SK 4 L3 Rokok Membunuhku [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DESI HIRATNA 1102018076 LO 1 MM Geriatri 1.1 Penyakit paru pada usia lanjut Definisi Geriatri Istilah geriatri pertama kali digunakan oleh Ignas Leo Vascher pada tahun 1909. Namun ilmu geriatri sendiri, baru berkembang pada tahun 1935. Pada saat itulah diterapkan penatalaksanaan terpadu terhadap penderita-penderita lanjut usia (lansia) dilengkapi dengan latihan jasmani dan rohani (Martono dan Pranarka, 2010). Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut yang berusia lebih dari 60 tahun serta mempunyai ciri khas multipatologi, tampilan gejalanya tidak khas, daya cadangan faali menurun, dan biasanya disertai gangguan fungsional. Penderita geriatri berbeda dengan penderita dewasa muda lainnya, baik dari segi konsep kesehatan maupun segi penyebab, perjalanan, maupun gejala dan tanda penyakitnya sehingga, tatacara diagnosis pada penderita geriatri berbeda dengan populasi lainnya (Penninx et al., 2004). Karakteristik Geriatri Menurut Bustan (2007) ada beberapa karakterisktik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui keberadaan masalah kesehatan lansia yaitu: 1. Jenis Kelamin Lansia lebih banyak wanita dari pada pria. 2. Status Perkawinan Status pasangan masih lengkap dengan tidak lengkap akan mempengaruhi keadaan kesehatan lansia baik fisik maupun psikologi. 3 Living Arrangement Keadaan pasangan, tinggal sendiri, bersama istri atau suami, tinggal bersama anak atau keluarga lainnya Tipe-tipe Geriatri Tipe geriatri dibagi menjadi lima tipe yaitu tipe arif bijaksana, tipe mandiri, tipe tidak puas, tipe pasrah dan tipe bingung. 1. Tipe arif bijaksana, yaitu kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan. 2. Tipe mandiri, yaitu menganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan. 3. Tipe tidak puas, yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak menuntut. 4. Tipe pasrah, yaitu menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama dan melakukan pekerjaan apa saja. 5. Tipe bingung, yaitu mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif dan acuh tak acuh (Nugroho, 2008). Proses Penuaan Menurut Constantindes (1994) dalam Nugroho (2004) menua atau menjadi tua dapat diartikan sebagai suatu proses menghilangnya secara pelahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan suatu proses fisiologik yang berlangsung perlahan-lahan dan efeknya berlainan pada tiap individu. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan suatu proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh (Nugroho, 2004). Proses menua pada seseorang sebenarnya sudah mulai terjadi sejak pembuahan atau konsepsi dan berlangsung sampai saat kematian. Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan



masalah secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada usia lanjut (Kuntjoro, 2004). Dengan demikian manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan stuktural yang disebut sebagai penyakit degeneratif seperti, hipertensi, aterosklerosis, diabetes melitus dan kanker yang akan menyebabkan kita menghadapi akhir hidup dengan episode terminal yang dramatik seperti stroke, infark miokard, koma asidosis, metastasis kanker dan sebagainya (Martono dan Darmojo, 2004). Fisiologi Geriatri Proses penuaan adalah normal, berlangsung secara terus menerus secara alamiah. Dimulai sejak manusia lahir bahkan sebelumnya dan umunya dialami seluruh makhluk hidup. Menua merupakan proses penurunan fungsi struktural tubuh yang diikuti penurunan daya tahan tubuh. Setiap orang akan mengalami masa tua, akan tetapi penuaan pada tiap seseorang berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor herediter, nutrisi, stress, status kesehatan dan lain-lain (Stanley, 2006). Batasan Geriatri Menurut WHO (2013), klasifikasi lansia adalah sebagai berikut : 1) Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45-54 tahun. 2) Lansia (elderly), yaitu kelompok usia 55-65 tahun. 3) Lansia muda (young old), yaitu kelompok usia 66-74 tahun. 4) Lansia tua (old), yaitu kelompok usia 75-90 tahun. 5) Lansia sangat tua (very old), yaitu kelompok usia lebih dari 90 tahun. Berikut merupakan kategori umur menurut Depkes RI (2009) : 1) Masa balita = 0 – 5 th 2) Masa kanak-kanak = 5 – 11 th 3) Masa remaja awal = 12 – 16 th 4) Masa remaja akhir = 17 – 25 th 5) Masa dewasa awal = 26 – 35 th 6) Masa dewasa akhir = 36 – 45 th 7) Masa lansia awal = 46 – 55 th 8) Masa lansia akhir = 56 – 65 th 9) Masa manula = > 65 th Penyakit Paru Pada Geriatri Fungsi paru-paru mengalami kemunduran disebabkan berkurangnya elastisitas jaringan paru-paru dan dinding dada, berkurangnya kekuatan kontraksi otot pernafasan sehingga menyebabkan sulit bernafas. Infeksi sering diderita pada lanjut usia diantaranya pneumonia, kematian cukup tinggi sampai 40 % yang terjadi karena daya tahan tubuh yang menurun. Tuberkulosis pada lansia diperkirakan masih cukup tinggi. 1.2 Perubahan anatomi fisiologi pernapasan pada usia lanjut Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lanjut Usia. A. Perubahan-perubahan Fisik 1. Sel. a. Lebih sedikit jumlahnya. b. Lebih besar ukurannya. c. Berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler. d. Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati. e. Jumlah sel otak menurun. f. Terganggunya mekanisme perbaikan sel. g. Otak menjadi atrofis beratnya berkurang 5-10%.



