Simetidin Sebagai Terapi Adjuvan Kasus Kondiloma Akuminata Rekalsitran Pada Seorang Laki-Laki P PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SIMETIDIN SEBAGAI TERAPI ADJUVAN KASUS KONDILOMA AKUMINATA REKALSITRAN PADA SEORANG LAKI-LAKI PENDERITA INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS STADIUM II YANG BERHUBUNGAN SEKSUAL DENGAN LAKI-LAKI Veranita Kris, Martina Windari, Stefani Nurhadi, Ni Made Dwi Puspawati, Made Swastika Adiguna Bagian/SMF Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar Email : [email protected]



ABSTRAK Pendahuluan : Kelompok laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL) merupakan kelompok berisiko tinggi akan terjadinya infeksi menular seksual termasuk kondiloma akuminata dan human immunodeficiency virus (HIV). Kondiloma akuminata pada LSL penderita HIV biasanya berespon buruk terhadap terapi sehingga membutuhkan terapi adjuvan, dengan simetidin sebagai salah satu pilihan terapi. Kasus : Laki-laki 30 tahun dengan diagnosis kondiloma akuminata dan HIV sejak 1,5 tahun yang lalu datang dengan keluhan benjolan di perianal. Diagnosis kondiloma akuminata dan HIV masing-masing ditegakkan dengan polymerase chain reaction (PCR) dan marker HIV reaktif dengan jumlah CD4 terakhir 616 sel/ul. Riwayat pengobatan berupa tutul trichloroacetic acid (TCA) 90% sebanyak 33 kali tidak memberikan perubahan. selain meneruskan tutul TCA 90%, pasien diberikan terapi adjuvan berupa simetidin tablet 3x200 mg selama 6 minggu yang kemudian dinaikkan menjadi 3x600 mg. Tampak perbaikan klinis yang bermakna pada pasien tanpa adanya efek samping. Pembahasan : Simetidin merupakan suatu obat golongan antagonis reseptor H2 (histamin-2) yang memiliki efek imunomodulator. Efektivitas simetidin dalam terapi kondiloma akuminata terbukti melalui beberapa studi sementara hasil sebaliknya dijumpai pada beberapa studi yang lain. Efektivitas simetidin sebagai terapi kombinasi dalam pengobatan kondiloma akuminata rekalsitran terjadi melalui peningkatan sistem imunitas selular host. Simetidin menghambat sel T supresor, meningkatkan produksi IL-2, IL-6, IL-8 dan interferon (IFN)-, meningkatkan aktivitas sel Th-1 yang dihubungkan dengan remisi lesi dan menurunkan IL-18 yang dihasilkan oleh sel keratinosit terinfeksi human papillomavirus (HPV). Kata kunci: simetidin, adjuvan, kondiloma akuminata rekalsitran, HIV, LSL, PCR, TCA, HPV



PENDAHULUAN Kelompok lelaki yang berhubungan seksual dengan lelaki (LSL) merupakan kelompok yang memiliki risiko tinggi terkena infeksi menular seksual (IMS) termasuk infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Meskipun LSL diyakini telah ada sejak zaman dahulu, penerimaan masyarakat akan kelompok ini baru terjadi pada tahun1960an. Istilah LSL pertama kali muncul pada pertengahan tahun 1980 dalam usaha untuk menemukan istilah bagi kelompok laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki lain namun tidak harus memiliki orientasi seksual, identitas seksual atau identitas gender yang sama.1 Prevalensi LSL dalam populasi sangat bervariasi dan sulit dipastikan, namun diperkirakan perilaku homoseksual pada masyarakat modern di negara maju berkisar antara 1-10%.1 Perilaku seksual kelompok LSL meningkatkan risiko terjadinya infeksi menular seksual terutama infeksi HIV. 1,2 Hubungan seksual pada kelompok LSL umumnya dilakukan secara peranal, yang mana hubungan seksual jenis ini memiliki risiko penularan IMS yang lebih tinggi dari jenis lainnya termasuk risiko akan terjadinya kondiloma akuminata. Kondiloma akuminata merupakan suatu bentuk manifestasi klinis dari infeksi Human Papillomavirus (HPV).3 Infeksi HPV dianggap sebagai infeksi menular seksual yang paling sering di Amerika Serikat dan negara maju lainnya.1 Lebih dari 85% LSL yang terinfeksi HIV juga mengalami koinfeksi HPV. Sedangkan angka kejadian infeksi HPV pada LSL yang tidak mengalami infeksi HIV juga termasuk tinggi yaitu lebih dari 50%. 1



Infeksi HIV merupakan infeksi yang menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan kumpulan gejala yang dikenal dengan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) angka kejadian infeksi HIV secara global dari tahun 2008 sampai 2010 tetap stabil dengan kelompok LSL tetap menjadi kelompok dengan angka infeksi HIV tertinggi.4 Kelompok LSL di Asia memiliki risiko terinfeksi HIV 18,7 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.5 Data epidemiologi pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi HIV/AIDS pada kelompok LSL di beberapa kota di Indonesia berkisar antara 2,0%-8,1%.5 Tingginya kasus infeksi HIV pada kelompok LSL mempengaruhi manifestasi klinis maupun pemilihan terapi untuk kasus-kasus IMS pada LSL termasuk kondiloma akuminata. Menurunnya sistem kekebalan tubuh pada penderita infeksi HIV menyebabkan lambatnya respon pengobatan sehingga kadang kala diperlukan pemberian terapi kombinasi seperti kombinasi imiquimod dengan asam salisilat, kombinasi interferon dengan isoprenosin, kombinasi interferon dengan resin podofilin, kombinasi kryoterapi dengan podofilotoksin, kombinasi laser erbium-doped yttrium aluminium garnet (ER-YAG) dengan podofilotoksin, kombinasi pulse dye laser dengan bleomisin intralesi, kombinasi dye laser dengan terapi fotodinamik, kombinasi beberapa agen injeksi, kombinasi simetidin dengan levamisol, kombinasi simetidin dengan agen kaustik seperti TCA atau BCA, kombinasi elektrokauter dengan cidofovir dan kombinasi beberapa ARV.6-9 Berikut akan dilaporkan sebuah kasus kondiloma akuminata rekalsitran pada seorang LSL penderita infeksi HIV stadium II yang mendapat terapi kombinasi berupa tutul TCA 90% dan simetidin oral. Kasus ini dilaporkan dengan tujuan meningkatkan pemahaman mengenai kecenderungan terjadinya kondiloma akuminata rekalsitran pada LSL dengan koinfeksi HIV dan pengaruh pemberian simetidin terhadap kasus kondiloma akuminata rekalsitran.



