Sni Pemilihan Lokasi Lahan Urug Sampah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prinsip Pemilihan Calon Lokasi Salah satu kendala pembatas dalam penerapan metoda pengurugan limbah dalam tanah (landfilling atau lahan-urug) adalah bagaimana memilih lokasi yang cocok baik dilihat dari sudut kelangsungan pengoperasian, maupun dari sudut perlindungan terhadap lingkungan hidup. Aspek teknis sebagai penentu utama untuk digunakan adalah aspek yang terkait dengan hidrologi dan hidrogeologi site (Damanhuri, 2008). Secara ideal, pertimbangan utama dalam pemilihan lokasi sebuah landfill adalah didasarkan atas berbagai aspek, terutama (Damanhuri, 2008): 1. Kesehatan masyarakat, Aspek kesehatan masyarakat berkaitan langsung dengan manusia, terutama kenaikan mortalitas (kematian), morbiditas (penyakit), serta kecelakaan karena operasi sarana tersebut. 2. Lingkungan hidup Aspek lingkungan hidup terutama berkaitan dengan pengaruhnya terhadap ekosistem akibat pengoperasian sarana tersebut, termasuk akibat transportasi dan sebagainya. 3. Biaya Aspek biaya berhubungan dengan biaya spesifik antara satu lokasi dengan lokasi yang lain, terutama dengan adanya biaya ekstra pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan. 4. Sosio-ekonomi Aspek sosio-ekonomi berhubungan dengan dampak sosial dan ekonomi terhadap penduduk sekitar lahan yang dipilih.



Walaupun dua lokasi yang



berbeda mempunyai pengaruh yang sama dilihat dari aspek sebelumnya, namun reaksi masyarakat setempat dengan dibangunnya sarana tersebut bisa berbeda. Disamping aspek-aspek lain yang sangat penting, seperti aspek politis dan legal yang berlaku disuatu daerah atau negara. Pertimbangan utama yang harus selalu dimasukkan dalam penentuan loaksi site adalah [EPA 530-R-95-023]:



1. 2. 3. 4. 5.



Mempertimbangkan penerimaan masyarakat yang akan terkena dampak Konsisten dengan land-use planning di daerah tersebut Mudah dicapai dari jalan utama Mempunyai tanah penutup yang mencukupi Berada pada daerah yang tidak akan terganggu dengan dioperasikan landfill



tersebut 6. Mempunyai kapasitas tampung yang cukup besar, biasanya 10 sampai 30 tahun 7. Tidak memberatkan dalam pendanaan pada saat pengembangan, pengoperasian, penutupan, pemeliharaan setelah ditutup, dan bahkan biaya yang terkait dengan upaya remediasi. 8. Rencana pengoperasian hendaknya terkait dengan upaya kegiatan lain yang sangat dianjurkan, yaitu kegfiatan daur-ulang. Proses pemilihan lokasi lahan-urug idealnya hendaknya melalui suatu tahapan penyaringan. Dalam setiap tahap, lokasi-lokasi yang dipertimbangkan akan dipilih dan disaring. Pada setiap tingkat, beberapa lokasi dinyatakan gugur, berdasarkan kriteria yang digunakan di tingkat tersebut. Penyisihan tersebut akan memberikan beberapa calon lokasi yang paling layak dan baik untuk diputuskan pada tingkat final oleh pengambil keputusan. Di negara industri, penyaringan tersebut paling tidak terdiri dari tiga tingkat tahapan, yaitu (Damanhuri, 2008): 1. penyaringan awal, 2. penyaringan individu, dan 3. penyaringan final. Penyaringan awal biasanya bersifat regional biasanya dikaitkan dengan tata guna dan peruntukan yang telah digariskan di daerah tersebut. Secara regional, daerah tersebut diharapkan dapat mendefinisikan secara jelas lokasi-lokasi mana saja yang dianggap tidak/kurang layak untuk lokasi pengurugan limbah. Pada taraf ini parameter yang digunakan hanya sedikit. Tahap kedua dari tahap penyisihan ini adalah penentuan lokasi secara individu, kemudian dilakukan evaluasi dari tiap individu. Pada tahap ini tercakup kajian-kajian yang lebih mendalam, sehingga lokasi yang tersisa akan menjadi sedikit. Parameter beserta kriteria yang diterapkan akan menjadi lebih spesifik dan lengkap. Lokasilokasi tersebut kemudian dibandingkan satu dengan yang lain, misalnya melalui pembobotan. Dalam Diktat ini diprekenalkan 3 tata-cara, yaitu (Damanhuri, 2008): 1. SNI 19-3241-1994



