SNW Lengkap [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

EDISI KEDUA WWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWW



Buku ini mungkin tidak dapat memenuhi harapan Anda terhadap kurikulum tarbiyah yang praktis serta instan. Para pemula pun belum tentu dapat mencerna maknanya bagi kemajuan tarbiyah ruhiyah maupun tsaqafiyah yang mereka harapkan Namun, buku ini menawarkan rujukan yang bermanfaat bagi Anda yang sering berjibaku dengan pertanyaan‐pertanyaan kritis dan acapkali sangat membingungkan



Manh aj SISTEMAT IKA NUZU LNY A WA HYU Konsep dan Lan dasan Ilm iah



Ditujukan terutama untuk kader‐kader Hidayatullah, yang ingin memahami secara layak sumber‐sumber asasi pemikiran Manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu Disini insya‐Allah Anda akan temukan secara ilmiah bahwa sesungguhnya Manhaj ini bukan suatu bid'ah yang mengada‐ada, akan tetapi merupakan ijtihad serius untuk menggali serta menampilkan kembali khazanah pemikiran Islam yang lama tak banyak dilirik orang: "Tartibu Nuzulil Wahyi"



XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX



M. Alimin Mukhtar.



Judul Manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu Konsep dan Landasan Ilmiah



Penyusun M. Alimin Mukhtar



Edisi Kedua Ramadhan 1427 H ‐ Oktober 2006 M



Korespondensi, Kritik & Saran Jl. Raya Apel 61 Sumbersekar Dau Malang 65151 Jawa Timur Telp. (0341) 461231 HP: 081 555 874 028 ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ BENIH ini adalah benih ambil dan tanamlah seperti sebutir gabah yang darinya terbit seribu butir ambil dan tanamlah semoga anda memanen kelak ini bukan hidangan siap saji seperti sepiring nasi yang darinya bangkit energi namun tak lama ‘kan punah dan anda harus makan lagi atau merana dan futur habis perbekalan ya! ini adalah benih ambil dan tanamlah rawat dan panenlah bi‐idznillah ‘sumbersekar’ ramadhan 1427 hijriyah



P PENGANTAR EDISI KEDUA Naskah ini adalah hasil serangkaian studi lanjutan dari edisi sebelumnya yang telah dipublikasikan secara terbatas, menjelang dan setelah Munas II Hidayatullah, Juni 2005 silam. Sebagai edisi kedua, tentu saja kami menambahkan berbagai hal di dalamnya, walau publikasi kali ini bukanlah sebuah upaya revisi besar‐besaran. Bahkan, boleh dikata, tidak ada perubahan dalam pokok‐pokok pikirannya. Yang baru dalam edisi ini adalah perluasan muatannya. Setelah edisi pertama terpublikasikan, banyak informasi, data dan pemikiran baru yang kami dapatkan, sehingga perlu untuk disertakan disini sebagai upaya pematangan dan pemantapan. Selaras dengan semangat itu pulalah sehingga judul edisi ini kami ubah, menjadi Manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu Konsep dan Landasan Ilmiah, setelah pada edisi sebelumnya kami beri judul Membangun Kembali "Tsiqah" kepada Manhaj Sistematika Nuzul‐nya Wahyu. Sistematika penyajian edisi ini kami ubah sedemikian rupa, menyesuaikan dengan tuntutan perluasan studi pada sebagian segmen, terutama pada bab‐bab yang dalam edisi pertama disebut "Bagian IV". Perubahan pertama ada pada Muqaddimah, yang merupakan pemandu bagaimana memahami buku ini. Meski demikian, tidak seluruh materi edisi perdana kami singkirkan. Sebagian besar masih disuguhkan seperti aslinya, atau paling jauh "disesuaikan kembali", agar spiritnya masih dapat dikenali dan dipertahankan. Kami menyederhanakan buku ini menjadi empat bagian saja – semula enam – dengan cara menggabungkan bagian‐bagian yang sejenis. Dengan memberi judul baru, kami mengubah apa yang dulu disebut "bagian" menjadi "bab". Kami pun memisahkan pembahasan untuk setiap surah, sekaligus menambahkan data‐data baru yang berhasil dihimpun. Kami juga menyertakan pembahasan tentang surah al‐'Alaq, dimana hal ini tidak dibicarakan pada edisi sebelumnya. Selain mengganti judul‐judul bab, kami juga menambahkan sub‐sub bab baru serta sebuah Ringkasan di akhir bagian, yang sekaligus diperlengkapi dengan apendiks "Saran Bahan Bacaan Lanjut" (additional resources). Dalam edisi ini, Bagian III sepenuhnya merupakan naskah tambahan yang belum ada pada edisi pertama. Lampiran terakhir buku ini, yang membahas makna Marhalah Wahyu dan ternyata cukup panjang, juga merupakan tambahan spesifik, meski sesungguhnya merupakan teks yang dikembangkan dari salah satu sub‐bab pada edisi sebelumnya. Dalam hal alur penyajian, edisi ini juga diubah dari sebuah kritik menjadi semacam buku pegangan dan kutipan referensi. Sebab, itulah yang lebih bermanfaat bagi para kader. Namun, perlu diingat, buku ini tidak menyajikan sesuatu yang benar‐benar matang dan siap pakai. Bagaimanapun, ini adalah benih, bukan hidangan matang dan siap dikonsumsi. Secara khusus, kami terinspirasi oleh sejarah hidup Allahu‐ yarham Ustadz Abdullah Said sendiri, yang sebelum mencetuskan ide 1 



Manhaj SNW diketahui membaca sangat banyak literatur. Buku ini secara imajiner dan in‐absentia berusaha menelusuri jejak‐jejak literatur yang kemungkinan juga beliau telaah, atau setidaknya menjadi referensi dari literatur yang beliau baca itu. Demikianlah keadilan ilmiah harus ditegakkan, yakni dengan mengenali sumber dan asal‐usul sebenarnya. Sebab, menurut kami, banyak bagian dari spirit Manhaj SNW yang mengalami reduksi dan gagal dikenali landasan syar’inya, hanya karena kita gagal mengenali sumber asasi dari nilai‐nilai yang terkandung dalam Manhaj SNW itu sendiri. Studi ini berusaha membawa pembaca ke samudera luas yang darinya Ustadz Abdullah Said pernah menciduk energi dan mengahadirkannya dalam sejarah kita. Karena itu pula, dua bagian terakhir edisi awal risalah ini, yang dulu berisi esai‐esai atau tanggapan pribadi kami, kini dipangkas hampir seluruhnya. Sebab, edisi ini tidak lagi terfokus sebagai kritik, namun referensi, sehingga diharapkan dengan penghapusan itu tidak ada lagi campur‐aduk antara hal‐hal yang bersifat tekstual dengan opini pribadi. Kami juga berharap, penghapusan ini akan mengurangi dampak psikologis dari sebuah kritik, dan dengan demikian dapat difahami serta diterima secara lebih arif. Bagaimana pun, esai‐esai bebas tersebut tidaklah selalu terikat langsung dengan bagian‐bagian lain di depannya. Artinya, dengan bermodalkan data‐data yang kami sajikan, setiap pembaca berhak mengembangkan perspektifnya sendiri dan kemudian bertanggung jawab penuh atas hal itu. Kami juga melakukan perbaikan seperlunya pada ejaan maupun setting: penataan halaman, standar kertas, jenis dan ukuran huruf, perwajahan sampul, hiasan, dsb. Dalam hal bahasa, kami tetap berupaya untuk menggunakan bahasa yang sederhana, tanpa penyertaan istilah‐istilah ilmiah yang sukar maupun struktur pemikiran yang rumit serta filosofis. Perkecualian ada pada tinjauan‐tinjauan berbasis disiplin Ulumul Hadits, yang terpaksa menghadirkan berbagai istilah ilmiah apa adanya, demi orisinalitas dan menghindari kesalahpahaman. Meski demikian, tidak lupa kami sertakan sebuah glossary di bagian awal buku ini yang akan membantu pembaca memahami makna‐makna istilah dimaksud dengan baik dan benar. Demikianlah, buku ini memang ditujukan bagi orang‐ orang biasa seperti penulis sendiri; yakni kaum muslimin kebanyakan yang ingin mengkaji isi kandungan al‐Qur'an secara lebih baik melalui jalan yang telah dirintis para ulama' terpercaya. Perubahan lain adalah mengenai catatan kaki (foot‐notes). Catatan kaki‐ catatan kaki panjang yang mendeskripsikan identitas buku atau referensi, kami potong dan naikkan menjadi bagian dari teks utama. Hal ini demi mempermudah pembaca dalam menyerap informasinya, dimana tidak perlu memindahkan perhatian ke bagian bawah halaman sekedar mengecek catatan kaki yang terkadang tidak selalu penting untuk diketahui. Jika ada sebuah kutipan, kami langsung menyebutkan sumbernya, termasuk judul rujukan tersebut lengkap dengan juz dan halamannya. Perkecualian dalam catatan kaki memang ada, yakni jika ada konsep atau bagian teks yang harus dijelaskan secara tersendiri di luar naskah utama. Atau, karena rentetan kutipan pendek‐pendek yang 2



berasal dari banyak referensi yang akan mengganggu bila ditulis nama sumbernya dalam teks utama. Hal terakhir ini biasanya berkenaan dengan penelusuran biografi seorang perawi hadits. Kami berusaha menjaga amanah ilmiah seakurat mungkin dengan menyajikan kutipan yang jelas dan valid. Insya‐Allah, seluruh pernyataan ilmiah dalam buku ini dapat dipertanggungjawabkan keakuratannya. Apabila pembaca ingin menelaah secara lebih dalam atau melakukan pengecekan atas sebuah kutipan, silakan periksa referensi dimaksud dalam Daftar Pustaka di akhir buku ini, atau paling tidak dalam additional resources yang disarankan untuk setiap Bagian. Perlu dicatat, sebagian rujukan merupakan edisi cetak biasa (kertas), dan sebagian lainnya adalah edisi yang telah disalin ke dalam software komputer. Kami menandai jenis kedua ini dengan keterangan "edisi CD". Akan tetapi, seluruh salinan digital itu pun mempunyai rujukan cetak biasa yang dikeluarkan oleh penerbit‐penerbit tertentu, yang sebagian besar didahului dengan proses tahqiq (editing) oleh para sarjana muslim yang kredibel. Kami juga mencantumkan nama‐nama mereka. Dan, sebegitu jauh upaya kami, disadari sepenuhnya masih ada banyak kekurangan dalam risalah ini. Bagaimanapun, ini adalah karya cipta manusia biasa. Hanya saja, semua itu tidak menghalangi kami untuk bergembira dan bersyukur atas ma'unah Allah yang luar biasa di dalam seluruh proses pengerjaannya yang memakan waktu cukup panjang. Di masa mendatang, kami berharap dapat melakukan perbaikan dan pembenahan berkelanjutan, seiring kemajuan studi yang mungkin dicapai. Terkait dengan rasa syukur itu, dan atas semua hasil kerja yang berhasil diraih, setelah mengucapkan alhamdulillah, kami ingin menghaturkan ribuan terima kasih kepada segenap Asatidz senior Lembaga dan ikhwan lain yang berkenan membaca edisi pertama risalah ini serta memberikan apresiasinya. Sepengetahuan kami, jumlah pembaca risalah ini masih sangat sedikit. Dan, memang sudah seperti itulah sejak semula niat penulisannya. Bagaimanapun, ada hal‐hal tertentu dalam naskah ini yang terlihat hendak membongkar bangunan sebuah manhaj yang telah sekian dasawarsa "disepakati", sehingga naskah ini tidak layak untuk disebarluaskan secara serampangan sebelum memperoleh konfirmasi, rekomendasi dan penelaahan lebih serius dari pihak‐pihak yang "berwenang". Dalam konteks Lembaga, pihak yang berwenang tersebut adalah Majelis Syuro. Akhirnya, silakan meniti halaman demi halaman risalah ini. Bagi Anda yang belum pernah membaca edisi perdananya, insya‐Allah Anda tidak ketinggalan informasi apa pun. Anda hanya tidak membaca secara penuh esai‐esai sarat 'keluh‐kesah' pada edisi terdahulu, dan itu lebih baik. Sebab, Anda tidak akan tertulari kecemasan dan kegamangan yang ada di dalamnya. Kami akui, esai itu subyektif, dan sebaiknya dieliminir demi kemaslahatan bersama. Ada juga fragmen‐fragmen tertentu yang kami hapus karena ditemukan bukti baru yang meralatnya. Dan secara umum, naskah yang kini Anda pegang memiliki kelebihan dalam banyak hal yang tidak ada pada edisi sebelumnya. 3