KASUS Seorang laki-laki, usia 30 tahun, suku Jawa, warga negara Indonesia, status duda, dengan nomor rekam medis 01.61.33.94, datang untuk kontrol ke Subdivisi Infeksi Menular Seksual Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar pada tanggal 29 Agustus 2014. Pasien telah didiagnosis dengan kondiloma akuminata sejak bulan Januari 2013. Dari anamnesis diketahui bahwa saat ini dijumpai adanya benjolan baru yang tidak terasa nyeri maupun gatal disekitar anus. Benjolan awalnya kecil tetapi lama-kelamaan membesar dan teraba kasar. Pasien juga merasakan terdapat benjolan saat memasukkan jarinya dalam anus. Tidak didapatkan adanya gangguan buang air besar sejak adanya benjolan tersebut. Benjolan baru dirasakan mulai muncul sejak 2 hari sebelumnya. Benjolan lama selalu rontok sebagian pada hari ke empat atau ke lima setelah penutulan Trichloroacetic acid (TCA) dan kemudian tumbuh kembali pada hari ke enam atau ke tujuh. Sesaat sebelum benjolan baru tumbuh pasien selalu merasa sangat gatal di sekitar dubur tempat benjolan baru kemudian muncul. Riwayat kontak seksual terakhir pasien dilaporkan terjadi pada bulan Januari 2013, sebelum pasien didiagnosis menderita kondiloma akuminata. Sejak didiagnosis dengan kondiloma akuminata perianal pada bulan Januari 2013 sampai dengan saat ini pasien telah memperoleh tutul TCA sebanyak 33 kali (32 kali untuk kondiloma perianal dan 1 kali untuk kondiloma akuminata intraanal) namun keluhan yang sama terus muncul kembali. Pasien didiagnosis dengan infeksi HIV stadium II (kriteria World Health Organization/ WHO) sejak bulan September 2013 dengan jumlah sel CD4 absolut 437 sel/ul (410-1590) dan memperoleh antiretroviral (ARV) berupa duviral (zidovudin dan lamivudin) dan neviral (nevirapin) sampai dengan saat ini. Pemeriksaan CD4 terakhir dilakukan pada bulan Mei 2014 dengan jumlah sel CD4 absolut 616 sel/ul (410-1590). Tidak terdapat riwayat penyakit saraf, jantung, ginjal, hepar, gastrointestinal, tekanan darah rendah dan alergi obat maupun makanan pada pasien Pasien adalah seorang pekerja swasta di bidang pariwisata yang mengaku telah melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis sejak usia 17 tahun. Pasien saat ini tidak memiliki pasangan namun sebelumnya sering berganti-ganti pasangan. Dalam satu bulan pasien dapat berganti pasangan sampai lebih dari 5 kali dan sering berhubungan seksual tanpa memakai kondom. Dalam hubungan seksual pasien berlaku sebagai reseptif maupun insertif. Pasien pernah menikah saat usia 18 tahun dan memiliki satu orang putri, kemudian bercerai 2 tahun kemudian karena merasa lebih nyaman bersama laki-laki. Riwayat penyakit sistemik lainnya dalam keluarga seperti penyakit saraf, jantung, kencing manis, ginjal, hepar, gastrointestinal, asma, tekanan darah rendah maupun tinggi juga tidak ada. Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik dan kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 110/80 mmHg, denyut nadi 84 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, dan temperatur aksila 36,5oC. Berat badan 60 kg dan tinggi badan 160 cm. Pada status generalis didapatkan kepala