2. Metode LeGrand 3. Metode Hagerty Tahap terakhir adalah tahap penentuan. Penyaringan final ini diawali dengan pematangan aspek-aspek teknis yang telah digunakan di atas, khususnya yang terkait dengan aspek sosio- ekonomi masyarakat dimana lokasi calon berada. Tahap ini kemudian diakhiri dengan aspek penentu, yaitu oleh pengambil keputusan suatu daerah. Aspek ini bersifat politis, karena kebija- kan pemerintah daerah/pusat akan memegang peranan penting. Kadangkala pemilihan akhir ini dapat mengalahkan aspek teknis yang telah disiapkan sebelumnya (Damanhuri, 2008). 2.2 Beberapa Parameter Penentu Beberapa alasan mengapa sebuah parameter serta kriterianya penting untuk dipertimbangkan dalam pemilihan sebuah calon lokasi akan diuraikan di bawah ini. Biasanya parameter yang digunakan dalam pemilihan awal dapat digunakan lagi pada pemilihan tingkat berikutnya dengan derajad akurasi data yang lebih baik. Jumlah parameter pemilihan awal yang digunakan umumnya lebih sedikit, dan dipilih yang paling dominan dalam menimbulkan dampak (Damanhuri, 2008). Beberapa parameter penyaring awal yang sering digunakan adalah (Damanhuri, 2008): 2.2.1



Geologi



Fasilitas landfilling tidak dibenarkan berlokasi di atas suatu daerah yang mempunyai sifat geologi yang dapat merusak keutuhan sarana tersebut nanti. Daerah yang dianggap tidak layak adalah daerah dengan formasi batu pasir, batu gamping atau dolomit berongga dan batuan berkekar lainnya. Daerah geologi lainnya yang penting untuk dievaluasi adalah potensi gempa, zone volkanik yang aktif serta daerah longsoran. Lokasi dengan kondisi lapisan tanah di atas batuan yang cukup keras sangat diinginkan. Biasanya batu lempung atau batuan kompak lainnya dinilai layak untuk lokasi landfill. Namun jika posisi lapisan batuan berada dekat dengan permukaan, operasi pengurugan/penimbunan limbah akan terbatas dan akan mengurangi kapasitas lahan tersedia. Disamping itu, jika ada batuan keras yang retak/patah atau permeabel, kondisi ini akan meningkatkan potensi penyebaran lindi ke luar daerah



tersebut. Lahan dengan lapisan batuan keras yang jauh dari permukaan akan mempunyai nilai lebih tinggi. 2.2.2



Hidrogeologi



Hidrogeologi adalah parameter kritis dalam penilaian sebuah lahan dan merupakan komponen penyaring yang paling penting, terutama untuk mengevaluasi potensi pencemaran air tanah di bawah lokasi sarana, dan potensi pencemaran air pada akuifer di sekitarnya. Sistem aliran air tanah akan menentukan berapa hal, seperti arah dan kecepatan aliran lindi, lapisan air tanah yang akan dipengaruhi dan titik munculnya kembali air tersebut di permukaan. Sistem aliran air tanah peluahan (discharge) lebih diinginkan dibandingkan yang bersifat pengisian (recharge). Lokasi yang potensial untuk dipilih adalah daerah yang dikontrol oleh sistem aliran air tanah lokal dengan kemiringan hidrolis kecil dan kelulusan tanah yang rendah. 2.2.3



Hidrologi



Fasilitas pengurugan limbah tidak diinginkan berada pada suatu lokasi dengan jarak antara dasar sampai lapisan air tanah tertinggi kurang dari 3 meter, kecuali jika ada pengontrolan hidrolis dari air tanah tersebut. Permukaan air yang dangkal lebih mudah dicemari lindi. Disamping itu, lokasi sarana tidak boleh terletak di daerah dengan sumur-sumur dangkal yang mempunyai lapisan kedap air yang tipis atau pada batu gamping yang berongga. Iklim setempat hendaknya mendapat perhatian juga. Makin banyak hujan, makin besar pula kemungkinan lindi yang dihasilkan, disamping makin sulit pula pegoperasian lahan. Oleh karenanya, daerah dengan intensitas hujan yang lebih tinggi akan mendapat penilaian yang lebih rendah dari pada daerah dengan intensitas hujan yang lebih rendah. 2.2.4