2. Sistem Persarafan. a. Berat otak menurun 10-20%. (Setiap orang berkurang sel saraf otaknya dalam setiap harinya). b. Cepatnya menurun hubungan persarafan. c. Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya dengan stres. d. Mengecilnya saraf panca indra.Berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya saraf penciumdan perasa, lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin. e. Kurang sensitif terhadap sentuhan. 3. Sistem Pendengaran. a. Presbiakusis ( gangguan dalam pendengaran ). Hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nadanada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas umur 65 tahun. b. Otosklerosis akibat atrofi membran tympani . c. Terjadinya pengumpulan serumen dapat mengeras karena meningkatnya keratin. d. Pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa/stres. 4. Sistem Penglihatan. a. Timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar. b. Kornea lebih berbentuk sferis (bola). c. Kekeruhan pada lensa menyebabkan katarak. d. Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap. e. Hilangnya daya akomodasi. f. Menurunnya lapangan pandang, berkurang luas pandangannya. g. Menurunnya daya membedakan warna biru atau hijau. 5. Sistem Kardiovaskuler. a. Elastisitas dinding aorta menurun. b. Katup jantung menebal dan menjadi kaku. c. Kemampuan jantung memompa darah menurun, hal ini menyebabakan menurunnya kontraksi dan volumenya. d. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenisasi,. Perubahan posisi dari tidur ke duduk atau dari duduk ke berdiri bisa menyebabkan tekanan darah menurun, mengakibatkan pusing mendadak. e. Tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer. 6. Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh. a. Temperatur tubuh menurun ( hipotermia ) secara fisiologis akibat metabolisme yang menurun. b. Keterbatasan refleks menggigil dan tidak dapat memproduksi panas akibatnya aktivitas otot menurun. 7. Sistem Respirasi a. Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku. b. Menurunnya aktivitas dari silia. c. Paru-paru kehilangan elastisitas, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun, dan kedalaman bernafas menurun. d. Alveoli ukuranya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang. e. Kemampuan untuk batuk berkurang. f. Kemampuan kekuatan otot pernafasan akan menurun seiring dengan pertambahan usia. 8. Sistem Gastrointestinal.



a. Kehilangan gigi akibat Periodontal disease, kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk. b. Indera pengecap menurun, hilangnya sensitivitas saraf pengecapm di lidah terhadap rasa manis, asin, asam, dan pahit. c. Eosephagus melebar. d. Rasa lapar menurun, asam lambung menurun. e. Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi. f. Daya absorbsi melemah. 9. Sistem Reproduksi. a. Menciutnya ovari dan uterus. b. Atrofi payudara. c. Pada laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur. d. Kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia asal kondisi kesehatan baik. e. Selaput lendir vagina menurun. 10. Sistem Perkemihan. a. Ginjal b. Merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui urin, darah yang masuk ke ginjal disaring di glomerulus (nefron). Nefron menjadi atrofi dan aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%. c. Otot-otot vesika urinaria menjadi lemah, frekuensi buang air kecil meningkat dan terkadang menyebabkan retensi urin pada pria. 11. Sistem Endokrin. a. Produksi semua hormon menurun. b. Menurunnya aktivitas tyroid, menurunnya BMR (Basal Metabolic Rate), dan menurunnya daya pertukaran zat. c. Menurunnya produksi aldosteron. d. Menurunya sekresi hormon kelamin misalnya, progesteron, estrogen, dan testosteron. 12. Sistem Kulit ( Sistem Integumen ) a. Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak. b. Permukaan kulit kasar dan bersisik karena kehilangan proses keratinisasi, serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel epidermis. c. Kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu. d. Rambut dalam hidung dan telinga menebal. e. Berkurangnya elastisitas akibat dari menurunya cairan dan vaskularisasi. f. Pertumbuhan kuku lebih lambat. g. Kuku jari menjadi keras dan rapuh, pudar dan kurang bercahaya. h. Kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya. 13. Sistem Muskuloskletal a. Tulang kehilangan density ( cairan ) dan makin rapuh. b. Kifosis c. Pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas. d. Persendiaan membesar dan menjadi kaku. e. Tendon mengerut dan mengalami skelerosis. f. Atrofi serabut otot ( otot-otot serabut mengecil ).Otot-otot serabut mengecil sehingga seseorang bergerak menjadi lamban, otot-otot kram dan menjadi tremor. g. Otot-otot polos tidak begitu berpengaruh. B. Perubahan-perubahan Mental. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental. a. Perubahan fisik, khususnya organ perasa. b. Kesehatan umum



c. Tingkat pendidikan d. Keturunan (Hereditas) e. Lingkungan Kenangan (Memory). a. Kenangan jangka panjang: Berjam-jam sampai berhari-hari yang lalu mencakup beberapa perubahan. b. Kenangan jangka pendek atau seketika: 0-10 menit, kenangan buruk. IQ (Inteligentia Quantion). a. Tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal. b. Berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor, terjadi perubahan pada daya membayangkan karena tekanan-tekanan dari faktor waktu. C. Perubahan-perubahan Psikososial. a. Pensiun: nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun (purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain : 1) Kehilangan finansial (income berkurang). 2) Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya). 3) Kehilangan teman/kenalan atau relasi. 4) Kehilangan pekerjaan/kegiatan. b. Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality) c. Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih sempit. d. Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation). e. Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya biaya pengobatan. f. Penyakit kronis dan ketidakmampuan. g. Gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan ketulian. h. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman dan family. i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik: perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri. D. Perkembangan Spritual. a. Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupan (Maslow,1970) b. Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya, hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari (Murray dan Zentner,1970). c. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Folwer (1978), Universalizing, perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara mencintai keadilan. Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan. LO 2 MM PPOK dan Pneumonia pada Geriatri 2.1 Definisi PPOK Secara definisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut sebagai penyakit kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan atau sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan pasien.1 PPOK biasanya berhubungan dengan respons



inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya dalam udara. PPOK merupakan suatu penyakit multikomponen yang dicirikan oleh terjadinya hipersekresi mukus, penyempitan jalan napas, dan kerusakan alveoli paru-paru. Penyakit tersebut bisa merupakan kondisi terkait bronkitis kronis, emfisema, atau gabungan keduanya.3 Pada PPOK, seringkali ditemukan bronkitis kronik dan emfisema bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi. 1,3,4 Bronkitis kronis adalah kelainan saluran pernafasan yang ditandai oleh batuk kronis yang menimbulkan dahak selama minimal 3 bulan dalam setahun, sekurangkurangnya dua tahun berturut-turut dan tidak disebabkan oleh penyakit lainnya. Emfisema adalah kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal pada bronkiolus terminal, disertai dengan kerusakan dinding alveolus.1,4 Tidak jarang penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK. PNEUMONIA Pneumonia merupakan infeksi pada ujung bronkhiol dan alveoli yang dapat disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus dan parasit (Depkes RI, 2005). Pneumonia bakteri umumnya lebih lazim terjadi, lebih parah dan kebanyakan lebih mematikan di daerah tropis (Syamsudin and Keban, 2013). 2.2 Etiologi 2.3 Epidemiologi Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%.1, 6 Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rata-rata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%.1 Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia. 2.4 Patofisiologi Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang disebabkan perubahan saluran nafas secara anatomi di bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru dikarenakan adanya suatu proses peradangan atau inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Dalam keadaan normal, radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan dan jumlah yang seimbang, sehingga bila terjadi perubahan pada kondisi dan jumlah ini maka akan menyebabkan kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pajanan terhadap faktor pencetus PPOK yaitu partikel noxius yang terhirup bersama dengan udara akan memasuki saluran pernapasan dan mengendap hingga terakumulasi. Partikel tersebut mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas silia. Akibatnya pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang dan menimbulkan iritasi pada sel mukosa sehingga merangsang kelenjar mukosa, kelenjar mukosa akan melebar dan terjadi hiperplasia sel goblet sampai produksi mukus berlebih. Produksi mukus yang berlebihan menimbulkan infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu siklus yang menyebabkan terjadinya hipersekresi mukus. Manifestasi klinis yang terjadi adalah batuk kronis yang produktif. Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa rusaknya dinding alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa perforasi



alveolus yang kemudian mengakibatkan bersatunya alveoulus satu dan yang lain membentuk abnormal largeairspace. Selain itu terjadinya modifikasi fungsi anti-protease pada saluran pernafasan yang berfungsi untuk menghambat neutrofil, menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan interstitial alveolus. Seiring terus berlangsungnya iritasi di saluran pernafasan maka akan terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Akan timbul juga metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa yang menimbulkan stenosis dan obstruksi ireversibel dari saluran nafas. 4,6 Walaupun tidak menonjol seperti pada asma, pada PPOK juga dapat terjadi hipertrofi otot polos dan hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan gangguan sirkulasi udara.6 7 Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Pada emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli yang menyebabkan berkurangnya daya regang elastis paru. Terdapat dua jenis emfisema yang relevan terhadap PPOK, yaitu emfisema pan-asinar dan emfisema sentri-asinar. Pada jenis pan-asinar kerusakan asinar bersifat difus dan dihubungkan dengan proses penuaan serta pengurangan luas permukaan alveolus. Pada jenis sentri-asinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan daerah perifer asinar, yang erat hubungannya dengan asap rokok. Pneumonia



Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan (imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi satu sama lain.3 Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Adanyanya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.11 Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan: 1) Inokulasi langsung; 2) Penyebaran melalui darah; 3) Inhalasi bahan aerosol, dan 4) Kolonosiasi di permukaan mukosa.2 Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah dengan kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteria dengan ikuran 0,5-2,0 mikron melalui udara dapat mencapai brokonsul terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan



terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang sanagt tinggi 108-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi. Sel-sel PNM mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sistoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian terjadi proses fagositosis. pada waktu terjadi perlawanan antara host dan bakteri maka akan nampak empat zona (Gambar 1) pada daerah pasitik parasitik terset yaitu : 1) Zona luar (edama): alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema; 2) Zona permulaan konsolidasi (red hepatization): terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah; 3) Zona konsolidasi yang luas (grey hepatization): daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak; 4) Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag. Pneumonia disebabkan oleh masuknya partikel kecil pada saluran napas bagian bawah. Masuknya partikel tersebut dapat menyebabkan kerusakan paruparu karena mengandung agen penyebab infeksi. Infeksi dapat disebarkan melalui udara ketika agen masih aktif dan kemudian masuk ke jaringan tempat partikel tersebut dapat menyebabkan infeksi. Jika partikel mempunyai ukuran yang sangat kecil saat terhirup, maka partikel akan mudah masuk ke jalan napas dan alveolus. Rehidrasi dapat menyebabkan bertambahnya ukuran partikel, sehingga dapat menghambat pernapasan. Infeksi saluran pernapasan juga bisa disebabkan oleh bakteri yang berada di dalam darah dari daerah lain di tubuh menyebar ke paruparu. Patogen umumya dikeluarkan melalui batuk yang kemudian ditangkap oleh sistem kekebalan tubuh. Jika terlalu banyak mikroorganisme yang lolos dari sistem kekebalan tubuh maka terjadi aktivasi imun dan infiltrasi sel dalam sistem kekebalan tubuh. Sel tersebut menyebabkan rusaknya selaput lendir di dalam bronki dan selaput alveolokapiler sehingga terjadi infeksi (Syamsudin and Keban, 2013). 2.5 Manifestasi Klinis Pneumonia Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub. 2.6 Diagnosis dan Diagnosis banding Diagnosis PPOK dapat ditegakkan berdasarkan temuan klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik) dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang. a. Anamnesis Dari anamnesis PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda dan gejala yang khas. Poin penting yang dapat ditemukan pada anamnesis pasien PPOK diantaranya:  Batuk yang sudah berlangsung sejak lama dan berulang, dapat dengan produksi sputum pada awalnya sedikit dan berwarna putih kemudian menjadi banyak dan kuning keruh.  Adanya riwayat merokok atau dalam lingkungan perokok, riwayat paparan zat iritan dalam jumlah yang cukup banyak dan bermakna.







Riwayat penyakit emfisema pada keluarga, terdapat faktor predisposisi pada masa kecil, misalnya berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran pernafasan berulang, lingkungan dengan asap rokok dan polusi udara. Sesak napas yang semakin lama semakin memberat terutama saat melakukan aktivitas berat (terengah-engah), sesak berlangsung lama, hingga sesak yang tidak pernah hilang sama sekali dengan atau tanpa bunyi mengi. Perlu dilakukan anamnesis dengan teliti menggunakan kuisioner untuk mengakses keparahan sesak napas Skala Sesak menurut Modified Medical Research Council (MMRC Dyspnea Scale) Grade Keluhan sesak berdasarkan aktivitas 0 Sesak napas baru timbul jika melakukan kegiatan berat 1 Sesak napas timbul bila berjalan cepat pada lantai yang datar atau jika berjalan di tempat yang sedikit landau 2 Jika berjalan bersama teman seusia dijalan yang datar, selalu lebih lambat; atau jika berjalan sendirian dijalan yang datar sering beristirahat untuk mengambil napas 3 Perlu istirahat untuk menarik napas setiap berjalan 100 meter atau setelah berjalan beberapa menit 4 Timbul sesak napas ketika mandi atau berpakaian



b. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik pasien PPOK dapat bervariasi dari tidak ditemukan kelainan sampai kelainan jelas dan tanda inflasi paru. • Inspeksi 1. Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu) Sikap seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Ini diakibatkan oleh mekanisme tubuh yang berusaha mengeluarkan CO2 yang tertahan di dalam paru akibat gagal nafas kronis. 2. Penggunaan alat bantu napas Penggunaan otot bantu napas terlihat dari retraksi dinding dada, hipertropi otot bantu nafas, serta pelebaran sela iga 3. Barrel chest Barrel chest merupakan penurunan perbandingan diameter antero-posterior dan transversal pada rongga dada akibat usaha memperbesar volume paru. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai. 4. Pink puffer Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema, yaitu kulit kemerahan pasien kurus, dan pernafasan pursed-lips breating. 5. Blue bloater Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronis, yaitu pasien tampak sianosis sentral serta perifer, gemuk, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru. • Palpasi Pada palpasi dada didapatkan vokal fremitus melemah dan sela iga melebar. Terutama dijumpai pada pasien dengan emfisema dominan. • Perkusi Hipersonor akibat peningkatan jumlah udara yang terperangkap, batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah terutama pada emfisema. 10 • Auskultasi Suara nafas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh. c. Pemeriksaan Penunjang • Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilator (post-bronchodilator)



Uji faal paru berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC). Spirometri juga mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver tersebut, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Rasio dari kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan untuk menilai fungsi paru. Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC serta nilai FEV1/FVC < 70%. Pemeriksaan post-bronchodilator dilakukan dengan memberikan bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Klasifikasi berdasarkan GOLD kriteria adalah: 1. Stage I : Ringan Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil rasio FEV1/FVC < 70% dan nilai FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi. 11 2. Stage II : Sedang Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara 50-80% dari nilai prediksi. 3. Stage III : Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-50% dari nilai prediksi. 4. Stage IV : Sangat Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari 30% ataupun kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik. • Foto Torak PA dan Lateral Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit paru lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada penderita bronkitis kronis dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil yang normal ataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen. • Analisa Gas Darah (AGD) Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat penting dilakukan dan wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi dan secara klinis tampak tandatanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti sianosis sentral, pembengkakan ekstrimitas, dan peningkatan jugular venous pressure. Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien dengan emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah menunjukkan hipoksemi yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%. Dapat juga menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini disebabkan 12 karena pada bronkitis kronis terjadi gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata. Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada emfisema gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan normoksia atau hipoksia ringan, dan normokapnia. Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi, dan untuk memantau keseimbangan asam basa. • Pemeriksaan sputum



Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia. • Pemeriksaan Darah rutin Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya faktor pencetus seperti leukositosis akibat infeksi pada eksaserbasi akut, polisitemia pada hipoksemia kronik. • Pemeriksaan penunjang lainnya Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) digunakan untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat namun jarang dilakukan antara lain uji latih kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, CT-scan resolusi tinggi, ekokardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha-1 antitryipsin.



Diagnosis Banding Asma dan SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis) merupakan penyakit paru obstruktif yang sering dijumpai selain PPOK. Selain itu penyakit gagal jantung, bronkiektasis, dan TB aktif juga perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding PPOK. Diagnosis Banding PPOK7  



 



 







Diagnosis PPOK Gambaran klinis Onset usia pertengahan Gejala progresif lambat Riwayat merokok Sesak saat aktivitas Diagnosis Asma Gambaran Klinis Hambatan aliran udara umumnya ireversibel Onset usia dini Gejala bervariasi dari hari ke hari Gejala pada waktu malam/dini hari lebih menonjol Dapat ditemukan alergi, rinitis dan/atau eksim Riwayat asma dalam keluarga Diagnosis Gagal jantung kongestif Gambaran Klinis Hambatan aliran udara umumnya reversible Riwayat hipertensi Ronki basah halus di basal paru Gambaran foto toraks pembesaran jantung dan edema paru Pemeriksaan faal paru restriksi, bukan obstruksi Diagnosis







 



 



Bronkiektasis Gambaran Klinis Sputum purulen dalam jumlah banyak Sering berhubungan dengan infeksi bakteri Ronki basah kasar Gambaran foto toraks tampak honeycombappearence Penebalan dinding bronkus Diagnosis Tuberkulosis Gambaran Klinis Onset semua usia Gambaran Infiltrat pada foto thoraks Konfrmasi mikrobiologi (Basil Tahan Asam / BTA) Diagnosis Sindrom Obstruksi Pasca TB (SOPT ) Gambaran Klinis Riwayat pengobatan anti tuberkulosis adekuat Gambaran foto toraks bekas TB : fibrotik dan kalsifikasi minimal Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruksi yang irreversible



Diagnosis pneumonia kominiti didasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini: a. Batuk-batuk bertambah b. Perubahan karakteristik dahak/purulen c. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki e. Leukosit > 10.000 atau < 4500 12,13 Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komunitas dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT). Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan kepada pemberian terapi yaitu dengan cara mencakup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat penyakit, dan perkiraan jenis kuman penyebeb infeksi (Sudoyo et al., 2007). Secara klinis, diagnosis pneumonia didasarkan atas tanda-tanda kelainan fisis dan adanya gambaran konsolidasi pada foto dada. Namun diagnosis lengkap haruslah mencakup diagnosis etiologi dan anatomi (Dahlan, 2004). Diagnosis studi: 1. Chest X-ray: teridentifikasi adanya penyebaran (misal: lobus dan bronkhial); dapat juga menunjukkan multipel abses/infiltrat, empiema (staphilococcus); penyebaran atau lokasi infiltrasi (bakterial) 2. Analisis gas darah: abnormalitas mungkin timbul tergantung dari luasnya kerusakan paru-paru. 3. Pemeriksaan darah lengkap: leukositosis biasanya timbul, meskipun nilai pemeriksaan darah putih rendah pada infeksi. Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komunitas pada pasien dewasa dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT). Tabel 3 menunjukkan sistem skor pada pneumonia komunitas. Berdasarkan kesepakatan Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia adalah:



1. Skor PORT lebih dari 70 2. Bila skor PORT kurang dari 70 maka penderita tetap perlu rawat inap bila di jumpai salah satu dari kriteria dibawah ini: a) Frekuensi nafas > 30 kali/menit b) PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg c) Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral d) Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus e) Tekanan sistolik < 90mmHg f) Tekanan diastolik < 60 mmHg (PDPI, 2003b). Penilaian tingkat keparahan pneumonia dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor, seperti tabel 3 :



Selanjutnya dilakukan penjumlahan poin-poin hasil PORT. Berdasarkan penjumlahan tersebut kemudian dikategorikan menurut kelas resikonya, sehingga dapat ditentukan penanganan yang harus dilakukan (tabel 4).