Kritik, saran, dan masukan lain sangat berharga bagi kami. Sebab, risalah ini tidak didedikasikan bagi proyek pribadi, namun sebagai sumbangsih bagi ikatan kebersamaan kita di bawah naungan Islam. Bukan pula demi 'ashabiyah haraki, dimana saudara kami di harakah yang lain dilarang membaca atau mengkritisinya. Silakan memberikan tanggapan secara tertulis, dilengkapi dengan daftar bibliografi (maraaji') yang dapat diperiksa ulang validitasnya. Semoga Allah senantiasa menolong kita dalam menegakkan dien‐Nya, memberi kita hidayah dalam memahami dan mengamalkan Kitab‐Nya serta Sunnah Nabi‐Nya. Kami berharap amal ini dijadikan sebagai persembahan yang tulus dalam mengabdi di jalan‐Nya, bermanfaat dan memberi berkah. Shalawat dan salam bagi Muhammad Rasulillah, ahlul bait, ummahatul mu'minin serta para Sahabat. [] Sumbersekar, Ramadhan 1427 H Penulis



4



P MUQADDIMAH Di suatu shubuh yang khidmat, 09 Juni 2005, di tengah‐tengah berlangsungnya Musyawarah Nasional (Munas) II Hidayatullah, di masjid Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Pimpinan Umum Ustadz 'Abdurrahman Muhammad sempat menyampaikan taushiyah‐nya. Di awal kesempatan kuliah shubuh tersebut, beberapa kali beliau mengulang agar kita para kader Hidayatullah – selanjutnya disebut Lembaga – melakukan dua hal terkait dengan manhaj kita, Sistematika Nuzulnya Wahyu. Pertama, meningkatkan upaya untuk memperdalam pemahaman terhadap konsep manhaj itu sendiri. Dan kedua, merumuskan jalan (thariqah) untuk menerapkannya dalam kehidupan. Edisi pertama risalah ini sesungguhnya telah selesai ditulis saat itu, dan disebarkan secara terbatas. Namun, taushiyah beliau secara khusus telah menambah spirit kami dalam penulisan edisi kedua ini. Sebagai upaya penajaman edisi sebelumnya, tentu saja disini kami melakukan penataan seperlunya. Disamping apa yang telah kami jelaskan dalam Pengantar, secara utuh kami membagi studi ini dalam empat bagian. Dua bagian pertama mengupas topik‐topik spesifik yang dicirikan oleh identitas (istilah, musthalahat) SNW sendiri, yakni “sistematika nuzul” dan “wahyu”. Bagian III merupakan draft awal untuk sebuah pendekatan unik dalam kajian sirah nabawiyah. Sedang, satu bagian selanjutnya memuat bentuk praktis dari uraian 3 bagian sebelumnya. Lebih rinci, keempat bagian tersebut adalah, sbb: Bagian Pertama, kami membahas landasan ilmiah untuk memahami konsep‐konsep kunci dalam Manhaj ini, yang mencakup konsep tartib‐ nuzuli, marhalah wahyu, dan tarikh ayat‐ayat al‐Qur'an. Bagian ini mendeskripsikan pemahaman dasar atas apa yang disebut sebagai Sistematika Nuzul‐nya Wahyu secara ilmiah. Versi‐versi tartib nuzuli yang kami sajikan, walau terlihat saling tidak cocok, merupakan bagian penting untuk memahami bagaimana sebenarnya pemikiran dalam Manhaj ini dibangun dan dikembangkan. Disini, tidak ada diskusi yang detail tentang versi‐versi tersebut, sebab bukan itu tujuan bagian ini. Secara sederhana, bagian ini bertujuan memberi pijakan dasar yang jelas dan ilmiah. Sebab, versi mana pun yang kelak dipilih, adalah penting bagi kita untuk memiliki pijakan yang jelas dan ilmiah, agar baik dalam training maupun diskusi, kita tidak sekedar menukil tata‐urutan turunnya surah tanpa referensi. Bagian Kedua, kami mengupas lebih luas dan mendalam pilar‐pilar utama Manhaj ini, yakni kedudukan masing‐masing surah pertama dalam tartib nuzuli. Menentukan secara ilmiah dan valid atas posisi sebuah surah, menurut hemat kami, sama pentingnya dengan tahap implementasi praktis atas Manhaj ini. Sebab, kedudukan sebuah surah terkait secara langsung dengan catatan sirah nabawiyah yang sezaman dengannya. Penelusuran atas fakta‐fakta sirah sangat bermanfaat untuk memahami bagaimana wahyu diimplementasikan sebagai bagian dari 5 



komponen pembentukan kader dakwah (rijaal ad‐da'wah). Di sisi lain, memahami posisi sebuah surah dalam suatu urutan tertentu dapat membimbing para murabbi untuk memberi dosis tarbiyah yang tepat bagi murabba‐nya. Bagaimanapun, sirah merekam dengan lugas bagaimana para kader awal umat ini (as‐sabiqun al‐awwalun) menerima gemblengan dan kemudian tampil memikul beban dakwah sebagai perintis pertama. Kisah hidup mereka, baik di era nubuwwah maupun jauh setelah itu, tetap menampakkan jejak yang jelas dari tarbiyah al‐ Qur'an dalam periode pertama. Bagian Ketiga, kami menyajikan sebuah ulasan umum atas sirah nabawiyah, dari perspektif yang dikembangkan buku ini, yaitu tartib nuzulil wahyi (tata urutan penurunan wahyu). Meskipun masih sangat dini, minimal Anda akan melihat sketsa awal yang cukup jelas mengenai "gambaran" seperti apa yang kelak dibangun oleh studi ini. Bagian Keempat, merupakan "penutup" berisi rincian lebih matang yang bisa diterapkan dalam kajian untuk tujuan pengkaderan yang sesungguhnya. Kami memulai dengan asumsi‐asumsi dasar dari manhaj tarbawi (kurikulum pengkaderan) yang ditawarkan, bentuk pelevelan yang bisa dikembangkan lebih lanjut, dan contoh‐contoh pemaknaan atau alur tematik yang – sementara ini mengingat berbagai keterbatasan yang ada – dapat kami berikan untuk pendalaman. Sebagai tambahan, di penghujung setiap Bagian selalu kami berikan apendiks Saran Bahan Bacaan Lanjut berisi literatur yang kami sarankan untuk ditelaah (additional resources). Kebanyakan masih berbahasa Arab, dan sebagian juga sudah diterjemahkan. Referens dalam juz maupun halaman yang kami berikan mungkin berbeda dengan yang Anda miliki, tergantung penerbit dan edisinya. Namun, pada pokok intinya adalah sama. Disitu, terdapat review singkat mengenai tema apa saja yang terdapat dalam literatur‐literatur tersebut, sehingga pembaca dapat menentukan sendiri apakah perlu untuk mengkajinya sendiri atau tidak. Kami juga melengkapi buku ini dengan Lampiran pendukung, yang terdiri dari 6 bagian, dimana masing‐masing berisi: (1) Daftar lengkap versi‐versi tartib nuzuli, tepatnya 5 versi. (2) Tabel perbandingan diantara kelima versi diatas. (3) Tabel jumlah ayat dalam 114 surah menurut tartib mushhafi. (4) Tabel jumlah ayat dalam 86 surah Makkiyah menurut salah satu versi tartib nuzuli (sebagai bahan pembanding untuk memahami versi lainnya). (5) Tabel jumlah ayat dalam 28 surah Madaniyah menurut salah satu versi tartib nuzuli (sebagai bahan pembanding untuk memahami versi lainnya). (6) Kutipan lengkap "makna marhalah wahyu", sebuah naskah cukup panjang yang kami alihbahasakan dari buku Mabahits fi 'Ulumil Qur'an, sebagai contoh dan model untuk memahami bagaimana 6



wahyu mendampingi perjalanan dakwah Rasulullah dan men‐tarbiyah beliau bersama para Sahabat. Naskah ini memuat uraian ringkas atas 19 surah Makkiyah yang terbagi dalam 3 marhalah (fase), dan 3 surah Madaniyah yang mewakili 3 marhalah berbeda dalam perjalanan dakwah beliau. Disajikan sebagai saduran/terjemahan utuh, tanpa interpretasi atau tanggapan dari kami. Jika pun terpaksa ada catatan dari kami, kami menandainya dengan kode Pen. atau Penerjemah. Sumber‐sumber yang kami pakai mengacu kepada disiplin ilmu at‐tafsir wa ‘ulumuhu, al‐hadits wa ‘ulumuhu, serta sirah nabawiyyah. Dalam banyak kasus, kami menggunakan rujukan asli berbahasa Arab, dengan bantuan software komputer yang memang ditujukan untuk itu. Sebagian lain referensi berupa buku, majalah, jurnal, buletin, makalah, dokumen (intern), catatan‐catatan pribadi, brosur/booklet, kaset, CD, dan lain‐ lain yang ada dalam perpustakaan pribadi kami atau ikhwan‐ikhwan di Malang dan Surabaya. Mengenai sumber acuan dari Allahu‐yarham Ustadz Abdullah Said atau buku yang ditulis kader Lembaga, kami memang jarang menyinggungnya, bahkan nyaris tidak mengutipnya samasekali. Selain faktor kelangkaan sumber ilmiah yang tertulis dalam masalah ini, secara faktual kami sendiri belum pernah bertemu muka dengan beliau. Di sisi lain, dengan mengurangi pengutipan dari sumber‐sumber internal, kami berusaha menghindari pengulangan yang tidak perlu, dan mencoba mengisi celah‐ celah pembahasan yang belum terisi. Bagaimanapun, sebagai kader muda yang belum terlalu lama bergelut dalam Lembaga, bagi kami pribadi, merupakan sesuatu yang tidak etis untuk menggurui para senior dengan mengungkap apa‐apa yang sudah sangat akrab dikenal. Seharusnya, untuk masalah semacam itu, kamilah yang mesti berguru dan menimba ilmu dari mereka. Buku ini secara khusus disusun sebagai jembatan komunikasi dengan para Ustadz dan ikhwan lain di Hidayatullah, membangun budaya menulis, serta meneguhkan kembali tsiqah kita kepada manhaj SNW. Karenanya, sebelum siapapun di luar Lembaga ini membacanya, adalah penting bagi 'orang‐orang dalam' untuk lebih dulu mengkritisinya. Kami berharap upaya ini tidak disalahfahami, dan tegur‐sapa serta diskusi yang konstruktif sangat kami tunggu. Sebab, latar belakang studi ini amatlah bersahaja. Sebagai kader muda yang baru bergabung pada bulan Agustus 1996, sebenarnya lewat SNW kami menemukan kegairahan baru untuk mengkaji al‐Qur’an dan melihat relevansinya dengan kehidupan nyata. Sayangnya, referensi yang mengulas masalah ini secara spesifik hampir tidak bisa ditemukan. Sehingga, setiap usaha pendalaman maupun peneguhan pribadi juga hampir tidak mungkin. Komunikasi tentang manhaj ini berjalan searah dan sangat lambat. Dengan minimnya referensi maka manhaj ini nyaris tidak bisa diwariskan kepada generasi berikutnya di Lembaga. Adalah suatu fenomena yang menyedihkan, bahwa di level para kader muda, manhaj ini nyaris tidak dapat lagi dimengerti dengan utuh.