1



normosefali, kedua mata tidak tampak anemis maupun ikterus. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorokan didapatkan kesan tenang dan pada leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan thoraks didapatkan suara jantung dan paru dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen tidak didapatkan adanya distensi, bising usus terdengar dalam batas normal, hepar dan lien tidak teraba. Pada ekstrimitas atas dan bawah tidak terdapat edema dan teraba hangat. Pada status dermatologi, lokasi pada perianal didapatkan tumor soliter pucat, bentuk bulatoval ukuran 1x1 cm dengan permukaan verukosa dan konsistensi padat (lampiran 1). Sebagai pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan tes acetowhite dan didapatkan lesi memutih dengan pemberian asam asetat. Hasil pemeriksaan histopatologis pada tanggal 18 Februari 2013 dari lesi di regio perianal didapatkan jaringan yang membentuk struktur papilomatik terdiri dari epitel skuamus yang mengalami akantosis beberapa tampak gambaran vaculated koilocyt. Tampak pula adanya parakeratosis di atasnya. Kesimpulan gambaran morfologi sesuai dengan kondiloma akuminata (lampiran 2). Hasil pemeriksaan polimerase chain reaction (PCR) deoxyribonucleic acid (DNA) HPV (13 November 2013) mendapatkan hasil positif HPV, dengan tipe HPV tidak dapat ditentukan (bukan tipe 16 dan 18) dapat dilihat pada lampiran 3. Bagian Man who have sex with man (MSM) VCT melakukan pemeriksaan anal pap thinprep dan pemeriksaan dengan mempergunakan high resulotion-anoscopy (HRA) disertai pengambilan biopsi. Interpretasi pemeriksaan anal pap thinprep adalah Atypical Squamous Cells of Undetermined Significance (ASC-US) (lampiran 4). Hasil biopsi disimpulkan kondiloma with Low Grade Anal Intraepithelial Neoplasia (LGAIN) (lampiran 5). Pasien didiagnosis sebagai kondiloma akuminata intraanal tipe Low Grade Anal Intraepithelial Neoplasia dengan terapi tutul TCA 90% dan disarankan kontrol kembali dua minggu kemudian. Hasil HRA dapat dilihat pada lampiran 6. Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 29 Agustus 2014 mendapatkan hasil: eritrosit 4,62 103/uL (4,5-5,9); hemoglobin 14,7 g/dL (13,5-17,5); hematokrit 43,6% (41-53); trombosit 212 K/uL (150-440); leukosit 6,13 K/uL (4,1-11); neutrofil 2,23 103/uL (2,5-7,5); limfosit 3,13 103/uL (1-4,0); monosit 0,55 103/uL (0,1-1,2); eosinofil 0,19 103/uL (0-0,5); basofil 0,03 103/uL (0-0,1). Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan SGOT 16,5 IU/L (11-33); SGPT 14,9 IU/L (11-50) dan gula darah sewaktu 90 mg/dL (< 200). Pemeriksaan fungsi ginjal mendapatkan BUN 9,0 mg/dl (8-23) dan kreatinin 0,94 mg/dl (0,7-1,2). Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis kondiloma akuminata perianal. Penatalaksanaan pada penderita adalah tutul TCA 90% (tutul ke-34) yang akan dilakukan setiap minggu. Pasien diberikan konsultasi informasi dan edukasi (KIE) akan perkembangan penyakit, kemungkinan penyebab kekambuhan, keberhasilan terapi, pilihan terapi lain beserta keberhasilannya, metode dalam melakukan hubungan seksual yang aman dan waktu kontrol berikutnya. Pasien telah diberikan KIE untuk dilakukan tindakan bedah listrik (elektrofulgurasi) dan saran untuk konsultasi ke bagian Voluntary Counseling and Testing (VCT) RSUP Sanglah untuk melakukan pemeriksaan high resulotion-anoscopy (HRA) ulang dan pengobatan kondiloma intraanal yang dimilikinya tetapi pasien menolak. Pengamatan lanjutan pertama pada tanggal 8 September 2014 (hari ke-10). Keluhan benjolan pada anus masih sama seperti sebelumnya. Benjolan lama telah lepas pada hari ke 4 paska penutulan TCA minggu sebelumnya namun tumbuh kembali pada hari ke 7. Pasien juga masih merasakan terdapat benjolan saat memasukkan jarinya dalam anus. Keluhan nyeri saat buang air besar dan serta perdarahan pada luka setelah pengobatan tidak dirasakan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 80 kali permenit, respirasi 20 kali permenit, dan temperatur aksila 36,5˚C. Status generalis dalam batas normal. Pada status dermatologi, lokasi di perianal didapatkan tumor soliter pucat, bentuk bulat-oval ukuran 1x1 cm dengan permukaan verukosa dan konsistensi padat (lampiran 7). Bagian Kulit dan Kelamin mendiagnosis pasien sebagai kondiloma akuminata perianal. Tatalaksana pada pasien adalah tutul TCA 90% (tutul ke-35) dan simetidin 3x200 mg peroral (minggu pertama). Pasien diberikan KIE mengenai aktivitas seksual yang aman, manfaat vaksinasi HPV, pemeriksaan HRA ulang, pengobatan kondiloma intraanal (pasien menolak) dan kemungkinan efek samping simetidin yang dapat terjadi. Pasien disarankan kontrol satu minggu kemudian untuk tutul TCA berikutnya. Bagian VCT mendiagnosis pasien dengan infeksi HIV stadium II dengan rencana pemeriksaan CD4 setiap enam bulan. Pengamatan lanjutan kedua pada tanggal 23 September 2014 (hari ke-25). Keluhan benjolan disekitar anus masih sama seperti sebelumnya namun benjolan di dalam anus sudah tidak dirasakan. Benjolan lama lepas pada hari ke 4 paska penutulan TCA minggu sebelumnya namun tumbuh