Topografi



Topografi dapat



menunjang secara positif maupun negatif pada pembangunan



saranan ini. Lokasi yang tersembunyi di belakang bukit atau di lembah mempunyai dampak visual yang menguntungkan karena tersembunyi. Namun suatu lokasi di tempat yang berbukit mungkin lebih sulit untuk dicapai karena adanya lereng-lereng yang curam dan mahalnya pembangunan jalan pada daerah berbukit. Nilai tertinggi mungkin dapat diberikan kepada lokasi dengan relief yang cukup untuk mengisolir



atau menghalangi pemandangan dan memberi perlindungan terhadap angin dan sekaligus mempunyai jalur yang mudah untuk aktivitas operasional. Topografi dapat juga mempengaruhi biaya bila dikaitkan dengan kapasitas tampung. Suatu lahan yang cekung dan dapat dimanfaatkan secara langsung akan lebih disukai. Ini disebabkan volume lahan untuk pengurugan limbah sudah tersedia tanpa harus mengeluarkan biaya operasi untuk penggalian yang mahal. Pada dasarnya, masa layan 5 sampai 10 tahun atau lebih sangat diharapkan. 2.2.5



Ketersediaan tanah



Tanah dibutuhkan baik dalam tahap pembangunan maupun dalam tahap operasi sebagai lapisan dasar (liner), lapisan atas, penutup antara dan harian atau untuk tanggul-tanggul dan jalan-jalan dengan jenis tanah yang berbeda. Beberapa kegiatan memerlukan tanah jenis silt atau clay, misalnya untuk liner dan penutup final, sedangkan aktifitas lainnya memerlukan tanah yang permeabel seperti pasir dan krikil, misalnya untuk ventilasi gas dan sistem pengumpul lindi. Juga dibutuhkan tanah yang cocok untuk pembangunan jalan atau tanah top soil untuk vegetasi. 2.2.6



Tataguna lahan



Landfilling yang menerima limbah organik, dapat menarik kehadiran burung sehingga tidak boleh diletakkan dalam jarak 300 meter dari landasan lapangan terbang yang digunakan oleh penerbangan turbo jet atau dalam jarak 1500 meter dari landasan lapangan terbang yang digunakan oleh penerbangan jenis piston. Disamping itu, lokasi tersebut tidak boleh terletak di dalam wilayah yang diperuntukkan bagi daerah lindung perikanan, satwa liar dan pelestarian tanaman. Jenis penggunaan tanah lainnya yang biasanya dipertimbangkan kurang cocok adalah konservasi lokal dan daerah kehutanan. Lokasi sumber-sumber arkeologi dan sejarah merupakan daerah yang juga harus dihindari. 2.2.7



Kondisi banjir



Sarana yang terletak di daerah banjir harus tidak membatasi aliran banjir serta tidak mengurangi kapasitas penyimpanan air sementara



dari daerah banjir, atau



menyebabkan terbilasnya limbah tersebut sehingga menimbulkan bahaya terhadap kehidupan manusia, satwa liar, tanah atau sumber air yang terletak berbatasan dengan lokasi tersebut. Suatu sarana yang berlokasi pada daerah banjir



memerlukan perlindungan yang lebih kuat dan lebih baik. Diperlukan pemilihan periode ulang banjir yang sesuai dengan jenis limbah yang akan diurug. 2.2.8



Aspek-aspek penting yang lain



Penerimaan masyarakat sekitar atas sarana ini merupakan tantangan yang harus dieselesaikan di awal sebelum sarana ini dioperasikan. Penduduk pada umumnya tidak bisa menerima suatu lokasi pembuangan limbah berdekatan dengan rumahnya atau lingkungannya. Oleh karenanya, kriteria penggunaan lahan hendaknya disusun untuk mengurangi kemungkinan pembangunan sarana ini di daerah yang mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi, atau daerah-daerah yang digunakan oleh masyarakat banyak. Lahan dengan pemilik tanah yang lebih sedikit, akan lebih disukai dari pada lahan dengan pemilik banyak. Tersedianya jalan akses pada lokasi sarana ini akan menguntungkan bagi operasional pengangkutan limbah ke lokasi. Lahan yang berlokasi di sekitar jalan yang dapat ditingkatkan pelayanannya karena adanya operasi lahan-urug tanpa modifikasi sistem jalan yang terlalu banyak, akan lebih disukai. Modifikasi pada sistem jalan yang sudah ada, terutama pembangunan jalan baru atau perbaikan yang terlalu banyak, akan meningkatkan biaya pembangunan sarana tersebut. Namun tidak diinginkan bahwa lokasi tersebut terletak di jalan utama yang melewati daerah perumahan, sekolah dan rumah sakit. Sarana yang berlokasi lebih dekat ke pusat penghasil limbah mempunyai nilai yang lebih tinggi dari pada yang berlokasi lebih jauh. Makin dekat jarak lokasi ke sumber limbah, makin rendah biaya pengangkutannya. Utilitas seperti saluran air buangan, air minum, listrik dan sarana komunikasi diperlukan pada setiap lokasi pengurugan limbah. Rancangan lahan-urug meliputi rencana tapak dan rencana perbaikan sistem dengan rekayasa yang digunakan untuk pengelolaan lindi, air permukaan, air tanah dan gas. Sistem pengelolaan dirancang untuk mengurangi dampak yang disebabkan oleh kehadiran atau ketidak hadiran bermacam-macam faktor. Dari sudut kriteria, yang perlu dipertimbangkan adalah faktor biaya operasional kelak. Pada umumnya, lahan yang memerlukan modifikasi rekayasa yang paling sedikit merupakan yang paling murah untuk pengembangannya, dan lebih disukai dari pada lahan yang memerlukan modifikasi banyak.