7



Ironis memang, bahwa dalam 33 tahun perjalanan Lembaga, ternyata belum lahir studi yang semarak dan berskala luas terhadap manhaj‐nya sendiri, atau sisi‐sisi lain yang terkait. Padahal, potensi ilmiah maupun operasional dalam konsep dasar ini sangat besar. Materi yang terkait sesungguhnya juga banyak, walau belum spesifik dan tersistematisir dalam referensi mandiri. Saat ini, mungkin tidak lebih dari 3 judul buku yang secara khusus sudah ditulis untuknya, oleh kader Lembaga. Itupun masih dalam kerangka filosofis yang umum, belum menyentuh aspek‐ aspek lain yang lebih mendalam, baik dari segi teoritik maupun aplikatif. Pewarisan (tawrits) nilai yang biasanya berlangsung secara lisan dan kontak langsung antar‐pribadi, belakangan juga mengalami penurunan drastis. Padahal, secara nyata kita tidak memiliki tradisi lisan yang kuat seperti di zaman Sahabat dalam menyikapi sunnah Rasulullah SAW. Semasa hidup Allahu‐yarham Ustadz Abdullah Said, kondisi semacam itu dapat dimengerti karena – bagaimanapun – otoritas tentang SNW berada di tangan beliau sebagai “penemu”. Namun, setelah beliau wafat, maka adalah tugas generasi berikutnya untuk melestarikan manhaj ini, mengembangkan dan mewariskannya kepada generasi penerus. Jika kultur lisan tidak dapat dipertahankan, maka harus dicari upaya lain untuk menjamin kelangsungan pewarisan nilai. Meski kita mengakui bahwa usaha ini sulit dan menghadapi banyak kendala, kita tidak boleh larut untuk menerima dan menyaksikan keruntuhan yang lebih parah. Walau kita tidak bisa menilai keberlangsungan tarbiyah semata‐mata dari jumlah buku, namun menafikannya dalam konteks kekinian – bagi Lembaga ini – adalah kekeliruan besar. Tarbiyah memerlukan sarana, dan buku atau penulisan adalah salah satunya. Dalam berbagai tafsir, surah al‐Qalam sendiri senantiasa dimulai dengan bahasan tentang kekuatan pena dalam mengubah sejarah. Dalam manhaj SNW sendiri, sejak awal surah al‐‘Alaq sudah membicaakan “al‐qalam” sebagai simbol ilmu dan pengajaran. Untuk surah al‐Qalam, namanya saja sudah sangat jelas mengindikasikan penting‐nya “al‐qalam”. Artinya, sangat disayangkan bila belum ada kultur pena (al‐qalam) yang sengaja dibangun dan dikembangkan sebagai simbol ilmu dan pengajaran (ramz al‐‘ilmi wa at‐ta’lim), atau senjata menghadapi “wa ma yasthurun”, yakni apa‐apa yang ‘mereka’ tulis dan goreskan dalam sejarah dunia. Tampaknya, kesadaran kolektif kita tentang makna “al‐qalam” terlewatkan begitu saja. Kita lebih banyak berbicara serta mencari penerapan riil dari hal‐hal lain. Padahal, berbagai tafsir mu’tabar (kredibel) yang kita miliki hampir bisa dipastikan akan menyebutkan secara rinci riwayat‐riwayat tentang al‐qalam (pena) dalam penafsirannya atas kedua surah ini. Sirah juga memperlihatkan bagaimana Rasulullah memperhatikan masalah ini, dimana para tawanan Perang Badar yang tidak mampu menebus dirinya dengan harta bisa bebas setelah mengajari baca‐tulis 10 orang anak kecil kaum muslimin di Madinah. Tulisan diperlukan untuk memelihara serta menjamin keotentikan maupun keutuhan manhaj, dan kemudian sebagai pijakan valid untuk pengembangan (tathwir). Tanpa sebuah landasan yang jelas, seluruh 8



generasi akan kehilangan arah, dan Jamaah akan kehabisan vitalitasnya dalam waktu singkat. Bagaimanapun, pewarisan lisan tidak sepi dari kemungkinan reduksi dan penyimpangan, baik karena faktor penyampaian, penerimaan, atau motif‐motif tersembunyi yang buruk. Karena alasan pewarisan nilai pula para Sahabat merasa perlu membukukan al‐Qur’an dalam satu mushhaf tersendiri, dan para ulama’ pun bersusah payah mengumpulkan serta menyeleksi hadits‐hadits Nabi dari berbagai penjuru Dunia Islam. Dalam konteks ini pulalah, Barat tak pernah meninggalkan filsafat Yunani Kuno, karena di sanalah ruh peradaban mereka. Di sisi lain, tulisan dari pena (al‐qalam) kita sendiri sangat diperlukan untuk melawan penyesatan dan tuduhan bohong dari musuh maupun pihak‐pihak lain yang tidak simpatik. Kita menyaksikan bahwa kaum Ahli Kitab – secara literal berarti ‘pemilik buku‐buku’ atau people of books – telah mengembangkan tradisi penulisan dengan sangat kuat. Dewasa ini, hampir tidak ada celah yang tidak mereka bahas dengan berbagai tulisan. Bahkan, masalah‐masalah yang mereka kaji sudah melampaui tradisi agama mereka sendiri, yakni merambah doktrin dan tradisi agama lain. Terlihat betapa bernafsunya para penulis – yang nota‐bene kafir – itu dalam mengkaji tema‐tema besar Islam, yang sebetulnya tidak bernilai apa‐apa menurut mereka. Sudah saatnya kita semua “memanggil diri sendiri” untuk merawat manhaj ini dan meneguhkannya kembali, lewat upaya apapun yang memungkinkan bagi diri kita masing‐masing. Jika tidak, mungkin kita juga harus bersepakat untuk merumuskan penggantinya. Sebab, Jamaah ini tidak mungkin berjalan tanpa panduan. Dalam risalah ini, kami mencoba mengerjakan apa yang kami bisa. Serangkaian studi telah kami lakukan sejak 1999 bersama penulisan skripsi untuk S1 di STAIL Surabaya. Banyak hal yang kami temukan, seperti pembuktian‐ pembuktian ilmiah dari para ahli yang – bisa jadi – akan meneguhkan, meruntuhkan atau mengisi celah‐celah dalam kajian SNW. Risalah ini merekam data‐data yang kami maksudkan, agar dapat dimanfaatkan atau dikritisi oleh para Ustadz dan kader yang lain. Sebagai sebuah penelitian, sejujurnya buku ini memuat beberapa materi yang belum sepenuhnya final. Di masa depan, adakalanya diperlukan revisi dan bahkan – mungkin – pencabutan sebagian kesimpulannya. Di sisi lain, buku ini tidak secara sangat terperinci memuat hal‐hal yang aplikatif dan matang, sehingga dapat diambil buah serta manfaatnya secara langsung. Para pembaca akan disuguhi beragam data, kontroversi, pemilahan, atau kebingungan. Diperlukan konsentrasi dan keseriusan tersendiri untuk mencernanya. Kami mengajak segenap pembaca untuk aktif mengkaji dan menerapkan, mendalami dan memperluas, bersama‐sama. Buku ini, pertama‐tama, ditujukan bagi sebagian orang – mungkin di tingkat pemikir dan murabbi dalam Lembaga – yang membutuhkan pijakan dasar bagi sebuah rumusan operasional yang lebih menentramkan hati. Kedua, bagi seluruh kader yang memiliki kepedulian 9



maupun minat besar untuk mewarisi manhaj ini dan meneguhkan kembali kebersamaan kita dengan ikatan yang lebih jelas serta kukuh. Seperti dalam edisi pertama, kali ini kami pun belum berani menyarankan penyebarluasan buku ini secara bebas kepada masyarakat umum, kecuali ada izin resmi dari Pimpinan Umum dan Majelis Syuro. Pilihan ini bukan karena menyembunyikan ilmu, namun demi menghindari fitnah dan kerusakan yang diakibatkan bergabungnya sembarang orang dalam mendiskusikan masalah yang diperlukan prasyarat tertentu di dalamnya. Dalam buku Kiat Istimewa Agar Nasihat Diterima, hal. 152‐153, Muhammad bin Ibrahim al‐Hamd menukil: Ali bin Thalib berkata, “Berbicaralah kepada orang lain dengan apa yang mereka ketahui. Apakah kamu ingin jika Allah dan Rasul‐Nya didustakan?” (HR al‐Bukhari). ‘Abdullah bin Mas’ud juga berkata, “Tidaklah kamu berbicara kepada suatu kaum dengan pembicaraan yang tidak dapat dipahami oleh akal mereka melainkan akan terjadi fitnah pada sebagian dari mereka.” (HR Muslim dalam muqaddimah kitab Shahih‐nya). Ibnul Jauzi berkata, “Diantara kekhawatiran terbesar adalah berbicara kepada orang awam dengan sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh akal mereka atau dengan sesuatu yang meresap ke dalam jiwa yang berlawanan dengannya.”



Tentu saja, kami juga belum merekomendasikan buku ini sebagai bahan tarbiyah bagi para kader pemula, tanpa didampingi atau diberi penjelasan oleh narasumber yang hidup dan hadir. Dalam konteks ini, mereka adalah kaum awam. Sangat berbahaya menyajikan esai semacam ini kepada para kader muda yang sedang dilunakkan hatinya (mu’allafah qulubihim) agar bergabung dalam barisan kafilah perjuangan, dan bersama‐sama ber‐Lembaga. Namun, menurut hemat kami, buku ini semata‐mata tidaklah menyimpan bahaya, sepanjang dikaji dengan motivasi yang lurus dan jujur. Pendampingan dari seseorang yang lebih memahami spirit Lembaga diperlukan sebatas menjelaskan hal‐hal tertentu yang bersifat intrinsik dan hanya dapat difahami setelah bergelut dengan Lembaga ini sekian waktu lamanya. Dengan demikian, rekomendasi manhaj tarbawi yang ditulis dalam bagian terakhir buku ini masih dapat diterapkan kepada siapapun, asal dipandu oleh kader Lembaga sendiri. Akhirnya, untuk semua pihak yang telah memberikan sumbangsih dalam penulisan risalah ini, kami sampaikan terima kasih. Jazaakumullah khairan katsiraa. Walau tanpa harus menyebutkan nama mereka satu persatu – sebagaimana dalam edisi pertama – kiranya tidak mengurangi ta'zhim serta penghargaan kami yang tulus atas segenap peran sertanya yang luar biasa. Sebab, sungguh dalam setiap bagian dari risalah ini, kecil atau besar, terdapat amal dari sekian banyak pribadi, yang hanya Allah saja yang Maha Meliputi perincian detailnya. Semoga Dia yang Maha Tahu lagi Maha Pemurah kelak membalasnya dengan yang lebih baik. Amin.[] Wallahu a’lam. 10



DAFTAR ISTILAH ILMU HADITS [ GLOSSARY ]



Sanad adalah rangkaian nama‐nama orang yang menjadi perantara sampainya suatu hadits, mulai dari Sahabat sampai kepada orang terakhir yang kemudian mencatatnya dalam suatu kitab himpunan hadits tertentu. Sanad adalah matarantai periwayatan (the chain of transmission) dari suatu hadits. Sanad artinya sandaran. Rawi atau perawi adalah seseorang yang menceritakan suatu hadits. Matn atau matan adalah teks hadits yang menjadi inti berita dari suatu rangkaian sanad tertentu. ‘Adalah atau adil adalah suatu kriteria kepribadian yang akan terpenuhi jika seseorang itu muslim, baligh, berakal, bukan pelaku dosa besar atau suka melakukan hal‐hal kecil yang dapat merusak sifat muru’ah (kehormatan diri). Dhabith adalah suatu kriteria hafalan yang akan terpenuhi jika seseorang mempunyai ingatan yang kuat dan sempurna, tidak mudah lupa atau tercampur aduk. Dhabith berarti tepat, kuat, mantap, cermat, detail. Jarh secara bahasa berarti luka. Istilah ini dalam Ilmu Hadits berati suatu penilaian buruk atas diri seorang perawi. Biasanya berisi pernyataan‐pernyataan para pakar biografi perawi hadits (rijaal al‐ hadits) tentang seseorang yang tidak bisa diterima periwayatannya. Kadang penilaian tersebut dijelaskan alasannya, kadang juga tidak disebutkan. Kebalikannya adalah ta’dil, dan biasanya digabung menjadi satu al‐jarh wat‐ta’dil, yang merupakan cabang khusus dalam Ulumul Hadits, populer disebut Ilmu Kritik Hadits. Banyak buku telah ditulis berisi rincian nama‐nama perawi dan biografi mereka, baik yang bisa diterima maupun ditolak periwayatannya. Biografi tersebut biasanya menyertakan deretan nama‐nama guru dan murid setiap perawi, yang berguna untuk memastikan bersambung atau tidaknya suatu sanad. Komponen lain yang sering disertakan dalam biografi adalah nasab, qabilah, kota/negeri asal, tempat tinggal, tempat wafat, tahun kelahiran dan tahun wafat. Kadang juga disertakan contoh hadits yang diriwayatkannya. Hadits Shahih adalah hadits yang sanad‐nya bersambung dimana seluruh perawinya mulai dari awal sampai akhir memenuhi sifat ‘adalah dan dhabith, dengan tanpa kejanggalan (syadz) maupun cacat (‘illat) yang merusak. Shahih berarti benar, sehat, tidak cacat, valid. Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang memenuhi sifat ‘adalah akan tetapi sifat dhabith‐nya kurang sempurna, dengan tanpa ada cacat maupun kejanggalan di dalamnya. Hasan berarti bagus atau baik. Hadits Dha’if adalah hadits yang tidak dapat memenuhi satu atau lebih diantara beberapa persyaratan dapat diterimanya suatu hadits. Ada 11