Pemeriksaan Penunjang 1. Radiologi Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama (gold standard) untuk menegakkan diagnosis pneumonia. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsoludasi dengan air bronchogram, penyebaran bronkogenik dan intertisial serta gambaran kavitas.3 2. Laboratorium Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000 /ul, Leukosit polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat pula ditemukanleukopenia. Hitung jenis menunjukkan shift to the left, dan LED meningkat.12,13



3. Mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan kultur darah untuk mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan koagulasi antigen polisakarida pneumokokkus.12,13 4. Analisa Gas Darah Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada beberapa kasus, tekanan parsial karbondioksida (PCO2) menurun dan pada stadium lanjut menunjukkan asidosis respiratorik Diagnosis Banding 1. Tuberculosis Paru (TB), adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M. tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M. tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan. Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam, menggigil, keringat malam, lemas, hilang nafsu makan dan penurunan berat badan. 2. Atelektasis, adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak mengandung udara dan kolaps. 3. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), adalah suatu penyumbatan menetap pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema atau bronkitis kronis. COPD lebih sering menyerang laki-laki dan sering berakibat fatal. COPD juga lebih sering terjadi pada suatu keluarga, sehingga diduga ada faktor yang dirurunkan. 4. Bronkhitis, adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paru-paru). Penyakit bronchitis biasanya bersifat ringan dan pada akhirnya akan sembuh sempurna. Tetapi pada penderita yang memiliki penyakit menahun (misalnya penyakit jantung atau penyakit paru-paru) dan pada usia lanjut, bronchitis bisa bersifat serius. 5.Asma bronkhiale, adalah penyakit yang ditandai dengan penyempitan saluran pernapasan, sehingga pasien yang mengalami keluhan sesak napas/kesulitan bernapas. Tingkat keparahan asma ditentukan dengan mengukur kemampuan paru dalam menyimpan oksigen. Makin sedikit oksigen yang tersimpan berarti semakin buruk kondisi asma. 2.7 Pemeriksaan 2.8 Tatalaksana Secara umum, pengobatan PPOK menggunakan beberapa golongan obat, seperti: 1. Bronkodilator Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1 dan atau mengubah variabel spirometri. Obat ini bekerja dengan mengubah tonus otot polos pada saluran pernafasan dan meningkatkan refleks bronkodilatasi pada aliran ekspirasi dibandingkan dengan mengubah elastisitas paru. Bronkodilator bekerja dengan menurunkan hiperventilasi dinamis saat istirahat dan beraktivitas, serta memperbaiki toleransi terhadap akivitas. Pada kasus PPOK ketegori berat atau sangat sangat berat sulit untuk memprediksi perbaikan FEV1 yang diukur saat istirahat. Bronchodilator dose-respone (perubahan FEV1) kurang memberikan respon relatif pada setiap kelas bronkodilator. Peningkatan dosis beta2-agonist atau antikolinergik, khususnya yang diberikan dengan nebulizer, menunjukkan efek positif pada episode akut, namun tidak terlalu membantu pada kondisi stabil. Bronkodilator pada PPOK diberikan sebagai dasar untuk mencegah atau menurunkan gejala. Tidak direkomendasikan penggunaan bronkodilator dengan kerja pendek. 2. Beta2-agonist



Prinsip kerja obat ini adalah relaksasi otot polos pada saluran pernafasan dengan menstimulasi reseptor beta2-adrenergik, dimana akan meningkatkan siklus AMP dan memproduksi efek fungsional yang berlawanan dengan bronkokonstriksi. Terdapat beta2agonist dengan kerja pendek (SABA) dan kerja panjang (LABA), dimana efek SABA biasanya muncul dalam 4-6 jam. Penggunaan SABA secara regular dapat meningkatkan FEV1 dan memperbaiki gejala. Untuk dosis tunggal, khususnya pada kasus PPOK, tidak terdapat keuntungan apabila digunakan secara rutin, contohnya levalbuterol dibandingkan konvensional bronkodilator. LABA menunjukkan durasi kerja 12 jam atau lebih dan tidak dimasukkan sebagai efek tambahan pada terapi SABA. Folmetrol dan salmeterol merupakan LABA yang diberikan 2 kali dalam sehari, dimana secara signifikan memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak, laju 15 eksaserbasi serta jumlah kejadian masuk rumah sakit, namun tidak terdapat efek pada perbaikan mortalitas atau fungsi paru. Indacaterol atau LABA yang dikonsumsi 1 kali sehari dapat memperbaiki sesak, status kesehatan, dan laju eksaserbasi. Beberapa pasien dengan riwayat batuk akan diikuti dengan pemberian indacaterol inhalasi. Oladaterol dan vilanterol merupakan tambahan LABA yang dapat dikonsumsi 1 kali sehari dan dapat memperbaiki gejala dan fungsi paru. Stimulasi reseptor beta2-adrenergik dapat memproduksi sinus takikardia dan memiliki potensi untuk menjadi gangguan ritme jantung. Tremor dapat dirasakan pada pasien tua dengan dosis tinggi. Apabila terapi dikombinasi dengan diuretik thiazide, dapat menimbulkan hipokalemia dan peningkatan konsumsi oksigen pada pasien gagal ginjal kronis, dimana terjadi efek penurunan metabolik. 3. Antimuskarinik Prinsip kerjanya dengan mem-blok efek bronkokonstriksi asetikolin pada reseptor muskarinik M3 pada otot polos saluran pernafasan. Short-acting antimuscarinic (SAMAS) seperti ipratropium dan oxitroprium juga mem-blok reseptor neuronal M2, yang secara potensial dapat memicu bronkokonstriksi. Long acting muscarinic antagonist (LAMAS) seperti tiotropium, aclidinium, glycopyrronium bromide dan umeclidinium, mempunyai ikatan dengan reseptor muskarinik M3 dengan disosiasi yang lebih cepat dibandingkan reseptor muskarinik M2 yang memperpanjang durasi efek bronkodilator. Ipratropiun sebagai muskarinik antagonis kerja pendek memiliki efek yang kecil dibandingkan beta2-agonist kerja pendek dalam hal perbaikan fungsi paru, status kesehatan dan kebutuhan terhadap oral steroid. Beberapa jenis LAMAs seperti titropiun dan umeclidinium dikonsumsi 1 kali sehari, aclidinium untuk 2 kali sehari, dan glycopyrronium, dimana beberapa negara memberikan 1 kali sehari dan negara lain memberikan 2 kali sehari. Pengobatan dengan tiotripium dapat memperbaiki gejala dan status kesehatan, memperbaiki efektivitas rehabilitasi paru dan mengurangi eksaserbasi terkait hospitalisasi. Beberapa 16 penelitian menunjukkan efek eksaserbasi yang lebih besar pada golongan obat LAMAs (tiotropium) dibandingkan LABA. Efek samping yang dapat muncul berupa mulut kering, gangguan buang air kecil, dan pada penggunaan ipratropium menunjukkan gejala mulut terasa pahit dan gangguan pengecapan serta sebagian kecil peningkatan kejadian kardiovaskuler. 4. Methylxanthines Theophylline merupakan jenis methylxantine yang paling sering digunakan, dimana dimetabolisme oleh cytochrome P450 dengan fungsi oksidase. Efek yang ditimbulkan berupa peningkatan fungsi otot skeletal respirasi. Penambahan theophylline dengan salmeterol memberikan efek perbaikan pada FEV1 dan gejala sesak dibandingan hanya pemberian salmeterol saja. Toksisitas methylxanthine tergantung pada dosis yang diberikan, dimana efek yang ditimbulkan berupa palpitasi akibat atrium dan ventrikel aritmia. Efek lain termasuk sakit kepala, insomnia, mual, terasa panas di dada. Pengobatan ini juga memiliki interaksi yang signifikan dengan beberapa obat seperti digitalis dan coumadin. 5. Kombinasi terapi bronkodilator



