Sinusitis Jamur [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR



REFERAT JULI 2017



SINUSITIS JAMUR



Oleh :



ST RAMLAH ANDARIAS, S.Ked HARMITA, S.Ked Pembimbing : dr. Hj. Hasnah Makmur, Sp.THT (Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan THT)



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2017



LEMBAR PENGESAHAN Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa: Nama



: ST RAMLAH ANDARIAS, S.Ked HARMITA, S.Ked



Judul Referat Telah



: SINUSITIS JAMUR menyelesaikan



referat dalam



rangka Kepaniteraan Klinik di



Bagian Ilmu Kesehatan THT Universitas Muhammadiyah Makassar.



Makassar, Juli 2017 Pembimbing,



(dr. Hj. Hasnah Makmur, Sp.THT)



i



KATA PENGANTAR Assalamu Alaikum Wr. Wb. Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga referat dengan judul “Sinusitis Jamur” ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat senantiasa tercurah kepada baginda Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang memberikan pedoman hidup yang sesungguhnya. Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing dr. Hj. Hasna Makmur, Sp.THT yang telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat yang sangat berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya referat ini. Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan dalam penyusunan referat ini, baik dari isi maupun penulisannya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan demi penyempurnaan referat ini. Demikian, semoga referat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan penulis secara khususnya.



Billahi Fii Sabilill Haq Fastabiqul Khaerat Wassalamu Alaikum Wr.Wb.



Makassar, Juli 2017



Penulis



ii



DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHANPEMBIMBING ............................................. i KATA PENGANTAR ................................................................................. ii DAFTAR ISI ................................................................................................ iii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1 BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 3 A. ANATOMI DAN FISIOLOGI ............................................................ 3 B. DEFINISI............................................................................................. 9 C. ETIOLOGI........................................................................................... 9 D. PATOFISIOLOGI ............................................................................... 9 E. GEJALA KLINIS ................................................................................ 10 F. KLASIFIKASI..................................................................................... 12 1. SINUSITIS JAMUR INVASIVE .................................................. 13 a. Acute Fulminant Invasive Fungal Sinusitis ............................. 14 b. Chronic Invasive Fungal Sinusitis ........................................... 17 c. Granulomatous Invasive Fungal Sinusitis ................................ 19 2. SINUSITIS JAMUR NON INVASIVE ........................................ 21 a. Sinus Fungal Ball (Mycetoma) ................................................ 21 b. Allergic Fungal Sinusitis ......................................................... 23 c. Saprophytic Fungal Infestation (SFI) ...................................... 26 G. KOMPLIKASI ..................................................................................... 27 BAB III KESIMPULAN .............................................................................. 29 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 30



iii



BAB I PENDAHULUAN Sinus paranasalis merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus terletak di bagian depan pada wajah yaitu dahi, di antara mata, dan pada tulang pipi.1 Sinusitis merupakan radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisnius, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Sinusitis yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksilla dan sinusitis etmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang. Sinus maksillaris dan etmoidalis sudah terbentuk sejak lahir dan biasanya hanya kedua sinus ini yang terlibat dalam sinusitis pada masa anak anak.1,2 Kasus pertama sinusitis dilaporkan oleh Plaignaud pada tahun 1971 namun telah dijelaskan secara detail oleh Schubert pada tahun 1885. Penyakit ini terjadi pada sekitar 20% dari populasi dengan sinusitis kronik terjadi pada lebih dari 90% kasus dan memiliki etiologi yang berbeda, dapat berupa virus, bakteri, atau jamur dan infeksi jamur merupakan penyebab utama.2,3Dari lebih 400.000 spesies jamur yang dikenal, sekitar 400 merupakan patogen pada manusia dan hanya sekitar 50 yang menyebabkan gejala sistemik dan infeksi pada sistem saraf pusat.4,5 Meskipun beberapa jamur telah diketahui dapat menyebabkan infeksi sinus, Aspergillus, Bipolaris, dan Rhizopus merupakan organisme yang lebih sering menyebabkan sinusitis jamur.1,4,5,6,7 Angka kejadian Sinusitis jamur meningkat dengan meningkatnya pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang merupakan predisposisi antara lain diabetes mellitus, neutropenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama di rumah sakit.1 Penengakan diagnosis dari sinusitis jamur sering mengalami kesalahan. Hal ini merupakan kondisi serius karena bentuk-bentuk tertentu dari sinusitis 1



jamur berhubungan dengan tingkat kematian yang tinggi. Keberhasilan pengobatan membutuhkan diagnosis yang cepat dan sering bergantung pada pencitraan radiologis, khususnya computed tomography (CT)dan magnetic resonance (MR) imaging.5 Sangat penting untuk membedakan antara sinusitis jamur invasif dan non-invasif karena penatalaksanaan dan prognosis keduanya sangat berbeda.8



2



BAB II PEMBAHASAN A. ANATOMI DAN FISIOLOGI 1. Anatomi Sinus paranasal Sinus paranasal terdiri dari empat pasang mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.1



Gambar 1. Anatomi Sinus Paranasalis9 Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai dari fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksilla dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus- sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.1,2



3



Pembagian Sinus Paranasal a. Sinus Maksila Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar dan terletak di bawah mata dalam tulang maksilaris. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Sinus maksilaris diperdarahi oleh cabangcabang arteri maksilaris internal, yang meliputi arteri infraorbital, alveolar, palatina dan arteri sphenopalatina. Ini diinervasi oleh cabang-cabang nervus trigeminal kedua, saraf infraorbital, dan saraf palatine.1,10 b. Sinus Frontal Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalisnya tidak berkembang.1,2 Ukuran sinus frontal adalah tingginya 2,8 cm, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.