2



kembali pada hari ke 7. Keluhan nyeri saat buang air besar dan serta perdarahan pada luka setelah pengobatan tidak dirasakan, begitu pula dengan keluhan pusing, mual, muntah, diare, pembesaran dada dan riwayat gangguan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 80 kali permenit, respirasi 20 kali permenit, dan temperatur aksila 36,5˚C. Status generalis dalam batas normal. Pada status dermatologi, lokasi di perianal didapatkan tumor soliter pucat, bentuk bulat-oval ukuran 1x1 cm dengan permukaan verukosa dan konsistensi padat (lampiran 8). Bagian Kulit dan Kelamin mendiagnosis pasien sebagai kondiloma akuminata perianal. Tatalaksana pada pasien adalah tutul TCA 90% (tutul ke-37) dan simetidin 3x200 mg peroral (minggu ke-3). Pasien diberikan KIE mengenai aktivitas seksual yang aman, manfaat vaksinasi HPV, pemeriksaan HRA ulang dan pengobatan kondiloma intraanal (pasien menolak) dan kemungkinan efek samping simetidin yang dapat terjadi. Pasien disarankan kontrol satu minggu kemudian untuk tutul TCA berikutnya. Bagian VCT mendiagnosis pasien dengan infeksi HIV stadium II dengan rencana pemeriksaan CD4 setiap enam bulan. Pengamatan lanjutan ketiga pada tanggal 15 Oktober 2014 (hari ke-47). Keluhan benjolan pada anus sudah mengecil dibandingkan sebelumnya. Benjolan lama lepas pada hari ke 4 paska penutulan TCA minggu sebelumnya dan tumbuh kembali pada hari ke 6 namun lebih kecil dari minggu sebelumnya. Benjolan di dalam anus sudah tidak dirasakan oleh pasien. Keluhan nyeri saat buang air besar dan serta perdarahan pada luka setelah pengobatan tidak dirasakan, begitu pula dengan keluhan pusing, mual, muntah, diare, pembesaran dada dan riwayat gangguan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 80 kali permenit, respirasi 20 kali permenit, dan temperatur aksila 36,5˚C. Status generalis dalam batas normal. Pada status dermatologi, lokasi di perianal didapatkan tumor soliter pucat, bentuk bulat-oval ukuran 0,5x0,7 cm dengan permukaan verukosa dan konsistensi padat (lampiran 9). Bagian Kulit dan Kelamin mendiagnosis pasien sebagai kondiloma akuminata perianal. Tatalaksana pada pasien adalah tutul TCA 90% (tutul ke-40) dan simetidin 3x200 mg peroral (minggu ke-6). Pasien diberikan KIE mengenai aktivitas seksual yang aman, manfaat vaksinasi HPV, pemeriksaan HRA ulang, pengobatan kondiloma intraanal dan rencana pemeriksaan laboratorium untuk monitoring efek samping simetidin. Pasien setuju untuk melakukan pemeriksaan HRA ulang dan pemeriksaan laboratorium pada tanggal 20 Oktober mendatang. Pasien disarankan kontrol tanggal 20 Oktober untuk dikonsultasikan ke bagian VCT dan satu minggu dari sekarang untuk tutul TCA berikutnya. Bagian VCT mendiagnosis pasien dengan infeksi HIV stadium II dengan rencana pemeriksaan CD4 setiap enam bulan. Pengamatan lanjutan keempat pada tanggal 20 Oktober 2014 (hari ke-52). Keluhan benjolan pada anus sudah mengecil dibandingkan sebelumnya. Siklus munculnya benjolan masih sama seperti sebelumnya. Benjolan di dalam anus sudah tidak dirasakan oleh pasien. Keluhan nyeri saat buang air besar dan serta perdarahan tidak dirasakan pasien namun terdapat luka pada tempat terlepasnya lesi. Keluhan pusing, mual, muntah, perut kembung, diare, pembesaran dada dan riwayat gangguan kesadaran disangkal oleh pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 80 kali permenit, respirasi 20 kali permenit, dan temperatur aksila 36,5˚C. Status generalis dalam batas normal. Pada status dermatologi, lokasi di perianal didapatkan tumor soliter pucat datar, bentuk bulatoval ukuran 0,5x0,7 cm dengan permukaan verukosa dan ulkus soliter berbentuk geografika dengan tepi datar, dinding landai dan dasar jaringan granulasi diatas kulit normal berukuran 0,5x1x0,2cm (lampiran 10). Pemeriksaan gram ulkus memperoleh leukosit 1-3/lpb, kokus gram positif negatif dan basil gram negatif positif. Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 20 Oktober 2014 mendapatkan hasil: eritrosit 4,5 103/uL (4,5-5,9); hemoglobin 16,5 g/dL (13,5-17,5); hematokrit 48,7% (41-53); trombosit 220 K/uL (150-440); leukosit 7,51 K/uL (4,1-11); neutrofil 3,40 103/uL (2,5-7,5); limfosit 3,17 103/uL (14,0); monosit 0,66 103/uL (0,1-1,2); eosinofil 0,18 103/uL (0-0,5); basofil 0,08 103/uL (0-0,1). Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan SGOT 22 IU/L (11-33); SGPT 22 IU/L (11-50) dan gula darah sewaktu 100 mg/dL (< 200). Pemeriksaan fungsi ginjal mendapatkan BUN 12 mg/dl (8-23) dan kreatinin 1,1 mg/dl (0,7-1,2). Bagian MSM VCT melakukan pemeriksaan HRA ulang dengan hasil tidak ditemukan adanya displasia anal namun ditemukan adanya hemorhoid interna (lampiran 11).



3



Bagian Kulit dan Kelamin mendiagnosis pasien sebagai kondiloma akuminata perianal dan ulkus perianal. Tatalaksana pada pasien adalah planning tutul TCA 90% saat lesi ulkus telah kering, simetidin 3x600 mg peroral (minggu pertama) dan gentamisin krim 2x/hari. Pasien diberikan KIE mengenai metode proteksi seksual, manfaat vaksinasi HPV, hasil pemeriksaan laboratorium dan HRA, tujuan, manfaat dan efek samping yang dapat ditmbulkan simetidin, pentingnya kontrol rutin dan waktu kontrol berikutnya. Bagian VCT mendiagnosis pasien dengan tidak ditemukan adanya displasia anal dan hemorhoid interna. Pasien tidak diberikan terapi oleh bagian VCT namun disarankan untuk melakukan HRA rutin setiap 6 bulan dan melakukan konsultasi hemorhoid dengan bagian bedah yang belum disetujui oleh pasien.



