketika haji, menurut syafi’i selain khutbah Arofah dan khutbah nikah, maka dilakukan sekali saja. Pada tiga macam khutbah dimulai dengan tahmid, yaitu khutbah jum’at, istisqo dan nikah, dimulai dengan takbir pada lima atau enam macam, yaitu khutbah dua sholat hari raya dan tiga atau empat khutbah ketika haji, kecuali khutbah yang dilakukan dimekkah dan Arafah, karena dimulai dengan takbir, talbiyah, baru setelah itu khutbah.



Khutbah hari raya berbeda dari khutbah jum’at dalam beberapa hal, diantaranya: 1. Khutbah jum’at dilakukan sebelum sholat, sedangkan khutbah hari raya dilakukan setelah sholat. Jika khutbah hari raya dimajukan sebelum shalat maka tidak sah, menurut selain Hanafi dan dianjurkan untuk mengulangnya lagi setelah sholat. 2. Dua khutbah jum’at itu dimulai dengan hamdalah, adapun dua khutbah hari raya maka disunnahkan untuk membukanya dengan takbir. 3. Disunnahkan kepada orang-orang yang mendengarkan khutbah hari raya, menurut Hanafi, hanbali, dan maliki, untuk bertakbir dengan suara pelan ketika khatib bertakbir. Adapun khutbah jum’at, diharamkan untuk berbicara, meskipun dzikir, menurut mayoritas ulama. Hanafi berpendapat, tidak dimakruhkan berdzikir ketika khutbah jum’at dan hari raya, menurut pendapat yang benar, diharamkan berbicara selain takbir, menurut hanbali pada khutbah hari raya dan jum’at. Syafi’i berpendapat berbicara itu makruh hukumnya dan tidak sampai diharamkan ketika khutbah jum’at dan hari raya, orang-orang yang hadir juga tidak perlu bertakbir saat khutbah hari raya berlangsung, tetapi mereka hanya mendengarkan saja. 4. Khatib menurut Hanafi berbeda dengan mayoritas ulama, tidak boleh duduk ketika sudah menaiki mimbar dan boleh duduk pada khutbah jum’at. 5. Khatib menurut maliki, jika berhadats ketika sedang berkhutbah hari raya maka ia boleh meneruskannya dan tidak boleh mencari pengganti, berbeda halnya dengan khutbah jum’at, karena jika khatib berhadats maka ia harus mencari pengantinya. 6. Khutbah hari raya, menurut syafi’i, tidak disyariatkan dengan syarat-syarat khutbah jum’at, seperti harus berdiri, bersuci, menutup aurat, dan duduk diantara dua khutbah tetapi hanya disunnahkan saja.



N. Takbir pada Idain Takbir pada dua hari raya hukumnya sunnah bagi setiap muslim, berdasarkan kesepakatan ulama. Anjuran memperbanyak takbir ini sepadan dengan imbalan yang dijanjikan karena sabda Rasulullah saw: ‫اكثرواَمنَالتكبيرَليلةَالعيدينَفانهمَيهدمَالذنوبَهدما‬



Perbanyaklah membaca takbiran pada malam hari raya (fitri dan adha) karena hal dapat melebur dosa-dosa14.Takbir dikumandangkan dirumah-rumah, masjid, pasar dan jalan menuju tempat shalat sampai sholat akan dilaksanakan. Dengan suara keras. Ini pendapat jumhur, sedang menurut hanabilah sampai selesai khutbah . Takbir pada idul fitri lebih ditekankan daripada takbir malam hari pada hari idul adha, dikarenakan adanya dalil untuk bertakbir pada malam idul fitri َّ ‫و ِّلتك ِّملواَال ِّعدَّةَو ِّلتك ِّبر‬ َ‫واَّللاَعلىََماَهداكمَولعلَّكمَتشكرون‬ “ Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” Syafiiyah dan Hanabilah menganjurkan takbir mutlak(yang tidak dibatasi dengan sesuatu. Disunahkan terus, baik pagi maupun petang. Sebelum maupun sesudah shalat. Pada setiap waktu).dan tidak mensunahkan takbir muqoyad (yang terikat setelah selesai shalat) pada malam idul fitri. Takbir dimulai dari tenggelamnya matahari malam idul fitri, bukan sebelumnya. Pada Idul Adha, takbir dilakukan seusai shalat lima waktu pada masa-masa haji. Dimulai semenjak fajar hari Arafah sampai terbenam matahari akhir hari tasyriq.–ketika selesai salam dari shalat fardu dan istigfar tiga kali, dan mengucapkan : "‫"اللهمَأنتَالسالمَومنكَالسالمَتباركتَياَذاَالجاللَواإلكرام‬ “Ya Allah Engakau adalah Maha Selamat. Dan dari-Mu keselamatan. Keberkahan dari-Mu wahai pemilik ketinggian dan kemulyaan. Pendapat ini menurut Hanafiyah dan Hanabilah. Berpijak pada hadis Jabir. “Dari Jabir bin Abdullah ra bahwa Rasulullah SAW mengucapkan takbir setelah shalat shubuh hari arafah sampai shalat ashar di hari terakhir ayyamuttasyrik setelah selesai dari pelaksanaan shalat wajib.”Dalam lafaz lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW apabila selesai melaksanakan shalat shubuh pada hari arafah beliau menghadap kepada para shahabat dan berkata, ”Diamlah kalian di tempat”, lalu bertakbir: Allahu Akbar Allahu Akbar, Laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd.” Beliau bertakbir