4



Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. Sinus frontal diperdarahi oleh arteri supraorbital dan supratrochlear pada arteri oftalmik. Ini diinervasi oleh saraf supraorbital dan supratrochlear dari nervus trigeminal cabang pertama.1,10 c. Sinus etmoid Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan dianggap paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tingginya 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.1,10 Sinus etmoid berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resessus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid. Sinus etmoid diperdarahi oleh arteri etmoidal anterior dan posterior dari arteri oftalmikus (sistem karotis interna), dan juga oleh arteri sphenopalatine dari cabang terminal arteri maksilaris internal (sistem karotis eksternal).1,10



5



d. Sinus Sfenoid Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Batasbatasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisis, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. Sinus sphenoid diperdarahi oleh arteri sphenopalatine, kecuali untuk planum sphenoidale, yang diperdarahi oleh arteri etmoidal posterior. Pelepasan sinus sphenoid berasal dari cabangcabang pertama dan kedua dari saraf trigeminal.1,10



Gambar2 :Anatomi Sinus Paranasal11



6



Kompleks Osteomeatal Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM) terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.1 Sistem mukosilier Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.1 Mukosa hidung terdiri dari epitel kolumnar berlapis semu bersilia yang dibatasi epitel squamous pada daerah vestibulum



nasi. Daerah



permukaan luminal epitel sinonasal terdiri dari 300-400 microvili pada setiap sel. Selain itu, sel kolumnar mengandung sekitar seratus silia pada setiap sel dengan kecepatan 1000 x /menit.12



2. Fisiologi Sinus Paranasal Bukti relevansi fungsional dari sinus paranasal hingga kini masih belum ditemukan. Meskipun keberadaan sinus paranasal mungkin tidak dapat dijelaskan, kerentanan terhadap penyakit adalah hal yang biasa sebagai sumber penderitaan bagi pasien dan fokus perhatian bagi dokter.12



7



Secara fisiologis sinus paranasalis memiliki peran yang sangat penting bagi manusia. Beberapa fungsi sinus paranasal, antara lain:1,12 a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk mamanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus b. Sebagai panahan suhu (thermal insulators) Sinus paranasal berfungsi sebagai (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. c. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini tidak dianggap bermakna. d. Membantu resonansi udara Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi udara dan mempengaruhi kualitas udara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin dan membuang ingus. f. Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mucus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.



8



B. DEFINISI Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus paranasalis dimana sebagian besar kasus inflamasi sinus berasal dari hidung dan



meluas ke



rongga sinus ataupun dapat juga terjadi sebaliknya, inflamasi tersebut didahului di daerah sinus kemudian meluas ke daerah ke rongga hidung. Beberapa ahli mengadopsi terminologi rhinosinusitis dengan menggambarkan kondisi patologis pada hidung dan sinus karena sangat dekat kaitannya. Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis.1,2 C. ETIOLOGI Beberapa etiologi dan faktor predisposisi sinusitis antara lain ISPA akibat virus, bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, dyskinesia silia seperti pada sindroma kartagener, dan diluar negeri adalh penyakit fibrosis kistik.1 selain itu, sinusitis juga dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperi virus, bakteri, dan jamur.2 Penyakit jamur pada hidung dan sinus paranasal dapat dibedakan berdasarkan gambaran klinis, radiologis, dan manifestasi histologis dari hubungan antara host dengan patogen. Para ahli membagi sinusitis jamur menjadi invasif dan noninvasif hanya berdasarkan gambaran histopatologis jamur dalam melakukan penetrasi terhadap jaringan host.1,13 D. PATOFISIOLOGI Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearence) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan.1



9



Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang saling berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mulamula serous. Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya agen penyebab sinusitis.1 E. GEJALA KLINIS Sinusitis dapat terjadi secara akut dan kronik. berdasarkan definisi, sinusitis kronik berlangsung selama beberapa bulan atau tahun. Gejala sinusitis kronik tidak jelas. Selama eksaserbasi akut, gejala-gejala mirip dengan sinusitis akut, namun, di luar masa itu, gejala berupa suatu perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang seringkali mukopurulen. Kadang-kadang terdapat nyeri kepala, namun gejala ini seringkali tidak dapat dianggap sebagai gejala penyakit sinus. Hidung biasanya sedikit tersumbat, dan tentunya ada gejala-gejala seperti faktor predisposisi seperti rhinitis alergika yeng menetap, dan keluhan-keluhannya yang menonjol. Batuk kronik dengan laringitis kronik ringan atau faringitis seringkali menyertai sinusitis kronik.2 Gejala klinis dari sinusitis berdasarkan sinus yang terserang adalah sebagai berikut : 1. SINUSITIS MAKSILARIS Faktor predisposisi terjadinya sinusitis maksilaris adalah gangguan pada gigi, benda asing dalam hidung, dan deviasi septum nasi. 2 Sinusitis maksilaris akut biasanya menyusul suatu infeksi saluran napas atas yang ringan. Alergi hidung kronik, benda asing, dan deviasi septum nasi merupakan faktor-faktor predisposisi lokal yang paling sering ditemukan.