PEMBAHASAN Kondiloma akuminata merupakan suatu bentuk infeksi HPV yang merupakan kelompok virus DNA yang terutama menyebabkan terjadinya proliferasi sel epitel atau papiloma pada vertebrata. Infeksi yang terjadi sangat ditentukan oleh genus atau spesies dan terdapat tropisme virus pada lokasi-lokasi anatomis tertentu.10 Terdapat sekurangnya 40 jenis HPV dari total lebih dari 100 jenis HPV yang secara primer menginfeksi epitel traktus genitalis. Tropisme epitelial HPV berhubungan dengan manifestasi klinis yang berbeda-beda. Sebagai contoh HPV 6 dan 11 berhubungan dengan manifestasi klinis kondiloma akuminata dan HPV 16, 18, 26, 31, 33, 35, 39, 45, 51–53, 56, 58 dengan manifestasi klinis karsinoma genital.3 Transmisi HPV terutama terjadi melalui transmisi seksual baik berupa penetrasi (oral, vaginal atau anal) maupun tanpa penetrasi. Selain itu HPV juga dapat ditransmisikan secara nonseksual yaitu melalui kontak dengan kulit terinfeksi baik dari penderita sendiri maupun dari orang lain. 3,11 Kerentanan seseorang terinfeksi HPV sangat ditentukan oleh predisposisi genetik, status imunitas dan haplotipe human leukocyte antigen (HLA). Beberapa faktor telah dihubungkan dengan terjadinya infeksi HPV, antara lain yaitu jumlah pasangan seksual, tidak dilakukannya sirkumsisi, merokok dan peningkatan hormon estrogen.3 Diagnosis kondiloma akuminata ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis kondiloma akuminata pada laki-laki dan perempuan biasanya berupa benjolan pada genitalia. Keluhan gatal, nyeri, rasa terbakar atau perdarahan jarang dijumpai. Pada wanita sering pula dijumpai adanya keluhan keputihan. Pada laki-laki kondiloma akuminata paling sering dijumpai di penis, skrotum, meatus uretra dan perianal sementara pada wanita kondiloma akuminata dapat dijumpai di introitus vagina, vulva, perineum dan perianal. Pada kasus yang lebih jarang lesi dapat pula dijumpai di serviks dan dinding vagina wanita dan area pubis, paha atas, lipatan inguinal dan rongga mulut baik pada laki-laki maupun perempuan. Benjolan dapat berupa massa kondilomatosa, papular, datar atau keratotik yang bereaksi positif terhadap tes acetowhite. Pemeriksaaan histopatologi menunjukkan terjadinya hiperkeratosis berupa parakeratosis, akantosis dan papilomatosis. Pemeriksaan PCR DNA HPV akan menunjukkan tipe HPV pada lesi.3 Diagnosis pada kasus ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis diketahui terdapat benjolan dengan permukaan kasar yang semakin lama semakin membesar yang terus menerus tumbuh kembali paska pengobatan. Gambaran klinis lesi pada pasien berupa benjolan dengan permukaan (keratotik) dengan lokasi di daerah perianal dan benjolan dengan permukaan licin pada intraanal. Sebelum lesi tumbuh kembali pasien melaporkan adanya rasa gatal yang luar biasa. Pada pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan acetowhite diperoleh hasil positif (lesi memutih dalam 15 menit), pemeriksaan biopsi memperoleh hasil kondiloma Low Grade Anal Intraepithelial Neoplasia dan pemeriksaan PCR memperoleh hasil HPV bukan tipe 16 maupun 18. Pemeriksaan anoskopi dilakukan secara berkala pada pasien yaitu setahun satu kali, pada pemeriksaan pertama dijumpai masa kondiloma intraanal sedangkan pada pemeriksaan kedua sudah tidak ditemukan adanya lesi intraanal. Kelompok LSL memiliki risiko menderita IMS lebih tinggi dari kelompok perempuan maupun laki-laki heteroseksual.12 Karena persamaan faktor risiko terjadinya IMS dengan infeksi HIV maka IMS yang terjadi pada kelompok LSL juga dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya HIV. 12 Beberapa perilaku telah dihubungkan dengan terjadinya IMS pada kelompok LSL, antara lain tingginya jumlah pasangan seksual, frekuensi pergantian pasangan seksual dan aktivitas seksual tanpa proteksi. Beberapa faktor lain seperti semakin tingginya jumlah LSL terinfeksi HIV yang dapat hidup lebih lama dan dengan kondisi kesehatan yang baik karena penggunaan anti retrovirus (ARV) juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya aktivitas seksual berisiko. Faktor sosial dan interpersonal juga secara signifikan berperan dalam terjadinya IMS termasuk HIV.12 Infeksi HPV merupakan jenis IMS yang disebabkan oleh virus yang paling sering dijumpai baik pada perempuan maupun laki-laki dengan prevalensi yang bervariasi secara luas. Meskipun



