Skripsi Bab 1-5 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Penelitian



Manajemen laba merupakan upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja perusahaan (Sulistyanto, 2008). Praktik manajemen laba dalam perusahaan merupakan hal yang logis karena fleksibilitas akuntansi memungkinkan manajer dalam mempengaruhi pelaporan. Mulford (2010) menyatakan bahwa untuk dapat menilai baik buruknya manajemen laba tergantung pada sifat langkah-langkah manajemen laba yang dilakukan dan tujuan dari manajemen laba tersebut. Langkah-langkah manajemen laba bisa berada dalam rentang mulai dari yang paling hati-hati dengan menggunakan fleksibilitas dalam batasan SAK, menggunakan fleksibilitas yang hampir diluar batasan SAK, sampai pada melanggar SAK dengan membuat laporan keuangan bermuatan kecurangan. Ada berbagai pandangan mengenai manajemen laba itu sendiri. Biasanya akademisi berpendapat bahwa manajemen laba itu tidak buruk dengan mengasumsikan bahwa laporan keuangan telah mengungkapkan seluruh manajemen laba yang dilakukan, atau dengan kata lain manajemen laba yang baik adalah yang masih dalam batasan aturan SAK dan diungkapkan secara penuh mengenai dampaknya terhadap kinerja keuangan tahun berjalan dan yang akan datang. Sedangkan manajemen laba yang buruk adalah menyajikan kinerja keuangan yang menyesatkan pembacanya dengan tidak mengungkapkan seluruhnya maupun sebagian mengenai dampaknya terhadap kinerja keuangan dan biasanya dilakukan secara tersembunyi. Banyak kasus yang terkait dengan manajemen laba, baik terjadi di dalam negeri maupun luar negeri. Contoh kasus manajemen laba diluar negeri yaitu terjadi pada perusahaan elektronik asal Jepang Toshiba. Seperti yang dimuat money.cnn.com oleh Yan pada tahun (2015) Toshiba mulai menyelidiki praktik akuntansi di divisi energi. Menurut sebuah komite independen, perusahaan menggelembungkan laba usaha Toshiba sebesar ¥151,8 miliar atau sekitar $1,2 miliar selama 7 tahun. Akibat skandal akuntansi yang mengguncang perusahaan, saham Toshiba telah turun sekitar 20 persen sejak awal april ketika isu-isu akuntansi ini terungkap. Nilai pasar perusahaan hilang sekitar ¥1.673 triliun ($13,4 miliar) dan para analis memperkirakan saham Toshiba masih akan terus turun. Contoh kasus terkait praktik manajemen laba di dalam negeri di antaranya adalah terjadi pada PT Indofarma Tbk, PT Kimia Farma Tbk, PT Elnusa Tbk dan PT Agis Tbk. Pada tahun 2004 PT Indofarma Tbk melakukan praktik manajemen laba dengan menyajikan laba bersih dengan cara menaikkan overstated laba bersih senilai Rp28,78 miliar, sehingga dampak dari penilaian persediaan barang dalam proses yang lebih tinggi dari yang seharusnya, sehingga hpp tahun tersebut overstated. 1



2



Target yang ingin dicapai dalam praktik manajemen laba ini adalah menaikkan laba (www.tempo.co, 2004). Fenomena adanya praktik manajemen laba pernah terjadi di pasar modal Indonesia. Khusunya pada emiten manufaktur di BEI Jakarta, yaitu pada PT Kimia Farma Tbk. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal,2002) diperoleh bukti bahwa terdapat kesalahan penyajian dalam penialian persediaan barang jadi dan kesalahaan pencatatan penjualan,dimana dampak kesalahan tersebut yang mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berahir pada 31 dsesmber 2001 sebesar Rp32,7 miliar (Kompas, 21 November 2002). Kemudian kasus manajemen laba terkait dana cadangan pernah terjadi pada PT Elnusa Tbk. Pada tahun 2011 cadangan dana perusahaan yang mencapai Rp111 milyar disalahgunakan oleh pihak manajemen sehingga tampak luar perusahaan memiliki potensi meraih keuntungan yang cukup tinggi, namun sebenarnya perusahaan dalam kritis (detik.com, 2011). Pada tahun 2007, berdsarkan pemeriksaan Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) telah ditemukan bukti bahwa PT Agis Tbk memberikan informasi laba yang secara material tidak benar yang seharusnya total pendapatan sebesar Rp466,8 miliar, namun disajikan sebesar Rp800 miliar. Dengan motivasi agar pihak eksternal menganggap PT Agis Tbk menyajikan laporan keuangan yang dinyatakan baik dan sehat (Ningsih,2018). Pada penelitian ini peneliti telah melakukan pengujian terhadap perusahaan manufaktur untuk mendeteksi adanya praktik manajemen laba. Dari beberapa kasus mengenai manajemen laba diatas dapat disimpulkan, bahwa manajemen seringkali memanipulasi laporan keuangan agar terlihat baik oleh pihak eksternal dimana perusahaan yang mempunyai laba yang kecil direkayasa menjadi lebih besar agar terlihat baik oleh pihak eksternal dan perusahaan yang mempunyai laba besar direkayasa menjadi lebih kecil agar beban pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan dibayar seminimal mungkin. Berikut ini adalah hasil perhitungan manajemen laba pada 5 perusahaan dari 23 sampel perusahaan manufaktur yang dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling, yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2013-2017 dari 161 populasi. Dengan menggunakan proksi scaled earning changes. Scaled earning changes yakni skala perubahan laba perusahaan dari tahun ke tahun untuk menggambarkan kenaikan kinerja pada perusahaan. Tabel 1. Data Perhitungan Manajemen Laba Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di BEI Periode 2013-2017. NO Kode Emiten 2013 2014 2015 2016 2017 1 AMFG -0,00229 0,04141 -0,03515 -0,02846 -0,07630 2 ARNA 0,02625 0,00402 -0,02985 0,00549 0,00807 3 INAI -0,25443 0,18303 0,05591 0,05406 0,01516S 4 IGAR -0,02406 0,07017 -0,01220 0,08214 0,00607 5 JPFA -0,03309 -0,01912 0,01309 0,24331 -0,06407



3



Sumber : Data yang diolah penulis (2018) Berdasarkan tabel diatas, perusahaan dengan kode emiten AMFG selama periode 2013,2015,2016 dan 2017 diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba karena nilai scaled earning changes nya berada pada range -0,09 - 0. Sedangkan untuk periode 2014 perusahaan AMFG diindikasikan melakukan praktik manajemen laba karena nilai scaled earning changes nya berada pada range 0 – 0,06. Sebaliknya pada perusahaan ARNA pada periode 2013,2014,2016 dan 2017 diindikasikan melakukan praktik manajemen laba karena nilai scaled earning changes nya berada pada range 0 – 0,06 sedangkan pada tahun 2015 perusahaan ARNA diindikasikan tidak melakukan manajemen laba karena nilai scaled earning changes nya berada pada range -0,09 – 0. Pada perusahaan dengan kode emiten INAI selama periode 2014 sampai 2017 memiliki nilai scaled earning changes yang berada pada range 0 – 0,06 sehingga diindikasikan melakukan praktik manajemen laba. Sedangkan pada tahun 2013, INAI diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba karena nilai scaled earning changes nya berada pada range -0.09 – 0. Pada perusahaan IGAR selama periode 2013 dan 2015 nilai scaled earning changes nya berada pada range -0,09 – 0 yang berarti diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba, sedangkan pada periode 2014,2016 dan 2017 diindikasikan melakukan praktik manajemen laba. Pada perusahaan dengan kode emiten JPFA pada periode 2015 dan 2016 diindikasikan melakukan praktik manajemen laba sedangkan pada periode 2013,2014 dan 2017 diindikasikan melakukan praktik manajemen laba karena nilai scaled earning changes nya berada pada range 0 – 0,06. Kesimpulan yang dikemukakan oleh peneliti ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Amanda dan Febrianti (2015). Yaitu perusahaan yang berada pada range 0-0,06 dikategorikan sebagai small profit firms (diindikasikan melakukan praktik manajemen laba untuk menghindari kerugian) sedangkan perusahaan yang berada pada range -0,09–0 dikategorikan sebagai small loss firms (diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba untuk menghindari kerugian). Motivasi pajak pada manajemen laba dapat dipenuhi dengan cara melakukan perencanaan pajak. Salah satu cara untuk meminimalkan beban pajak yang harus dibayar adalah dengan cara perencanaan pajak atau tax planning. Menurut Suandy (2011) perencanaan pajak adalah tahap awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak adalah untuk memnimumkan kewajiban pajak. Oleh karena itu, perencanaan pajak merupakan tindakan yang legal karena diperbolehkan oleh pemerintah selama dalam undang-undang perpajakan yang berlaku di Indonesia. Hubungan perencanaan pajak dalam praktik manajemen laba secara konseptual dapat dijelaskan dengan teori keagenan. Pada teori keagenan, dalam hal ini pemerintah (fiskus) sebagai pihak principal dan manajemen sebagai pihak agent masing masing memiliki kepentingan yang berbeda dalam hal pembayaran pajak.



4



Perusahaan (agent) berusaha membayar pajak sekecil mungkin karena dengan membayar pajak berarti mengurangi kemampuan ekonomis perusahaan. Di lain pihak pemerintah (principal) memerlukan dana dari penerimaan pajak untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Dengan demikian terjadi konflik kepentingan antara perusahaan dengan pemerintah. Sehingga memotivasi agent meminimalkan beban pajak yang harus dibayar ke pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut, mengindikasi adanya pengaruh positif antara perencanaan pajak dengan manajemen laba yang juga dapat menjadi celah bagi para manajemen untuk merekayasa laba, sehingga laporan keuangan akan terlihat baik dan sehat, kemudian para manajer mendapatkan bonus atas hasil merekayasa laba tersebut. Penelitian mengenai manajemen laba banyak menggunakan proksi dan variabel yang berbeda-beda, diantaranya dengan mempertimbangkan tarif pajak efektif, pajak tangguhan dan akrual. Penelitian tarif pajak biasanya mempertimbangkan perubahan tarif pajak dalam menjelaskan manajemen laba seperti, tax reform act (TRA) tahun 1986. Sedangkan pajak tangguhan lebih menekankan pada peranan beban pajak tangguhan tersebut dalam pengaruhnya terhadap manajemen laba. Maka insentif pajak memainkan peran penting dalam perilaku manajemen laba perusahaan (Lin et al. 2012). Philips et al. (2003) menemukan bahwa beban pajak tangguhan lebih berguna secara inkremental dalam mendeteksi manajemen laba dibanding total akrual dan abnormal akrual. Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Khotimah (2014) tentang pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba, menyatakan bahwa perencanaan pajak memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba. Pada penelitian ini, perencanaan pajak diukur menggunakan proksi Tax Retention Rate (TRR). Kemudian dimasukkan proksi beban pajak tangguhan yang dalam penelitian Philips et al. (2003) ditemukan hubungan yang signifikan dengan manajemen laba. Penelitian mengenai pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba sudah pernah dilakukan oleh Aditama dan Purwaningsih (2014) menyatkan bahwa berdasarkan hasil uji regresi, perencanaan pajak ternyata tidak berpengaruh secara signifikan pada perusahaan nonmanufaktur yang terdaftar di BEI. Kemudian penelitian mengenai pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba pada PT Mayora Indah Tbk dilakukan oleh Putrianingsih (2016). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa variabel perencanaan pajak terhadap variabel manajemen laba memiliki hubungan yang lemah. Peneliti Astutik (2016) meneliti tentang pengaruh perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur sub sektor makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan hasil penelitiannya menyatakan bahwa pengujian yang telah dilakukan menunjukan variabel bebas yang terdiri dari perencanaan pajak dan beban pajak tanggguhan secara bersama-sama berpengaruh terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang bergerak dibidang makanan dan minuman.



5



Oleh karena itu, terkait dengan fenomena dan gap penelitian terdahulu mengenai pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba, maka peneliti termotivasi untuk meneliti penelitian yang berjudul “Pengaruh Perencanaan Pajak Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2013-2017” 1.2 Identifikasi Masalah Dan Perumusan Masalah 1.2.1 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa identifikasi masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manajer melakukan intervensi terhadap laporan keuangan dengan tujuan untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. 2. Banyak kasus yang terkait dengan manajemen laba, baik terjadi di dalam negeri maupun luar negeri. Contoh kasus manajemen laba diluar negeri yaitu pada perusahaan Toshiba. Sedangkan kasus praktik manajemen laba di dalam negeri terjadi pada PT Indofarma Tbk, PT Kimia Farma Tbk, PT Elnusa Tbk dan PT Agis Tbk. Perusahaan melakukan praktik manajemen laba dengan tujuan untuk menaikkan labanya agar kinerja perusahaan terlihat baik. 3. Hasil perhitungan manajemen laba menggunakan scaled earning changes terhadap perusahaan manufaktur dilatar belakang menunjukan bahwa masih banyak perusahaan yang terindikasi melakukan praktik manajemen laba untuk menghindari penurunan laba. 4. Penelitian ini bermaksud untuk menguji pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 1.2.2 Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dijelaskan di atas, ditarik kesimpulan tentang beberapa masalah di dalam penelitian ini, sebagai berikut : 1. Bagaimana perencanaan pajak pada perusahaan manufaktur yang Bursa Efek Indonesia? 2. Bagaimana kondisi perusahaan terkait manajemen laba pada manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia? 3. Apakah perencanaan pajak berpengaruh terhadap manajemen perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia?



maka dapat dirumuskan terdaftar di perusahaan laba pada



6



1.3 Maksud Dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah peneliti ingin meneliti tentang kesenjangan antara teori atau harapan dengan hasil penelitian terdahulu. Yang mana terjadi perbedaan didalamnya dan tidak sesuai dengan harapan. 1.3.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan maksud penelitian di atas yang sebelumnya telah dijabarkan, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui perencanaan pajak pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 2. Untuk mengetahui kondisi perusahaan terkait manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 3. Untuk mengetahui pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritik Penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran awal untuk melakukan penelitian selanjutnya dan sebagai wadah dalam pengembangan ilmu akuntansi perpajakan khususnya mengenai pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba yang teorinya sudah didapatkan pada saat kuliah dalam penerapan variabel tersebut didalam laporan keuangan. 1.4.2 Kegunaan Praktik Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak yaitu: 1. Bagi masyarakat Diharapkan penelitian ini bisa menjadi referensi bagi masyarakat banyak mengenai prencanaan pajak dan manajemen laba. 2. Bagi Pemakai laporan Keuangan Pemakai laporan keuangan dapat mengambil keputusan yang tepat berdasarkan laporan keuangan yang berkualitas, handal dan dapat dipercaya sehingga informasi yang di dapat akurat atau tidak menyesatkan bagi para pemakai laporan keuangan. 3. Bagi akademis Penelitian ini diharapkan bia menjadi acuan pada penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan perencanaan pajak dan manajemen laba. 4. Bagi penulis Penelitian ini dapat membantu penulis untuk memenuhi tugas akhir skripsi dan memberikan pengetahuan bagi penulis.