Kombinasi bronkodilator SABAs dan SAMAs memberikan efek perbaikan FEV1 dan gejala dibandingkan diberikan secara tunggal. Pengobatan dengan formoterol dan tiotropium inhaler memberikan efek yang lebih besar terhadap FEV1, memperbaiki fungsi paru dan status kesehatan pada pasien PPOK. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian kombinasi LABA/LAMA, memeberikan efek terhadap laju eksaserbasi. Kombinasi ini juga dikatakan lebih baik dibandingkan kombinasi antara LABA dan ICS (inhaled corticosteroid). Macam-macam bronkodilator : a. Golongan antikolinergik. Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagaibronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kaliperhari). b. Golonganβ– 2 agonis. Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Bentuk nebuliser dapat mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. c. Kombinasi antikolinergik dan β–2 agonis. Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. d. Golongan xantin. pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah. 6. Anti-inflamasi - Inhaled corticosteroid (ICS) Pada pasien PPOK, pengobatan dengan ICS menunjukkan respon yang terbatas. Beberapa obat termasuk beta2-agonist, theophylline atau macrolide dapat mempengaruhi sensitivitas kortikosteroid pada PPOK. Pengobatan dengan ICS saja, tidak dapat memodifikasi penurunan FEV1. Pada pasien 17 dengan PPOK kategori sedang-berat, kombinasi ICS dengan LABA lebih efektif dalam memperbaiki fungsi paru, status kesehatan dan menurunkan eksaserbasi. Selain itu, pengobatan dengan LABA/ICS fixed dose combination (FDC) memberikan efek yang signifikan dibandingkan dengan LABA saja, pada pasien dengan eksaserbasi maksimal 1 kali dalam setahun. Efek samping yang ditimbulkan yaitu, candidiasis mulut, suara parau, kulit memar, dan pneumonia. -Terapi inhaler triple Terapi inhaler triple berupa penambahan LABA, LAMA, dan ICS, dimana efek yang diberikan berupa perbaikan fungsi paru, pada risiko eksaserbasi. - Oral glukokortikoid Efek yang diberikan berupa steroid miopati yang berhubungan dengan kelemahan otot, penurunan fungsional, dan kegagalan pernapasan pada pasien dengan PPOK berat. Sistemik glukokortikoid pada akut eksaserbasi menunjukkan laju kegagalan terapi, laju kekambuhan, serta memperbaiki fungsi paru dan sesak. Oral glukokortikoid memberikan efek terapi pada akut 18 eksaserbasi, namun tidak berperan pada kondisi kronis karena memiliki komplikasi sistemik yang tinggi. - Phosphodiesterase-4 (PDE-4) inhibitors Prinsip kerjanya adalah dengan menurunkan inflamasi dengan menghambat pemecahan siklus intraseluler AMP. Roflumilast merupakan obat oral yang dikonsumsi 1 kali sehari tanpa aktivitas bronkodilator. Efeknya adalah menurunkan eksaserbasi sedang dan berat yang telah diobati dengan kortikosteroid sistemik pada pasien bronchitis kronis, PPOK berat sampai sangat berat, dan riwayat eksaserbasi. Efek pada fungsi paru dapat juga dilihat ketika roflumilast ditambahkan pada bronkodilator kerja panjang dan pada pasien yang tidak terkontrol pada kombinasi fixed-dose LABA/ICS. Efek samping yang dapat ditimbulkan lebih banyak jika dibandingkan dengan pengobatan inhaler untuk PPOK. Efek tersering yaitu diare, mual, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan (2 kg), nyeri perut, gangguan tidur, dan