4



sebagian besar kasus infeksi HPV pada laki-laki sembuh spontan, namun pada sebagian kecil kasus infeksi yang terjadi bertahan dan berkembang menjadi kondiloma akuminata, lesi malignan pada anus, penis dan orofaring dan papilomatosis respiratori rekuren.13 Tingginya prevalensi infeksi HPV diantara LSL telah berhasil dibuktikan pada berbagai studi. Suatu studi menunjukkan bahwa sampai dengan 95% LSL yang terinfeksi HIV juga mengalami koinfeksi HPV. Sedangkan angka kejadian infeksi HPV pada LSL yang tidak mengalami infeksi HIV juga termasuk tinggi yaitu lebih dari 50%.1,13 Kelompok LSL dengan koinfeksi HIV dan kondiloma akuminata mengalami peningkatan frekuensi lesi anogenital displastik grade tinggi, frekuensi infeksi HPV yang lebih tinggi dengan lesi yang berjumlah lebih banyak dan penyebaran yang lebih luas. Selain itu pada penderita infeksi HIV lebih sering terdeteksi HPV onkogenik (35% berbanding 12%) dan sering kali ditemukan lebih dari satu jenis HPV.9 Laporan akan terjadinya karsinoma anus pada LSL menegaskan pentingnya skrining anal rutin dan penanganan lesi prekanker proaktif sebagai bagian dari penatalaksanaan kelompok LSL yang melakukan aktivitas seksual peranal.1 Pada kasus metode transmisi yang dicurigai pada kasus ialah melalui penetrasi peranal dengan penderita infeksi HPV dengan faktor risiko terjadinya kondiloma akuminata antara lain adanya infeksi HIV stadium II, riwayat multipartner baik yang dikenal baik maupun tidak dan pasien sering kali tidak menggunakan kondom dalam melakukan aktivitas seksualnya (terutama terdiri dari penetrasi peranal baik sebagai insertif maupun reseptif). Lesi pada pasien menetap dalam jangka waktu lama (> 6 bulan) dan resisten terhadap terapi. Kemungkinan terjadinya keganasan yang berkembang dari lesi kondiloma akuminata intraanal pada kasus dengan koinfeksi HIV dicegah dengan melakukan pemeriksaan HRA, biopsi berkala dan PCR tipe HPV dengan hasil kondiloma akuminata intraanal tipe histopatologi Low Grade Anal Intraepithelial Neoplasia dan pemeriksaan PCR HPV bukan tipe 16 maupun 18. Pada pemeriksaan HRA kedua diperoleh hasil eradikasi lesi intraanal. Tidak terdapat perbedaan prinsip penatalaksanaan kondiloma akuminata pada pasien dengan maupun tanpa infeksi HIV. Penatalaksanaan kondiloma akuminata meliputi pengobatan, follow up dan pencegahan kondiloma akuminata serta deteksi dan pengobatan akan keberadaan seluruh IMS lain baik pada pasien maupun pasangan seksualnya. Pada prinsipnya kondiloma akuminata yang baru muncul (kurang dari 6 bulan) akan berespon lebih baik terhadap terapi daripada lesi lama. 3,8 Tanpa terapi kondiloma akuminata dapat sembuh spontan (hilang), tetap pada ukuran semula atau bertambah baik ukurannya mupun jumlahnya. Penderita kondiloma akuminata biasanya ingin menghilangkan lesi dengan alasan kosmetika.3 Sejak kemunculannya sampai saat ini terdapat berbagai modalitas terapi yang dapat dipergunakan pada kasus kondiloma akuminata. Pilihan terapi biasanya disesuaikan dengan permintaan pasien, usia, kemampuan mengikuti arahan, lokasi lesi, jumlah lesi dan keterampilan klinisi. Klasifikasi modalitas terapi sangat bervariasi. Menurut pengaplikasiannya terapi dibagi menjadi dua yaitu terapi yang dapat dikerjakan sendiri oleh pasien dan yang harus dikerjakan oleh tenaga ahli.3 Sementara menurut sifat dan mekanisme kerjanya terapi pada kondiloma akuminata dapat dibagi menjadi terapi tradisional yang terdiri dari penggunaan daun-daunan dan mantera, hipnotis, ekstrak bawang putih dan selotip; agen destruktif yang terdiri dari elektrokauter; agen kaustik termasuk TCA dan bichloroacetic acid (BCA), asam salisilat, cantharidin, kryoterapi, air panas, patch eksotermik, ultrasonografi hipertermia, ablasi radiofrekuensi, terapi microwave, koagulasi inframerah, laser dan terapi fotodinamik; agen virusidal yang terdiri dari glutaraldehid, formaldehid, asam formika dan obat-obat antiviral; agen antimitotik yang terdiri dari bleomicin, retinoid, podofilin dan podofilotoksin; agen imunoterapi yang terdiri dari zinc sulfat oral, sensitizer kontak, interferon intralesi, 5-fluorourasil, simetidin, levamisol, imiquimod, Bacillus Calmette Guerin (BCG) intralesi dan vaksin HPV dan terapi kombinasi yang terdiri dari kombinasi beberapa agen seperti kombinasi imiquimod dengan asam salisilat, kombinasi interferon dengan isoprenosin, kombinasi interferon dengan resin podofilin, kombinasi kryoterapi dengan podofilotoksin, kombinasi laser erbium-doped yttrium aluminium garnet (ER-YAG) dengan podofilotoksin, kombinasi pulse dye laser dengan bleomisin intralesi, kombinasi dye laser dengan terapi fotodinamik, kombinasi beberapa agen injeksi, kombinasi simetidin dengan levamisol, kombinasi simetidin dengan agen kaustik seperti TCA atau BCA, kombinasi elektrokauter dengan cidofovir dan kombinasi beberapa ARV.8,9 Larutan TCA atau BCA 80-90% biasanya digunakan untuk lesi lembab berukuran kecil 1 kali seminggu selama 4-6 minggu. Efek samping tersering berupa iritasi sehingga kulit sehat disekitar lesi harus dilindungi dengan menggunakan baking soda atau vaselin. Jika setelah 6 minggu terapi yang dikerjakan oleh tenaga ahli atau setelah rentang waktu yang dianjurkan oleh produk pakai sendiri lesi belum sembuh maka harus dipilih terapi lain atau dilakukan biopsi.3 Saat ini simetidin, yang fungsinya dalam mengurangi sekresi asam lambung telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) telah terbukti berhasil dipergunakan dalam pengobatan