7



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Teori Agensi



Teori keagenan mendeskripsikan pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen sebagai pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu manajemen diberikan sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976). Oleh karena itu, manajemen wajib mempertanggungjawabkan semua upayanya kepada pemegang saham. Untuk memotivasi agen maka prinsipal merancang suatu kontrak agar dapat mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Kontrak yang efisien adalah kontrak yang memenuhi dua faktor, yaitu: 1. Agen dan prinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen maupun majikan memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan dirinya sendiri. 2. Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang diterimanya. Pengertian lain mengenai teori agensi adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent. Teori agensi memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu sematamata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent (Anthony dan Govindarajan, 2005). Pada kenyataannya informasi simetris itu tidak pernah terjadi, karena manajer berada di dalam perusahaan sehingga manajer mempunyai banyak informasi mengenai perusahaan, sedangkan prinsipal sangat jarang atau bahkan tidak pernah datang ke perusahaan sehingga informasi yang diperoleh sangat sedikit (Ningsih, 2018). Hal ini menyebabkan kontrak efisien tidak pernah terlaksana sehingga hubungan agen dan prinsipal selalu dilandasi oleh asimetri informasi. Agen sebagai pengendali perusahaan pasti memiliki informasi yang lebih baik dan lebih banyak dibanding prinsipal. Disamping itu, karena verifikasi sangat sulit dilakukan, maka tindakan agen pun sangat sulit untuk diamati. Dengan demikian, membuka peluang agen untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri dengan melakukan tindakan yang tidak semestinya atau sering disebut disfunctional behaviour, dimana tindakan ini dapat merugikan prinsipal, baik memanfaatkan aset perusahaan untuk kepentingan pribadi, maupun perekayasaan kinerja perusahaan. Baik prinsipal maupun agen diasumsikan mementingkan diri sendiri untuk memaksimumkan utilitas subjektif mereka, tetapi juga menyadari kepentingan umum mereka (Ningsih, 2018). Efeknya, perusahaan dipandang sebagai sebuah tim yang terdiri dari individu-individu yang anggotanya bertindak demi kepentigan sendiri



8



tetapi menyadari bahwa nasib mereka tergantung samapai tingkat tertentu pada kemampuan tim untuk bertahan dalam komprtisinya dengan tim-tim lain. Agen berusaha memaksimumkan fee kontraktual yang diterimanya tergantung pada tingkat upaya yang diperlukan. Prinsipal berusaha untuk memaksimumkan returns dari penggunaan sumber dayanya tergantung pada fee yang dibayarkan kepada agen. Dalam kondisi yang asimetri tersebut, manajemen dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba. Dalam kondisi yang asimetri tersebut, manajemen dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba. 2.2



Teori Akuntansi Positif



Teori akuntansi positif berusaha untuk menjelaskan sebuah proses yang menggunakan pemahaman, pengetahuan dan kebijakan akuntansi yang paling sesuai untuk menghadapi kondisi dan keadaan tertentu pada masa yang akan datang. Teori akuntansi positif memiliki anggapan bahwa tujuan dari sebuah teori akuntansi adalah untuk memberikan penjelasan dan memprediksi praktik akuntansi. Perkembangan teori akuntansi positif ini muncul akibat ketidakpuasan terhadap teori akuntansi normatif. Dasar pemikiran yang digunakan untuk menganalisis teori akuntansi pada teori normatif selalu dianggap terlalu sederhana dan tidak memiliki dasar teoritis yang kokoh. Terdapat tiga alasan mendasar yang kuat atas terjadinya pergeseran teori akutansi pendekatan normatif ke teori akuntansi positif, yaitu: (Watt dan Zimmerman, 1990) 1. Teori akuntansi normatif terlalu fokus terhadap kepentingan investor secara individu daripada kemakmuran masyarakat yang lebih luas. 2. Teori akuntansi normatif dirasa tidak mampu meguji teori secara empiris karena didasari pada asumsi atau premis yang keliru sehingga tidak bisa diuji kebenarannya secara empiris. 3. Di dalam teori akuntansi normatif sangat memungkinkan terjadinya pengalokasian sumber daya ekonomi secara maksimal di pasar modal. Melepas sumber daya ke pasar modal dengan mekanisme pasar. Informsasi akuntansi bisa menjadi sebuah alat pengendali bagi masyarakat didalam mengalokasikan sumber daya ekonomi secara efisien. Lebih lanjut Watt dan Zimmerman (1990) mengembangkan teori akuntansi dengan pendekatan positif yang orientasinya lebih kepada penelitian empiris. Menjustifikasi berbagai macam metode atau teknik akuntansi yang sekarang dipergunakan atau mencari model yang baru untuk mengembangkan teori akuntnasi dikemudian hari. Watt dan Zimmerman (1990) mengemukakan tiga hipotesa dari teori akuntansi positif, yaitu: 1. Hipotesa Rencana Bonus, manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih cenderung memilih prosedur akuntansi dengan perubahan keuntungan yang



9



dilaporkan dari periode dimasa depan ke periode saat ini. Hipotesis ini cukup beralasan, seorang manajer tentu ingin mendapatkan imbalan yang tinggi. Apabila besaran bonus tersebut tergantung pada besar kecilnya laba perusahaan, maka seorang manajer atau siapapun itu tentu akan berusaha memberikan laporan pendapatan bersih setinggi mungkin agar mendapatkan bonus yang tinggi. Salah satu caranya adalah dengan memilih dan menentukan kebujakan akuntansi yang bisa meningkatkan laba pada laporan keuangan di periode tersebut. Sesuai dengan karakter proses akrual, hal tersebut bisa menyebabkan penurunan laba perusahaan yang akan datang dengan faktor lainnya yang masih tetap sama. 2. Hipotesis Kontrak Hutang, hipotesis ini seluruh hal yang lain dalam keadaan tetap, semakin dekat sebuah perusahaan terhadap pelanggaran prinsip akuntansi yang didasari atas sebuah kesepakatan hutang, maka ada kecenderungan semakin besar kemungkinan manajemen perusahaan untuk memilih prosedur akuntansi yang melaporkan perubahan laba dari periode masa depan ke periode saat ini. 3. Hipotesis Biaya Politik, semakin besar ongkos politik yang ditanggung oleh perusahaan, maka manajer akan cenderung untuk menggunakan prosedur akuntansi yang menyerah terhadap laba yang dilaporkan pada masa saat ini menuju masa mendatang. Dalam kondisi yang asimetri tersebut teori akuntansi positif dapat menjelaskan praktik akuntansi salah satunya dalam memprediksi adanya praktik manajemen laba. 2.3



Pajak



Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 mendefinisikan pajak sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari definisi tersebut maka pajak diuraikan menjadi beberapa unsur, yaitu: (Susyanti, dkk, 2015): 1. Pajak merupakan kontribusi wajib dari masyarakat kepada negara. 2. Dipungut berdasarkan UU dan aturan pelaksanaannya, sehingga sanksinya tegas dan bisa dipaksakan. 3. Tanpa kontraprestasi secara langsung. 4. Dipungut oleh pemerintah pusat (Negara) maupun oleh pemerintah daerah (provinsi, kota/kabupaten). 5. Digunakan untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan demi kemakmuran masyarakat. 2.3.1 Subjek Pajak Penghasilan Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak yang mempunyai objek pajak (penghasilan). Yang termasuk subjek pajak menurut Undang-Undang tentang pajak penghasilan adalah (Wahono, 2012):



10



1. Orang Pribadi Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak 2. Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan sebagai objek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Yang termasuk badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kestauan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi: a. Perseroan Terbatas b. Perseroan Komanditer, perseroan lainnya c. Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun d. Firma e. Kongsi f. Koperasi g. Dana pensiun h. Persekuttuan i. Perkumpulan j. Yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis k. Lembaga l. Bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana 3. Kewajiban Perpajakan PPh Badan Sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan No.36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan yang merupakan subjek pajak dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedududkan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: (Mardiasmo, 2011) a. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan b. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dn Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah c. Penerimannya dimasukkan dalam Anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara 2.3.2 Objek Pajak Penghasilan Objek pajak adalah sasaran yang akan dikenakan pajak, dalam ha ini yang menjadi objek pajak adalah penghasilan (Hutomo, 2009). Kemudian dalam buku perpajakan (Susyanti,dkk,2015) menyatakan penghasilan yang termasuk objek pajak dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008, yang berbunyi:



11



Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, yang dapat dipakai untuk menambah kekayaan wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk: 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan honoranium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan dalam UU ini. 2. Hadiah dari undian, atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan 3. Laba usaha 4. Keuntungan karena pejualan atau karena pengalihan harta termasuk: a. Keuntungan karena pengailhan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal b. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambil alihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun c. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya. d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentunnya diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan. e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan. 5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan penegembalian pajak. 6. Bunga termasuk premi, diskonto, dan imbalan karena jaminan atas pengembalian hutang. 7. Deviden dengan nama dan dalam bentuki apapun termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. 8. Royati atau imbalan atas penggunaan hak. 9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala 11. Keuntungan karena pembebasan hutang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 12. Ketentuan selisih kurs mata uang asing. 13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.



12



14. Premi asuransi. 15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. 16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. 17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah. 18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tatacara perpajakan. 19. Surplus Bank Indonesia 2.4



Perencanaan Pajak



Perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha sedemikian rupa dengan memanfaatkan berbagai celah kemungkinan yang dapat ditempuh oleh perusahaan dalam koridor ketentuan peraturan perpajakan (loopholes) agar perusahaan dapat membayar pajak dalam jumlah minimum (Pohan, 2013). Sedangkan menurut Suandy (2014) menyatakan bahwa perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perencanaan pajak adalah upaya yang dilakukan oleh wajib pajak untuk meminimalkan beban pajaknya dengan cara yang legal dan tidak melanggar undang undang. Ukuran yang digunakan oleh peneliti dalam mengukur perencanaan pajak adalah : TRRit = Net Incomeit Pretax Incomeit Sumber : Aditama & Purwaningsih (2014) Keterangan : TRRit



: Tax retention rate atau tingkat retensi pajak perusahaan i pada tahun t Net Incomeit : Laba bersih perusahaan i pada tahun t Pretax Incomeit : Laba sebelum pajak perusahaan i pada tahun t Variabel perencanaan pajak diukur dengan menggunakan proksi TRR atau tax retention rate (tingkat retensi pajak), yang menganalisis suatu ukuran dari efektivitas manajemen pajak pada laporan keuangan perusahaan tahun berjalan (Wild et al., 2004). Ukuran efektifitas manajemen pajak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ukuran efektifitas perencanaan pajak. TRR yang tinggi maka perencanaan pajak juga tinggi. Hal tersebut berarti bahwa TRR yang tinggi menunjukkan bahwa perencanaan pajak yang dilakukan perusahaan semakin efektif. Sebaliknya apabila



13



TRR rendah maka perencanaan pajak perusahaan menjadi kurang efektif (Wardani & Santi, 2018). 2.4.1 Tujuan Perencanaan Pajak Ada beberapa tujuan yang mendasari dilakukannnya perencanaan pajak pada suatu perusahaan. Berikut ini merupakan tujuan umum perencanaan pajak yang dikemukakan oleh Pohan (2013), yaitu: 1. Meminimalisasi beban pajak yang terutang. Tindakan yang harus diambil dalam rangka perencanaan pajak tersebut berupa usaha usaha mengefisiensikan beban pajak yang masih dalam ruang lingkup perpajakan dan tidak melanggar peraturan perpajakan. 2. Memaksimalkan laba setelah pajak 3. Meminimalkan terjadinya kejutan pajak (tax surprise) 4. Memenuhi kewajiban perpajakannya secara benar, efisien dan efektif, sesuai dengan ketentuan perpajakan, yang antara lain meliputi: a. Memenuhi segala ketentuan administratif, sehingga terhindar dari pengenaan sanksi, baik sanksi administratif maupun pidana, seperti bunga, kenaikan denda, dan hukum kurungan atau penjara. b. Melaksanakan secara efektif segala ketentuan undang undang perpajakan yang terkait dengan pelaksanaan pemasran, pembelian, dan fungsi keuangan, seperti pemotongan dan pemungutn pajak (pph pasal 21, pasal 22, dan pasal 23). 2.4.2 Strategi perencanaan Pajak Terdapat beberapa strategi yang dapat diakukan untuk melakukan perencanaan pajak. Strategi perencanaan pajak menurut Pohan (2013) antara lain: 1. Tax Saving Tax saving adalah upaya untuk mengefisiensikan beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. 2. Tax avoidance Tax avoidance adalah upaya mengefisiensikan beban pajak dengan cara menghindari pengenaan pajak dengan mengarahkannya pada transaksi yang bukan objek pajak. 3. Penundaan/penggeseran pembayaran pajak Penundaan atau penggeseran kewajiban pajak dapat dilakukan tanpa melanggar peraturan perpajakan yang berlaku. 4. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan Wajib pajak sering kali urang mendapat informasi mengenai pembayaran yang dapat dikreditkan. Sebagai contoh : pph pasal 22 atas pembelian solar dari pertamina yang bersifat final jika pembeliannya perusahaan yang bergerak dibidang penyaluran migas 5. Menghindari pemeriksaan pajak dengan cara menghindari lebih bayar Menghindari pemeriksaan pajak dapat dilakukan dengan mengajukan pengurangan pembayaran angsuran pph pasal 25 ke KPP yang bersangkutan



14



apabila berdasarkan estimasi dalam tahunan pajak yang bersangkutan akan terjadi kelebihan pembayaran pajak. Selain itu dapat juga mengajukan permohonan pembebasan pph pasal 22 impor apabila perusahaan melakukan impor. 6. Menghindari pelanggran terhadap peraturan perpajakan Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan cara menguasai peraturan perpajakan. 2.4.3 Motivasi Perencanaan Pajak Terdapat beberapa motivasi yang membuat suatu perusahaan melakukan perencanaan pajak. Menurut Suandy (2008) ada tiga unsur perpajakan yang menjadi motivasi mendasari dilakukannya perencanaan pajak, yaitu: 1. Kebijakan Perpajakan Kebijakan perpajakan (tax policy) merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam sistem perpajakan. Dari berbagai aspek kebijakan pajak, terdapat faktor-faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak. a. Jenis Pajak yang akan Dipungut Dalam sistem perpajakan modern terdapat berbagai jenis pajak yang harus menjadi pertimbangan utama, baik berupa pajak langsung maupun pajak tidak langsung dan cukai, seperti: 1. Pajak Penghasilan Badan dan Orang Pribadi 2. Pajak atas keuntungan modal 3. Withholding tax atas gaji, dividen, sewa, bunga, royalti, dan lain-lain 4. Pajak atas impor, ekspor, serta bea masuk 5. Pajak atas undian/hadiah 6. Bea materai 7. Capital transfer taxes/transfer duties 8. Lisensi usaha dan pajak perdangangan lainnya. b. Subjek Pajak Perbedaan perlakuan perpajakan atas pembayaran dividen badan usaha kepada pemegang saham perorangan dan kepada pemegang saham berbentuk badan usaha menyebabkan timbulnya usaha untuk merencanakan pajak dengan baik agar beban pajak rendah sehingga sumber daya perusahaan bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang lain. Di samping itu, ada pertimbangan untuk menunda pembayaran dividen dengan cara meningkatkan jumlah laba yang ditahan (retained earning) bagi perusahaan yang juga akan menimbulkan penundaan pembayaran pajak. c. Objek Pajak Adanya perlakuan perpajakan yang berbeda atas objek pajak yang secara ekonomis hakikatnya sama, akan menimbulkan usaha perencanaan pajak agar beban pajaknya rendah. Karena objek pajak merupakan basis perhitungan (tax basses) besarnya pajak, maka untuk optimalisasi alokasi sumber dana, manajemen akan merencanakan pajak yang tidak lebih dan tidak kurang.



15



d. Tarif pajak Adanya penerapan schedular taxation mengakibatkan seorang perencana pajak berusaha sedapat mungkin agar dikenakan tarif yang paling rendah (low bracket). Prosedur Pembayaran. Sistem self-assesment dan sistem pembayaran mengharuskan perencanaan pajak untuk merencanakan pajaknya dengan baik. 2. Undang-Undang Perpajakan Peraturan perundang-undangan diikuti oleh ketentuan-ketentuan (Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputusan Dirjen Pajak). Tidak jarang ketentuan pelaksanaan tersebut bertentangan dengan undang-undang itu sendiri karena disesuaikan dengan kepentingan pembuat kebijakan dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya. Akibatnya terbuka celah bagi Wajib Pajak untuk menganalisis kesempatan tersebut dengan cermat untuk perencanaan pajak yang baik. 3. Administrasi Perpajakan Sebagai negara berkembang, Indonesia masih mengalami kesulitan dalam melakukan administrasi perpajakannya secara memadai. Hal ini mendorong perusahaan untuk melaksanakan perencanaan pajak dengan baik agar terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya perbedaan penafsiran antara aparat fiskus dengan Wajib Pajak akibat luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem infornasi yang belum efektif. 2.5



Pajak Tangguhan



Pajak tangguhan pada prinsipnya merupakan dampak dari PPh di masa yang akan datang yang disebabkan perbedaaan temporer (waktu) antara perlakuan akuntansi dan perpajakan serta kerugian fiskal yang masih dapat dikompensasikan di masa datang (tax losscarry forward) yang perlu disajikan dalam laporan keuangan suatu periode tertentu. Dampak PPh di masa yang akan datang yang perlu diakui, dihitung, disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan, naik laporan posisi keuangan maupun laporan laba komprehensif. PPh yang dihitung berbasis pada PKP yang sesungguhnya dibayar kepada pemerintah disebut sebagai PPh terutang, sedangkan PPh yang dihitung berbasis laba (penghasilan) sebelum pajak disebut dengan beban PPh. Sebagian perbedaan yang terjadi akibat perbedaan antara PPh terutang dengan beban pajak yang dimaksud, sepanjang menyangkut perbedaan temporer, hendaknya dilakukan pencatatan dan tercermin dalam laporan keuangan komersial dalam akun pajak tangguhan (Zain, 2007). Pajak tangguhan ini diperhitungkan dalam penghitungan laba rugi akuntansi dalam suatu periode berjalan yang diakui sebagai beban atau manfaat pajak tangguhan. Beban pajak tangguhan timbul akibat perbedaan temporer antara laba akuntansi (laba dalam laporan keuangan menurut SAK untuk kepentingan pihak eksternal) dengan laba fiskal atau laba menurut aturan perpajakan Indonesia yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak (Sumomba, 2010).