Deformitas



rahang-wajah



terutama



palatoskisis



dapat



menimbulkan masalah pada anak. Anak-anak ini cenderung menderita infeksi nasofaring atau sonusitis kronik dengan angka insidens yang tinggi. Sedangkan gangguan geligi bertanggung jawab atas sekitar 10 persen infekai sinus maksillaris akut..2



10



Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala menunduk, misalnya sewaku naik atau turun tangga. Seringkalai terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk. 2 Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopirulen dapat keluar dari hidung atau terkadang berbau busuk. Ditemukan adanya pus dalam hidung yang biasanya dari meatus media atau pus atau sekret mukopurulen dalam nasofaring. Transluminasi berkurang bila sinus penuh cairan. 2 Gambaran radiologik sinusitis maksilaris akut mula-mula berupa penebalan mukosa, selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat, atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus. Akhirnya terbantuk gambaran air-fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto tegak sins maksilaris.2 2. SINUSITIS ETMOIDALIS Sinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Pada dewasa, seringkali bersamasama dengan sinus maksilaris, serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan. Gejalanya berupa nyeri dan nyeri tekan di antara kedua mata dan di atas jembatan hidung, drainase, dan sumbatan hidung. Pada anak, dinding latela labirin etmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita. Faktor predisposisi terjadinya sinusitis maksilaris adalah gangguan pada gigi, benda asing dalam hidung, dan deviasi septum nasi. 2



11



3. SINUSITIS FRONTALIS Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis anterior. Sinus frontalis berkembang dari sel-sel udara etmoidalis anterior dan duktus nasalis yang berlekuk-lekuk berjalan amat dekat dengan sel-sel ini. Penyakit ini terutama ditemukan pada dewasa, memiliki gejala infeksi yang umum, dan pada sinus frontalis terdapat nyeri kepala yang khas. Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supraorbita. Tanda patognomonik adalah nyeri yang hebat pada palpasi atau perkusi di daerah sinus yang terinfeksi. Transluminasi dapat terganggu dan radiogram sinus memastikan adanya penebalan periosteum atau kekeruhan sinus menyeluruh atau suau air fluid level.2 4. SINUSITIS SFENOIDALIS Sinusitis ini dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks kranium. Namun, penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis dan oleh karena itu gejalanya menjadi satu dengan infeksi sinus lainnya.2



F. KLASIFIKASI Jamur merupakan salah satu jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi pada sinus paranasal.1,2 Sinusitis jamur invasif ditandai dengan adanya hifa jamur dalam mukosa, submukosa, tulang, atau pembuluh darah pada sinus paranasalis. Sebaliknya, sinusitis jamur noninvasif ditandai dengan tidak ditemukannya hifa pada mukosa dan jaringan lain dari sinus paranasalis.4,14



12



Tabel 1: Klasifikasi sinusitis jamur3,13,15



1.



SINUSITIS JAMUR INVASIVE Sinusitis jamur diklasifikasikan menjadi sinusitis jamur invasif jika memenuhi kriteria, yaitu: 



Adanya bentuk hipa dalam mukosa, submukosa, pembuluh darah atau tulang sinus dengan atau tanpa invasi angiosentrik dan,







Jaringan nekrosis dengan minimal infiltrasi sel inflamasi.6



Gambar 3: Apusan PAS dengan hipa bersepta dalam giant cell.6



13



Gambar 4: Apusan Grocott menunjukkan hipa jamur bersepta.6



A. ACUTE FULMINANT INVASIVE FUNGAL SINUSITIS 1) Definisi Acute fulminant invasive fungal sinusitis (AFIFS) merupakan salah satu jenis sinusitis jamur yang dijelaskan oleh McGill dkk pada tahun 1980 dan terjadi ketika infeksi jamur mulai menyerang jaringan mukosa.6,15 2) Etiologi Mucoraceae,



Aspergillus,



Rhizomucor,



Absidia,



dan



Streptomyces merupakan organisme yang paling umum ditemukan pada AFIFS,sedangkan Candida, Bipolaris, and Fusarium jarang ditemukan.15,16 3) Epidemiologi AFIFS paling sering terjadi pada pasien dengan immunokompromais seperti penderita diabetes mellitus, keganasan, neutropenia, sindrom defisiensi kekebalan tubuh, mendapat terapa kemoterapi, dan pengobatan dengan steroid.15,16 4) Patofisiologi Sinusitis jamur invasif akut terjadi akibat penyebaran jamur secara cepat dari nasal dan mukosa sinus secara invasi vaskular ke dalam orbita, pembuluh darah dan jaringan parenkim otak. Waktu terjadinya adalah kurang dari 4 minggu yang membedakannya dengan penyakit kronis.6,7,14 Infeksi pada pasien