BAB III PEMBAHASAN



3.1 Pemilihan Lokasi TPA Menurut SNI-T-11-1991-03 Pemilihan lokasi TPA sampah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut. Kriteria Kriteria pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1.



Kriteria regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak atau zona tidak layak sebagai berikut:



a.



Kondisi geologi: tidak boleh di zona bahaya geologi.



b.



Kondisi hidrogeologi: 1).



Tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter



2).



Tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dari 10-6 cm/det 3). Jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter di hilir aliran. 4). Dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas, maka harus diadakan masukan teknologi.



c. Kemiringan zona harus kurang dari 20%. d. Jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk penerbangan turbo jet dan harus lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis lain. e. Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir dengan perioda ulang 25 tahun. 2.



Kriteria penyisih yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik yaitu terdiri dari kriteria regional ditambah dengan kriteria berikut: a. Iklim.



1). Hujan: intensitas hujan makin kecil dinilai makin banyak. 2). Angin: arah angin dominan tidak menuju ke pemukiman dinilai makin baik. b. Utilitas: tersedia lebih lengkap dinilai makin baik. c. Lingkungan biologis. 1). Habitat: kurang bervariasi, dinilai makin baik. 2). Daya dukung: kurang menunjang kehidupan flora dan fauna, dinilai makin baik



d.



Kondisi tanah. 1).



Produktifitas tanah: tidak produktifitas dinilai lebih tinggi. 2). Kapasitas dan unsur: dapat menampung lahan lebih banyak dan lebih lama dinilai lebih baik. 3). Ketersediaan tanah penutup: mempunyai tanah penutup yang cukup, dinilai lebih baik.



4).



Status tanah: makin bervariasi dinilai tidak baik. e. Demografi: kepadatan penduduk lebih rendah, dinilai makin baik. f. Batas administrasi: dalam batas administrasi dinilai semakin baik. g. Kebisingan:



semakin



banyak



zona



penyangga



dinilai



semakin baik. h. Bau: semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik. i. Estetika: semakin tidak terlihat dari luar dinilai semakin baik. j.



Ekonomi: semakin kecil biaya satuan pengelolaan sampah (per m 3/ton) dinilai semakin baik.



3.



Kriteria penetapan yaitu kriteria yang digunakan oleh instansi yang berwenang untuk menyetujui dan menetapkan lokasi terpilih sesuai dengan kebijaksanaan instansi yang berwenang setempat dan ketentuan yang berlaku.



3.2 Pemilihan Lokasi TPA Berdasarkan Metode SNI 19-3241-1994 Penentuan tempat akhir pembuangan (TPA) sampah harus mengikuti persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah melalui SNI nomor 033241-1994 tentang tata cara pemilihan lokasi TPA sampah. Persyaratan didirikannya suatu TPA ialah bahwa pemilihan lokasi TPA sampah harus mengikuti



persyaratan



hukum,



ketentuan



perundang-undangan



mengenai



pengelolaan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), ketertiban umum, kebersihan kota atau lingkungan, peraturan daerah tentang pengelolaan sampah dan perencanaan dan tata ruang kota serta peraturanperaturan pelaksanaannya. Suatu metodologi yang baik tentunya diharapkan bisa memilih lahan yang paling menguntungkan dengan kerugian yang sekecil- kecilnya. Dengan demikian



metodologi tersebut akan memberikan hasil pemilihan lokasi yang terbaik, dengan pengertian: 1 2



Lahan terpilih hendaknya mempunyai nilai tertinggi ditinjau dari berbagai aspek; Metode pemilihan tersebut dapat menunjukkan secara jelas alasan pemilihan.