sakit kepala. Pemberian roflumilast perlu diperhatikan khususnya pada pasien underweight dan depresi. 7. Antibiotik Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik secara regular dapat menurunkan laju eksaserbasi. Azithromycin (250 mg/hari atau 500 mg 3 kali per minggu) atau eritromycin (500 mg 2 kali per hari) dalam satu tahun dapat menurunkan risiko eksaserbasi. Azithromycin berhubungan dengan peningkatan insiden resistensi bakteri dan gangguan pendengaran. 8. Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan agen antioksidan Pada pasien PPOK yang tidak mendapatkan kortikosteroid inhaler, terapi regular dengan mukolitik seperti carbocystein dan N-acetylcystein dapat menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan. Terapi non-farmakologi 1. Edukasi dan self managemen Tujuannya adalah untuk memotivasi dan membuat pasien tetap berpikir positif dalam mengahadapi penyakitnya. Selain itu, juga membantu pasien memodifikasi faktor risiko yang dapat sebagai pencetus eksaserbasi. Pasien juga diharapkan dapat melakukan penanganan apabila gejala muncul. Berdasarkan GOLD 2017, Kelompok A,B,C, dan D, dapat memodifikasi faktor risiko, termasuk merokok, mengatur aktivitas fisik dan mengatur tidur dan pola hidup sehat. Sedangkan khusus untuk Kelompok B dan D, harus dapat melakukan penanganan terhadap gejala sesak, teknik konservasi energi dan management stress. Kelompok C dan D dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap faktor pemicu, monitoring dan menangani gejala buruk, dan mempunyai rencana serta mengatur komunikasi dengan tenaga kesehatan. Kelompok D harus mulai melakukan diskusi paliative dengan tenaga kesehatan. 2. Aktivitas fisik dan program rehabilitasi paru Pada pasien dengan PPOK, terjadi penurunan aktivitas. Oleh karena itu perlu memilih aktivitas agar tidak terjadi eksaserbasi melalui beberapa program. 22 Program rehabilitasi paru, khusunya pada kelompok B, C, D dapat mencegah proses teradinya eksaserbasi. Program rehabilitasi termasuk pelatihan aktivitas fisik, konseling nutrisi, berhenti merokok, dan edukasi. Program latihan fisik dapat mengurangi gejala yang muncul saat melakukan aktivitas berat serta dapat meningkatkan efek kerja obat LABA/LAMA. Selain itu, aktivitas fisik aerobik dapat meningkatkan kekuatan dan apabila difokuskan pada ekstremitas atas, dapat memperkuat otot pernapasan inspirasi. Hal tersebut tentunya harus disesuaikan dengan terapi nutrisi. 3. Vaksinasi Vaksinasi pneumococcus, PCV13 dan PPSV23 direkomendasikan pada pasien dengan umur > 65 tahun. PPSV23 juga direkomendasikan pada pasien PPOK umur muda dengan penyakit komorbid gagal jantung kronik atau penyakit paru lainnya. 4. Terapi oksigen Indikasi: • PaO2 2 tahun. Efek samping vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu hipersensitivitas tipe 3. Di samping itu vaksin juga perlu di berikan untuk penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit kronik, dan usia diatas 65 tahun. Selain vaksin, pola hidup sehat juga termasuk tidak merokok juga sangat direkomendasikan. 3.0 Prognosis Pneumonia Kejadian PK di Amerika Serikat adalah 3,4-4 juta kasus per tahun, dan 20% diantaranya perlu dirawat di RS. Secara umum, angka kematian pneumonia oleh pneumokokkus adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat pada lanjut usia dengan kondisi yang buruk. Pneumonia dengan influenza di Amerika Serikat merupakan penyebab kematian terbesar ke-6 dengan kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada lanjut usia, yaitu sebesar 89%. Mortalitas pasien PK yang dirawat di ICU adalah sebesar 20%. Mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan faktor modifikasi yang ada pada pasien. 4. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Terhadap Ventilator 3.1 Klasifikasi Pneumonia



Berdasarkan asal infeksi pneumonia secara khas dikelompokkan menjadi dapatan komunitas (Community Acquired Pneumonia) dan dapatan rumah sakit (Hospital Acquired Pneumonia). 1. Pneumonia dapatan komunitas (Community Acquired Pneumonia) Pneumonia yang didapat di komunitas didefinisikan sebagaai suatu penyakit yang dimulai di luar rumah sakit atau didiagnosa 48 jam setelah masuk rumah sakit pada pasien yang tidak tinggal dalam perawatan jangka panjang selama 14 hari atau lebih sebelum onset gejala (Tierney. et al., 2002). Berbagai patogen yang cenderung dijumpai pada faktor resiko tertentu misalnya H. influenza pada pasien perokok, patogen atipikal pada pasien lansia, Gram negatif pada pasien dari rumah jompo. Patogen pneumonia komunitas rawat inap diluar ICU 20-70% tidak diketahui penyebabnya. S. Pneumoniae dijumpai pada 20-60%, H. Influenzae dijumpai sekitar 3-10%. Patogen pada pneumonia komunitas di ICU sebanyak 10%, 50-60% tidak diketahui penyebabnya, sekitar 33% disebabkan S. Pneumoniae (Sudoyo et al., 2007). 2. Pneumonia dapatan rumah sakit (Hospital Acquired Pneumonia) Pneumonia yang didapat di rumah sakit atau nosokomial (Hospital Acquired Pneumonia) adalah suatu penyakit yang dimulai 48 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit, yang tidak sedang mengalami inkubasi suatu infeksi saat masuk rumah sakit. Pneumonia yang berhubungan dengan ventilator berkembang pada pasien-pasien dengan ventilasi mekanik lebih dari 48 jam setelah inkubasi (Tierney. et al., 2002). Bakteri penyebab HAP yang terbesar adalah bakteri anaerob (35% dari penyebab infeksi HAP). Sisanya adalah Pseudomonas aeruginosa (17%), Staphylococcus (16%), dan Enterobacter (11%). Sedangkan yang lainnya adalah virus influenza (5%), dan spesies candida (5%). Hospital Acquired Pneumonia (HAP) yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi (PDPI, 2003b).