14



immunokompromais sering dikaitkan dengan infeksi jamur yang sebelumnya berkolonisasi pada sinus atau inhalasi dari spora jamur.17 5) Gambaran Klinis Penderita sinusitis jamur invasif akut biasanya di rawat di rumah sakit dengan gejala sakit berat seperti demam, batuk, nasal discharge, sakit kepala dan perubahan status mental.7 Gejala klinis awal yang ditemukan berupa obstruksi nasal, rhinorea, facial pain, sakit kepala, protosis dan diplopia. Namun, gejalagejala tersebut tidak spesifik dan konsisten dengan sinusitis akut bakteri.14 Diagnosis dini dari penyakit ini sangat penting terutama pada penderita immunokompromais. Pada tahap akhir, dapat ditemukan tanda dan gejala dari sinus cavernosus.7 Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya perubahan pada mukosa nasal. Diskolorisasi dari mukosa dapat bervariasi dan dapat berwarna abu-abu, hijau, putih, ataupun hitam. Diskolorisasi, granulasi, dan ulserasi secara tipikal menggantikan warna pink pucat mukosa. Diskolorisasi putih merupakan indikasi adanya iskemik jaringan sedangkan diskolorisasi hitam merupakan indikasi nekrosis jaringan.6 Abnormalitas mukosa secara umum lebih sering terjadi pada konka nasalis media, kemudian pada daerah septum, pallatum, dan kinka nasalis inferior.6,7 6) Diagnosis Pemeriksaan radiologi memiliki peranan penting dalam penegakan diagnosis dan harus meliputi CT-Scan dan MRI. CT Scan lebih baik digunakan untuk mendeteksi adanya destruksi tulang, sedangkan MRI lebih baik digunakan dalam mendeteksi invasi mukosa/kulit pada orbital atau keterlibatan intrakranial. Pada CT scan tampak penebalan jaringan yang berbentuk nodular pada mukosasinus dan disertai adanya destruksi dinding sinus. Perluasan ke arah orbita dapat terjadi langsung melewati lapisan tipis lamina papirasea atau melewati pembuluh darah etmoid. Destruksi tulang jarang ditemukan pada awal infeksi dan dapat ditemukan apabila telah terjadi nekrosis jaringan lunak.6,15



15



Gambar 5: CT-Scan (A dan B) potongan axial, (C dan D) potongan koronal dengan gambaran Acute fulminant invasive fungal sinusitis (AFIFS).6 7) Penatalaksanaan Penatalaksanaan AFIFS melibatkan kombinasi terapi medis dan bedah. Salah satu aspek penting dari penatalaksanaannya adalah dengan mengoreksi status immunokompromais yang mendasari. Pada penderita diabetes yang menderita ketoasidosis diabetik, maka ketasidosis diabetik harus diperbaiki sesegera mungkin karena hal ini dapat meningkakan kelangsungan hidup pasien sebesar 80%.13,15 Terapi bedah pada AFIFS dapat menghilangkan jaringan devitalis dan menstabilkan jalur drainase sinus. Debridemen harus dilakukan sampai benarbenar bersih dan didapatkan perdarahan pada bagian margin.11,13Setelah debridemen, pemberian terapi secara intravena merupakan terapi inisiasi. Direkomendasikan pemberian Ampoterisin dosis tinggi yaitu 1 mg sampai 1,5 mg/kg/hari. Jika fase akut telah dilawati, pemberian Ampoterisin B dapat diganti dengan itraconazole oral dengan dosis 400 mg/hari.8



16



B. CHRONIC INVASIVE FUNGAL SINUSITIS 1) Etiologi Aspergilus adalah organisme yang paling sering ditemukan pada infeksi jamur tipe ini yaitu pada 80% kasus. Selain ini dapat juga disebabkan oleh Mucor, Rhizopus, Bipolaris, dan Candida.15,17 2) Gambaran Klinis Gejala klinis dari CIFS sangat mirip dengan rhinosinusitis kronik, sehingga sulit dikenali dan menyebabkan keterlambatan diagnosis. Infeksi jamur dicurigai jika ditemukan pasien tidak memberikan respon terhadap antibiotik, epistaksis, anastesi fasial, perubahan penglihatan, perubahan status mental, dan kejang.15 Pasien biasanya memiliki riwayat rinosinusitis kronik berdasarkan pada durasi, progresifitasnya yang lambat, dan refrakter terhadap terapi antibiotik standar. Pasien bersifat immunokompeten dan biasanya terjadi pada pasien diabetes atau immunokompromais tingkat rendah yang rentan. Gejala yang dirasakan dapat meliputi nyeri sinus paranasalis, serosanguineous nasal discharge, epistaksis, poliposis nasal, dan demam. Orbital apex syndrome dengan keluhan penurunan pandangan dan pergerakan bola mata karena adanya massa pada bagian superior orbital biasanya berhubungan dengan kondisi ini jika infeksi sinus meluas ke daerah orbital. Selain itu, dapat juga ditemukan proptosis dengan neuropati nervus kranialis ketiga, keempat, dan keenam. 4,13,14 Pembengkakan jaringan lunak maksilofasial dapat terjadi dengan adanya destruksi tulang dari dinding sinus. Jika terjadi erosi pada lamina kribrosa, dapat menyebabkan cephalgia kronis, kejang, penurunan status mental, dan defisit neurologis fokal. Invasi pada fossa pterygopalatina dan fossa infratemporal pada basis crani dapat menyebabkan neuropati kranial. Pada pemeriksaan cavum nasi ditemukan kongesti nasal dan polip mukosa. Dapat juga ditemukan massa jaringan lunak.4 Penyakit ini biasanya persisten dan bersifat kambuhan. Akan tetapi, dengan terjadinya progresifitas penyakit, jika terjadi erosi pada bagian posterior



17



sinus etmoidalis dapat menyebabkan cerebrovascular accidents dari trombosis vena cavernosus dan menyebabkan kematian.14 3) Diagnosis Setelah



dilakukan



anemnesis



secara



rinci,



pemeriksaan



secara



menyeluruh terhadap kepala dan lehar dengan endoskopi nasal harus dilakukan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan edema pada mukosa, krusta, dan polip. Jarang ditemukan adanya ulserasi dan skar.15 Penegakan diagnosis dari CIFS berdasarkan pada pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan CT Scan dan MRI. Pada pemeriksaan CT Scan, tampak jaringan lunak hiperdens dalam satu atau lebih sinus dengan destruksi tulang dan menyebar di luar batas sinus. Sedangkan, pada pemeriksaan MRI, CIFS memiliki gambaran yang sangat mirip dengan AFIFS kecuali tidak terdapat pembentukan granuloma.4, 15