Proses pemilihan lokasi lahan-urug idealnya hendaknya melalui suatu tahapan penyaringan. Dalam setiap tahap, lokasi-lokasi yang dipertimbangkan akan dipilih dan disaring. Pada setiap tingkat, beberapa lokasi dinyatakan gugur, berdasarkan kriteria yang digunakan di tingkat tersebut. Penyisihan tersebut akan memberikan beberapa calon lokasi yang paling layak dan baik untuk diputuskan pada tingkat final oleh pengambil keputusan. Di negara industri, penyaringan tersebut paling tidak terdiri dari tiga tingkat tahapan, yaitu: 1 2 3



penyaringan awal; penyaringan individu, dan; penyaringan final.



Penyaringan awal biasanya bersifat regional biasanya dikaitkan dengan tata guna dan peruntukan yang telah digariskan di daerah tersebut. Secara regional, daerah tersebut diharapkan dapat mendefinisikan secara jelas lokasi-lokasi mana saja yang dianggap tidak/kurang layak untuk lokasi pengurugan limbah. Pada taraf ini parameter yang digunakan hanya sedikit. Tahap kedua dari tahap penyisihan ini adalah penentuan lokasi secara individu, kemudian dilakukan evaluasi dari tiap individu. Pada tahap ini tercakup kajian-kajian yang lebih mend alam, sehingga lokasi yang tersisa akan menjadi sedikit. Parameter beserta kriteria yang diterapkan akan menjadi lebih spesifik dan lengkap. Lokasilokasi tersebut kemudian dibandingkan satu dengan yang lain, misalnya melalui pembobotan. Tahap terakhir adalah tahap penentuan. Penyaringan final ini diawali dengan pematangan aspek-aspek teknis yang telah digunakan di atas, khususnya yang terkait dengan aspek sosio-ekonomi masyarakat dimana lokasi calon berada. Tahap ini kemudian diakhiri dengan aspek penentu, yaitu oleh pengambil keputusan suatu daerah. Aspek ini bersifat politis, karena kebijakan pemerintah daerah/pusat akan memegang peranan penting. Kadangkala pemilihan akhir ini dapat mengalahkan aspek teknis yang telah disiapkan sebelumnya.



Adapun ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi untuk menentukan lokasi TPA ialah sebagai berikut (SNI nomor 03-3241-1994) : 3.1.1 Ketentuan Umum Pemilihan lokasi TPA sampah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai, dan laut. 2. Penentuan lokasi TPA disusun berdasarkan 3 tahapan yaitu : a



Tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi



b



beberapa zona kelayakan Tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona



c



kelayakan pada tahap regional Tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh instansi yang berwenang.



3. Jika dalam suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah. 3.1.2 Ketentuan Teknis Ketentuan teknis mengatur ketentuan pola ruang pada masing-masing zona, yakni zona penyangga dan zona budi daya terbatas. Penentuan jenis zona yang akan diatur dalam kawasan sekitar TPA sesuai dengan kondisi TPA yang ada, sebagaimana tercantum dalam ketentuan umum. Pemanfaatan ruang yang diatur dalam pedoman akan berbeda untuk tiap klasifikasi TPA. Ketentuannya adalah sebagai berikut: 3.1.2.1 TPA Baru atau yang Direncanakan a. Zona Penyangga 1) Zona penyangga sesuai dengan Pedoman Pengoperasian dan Pemeliharaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dengan Sistem Controlled Landfill dan Sanitary Landfill dengan jarak 0 – 500 meter. Pemanfaatan lahannya ditentukan sebagai berikut: a. 0 – 100 meter : diharuskan berupa sabuk hijau; dan b. 101 – 500 meter : pertanian non pangan dan hutan. 2) Ketentuan pemanfaatan ruang:



a. Sabuk hijau dengan tanaman keras yang boleh dipadukan dengan tanaman perdu terutama tanaman yang dapat menyerap racun dengan ketentuan sebagai berikut: a) Jenis tanaman adalah tanaman tinggi dikombinasi dengan tanaman perdu yang mudah tumbuh dan rimbun terutama tanaman yang dapat menyerap bau; dan b) Kerapatan pohon adalah minimum 5 m. b. Pemrosesan sampah utama on situ. c. Instalasi pengolahan sampah menjadi energi, atau instalasi pembakaran (incenerator) bersama unit pengelolaan limbahnya. d. Kegiatan budi daya perumahan tidak diperbolehkan pada zona penyangga. 3) Kriteria teknis: a. Tidak menggunakan air tanah setempat dalam kegiatan pengolahan sampah; b. Ketersediaan sistem drainase yang baik; dan c. Ketersediaan fasilitas parkir dan bongkar muat sampah terpilah yang akan didaur ulang di lokasi lain. 4) Pengelolaan: a. Jalan masuk ke TPA, sesuai dengan ketentuan Direktorat Jenderal Bina Marga, dipersyaratkan: a) Dapat dilalui truk sampah dua arah dengan lebar badan jalan minimum 7 meter; b) Jalan kelas I dengan kemampuan memikul beban 10 ton dan kecepatan 30 km/jam. b. Drainase permanen terpadu dengan jalan dan bila diperlukan didukung oleh drainase lokal tak permanen. c. Sabuk hijau yang dimaksudkan untuk zona penyangga adalah ruang dengan kumpulan pohon dan bukan sekedar deretan pohon yang bila dimungkinkan mempunyai nilai ekonomi. d. Tanaman yang direkomendasikan adalah yang sesuai dengan kondisi alam setempat, termasuk iklim, rona fisik, dan kondisi lapisan tanah. Spesies yang direkomendasikan termasuk:



a) Callophyllum Inophyllum L. Nama lokal: Nyamplung, Bintangur laut. Famili: Guttiferae. Tinggi sampai 20 meter. b) Dalbergia Latifotia Roxb. Nama lokal: Sonokeling. Famili: Leguminosae. Bentuk mahkota bulat dan letaknya kurang dari 5.00 meter. c)



Michelia



Champaca



L.



Nama



lokal:



Cempaka



kuning.



Famili:



Magnoliaceae. Berbunga kuning dan wangi sehingga cocok untuk TPA yang terletak pada lokasi padat atau pada bagian dari lokasi pariwisata. d) Mimusop Elengi L. Nama lokal: Tanjung. Famili: Sapotaceae. Tinggi kirakira 13-27 meter. e) Schleichera Trijuga Willd. Nama lokal: Kesambi. Famili: Sapindaceae. Tinggi kira-kira 25 meter. Mahkota berbentuk bulat dan letaknya kurang dari 5 meter. f) Swietenia Mahagoni Jacq. Nama lokal: Mahoni. Tinggi 10-30 meter. b. Zona Budi Daya Terbatas 1) Zona budi daya terbatas untuk TPA baru dengan sistem pengurugan berlapis bersih tidak diperlukan. 2) Zona budi daya terbatas untuk sistem pengurugan berlapis terkendali ditentukan sejauh 0 – 300 meter dari batas terluar zona inti. Pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut: a. b. c. d.



Rekreasi dan RTH; Industri terkait pengolahan sampah; pengolahan kompos, pendaurulangan sampah, dan lain-lain; Pertanian non pangan; Permukiman di arah hulu TPA bersangkutan diperbolehkan dengan persyaratan tertentu untuk menghindari dampak pencemaran lindi pada daerah hilir TPA. Persyaratan tersebut termasuk sistem drainase yang



baik, penyediaan air bersih yang tidak bersumber dari air tanah setempat; e. Fasilitas pemilahan, pengemasan, dan penyimpanan sementara. 3) Kriteria teknis: a. Tersedia akses dan jaringan jalan yang baik; b. Tersedia drainase yang memadai; c. Tersedia sistem pembuangan limbah cair yang baik untuk fasilitas- fasilitas pengolahan sampah yang menghasilkan limbah; d. Tersedia pasokan air dan tidak menggunakan air tanah setempat dalam proses produksi dan kegiatan penunjang lain di dalam kawasan;



e. Tersedia parkir dan bongkar muatan sampah dan muat sampah terpilah f.



yang akan didaur ulang di lokasi lain; Lebar jalan dan ruang terbuka memungkinkan manuver kendaraan pengangkut sampah dua arah, baik yang sedang bergerak, maupun yang



sedang membongkar muatan; g. Penggunaan lahan pada zona budi daya terbatas. c. Zona Budi Daya Pola ruang dalam zona budi daya ditentukan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang berlaku, RDTR dan peraturan zonasi yang telah ditetapkan untuk kawasan bersangkutan. 3.1.2.2 TPA Lama atau yang Sedang Dioperasikan a. Zona Penyangga 1) Zona penyangga telah tersedia dalam TPA. 2) Pada TPA yang belum memiliki zona penyangga ditetapkan zona penyangga pada area 0 – 500 meter sekeliling TPA dengan pemanfaatan sebagai berikut: a. 0 – 100 meter diharuskan berupa sabuk hijau; b. 101 – 500 meter pertanian non pangan, hutan. b. Zona Budi Daya Terbatas 1) Zona budi daya terbatas tidak diperlukan pada TPA lama yang menggunakan sistem pengurugan berlapis bersih. 2) Zona budi daya terbatas ditentukan pada TPA lama yang menggunakan sistem pengurugan berlapis terkendali pada jarak 501 – 800 meter dari batas terluar tapak TPA. Pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e.