16



Apabila pada masa mendatang akan terjadi pembayaran yang lebih besar, maka berdasarkan SAK harus diakui sebagai suatu kewajiban. Sebagai contoh apabila beban penyusutan aset tetap yang diakui secara fiskal lebih besar daripada beban penyusutan aset tetap yang diakui secara komersial sebagai akibat adanya perbedaan metode penyusutan aktiva (aset) tetap, maka selisih tersebut akan mengakibatkan pengakuan beban pajak yang lebih besar secara komersial pada masa yang akan datang (Suandy, 2008). Dengan demikian selisih tersebut akan menghasilkan kewajiban pajak tangguhan. Kewajiban pajak tangguhan ini terjadi apabila rekonsiliasi fiskal berupa koreksi negatif, di mana pendapatan menurut akuntansi komersial lebih besar dari pada akuntansi fiskal dan pengeluaran menurut akuntansi komersial lebih kecil daripada akuntansi fiskal. IAI (2009) menyatakan bahwa sama halnya dengan proses akuntansi lainnya, akuntansi pajak tangguhan tidak terlepas dari empat kegiatan proses akuntansi, yaitu pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan yang diatur dalam PSAK No. 46. 2.6



Beban Pajak Tangguhan



Beban PPh terdiri atas beban pajak kini dan beban pajak tangguhan atau pendapatan pajak tangguhan. Pajak kini merupakan jumlah PPh terutang atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) pada suatu periode. Pajak penghasilan diperlukan sebagai biaya bagi perusahaan. Oleh karena itu pajak penghasilan harus diasosiasikan dengan laba dimana pajak penghasilan tersebut dikenakan atau diperhitungkan. Beban pajak penghasilan dihitung dengan menggunakan aturan perpajakan atas hasil usaha perusahaan selama periode tahun yang bersangkutan. Aturan-aturan perpajakan tersebut mengharuskan perusahaan melakukan koreksi fiskal karena terdapat perbedaan konsep pendapatan, cara pengukuran pendapatan, konsep biaya, cara pengukuran biaya, dan cara alokasi biaya antara Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan Peraturan Perpajakan. Aturan perpajakan tetap menggunakan data dan informasi akuntansi yang telah diatur oleh Standar Akuntansi Keuangan sebagai dasar untuk menentukan koreksi-koreksi tersebut berdasarkan aturan perpajakan yang berlaku. Sumomba (2010) menyatakan bahwa beban pajak tangguhan merupakan beban yang timbul akibat perbedaan temporer antara laba akuntansi yang disusun berdasarkan SAK dengan laba fiskal yang disusun berdasarkan peraturan perpajakan. Pengertian lain mengenai beban pajak tangguhan adalah jumlah beban (penghasilan) pajak tangguhan yang muncul akibat adanya pengakuan atas liabilitas atau aset pajak tangguhan, beban pajak tangguhan akan menimbulkan liabilitas pajak tangguhan. Koreksi fiskal dapat berupa koreksi positif dan koreksi negatif (Sari, 2016). Koreksi fiskal yang mengakibatkan pengurangan biaya yang diakui dalam Laporan Laba Rugi Komersial menjadi semakin kecil, atau yang berakibat adanya penambahan penghasilan. Berbeda dengan koreksi negatif yang berakibat dengan adanya penambahan biaya yang telah diakui dalam Laporan Laba Rugi Komersial



17



menjadi semakin besar, sehingga menyebabkan penurunan laba. Koreksi negatif inilah yang akan menimbulkan beban pajak tangguhan (Muljono, 2009). Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa beban pajak tangguhan dengan indikasi koreksi negatif menimbulkan adanya kewajiban pajak tangguhan sedangkan pendapatan pajak tangguhan dengan indikasi koreksi positif akan menimbulkan aset pajak tangguhan. Ukuran yang digunakan peneliti dalam mengukur beban pajak tangguhan sebagai indikator dari manajemen laba. Manajemen laba dilakukan dengan menaikan atau menurunkan jumlah beban yang diakui dalam laporan laba rugi. Jika jumlah beban pajak tangguhan semakin rendah adanya indikator manipulasi laporan keuangan oleh manajemen. Ukuran untuk mengukur beban pajak tangguhan adalah : BPTit = Beban pajak tangguhanit Total aseti(t-1) Sumber : Khotimah (2014) Keterangan : BPTit Total aset t-1



: Beban pajak tangguhan perusahaan i pada tahun t : Total aset perusahaan i pada tahun sebelumnya



2.6.1 Perbedaan Antara SAK Dengan Peraturan Perpajakan Perbedaan antara Standar Akuntansi Keuangan dengan Peraturan Perpajakan dalam Muljono (2009) terutama dalam hal penggunaan sistem maupun metode dalam pengakuan biaya maupun penghasilan secara akuntansi komersial dengan akuntansi secara pajak, baik dalam rangka pengakuan pendapatan maupun biaya untuk mendapatkan penghasilan pajak. koreksi fiskal secara akuntansi tidak memerlukan perlakuan jurnal khusus karena pada prinsipnya koreksi fiskal tidak mengubah besarnya saldo pada rekening nominal ataupun pada rekening riil. Perbedaan yang mungkin terjadi yaitu atas besarnya pajak yang terutang yang diakui dalam Laporan Laba Rugi Komersial dengan pajak terutang menurut fiscus. Perbedaan besarnya pajak yang terutang tersebut sebetulnya tidak perlu terjadi jika perhitungan pajak yang diakui dalam laporan laba rugi komersial dilanjutkan dengan memperhitungkan adanya koreksi fiskal. Perbedaan tersebut menurut Sukrisno (2007) dapat berupa: 1. Beda Tetap menurut perbedaan ini timbul sebagi akibat adanya perbedaan pengakuan beban dan pendapatan antara pelaporan komersial dan pajak/fiskal. Penghasilan yang telah dikenakan pajak PPh final (Pasal 4 ayat 2 UU PPh), penghasilan yang bukan objek pajak (Pasal 4 ayat 3 UU PPh), pengeluaran yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, semua itu merupakan beberapa yang termasuk dalam Beda Tetap. 2. Beda Sementara/waktu perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan yang biasanya timbul dari perbedaan metode yang dipakai antara pajak dan komersial.



18



Beda waktu ini antara lain akrual dan realisasi, penyusutan dan amortisasi, penilaian persediaan, kompensasi kerugian fiskal. 2.7



Manajemen Laba



Terdapat beberapa definisi mengenai manajemen laba, diantaranya adalah definisi dari Sulistyanto (2008) menyatakan bahwa praktik manajemen laba adalah upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasiinformasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Sedangkan menurut Islahuzzaman (2012) praktik manajemen laba adalah Proses penyusunan laporan keuangan bagi pihak eksternal sehingga dapat meratakan, menaikkan dan menurunkan lapporan laba. Dimana manajemen dapat menggunakan kelonggaran penggunaan metode akuntansi. Pengertian lain tentang manajemen laba adalah suatu tindakan yang mengatur laba sesuai dengan yang dikehendaki oleh pihak tertentu atau terutama oleh manajemen perusahaan (company management). Tindakan earning mangement sebenarnya didasarkan oleh berbagai tujuan dan maksud-maksud yang terkandung didalamnya (Fahmi, 2013). Dari beberapa pengertian manajemen yang sudah disampaikan diatas, peneliti mengambil kesimpulan, bahwa manajemen laba merupakan upaya yang dilakukan pihak manajemen untuk melakukan intervensi dalam penyusunan laporan keuangan dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri, yaitu pihak perusahaan terkait. Ukuran yang digunakan peneliti dalam mengukur manajemen laba adalah : Scaled Earning Change = Net Incomeit – Net Incomei(t-1) MVEi(t-1) Sumber : Amanda dan Febrianti (2015) Keterangan : Scaled earning changes: skala perubahan laba Net incomeit : laba bersih perusahaan i pada tahun t Net incomei(t-1) : laba bersih perusahaan i pada tahun sebelumnya MVEit : nilai kapitalisasi pasar (harga saham x saham beredar) Pada penelitian ini peneliti memilih untuk mengguanakan rumus scaled earning change untuk mendeteksi adanya praktik manajemen laba pada suatu perusahaan. Peneliti memilih rumus tersebut karena rumus ini dapat menggambarkan perubahan laba dari tahun ketahun secara berskala. Perusahaan yang berada pada range 0 - 0,06 dikategorikan sebagai small profit firms yaitu diindikasikan melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian. Sedangkan perusahaan yang berada pada range -0,09 - 0 dikategorikan sebagai small loss firms yaitu perusahaan yang diindikasikan tidak melakukan manjemen laba untuk menghindari kerugian (Amanda dan Febrianti, 2015).



19



2.7.1 Teknik Merekayasa Laba Menurut Kurniawan (2015) teknik-teknik untuk melakukan manajemen laba, diantaranya sebagai berikut: 1. Earning Management within Boundary of GAAP a. Perubahan metode penyusutan b. Perubahan masa manfaat aset yang disusutkan c. Perubahan estimasi nilai-nilai aset yang disusutkan d. Penentuan penyisihan kewajiban garansi e. Penentuan penyisihan kewajiban piutang tak tertagih f. Penilaian penyisihan untuk defferend tax assets g. Estimasi tahap penyelesaian long term contract h. Estimasi kemungkinan terjadinya kalim dalam kontrak i. Estimasi penurunan nilai investasi j. Estimasi jumlah beban akrual atas restruktuasi k. Menentukan perlunya penurunan nilai persediaan l. Estimasi beban akrual lingkungan m. Membuat asumsi aktuarial untuk pension plan n. Menetukan nilai research and development cost yang boleh diakui o. Mengubah periode amortisasi intangible assets p. Memutuskan kapitalisasi biaya-biaya tertentu q. Menentukan apakah intensi mengakibatkan adanya pengaruh signifikan terhadap investee r. Menentukan permanen atau tidaknya suatu penurunan nilai investasi jangka panjang. 2. Abusive Earning Management a. Mempercepat revenue recognition yang seharusnya menjadi pendapatan periode berikutnya atau bahkan mengakui pendapatan fiktif. b. Mencatat understated expense 2.7.2 Faktor Penyebab Dilakukannnya Manajemen Laba Secara Akuntansi ada beberapa faktor yang menyebabkan suatu perusahaan berani melakukan earnings management. Menurut Fahmi (2011) ada beberapa faktor yang menyebabkan suatu perusahaan berani melakukan earnings management (manajemen laba) yaitu: 1. Standar Akuntansi Keuangan (SAK) memberikan fleksibilitas kepada manajemen untuk memilih prosedur dan metode akuntansi untuk mencatat suatu fakta tertentu dengan cara yang berbeda, seperti mempergunakan metode LIFO dan FIFO dalam menetapkan harga pokok persediaan, metode depresiasi aktiva tetap dan sebagainya. 2. SAK memberikan fleksibilitas kepada pihak manajemen dapat mengunakan judgement dalam menyusun estimasi.



20



3. Pihak manajemen perusahaan berkesempatan untuk merekayasa transaksi dengan cara menggeser pengukuran biaya dan pendapatan. Faktor lain tumbulnya manajemen laba adalah hubungan yang bersifat asimetri informasi yang pada awalnya didasarkan karena conflict of interest antara agent dan parsial. Agent adalah manajemen perusahaan (internal) dan parsial adalah komisaris perusahaan (eksternal). Pihak parsial disini tidak hanya komisaris perusahaan, tetapi juga termasuk kreditur, government dan lainnya. 2.7.3 Motivasi Manajemen Laba Sulistyanto (2008) mengemukakan terdapat beberapa motivasi terjadinya manajemen laba, yaitu: 1. Bonus Scheme Hypothesis Kompensasi bonus yang didasarkan padabesarnya laba yang dilaporkan akan memotivasi manajemen untuk memilih prosedur akuntansi yang meningkatkan keuntungan yang dilaporkan demi memaksimalkan bonus mereka. Bonus minimal hanya akan dibagikan jika laba mencapai target laba minimal tertentu dan bonus maksimal dibagikan jika laba mencpai nilai tertentu atau lebih besar. 2. Contracting Incentive Motivasi ini muncul ketika perusahaan melakukan pinjaman hutang yang berisikan perjanjian untuk melindungi kreditur dari aksi manajer yang tidak sesuai dengan kepentingan kreditur. Seperti deviden yang berlebihan, pinjaman tambahan, atau membiarkan modal kerja atau laporan ekuitas berada dibawah tingkat yang ditetapkan yang semuanya dapat meningkatkan resiko bagi kreditur, karena pelanggaran perjanjian dapat mengakibatkan biaya yang tinggi sehingga manajer perusahaan berharap untuk menghindarinya. Jadi amanjemen laba dapat muncul sebagai alat untuk mengurangi kemungkinan pelanggaran perjanjian dalam kontrak hutang. 3. Political Motivation Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan politik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat. 4. Taxation motivation Perpajakan merupakan motivasi yang paling jelas untuk melakukan manajemen laba. Manajemen berusaha untuk mengatur labanya agar pembayaran laba lebih rendah dari yang seharusnya sehingga didapat penghematan pajak. 5. Incentive Chief Executive Officer (CEO) Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dalam prospektus mereka dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.



21



2.7.4 Ambang Batas Manajemen Laba Pindiharti (2011) menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu hasil usaha untuk melewati ambang batas. Tiga ambang batas penting bagi para eksekutif yaitu: 1. Untuk melaporkan laba positif yaitu melaporkan laba yang diatas nol. 2. Untuk menjaga kinerja saat ini yaitu membuat paling tidak sama dengan tahun lalu. 3. Untuk memenuhi harapan analis khususnya untuk analis peramalan laba. 2.8



Penelitian Terdahulu



Topik penelitian ini sebelumnya sudah pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya dan ditulis dalam makalah ilmiah berupa skripsi ,tesis, disertasi dan artikel ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah. Berikut ini adalah beberapa uraian singkat mengenai hasil penelitian terdahulu yang sebelumnya telah peneliti uraikan diatas: 1. Herdawati (2015) meneliti “Analisis Pengaruh Perencanaan Pajak dan Beban Pajak Tangguhan terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI (Bursa Efek Indonesia)”. Dalam hasil Penelitian menyatakan bahwa variabel perencanaan pajak memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap manajemen laba, sedangkan beban pajak tangguhan memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap manajemen laba. 2. Ferry Aditama dan Anna Purwaningsih (2014) meneliti “Pengaruh Perencanaan Pajak Terhadap Manajemen Laba”. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa perencanaan pajak tidak berpengaruh positif terhadap manajemen laba. 3. Enny Endrianti (2013) meneliti “Pengaruh Perencanaan Pajak Terhadap Manajemen Laba”. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh terhadap tindakan manajemen laba. 4. Ratna Eka Puji Astutik (2015) meneliti “Pengaruh Perencanaan Pajak Terhadap Manajemen Laba”. Hasil penelitian ini secara parsial menunjukan bahwa perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan masing masing mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba. 5. Husnul Khotimah (2014) meneliti “Pengaruh Perencanaan Pajak Terhadap Manajemen Laba”. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa perencanaan pajak memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba. 6. Ines Putrianingsih (2016) meneliti “Pengaruh Perencanaan Pajak Terhadap Manajemen Laba”. Hasil dari penelitian ini adalah menunjukan bahwa korelasi atau hubungan antara variabel perencanaan pajak terhadap manajemen laba memiliki hubungan yang lemah. 7. Christina Ranty Sumomba (2010) meneliti “Pengaruh Beban Pajak Tangguhan dan Perencanaan Pajak Terhadap Praktik Manajemen Laba”. Hasil penelitiannya adalah perencanaan pajak berepengaruh terhadap manjemen laba sedangkan beban pajak tangguhan juga berpengaruh terhadap manajemen laba.



22



8.