Gambar 6: Sinusitis jamur invasif kronis karena zygomycosis pada seorang pria berusia 44 tahun. Axial (a,b), koronal (c,d) menunjukkan penebalan bilateral mukosa sinus maksillaris. Tampak invasi dengan proses zygomatic pada tulang rahang atas kanan dengan gambaran berbintik-bintik. Tampak juga invasi ke dalam jaringan lunak pada pipi kanan (panah c).4



18



Gambar 7: Sphenoiditis jamur invasif kronis pada laki-laki berusia 69 tahun. Coronal Computed Tomography (A) dan Magnetic Resonance Imaging (B) menunjukkan sinusitis jamur pada sinus sphenoidalis dengan lesi ekstensi ke dalam apeks orbital, fossa pterygopalatina, sinus cavernosus, nasophryng, dan parapharyngeal space.18 4) Penatalaksanaan Penatalaksanaan yang paling baik adalah kombinasi tindakan bedah dengan pemberian antifungal. Pembedahan dapat dilakukan dengan tehnik minimal invasif atau tehnik operasi terbuka. Reseksi bedah harus dilakukan sampai benar-benar bersih dan didapatkan perdarahan pada bagian margin. Penggunan anti jamur dipilih berdasarkan jamur yang menginfeksi. Pada kasus yang disebabkan oleh Aspergillosis direkomendasikan pemberian Ampoterisin dosis tinggi yaitu 1 mg sampai 1,5 mg/kg/hari dimana dosis ini selalu dihubungkan dengan nefrotoksik. Meskipun spesies Aspergillus yaitu A. Terreus kemungkinan resisten terhadap obat ini. Pada kondisi tersebut dapat diberikan vorikonazole dengan dosis pada dewasa yaitu 6 mg/kg/iv diberikan dua kali sehari pada hari pertama diikuti dosis 4 mg/kg/iv dua kali sehari selama 7 hari. Selanjutnya dapa diberikan secara oral dengan dosis 200 mg dua kali sehari.14,15



C. GRANULOMATOUS INVASIVE FUNGAL SINUSITIS Granulomatous invasive fungal sinusitis (GIFS) disebut juga granuloma paranasal primer dan indolent fungal sinusitis.12 Penyakit ini hampir sama dengan CIFS. Perbedaan keduanya terletak pada gambaran patologik, lokasi dan temuan mikroskopisnya. Insidens penyakit ini sangat jarang dan disebabkan oleh



19



Aspergillus flavus. Penyakit ini hampir secara ekslusif ditemukan di Afrika Utara dan Asia Tenggara.3,7,15 Pasien dengan GIFS biasanya datang dengan gejala sinusitis kronis yang berhubungan dengan proptosis. Pada pemeriksaan kavum nasalis biasanya normal.8 Hasil pemeriksaan pada penyakit ini sama dengan CIFS, akan tetapi pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan multinucleated giant cell granulomas.7,15 Penatalaksanaan GIFS meliputi reseksi bedah terhadap jaringan yang terlibat dan penggunaan antijamur topikal dan sistemik, misalnya memulai pengobatan dengan vorikonazole.15 Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, perbandingan gambaran sinusitis jamur invasif dapat dilihat pada tabel berikut:14



Tabel 2 : Perbandingan Sinusitis jamur Invasif



20



2.



SINUSITIS JAMUR NON INVASIVE



A. SINUS FUNGAL BALL (MYCETOMA) 1) Definisi Sinus fungal ball (SFB) merupakan penyakit jamur non invasif pada sinus paranasalis, yaitu suatu kondisi akibat dari kolonisasi jamur tanpa adanya invasi pada mukosa. Sinus fungal ball (SFB) sebelumnya disebut misetoma yang telah dilaporkan sejak abad ke-19.11 Sebelum menggunakan nama misetoma, penyakit ini disebut Aspergiloma.17 2) Epidemiologi SFB lebih sering terjadi pada perempuan, dibandingkan dengan bentuk Aspergillosis lain yang lebih sering terjadi pada laki-laki, meskipun alasannya belum diketahui.17 3) Gambaran Klinis Gejala klinik awal fungal ball umumnya tidak khas. Gejalanya mirip dengan sinusitis kronik yang hanya mengenai satu sinus. Fungal ball biasanya tanpa gejala sehingga sulit terdeteksi. Fungal ball ini dapat terjadi pada keseluruhan sinus paranasal dan sinus maksila adalah yang paling sering. Akan tetapi, predileksi terjadinya penyakit ini pada sinus maksillaris belum sepenuhnya dipahami. Gejala yang tampak dapat berupa gangguan penglihatan, kakosmia (selalu mencium bau busuk), demam, batuk, hidung tersumbat, sekret hidung dan kadang-kadang disertai nyeri pada wajah dan sakit kepala.4,13,17 4) Diagnosis Meskipun gambaran fungal ball tidak khas, pada radiografi polos menunjukkan penebalan mukoperiosteal disertai opasifikasi sinus yang homogen. CT scan adalah pemeriksaan radiologi paling baik, secara khas dapat menunjukkan batas tipis antara jaringan lunak sepanjang dinding tulang sinus yang terlibat dimana hampir keseluruhannya teropasifikasi. Tampak beberapa fokus hiperdens jelas dapat terlihat dengan ukuran yang bervariasi. Jaringan tulang sekitarnya tampak menebal karenarespon peradangan dan efek tekanan karena proses penyakit yang kronis.4,15,17