Rekreasi dan RTH; Industri terkait sampah; Pertanian non pangan; dan Permukiman di arah hilir bersyarat. Permukiman yang telah ada sebelumnya harus memperhatikan persyaratanpersyaratan teknis dalam penggunaan air tanah. Khusus untuk air minum disarankan untuk tidak menggunakan air tanah. c. Zona Budi Daya



Zona budi daya ditentukan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah: RTRW, RDTR



dan



peraturan



zonasi



dengan



memperhatikan



kembali



kesesuaian



pemanfaatan ruang dan aktifitas pada zona budidaya terhadap potensi dampak yang ditimbulkan dari kegiatan TPA sesuai dengan ketentuan khusus. 3.1.2.3 TPA Pascalayan a. Penambangan Sampah untuk Diolah In Situ dan Gasnya 1) Zona penyangga ditentukan pada area 0 – 500 meter sekeliling TPA, dengan pola ruang sebagai berikut: a. 0 – 100 m : sabuk hijau tanaman keras dan perluasan instalasi pengolahan sampah; dan b. 101 – 500 m : pertanian tanaman non pangan. 2) Zona budi daya terbatas tidak diperlukan. 3) Zona budi daya sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. b. Pemanfaatan Kembali sebagai TPA 1) Zona penyangga ditentukan pada area 0 – 500 meter sekeliling TPA, dengan pola ruang sebagai berikut: a. 0 – 100 m : sabuk hijau tanaman keras dan perluasan instalasi pengolahan sampah; dan b. 101 – 500 m : pertanian tanaman non pangan. 2) Zona budi daya terbatas tidak diperlukan baik pada TPA yang akan digunakan kembali dengan sistem maupun pengurugan berlapis bersih. 3) Zona budi daya terbatas pada TPA yang akan digunakan kembali dengan sistem pengurugan berlapis terkendali ditentukan pada jarak 501-800 meter. Pola ruang adalah sebagai berikut: a. Rekreasi dan RTH; b. Industri terkait sampah; c. Pertanian non pangan; dan d. Permukiman di arah hilir bersyarat. 4) Zona budi daya ditentukan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. 5) Penentuan jarak dan zona bersifat fleksibel mengikuti hasil kajian dampak TPA terhadap sekitarnya.



c.



Penggunaan Lain 1) Di dalam TPA diatur menurut pedoman yang ada. 2) Industri konversi energi sampah dan penambangan sampah akan mengikuti ketentuan pada kawasan industri. 3) TPA baru boleh dipakai untuk keperluan lain setelah berusia 20 tahun tanpa persyaratan khusus.



3.1.3 Ketentuan Khusus 1) Untuk dapat menyelenggarakan penataan ruang yang sesuai pada zona penyangga dan budi daya terbatas yang telah dihuni oleh masyarakat atau telah dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, maka kepada masyarakat akan diberikan kompensasi. 2) Pada kawasan yang masuk ke dalam zona penyangga dilakukan relokasi. 3) Pada kawasan yang masuk ke dalam zona budi daya terbatas, apabila memungkinkan untuk mengosongkan lahan tersebut, maka dilakukan relokasi. 4) Apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan relokasi, permukiman yang berada pada kawasan tersebut harus mengikuti peraturan yang disesuaikan dengan kebijakan lokal melalui: a. Arahan pengenaan insentif dan disinsentif dalam meningkatkan upaya pengendalian pemanfaatan ruang; b. Memfasilitasi kegiatan pemanfaatan ruang agar sejalan dengan rtrw, rdtr, dan peraturan zonasi; dan c.