No 1



Tri Wahyu Ningsih (2018) meneliti tentang “Pengaruh Beban Pajak Tangguhan, Aktiva Pajak Tangguhan dan Akrual Terhadap Manajemen Laba”. Hasil penelitiannya adalah beban pajak tangguhan dan aktiva pajak tangguhan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba sedangkan akrual memiliki pengaruh terhadap manajemen laba. Tabel 2. Hasil Penelitian Terdahulu Nama Penulis Judul Variabel Indikator Hasil Publikasi Herdawati



Analisis Pengaruh Perencanaan Pajak dan Beban Pajak Tangguhan terhadap Manajemen  Laba Pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI (Bursa Efek Indonesia)



 Variabel Independen: Perencanaan pajak



 Tax Retention Rate



Beban pajak tanggguhan



 BPTit



 Variabel Dependen : Manajemen laba



2



Ferry Aditama dan Anna Purwaningsih



Pengaruh Perencanaan Pajak Terhadap Manajemen Laba



 Variabel Independen: Perencanaan pajak  Variabel Dependen : Manajemen laba



 Scaled earning changes



 Tax Retention Rate  Distribusi



laba



 Perencanaan  Universitas Hasanudin pajak dan Makassar. Beban pajak Tahun 2015 tanngguhan berpengaruh secara simultan terhadap manajemen laba  Perencanaan pajak dan Beban pajak tanngguhan berpengaruh secara parsial terhadap manajemen laba  Berdasarkan  Universitas Atma Jaya hasil Yogyakarta penelitian menunjukan Tahun 2014 bahwa perencanaan pajak tidak berpengaruh positif terhadap manajemen laba



23



3



Enny Endrianti



Pengaruh  Variabel Perencanaan Independen Pajak : Terhadap Perencanaan Manajemen pajak Laba  Variabel Dependen : Manajemen laba



4



Ratna Eka Puji Astutik



Pengaruh  Variabel Perencanaan Independen Pajak : Terhadap Perencanaan Manajemen pajak Laba Beban pajak tanggguhan  Variabel Dependen : Manajemen laba



5



Husnul Khotimah



Pengaruh  Variabel Perencanaan Independen Pajak : Terhadap Perencanaan Manajemen



 Tax Retention Rate



 Scaled



earning changes



 Tax Retention Rate  BPTit



Distribusi laba



 Efective Tax Rate



 Berdasarkan  Universitas Islam hasil Malang. penelitian menunjukan Tahun 2013 bahwa tidak terdapat pengaruh terhadap tindakan manajemen laba.  Perencanaan  Jurnal Ilmu dan Riset pajak dan Akuntansi : Beban pajak Volume 5, tanngguhan Nomor 3. berpengaruh Sekolah secara Tinggi Ilmu simultan Ekonomi Indonesia terhadap (STIESIA) manajemen Surabaya. laba Tahun 2016 Hasil penelitian ini secara parsial menunjukan bahwa perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan masing masing mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba.  Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa perencanaan



Jurnal Bisnis dan Manajemen Vol. 4, No. 2. UIN



24



Laba



pajak  BPTit Beban pajak tanggguhan  Variabel Dependen : Manajemen laba



6



7



Ines Putrianingsih



Christina Ranty Sumomba



Pengaruh  Variabel Perencanaan Independen Pajak : Terhadap Perencanaan Manajemen pajak Laba Pada PT. Mayora Indah yang  Variabel terdaftar di Dependen BEI periode : 2001-2015 Manajemen laba Pengaruh Beban Pajak Tangguhan dan Perencanaan Pajak Terhadap Praktik Manajemen Laba



 Variabel Independen : Beban pajak tanggguhan Perencanaan pajak  Variabel Dependen : Manajemen laba



pajak memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba



Syarif Hidayatulla h Jakarta Tahun 2014



Hasil dari penelitian ini adalah menunjukan bahwa korelasi atau hubungan antara variabel perencanaan pajak terhadap manajemen laba memiliki hubungan yang lemah.



Universitas Bhayangkar a Jakarta Raya. Tahun 2018



Hasil penelitiannya adalah perencanaan pajak berepengaruh terhadap manjemen laba sedangkan beban pajak tangguhan juga berpengaruh terhadap manajemen laba



Universitas Atma Jaya Yogyakarta Tahun 2010



discretionar y current accruals



 Tax Retention Rate



Scaled earning changes



 BPTit



 Tax Retention Rate



Scaled earning changes



25



8



Tri Wahyu Ningsih



Pengaruh  Variabel Beban Pajak Independen Tangguhan, : BPTit Aktiva Pajak Beban Tangguhan pajak dan Akrual tanggguhan Terhadap Manajemen APTit Aktiva pajak Laba tangguhan Akrual  Variabel Dependen : Manajemen laba



TACCit



Distribusi laba



Hasil penelitiannya adalah beban pajak tangguhan dan aktiva pajak tangguhan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba sedangkan akrual memiliki pengaruh terhadap manajemen laba.



Universitas Pakuan Tahun 2018



Sumber : Penelitian yang terkait (2018) 2.9 Kerangka Pemikiran 2.9.1 Pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba Hubungan antara perencanaan pajak dan manajemen laba dapat dijelaskan dengan menggunakan teori keagenan dan teori akuntansi positif yang mana intinya adalah pihak perusahaan dan pemerintah masing-masing memiliki kepentingan tersendiri terkait pembayaran pajak. Perusahaan ingin membayar pajak seminimal mungkin sedangkan pemerintah membutuhkan penerimaan dari pajak untuk membiayai pengeluaran pemerintahannya. Scott (2003) mengungkapkan bahwa ada beberapa motivasi yang mendorong manajemen untuk melakukan manajemen laba, salah satunya adalah motivasi pajak. Praktik manajemen laba diduga untuk mempengaruhi besarnya pajak yang harus dibayar oleh perusahaan dengan cara menurunkan laba sebelum pajak untuk mengurangi beban pajak yang harus dibayar. Hal ini didukung penelitian Khotimah (2014), Sumomba (2010), Astutik (2016) dan Herdawati (2015) membuktikan adanya pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba. 2.9.2



Pengaruh beban pajak tangguhan terhadap manajemen laba



Selisih negatif antara laba akuntansi dan laba fiskal yang menimbulkan terjadinya beban pajak tangguhan atau juga disebut kewajiban pajak tangguhan. Beban yang besar akan menurunkan tingkat laba yang diperoleh suatu perusahaan, begitu pula sebaliknya beban yang sedikit akan menaikan tingkat laba yang diperoleh perusahaan. Mengacu pada pernyataan tersebut, maka dapat diperkirakan adanya



26



peranan antara beban pajak tangguhan yang dapat dimungkinkan dapat digunakan sebagai indikator adanya manajemen laba. Manajemen laba dilakukan dengan menaikan atau menurunkan jumlah beban yang diakui dalam laporan laba rugi. Jika jumlah beban pajak tangguhan semakin rendah diduga adanya indikator manipulasi laporan keuangan oleh manajemen. Hal ini didukung oleh penelitian Herdawati (2015), Astutik (2016), Khotimah (2014) dan Sumomba (2010) membuktikan adanya pengaruh beban pajak tangguhan terhadap manajemen laba. Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat mengenai pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba, dapat disimpulkan menjadi kerangka pemikiran yang berbentuk grafik sebagai berikut :



TRRit H1 (X1) H2 BPTit (X2)



Scaled Earning Changes (Y)



H3



Gambar 1. Kerangka Pemikiran Teoritis



2.10 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan suatu asumsi atau dugaan sementara yang digunakan untuk menjelaskan dugaan tersebut dengan menguji kebenarannya lebih lanjut. Berdasarkan kerangka pemikiran penulis menarik hipotesis: H1: Perencanaan pajak berpengaruh terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. H2: Beban pajak tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. H3: Perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan secara bersama-sama berpengaruh terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.



27



BAB III METODE PENELITIAN 3.1



Jenis Penelitian



Jenis penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian verifikatif dengan metode explanatory survey. Jenis penelitian verifikatif itu sendiri adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk menguji hipotesis, yang umumnya merupakan penelitian yang menjelaskan fenomena dalam bentuk hubungan antar variabel. Penelitian ini bertujuan menguji dan memberikan bukti empiris tentang pengaruh antar variabel independen yaitu perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan terhadap variabel dependen manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 3.2 Objek, Unit Analisis, dan Lokasi Penelitian 3.2.1 Objek Penelitian Objek penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah perencanaan pajak yang merupakan variabel independen/variabel bebas yang merupakan variabel yang mempengaruhi atau sebab perubahan timbulnya variabel terkait. Pada penelitian ini ditambahkan proksi beban pajak tangguhan. Sedangkan manajemen laba merupakan variabel dependen/variabel yang dipengaruhi akibat adanya variabel independen. 3.2.2 Unit Analisis Unit analisis merupakan agregasi data dalam penelitian. Unit analisis yang ditentukan berdasarkan rumusan masalah atau pertanyaan penelitian, merupakan elemen yang penting dalam desain penelitian karena mempengaruhi proses pemilihan, pengumpulan dan analisis data. Unit analisis dalam penelitian ini adalah organisasi (organization), yaitu sumber data yang unit analisisnya merupakan respon dari divisi organisasi atau Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Unit analisisnya adalah laporan keuangan. 3.2.3 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah tempat variabel-variabel dianalisis, lokasi penelitian pada penelitian ini merupakan Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2013-2017. 3.3



Jenis Dan Sumber Data



Jenis data yang akan digunakan pada penelitian ini adalah data kuantitatif yang merupakan data mengenai jumlah, tingkatan, perbandingan, volume, yang berupa angka-angka yaitu berupa laporan keuangan tahunan. Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder, untuk data berupa laporan keuangan tahunan diperoleh dari situs Bursa Efek Indonesia yaitu www.idx.co.id. Sedangkan untuk data sekunder yang berupa informasi saham



28



diperoleh dari www.sahamok.com di situs ini peneliti akan menggunakan informasi saham dan nilai kapitalisasi pasar nya. 3.4



Operasionalisasi Variabel



Variabel bebas (independen) menurut Sugiyono (2013) merupakan suatu Variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat (dependen). Dalam hal ini variabel independennya merupakan perencanaan pajak dan ditambah proksi beban pajak tangguhan. Variabel terikat (dependen) menurut Sugiyono (2013) merupakan Variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel independen. Dalam penelitian ini variabel dependennya adalah manajemen laba. Secara lengkap operasionalisasi varaibel dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 3 sebagai berikut : Tabel 3. Operasionalisasi Variabel Variabel Perencanaan pajak (Independen/X1)



Indikator Net income Laba sebelum pajak



Ukuran Net income it Pretax Income (EBIT)it



Skala Rasio



Beban pajak tangguhan (Independen/X2)



Beban pajak tangguhan Total aset



BPTit = Beban pajak tangguhanit Total aset t-1



Rasio



Manajemen laba (Dependen/Y)



Net income Market value equity



SEC=Net incomeit –Net incomei(t-1) MVEi (t-1) MVE = Harga saham x saham beredar



Rasio



TRRit =



Sumber: Data diolah peneliti (2018) 3.5



Metode Penarikan Sampel Penelitian ini menggunakan sampel data berupa laporan keuangan tahunan. Yang diperoleh dari situs Bursa Efek Indonesia. Teknik penarikan sampel yang akan dilakukan oleh peneliti pada penelitian ini adalah purposive sampling. Sujarweni (2014) menyatakan bahwa metode purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan atau kriteria-kriteria tertentu. Adapun kriteria-kriteria untuk penarikan sampelnya adalah sebagai berikut: 1. Perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan telah di audit oleh auditor independen periode 2013-2017. 2. Perusahaan-perusahaan manufaktur yang tidak delisting dari Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2013-2017. 3. Perusahaan-perusahaan manufaktur yang telah melakukan IPO sejak tahun 2013. 4. Perusahaan-perusahaan manufaktur periode 2013-2017 yang menyajikan laporan keuangan dalam mata uang Rupiah (IDR).



29



5. Perusahaan-perusahaan manufaktur periode 2013-2017 yang tidak memiliki laba negatif atau mengalami kerugian. 6. Perusahaan-perusahaan manufaktur periode 2013-2017 yang menerbitkan laporan keuangan secara konsisten setiap tahun selama periode penelitian dan memiliki data yang dibutuhkan oleh peneliti. 7. Data yang tidak mengalami outlier.



NO. 1.



2. 3. 4. 5. 6.



7. 8.



Tabel 4. Proses Seleksi Sampel Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2013-2017. Kriteria Jumlah Perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek 161 Indonesia (BEI) dan telah di audit oleh auditor independen periode 2013-2017. Perusahaan-perusahaan manufaktur yang delisting dari Bursa Efek (5) Indonesia (BEI) periode 2013-2017. Perusahaan-perusahaan manufaktur yang melakukan IPO setelah (15) tahun 2013. Perusahaan-perusahaan manufaktur periode 2013-2017 yang tidak (22) menyajikan laporan keuangan dalam mata uang Rupiah (IDR). Perusahaan-perusahaan manufaktur periode 2013-2017 yang (45) memiliki laba negatif atau mengalami kerugian. Perusahaan-perusahaan manufaktur periode 2013-2017 yang tidak (51) menerbitkan laporan keuangan secara konsisten setiap tahun selama periode penelitian dan tidak memiliki data yang dibutuhkan oleh peneliti. Data yang mengalami outlier Total perusahaan yang dijadikan sampel. 23



Tabel 5. Daftar Sampel Perusahaan Manufaktur Periode 2013-2017. No. Kode Emiten Nama Perusahaan 1 PT Asahimas Flat Glass Tbk AMFG 2 PT Arwana Citra Mulia Tbk ARNA 3 PT Indal Alumunium Industry Tbk INAI 4 PT Champion Pasific Indonesia Tbk IGAR 5 PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk JPFA 6 PT Kadaung Setia Industrial Tbk KDSI 7 PT KMI Wire and Cable Tbk KBLI 8 PT Mayora Indah Tbk MYOR 9 PT Merck Tbk MERK 10 PT Mandom Indonesia Tbk TCID 11 PT Trias Sentosa Tbk TRST 12 PT Indo Acidatama Tbk SRSN 13 PT Alkindo Naratama Tbk ALDO 14 PT Argha Karya Prima Industry Tbk AKPI



30



15 PT Akasha Wira International Tbk 16 PT Star Petrochem Tbk 17 PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk 18 PT Gudang Garam Tbk 19 PT Astra International Tbk 20 PT Intanwijaya Internasional Tbk 21 PT Budi Starch & Sweetener Tbk 22 PT Kabelindo Murni Tbk 23 PT Nusantara Inti Corpora Tbk Sumber: www.idx.co.id (2018) 3.6



ADES STAR HMSP GGRM ASII INCI BUDI KBLM UNIT



Metode Pengumpulan Data



Metode pengumpulan data yang digunakan oleh penulis melalui beberapa jenis metode pengumpulan data dan informasi, yaitu dengan cara penelitian data sekunder. Dalam membuat penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Riset Kepustakaan (Library Research) Riset kepustakaan yakni riset dengan mengumpulkan bahan atau data-data yang ada kaitannya dengan objek pembahasan, yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan, yaitu dengan mempelajari, meneliti, mengkaji, serta menelaah buku-buku, jurnal akuntansi. Riset kepustakaan juga mempelajari literaturliteratur serta membaca catatan perkuliahan yang berhubungan permasalahan untuk mendapatkan teori, definisi, dan analisa yang dapat digunakan dalam penelitian ini. 2. Dokumentasi Melakukan pengumpulan data dengan cara menggandakan data yang ada atau dengan cara membuat salinan (mendownload) laporan keuangan emiten yang diperoleh dari Bursa Efek Indonesia melalui akses www.idx.co.id. 3.7



Metode Pengolahan/Analisis Data



Analisis data merupakan bagian dari proses pengujian data yang hasilnya digunakan sebagai bukti yang memadai untuk menarik keimpulan penelitian. Agar hasilnya memberikan bukti yang meyakinkan, umumnya peneliti menggunakan teknik statistik untuk menganalisis data penelitian. Teknik-teknik statistik yang digunakan tergantung pada konteks jawaban atau pemecahan masalah yang diinginkan dalam penelitian. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan software SPSS. SPSS merupakan sebuah program untuk olah data statistik yang paling popular dan paling banyak pemakaiannya di seluruh dunia dan banyak digunakan oleh para peneliti untuk berbagai keperluan seperti riset pasar, untuk menyelesaikan tugas penelitian seperti skripsi, tesis dan sebagainya. Data yang telah dikumpulkan mengenai semua variabel penelitian kemudian diolah atau dianalisis dengan cara sebagai berikut:



31



3.7.1



Analisis Regresi Linier Berganda Analisis ini dipakai untuk mengetahui bagaimana hubungan antara dua variabel atau lebih. Formulasi persamaan analisis regresi linier berganda dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 𝑌 = 𝑎 + 𝑏1𝑋1 + 𝑏2𝑋2 + 𝑒 𝑌



= Manajemen laba



𝛼



= Konstanta



𝑏1𝑋1



= Koefisien regresi prencanaan pajak



𝑏2𝑋2



= Koefisien regresi beban pajak tangguhan



𝑒



= Kesalahan residual



Langkah-langkah analisis data dan pengujian hipotesis yang akan dilakukan sebagai berikut : 3.7.2



Uji Asumsi Klasik



Sebuah model regresi akan dapat dipakai untuk prediksi jika memenuhi sejumlah asumsi, yang disebut dengan asumsi klasik. Dalam praktik, sebuah model regresi akan sulit untuk memenuhi semua asumsi yang ada. Walaupun demikian, pelanggaran yang signifikan terhadap asumsi yang ada akan mengakibatkan prediksi menjadi bias. A. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk menyelidiki apakah data yang dikumpulkan mengikuti dugaan distribusi normal atau tidak. Untuk melakukan uji normalitas dapat dengan memakai uji sebagai berikut: a. Kolmogorof-Smirnov, merupakan uji normalitas untuk sampel besar dan untuk mengetahui apakah distribusi data pada tiap-tiap variabel normal atau tidak. Kriteria pengambilan keputusan yaitu jika 0,05 < nilai signifikan maka dapat dikatakan bahwa data berdistribusi normal. b. Pengujian normal probability plot menurut Ghazali (2016), yaitu sebagai berikut: 1. Jika data menyebar disekitar garis diagonal yang mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukan pola distribusi normal. 2. Jika data menyebar jauh dari diagonal dan tidak mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogram tidak menunjukan pola distribusi normal. B. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas ini bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel beban (independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen. Untuk