3.3 Komplikasi Komplikasi yang dapat tejadi pada PPOK adalah: a. Gagal nafas • Gagal nafas kronis Dapat diatasi dengan menjaga keseimbangan PO2 dan PCO2, bronkodilator adekuat, terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas atau waktu tidur, antioksidan, latihan pernapasan dengan pursed lips breathing. • Gagal nafas akut pada gagal nafas kronis, ditandai oleh sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam, kesadaran menurun. b. Infeksi berulang Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi kronis ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. c. Kor pulmonal Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung kanan. Pneumonia Pneumonia umumnya bisa diterapi dengan baik tanpa menimbulkan komplikasi. Akan tetapi, beberapa pasien, khususnya kelompok pasien risiko tinggi, mungkin mengalami beberapa komplikasi seperti bacteremia (sepsis), abses paru, efusi pleura, dan kesulitan bernapas.15 Bakteremia dapat terjadi pada pasien jika bakteri yang menginfeksi paru masuk ke dalam aliran darah dan menyebarkan infeksi ke organ lain, yang berpotensi menyebabkan kegagalan organ. Pada 10% pneumonia pneumokokkus dengan bakteremia dijumpai terdapat komplikasi ektrapulmoner berupa meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis, dan empiema.3,15 Pneumonia juga dapat menyebabkan akumulasi cairan pada rongga pleura atau biasa disebut dengan efusi pleura. Efusi pleura pada pneumonia umumnya bersifat eksudatif. Pada klinis sekitar 5% kasus efusi pleura yang disebabkan oleh P. pneumoniae dengan jumlah cairan yang sedikit dan sifatnya sesaat (efusi parapneumonik). Efusi pleura eksudatif yang mengandung mikroorganisme dalam jumlah banyak beserta dengan nanah



disebut empiema. Jika sudah terjadi empiema maka cairan perlu di drainage menggunakan chest tube atau dengan pembedahan. LO 3 Tatalaksana Gagal Napas (Indikasi Ventilator) Penatalaksanaan Gagal Nafas Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik dan kausatif/spesifik. Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya. Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas, seperti pada tabel 2 berikut ini. 1. Atasi Hipoksemia: Terapi Oksigen 2. Atasi Hiperkapnia: Perbaiki ventilasi a. Perbaiki jalan nafas b. Bantuan Ventilasi: Face mask, ambu bag c. Ventilasi Mekanik 3. Fisioterapi dada Atasi Hipoksemia Terapi Oksigen Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang oleh hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe.1 Pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas. Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah dan sistem arus tinggi. Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal Kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Alat oksigen arus tinggi di antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer blenders. Pasien dengan PPOK dan gagal napas tipe hipoksemia, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan memperbaiki hipoksemia. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal. Atasi Hiperkapnia: Perbaiki Ventilasi Jalan napas (Airway) Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-obat pernapasan. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas buatan seperti endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas buatan dibandingkan jalan napas alami.1 Resiko jalan napas buatan adalah trauma insersi, kerusakan trakea (erosi), gangguan respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi



mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan jalan napas buatan adalah dapat melintasi obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obatobatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi fibreoptik. Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab gagal nafas. Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. LO 4 Hukum penggunaan dan pelepasan ventilator 1.jika pasien masih ada kesempatan hidup dibantu dengan alat resusitasi Maka alat resusitasi harus tetap dibiarkan, tidak boleh dicabut terlebih keluarga memiliki dana yang cukup untuk membiayai. 2.jika pasien sudah tidak ada kesempatan hidup Yaitu alat resusitasi hanya sekedar memperpanjang hdup beberapa hari /minggu saja. Prognosis pasien jelek kedepannya misalnya karena penyakit yang sudah kornis dan berbahaya (contohnya kanker stadium lanjut yang sudah menyebar ke paru-paru dan otak). Ditambah lagi keadaan keluarga yang tidak mampu membiayai, mereka harus menjual bebagai harta, bahkan harus berhutang untuk membiayai. Berdasarkan pertimbangan mashalahat dan mafsadat serta memilih mafsadah yang paling ringan, maka alat resusitasi boleh dicabut. Sebagaimana dalam kaidah fiqh.



‫ارتكاب أخف الضررين‬ “memilih diantara dua mafsadah yang paling ringan”   3. jika pasien sudah mati batang otak maka boleh dicabut Yang dimaksud mati batang otak adalah orang tersebut sudah mati secara medis akan tetapi organ yang lain masih sedikit beraktifitas, misalnya jantung masih sedikit berdenyut. Berikut ketetapan Majma’ Fiqh Al-Islami mengenai hal ini:



. ‫) إذا توقف قلبه وتنفسه توقفا ً تاما ً وحكم األطباء بأن هذا التوقف ال رجعة فيه‬1



‫ وأخذ دماغه في‬،‫) إذا تعطلت جميع وظائف دماغه تعطالً نهائيا ً وحكم األطباء االختصاصيون الخبراء بأن هذا التعطل ال رجعة فيه‬2 .‫التحلل‬



‫وفي هذه الحالة يسوغ رفع أجهزة اإلنعاش المركبة على الشخص وإن كان بعض األعضاء كالقلب مثالً ال يزال يعمل آليا ً بفعل‬ ‫األجهزة المركبة‬ 1.jika denyut jantung dan nafas telah berhenti secara total dan tim dokter telah memastikan bahwa hal ini tidak bisa kembali 2.jika semua aktifitas otak telah berhenti total kemudian (mati bantang otak) dan tim dokter (spesialis) telah memastikan bahwa hal ini tidak bisa kembali dan otak mulai mengalami kerusakan. Maka pada (dua) keadaan ini, boleh mencabut alat resusitasi yang terpasang pada orang tersebut walaupun sebagian anggota badan seperti jantung misalnya masih berdenyut dengan bantuan alat resusitasi. (Fatawa lit thabibil Muslim)



DAFTAR PUSTAKA



http://www.klikpdpi.com/jurnal-warta/jri-01-07/jurnal-6.html https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/ea91ca43e8db520c8a1e16ebf600f7e5.pdf http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/viewFile/612/616 https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/a3094ca3eede2196d8bdb1a6fffc6b2c.pdf https://muslimafiyah.com/hukum-mencabut-alat-resusitasi-pada-pasien-kritis-di-icu.html https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/30d95cfdc0873c6060477b155636f971.pdf https://library.uns.ac.id/perubahan-anatomik-organ-tubuh-pada-penuaan/ http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/3595/keperawatanismayadi.pdf;jsessionid=31A0DB8550C4BC4204D2B61C93694125?sequence=1 http://digilib.unila.ac.id/6533/108/BAB%20II.pdf https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/11162/07.2%20bab%202.pdf? sequence=8&isAllowed=y http://eprints.ums.ac.id/55872/3/BAB%20I.pdf https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/f331a8a1e413579027127d4509a339e5.pdf