Meningkatkan



kemitraan



semua



pemangku



kepentingan



dalam



penyelenggaraan penataan ruang. 5) Insentif diberikan untuk mendorong dilakukannya relokasi pemanfaatan budidaya di kawasan tersebut dan memberikan eksternalitas positif keberadaan TPA di kawasan tersebut terhadap wilayah sekitarnya berupa: a. Pemberian kompensasi; b. Imbalan; c. Sewa lahan dan urun saham; d. Penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur; e. Kemudahan perizinan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang diberikan oleh pemerintah; dan/atau



f. Kemudahaan perizinan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang diberikan oleh Pemerintah Daerah penerima manfaat kepada investor yang berasal dari Daerah pemberi manfaat. 6) Disinsentif diberikan untuk menghambat dan membatasi kegiatan dalam zona budidaya kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan memberikan dampak negatif kepada lingkungan dan masyarakat, berupa: a. Kewajiban pemberian kompensasi; b. Pensyaratan khusus dalam perizinan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang diberikan oleh pemerintah; c. Kewajiban membayar imbalan; d. Pembatasan penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur; dan/atau e. Pensyaratan khusus dalam perizinan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang diberikan oleh pemerintah daerah penerima manfaat kepada investor yang berasal dari Daerah pemberi manfaat. 7) Dalam menjaga tertib dan tegaknya peraturan dalam mengatasi pelanggaranan penyelenggaraan penataan ruang di kawasan sekitar TPA diberlakukan pengenaan sanksi terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana



tata



ruang



dan/atau



izin



pemanfaatan



ruang



khususnya



dalam



pemanfaatan ruang untuk kegiatan budidaya. Tata cara pengenaan saksi terhadap pelanggaraan penyelenggaraan penataan ruang berupa: peringatan tertulis; penghentian kegiatan sementara; penghentian sementara pelayanan umum; penutupan lokasi; pencabutan izin; penolakan izin; pembatalan izin; pembongkaran



bangunan; pemulihan fungsi ruang 8) Pemberian insentif disinsentif dan sanksi dilakukan dalam jangka waktu tertentu selama kawasan tersebut mendapatkan efek negatif dari keberadaan TPA, yang dibuktikan dengan kajian lingkungan yang menunjukkan terdapatnya hal-hal berikut: a. Kondisi air tanah yang buruk, tidak sesuai dengan standar baku mutu air bersih; b. Padatnya populasi vektor penyakit yang diduga kuat berasal dari TPA, seperti lalat dan tikus; c. Buruknya kualitas udara akibat dari proses pengelolaan sampah; dan



d. Dampak negatif lain yang ditimbulkan oleh TPA. Penilaian TPA Dengan Cara SNI 19-3241-1994 Tahapan dalam proses pemilihan lokasi TPA adalah menentukan satu atau dua lokasi terbaik dari daftar lokasi yang dianggap potensial. Kriteria-kriteria yang telah dibahas di atas digunakan semaksimal mungkin guna proses penyaringan. Kegiatan pada penyaringan secara rinci tentu akan membutuhkan waktu dan biaya yang relatif besar dibanding kegiatan pada penyaringan awal, karena evaluasinya bersifat rinci dan dengan data yang akurat. Guna memudahkan evaluasi pemilihan sebuah lahan yang dianggap paling baik, digunakan sebuah tolak ukur untuk merangkum semua penilaian dari parameter yang digunakan. Biasanya hal ini dilakukan dengan cara pembobotan. Tata cara yang paling sederhana yang digunakan di Indonesia adalah melalui SNI 19-3241-1994 (sebelumnya: SNI T-11-1191-03, tidak ada perbedaan dengan versi 1994) yaitu tentang tata cara pemilihan lokasi TPA. Cara ini ditujukan agar daerah (kota kecil/sedang) dapat memilih site-nya sendiri secara mudah tanpa melibatkan tenaga ahli dari luar seperti konsultan. Data yang dibutuhkan hendaknya cukup akurat agar hasilnya dapat dipertanggung jawabkan. Prinsip yang digunakan adalah dengan menyajikan parameter-parameter yang dianggap dapat berpengaruh dalam aplikasi landfilling, seperti: 1



Parameter umum: batas administrasi, status kepemilikan tanah dan, kapasitas



2



lahan, pola partisipasi masyarakat; Parameter fisika tanah: permeabilitas tanah, kedalaman akuifer, sistem aliran air



3



tanah, pemanfaatan air tanah, ketersediaaan tanah penutup; Parameter fisik lingkungan fisik: bahaya banjir, intensiutas hujan, jalan akses, lokasi site, tata guna tanah, kondisi site, diversitas habitat, kebisingan dan bau, dan permasalahan estetika.



Masing-masing parameter ini ditentukan bobot skala penting-nya dengan besaran 3 sampai 5. Masing-masing parameter tersebut diuraikan lebih lanjut kriteria pembatasnya, dengan menggunakan penilaian antara 0– 10.