14



https://www.batumedia.com/muslim/56/bacaan-takbiran.html



mulai dari shalat shubuh pada hari arafah sampai Ashar di hari terakhir ayyamuttasyrik”. HR. Ad-Daruquthuny. Malikiyah dan Syafi’iyah, takbir dimulai dari waktu dhuhur pada hari nahr, sampai dengan waktu subuh hari keempat. Memulai takbir, untuk selain jamaah haji. Sementara jamaah haji, memulai takbir baginya semenjak zuhur hari nahr.15 Yang kita amalkan dan ikuti, takbir dimulai dari fajar pada hari arafah hingga waktu ashar hari pada hari tasyrik. َّ ‫واذكر‬ ٍَ ‫واَّللاَفِّيَأي ٍَّامَمعدودا‬ ‫ت‬ “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” Jamaah haji tidak boleh bertakbir pada malam idul adha, tetapi hanya boleh bertalbiyah. Karena talbiyah syiar haji. Dan orang yang umroh bertalbiyah terus sampai thawaf. Hukum takbir wajib menurut Hanafiyah, diucapkan setelah shalat fardu. Berdasarkan firman Allah : َّ ‫واذكر‬ ٍ ‫واَّللاَفِّيَأي ٍَّامَمعدودا‬ َ‫ت‬ “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” Jumhur, sunnah diucapkan selesai sholat fardu. Dan dalil yang menjadi pijakan Jumhur sama dengan dalil yang digunakan madzhab Hanafiyah. Bentuk-bentuk takbir. Hanafiyah dan Hanabilah, Jumlah takbir itu dua kali atau ganda. Pendapat ini didasarkan pada hadits dari Jabir. Pendapat ini didukung oleh sebagian shahabat diantaranya adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Ibnu Masud. Lafaznya adalah (Allahu Akbar Allahu Akbar Laa Ilaaha Illallah Wallahu akbar, Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahilhamd) “Dari Jabir bin Abdullah ra bahwa Rasulullah SAW mengucapkan takbir setelah shalat shubuh hari arafah sampai shalat ashar di hari terakhir ayyamuttasyrik setelah selesai dari pelaksanaan shalat wajib.”Dalam lafaz lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW apabila selesai melaksanakan shalat shubuh pada hari arafah beliau menghadap kepada para shahabat dan berkata, ”Diamlah kalian di tempat”, lalu bertakbir: Allahu Akbar Allahu Akbar, Laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd.” Beliau bertakbir mulai dari 15



https://islamqa.info/id/answers/36627/takbir-mutlak-umum-dan-muqoyyad-khusus-keutamaan-waktu-dantatacaranya



shalat shubuh pada hari arafah sampai Ashar di hari terakhir ayyamuttasyrik”. HR. AdDaruquthuny. Malikiyah dan Syafi`iyyah dalam qaul jadidnya, jumlah takbir itu tiga kali. Dasarnya adalah hadits diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Sakman dengan sanad shahih bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Bertakbiralah Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Kabiiro.” Selain itu juga ada hadits yang diriwayatkan oleh Jabir dan Ibnu Abbas ra. Lafaznya adalah (Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar). Menurut Al-Malikiyah lafaz ini lebih baik. Dan bila ditambahkan dengan (Laa ilaaha illallah Wallahu Akbar Allahu Akbar Wa Lillahil-hamd) maka baik. Dan Asy-Syafi`iyyah mengatakan disunnahkan untuk menambah dengan lafaz (Allahu Akbar Kabiro Wal hamdulillahi katsiro Wa Subhanallahi Bukratan Wa Ashila). Lafadz ini pernah dibaca oleh Rasulullah SAW ketika beliau ada di bukit Safa. Dan disunnahkan pula untuk membaca lebih panjang yaitu (Laa Ilaaha Illallahu La Na`budu Illaa Iyyah, Muhklishina Lahud-din, Walau Karihal Kafirun. Laa Ilaaha Illallahu wahdah, Shadaqo Wa`dah, Wa Nashara `Abdah, Wa A`azza Jundahu Wa Hazamal Ahzaaba Wahdah. Laa Ilaaha Illallahu Wallahu akbar). Lafadz ini boleh dibaca bila mau menurut AlHanafiyah16. Dan diakhiri dengan (Allohumma Shali Ala Muhammad Wa ‘ala Ali Muhammad, Wa ‘Ala Ashhabi Muhammad, Wa ‘ala Azwaji Muhammad, Wa Sallimu Tasliman Kastiro) dan seperti inilah yang harus diamalkan kaum muslimin disetiap tempat.17



16 17



https://ariskhoiri1.wordpress.com/2012/10/29/tuntunan-takbir/ Zuhaili, Wahbah. Al-Wajiz Fie Fiqih Islamy, (damaskus : Darul Fikr) hal 79-81