banyak cabang dan jenis hadits dha’if, dan tingkatannya pun berlain‐ lainan tergantung ringan atau beratnya kelemahan yang ada, baik dari segi sanad maupun matan‐nya. Ada hadits dha’if yang bisa diterima dan diamalkan, ada yang harus diberi catatan sebelum dipakai, ada pula yang harus disingkirkan jauh‐jauh. Semua hadits yang tidak bisa diterima berarti mengandung cacat atau kelemahan tertentu di dalamnya, atau termasuk jenis hadits dha’if. Kata dha’if sendiri berarti lemah. Hadits Marfu’ adalah sesuatu yang dinyatakan berasal dari Nabi shallah‐ llahu ‘alaihi wa sallam, berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat, secara de facto maupun de jure; baik bersambung maupun tidak sanad‐ nya; baik yang menyatakan hal itu dari kalangan Sahabat, Tabi’in atau lainnya. Marfu’ berarti terangkat, yakni terangkat sampai kepada Nabi. Hadits Mauquf adalah sesuatu yang dinyatakan berasal dari generasi Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan; baik bersambung maupun tidak sanad‐nya; dengan syarat tidak mengandung bukti serta indikasi (qarinah) adanya ketersambungan dengan Rasulullah. Mauquf berarti terhenti, yakni terhenti hanya sampai kepada Sahabat. Hadits Maqthu’ adalah sesuatu yang dinyatakan berasal dari generasi Tabi’in atau sesudahnya, berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan; baik sanad‐nya bersambung maupun tidak; dengan syarat tidak mengandung bukti serta indikasi (qarinah) adanya ketersambungan dengan generasi Sahabat atau Rasulullah sendiri. Maqthu’ berarti terputus, yakni putus hanya sampai kepada Tabi’in. Hadits Muttashil adalah hadits yang bersambung sanad‐nya sampai kepada Nabi shalla‐llahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang Sahabatnya, dimana masing‐masing perawi di dalamnya mendengar langsung hadits tersebut dari perawi sebelumnya. Disebut juga riwayat yang maushul, kebalikan dari munqathi’. Istilah muttashil dan maushul secara harfiah sama‐sama berarti tersambung. Hadits Munqathi’ adalah hadits yang dalam jajaran perawinya ada satu nama yang gugur [tidak disebutkan namanya], selain Sahabat. Bisa jadi jumlah perawi yang gugur lebih dari satu, akan tetapi tidak boleh secara berurutan. Dengan kata lain, hadits ini adalah hadits yang tidak bersambung sanad‐nya, sama saja pada bagian mana pun keterputusan itu terjadi. Munqathi’ artinya putus. Hadits Mu’allaq adalah hadits yang dalam sanad‐nya ada dua orang perawi yang gugur [tidak disebutkan namanya] secara berurutan, di awal sanad‐nya; baik setelah itu ada lagi perawi yang gugur maupun tidak. Mu’allaq artinya tergantung. Hadits Mursal adalah hadits yang dinyatakan oleh generasi Tabi’in sebagai berasal dari Nabi, meski hanya secara de jure. Biasanya berupa perkataan dari Tabi’in bahwa Rasulullah bersabda begini begitu, dengan tanpa menyebutkan Sahabat mana yang menjadi sumbernya. Mursal artinya terlepas. Hadits Mu’dhal adalah hadits yang yang dalam sanad‐nya ada dua orang perawi yang gugur [tidak disebutkan namanya] secara berurutan, baik di 12



awal, tengah maupun penghujung sanad‐nya. Jenis ini lebih lemah statusnya dibanding hadits mu’allaq. Kata mu’dhal bisa juga dibaca mu’adhdhal yang berarti terhalang. Hadits Mudallas terbagi dua: mudallas isnad dan mudallas syuyukh. Yang pertama berarti hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari seseorang yang sempat ditemuinya [dari segi usia dan generasi] akan tetapi ia sebenarnya belum pernah mendengar (simaa’) hadits darinya, seakan‐akan ia pernah mendengar riwayatnya secara langsung; atau ia meriwayatkan sesuatu dari seseorang yang sempat ia dengar riwayatnya, akan tetapi dalam hal ini ia tidak mendengar apa yang sedang ia riwayatkan itu dari orang tersebut, seolah‐olah ia pernah mendengarnya. Adapun yang kedua berarti seorang perawi yang menyebut secara terus terang nama gurunya, akan tetapi ia melekatkan kepadanya suatu nama, gelar, julukan, atau nasab qabilah, negeri, maupun profesi, dengan tujuan supaya tidak diketahui jatidiri aslinya. Mudallas artinya disembunyikan cacatnya. Hadits Mudhtharib adalah hadits yang saling bertentangan dalam hal sanad, matan atau keduanya sekaligus, bisa berupa penambahan maupun pengurangan dimana perbedaannya tak mungkin dikompromikan (al‐jam’u) maupun dipilih yang terkuat (at‐tarjih). Mudhtharib berarti tidak mantap atau berguncang‐guncang. Hadits Maqlub adalah hadits yang tertukar satu sama lain, yakni suatu hadits yang dikenal sebagai berasal dari seorang perawi tertentu kemudian ditukar kepada perawi lain, atau sanad dari suatu matan hadits dipasang kepada matan hadits lainnya. Maqlub artinya terbalik atau tertukar. Hadits Gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja, tidak ada duanya, baik dalam segi sanad, matan maupun keduanya sekaligus; baik pada sebagian saja atau keseluruhannya. Gharib berarti asing atau sendirian. Hadits Syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqah (terpercaya), tetapi berlainan dengan perawi lain yang lebih kuat darinya, baik karena lebih baik sifat dhabith‐nya, lebih banyak jumlahnya, atau hal‐hal lain yang lebih unggul. Syadz berarti janggal atau nylénéh (bahasa Jawa, maksudnya: berbeda sekali dengan yang lain pada umumnya). Hadits Syahid adalah hadits yang bersesuaian maknanya dengan hadits lain, akan tetapi lafalnya berlainan. Secara harfiah syahid artinya saksi, dan ia bisa menguatkan hadits lain yang semakna dengannya. Hadits Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if (lemah), tetapi berlainan dengan perawi lain yang lebih dha’if darinya. Menurut definisi lain, hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak bermaksiat (fasiq), sering melakukan kekeliruan (katsir al‐ghalath), pelupa atau sangat buruk kualitas hafalannya. Dalam buku ini, jika disebut munkar maka yang dimaksud adalah definisi yang kedua. Ini termasuk jenis hadits yang sangat lemah (dha’if syadid) dan tidak bisa dijadikan sandaran hukum (la yuhtajja 13



bihi), bersama hadits matruk dan maudhu’. Munkar artinya tidak diakui kebenarannya. Hadits Matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dituduh berdusta (muttaham bil‐kadzib) atau ada indikasi ke arah itu, karena perilaku sehari‐harinya dusta. Populer disebut sebagai hadits semi palsu. Matruk berarti ditinggalkan. Hadits Maudhu’ adalah hadits yang secara dusta dan sengaja dibuat‐ buat dengan disandarkan kepada Rasulullah, berupa ucapan, perbuatan, ketetapan atau hal‐hal lain yang serupa. Kepalsuan suatu hadits bisa dilacak dari pengakuan perawi ybs; atau bukti‐bukti lain yang diambil dari dirinya, misalnya demi menyenangkan sebagian penguasa; atau dari teks yang diriwayatkannya, seperti lafal serta maknanya yang rapuh dan tidak bermutu; atau isinya bertentangan dengan kandungan al‐Qur’an, hadits mutawatir, ijma’ yang qath’ie, atau akal sehat yang jelas. Bisa jadi pemalsuan berasal dari perawi ybs atau orang lain yang dia ambil riwayatnya. Motif pemalsuan bisa karena ingin menyesatkan, mencari pahala, fanatisme, menyenangkan penguasa, dll. Hadits ini haram diriwayatkan bagi orang yang mengetahuinya, kecuali jika disertai penjelasan tentang kepalsuannya. Maudhu’ berarti dibuat‐buat, yakni dipalsukan secara sengaja.



14



DAFTAR ISI Pengantar Edisi Kedua Muqaddimah Daftar Istilah Ilmu Hadits (Glossary)



1 5 11



BAGIAN I KONSEP‐KONSEP KUNCI MANHAJ SISTEMATIKA NUZULNYA WAHYU Bab I Pemaknaan Tartib Nuzuli dalam Manhaj SNW



20



Pola Dasar Pendidikan Hidayatullah (Tinjauan Umum) · Menggugah Kesadaran dengan al‐'Alaq · Meniti Jalan dengan al‐Qalam · Membentuk Watak dan Kepribadian dengan al‐Muzzamil · Menyatukan Langkah dengan al‐Muddatsir · Berislam Kaffah dengan al‐Fatihah Kedudukan Studi Ini terhadap SNW



20 21 21 22 22 23 24



Bab II Landasan Ilmiah Manhaj SNW



25



Bab III Memahamai Konsep "Tartib Nuzuli"



28



Tartib Nuzuli dalam Ulumul Qur’an Tartib Nuzuli dalam Sirah Nabawiyah Tartib Nuzuli dalam SNW Versi‐versi Tartib Nuzuli Versi‐versi Lain [tidak lengkap]



29 33 34 35 38



Bab IV Memaknai Marhalah Wahyu



41



Sumber Marhalah Nuzulnya Wahyu Enam Marhalah Nuzulnya Wahyu Marhalah Wahyu Makkiyah dan Madaniyah Manfaat dan Fungsi Marhalah Wahyu Sebuah Model Pemaknaan



41 42 44 46 46



Bab V Tarikh Nuzul Ayat‐ayat Al‐Qur'an



48



Ayat‐ayat Wahyu Pertama Ayat‐ayat dalam SNW Riwayat Ayat‐ayat Pertama al‐'Alaq Riwayat Ayat‐ayat Pertama al‐Qalam Riwayat Ayat‐ayat Pertama al‐Muzzamil Riwayat Ayat‐ayat Pertama al‐Muddatsir Tujuh Ayat al‐Fatihah



48 52 54 54 56 57 58



15



Ringkasan



60



Saran Bahan Bacaan Lanjut



61



BAGIAN II PILAR‐PILAR POKOK MANHAJ SISTEMATIKA NUZULNYA WAHYU Bab I Ijma' atas al‐'Alaq



69



Riwayat 'Aisyah tentang Wahyu Pertama Riwayat Jabir tentang Wahyu Pertama



70 72



Bab II Memahami Kontroversi al‐Qalam



75



Kontroversi Wahyu Kedua Riwayat Masa "Fatrah" dan Kaitannya dengan al‐Qalam Kedudukan al‐Qalam dalam Tartib Nuzuli Riwayat "al‐Qalam Sebagai Wahyu Kedua" Riwayat Lain Asbabun Nuzul al‐Qalam Tinjauan Langsung terhadap Kandungan Surah al‐Qalam Al‐Qalam Bukan Wahyu Kedua Kemungkinan Kompromi Seputar Kedudukan al‐Qalam



75 78 83 86 90 92 95 97



Bab III Menjernihkan Kekaburan Riwayat al‐Muzzammil



100



Riwayat Asbabun Nuzul al‐Muzzamil Al‐Muzzamil Turun Setelah al‐Muddatsir



101 104



Bab IV Al‐Muddatstsir Sebagai Wahyu Kedua



109



Riwayat Lemah Asbabun Nuzul al‐Muddatsir Al‐Muddatsir: Wahyu Penegas Kerasulan



109 111



Bab V Kedudukan al‐Fatihah dalam Tartib Nuzuli



113



Al‐Fatihah: Diperselisihkan Tarikh Nuzulnya Riwayat Asbabun Nuzul al‐Fatihah Al‐Fatihah Turun di Makkah



114 116 120



Bab VI Al‐Lahab Sebagai Surah Penanda Da'wah Jahriyah



121



Riwayat Asbabun Nuzul al‐Lahab Status Riwayat Asbabun Nuzul al‐Lahab



122 124



Ringkasan



130



Saran Bahan Bacaan Lanjut



133



16



BAGIAN III MEMBACA SIRAH NABAWIYAH DALAM TINJAUAN TARTIB NUZULNYA WAHYU Bab I Al‐Qur'an dan Sirah Nabawiyah



135



Bab II Sumber Rujukan



137



Literatur Pilihan



139



Bab III Mengidentifikasi Kronologi Sirah Nabawiyah Lewat Tartib Nuzuli



141



Dua Langkah Pendahuluan Menggabungkan Versi Tartib Nuzuli Kronologi Sirah dan Tartib Nuzuli



141 142 146



Ringkasan



148



Saran Bahan Bacaan Lanjut



149



BAGIAN IV MANHAJ SISTEMATIKA NUZULNYA WAHYU DALAM PRAKTEK Bab I Memperbaharui Tartib Nuzuli dalam SNW



154



Bab II Qira'ah, Tartil dan Tilwah



156



Tiga Sarana Pokok Makna Qira'ah Makna Tartil Makna Tilawah Membaca al‐Qur'an



156 156 158 159 160



Bab III Manhaj Tarbawi



162



Rambu‐rambu Kajian Pengkajian Berkelompok Marhalah Materi · Marhalah Makkiyah Ula · Marhalah Makkiyah Wasath · Marhalah Makkiyah Intiha' · Marhalah Madaniyah Ula · Marhalah Madaniyah Wasath · Marhalah Madaniyah Intiha' Tema Surah dalam Marhalah Bagaimana Memulai Kajian? · Model Kajian Surah