5



beberapa penyakit kulit seperti kandidiasis mukokutan, herpes simpleks dan herpes zoster melalui efek imunomodulatornya.14,15 Beberapa studi menunjukkan keberhasilan penggunaan simetidin dalam pengobatan kondiloma akuminata, meskipun beberapa studi yang lain menyimpulkan sebaliknya. Pada suatu studi yang mengobati 55 penderita kondiloma akuminata hanya dengan simetidin oral pada dua kelompok subjek (kelompok yang menerima dosis simetidin kurang dari 20 mg/kgBB/hari dan kelompok yang menerima simetidin 30-40 mg/kgBB/hari) diperoleh hasil remisi komplit pada 34,5% (19/55) dan 23,6% (13/55) mengalami remisi parsial. 16 Sementara sebuah studi yang lain yang meneliti penggunaan simetidin oral pada 4 orang anak-anak dengan kondiloma akuminata nongenital dengan dosis 30-40 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis terbagi selama 3 bulan menunjukkan terjadinya remisi total seluruh lesi dalam 24 bulan, sehingga disimpulkan bahwa simetidin efektif sebagai terapi utama tunggal pada kasus kondiloma akuminata pada anak-anak.17 Pada sebuah studi label terbuka yang meneliti efektivitas simetidin sebagai terapi tunggal pada penderita usia dewasa dan anak-anak diperoleh tingkat toleransi anak dan dewasa masing-masing sebesar 87% dan 68%. Dimana pada 65% subjek yang mengalami remisi total tidak didapatkan terjadinya rekurensi. Sehingga disimpulkan bahwa rekurensi biasanya terjadi pada kasus dimana terapi dihentikan sebelum seluruh lesi kondiloma hilang. Namun demikian masih sangat diperlukan konfirmasi hasil studi-studi ini melalui suatu Randomized controlled trial (RCT).18 Selanjutnya pada tiga randomized double blind placebocontrol study para peneliti berupaya mengevaluasi efektivitas simetidin sebagai terapi tunggal pada kasus kondiloma akuminata. Namun ternyata pada ketiga studi ini diperoleh hasil serupa yaitu bahwa angka kesembuhan antara kelompok pengguna simetidin dan plasebo tidak berbeda, sehingga disimpulkan bahwa simetidin tidak lebih efektif dari plasebo. Pada studi pertama yang menguji penggunaan 2400 mg simetidin perhari selama 12 minggu, angka kesembuhan simetidin 26% dan plasebo 5% dengan nilai p 0,085 sehingga disimpulkan tidak signifikan secara statistika. Pada studi kedua yang menggunakan simetidin dengan dosis 3x400 mg selama 12 minggu pada penderita usia diatas 12 tahun diperoleh perbandingan angka kesembuhan simetidin dan plasebo masing-masing 27% dan 22%, yang juga tidak signifikan secara statistika. Studi ketiga yang menggunakan simetidin oral dengan dosis 25-40 mg/kgBB/hari sebagai terapi tunggal pada penderita usia 4-39 tahun, angka kesembuhan kelompok penerima simetidin berbanding plasebo masing-masing 32% dan 30,9% yang sekali lagi tidak signifikan secara statistika.8,15 Hasil studi yang berbeda ini selanjutnya memicu para peneliti dalam melakukan penelitian lanjutan akan mekanisme kerja simetidin akan fungsinya dalam pengobatan kondiloma akuminata, khususnya kondiloma akuminata rekalsitran multipel.16 Meskipun mekanisme kerja pasti dari simetidin dalam pengobatan kondiloma belum diketahui, namun simetidin diketahui berfungsi dalam pengobatan kondiloma kauminata melalui peningkatan sistem imunitas selular host. Dimana simetidin diketahui menghambat sel T supresor, meningkatkan produksi IL-2, IL-6, IL-8 dan interferon (IFN)- melalui peningkatan histamin dan peningkatan aktivitas sel Th-1 yang diketahui berhubungan dengan remisi lesi dan melalui penurunan IL-18, yang diperkirakan dihasilkan oleh sel keratinosit yang diinfeksi oleh HPV.14,16 Beberapa studi membandingkan keberhasilan terapi simetidin sebagai terapi tunggal dengan simetidin sebagai terapi kombinasi baik dengan terapi lokal kaustik, kryoterapi atau dengan levamisol dan menunjukkan hasil serupa yaitu bahwa terapi kombinasi memberikan angka keberhasilan terapi yang lebih tinggi. Pada studi yang membandingkan simetidin sebagai terapi tunggal dan kombinasi simetidin dengan terapi kaustik atau kryoterapi memperoleh perbandingan angka respon total pasien sebesar 10% berbanding 35% dan respon parsial 20% berbanding 60% secara berturut-turut.9,14 Pada kasus simetidin diberikan dengan berkombinasi dengan terapi kaustik yang berupa TCA. Simetidin diberikan dengan dosis awal 3x200 mg, dibawah dosis yang direkomendasikan untuk terapi pada kasus kondiloma akuminata (30-40 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi 3) dengan pertimbangan kepatuhan pasien mengingat saat ini pasien sedang menerima ARV dan kemungkinan terjadinya efek samping. Simetidin memiliki beberapa efek samping dari yang ringan sampai berat antara lain pusing, somnolen (pada dosis 800-1600 mg/hari), perubahan kesadaran (pada penderita kelainan fungsi hati dan ginjal), gangguan gastrointestinal, ginekomastia (pada penggunaan lebih dari 1 bulan), peningkatan serum transaminase, peningkatan kreatinin, hipotensi dan sinus bradikardi. Sehingga penggunaannya harus terus berada dalam monitoring mingguan.14 Selama 6 minggu penggunaan kombinasi simetidin dan TCA 90% pada kasus tidak dijumpai adanya efek samping, sehingga dilakukan peningkatan dosis simetidin menjadi 3x600 mg dengan pertimbangan persetujuan pasien, tidak ditemukannya efek samping berupa pusing, ginekomastia, mual, muntah, perut kembung, diare, penurunan kesadaran, hipotensi, bradikardi, peningkatan serum transaminase dan kreatinin serta hasil optimal pada dosis 30-40 mg/kgBB/hari yang dibuktikan pada berbagai studi.