32



menguji ada atau tidaknya multikolinieritas didalam model regresi dapat dilihat dari (1) nilai tolerance dan lawannya, (2) Variance Inflation Factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Dalam pengertian ini sederhana setiap variabel independen menjadi variabel dependen dan diregres terhadap variabel independen lainnya. Tolerance mengukur variabilitas variabel independen yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan VIF tinggi (karena VIF=1/Tolerance). Nilai cutoff yang umum dipakai untuk menunjukan adanya multikolonieritas adalah nilai tolerance < 0,10 atau sama dengan nilai VIF > 10. C. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan juga berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Dasar analisis uji heteroskedastisitas adalah (Ghazali,2016): 1. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu secara teratur, maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas. 2. Jika tidak ada pola yang jelas, seta titik-titik menyebar diatas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas. D. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. Autokorelasi muncul karena adanya observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Masalah ini timbul karena residual (kesalahan pengganggu) tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya. Hal ini sering ditemukan pada runtut waktu karena “gangguan” pada seseorang individu atau kelompok cenderung mempengaruhi “gangguan” pada individu atau kelompok yang sama pada periode berikutnya. 3.7.3 Uji Hipotesis 1. Analisis Determinasi Analisis koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan model pengaruh variabel independen secara serentak terhadap variabel dependen. Setiap tambahan satu variabel independen, maka koefisien determinasi pasti meningkat tidak perduli apakah variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Dengan maksud, semakin besar



33



nilai koefisien determinasi berarti semakin besr sumbangan pengaruh dari variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen (Ghazali,2016). 2. Uji Parsial (Uji t) Uji parsial biasanya menunjukan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam mempengaruhi variabel dependen. Dasar pengambilan keputusan yang digunakan adalah : A. Jika nilai t hasil perhitungan yang diperoleh dari hasil pengolahan nilainya lebih besaar dari t tabel, maka dapat disimpulkan ada pengaruh secara parsial antara variabel independen dengan variabel dependen. B. Jika nilai t hasil perhitungan yang diperoleh dari hasil pengolahan nilainya lebih kecil dari t tabel, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh secara parsial antara variabel independen dengan variabel dependen. Berdasarkan tingkat signifikan: a. H0.1 jika Sig. < 0,05 maka perencanaan pajak secara parsial berpengaruh terhadap manajemen laba. H1.1 jika Sig. > 0,05 maka perencanaan pajak secara parsial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. b. H0.1 jika Sig. < 0,05 maka beban pajak tangguhan secara parsial berpengaruh terhadap manajemen laba. H1.1 jika Sig. > 0,05 maka beban pajak tangguhan secara parsial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. 3. Uji Simultan (Uji F) Uji F atau koefisien regresi secara serentak, yaitu untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara simultan terhadap variabel dependen, apakah pengaruhnya signifikan atau tidak. Dasar pengambilan keputusan yang digunakan adalah : 1. Jika F hitung yang diperoleh hasil pengolahan nilainya lebih besar dari F tabel, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh secara simultan antara semua variabel indenpenden dengan variabel dependen. 2. Jika F hitung yang diperoleh hasil pengolahan nilainya lebih kecil dari F tabel, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh secara simultan antara semua variabel indenpenden dengan variabel dependen. Berdasarkan tingkat signifikan : 1. H0.4 jika Sig. < 0,05 maka perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan secara simultan berpengaruh terhadap manajemen laba. 2. H1.4 jika Sig. > 0,05 maka maka perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan secara simultan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.



34



BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1



Gambaran Umum Lokasi Penelitian



Data yang dikumpulkan berupa laporan keuangan yang telah diaudit dari perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2013-2017. Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pemilihan sampel dengan metode purposive sampling atau penentuan sampel yang diambil berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang telah dirumuskan terlebih dahulu oleh peneliti terhadap sampel penelitian yaitu perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2013-2017. Total perusahaanperusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 20132017 berjumlah 161 perusahaan dan perusahaan-perusahaan manufaktur yang akan dijadikan sampel pada penelitian ini berjumlah perusahaan 10 perusahaan. Hasil tersebut didapatkan dari pemilihan sampel dengan menggunakan metode purposive sampling. Proses seleksi sampel berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan disajikan dalam tabel 6 sebagai berikut:



NO.



Tabel 6. Proses Seleksi Sampel Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2013-2017. Kriteria Jumlah



1.



Perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan telah di audit oleh auditor independen periode 2013-2017.



161



2.



Perusahaan-perusahaan manufaktur yang delisting dari Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2013-2017.



(5)



3.



Perusahaan-perusahaan manufaktur yang tidak melakukan IPO sejak tahun 2013.



(15)



4.



Perusahaan-perusahaan manufaktur periode 2013-2017 yang tidak menyajikan laporan keuangan dalam mata uang Rupiah (IDR).



(22)



5.



Perusahaan-perusahaan manufaktur periode 2013-2017 yang memiliki laba negatif atau mengalami kerugian.



(45)



6.



Perusahaan-perusahaan manufaktur periode 2013-2017 yang tidak menerbitkan laporan keuangan secara konsisten setiap tahun selama periode penelitian dan tidak memiliki data yang dibutuhkan oleh peneliti.



(51)



7.



Data outlier



(13)



8.



Total perusahaan yang dijadikan sampel.



10



35



Sumber : Data yang diolah peneliti (2018) Dalam penelitian ini penulis akan meneliti perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2013-2017. Total perusahaan manufaktur yang akan di jadikan sampel oleh penulis sebanyak 10 perusahaan. Berikut ini adalah daftar perusahaan-perusahaan yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini yaitu : Tabel 7. Daftar Sampel Perusahaan Manufaktur Periode 2013-2017. No



Nama Perusahaan



1 Asahimas Flat Glass Tbk 2 Arwana Citra Mulia Tbk 3 Indal Alumunium Industry Tbk 4 Champion Pasific Indonesia Tbk 5 Japfa Comfeed Indonesia Tbk 6 Kadaung Setia Industrial Tbk 7 KMI Wire and Cable Tbk 8 Mayora Indah Tbk 9 Merck Tbk 10 Mandom Indonesia Tbk Sumber : Data yang diolah peneliti (2018)



Kode Perusahaan AMFG ARNA INAI IGAR JPFA KDSI KBLI MYOR MERK TCID



Berikut ini merupakan gambaran umum perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2013-2017 yang dijadikan sampel dalam penelitian ini : 1. PT Asahimas Flat Glass Tbk (AMFG) PT Asahimas Flat Glass Tbk didirikan pada tanggal 07 Oktober 1971 dengan nama Asahimas Flat Glass Co., LTd., dan mulai operasi secara komersial pada bulan april 1973. Berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan PT Asahimas Flat Glass Tbk bergerak dalam bidang indutri kaca, ekspor dan impor, dan jasa sertifikasi mutu berbagai jenis kaca. Pada tanggal 18 oktober 1995, PT Asahimas Flat Glass Tbk memperoleh pernyataan efektif dari BAPEPAM-LK untuk melakukan Penawaran Umum Saham Perdana PT Asahimas Flat Glass Tbk (IPO) kepada masyarakat sebanyak 86.000.000 saham dengan nilai nominal Rp500 per saham serta harga penawaran Rp2.450 per saham. Pada tanggal 18 Desember tahun 2000 saham tersebut telah dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia. 2.



PT Arwana Citra Mulia Tbk (ARNA) PT Arwana Citra Mulia Tbk adalah perusahaan terbuka yang bergerak di bidang industri keramik dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Didirikan pada tanggal 22 Februari 1993 dan mulai beroperasi secara komersial pada tahun 1995 dan kapasitas terpasang 2,88 juta m2 per tahun, dan berkembang



36



menjadi 49,37 juta m2 per tahun saat ini. Pada tanggal 28 Juni 2001, PT Arwana Citra Mulia Tbk memperoleh pernyataan efektif BAPEPAM-LK untuk melakukan penawaran umum perdana PT Arwana Citra Mulia Tbk (IPO) kepada masyarakat sebanyak 125.000.000 saham dengan nilai nominal Rp100 setiap saham dengan harga penawaran Rp120 setiap saham. Saham-saham tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 17 Juli 2001.



3.



PT Indal Aluminium Industry Tbk (Indal) (INAI) Indal Aluminium Industry Tbk (Indal) (INAI) didirikan tanggal 16 Juli 1971 dan memulai kegiatan usaha komersialnya pada tahun 1974. Berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan INAI terutama adalah bidang manufaktur aluminium sheets, rolling mill, dan extrusion plant. Kegiatan produksi INAI adalah mengolah bahan baku aluminium ingot menjadi aluminium ekstrusion profil yang banyak digunakan dalam industri konstruksi, peralatan rumah tangga, komponen elektronik/otomotif, dan sebagainya.Pada tanggal 10 Nopember 1994, INAI memperoleh pernyataan efektif dari Bapepam-LK untuk melakukan Penawaran Umum Perdana Saham INAI (IPO) kepada masyarakat sebanyak 13.200.000 dengan nilai nominal Rp1.000,- per saham dengan harga penawaran Rp3.950,- per saham. Sahamsaham tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 05 Desember 1994.



4.



PT Champion Pasific Indonesia Tbk (IGAR) Champion Pacific Indonesia Tbk (dahulu PT Kageo Igar Jaya Tbk) (IGAR) didirikan tanggal 30 Oktober 1975 dengan nama PT Igar Jaya dan memulai kegiatan usaha komersialnya pada tahun 1977. Induk usaha dari Champion Pacific Indonesia Tbk adalah PT Kingsford Holdings, sedangkan pengendali terakhir dari IGAR adalah Patrick Tak Kee Yu. Pemegang saham yang memiliki 5% atau lebih saham Champion Pacific Indonesia Tbk, antara lain: PT Kingsford Holdings (79,42%) dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) (5,40%). Berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan IGAR terutama bergerak dalam bidang industri wadah dan kemasan dari bahan plastik (seperti botol plastik, tabung-tabung suntik dan tempat kosmetika) yang digunakan untuk keperluan industri farmasi, makanan dan kosmetika, dan kegiatan investasi pada perusahaan lain. Kegiatan usaha IGAR dan anak usaha (PT Avesta Continental Pack dan PT Indogravure) adalah bergerak di industri kemasan, terutama untuk kemasan industri farmasi. Pada tahun 1990, IGAR memperoleh pernyataan efektif dari Bapepam-LK untuk melakukan Penawaran Umum Perdana Saham IGAR (IPO) kepada masyarakat sebanyak 1.750.000 dengan nilai nominal Rp1.000,- per saham dengan harga penawaran Rp5.100,per saham. Saham-saham tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 05 Nopember 1990.



37



5.



6.



PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) didirikan tanggal 18 Januari 1971 dengan nama PT Java Pelletizing Factory, Ltd dan memulai kegiatan usaha komersialnya pada tahun 1971. Berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan JPFA meliputi bidang pengolahan segala macam bahan untuk pembuatan/produksi bahan makanan hewan, kopra dan bahan lain yang mengandung minyak nabati, gaplek dan lain-lain; mengusahakan pembibitan, peternakan ayam dan usaha peternakan lainnya, meliputi budi daya seluruh jenis peternakan, perunggasan, perikanan dan usaha lain yang terkait, dan menjalankan perdagangan dalam dan luar negeri dari bahan serta hasil produksi. Merek utama dari produk-produk Japfa Comfeed, antara lain: pakan ternak (Comfeed dan Benefeed), produk daging ayam segar (Best Chicken dan Tora-Tora), daging (Tokusen Wagyu Beef) dan produk vaksin (Vaqsimune). Pada tanggal 31 Agustus 1989, JPFA memperoleh pernyataan efektif dari Bapepam-LK untuk melakukan Penawaran Umum Perdana Saham JPFA (IPO) kepada masyarakat sebanyak 4.000.000 dengan nilai nominal Rp1.000,- per saham dengan harga penawaran Rp7.200,- per saham. Saham-saham tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 23 Oktober 1989. PT Kedawung Setia Industrial Tbk (KDSI) Kedawung Setia Industrial Tbk (KDSI) didirikan tanggal 09 Januari 1973 dengan nama PT Kedaung Setia Industrial Ltd dan memulai kegiatan usaha komersialnya pada tahun 1975. Berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan KDSI meliputi Industri barang-barang logam berlapis enamel, aluminium, dan barang-barang plastik dan kerajinan tangan terutama alat-alat dapur serta alat-alat rumah tangga yang dioperasikan secara elektronik; pembangunan yang meliputi usaha rancang bangun, pemborongan, developer real estate; perdagangan umum, termasuk impor dan ekspor, interinsulair dan lokal, dari semua barang yang dapat diperdagangkan. Kegiatan usaha utama Kedawung Setia Industrial Tbk adalah bergerak di bidang peralatan rumah tangga berlapis enamel dan melalui anak usaha (PT Kedawung Setia Corrugated Carton Box Industrial) KDSI menjalankan usaha dalam bidang industri kotak karton gelombang dan tempat penyimpanan telur. Selain itu, KDSI juga mengembangkan usaha dengan memproduksi barang konstruksi berlapis enamel (dapat digunakan untuk atap stadion dan kubah masjid) dan tikar plasting dari bahan biji plastik polypropylene. Pada tanggal 28 Juni 1996, KDSI memperoleh pernyataan efektif dari Bapepam-LK untuk melakukan Penawaran Umum Perdana Saham KDSI (IPO) kepada masyarakat sebanyak 50.000.000 dengan nilai nominal Rp500,- per saham dengan harga penawaran Rp800,- per saham. Saham-saham tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 29 Juli 1996.



38



7. PT KMI Wire and Cable Tbk (dahulu GT Kabel Indonesia Tbk) (KBLI) KMI Wire and Cable Tbk (dahulu GT Kabel Indonesia Tbk) (KBLI) didirikan tanggal 09 Januari 1972 dalam rangka Penanaman Modal Asing “PMA” dan memulai kegiatan usaha komersialnya pada tahun 1974. Berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan KBLI terutama meliputi bidang pembuatan kabel dan kawat aluminium dan tembaga serta bahan baku lainnya untuk listrik, elektronika, telekomunikasi, baik yang terbungkus maupun tidak terbungkus, beserta seluruh komponen, suku cadang, assesori yang terkait dan perlengkapan-perlengkapannya, termasuk teknik rekayasa kawat dan kabel. KBLI memproduksi lebih dari 2.000 jenis dan ukuran kabel, diantaranya kabel listrik tegangan rendah dan menengah, kabel kontrol serta kabel spesial lainnya seperti kabel data/instrumen, kabel flame retardant dan tahan api, kabel berjaket nylon dll. Selain itu, KBLI juga memproduksi berbagai jenis penghantar telanjang berbahan kawat tembaga, aluminium dan aluminium campuran yang banyak digunakan untuk transmisi dan distribusi tenaga listrik saluran udara. Pada tanggal 08 Juni 1992, KBLI memperoleh pernyataan efektif dari Bapepam-LK untuk melakukan Penawaran Umum Perdana Saham KBLI (IPO) kepada masyarakat sebanyak 10.000.000 dengan nilai nominal Rp1.000,- per saham dengan harga penawaran Rp3.500,- per saham. Sahamsaham tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 06 Juli 1992. 8. PT Mayora Indah Tbk (MYOR) Mayora Indah Tbk (MYOR) didirikan 17 Februari 1977 dan mulai beroperasi secara komersial pada bulan Mei 1978. Berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan Mayora adalah menjalankan usaha dalam bidang industri, perdagangan serta agen/perwakilan. Saat ini, Mayora menjalankan bidang usaha industri biskuit (Roma, Danisa, Royal Choice, Better, Muuch Better, Slai O Lai, Sari Gandum, Sari Gandum Sandwich, Coffeejoy, Chees’kress.), kembang gula (Kopiko, KIS, Tamarin dan Juizy Milk), wafer (beng beng, Astor, Roma), coklat (Choki-choki), kopi (Torabika dan Kopiko) dan makanan kesehatan (Energen) serta menjual produknya di pasar lokal dan luar negeri. Pada tanggal 25 Mei 1990, MYOR memperoleh pernyataan efektif dari Bapepam-LK untuk melakukan Penawaran Umum Perdana Saham MYOR (IPO) kepada masyarakat sebanyak 3.000.000 dengan nilai nominal Rp1.000,- per saham dengan harga penawaran Rp9.300,- per saham. Saham-saham tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 04 Juli 1990. 9. PT Merck Tbk (dahulu PT Merck Indonesia Tbk) (MERK) Merck Tbk (dahulu PT Merck Indonesia Tbk) (MERK) didirikan 14 Oktober 1970 dan mulai beroperasi secara komersial pada tahun 1974. Berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan MERK adalah bergerak