162 163 164 165 165 165 165 165 165 165 167 167



17



·



Model Kajian Tematis



167



Penutup



169



Lampiran 1. Daftar Lengkap 5 Versi Tartib Nuzuli



173



Lampiran 2. Tabel Perbandingan 5 Versi Tartib Nuzuli



180



Lampiran 3. Tabel Jumlah Ayat dari 114 Surah al‐Qur’an dalam‐ Tartib Mushafi



185



Lampiran 4. Tabel Jumlah Ayat dari 86 Surah Makkiyah Versi‐ al‐Biqa’i dan Abul Qasim



188



Lampiran 5. Tabel Jumlah Ayat dari 86 Surah Madaniyah Versi‐ al‐Biqa’i dan Abul Qasim Lampiran 6. Kutipan Lengkap Makna Marhalah Wahyu · · · ·



Marhalah Makkiyah Pertama Marhalah Makkiyah Kedua Marhalah Makkiyah Ketiga Marhalah Madaniyah



190 191 191 200 217 240



Daftar Pustaka



244



Riwayat Hidup Penulis



252



18



xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx



BAGIAN I KONSEP‐KONSEP KUNCI



MANHAJ SISTEMATIKA NUZULNYA WAHYU Bagian ini mengetengahkan rujukan atas dasar‐ dasar pemikiran Manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu secara umum, dengan lebih mengedepankan metodologi penelusuran sumber‐sumber asal sebuah riwayat tentang berbagai hal yang selama ini dianggap sebagai bagian integral dari Manhaj SNW. Diupayakan, sumber‐sumber tersebut berasal dari ulama' salaf, atau paling tidak dapat dirujukkan kepada mereka walaupun melalui pengutipan oleh ulama' khalaf. Seluruhnya terangkum dalam 5 bab. ·



Pemaknaan Tartib Nuzuli dalam Manhaj SNW



·



Landasan Ilmiah Manhaj SNW



·



Memahami Konsep "Tartib Nuzuli"



·



Memaknai "Marhalah Wahyu"



·



Tarikh Ayat‐ayat al‐Qur'an



·



Ringkasan



·



Saran Bahan Bacaan Lanjut



wwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww



19 



BAB I PEMAKNAAN TARTIB NUZULI DALAM MANHAJ SNW



Buku ini, sejak awal sampai penutup, ditujukan sebagai sebuah kajian yang merujukkan konsep‐konsep dalam manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW) kepada khazanah salaf. Dengan demikian, materi buku ini secara khusus akan memandu setiap pembaca untuk menelusuri akar‐ akar pemikiran manhaj ini yang melimpah dalam berbagai literatur klasik yang terpercaya (mu'tabar dan mu'tamad) selama berbilang abad. Dan, sebelum kami memulai seluruh rangkaian studi ini, adalah bijaksana untuk menyajikan secara ringkas konsep asli manhaj ini, menurut perspektif tradisi Lembaga. Apa yang kami muat pada bagian ini merupakan kutipan dari profil Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman al‐Hakim (STAIL) Pesantren Hidayatullah Surabaya yang diterbitkan pada tahun 1999, hal. 2‐6. Naskah ini sebetulnya merupakan reproduksi dan hasil editing sebagian dari isi buku profil Sewindu Pesantren Hidayatullah Surabaya, terbit tahun 1996, hal. 6‐8. Ada beberapa perbedaan kecil dalam kedua naskah ini, terutama dalam hal penggunaan istilah tertentu yang diperhalus, namun pada intinya sejalan dan merujuk kepada fakta yang sama.



Pola Dasar Pendidikan Hidayatullah (Tinjauan Umum) Sebagai lembaga perjuangan, Hidayatullah menjadikan pendidikan sebagai prioritas program. Namun demikian, lembaga ini tidak sekedar lembaga pendidikan, dalam pengertian bukan sekedar sekolah yang tugas utamanya mentransfer ilmu kepada para mahasiswanya. Kongkritnya Hidayatullah dihrapkan menjadi embrio dari proses pembangunan masyarakat Islam. Seluruh jamaahnya diantarkan untuk menyatukan iman, ilmu sekaligus amal dalam kehidupan keseharian. Secara singkat dapat dikatakan, Hidayatullah adalah Lembaga Islam, bukan sekedar Lembaga Pendidikan Islam. Sebagai Lembaga Islam, visi dan misi Hidayatullah sangat luas. Lahan garapannya bukan hanya sekedar santri yang ada di dalam asrama, tapi juga masyarakat umum. Cakupannya tidak sekedar pendidikan agama, tapi juga menyentuh soal‐soal ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi dan segala aspek kehidupan umat yang vital. Agar pengembangan visi ini tetap istiqamah, diperlukan pola dasar, sebagai acuan terhadap langkah perjuangan menuju pulau harapan. Pola dasar ini diilhami oleh tarbiyah Allah kepada Rasul‐Nya, kemudian tarbiyah Rasul kepada para Sahabat, berikut umatnya. Pola dasar inilah yang lebih dikenal dengan istilah Sistematika Nuzulnya Wahyu, disebut demikian karena tahapan‐tahapan pembinaannya didasarkan atas urutan‐urutan turunnya wahyu kepada Rasulullah. Mulai dari surat al‐Alaq, al‐Qalam, al‐Muzzamil, al‐Muddatsir dan al‐Fatihah. 20



Menggugah Kesadaran dengan al‐‘Alaq Ber‐Iqra', membaca, adalah perintah Allah yang pertama, sebelum perintah shalat, puasa, zakat. Allah memerintahkan hamba‐Nya agar membaca dan membaca. Membaca dalam cakupan Iqra' dapatlah diartikan seluas‐luasnya, bukan hanya tekstual, karena mencakup pilihan jalan hidup. Di samping itu, Islam bukanlah dogma, melainkan konsep yang harus dihayati dengan penuh kesadaran. Islam tidak menghendaki umatnya menjalankan agamanya secara taqlid, membabi buta. Islam adalah agama kesadaran, ad‐diinu 'aqlun la diina liman la 'aqla lahu. Agama adalah kesadaran, tidak sempurna agama seseorang yang tidak memiliki kesadaran. Proses Iqra' itu diharapkan sampai kesadaran akan eksistensi pencipta (al‐Khaliq) da eksistensi manusia. Upaya manusia untuk mengenal Allah secara baik begitupula mengenal dirinya di hadapan Allah akan melahirkan suatu sikap penyerahan diri secara total kepada Allah, bahwa hidup ini hanya pengabdian diri kepada Allah, lewat suatu pengakuan syahadat la ilaha illallah. Selanjutnya ayat 4 dan 5 menyatakan bahwa Muhammad adalah manusia yang secara langsung dibimbing oleh Allah dengan diturunkannya wahyu kepadanya. Karena itu ayat ini mengantarkan kita untuk bersyahadat dengan Muhammad Rasulullah. Inilah makna surat pertama, al‐'Alaq: 1‐5, "Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb‐mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."



Meniti Jalan dengan al‐Qalam Setelah bersyahadat, tentunya cita‐cita seseorang tiada lain kecuali menegakkan kalimatullah yang al‐ulya. Keinginannya, adalah menyaksikan kehidupan yang harmoni dalam tat aturan Allah, karenanya perlu disiapkan metode untuk mencapai obsesi itu. Maka diturunkanlah konsep sebagaimana tercakup dalam surat al‐Qalam 1‐7. "Nuun, demi qalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu, kamu (Muhammad) sekali‐kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu benar‐benar pahala yang tiada putus‐putusnya. Da sesungguhnya kamu benar‐benar berbudi pekerti yang agung. Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang‐orang kafir) pun akan melihat. Siapa diantara kalian yang gila. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia lah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari jalan‐Nya, dan Dia lah yang paling Mengetahui orang‐orang yang mendapat petunjuk." Yang ingin dicapai dari tahap ini adalah kuatnya keyakinan akan kebenaran laa ilaha illallah. Ini perlu untuk memberi kekuatan moral di tengah runyamnya kehidupan. Sebagaimana diketahui, pada masa ini suatu kebenaran bisa menjadi olokan, sementara tindakan kemungkaran justru diagung‐agungkan. 21



Pernyataan bahwa pembawa kebenaran bukanlah termasuk kelompok orang gila, dengan banyak pengertian akan memberikan semangat juang yang luar biasa. Mereka yang telah menghayatinya akan mendapatkan motivasi hingga rela mengorbankan apapun demi terwujudnya cita‐cita menegakkan kalimat Allah.



Membentuk Watak dan Kepribadian dengan al‐Muzzammil Semua pekerjaan menuntut persyaratan pribadi. Untuk melanggengkan cita‐cita menegakkan laa ilaha illallah perlu keutuhan dalam menampilkan diri sebagai seorang muslim sejati. Identitas ini bahkan harus melekat di manapun berada, bukan hanya bila di muka umum. Islam menyiapkan konsep selanjutnya demi menjaga kualitas diri, yakni dengan memotivasi umatnya agar memperhatikan ibadahnya. Persyaratan inilah yang dituntut dalam hadapan selanjutnya sebagaimana terangkum dalam wahyu yang ke‐3, al‐Muzzammil 1‐10. "Hai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk mengerjakan shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). (Yaitu) setengahnya atau kurangilah dari setengah itu sedikit. Atau lebih dari setengah itu, dan bacalah al‐Qur'an itu dengan tartil (perlahan‐lahan). Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu') dan bacaan di waktu malam itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada‐ Nya dengan penuh ketekunan. (Dia lah) Tuhan masyriq dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah dia sebagai pelindung. Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik." Yang paling ditekankan dalam al‐Muzzammil adalah shalat malam, sebagai ibadah tambahan. Hal ini menyiratkan asumsi bahwa ibadah‐ ibadah wajib dengan sendirinya sudah dilaksanakan. Shalat malam juga menjadi persyaratan akhlaq pejuang kebenaran karena di balik itu Allah menjanjikan banyak kelebihan yang tidak akan dimiliki orang biasa. Tuntutan kedua adalah memperbanyak membaca dan mempelajari al‐ Qur'an. Kemudian memperbanyak dzikir dalam arti menjalin hubungan kontinyu dengan Allah subhanahu wa ta'ala. Selanjutnya memiliki sifat sabar dan tawakkal, yang menggambarkan sosok pribadi tenang penuh perhitungan, serta memiliki kesiapan menanggung resiko apapun juga. Sikap terakhir sebagai penyempurna adalah hijrah, sebagai bukti keberanian dan kesungguhan untuk meninggalkan yang buruk dan memilih yang baik, sekalipun harus banyak berkorban.



Menyatukan Langkah dengan al‐Muddatstsir Dengan cita‐cita dan kekuatan pribadi seperti itu, tahapan lanjut yang mesti dilalui adalah menyatukan berbagai potensi. Pertama berupa 22



pribadi‐pribadi dengan kualitas yang setara. Penyeragaman kualitas perlu dilakukan agar langkah bisa serentak. Inilah yang disiratkan dalam surat keempat, al‐Muddatsir 1‐7. "Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan. Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah." Dalam tahapan ini, selain umat Islam dituntut untuk bisa berorganisasi secara rapi, juga harus bisa mengajak kepada kebaikan, baik ke dalam maupun ke luar. Dengan adanya perintah untuk memberi peringatan, berarti seseorang dipersilakan untuk menyebarkan dakwah tanpa batas. Tetapi ini semua bisa akan dilakukan dengan sukses bila persyaratan sejak tahap pertama hingga ketiga tetap terpenuhi. Berislam Kaffah dengan al‐Fatihah Dengan dimasukinya tahap al‐Fatihah, tersirat keberhasilan perjuangan yang telah mengarah kepada terwujudnya masyarakat yang penuh dengan rahmat. Tetapi hal ini tergantung kepada keputusan Allah, tidak dipaksakan, yang bisa dilakukan hanyalah upaya, sabar, istiqamah meniti jalan‐Nya. Dan bila Allah berkenan karena melihat hamba‐Nya memenuhi persyaratan dan kemampuan, maka kelanjutannya akan mudah saja. Namun sebelumnya perlu ada pembuktian kemampuan berupa prestasi‐ prestasi bahkan hingga yang tak masuk akal sekalipun. Ini tidak ringan, sebagaimana perjalanan Nabi yang penuh onak dan duri. Bila prestasi itu belum nampak, berarti ada yang kurang dari serangkaian perjalanan dari tahap ke tahap. Mungkin persyaratan pribadi belum terpenuhi. Atau ada anggota jamaah yang masih suka bikin dosa. Atau istri dan anggota keluarga masih belum mau mengenakan jilbabnya dan sebagainya. Itu semua perlu koreksi agar keberhasilan yang dicita‐ citakan bisa terwujudkan, dan umat Islam bisa mengelola dunia dengan kasih sayang sebagaimana tersirat dalam satu surah, al‐Fatihah 1‐7. "Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang Menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang‐ orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nasrani)." *** Demikianlah, pemaknaan ringkas atas rangkaian penurunan wahyu‐ wahyu pertama yang unik tersebut dalam konsep asli manhaj SNW. Kutipan ini sebetulnya sangat global, dan tentunya tak bisa menjelaskan secara memadai, namun setidaknya akan memudahkan pembaca 23



memahami bagaimana kedudukan maupun urutan suatu surah dalam tartib nuzuli menjadi sangat penting menurut perspektif SNW.