6



Kekambuhan jauh lebih sering dijumpai pada pasien-pasien imunosupresi (bervariasi dari 2060%) sehingga evaluasi berkala dalam rentang waktu panjang sangat disarankan. 3,6 Pada suatu studi yang dilakukan di Italia, diperoleh angka kejadian kekambuhan kondiloma akuminata pada penderita dengan infeksi HIV sebesar 66,4% dan pada penderita tanpa infeksi HIV sebesar 26,8%.19 Kadar CD4 merupakan faktor yang secara konsisten dihubungkan dengan terjadinya kekambuhan lesi kondiloma akuminata pada pasien dengan koinfeksi HIV.6,7 Kadar CD4 kurang dari 200 sel/mm 3 dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya kekambuhan maupun persistensi lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan penderita dengan kadar CD4 lebih dari 500 sel/mm 3.7 Sebuah studi yang dilakukan di Korea menemukan bahwa rendahnya jumlah CD4 merupakan faktor penyebab terjadinya rekurensi kondiloma akuminata pada pasien dengan infeksi HIV. 7 Efek pemberian ARV berbeda-beda pada berbagai studi, dimana beberapa studi menunjukkan tidak adanya efek pemberian ARV pada rekurensi kondiloma akuminata, sementara beberapa studi lain menunjukkan peran pemberian ARV dalam menekan insiden terjadinya kondiloma akuminata.6,19 Selain itu reinfeksi dari pasangan seksual, sisa lesi paska terapi dan periode latensi virus juga dihubungkan dengan terjadinya rekurensi.6 Hubungan antara sistem imunitas seluler dengan rekurensi telah dibuktikan pada beberapa studi. Dimana pada kasus rekurensi didapatkan terjadinya gangguan fungsi sel langerhans yang berperan dalam respon imunitas lokal kulit.6 Munculnya lesi kondiloma akuminata dapat dicegah dengan beberapa cara antara lain dengan abstinensia hubungan seksual pranikah, setia pada pasangan, penggunaan kondom dan penggunaan vaksin profilaksis HPV. Penyebab terjadinya rekurensi pada kasus masih sulit ditentukan karena jumlah CD4 pasien relatif tinggi, dimana pada bulan September 2013 (saat pasien pertama kali didiagnosis dengan infeksi HIV) ialah 437 sel/ul dan pemeriksaan terakhir pada bulan Mei 2014 jumlah sel CD4 absolut ialah 616 sel/ul. Kasus sudah diberikan KIE akan pentingnya abstinensia, setia pada satu pasangan, penggunaan kondom, pemeriksaan HRA dan kontrol berkala serta pemberian vaksin HPV. Kasus paham dan sudah mempraktikkan KIE namun sampai saat ini masih menolak dilakukannya vaksinasi atas dasar pertimbangan ekonomi. Prognosis pada pasien dubius ad bonam karena meskipun lesi menunjukkan perbaikan masih terdapat infeksi HIV yang berisiko menyebabkan terjadinya kekambuhan dan perkembangan lesi kearah keganasan. DAFTAR PUSTAKA 1. Mayer, K.H. and Carballo-Dieguez, A. Homosexual and Bisexual Behavior in Men in Relation to STDs and HIV Infection. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S. and Watts DH. eds. Sexually Transmitted Diseases. Fourth edition. New York: McGraw-Hill; 2008, p. 203-18. 2. Pitts, M.K., Couch, M.A. and Smith, A.M. Men who have sex with men (MSM); How much to assume and how to ask?. eMJ. 2006; 185 (8):450-2. 3. Winer, RL dan Laura AK. Genital Human Papillomavirus Infection. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S. and Watts DH. eds. Sexually Transmitted Diseases. Fourth edition. New York: McGraw-Hill; 2008, p. 489-508. 4. Centers for Disease Control and Prevention. HIV Incidence. Available at http://www.cdc.gov/hiv/statistics/surveillance/incidence/, 17 Oktober 2014. 5. Griensven, F.V. and Wijngaarden, J.W. A Review of The Epidemiology of HIV Infection and Prevention Responses among MSM in Asia. AIDS 2010; 24 (suppl 3):S30–S40. 6. Sung, Ji Hyun, Eun Jung Ahn, Heung-Kwon Oh dan Sei Hyeog Park. Association of Immune Status with Recurrent Anal Condylomata in Human Immunodeficiency Virus-Positive Patients. J Korean Soc Coloproctol. 2012; 28(6): 294-98. 7. Panfilis GD, Giulia M, Giovanni M, Alessandra G. Relapses After Treatment of External Genital Warts Are More Frequent in HIV-Positive Patients Than in HIV-Negative Controls. Sexually Transmitted Diseases. 2002; 29(3): 121-25. 8. Lipke, MM. An Armamentarium of Wart Treatments. Clinical Medicine & Research. 2006; 4 (4): 273-93. 9. Saenz, MC dan Yolanda G. Cimetideine and Warts. Arch Dermatol. 1997; 133: 530. 10. Aynaud, Olivier, Dominique P, Renzo B dan Jean-Dominique P. Comparison of clinical, histological, and virological symptoms of HPV in HIV-1 infectedmen and immunocompetent subjects. Sex Transm Inf. 1998; 74:32–34. 11. Chang, G.J. and Welton, M.L. Human Papillomavirus, Condylomata Acuminata, and Anal Neoplasia. Clinics In Colon And Rectal Surgery 2004; 17(4): 221-30. 12. Centers for Disease Control and Prevention. STDs in Men Who Have Sex with Men. Available at http://www.cdc.gov/std/stats11/msm.htm, 17 Oktober 2014.



7



13. Goldstone, Steven, Anna RG, Edson DM, Carlos A, Heiko J, Richard JH et al. Prevalence of and Risk Factors for Human Papillomavirus (HPV) Infection Among HIV-Seronegative Men Who Have Sex With Men. J Infect Dis. 2011; 203 (1): 66-74. 14. Scheinfeld, Noah. Cimetidine: A review of the recent developments and reports in cutaneous medicine. Dermatology Online Journal. 2003; 9(2): 4. 15. E, Ylimaz, Alpsoy E dan Basaran E. Cimetidine therapy for warts: a placebo-controlled, doubleblind study. J Am Acad Dermatol. 1996; 34(6):1005-7. 16. T, Mitsuishi, Iida K dan Kawana S. Cimetidine treatment for viral warts enhances IL-2 and IFNgamma expression but not IL-18 expression in lesional skin. Eur J Dermatol. 2003;13(5):445-8. 17. I, Franco. Oral cimetidine for the management of genital and perigenital warts in children. J Urol. 2000; 164(3): 1074-5. 18. C, Gooptu, Higgins CR dan James MP. Treatment of viral warts with cimetidine: an open-label study. Clin Exp Dermatol. 2000; 25(3): 183-5. 19. Massad, LS, Michael JS, Gayle S, Howard M, Nancy H, Joel MP et al. Effect of antiretroviral therapy on the incidence of genital warts and vulvar neoplasia among women with the human immunodeficiency virus. American Journal of Obstetrics and Gynecology. 2004; 190 (5): 1241-48.



8



Lampiran 1. Status Dermatologi Pasien pada Saat Pertama Kali Datang



Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Histopatologi pada Tanggal 18 Februari 2013 dari Lesi di Regio Perianal



Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan Polimerase Chain Reaction (PCR) pada tanggal 13 November 2013



Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Anal Pap Thinprep Lesi Intraanal



Lampiran 5. Hasil Pemeriksaan Histopatologi Lesi Intraanal



9



Lampiran 6. Hasil Pemeriksaan High Resulotion Anoscopy (HRA) Intraanal



Lampiran 7. Status Dermatologi Pasien pada Pengamatan Lanjutan I



Lampiran 8. Status Dermatologi Pasien pada Pengamatan Lanjutan II



Lampiran 9. Status Dermatologi Pasien pada Pengamatan Lanjutan III



Lampiran 10. Status Dermatologi Pasien pada Pengamatan Lanjutan IV



10



Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan HRA Intraanal Ulang



11