39



dalam bidang industri, perdagangan, jasa konsultasi manajemen, jasa penyewaan kantor/properti dan layanan yang terkait dengan kegiatan usaha. Kegiatan utama Merck saat ini adalah memasarkan produk-produk obat tanpa resep dan obat peresepan; produk terapi yang berhubungan dengan kesuburan, diabetes, neurologis dan kardiologis; serta menawarkan berbagai instrumen kimia dan produk kimia yang mutakhir untuk bio-riset, bio-produksi dan segmen-segmen terkait. Merek utama yang dipasarkan Merck adalah Sangobion dan Neurobion. Pada tanggal 23 Juni 1981, MERK memperoleh pernyataan efektif dari Bapepam-LK untuk melakukan Penawaran Umum Perdana Saham MERK (IPO) kepada masyarakat sebanyak 1.680.000 dengan nilai nominal Rp1.000,- per saham dengan harga penawaran Rp1.900,- per saham. Saham-saham tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 23 Juli 1981. 10. PT Mandom Indonesia Tbk (TCID) Mandom Indonesia Tbk (TCID) didirikan tanggal 5 Nopember 1969 dengan nama PT Tancho Indonesia dan mulai berproduksi secara komersial pada bulan April 1971. Berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan TCID meliputi produksi dan perdagangan kosmetika, wangi-wangian, bahan pembersih dan kemasan plastik termasuk bahan baku, mesin dan alat produksi untuk produksi dan kegiatan usaha penunjang adalah perdagangan impor produk kosmetika, wangi-wangian, bahan pembersih. Mandom memiliki 2 merek dagang utama yaitu Gatsby dan Pixy. Selain itu, Mandom juga memproduksi berbagai macam produk lain dengan merek pucelle, Lucido-L, Tancho, Mandom, Spalding, Lovillea, Miratone, dan lain-lain termasuk beberapa merek yang khusus ditujukan untuk ekspor. Pada tanggal 28 Agustus 1993, TCID memperoleh pernyataan efektif dari BAPEPAM-LK untuk melakukan Penawaran Umum Perdana Saham TCID (IPO) kepada masyarakat sebanyak 4.400.000 saham dengan nilai nominal Rp1.000,- per saham dan harga penawaran Rp7.350,- per saham. Saham-saham tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 30 September 1993. 4.2



Kondisi Perencanaan Pajak Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)



Tingkat perencanaan pajak yang dihitung dengan proksi TRR (Tax Retention Rate) pada perusahaan manufaktur selama periode 2013-2017. Yang menganalisis suatu ukuran dari efektivitas manajemen pajak pada laporan keuangan perusahaan tahun berjalan (Wild et al., 2004). Ukuran efektifitas manajemen pajak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ukuran efektifitas perencanaan pajak. TRR yang tinggi maka perencanaan pajak juga tinggi. Hal tersebut berarti bahwa TRR yang tinggi menunjukkan bahwa perencanaan pajak yang dilakukan perusahaan semakin efektif. Sebaliknya apabila TRR rendah maka perencanaan pajak



40



perusahaan menjadi kurang efektif (Wardani & Santi, 2018). Berikut ini data yang disajikan pada tabel 8: Tabel 8. Data Perencanaan Pajak Tahun 2013-2017 Kode Emiten 2013 2014 AMFG 0,750 0,766 ARNA 0,751 0,751 INAI 0,441 0,675 IGAR 0,723 0,723 JPFA 0,715 0,710 KDSI 0,763 0,766 KBLI 0,699 0,747 MYOR 0,780 0,773 MERK 0,747 0,880 TCID 0,733 0,728 MIN 0,441 0,675 MAX 0,780 0,880 MEAN 0,7102 0,7519 Sumber : Data yang diolah peneliti (2018)



2015 0,735 0,745 0,501 0,813 0,751 0,770 0,768 0,762 0,734 0,933 0,501 0,933 0,7512



2016 0,747 0,737 0,611 0,723 0,784 0,739 0,865 0,752 0,715 0,731 0,611 0,865 0,7404



2017 0,606 0,735 0,739 0,755 0,636 0,738 0,836 0,745 0,703 0,736 0,606 0,836 0,7229



Berdasarkan tabel 8 diatas, perencanaan pajak yang diproksikan dengan Tax Retention Rate pada PT Asahimas Flat Glass Tbk (AMFG) memiliki nilai perencanaan pajak yang fluktuatif selama periode 2013 sampai 2017. Dimana pada periode tersebut terjadi 2 kali penurunan tingkat perencanaan pajak yang cukup besar. Yaitu pada tahun 2013 dan 2014 terjadi penurunan sebesar 0,16. Kemudian pada tahun 2016 dan 2017, penurunan yang terjadi cukup besar yaitu sebesar 0,141. Penurunan tingkat perencanaan pajak tersebut menunjukkan bahwa perencanaan pajak yang dilakukan oleh PT Asahimas Flat Glass Tbk kurang efektif. Tingkat perencanaan pajak tertinggi ada di tahun 2014, yaitu sebesar 0,766. Ini menunjukkan bahwa pada tahun 2014 perencanaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan sudah efektif. Kemudian tingkat perencanaan pajak terendah ada di tahun 2017 yaitu sebesar 0,606. Sementara itu rata-rata tingkat perencanaan pajak selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,7208. PT Arwana Citra Mulia Tbk (ARNA) selama periode 2013 dan 2015 memiliki tingkat perencanaan pajak yang sama yaitu sebesar 0,751. Dimana pada periode tersebut tingkat perencanaan pajaknya adalah yang tertinggi. Kemudian dari periode 2014 sampai 2017 tingkat perencanaan pajak pada PT Arwana Citra Mulia Tbk terus mengalami penurunan. Dimana penurunan terbesar terjadi pada tahun 2015 dan 2016 yaitu sebesar 0,08. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode 2014 sampai 2017 perencanaan pajak yang dilakukan oleh PT Arwana Citra Mulia Tbk kurang efektif karena terus mengalami penurunan. Tingkat rata-rata perencanaan pajak PT Arwana Citra Mulia Tbk selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,7438.



41



Pada PT Indal Alumunium Industry Tbk (INAI) selama periode 2013 sampai 2017 tingkat perencanaan pajak mengalami peningkatan, hanya pada tahun 2014 ke 2015 yang mengalami penurunan. Selama periode 2015 sampai 2017 tingkat perencanaan pajak terus mengalami peningkatan, setelah pada tahun 2014 ke 2015 mengalami penurunan. Peningkatan yang terjadi selama periode tersebut menunjukkan bahwa PT Indal Alumunium Industry Tbk terus melakukan upayaupaya untuk membuat perencanaan pajaknya semakin efektif. Tingkat perencanaan pajak terbesar terjadi di tahun 2017 yaitu sebesar 0,739. Kemudian tingkat perencanaan pajak terendah ada di tahun 2013. Sementara itu rata-rata tingkat perencanaan pajak selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,5934. Selama periode 2013 dan 2014 tingkat perencanaan pajak PT Champion Pasific Indonesia Tbk (IGAR) stabil yaitu sebesar 0,723. Namun nilai tersebut merupakan tingkat perencanaan pajak terendah selama periode 2013 sampai 2017. Kemudian pada tahun 2014 ke 2015 tingkat perencanaan pajak PT Champion Pasific Indonesia Tbk mengalami peningkatan menjadi 0,813. Dimana nilai tersebut merupakan yang tertinggi selama periode 2013 sampai 2017 dan juga menunjukkan bahwa perusahaan melakukan upaya untuk meningkatkan efisiensi pembayaran pajaknya. Kemudian pada tahun 2016 tingkat perencanaan pajaknya mengalami penurunan menjadi 0,723 dan kembali meningkat di tahun 2017 menjadi 0,755. Rata-rata tingkat perencanaan pajak PT Champion Pasific Indonesia Tbk selama periode 2013-2017 adalah sebesar 0,7474. PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) selama periode 2013-2017, tingkat perencanaan pajaknya fluktuatif atau berubah-ubah. Dimana tingkat perencanaan pajak terendah terjadi ditahun 2017 yaitu sebesar 0,636. Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan pajak yang dilakukan oleh PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk belum efektif. Yang artinya adalah jumlah pajak yang harus dibayar perusahaan masih cukup besar dan belum efektif bagi perusahaan. Kemudian tingkat perencanaan pajak yang tertinggi ada di tahun 2016 yaitu sebesar 0,784. Hal ini menunjukkan bahwa ada upaya perusahaan untuk meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar. PT Kadaung Setia Industrial Tbk (KDSI) selama periode 2013 sampai 2015 tingkat perencanaan pajaknya terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa upaya perusahaan untuk meminimalkan beban pajaknya mengalami peningkatan juga. Namun pada tahun 2016 tingkat perencanaan pajaknya mengalami penurunan dan kembali turun pada tahun berikutnya. Tingkat perencanaan pajak tertinggi ada ditahun 2015 yaitu sebesar 0,770 dan yang terendah terjadi ditahun 2017 yaitu sebesar 0,738. Sedangkan rata-rata tingkat perencanaan pajak selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,7552. PT KMI Wire and Cable Tbk (KBLI) selama periode 2013 sampai 2016, tingkat perencanaan pajaknya terus mengalami peningkatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa upaya perusahaan untuk meminimalkan beban pajaknya terus



42



mengalami peningkatan. Tetapi pada tahun 2017 tingkat perencanaan pajaknya mengalami penurunan. Tingkat perencanaan pajak tertinggi ada ditahun 2016 yaitu sebesar 0,865 dan terendah ada ditahun 2013 yaitu sebesar 0,699. Sedangkan ratarata tingkat perencanaan pajak selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,783. Pada PT Mayora Indah Tbk (MYOR) selama periode 2013 sampai 2017, tingkat perencanaan pajaknya terus mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan pajak yang dilakukan oleh PT Mayora Indah Tbk belum efektif. Tingkat perencanaan tertinggi ada ditahun 2013 yaitu sebesar 0,780 dan yang terendah ada ditahun 2017 yaitu sebesar 0,745. Sedangkan rata-rata tingkat perencanaan pajak selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,7624. Tingkat perencanaan pajak pada PT Merck Tbk (MERK) mengalami peningkatan pada tahun 2013 ke 2014. Namun pada tahun 2015 sampai 2017 tingkat perencanaan pajaknya terus mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan pajak yang dilakukan oleh PT Merck Tbk belum efektif. Tingkat perencanaan pajak tertinggi ada ditahun 2014 yaitu sebesar 0,880 sedangkan yang terendah ada ditahun 2017 yaitu sebesar 0,703. Kemudian rata-rata tingkat perencanaan pajak selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,7558. Tingkat perencanaan pajak pada PT Mandom Indonesia Tbk (TCID) selama periode 2013 sampai 2017 mengalami ketidakstabilan. Dimana terjadi penurunan pada tahun 2013 ke 2014. Kemudian meningkat pada tahun 2015 menjadi 0,933 dimana nilai tersebut merupakan yang teringgi selama periode 2013 sampai 2017 dan juga yang tertinggi diantara perusahaan lain. Kemudian pada tahun 2016 menurun dan meningkat lagi pada tahun 2017. Tingkat perencanaan pajak terendah terjadi ditahun 2014 yaitu sebesar 0,728. Sedangkan rata-rata tingkat perencanaan pajak selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,7722. Kemudian selama periode 2013 sampai 2016 perusahaan PT Indal Alumunium Industry Tbk (INAI) memiliki tingkat perencanaan pajak yang paling rendah diantara perusahaan lain yaitu sebesar 0,441, 0,675, 0,501 dan 0,611. Dan PT Asahimas Flat Glass Tbk (AMFG) pada 2017 merupakan perusahaan dengan tingkat perencanaan pajak terendah dibanding perusahaan lain, yaitu sebesar 0,606. Tingkat perencanaan pajak tertinggi di periode 2013 ada di PT Mayora Indah Tbk (MYOR) yaitu sebesar 0,780. Pada tahun 2014 PT Merck Tbk (MERK) tingkat perencanaan pajaknya adalah yang tertinggi, yaitu sebesar 0,880. PT Mandom Indonesia Tbk (TCID) memiliki tingkat perencanaan pajak tertinggi pada tahun 2015 yaitu sebesar 0,933. Sementara itu pada tahun 2016 dan 2017, PT KMI Wire and Cable Tbk (KBLI) adalah perusahaan dengan tingkat perencanaan pajak tertinggi yaitu sebesar 0,865 dan 0,836.



43



4.3



Kondisi Beban Pajak Tangguhan Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Berikut data beban pajak tangguhan yang dihitung dengan proksi BPTit pada perusahaan manufaktur selama periode 2013-2017 yang disajikan pada tabel 9: Tabel 9. Data Beban Pajak Tangguhan Tahun 2013-2017 Kode Emiten 2013 2014 AMFG 0,0015 0,00006 ARNA -0,0013 0,0009 INAI 0,0026 0,0024 IGAR -0,0021 -0,0040 JPFA -0,0001 -0,0004 KDSI 0,0034 0,00004 KBLI 0,0033 0,0015 MYOR 0,00005 -0,0003 MERK 0,0064 -0,0060 TCID 0,0030 0,0019 MIN -0,0021 -0,0060 MAX 0,0064 0,0024 MEAN 0,0016 -0,0003 Sumber : Data yang diolah peneliti (2018)



2015 -0,0026 -0,0005 -0,0037 0,0172 0,0002 0,0004 0,0007 0,0003 0,0061 -0,0001 -0,0037 0,0172 0,0018



2016 0,0019 -0,0018 0,0019 -0,0014 -0,0013 0,0001 0,0204 -0,0016 0,0100 -0,0023 -0,0023 0,0204 0,0025



2017 -0,0027 0,00003 0,0019 0,0038 -0,001 -0,0008 0,0001 -0,0015 0,0077 0,0044 -0,0027 0,0077 0,0011



Pada tabel diatas PT Asahimas Flat Glass Tbk (AMFG) selama periode 2013 sampai 2017 memiliki beban pajak tangguhan tertinggi yang ada ditahun 2016 yaitu sebesar 0,0019 dan beban pajak tangguhan terendah ada ditahun 2015 yaitu sebesar 0,0026. Sedangkan rata-rata beban pajak tangguhan selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar -0,0003. Pada PT Arwana Citra Mulia Tbk (ARNA) selama periode 2013 sampai 2017 memiliki beban pajak tangguhan tertinggi yang ada ditahun 2014 yaitu sebesar 0,0009 dan beban pajak terendah ada ditahun 2016 yaitu sebesar -0,0018. Sedangkan rata-rata beban pajak tangguhan selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,0005. PT Indal Alumunium Industry Tbk (INAI) selama periode 2013 sampai 2017 memiliki nilai beban pajak tangguhan tertinggi yang ada ditahun 2013 yaitu sebesar 0,0026 sedangkan yang terendah ada ditahun 2015 yaitu sebesar -0,0037. Sementara rata-rata beban pajak tangguhan PT Indal Alumunium Industry Tbk yaitu sebesar 0,0010. Pada PT Champion Pasific Indonesia Tbk (IGAR) selama periode 2013 sampai 2017 memiliki nilai beban pajak tangguhan tertinggi yang ada ditahun 2015 yaitu sebesar 0,0172 dan beban pajak tangguhan terendah ada ditahun 2014 yaitu sebesar 0,0040. Kemudian rata-rata beban pajak tangguhan selama periode 2013 sampai 2017 sebesar 0,0027.