Kedudukan Studi ini Terhadap SNW Kiranya penting dimaklumi, bahwa apa yang senantiasa disebut sebagai SNW (Sistematika Nuzulnya Wahyu) dalam risalah ini adalah tata urutan penurunan al‐Qur'an yang merujuk kepada konsep orisinalnya dalam tradisi Lembaga. Menurut konsep aslinya, pembahasan ditekankan kepada 5 wahyu pertama, sebagaimana sudah dirinci sebelum ini, yaitu (berturut‐turut): · · · · ·



Al‐'Alaq ayat 1‐5 Al‐Qalam ayat 1‐7 Al‐Muzzammil ayat 1‐10 Al‐Muddatstsir ayat 1‐7 Al‐Fatihah ayat 1‐7



Pemaknaan dan penerapan nilai‐nilai yang terkandung di dalam kelima surah ini, sekaligus hikmah di balik urutannya yang unik tersebut, dikenal sebagai "Sistematika Nuzulnya Wahyu". Kadangkala, istilah ini disingkat dengan SNW, Sistematika Wahyu, atau Siswa. Meskipun kajian dalam buku ini tidak sepakat dengan tata urutan tersebut, dan memiliki bukti‐bukti ilmiah yang menunjukkan adanya tartib nuzuli lain yang lebih mu'tamad (dapat dipegangi), namun asumsi awal kami tentang SNW adalah konsep asli tersebut. Seluruh alur pemikiran studi ini pun dilandaskan kepada SNW menurut konsep aslinya, dengan berbagai kritik maupun peneguhan di dalamnya. Kami menelusuri satu demi satu konsep‐konsep utama yang membentuk fikrah dalam manhaj ini dari khazanah salaf. Penting dicatat, bahwa kami tidak berhenti sebatas mengetahui sumber tata urutan tersebut, namun sekaligus berusaha memverifikasi ke‐shahih‐an penempatan suatu surah pada urutan tertentu, sepanjang dapat kami temukan data dan sumber rujukannya yang pasti. Tentu saja, pada akhirnya kesimpulan dalam studi ini akan memperlihatkan warna‐warni khazanah pemikiran kaum muslimin yang sangat kaya, disamping potensial melahirkan kontroversi. Namun, selama kita jujur dalam menelaah dan berpegang kepada amanah ilmiah, semua itu tidak mengapa. Dan, kepada‐Nya jua kita berpegang.[] Wallahu a'lam.



24



BAB II LANDASAN ILMIAH MANHAJ SNW



Bagi sementara kalangan yang baru mengenal manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu, (SNW) sangat boleh jadi cukup sukar menangkap apa hubungan antara berbagai komponen yang dibahas dalam buku ini. Oleh karena itu, kami merasa perlu untuk menulis satu bab khusus yang akan menjelaskan bagaimana pembaca bisa menghubungkan, mencerna dan memahami isi buku ini secara utuh. Dengan kata lain, bab ini kami tujukan sebagai pengantar konsepsional atas diskusi‐diskusi mendalam yang akan kami paparkan di belakangnya, insya‐Allah. Adapun pengantar yang lebih global telah kami berikan dalam Muqaddimah. Sebagian orang juga menilai SNW sebagai bid'ah alias mengada‐ada, tidak berdasar, atau bertentangan dengan manhaj salaf ash‐shalih. Cap‐ cap negatif semacam ini terhadap SNW kemungkinan besar lahir dari ketidakmengertian terhadap khazanah ulama' salaf itu sendiri. Sebab, jika kita memiliki pemahaman yang cukup, sikap ilmiah yang konsisten, dan kearifan yang dilandasi husnuzh‐zhann serta keinginan ber‐ tabayyun, maka kita akan menemukan banyak "mutiara tercecer" dalam khazanah salaf tersebut, yang kemudian dirangkai menjadi kalung eksklusif bernama SNW. Menurut kami, antara SNW dan khazanah salaf hanya berbeda pada kemasan, bukan isi. Selain itu, pandangan miring terhadap SNW juga didasari oleh fakta bahwa ilmu ini tergolong jarang disentuh para ulama'. Meskipun ada tafsir yang ditulis menurut motode tartib nuzuli, namun karya‐karya tersebut tidak populer. Jika dewasa ini SNW dikesankan sebagai mengada‐ada, sebetulnya itu bukanlah tanggapan pertama. Sudah sejak lama ilmu ini dirasa asing dan tidak akrab di kalangan pelajar maupun peneliti. Disini, secara ringkas kami akan menjelaskan bagaimana kita dapat merangkai bagian demi bagian dari buku ini, juga fragmen‐fragmen berharga yang disebut sebagai khazanah salaf, sehingga tercipta sebuah pemahaman yang utuh tentang apa yang dikehendaki oleh "penemu" manhaj SNW.1 Secara umum, alur pemikiran manhaj ini dapat dirunut dari 6 fakta serta konsep yang sudah sangat dikenal dalam khazanah pemikiran Islam, terutama yang berkenaan dengan al‐Qur'an, hadits dan sirah, yakni: 1. Konsep tartib nuzuli dan tartib mushhafi 2. Konsep marhalah wahyu 1



Sebetulnya, istilah "penemu SNW" tidak sepenuhnya tepat untuk disandangkan kepada Ust. Abdullah Said. Kami mendengar berbagai uraian yang intinya menegaskan, bahwa peran beliau hanyalah memperkenalkan serta menghidupkan kembali ilmu tentang tata urutan wahyu, bukan menemukan sesuatu yang samasekali baru. Sebagaimana akan kami paparkan dalam bab‐bab selanjutnya, konsep‐konsep dasar dalam manhaj ini berakar sepenuhnya kepada khazanah intelektual ulama' salaf.



25



3. 4. 5. 6.



Riwayat asbabun nuzul dan penelusuran kualitas sanad‐nya Fakta surah‐surah Makkiyyah dan Madaniyyah Konsep an‐nasikh wal mansukh Periode‐periode dakwah Rasulullah dalam sirah nabawiyah



Konsep pertama berangkat dari adanya perbedaan antara susunan surah dalam mushhaf al‐Qur'an yang kita kenal sebagai Mushhaf 'Utsmani dengan catatan riwayat tentang tarikh nuzul‐nya surah‐surah tersebut. Yang pertama disebut tartib mushhafi, sedang yang terakhir disebut tartib nuzuli. Menurut para ulama', masing‐masing mengandung hikmah tersendiri. Hikmah dan uraian ringkas tentang tartib mushhafi dapat kita temukan – misalnya – pada pembukaan dan penutup terjemah setiap surah al‐Qur'an, sebagaimana diterbitkan Departemen Agama Republik Indonesia. Namun, tentang hikmah tartib nuzuli, masih sangat jarang disentuh serta dibahas secara spesifik. Pada konteks ini, manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu adalah pemikiran dalam gerakan dakwah yang mengambil peran menggali hikmah‐hikmah di balik tata urutan penurunan al‐Qur'an yang unik tersebut, serta berusaha menerapkannya dalam tarbiyah pribadi dan umat. Konsep kedua, yakni marhalah wahyu, merujuk kepada penahapan tertentu dalam tarikh nuzul‐nya surah‐surah al‐Qur'an, dimana Rasulullah dan para Sahabat dipandu tahap demi tahap, langkah demi langkah, sampai mantap dan siap tampil sebagai pribadi unggul yang layak menyandang amanah Allah sebagai khalifah di muka bumi. Berbagai literatur klasik membahas masalah penahapan dalam al‐Qur'an dan menyimpulkan hikmah‐hikmah besar yang ada di dalamnya, sebagai strategi dakwah yang jitu menghadapi realitas masyarakat tertentu. Dalam beberapa hal, konsep marhalah wahyu atau penahapan turunnya al‐Qur'an ini berkaitan erat dengan konsep kelima, yakni masalah an‐ nasikh wal mansukh, walau tidak selamanya demikian. Konsep ini juga dapat digabungkan dengan catatan sirah secara lebih rinci, misalnya antara fase da'wah sirriyyah dan jahriyyah; atau pengelompokan global lewat surah‐surah fase Makkiyyah dan Madaniyyah. Bila konsep‐konsep ini dirangkaikan sedemikian rupa, maka penahapan yang dimaksud oleh manhaj ini akan semakin mudah dipotret panoramanya. Adapun asbabun nuzul, hal ini sangat bermanfaat dalam usaha memahami makna suatu ayat atau surah, yang jika ke‐shahih‐an riwayatnya dapat dijamin, maka akan lebih memudahkan kita untuk meletakkannya dalam bingkai sirah nabawiyah. Apabila tahap ini dapat diselesaikan secara ilmiah, maka makna surah atau ayat tersebut dapat ditemukan fakta penerapannya menurut catatan sirah. Manhaj ini cukup berkepentingan terhadap penempatan makna tersebut, sebagai bahan untuk meracik resep tarbiyah pribadi maupun umat. Dengan demikian, pada prinsipnya, manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu adalah pemikiran tentang metodologi dakwah dan tarbiyah dalam upaya menegakkan kembali 'izzul Islam wal muslimin, lewat penerapan hikmah‐hikmah yang terkandung dalam tahap‐tahap penurunan al‐Qur'an selama 23 tahun kepada Rasulullah dan para Sahabat. 26



Walau pengertian diatas belum sangat definitif, paling tidak konsep‐ konsep dasar yang termuat di dalamnya telah tercakup secara menyeluruh. Adapun untuk mendapatkan pengertian yang lebih lengkap tentang konsep‐konsep tersebut, silakan mengkaji bab‐bab selanjutnya.[] Wallahu a'lam.



27



BAB III MEMAHAMI KONSEP TARTIB NUZULI



Mushhaf al‐Qur'an yang sekarang kita kenal, dimana ia dimulai dari surah al‐Fatihah dan ditutup dengan surah an‐Naas, pada kenyataannya tidak mencerminkan urutan penurunan surah‐surah yang terkandung di dalamnya. Antara urutan surah dalam mushhaf dengan tarikh nuzul‐nya tidak selalu paralel. Bagi kita kaum muslimin, masalah ini tidaklah musykil atau membingungkan, karena memang al‐Qur'an bukan sebuah dokumen yang terikat kepada sejarah atau perubahan waktu. Namun, bagi sementara kalangan Orientalis, perbedaan ini merupakan celah nyata untuk menggugat keotentikan Mushhaf 'Utsmani. Bagi kita, persoalan otentisitas mushhaf hasil kodifikasi resmi di zaman Khalifah 'Utsman bin 'Affan radhiya‐llahu 'anhu telah selesai. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Dan, risalah ini pun tidaklah berkepentingan untuk mendiskusikannya.2 Apa yang kita saksikan dalam Mushhaf 'Utsmani, dimana al‐Fatihah menjadi preambule bagi Kitab Suci kita, dan diakhiri dengan surah an‐ Naas, disebut dengan tartib mushhafi. Secara harfiah, istilah ini berarti "tata urutan al‐Qur'an sesuai dengan isi mushhaf". Dengan demikian, surah pertama adalah al‐Fatihah, disusul al‐Baqarah di posisi kedua, lalu surah‐surah selanjutnya: Ali 'Imran, an‐Nisaa', al‐Maidah, demikiran seterusnya sampai an‐Naas di urutan ke‐114. Penomoran surah‐surah ini sudah menjadi standar resmi yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin. Akan tetapi, dalam sejarahnya al‐Qur'an tidaklah diturunkan dalam urutan seperti itu. Tidak pula diturunkan secara lengkap surah demi surah. Banyak diantaranya yang turun dalam kelompok‐kelompok kecil, berisi 5 ayat, kurang atau lebih. Memang ada pula yang turun satu surah sekaligus, namun kasus semacam ini tidak banyak. Ada lagi yang diturunkan cuma sepotong dari satu ayat yang panjang, sehingga terkesan seperti disisipkan ke dalamnya. Maka, yang pertama diturunkan adalah surah al‐'Alaq, itupun hanya 5 ayat pertama dari keseluruhannya yang 19 ayat. Ayat ke‐6 sampai akhir diturunkan dalam kesempatan yang lain. Demikianlah surah‐surah berikutnya turun sepotong demi sepotong, yang dimaksudkan untuk meneguhkan Rasulullah dan kaum muslimin, meringankan pengamalan serta mempermudahkan dalam penghafalan. Kelak, surah yang terakhir turun – menurut suatu pendapat – adalah an‐Nashr. Sedangkan ayat yang terakhir turun – dalam suatu pendapat – adalah al‐yauma akmaltu lakum diinakaum yang terkenal itu. Banyak perincian yang cermat untuk masing‐masing kategori, baik yang awal mula atau terakhir turun dari 2



Akan tetapi, jika pembaca ingin memperoleh perspektif lebih lengkap tentang masalah ini, silakan mengkaji buku Syekh Muhammad Mushthafa al‐A’zhami, The History of the Qur’anic Text from Revelation to Compilation. Edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Gema Insani Press, Jakarta.