21



Gambar 8: Mucor Fungus ball pada wanita berusia 49 tahun dengan tekanan sinus yang bersifat kronis dan halitosis. Tampak CT Scan dengan gambaran isoattenuating hingga hyperattenuating material filling pada sinus maksillaris kanan dengan area kalsifikasi pada daerah sentral (panah panjang). Tampak penebalan tulang pada dinding sinus (panah pendek).4



Gambar 9 : Aspergillus fungus ball pada wanita berusia 60 tahun. Potongan axial CT Scan dengan gambaran typical hyperattenuating fungus ball dengan fokus kalsifikasi pada sinus maksillaris kiri (panah panjang). Penebalan tulang pada dinding sinus (panah pendek) akibat inflamasi kronik pada sinus.4



22



Secara makroskopis lesi pada fungal ball dapat berbentuk mulai dari debris halus yang basah, berpasir atau bergumpal. Warna yang bervariasi dari putih kekuningan,kehijauan, coklat hingga hitam. Diagnosis fungal ball ditegakkan secara mikroskopisdengan tidak adanya infiltrasi sel radang yang nyata dan banyaknya kumpulan hifa jamur. Mukosa di sekitarnya menunjukkan adanya peradangan yang kronis dengan sel plasma ringan hingga menengah dan infiltrasi sel limfosit. Neutrofil dan eosinofil dapat dijumpai dan kadang-kadang dapat di jumpai kristal oksalat.6,15 5) Penatalaksanaan Penatalaksanaan SFB terdiri dari pembedahan endoskopi endonasal dan teknik yang digunakan berdasarkan pada letak SFB (middle antrostomy¸ sphenoidotomy, ethmoidectomy). Penatalaksanaan ini juga dapat digunakan pada pasien asimptomatik. Tingkat komplikasi dari prosedur ini sangat rendah dengan tingkat keberhasilan yang tinggi.8,17 Penggunaan antijamur biasanya tidak dibutuhkan.13



B. ALLERGIC FUNGAL SINUSITIS 1) Definisi Sinusitis jamur alergi merupakan bentuk yang paling umum dari sinusitis jamur, hal ini terjadi saat jamur mengkolonisasi rongga sinus dan kemudian menyebabkan terjadinya alergi berupa inflamasi mukosa melalui respon IgE terhadap protein jamur.4,15 2) Etiologi Penyebab yang mendasari di duga akibat reaksi hipersensitivitas terhadap inhalasi mikroorganisme jamur yang dihasilkan dari non infeksi kronik, proses inflamasi yang menyerupai bronchopulmonary aspergilossis allergic pada paru. Meskipun patofisiologi yang pasti belum jelas, secara imunologis hal ini diduga dimediasi oleh Immunoglobulin E, reaksi hipersensitivitas tipe I dan tipe III. 4,17 Jamur



yang



umumnya



ditemukan



adalah



jamur



dermatiaceus



(berpigmen), termasuk Bipolaris, Curvularia, Alternaria, dan yang menyerupai hyalin seperti Aspergillus dan Fusarium.4,17



23



3) Gambaran Klinis Sinusitis jamur alergi sering terjadi pada individu yang lebih muda, utamanya pada usia dekade ketiga. Selain itu, biasanya ditemukan pada penderita imunokompeten, ada riwayat atopi berupa rhinitis alergi dan asma. Pasien biasanya datang dengan keluhan hidung tersumbat, rhinorrhea, nyeri kepala kronis, nyeri tekan pada wajah, bersin-bersin, mata berair/gatal dan edema periorbital. Selain itu, biasanya terdapat sinusitis kronik dan riwayat operasi sinus.4,13, 15 4) Diagnosis Kriteria diagnostis yang telah diajukan meliputi hal berikut ini:(1) Reaksi hpersensitivitas tipe I yang dibuktikan dengan skin test atau RAST; (2) poliposis hidung; (3) Ditemukannya gambaran khas pada CT scan, termasuk ekspansi sinus atau Opacifikasi heterogen; (4) adanya jamur pada pemeriksaan mikroskop langsung atau di dalam sinus; dan (5) alergi mucin yang dicampur dengan kristal Charcot-Leyden serta terdapat elemen jamur tanpa bukti invasi jaringan.17 Kriteria ini masih memiliki kekurangan seperti pada pasien polip nasi dengan riwayat operasi sinus karena penyebab lain dan kesulitan dalam mendeteksi hifa atau spora. Selain itu, skin test memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah untuk penyakit ini. Oleh karena itu, kriteria ini tidak begitu berperan, pewarnaan khusus jamur dan pemeriksaan histologis lebih dianjurkan dalam menegakkan diagnosis.17 Kriteria diagnosis Bent and Kuhn untuk rhinosinusitis alergi jamur, terdiri dari : 1) Gel and Coombs Hipersensitivitas tipe I yang dimediasi oleh IgE; 2) Polyposis Nasi; 3) Karakteristik gambaran radiologi; 4) Positif pada pewarnaan jamur dan/ atau kultur jamur; 5) Eosinophilic mucin tanpa invasi jamur kedalam jaringan sinus.13 Kesulitan dalam mendiagnosis bisa dikurangi dengan menghindari kultur pada sekret hidug. Hal ini biasanya hanya memperlihatkan flora normal hidung dan memicu pertumbuhan berbagai organisme saprophytic yang lain. Penentuan klinis patogen yang terlibat sangat sulit. Untuk itu, spesimen intraoperatif yang diperoleh lebih dapat diandalkan.17