44



Pada periode 2013 sampai 2017 PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) memiliki nilai beban pajak tangguhan tertinggi pada tahun 2015 yaitu sebesar 0,0002 sedangkan yang terendah ada ditahun 2016 yaitu sebesar -0,0013. Kemudian ratarata beban pajak tangguhan selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,0005. PT Kadaung Setia Industrial Tbk (KDSI) memiliki nilai beban pajak tangguhan tertinggi pada tahun 2013 yaitu sebesar 0,0034 sedangkan yang terendah ada ditahun 2017 yaitu sebesar -0,0008. Kemudian rata-rata beban pajak tangguhan selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,0006. PT KMI Wire and Cable Tbk (KBLI) memiliki nilai beban pajak tangguhan tertinggi pada tahun 2016 yaitu sebesar 0,0204 sedangkan yang terendah ada ditahun 2017 yaitu sebesar 0,0001. Kemudian rata-rata beban pajak tangguhan selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,0052. PT Mayora Indah Tbk (MYOR) memiliki nilai beban pajak tangguhan tertinggi pada tahun 2015 yaitu sebesar 0,0003 sedangkan yang terendah ada ditahun 2016 yaitu sebesar -0,0016. Kemudian rata-rata beban pajak tangguhan selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar -0,0006. PT Merck Tbk (MERK) memiliki nilai beban pajak tangguhan tertinggi pada tahun 2016 yaitu sebesar 0,0100 sedangkan yang terendah ada ditahun 2014 yaitu sebesar -0,0060. Kemudian rata-rata beban pajak tangguhan selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,0048. Pada PT Mandom Indonesia Tbk (TCID) memiliki nilai beban pajak tangguhan tertinggi pada tahun 2017 yaitu sebesar 0,0044 sedangkan yang terendah ada ditahun 2016 yaitu sebesar -0,0023. Kemudian rata-rata beban pajak tangguhan selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,0013. Kemudian pada tahun 2013 PT Champion Pasific Indonesia Tbk (IGAR) adalah perusahaan yang beban pajak tangguhannya paling rendah diantara perusahaan lain yaitu sebesar -0,0021. Pada tahun 2014 PT Merck Tbk (MERK) dengan beban pajak tangguhan sebesar -0,0060 adalah yang terendah dibanding perusahaan lain. Di tahun 2015 PT Indal Alumunium Industry Tbk (INAI) adalah perusahaan dengan tingkat beban pajak tangguhan terendah yaitu sebesar -0,0037. Kemudian PT Mandom Indonesia Tbk (TCID) memiliki nilai beban pajak tangguhan sebesar -0,0023 dimana ini merupakan yang terendah dibanding perusahaan lain. Sementara itu pada tahun 2017 PT Asahimas Flat Glass Tbk (AMFG) adalah perusahaan dengan nilai beban pajak tangguhan terendah diantara perusahaan lain yaitu sebesar -0,0027. Sementara itu PT Merck Tbk (MERK) memiliki beban pajak tangguhan tertinggi pada tahun 2013 dan 2017 yaitu sebesar 0,0064 dan 0,0077. Kemudian pada tahun 2014 PT Indal Alumunium Industry Tbk (INAI) memiliki nilai beban pajak tangguhan tertinggi yaitu sebesar 0,0024. Kemudian pada tahun 2015 PT Champion



45



Pasific Indonesia Tbk (IGAR) memiliki nilai beban pajak tangguhan tertinggi dibanding perusahaan lain yaitu sebesar 0,0172. Sementara itu nilai beban pajak tangguhan tertinggi pada tahun 2016 ada di PT KMI Wire and Cable Tbk (KBLI) yaitu sebesar 0,0204. 4.4 Kondisi Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Pada penelitian ini peneliti memilih untuk mengguanakan rumus scaled earning change untuk mendeteksi adanya praktik manajemen laba pada suatu perusahaan. Peneliti memilih rumus tersebut karena rumus ini dapat menggambarkan perubahan laba dari tahun ketahun secara berskala. Perusahaan yang berada pada range 0 - 0,06 dikategorikan sebagai small profit firms yaitu diindikasikan melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian. Sedangkan perusahaan yang berada pada range -0,09 - 0 dikategorikan sebagai small loss firms yaitu perusahaan yang diindikasikan tidak melakukan manjemen laba untuk menghindari kerugian (Amanda dan Febrianti, 2015). Berikut data manajemen laba pada perusahaan manufaktur selama periode 2013-2017 yang disajikan pada tabel 10: Tabel 10. Data Manajemen Laba Tahun 2013-2017 Kode Emiten 2013 2014 AMFG -0,002 0,041 ARNA 0,026 0,004 INAI -0,254 0,183 IGAR -0,024 0,070 JPFA -0,033 -0,019 KDSI -0,004 0,069 KBLI -0,068 -0,002 MYOR 0,020 -0,027 MERK 0,019 0,001 TCID 0,004 0,006 MIN -0,254 -0,027 MAX 0,026 0,183 MEAN -0,0316 0,032 Sumber : Data yang diolah peneliti (2018)



2015 -0,035 -0,029 0,055 -0,012 0,013 -0,232 0,077 0,044 -0,011 0,104 -0,232 0,104 -0,0026



2016 -0,028 0,005 0,054 0,082 0,243 0,460 0,459 0,005 0,003 -0,115 -0,115 0,460 0,116



2017 -0,076 0,008 0,015 0,006 -0,064 0,154 0,022 0,006 -0,002 0,006 -0,076 0,154 0,007



Pada PT Asahimas Flat Glass Tbk (AMFG) selama periode 2013,2015,2016 dan 2017 memiliki nilai scaled earning changes yang berada pada range -0,09 – 0. Sehingga diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba. Sedangkan pada tahun 2014 PT Asahimas Flat Glass Tbk diindikasikan melakukan praktik manajemen laba karena nilai scaled eraning changes nya berada pada range 0 – 0,06. Rata-rata nilai scaled earning changes PT Asahimas Flat Glass Tbk selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar -0,02. PT Arwana Citra Mulia Tbk (ARNA) selama periode 2013,2014,2016 dan 2017 memiliki nilai scaled earning changes yang berada pada range 0 – 0,06 yang



46



diindikasikan melakukan praktik manajemen laba. Sedangkan pada tahun 2015 PT Arwana Citra Mulia Tbk memilki nilai scaled earning changes yang berada pada range -0,09 – 0 yang diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba. Kemudian rata-rata nilai scaled earning changes PT Arwana Citra Mulia Tbk selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,0028. PT Indal Alumunium Industry Tbk (INAI) selama periode 2014 sampai 2017 memiliki nilai scaled earning changes yang berada pada range 0 – 0,06 yang diindikasikan melakukan praktik manajemen laba. Sedangkan pada tahun 2013 PT Indal Alumunium Industry Tbk diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba karena nilai scaled earning changes nya berada di range -0,09 – 0. Kemudian rata-rata nilai scaled earning changes selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,0106. PT Champion Pasific Indonesia Tbk (IGAR) selama periode 2013 dan 2015 memiliki nilai scaled earning changes yang berada pada range -0,09 – 0. Yang diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba. Sedangkan pada tahun 2014,2016 dan 2017 diindikasikan melakukan praktik manajemen laba. Karena memiliki nilai scaled earning changes yang berada di range 0 – 0,06. Kemudian rata-rata nilai scaled earning changes PT Champion Pasific Indonesia Tbk selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,0244. Pada PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) selama tahun 2015 dan 2016 diindikasikan melakukan praktik manajemen laba karena memiliki nilai scaled earning changes yang berada di range 0 – 0,06. Sedangkan pada tahun 2013,2014 dan 2017 PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk memiliki nilai scaled earning changes yang berada di range -0,09 – 0. Yang berarti diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba. Kemudian rata-rata nilai scaled earning changes pada PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,028. Pada tahun 2014,2016 dan 2017 PT Kadaung Setia Industrial Tbk (KDSI) memiliki nilai scaled earning changes yang berada di range 0 – 0,06. Yang berarti diindikasikan melakukan praktik manajemen laba. Sedangkan pada tahun 2013 dan 2015 PT Kadaung Setia Industrial Tbk diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba karena memilki nilai scaled earning changes yang berada di range 0,09 – 0. Kemudian rata-rata nilai scaled earning changes pada PT Kadaung Setia Industrial Tbk selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,0894. PT KMI Wire and Cable Tbk (KBLI) memiliki nilai scaled earning changes yang berada di range -0,09 – 0. Yang berarti diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba. Kemudian pada tahun 2015 sampai 2017 PT KMI Wire and Cable Tbk diindikasikan melakukan praktik manajemen laba karena memilki nilai scaled eraning changes yang berada di range 0 – 0,06. Sedangkan nilai rata-rata scaled earning changes PT KMI Wire and Cable Tbk selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,0976.



47



Pada PT Mayora Indah Tbk (MYOR) hanya pada tahun 2014 saja diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba karena pada tahun tersebut memilki nilai scaled earning changes yang berada di range -0,09 – 0. Sedangkan pada tahun 2013,2015,2016 dan 2017 PT Mayora Indah Tbk diindikasikan melakukan praktik manajemen laba. Karena memilki nilai scaled earning changes yang berada di range 0 – 0,06. Kemudian selama periode 2013 sampai 2017 PT Mayora Indah Tbk memiliki nilai rata-rata scaled earning changes sebesar 0,0096. PT Merck Tbk (MERK) pada tahun 2013,2014 dan 2016 diindikasikan melakukan praktik manajemen laba karena memilki nilai scaled earning changes yang berada di range 0 – 0,06. Sedangkan pada tahun 2015 dan 2017 PT Merck Tbk diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba karena pada tahun tersebut PT Merck Tbk memilki nilai scaled eraning changes yang berada di range -0,09 – 0. Kemudian pada periode 2013 sampai 2017 PT Merck Tbk memiliki nilai rata-rata scaled earning changes yaitu sebesar 0,002. Pada PT Mandom Indonesia Tbk (TCID) hanya ditahun 2016 perusahaan diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba. Karena memiliki nilai scaled earning changes yang berada di range -0,09 – 0. Sedangkan pada tahun 2013,2014,2015 dan 2017, PT Mandom Indonesia Tbk memiliki nilai scaled earning changes yang berada di range 0 – 0,06. Yang berarti diindikasikan melakukan praktik manajemen laba. Kemudian selama periode 2013 sampai 2017 nilai rata-rata scaled earning changes PT Mandom Indonesia Tbk adalah sebesar 0,001. Kemudian tingkat manajemen laba terendah pada tahun 2013 ada di PT Indal Alumunium Industry Tbk (INAI) yaitu sebesar -0,254. Pada tahun 2014 PT Mayora Indah Tbk (MYOR) memiliki tingkat manajemen laba terendah dibanding perusahaan lain yaitu sebesar -0,027. Kemudian tingkat manajemen laba pada PT Kadaung Setia Industrial Tbk (KDSI) adalah yang terendah ditahun 2015 yaitu sebesar -0,232. Pada PT Mandom Indonesia Tbk (TCID) ditahun 2016 memiliki tingkat manajemen laba sebesar -0,115. Sedangkan ditahun 2017 tingkat manajemen laba terendah ada di PT Asahimas Flat Glass Tbk (AMFG) yaitu sebesar -0,076. Sementara itu tingkat manajemen laba tertinggi pada tahun 2013 ada di PT Arwana Citra Mulia Tbk (ARNA) yaitu sebesar 0,026. Pada PT Indal Alumunium Industry Tbk (INAI) tingkat manajemen laba sebesar 0,183 merupakan yang tertinggi ditahun 2014 dibanding perusahaan lain. Ditahun 2015 PT Mandom Indonesia Tbk (TCID) memiliki tingkat manajemen laba tertinggi dibanding perusahan lain yaitu sebesar 0,104. Sedangkan PT Kadaung Setia Industrial Tbk (KDSI) pada tahun 2016 dan 2017 memiliki tingkat manajemen laba tertinggi dibanding perusahaan lain yaitu sebesar 0,460 dan 0,154. 4.4



Analisis Data



Dalam menguji “Pengaruh Perencanaan Pajak Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesi (BEI) tahun 2013-2017” dilakukan



48



dengan pengujian statistik. Analisi regresi logistik dengan bantuan Statistical Product Service Solution (SPSS) versi 23.0. Adapun variabel yang diteliti oleh penulis yaitu Perencanaan Pajak (X1), Beban Pajak Tangguhan (X2) dan Manajemen Laba (Y). 4.4.1 Analisis Statistik Deskriptif 1. Uji Normalitas Pada penelitian ini uji normalitas menggunakan Metode Uji One Sampel Kolmogorov-Smirnov, metode ini digunakan untuk mengetahui distribusi data. Dalam hal ini untuk mengetahui apakah distribusi residual normal atau tidak, maka residual harus memiliki nilai signifikansi lebih dari 0,05. Hasil yang didapat dari hasil pengujian adalah sebagai berikut : Tabel 11 Hasil Uji One Sampel Kormogolov Smirnov Test One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N 50 a,b Normal Parameters Mean ,0000000 Std. ,02352182 Deviation Most Extreme Absolute ,106 Differences Positive ,106 Negative -,097 Test Statistic ,106 Asymp. Sig. (2-tailed) ,200c,d a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. c. Lilliefors Significance Correction. d. This is a lower bound of the true significance. Dari output melalui metode One Sampel Kolmogorov-Smirnov, dapat diketahui bahwa nilai signifikansi (Asymp.sig 2-tailed) sebesar 0,200. Karena nilai signifikansi lebih dari 0,05 maka nilai residual terdistribusi normal. Untuk membuktikan data telah terdistribusi normal juga dapat dilihat melalui grafik P-P Plot yang menunjukkan normal probability residual, sebagai dasar pengambilan keputusan jika titik-titik sekitar garis diagonal dan mengikuti garis diagonal, maka nilai residual tersebut telah normal. seperti yang terlihat pada gambar berikut :



49



Gambar 2. Hasil Uji Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual



Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui bahwa titik-titik menyebar di sekitar garis dan mengikuti garis diagonal, maka nilai residual tersebut terdistribusi normal. 2. Uji Multikolonearitas Untuk mengetahui ada tidaknya gejala multikolinearitas cara yang digunakan adalah dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF) dan nilai Tolerance, apabila nilai VIF kurang dari 10 dan Tolerance lebih dari 0.1, maka dinyatakan tidak terjadi multikolonearitas. Dan hasil yang didapat sebagai berikut : Tabel 12. Hasil Uji Multikolinieritas Coefficientsa Collinearity Statistics Model Tolerance VIF 1 (Constant) TRR 1,000 1,000 BPT 1,000 1,000



50



Dari output pengujian terhadap data yang ada, dapat diketahui bahwa nilai Tolerance variabel Independent yaitu TRR dan BPT lebih dari 0,1 yaitu 1,000 dan nilai VIF kurang dari 10 yaitu sebesar 1,000 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas antar varibel independen. 3. Uji Heterokedastisitas Untuk melakukan uji Heterokedastisitas digunakan metode pengamatan grafik titik-titik, adapun dasar keputusan yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan adalah: a) Jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang ada membentuk suatu pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar, kemudian menyempit), maka terjadi Heterokedastisitas. b) Jika tidak terdapat pola yang jelas, seperti titik menyebar diatas dan dibawah sumbu Y maka tidak terjadi Heterokedastisitas. Gambar 3. Uji Heteroskedastisitas



Dari hasil output pada grafik diketahui bahwa titik-titik tidak membentuk pola yang jelas, dan titik-titik menyebar diatas dan dibawah angka 0 dan sumbu Y. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah Heterokedastisitas pada data yang dilakukan pengujian.



51



4.



Uji Autokorelasi Uji autokorelasi merupakan pengujian untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara variabel yang disusun menurut waktu atau tempat. Metode yang digunakan adalah uji run test. Tabel 13. Uji Autokorelasi Runs Test Unstandardized Residual a Test Value -,00226 Cases < Test Value 25 Cases >= Test Value 25 Total Cases 50 Number of Runs 29 Z ,857 Asymp. Sig. (2-tailed) ,391 a. Median Pada output diatas menunjukan bahwa hasil uji autokorelasi melalui uji run test menunjukan nilai asymp sig (2-tailed) sebesar 0,391. Dimana kaidah yang berlaku adalah penelitian dikatakan bebas dari autokorelasi ketika nilai asymp sig (2-tailed) > 0,05. Asymp sig (2-tailed) sebesar 0,391 > 0,05, yang berarti bahwa data yang digunakan cukup random sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi pada data yang diuji. 4.5. Pengujian Hipotesis Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh atau hubungan secara linier antara dua atau lebih variabel independen terhadap satu variabel dependen. Dalam penelitian terdapat dua variabel independen yaitu perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan serta satu varibel dependen yaitu manajemen laba. 1. Analisis Regresi Linier Berganda Analisis ini dipakai untuk mengetahui bagaimana hubungan antara dua variabel atau lebih. Formulasi persamaan analisis regresi linier berganda dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 𝑌 = 𝑎 + 𝑏1𝑋1 + 𝑏2𝑋2 + 𝑒 𝑌



= Manajemen Laba



𝛼



= Konstanta



𝑏1𝑋1



= Koefisien regresi Perencanaan Pajak



𝑏2𝑋2



= Koefisien regresi Beban Pajak Tangguhan



𝑒



= Kesalahan residual



52



Tabel 14. Regresi Linear Berganda Coefficientsa Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta 1 (Constant) -2,010 ,669 TRR 2,030 ,678 ,395 BPT ,011 ,009 ,167 a. Dependent Variable: SEC



t Sig. -3,002 ,004 2,997 ,004 1,267 ,211



Berdasarkan tabel dapat diketahui baha regresi linier berganda dalam penelitian ini sebagai berikut : Manajemen Laba = -2,010 + 2,030 TRR + 0,11 BPT Adapun penjelasan dari persamaan regresi linier berganda tersebut sebagai berikut : 1. Nilai konstanta (a) adalah -2,010. Ini dapat diartikan jika TRR dan BPT nilainya adalah nol (0), maka manajemen laba adalah –Rp2.010 2. Nilai koefisien regersi variabel TRR (b1) bernilai positif, yaitu sebesar 2,033. Ini dapat diartikan bahwa setiap peningkatan TRR 1 satuan, maka akan meningkatkan Manajemen Laba sebesar Rp2,030 dengan asumsi variabel lainnya nilainya tetap. 3. Nilai koefisien regresi varibel BPT (b2) bernilai positif, yaitu 0,011. Ini dapat diartikan bahwa setiap peningkatan BPT sebesar 1 satuan, maka akan meningkatkan Manajemen Laba sebesar Rp0,011 dengan asumsi variabel lainnya nilainya tetap. 2. Uji Koefisien Determinasi Uji koefesien determinasi dalam analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui persentase pengaruh varibel independen (perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan) secara serentak terhadap varibel dependen (manajemen laba). Output koefisien determinasi program SPSS sebagai berikut : Tabel 15. Uji Koefisien Determinasi Model Summaryb Adjusted R Std. Error of the Model R R Square Square Estimate a 1 ,428 ,183 ,148 ,02401707 a. Predictors: (Constant), BPT, TRR b. Dependent Variable: SEC