28



ayat‐ayat al‐Qur'an. Misalnya, ayat apa yang pertama atau terakhir turun dalam masalah halal‐haram, hukum perang, waris, keluarga, khamr, shalat, dsb. Kita dapat menemukan kajian semacam ini dalam berbagai literatur klasik. Urutan wahyu atau surah yang riwayatnya dicatat serta direkam secara detail oleh para Sahabat tersebut dikenal sebagai tartib nuzuli, artinya "tata urutan al‐Qur'an sesuai dengan tarikh penurunannya". Pencapaian generasi salaf dalam mendalami masalah ini sungguh sangat mengagumkan. Berbagai dokumen manuskrip maupun khazanah pemikiran klasik yang tercetak dan sampai kepada generasi kita melaporkan adanya riwayat ayat mana yang diturunkan siang hari (nahaaran), malam hari (laylan), musim dingin (syitaa'an), musim panas (shaifan), ketika bepergian (safaran), saat bermukim (hadharan), bahkan di angkasa antara langit dan bumi dalam peristiwa Isra'‐Mi'raj. Sesuatu yang lebih dari itu pun dapat kita temukan, misalnya, di rumah istri Rasulullah yang mana suatu surah diturunkan! Dalam mushhaf yang kita pergunakan sekarang, al‐'Alaq adalah surah ke‐ 96, sedangkan surah an‐Nashr ada di nomor ke‐110. Surah al‐Maidah sendiri, yang di dalamnya mengandung ayat yang terakhir turun, adalah surah ke‐5 dalam mushhaf. Letak surah‐surah ini saling berjauhan dan tidak mencerminkan keterkaitan urutan sejarah penurunannya. Mengingat bahwa al‐Qur'an adalah kitab petunjuk yang bagian‐ bagiannya, baik secara mandiri maupun keseluruhan, merupakah kaidah pokok dalam agama, maka susunan semacam ini tidaklah merusak isinya. Kita dapat mengutip suatu ayat di suatu tempat, dan melihatnya sebagai kaidah yang utuh. Boleh jadi ia terkait dengan ayat‐ayat lain, di dekatnya atau di lain tempat, atau saling berhubungan berdasar asbabun nuzul, atau saling terkait lewat kaidah yang dirumuskan dengan sibaaq (ayat sebelumnya), siyaaq (konteks ayat itu sendiri) dan lihaaq (ayat setelahnya), sehingga satu sama lain akan menguatkan. Boleh jadi pula, ia mandiri dan tidak menunjukkan hubungan sebab‐akibat dengan ayat‐ ayat lain di sekitarnya. Namun, adalah benar bahwa al‐Qur'an saling menafsirkan satu sama lain, sehingga mencari penjelasan dari ayat lain bukan hanya dibenarkan, namun merupakan salah satu cara terbaik untuk memperoleh pemahaman yang tepat. Tidak ada pertentangan di dalam al‐Qur'an, meski turun terpisah‐pisah dan dikodifikasikan dalam model berbeda pula dengan tarikh nuzul‐nya, karena pada dasarnya ia berasal dari sumber yang sama. Menurut para ulama', fakta ini juga merupakan salah satu bukti kemukjizatan al‐Qur'an. Demikian antara lain yang dikatakan oleh al‐Qadhi Abu Bakr al‐Baqillani dalam kitab I'jazul Qur'an, hal. 4 dst.



Tartib Nuzuli dalam Ulumul Qur’an Apa yang dewasa ini kita sebut sebagai SNW (Sitematika Nuzulnya Wahyu) sesungguhnya tidaklah baru dalam kacamata ulumul Qur’an. Hikmah tata urutan ini juga bukannya samasekali belum pernah dibahas atau ditemukan. Beberapa literatur otoritatif telah mengupasnya dengan 29



lugas, dan tugas buku ini adalah merangkumnya bagi kita semua. Dengan sendirinya, ilmu tentang hikmah tata urutan penurunan wahyu ini bukanlah bid’ah. Secara umum, diskusi mengenai urutan surah termaktub dalam bahasan surah Makkiyah dan Madaniyah, bab Munasabah baina al‐Ayat was‐Suwar (persesuaian antara ayat‐ayat dan surah al‐Qur’an), turunnya al‐Qur’an secara berangsur‐angsur, atau asbabun nuzul dan an‐nasikh wal‐ mansukh. Ada juga beberapa literatur tafsir, klasik maupun kontemporer, yang disusun berdasar tartib nuzuli ini, disertai kajian terhadap makna dan hikmahnya. Tafsir karya Imam Fakhruddin ar‐Razi, menurut Imam as‐Suyuthi, banyak mengulas masalah ini. Belakangan, terbit kitab At‐Tafsir al‐Hadits as‐Suwar al‐Murattabatu Hasba an‐ Nuzuuli, oleh Syekh Muhammad ‘Izzah Darwazah. Di Indonesia, Prof. Dr. Quraish Shihab juga punya karya semacam itu, Tafsir al‐Qur'an al‐Karim Tafsir atas Surat‐surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, yang menafsirkan surah‐surah wahyu permulaan mulai al‐'Alaq sampai ath‐Thariq. Para ulama’ biasanya akan mempertimbangkan riwayat apa saja yang berkenaan dengan suatu ayat atau surat, kemudian menentukan posisi tata‐urutan penurunannya. Tata‐urutan seperti itu disebut tartib nuzuli, untuk membedakannya dengan tata‐urutan penulisan Mushhaf 'Utsmani, yang disebut tartib mushhafi. Penelusuran mencakup 114 surah dalam al‐Qur’an. Karena cakupan yang luas ini, maka sering terjadi ikhtilaf. Versi‐versi tartib nuzuli hanya bersepakat tidak lebih dari “al‐‘Alaq sebagai wahyu pertama” saja. Setelah itu, perbedaan pendapat tidak dapat dihindarkan. Demikian pula untuk rincian tartib nuzuli surah‐surah Madaniyah. Kesepakatan biasanya hanya terjadi pada pendapat bahwa “al‐Baqarah adalah surah pertama yang turun di Madinah”. Setelahnya, ada beragam versi. Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari IX/8, para perawi hadits telah menetapkan tartib nuzuli untuk surah‐surah al‐Qur'an, namun hanya sedikit sekali yang mereka riwayatkan tentang tartib nuzuli ayat‐ ayatnya. Fakta ini mendorong kita untuk meneliti lebih jauh tartib nuzuli surah secara global, kecuali jika memang dapat ditemukan perincian yang jelas dalam hal tartib nuzuli ayat‐ayatnya. Masalah yang terakhir ini berkaitan erat dengan an‐nasikh wal‐mansukh. Meski demikian, memang harus diakui bahwa ilmu tentang tartib nuzuli tidak mendapat perhatian yang semestinya. Dalam pengantar tahqiq‐nya atas kitab as‐Suyuthi, Asraaru Tartibi al‐Qur’an,3 hal. 58‐60, Abdul Qadir Ahmad ‘Atha (muhaqqiq) ‘mengeluh’: Sejak dulu rahasia tertib al‐Qur’an telah diketahui melalui ilmu munasabah. Akan tetapi yang diketahui tersebut tidak lain hanyalah apa yang tertera dalam tartib mushafi. Adapun mengenai rahasia tartib nuzuli, kami tidak mengetahui seorangpun menyajikan dalam kitabnya 3



Dalam pengutipan ini, kami mempergunakan edisi terjemahnya, berjudul Rahasia Susunan Surah al‐Qur’an Menurut Tertib Mushhaf.



30



dari dulu sampai sekarang selain hanya sedikit ditemukan dalam kitab‐ kitab ushul. Sekalipun banyak kitab tafsir klasik, namun para penyusun kitab tentang rahasia al‐Qur’an atau ilmu munasabah sedikit sekali. Dari kitab‐kitab tersebut kami ketahui kitab al‐Biqa’i “Nadzmud Durar”, yang diantaranya terdapat tulisan tangan yang sempurna yang ada di perpustakaan al‐Azhar Mesir, dalam 6 jilid; kitab “al‐Burhan fi Munasabah Tartib Suwaril Qur’an” karya Abi Ja’far bin Zubair, guru dari Abu Hayyan pemilik kitab “al‐Bahru al‐Muhith”; kitab as‐Suyuthi yang kami sajikan kepada para pembaca ini (“Asraru Tartibil Qur’an”) dan kitab lainnya yang bernama “Marashidul Mathali’ fil Maqathi’ wal Mathali’”, juga sebuah kitab yang diakui beliau telah menyajikan pembahasan tartib al‐Qur’an yang disebut dengan “Asrar at‐Tanzil”. Tidak adanya perhatian terhadap ilmu munasabah telah dicermati ulama’ dari sejak dulu dan mereka memandang bahwa ilmu tersebut mengandung kehalusan dan keindahan al‐Qur’an. Bahkan, al‐Fakhr ar‐ Razy mengatakan, “Barangsiapa yang memperhatikan kehalusan dan keteraturan ayat‐ayat al‐Qur’an dan tertib‐tertibnya, ia akan mengetahui bahwa al‐Qur’an memiliki ke‐i’jaz‐an disebabkan segi diatas sebagaimana ke‐fashahah‐an lafal‐lafalnya itu sendiri. Barangkali pernyataan seperti ini dikehendaki pula oleh orang‐orang yang berpendapat bahwa ke‐i'jaz‐an al‐Qur’an disebabkan oleh uslub‐nya. Tetapi kami lihat umumnya mufassirin tidak memperhatikan segi tersebut dismaping pula tidak tertarik untuk mengetahui rahasia‐ rahasianya. Ibnul ‘Arabi merasa putus asa terhadap para mahasiswa dan ulama’ yang tidak memperhatikan ilmu besar tersebut, baik secara total maupun sebagiannya. Sikap beliau tersebut terlihat dalam pendapatnya, “Hubungan ayat‐ayat al‐Qur’an satu sama lainnya seperti satu kalimat yang tersusun ilmu yang hebat, tidak dapat ditemukan kecuali oleh seorang yang ‘alim yang telah menguraikan hubungan diatas dalam surah al‐Baqarah. Selanjutnya Allah membukakan untuk kami, namun ketika kami tida menemukan kandungannya dan melihat adanya gambaran yang batil, maka berhenti dari hal itu dan dijadikan sebagai masalah yang berlangsung antara kami dengan Allah, dan kami serahkan masalah tersebut sepenuhnya kepada‐Nya.” Syekh Abu Bakar an‐Nisabury telah bekerja keras dalam menyebarkan ilmu munasabah dan kajian tafsirnya pun berdasarkan penjelasan munasabah. Juga ia telah meyatakan kekeliruan ulama’ Baghdad karena mereka tidak mengetahui al‐munasabah. Yang sangat mengherankan adalah tidak adanya perhatian terhadap studi Qur’ani yang sangat penting, bahkan berlangsung tidak selangkah pun dicapai kemajuan. Badan penerbit nasional dan swasta juga hanya menyebarkan kitab‐kitab tafsir klasik (taqlidi). Satu‐satunya penerbit yang menerbitkan kitab tafsir yang berorientasi segi munasabah seperti tafsir Nadzmud Durar karya al‐Biqa’i juga telah menghentikan penerbitan pertamakali kitab tersebut. Tidak perlu alasan lain bahwa kitab Nadzmud Durar merupakan kitab yang laris di pasaran karena tidak ada kitab lain (yang serupa) yang



31



sampai ke tangan pembaca, juga karena kualitasnya yang mengagumkan. Begitu pula, tidak ada alasan bahwa para pembesar ulama’ tidak mengetahui kitab tersebut. Yang kami tahu, kitab tersebut masih ada dalam bentuk yang utuh direferensi Syaikh al‐Maraghi. Beberapa kalimat kitab tersebut dipetik oleh sebagian besar ulama’ dan dijadikan sebuah tafsir yang menjadi acuannya. Buruk sekali tindakan yang menghentikan penerbitan kitab tersebut dengan maksud agar menjadi sumber keributan. Sebab sudah merupakan tujuan penulisnya untuk menaungi kaum muslimin dari hiruk‐pikuknya pengulangan yang membosankan terhadap ilmu‐ilmu tafsir.