24



Pemeriksaan radiologi berupa CT scan dan MRI menunjukkan penyakit bilateral 51% kasus, asimetris 78% kasus, opasifikasi sempurna setidaknya pada satu sinus dicatat dalam 98% kasus yang ditinjau. Opasifikasi sempurna pada rongga sinus pada sebuah penelitian menunjukkan hubungan tanda-tanda berikut ini : 1) Sinus ekspansi (98%) ; 2) Remodeling dinding sinus (95%); dan erosi tulang (91%).13



Gambar 10 : Sinusitis alergi jamur akibat Bipolaris pada pria berusia 26 tahun. (a, b) CT scan potongan coronal (diperoleh dari posterior) menunjukkan karakteristik ekspansif, hyperattenuating pada sphenoid, ethmoid, dan sinus maxillary kanan (panah). Ekstensi ke dalam rongga hidung (*) dari sinus ethmoid bilateral dan sinus maksila kanan telah dicatat. (c, d) Gambar yang sesuai dengan jendela tulang menunjukkan erosi yang halus pada atap posterior sinus ethmoid (panah di c) dengan ekstensi intrakranial, yang mungkin dibatasi oleh dura. Ada juga erosi halus dinding medial orbit kanan (panah di d) dengan ekstensi intraorbital, yang mungkin terbatas oleh periosteum



25



5) Penatalaksanaan Penatalaksanaan Sinusitis alergi jamur dimulai dengan operasi pengangkatan seluruh mucin sambil tetap menjaga aliran dan ventilasi sinus. Setelah itu, pemberian steroid sistemik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa penambahan steroid sistemik membantu menurunkan tingkat kekambuhan penyakit. Tidak ada konsensus yang jelas mengenai lamanya pengobatan, namun biasanya selama 2-3 bulan. Pengobatan yang lebih lama menghasilkan rekurensi yang jauh lebih sedikit, namun lebih banyak efek sampingnya.4,15 Selain itu pemberian imunoterapi allergen, anti histamine, obat anti leukotriene, steroid oral dan irigasi hidung juga mungkin dapat membantu.4 C. SAPROPHYTIC FUNGAL INFESTATION (SFI) 1) Definisi Saprophytic Fungal Infestation adalah kondisi klinis yang tidak sepenuhnya bisa dipahami dengan memperhatikan riwayat alami penyakit dan perannya dalam patologi sinonasal. Penyakit ini didefinisikan sebagai pertumbuhan jamur pada lapisan luar mukosa di dalam rongga sinonasal sebagai akibat dari perubahan patologis di jaringan hidung yang diprovokasi oleh kondisi yang menguntungkan untuk menjadi pathogen.13,17,19 2) Etiologi Faktor predisposisi seperti alergi dengan poliposis, imunosupresi, terapi steroid jangka panjang, diabetes, operasi atau inokulasi traumatis ke jaringan yang lebih dalam. Farmakologis yang bekerja dengan menekan system imun merupakan faktor pemicu yang signifikan untuk infeksi saprophytic. Penggunaan kortikosteroid di awal masa post operasi mungkin merupakan faktor risiko untuk pengembangan infeksi saprophytic, terutama yang dihasilkan dari spesies jamur.19 3) Gambaran klinis Pasien biasanya asimptomatik. Kolonisasi dari jamur pada daerah sinus paranasal jarang memberikan gambaran klinis dan jamur biasanya diidentifikasi selama prosedur pemeriksaan yang lain dan tidak boleh diobati karena banyak spesies lain seperti Aspergillus sp yang sering ditemukan pada saluran sinonasal.13,17



26



4) Penatalaksanaan Penatalaksanaan penyakit sinonasal yang disebabkan oleh jamur saat ini belum bisa dijelaskan secara pasti, namun banyak penelitian yang terus berlanjut untuk menggambarkan patogenesis yang memungkinkan terapi di luar debridemen mekanis sederhana yang saat ini direkomendasikan untuk kasus SFI.19 G. KOMPLIKASI CT Scan merupakan suatu aset dasar dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi di luar sinus, misalnya pada orbita, jaringan lunak, dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronik, atau berkomplikasi. 1.



Komplikasi Orbita Sinus



etmoidalis



merupakan



penyebab



komplikasi



orbita



tersering.



Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksillaris juga terletak di dekat orbita dan dapat pula menimbulkan infeksi isi orbita. Terdapat lima tahapan: 



Peradangan atau reaksi edema yang ringan,







Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.







Abses subperiosteal. Pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.







Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan otot gerak mata yang terserang dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.







Trombosis sinus kavernosus. Komplikais ini merupakan akibat penyebaran sumber infeksi melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus dimana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septik. Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari oftalmoplegia, kemosis konjungtiva, gangguan penglihatan yang berat, kelemahan pasien dan tanda-tanda meningitis oleh karena letak 27



sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV, dan VI serta berdekatan juga dengan otak. 2.



Mukokel Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus. Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksillaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.



3.



Komplikasi Intrakranial Komplikasi intrakranial dapat berupa meningitis akut, abses dura, dan abses otak. Meningitis akut dapat etrjadi karena infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis, atau melalui lamina kribrosa di dekat sistem sel udara etmoidalis. Abses dura merupakan kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium yang seringkali mengikuti sinus frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat sehingga pasien hanya mungkin mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial yang memadai, mungkin tidak terdapat gejala neurologik lain. Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi adalah abses otak. Setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi, dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.



4.