53



Hasil tabel 15 menjelaskan tentang ringkasan model, yang terdiri dari hasil nilai korelasi berganda (R), koefisien determinasi (R Square), koefisien determinasi yang disesuaikan (Adjusted R Square) dan ukuran kesalahan prediksi (Std. Error of the Estimate), antara lain: a. Nilai korelasi berganda (R) sebesar 0,428. Artinya korelasi atau hubungan antara variabel perencanaan pajak yang diproksikan dengan Tax Retention Rate (TRR) dan variabel beban pajak tangguhan yang diproksikan dengan BPTit terhadap manajemen laba sebesar 0,428 atau 42,8%. Hal ini berarti tidak terjadi hubungan yang kuat karena nilai tidak mendekati 1. b. Nilai koefisien determinasi (R2) adalah sebesar 0,183. Menunjukan bahwa variasi dari manajemen laba dapat diterangkan oleh TRR dan BPT sebesar 0,183 atau sebesar 18,3% sedangkan sisanya sebesar 81,7% (100%-18,7%) diterangkan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam model ini. c. Nilai Adjusted R Square adalah sebesar 0,148. Hasil ini menunjukan bahwa kontribusi setiap variabel independen (TRR dan BPT) mampu menjelaskan variabel dependen Manajemen Laba sebesar 0,148 atau 14,8% sedangkan sisanya sebesar 85,2% dipengaruhi oleh variabel lain. d. Std. Error of the Estimate adalah ukuran kesalahan prediksi dalam penelitian ini yaitu sebesar 0,02401707. Artinya kesalahan yang dapat terjadi dalam memprediksi beban pajak penghasilan sebesar Rp0,02401707. Semakin kecil nilai Std. Error of the Estimate maka dapat dijelaskan bahwa model regresi semakin tepat dalam memprediksi variabel dependen. 3. Uji Signifikansi Parsial (Uji t) Uji t atau uji koefisien regresi secara parsial digunakan untuk mengetahui apakah secara parsial setiap variabel independen memiliki pengaruh terhadap variabel dependen. Koefisien regresi masing-masing variabel independen dikatakan memiliki pengaruh terhadap variabel dependen jika –t hitung kurang dari –t tabel (–t hitung < -t tabel) atau t hitung lebih besar dari t tabel (t hitung > t tabel). Nilai t tabel dicari pada signifikan 0,05/2 = 0,025 (uji dua sisi) dengan df = n - k- 1 atau df = 50 2 -1 = 47. Hasil dari uji t disajikan sebagai berikut : Tabel 16 Uji Signifikansi Parsial Coefficientsa Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Std. Model B Error Beta 1 (Constant) -2,010 ,669 TRR 2,030 ,678 ,395 BPT ,011 ,009 ,167



t -3,002 2,997 1,267



Sig. ,004 ,004 ,211



54



Analisis uji t berdasarkan tabel diatas adalah sebagai berikut: a. Tax Retention Rate (X1) terhadap manajemen laba (Y) Variabel perencanaan pajak yang diproksikan dengan tax retention rate (TRR) memiliki nilai signifikan 0,004 lebih kecil dari taraf nyatanya 0,05 (0,004 < 0,05). Hal ini sesuai dengan hasil pengujian statistik yang membandingkan antara t hitung dengan t tabel. Dimana nilai t hitung sebesar 2,997 dan t tabel sebesar 2,01174. Maka (t hitung > t tabel) (2,997 > 2,01174). Oleh karena itu variabel percanaan pajak yang dihitung dengan proksi tax retention rate (TRR) memiliki pengaruh secara parsial terhadap manajemen laba. b. Beban pajak tangguhan (X2) terhadap manajemen laba (Y) Variabel beban pajak tangguhan yang diproksikan dengan BPTit memiliki nilai signifikan 0,211 lebih besar dari taraf nyatanya 0,05 (0,211 > 0,05). Hal ini tidak sesuai dengan hasil pengujian statistik yang membandingkan antara t hitung dengan t tabel. Dimana nilai t hitung sebesar 1,267 dan t tabel sebesar 2,01174. Maka (t hitung < t tabel) (1,267 < 2,01174). Oleh karena itu variabel beban pajak tangguhan yang dihitung dengan proksi BPTit tidak memiliki pengaruh secara parsial terhadap manajemen laba. 4. Uji Signifikansi Simultan (Uji F) Anova adalah uji koefisien regresi secara bersama-sama (uji F) untuk menguji signifikansi pengaruh varibel independen terhadap variabel dependen. Pengujian menggunakan tingkat signifikansi 0,05. Kriteria pengujian untuk uji F adalah:  Jika F hitung ≤ F tabel maka Ho diterima  Jika F hitung ≥ F tabel maka Ho ditolak Output hasil uji F dari perogram SPSS sebagai berikut : Tabel 17. Uji Signifikansi Simultan (Uji F) Model 1 Regression Residual



ANOVAa Sum of Squares Df Mean Square ,006 2 ,003 ,027 47 ,001



Total ,033 a. Dependent Variable: SEC b. Predictors: (Constant), BPT, TRR



F Sig. 5,262 ,009b



49



Untuk menentukan tingkat signifikansi dapat dilakukan dengan membandingkan F hitung dan F tabel. Pada tingkat signifikansi 0,05 dengan df 1 adalah jumlah varibel dikurang satu (3 – 1 = 2), dan df 2 adalah jumlah sampel dikurang variabel independen dikurang satu (n – k – 1 ) atau (50 – 2 – 1 = 47). Maka diperoleh hasil untuk F hitung sebesar 5,262 dan F tabel yang diperoleh sebesar 3,20.



55



Jadi F hitung > F table (5,262 > 3,20) dan signifikansi kurang dari 0,05 (0,009 < 0,05), maka Ho ditolak, jadi dapat disimpulkan bahwa TRR dan BPT berpengaruh positif secara simultan atau bersama-sama terhadap Manajemen Laba. Artinya semakin tinggi TRR dan BPT maka semakin tinggi Manajemen Laba. 4.6. Pembahasan Hasil pengujian dalam penelitian ini untuk mengetahui apakah H1 perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba. Maka hasil uji dari peneletian seperti penjelasan berikut ini: 1. Perencanaan Pajak Tax Retention Rate (TRR) H0.1 jika Sig. < 0,05 maka perencanaan pajak yang dihitung dengan TRR secara parsial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. H1.1 jika Sig. > 0,05 maka perencanaan pajak TRR secara parsial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Variabel perencanaan pajak (TRR) (X1) terhadap manajemen laba (Y) memiliki nilai signifikan 0,004 lebih kecil dari taraf nyatanya 0,05 atau (0,004 < 0,05). Hal ini sesuai dengan hasil pengujian statistik yang membandingkan antara t hitung dengan t tabel, dimana nilai t hitung sebesar 2,997 dan t tabel yaitu sebesar 2,01174 maka (t hitung > t tabel) atau (2,997 >2,01174). Oleh karena itu, variabel perencanaan pajak yang dihitung menggunakan proksi tax retention rate (TRR) memiliki pengaruh secara parsial terhadap manajemen laba. 2. Beban Pajak Tangguhan Variabel beban pajak tangguhan (X2) memiliki nilai signifikan 0,211 lebih dari taraf nyatanya 0,05 atau (0,211 > 0,05). Hal ini tidak sesuai dengan hasil pengujian statistik yang membandingkan anatara t hitung dengan t tabel, dimana nilai t hitung sebesar 1,267 dan t tabel yaitu sebesar 2,01174 maka (t hitung < t tabel) (1,267 < 2,01174). Oleh karena itu, variabel beban pajak tangguhan yang dihitung dengan proksi BPTit tidak memiliki pengaruh secara parsial terhadap manajemen laba. 3. Simultan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, variabel perencanaan pajak yang diproksikan menggunakan Tax Retention Rate (TRR), dan variabel beban pajak tangguhan yang diproksikan dengan BPTit dinyatakan berpengaruh secara simultan terhadap manajemen laba. Hal ini sesuai dengan pengujian statistik uji f, jika tingkat signifikansi 0,05 dengan df 1 adalah jumlah varibel dikurang satu (3 – 1 = 2), dan df 2 adalah jumlah sampel dikurang variabel independen dikurang satu (n – k – 1 ) atau (50 – 2 – 1 = 47). Maka diperoleh hasil untuk F hitung sebesar 5,262 dan F tabel sebesar 3,20. Jadi F hitung > F tabel (5,262 > 3,20) dan signifikansi kurang dari 0,05 (0,009 < 0,05), maka H0 ditolak, jadi dapat disimpulkan bahwa perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan berpengaruh positif secara simultan atau bersama-sama terhadap manajemen laba.



56



4.7. Interpretasi Hasil Penelitian 4.7.1. Pengaruh Perencanaan Pajak Terhadap Manajemen Laba Hasil pengujian menunjukkan perencanaan pajak mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba pada perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat perencanaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia maka semakin besar pula peluang perusahaan melakukan praktik manajemen laba. Karena perusahaan yang ingin melakukan perencanaan pajak guna memperkecil beban pajak, secara otomatis akan meninjau labanya. Karena laba tersebut merupakan dasar pengenaan pajak. Jika didapatkan laba yang tinggi, perusahaan cenderung melakukan praktik manajemen laba dengan meminimalkan laba (income minimization) yang diperoleh agar beban pajaknya rendah. Hasil ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Scott (2003) yang menyatakan bahwa ada beberapa motivasi yang mendorong manajemen melakukan manajemen laba, salah satunya adalah motivasi pajak. Manajemen termotivasi untuk melakukan praktik manajemen laba untuk mempengaruhi besarnya pajak yang harus dibayar oleh perusahaan dengan cara menurunkan laba sebelum pajak untuk mengurangi beban pajak yang harus dibayar. Hasil ini juga mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Astutik (2016), Khotimah (2014) dan Sumomba (2010) yang menunjukkan perencanaan pajak mempunyai pengaruh signifikan terhadap manajemen laba. 4.7.2. Pengaruh Beban Pajak Tangguhan terhadap Manajemen Laba Besar kecilnya beban pajak tangguhan tidak menjamin adanya tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Karena kemampuan beban pajak tangguhan yang hanya dapat mencerminkan efek pajak yang ditimbulkan oleh perbedaan temporer antara laba akuntansi yang disusun berdasarkan SAK dengan laba fiskal yang disusun berdasarkan peraturan perpajakan. Beban pajak tangguhan tidak dapat mendeteksi aktivitas manajemen laba tersebut. Dan karena beban pajak tangguhan tidak dapat merefleksikan penghasilan kena pajak (PKP) seperti beban pajak kini. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Herdawati (2015), Astutik (2015), Khotimah (2014), Sumomba (2010). 4.7.3. Pengaruh Perencanaan pajak dan Beban Pajak Tangguhan Secara Simultan terhadap Manajemen Laba Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, variabel perencanaan pajak yang diproksikan menggunakan Tax Retention Rate (TRR) dan beban pajak tangguhan yang diproksikan dengan BPT dinyatakan berpengaruh secara simultan terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Herdawati (2015), Astutik (2015), Khotimah (2014), Sumomba (2010) yang



57



menyatakan terdapat pengaruh antara perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan secara simultan terhadap manajemen laba. Tabel 18 Ringkasan Hasil Penelitian No. Keterangan 1. Perencanaan pajak (TRR) Manajemen laba



Hipotesis Terdapat pengaruh antara hubungan perencanaan pajak terhadap manajemen laba.



2.



Terdapat pengaruh Beban pajak tangguhan antara hubungan tidak berpengaruh terhadap beban pajak tangguhan manajemen laba. terhadap manajemen laba.



Beban pajak tangguhan (BPTit) Manajemen laba



Hasil Perencanaan pajak berpengaruh terhadap manajemen laba



Keterangan: 1. Perencanaan pajak : TRR = Tax retention rate (proksi perencanaan pajak) 2. Beban pajak tangguhan : BPTit = Beban pajak tangguhan (proksi beban pajak tangguhan)



58



BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.



Kesimpulan



Berdasarkan hasil penelitian perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan terhadap manajemen laba pada 10 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2013 sampai 2017, dari hasil analisis dan pengujian data serta pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Perencanaan pajak pada perusahaan manufaktur yang telah diteliti pada bab sebelumnya menunjukan tingkat perencanaan pajak yang tinggi. Perencanaan pajak pada perusahaan manufaktur yang dihitung menggunakan proksi tax retention rate (TRR) memiliki rata-rata tingkat perencanaan pajak diatas 0,70 atau 70%. Ini artinya perusahaan sudah melakukan perencanaan pajak yang efektif. Meskipun selama periode 2013 sampai 2017 tingkat perencanaan pajaknya ada yang mengalami penurunan secara berturut-turut maupun tidak stabil selama periode penelitian. Semakin tinggi tingkat perencanaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan maka semakin besar pula peluang perusahaan melakukan praktik manajemen laba. Perusahaan yang ingin melakukan perencanaan pajak guna memperkecil beban pajak, secara otomatis meninjau labanya. Karena laba tersebut merupakan dasar pengenaan pajak. Jika didapatkan laba yang tinggi, perusahaan cenderung melakukan praktik manajemen laba dengan meminimalkan laba (income minimization) yang diperoleh agar beban pajaknya rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa variabel perencanaan pajak memiliki pengaruh secara parsial terhadap manajemen laba. 2. Besar kecilnya beban pajak tangguhan tidak menjamin tindakan manajemen laba oleh perusahaan. Karena kemampuan beban pajak tangguhan yang hanya dapat mencerminkan efek pajak yang ditimbulkan oleh perbedaan temporer antara laba akuntansi yang disusun berdasarkan SAK dengan laba fiskal yang disusun berdasarkan peraturan perpajakan. Beban pajak tangguhan tidak dapat mendeteksi aktivitas manajemen laba tersebut. Dan karena beban pajak tangguhan tidak dapat merefleksikan penghasilan kena pajak (PKP) seperti beban pajak kini. Jadi dapat disimpulkan bahwa beban pajak tangguhan tidak memiliki pengaruh secara parsial terhadap manajemen laba. 3. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, variabel perencanaan pajak yang dihitung menggunakan proksi tax retention rate (TRR) dan beban pajak tangguhan yang dihitung menggunakan proksi BPTit dinyatakan berpengaruh secara simultan terhadap manajemen laba. Jadi dapat disimpulkan bahwa perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan berpengaruh positif secara simultan atau bersama-sama terhadap manajemen laba.



59



5.2. Saran Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan mengenai pengaruh perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2013-2017, maka saran untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut : 1. Bagi peneliti Melalui penelitian ini penulis berharap dapat menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama mengikuti perkuliahan di Jurusan Akuntansi. Penelitian ini sangat bermanfaat bagi penulis untuk memberikan pemahaman yang lebih tentang perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan serta dampak terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2013-2017 baik secara teori maupun praktek. 2. Bagi Perusahaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2013-2017 untuk meningkatkan perencanaan pajaknya suapaya lebih efektif agar beban pajak yang harus dibayar menjadi lebih kecil. 3. Bagi pemakai laporan keuangan dapat mengambil keputusan yang tepat berdasarkan laporan keuangan yang berkualitas, handal dan dapat dipercaya sehingga informasi yang di dapat akurat atau tidak menyesatkan bagi para pemakai laporan keuangan. Pemakai laporan keuangan harus dapat melihat dari berbagai laporan keuangan serta harus dapat membandingkan laporan keuangan dari setiap periode maka dapat terlihat peningkatan atau penurunan dari setiap tahunnya atau setiap periode. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya diharapkan dapat memperluas penelitian dengan menambahkan sampel yang tidak hanya terfokus pada sektor manufaktur saja, sehingga dapat diperoleh hasil penelitian yang lebih akurat. Penelitian selanjutnya hendaknya menganalisis praktek manajemen laba yang dilakukan perusahaan tidak hanya pada pajak tangguahan tetapi juga pada pajak komponen lain yang terindikasi terdapat praktek namanjemen laba yang dilakukan perusahaan. Penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan model lain selain model pendekatan scaled earning changes sebagai pendeteksi manajemen laba, sehingga dapat dibandingkan antar model yang lebih baik dalam mendeteksi manajemen laba pada sampel yang diteliti.