Osteomielitis dan Abses Supraperiosteal Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, terbentuk edema pada supraorbita dan mata menjadi tertutup. Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Destruksi tulang dan pembengkakan jaringan lunak, demikian pula caian atau mukosa sinus yang membengkak paling baik dilihat dengan CT Scan.2



28



BAB III KESIMPULAN



Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus paranasalis dimana sebagian besar kasus inflamasi sinus berasal dari hidung dan



meluas ke



rongga sinus ataupun dapat juga terjadi sebaliknya. Beberapa mikroorganisme dapat menjadi pencetus terjadinya sinusitis, salah satunya adalah jamur, selain itu ada pula penyebab lain seperti bakteri, ataupun virus.



Sinusitis jamur diklasifikasikan menjadi sinusitis jamur invasif yang ditandai dengan adanya hifa jamur dalam mukosa, submukosa, tulang, atau pembuluh darah dan sinusitis jamur noninvasif yang ditandai dengan tidak ditemukannya hifa pada mukosa dan jaringan lain dari sinus paranasalis. Gejala klinis dari sinusitis timbul berdasarkan sinus yang terserang. Gejala klasik berupa suatu perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang seringkali mukopurulen, selain itu nyeri kepala juga bisa ditemukan namun tidak bersifat spesifik. Diagnosis sinusitis jamur dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang seperti CT scan dan MRI yang akan memberikan gambaran invasi jamur ke dalam sinus paranasalis. Tatalaksana sinusitis jamur tergantung pada klasifikasi yang ada, umumnya pasien sinusitis jamur membutuhkan kombinasi medikamentosa dan pembedahan untuk hasil ysng lebih baik. Komplikasi yang terjadi biasanya akibat infeksi di luar sinus, misalnya pada orbita, jaringan lunak, dan kranium.



29



DAFTAR PUSTAKA



1. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,Bashiruddin J, Restuti RD, ( Editor ). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. Hal 122-30. 2. Higler PA. Hidung: Anatomi Dan Fisiologi Terapan. Dalam : Adams GL, BoiesLR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Cetakan Ketiga. Jakarta: EGC; 1997. Hal 176, 241. 3. Shah H, Bhalodiya N. Scenario of Fungal Infection of Nasal Cavity and Paranasal Sinuses in Gujarat: A Retrospective Study. Gujarat Medical Journal. August 2014:69(2);27-31. 4. Aribandi M, McCoy VA, Bazan C. Imaging Features of Invasive and Noninvasive Fungal Sinusitis: A Review. RadioGraphics. 2007:27;1283-96. 5. Sidhu R, Mehta N, Dharaviya B, Shah H, Dave A, Chudasama N.ClinicoRadiological Manifestations of Invasive and Non-Invasive Fungal Infections in Sinuses and Respiratory Tract.GCSMC J Med Sci. Jan-Jun 2014:3(1);42-7 6. Gupta AK, Bansal S, Rijuneeta, Bhurnika G. Invasive Fungal Sinusitis. Clinical Rhinology: An Internsional Journal. May-August 2012:5(2);63-71. 7. Ramadan



HH.



Fungal



Sinusitis.



Jan,



09



2017.



http://emedicine.medscape.com/article/863062-overview. Diakses tanggal 19 Juli 2017. 8. Havas TE. Assessment and Treatment of Fungal Sinusitis. 9. Explore Paranasal Sinuses, Medical pictures and more! Sinus Infections : Bacterial,



viral,



or



fungal



?



Accessed



from



https://www.pinterest.com/pin/344384702734462542/ pada tanggal 25 juli 2017 10. Singh,



Ameet.



Paranasal



Sinus



Anatomy.



May,



26



2016.



http://emedicine.medscape.com/article/1899145-overview. Diakses tanggal 20 Juli 2017



30



11. M.D., L.J. FAGNAN. Acute Sinusitis: A Cost-Effective Approach to Diagnosis and Treatment Oregon Health Sciences University, Portland, Oregon.



Accessed



from



http://www.aafp.org/afp/1998/1115/p1795.htmlpadatanggal 25 juli 2017 12. Tomenzoli, Davide. Physiology of the Nose and Paranasal Sinuses. Department of Otorhinolaryngology, University of Brescia,Italy. 2012. p 2933 13. Adelson RT, Marple BF. The Role of Fungus in Disease of the Frontal Sinus. p. 101-13. 14. Deshazo RD. Syndromes of Invasive Fungal Sinusitis. Medical Mycology. 2009:47(1);309-14. 15. Gleinser D, Maeso P, Quinn FB, Quinn MS. Fungal Sinusitis. Department of Otolaryngology University of Texas. Jan, 30 2012. 16. Chi TH, Chen HS, Yuan CH, Su FM. Acute Fulminant Invasive Fungal Sinusitis with Cavernous Sinus Syndrome. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan. 2014:24(3);240-2. 17. Thompson GR, Patterson TF. Fungal Disease of The Nose and Paranasal Sinuses. J Allergy Clin Immunol. 2012:129;321-6. 18. Lee DH, Yoon TM, Lee JK, Joo YE, Park KH, Lim SC. Invasive Fungal Sinusitis



of



the



Sphenoid



Sinus.



Clinical



and



Experimental



Otorhinolaryngology. Sep 2014:7(3);181-7. 19. Kameswaran, Mohan, S Raghunandhan. Saprophytic Mycotic Infections of the Nose and Paranasal Sinuses. Otorhinolaryngology Clinics: An International Journal, September-December 2009;1(1):25-31



31