Kesulitan menemukan referensi tartib nuzuli masih harus diperparah dengan komentar‐komentar sebagian ulama’ yang pesimistik. Abdul Qadir Ahmad ‘Atha, pada hal. 71, menyitir adanya keinginan sebagian ulama’ salaf untuk mengetahui rahasia tartib nuzuli. Qatadah pernah mengusulkan kepada ‘Ikrimah agar al‐Qur’an disusun menurut tartib nuzuli, ayat demi ayat, yang pertama dilanjutkan yang datang setelahnya. Akan tetapi, hal ini tidak mungkin, atau dalam kata‐kata Ikrimah: Seandainya jin dan manusia berkumpul untuk menyusun al‐Qur’an persis menurut tartib nuzuli, niscaya mereka tidak akan mampu. Jika mereka mampu tentu hal itu akan menjadi sebuah susunan yang bersifat tauqifi (berdasar petunjuk Allah dan Rasul‐Nya) yang menyegarkan.



Imam as‐Suyuthi, dalam Zubdatul Itqan fi ‘Ulumil Qur’an hal. 116, menyatakan bahwa ilmu ini sangat sedikit mendapat perhatian dari para mufassirin, dan menilai hanya al‐Fakhr ar‐Razi yang membahasnya secara luas dalam tafsirnya. Keengganan para mufassirin ini, menurut as‐Suyuthi, dikarenakan rumit dan sulitnya ilmu munasabah. Beliau juga mengutip pernyataan Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam: Al‐Munasabah adalah ilmu yang baik, namun untuk menyambung suatu perkataan dipersyaratkan terjadinya hal itu dalam suatu masalah yang sama, dimana bagian awalnya akan bertaut dengan bagian akhirnya. Jika perkataan itu terjadi dalam sebab‐sebab yang berlainan, maka tidak akan terjadi pertautan di dalamnya. Orang yang mencoba mengaitkannya berarti memaksakan diri melakukan sesuatu yang berada di luar batas kemampuannya, kecuali hanya (memperoleh) pertautan lemah dimana perkataan yang baik pun akan menghindarinya, apalagi perkataan yang paling baik. Sesungguhnya al‐Qur’an diturunkan dalam tempo duapuluh tahun lebih, memuat hukum‐hukum yang beraneka ragam, dan disyari’atkan oleh sebab‐sebab yang berlainan. Kalimat yang semacam ini kondisinya tentu tidak mungkin ditautkan antara yang satu dengan lainnya.



Pada periode ulama’ al‐Qur’an kontemporer, ilmu munasabah kembali mendapat perhatian serius. Hal ini terutama karena adanya serangan luar biasa melalui “celah” ini oleh para Orientalis dan murid‐muridnya dari dalam Dunia Islam sendiri. Secara luas, Dr. Muhammad Mushthafa al‐A'zhami telah mengupas persoalan ini dalam salah satu karya utamanya. Majalah Islamia, jurnal al‐Insan dan rubrik tsaqafah dalam majalah Suara Hidayatullah berkali‐kali mengulas tema‐tema sekitar 32



ilmu munasabah ini, atau ulumul Qur’an secara umum. “Celah” yang kami maksud adalah adanya perbedaan mencolok antara tata‐urutan surah dalam Mushaf Utsmani dengan tata‐urutan penurunan surah‐surah menurut riwayat. Menurut mereka, ini merupakan salah satu bukti ketidakotentikan al‐Qur’an. Dalam Mabahits fi 'Ulumil Qur'an hal. 177‐ 178, setelah memaparkan kesalahan para Orientalis dalam memahami masalah surah Makkiyah dan Madaniyah, Dr. Subhi as‐Shalih4 menulis: Adapun kami, samasekali tidak ragu – setelah apa yang kami paparkan seputar ketatnya para ulama’ kita dalam membahas secara detil semua yang berkenaan dengan Makkiyah dan Madaniyah – bahwasanya hanya melalui riwayat yang shahih sajalah satu‐satunya metode untuk mengurutkan al‐Qur’an dalam tata‐urutan kronologis yang paling baik dan cermat. Dan, riwayat dalam masalah ini tidak mungkin bersumber selain dari para Sahabat yang menyaksikan tempat serta waktu diturunkannya wahyu, atau dari Tabi’in yang mendengar penuturan serta perinciannya dari para Sahabat. Adapun (dari) Rasulullah SAW sendiri, maka tidak satupun riwayat yang berasal dari beliau tentang aspek (tartib nuzuli) ini, karena beliau – meminjam perkataan al‐Qadhi Abu Bakr al‐Baqillani dalam kitab “al‐Intishar” – tidaklah diperintahkan untuk ini, dan Allah tidak menjadikan pengetahuan tentang (tartib nuzuli) sebagai kewajiban bagi umat Islam. Tidak diragukan lagi bahwa banyak Sahabat yang memiliki pengetahuan sangat lengkap tentang Makkiyah dan Madaniyyah ini, (sehingga) mereka mampu membahas secara detil bagian‐bagian yang kecil (dari al‐Qur’an) yang (kemudian) dimuat dalam berbagai kitab tafsir bil ma’tsur dan banyak karya lainnya mengenai ulumul Qur’an.



Artinya, di tengah beragam kesulitan yang ada, ilmu munasabah bukan tidak memiliki dasar pijakan yang shahih. Piranti paling memungkinkan – yang ada dalam khazanah intelektual Islam – untuk meneliti kualitas suatu riwayat adalah metodologi para ahli hadits (muhadditsin). Di masa depan, jika kita ingin mengembangkan potensi besar dalam konsep dasar SNW, maka penggunaan ‘ulumul hadits adalah keharusan mutlak. Sedang untuk pemantapan metodologi, kita harus menyertakan ‘ulumul Qur’an dalam menyajikan materinya. Ini adalah pilihan yang adil, seimbang dan setara dengan bobot materi dalam SNW sendiri, yang jelas‐jelas mengkaji al‐Qur’an dan sejarahnya. Sementara untuk mendapatkan perluasan makna, kita harus merujuk kepada tafsir, kamus‐kamus al‐Qur’an atau bahasa Arab, disertai penjelasan faktual latar belakangnya dalam sirah maupun asbabun nuzul. Tartib Nuzuli dalam Sirah Nabawiyah Ulama’ sirah nabawiyah kontemporer giat meneliti kualitas riwayat suatu peristiwa dalam sirah. Meski tidak secara spesifik ditujukan men‐ tarjih riwayat asbabun nuzul maupun tartib nuzuli, akan tetapi hasil studi mereka memperlihatkan hal itu. Sebab, sirah tidak mungkin 4



Profesor (kajian‐kajian) keislaman dan fiqhul‐lughah di Fakultas Sastra, Universitas Libanon.



33



terpisah dari wahyu. Sejarah hidup Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam sendiri adalah perjuangan penegakan isi al‐Qur’an. Dengan menerapkan metodologi muhadditsin dalam menulis sirah, beberapa kerancuan dan pertentangan riwayat tentang suatu ayat atau surah, berhasil diselesaikan. Kasus ini misalnya berkenaan dengan surah al‐ Muddatsir dan al‐Qalam. Penelitian di bidang ini, menurut Dr. Akram Dhiya’ al‐Umuri,5 sudah menghasilkan bahan‐bahan terpisah yang sangat berkualitas. Dalam Muqaddimah buku yang beliau tulis, Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dha’if, hal. xxvii‐xxviii, pada catatan kaki no. 17, beliau menyebutkan judul dari 16 karya spesifik dalam masalah ini, semuanya adalah disertasi atau thesis program doktoral dan magister, yang mayoritas belum diterbitkan, masih tersimpan rapi di rak‐rak perpustakaan Universitas Madinah al‐ Munawwarah. Di lain pihak, sejak beberapa tahun silam, tepatnya bersamaan penelitian skripsi, kami sudah mencoba melakukan “penyambungan” antara data dalam tartib nuzuli, riwayat asbabun nuzul surah atau ayat, maupun catatan sirah nabawiyah. Percobaan ini masih dalam tingkat yang sangat dini, dan dari segi kualitas riwayat masih belum “tersentuh”. Kami baru menyambungkannya begitu saja. Meski demikian, karena catatan sirah nabawiyah yang kita kenal sebagian besar peristiwa intinya tidak terbantah kejadiannya, maka alur penyambungan yang kami temukan sangat mungkin dikembangkan. Salah satu studi kasus yang kami lakukan adalah catatan sirah tentang Hijrah Pertama ke Abbyssinia. Peristiwa hijrah tersebut kami kaitkan dengan surah Maryam, karena dalam catatan sirah disebutkan bahwa Ja’far bin Abi Thalib membacakan pembukaan surah ini kepada Najasyi (Negus). Dengan meneliti peristiwa‐peristiwa tertentu dalam sirah yang menyebutkan sebuah surah atau ayat, kemudian membandingkannya dengan salah satu versi tartib nuzuli, disertai kajian yang bertanggung jawab terhadap kesesuaian antara keduanya, insya‐Allah sebagian besar dari apa yang kita cari akan ditemukan. Tartib Nuzuli dalam SNW Menurut kami, tartib nuzuli dalam pengertian SNW adalah fenomena unik, karena mengalami penyempitan jangkauan. Bahan utama kajian SNW – sepanjang yang kami ketahui dan alami – takkan beranjak jauh dari batasan 5 wahyu pertama. Dimulai dengan surah pertama yang turun, al‐‘Alaq ayat 1‐5, kemudian al‐Qalam ayat 1‐7, disusul al‐ Muzzammil ayat 1‐10, lalu al‐Muddatstsir 1‐7. Rangkaian ini diakhiri dengan al‐Fatihah 1‐7. Buku Panduan Berislam yang diterbitkan Dewan Pimpinan Pusat Hidayatullah pada tahun 2001, terdiri dari 6 jilid, juga 5



Pakar sirah nabawiyah kontemporer yang telah menekuni bidangnya selama 20 tahun di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, kemudian melanjutkan penelitiannya di Universitas Madinah.



34



hanya memuat pembahasan dalam batasan ini. Demikian pula, batasan seperti ini tidak berubah, sebagaimana dipergunakan dalam edisi lengkap buku Panduan Dakwah Menyongsong Fajar Islam yang diterbitkan bertepatan dengan Musyawarah Nasional II Hidayatullah bulan Juni 2005 silam. Baik secara ilmiah maupun praktis, pembahasan SNW kebanyakan berhenti pada al‐Fatihah sebagai wahyu ke‐5. Jarang terdengar kajian di luar batasan ini. Bahkan, kajian di luar ayat‐ayat yang ‘ditetapkan’ sebagai potongan wahyu pertama dalam suatu surah, juga hampir tidak ada, kecuali ayat 6‐7 dari al‐‘Alaq, yakni dalam konsep thagha’. Menurut kami, cara ini terkesan tidak adil dan pilih‐pilih. Misalnya, kita tidak pernah membahas watak universalitas dakwah Islam yang sudah diproklamirkan sejak awal, yakni dalam ayat 52 surah al‐Qalam. Atau, keringanan dalam masalah qiyamul lail yang dibicarakan ayat 20 surah al‐Muzzammil, yang menurut riwayat turun setahun setelah ayat‐ayat pembuka surah ini. Dalam pembinaan kader, masalah terakhir ini tentu akan menyulitkan jika penjelasannya tidak diberikan secara bijak dan berhati‐hati. Sebaliknya, bila kita tidak ingin membatasi kajian ayat dalam sebuah surah, maka kita harus memutlakkan semua bagiannya sebagai materi kajian. Pilihan ini dapat dibenarkan juga, karena bagaimanapun sekarang ini al‐Qur’an sudah turun seluruhnya. Akan tetapi, jika kita konsisten dengan pembatasan ini, maka harus berlandaskan kepada riwayat yang shahih, bukan sekedar memotongnya begitu saja. Versi‐versi Tartib Nuzuli Ada lebih dari satu versi tartib nuzuli yang dapat ditemukan dalam kitab‐kitab induk. Masing‐masing dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Paling tidak, kami menemukan daftar lengkap 5 versi tartib nuzuli. Daftar ini tidak termasuk tartib mushhafi yang ada dalam mushhaf‐mushhaf yang disusun oleh 'Ali, Ibnu Mas'ud, dan Ubayy bin Ka'ab radhiya‐llahu 'anhum, serta satu versi resmi yang sekarang kita kenal sebagai Mushhaf 'Utsmani. Kami hanya memasukkan urutan surah dalam dua mushhaf sebagai bagian dari 5 versi tartib nuzuli tersebut, yakni Mushhaf Ibnu 'Abbas dan Mushhaf Ja'far ash‐Shadiq radhiya‐llahu 'anhuma, karena keduanya mempunyai kemiripan yang besar dengan riwayat‐riwayat lain tentang tartib nuzuli. Kita juga sudah maklum, bahwa dalam training, ceramah lepas maupun halaqah, sebagian kader senior Lembaga beberapa kali menyinggung dengan jelas bahwa versi yang kita pergunakan bukanlah satu‐satunya. Hanya saja, tampaknya memang sudah ada semacam ‘kesepakatan’ bahwa seperti itulah tata‐urutan SNW, yang artinya kita percaya bahwa seperti itu pulalah tata‐urutan penurunan wahyu di zaman Nabi. Namun, pada saat bersamaan, mayoritas kader juga belum pernah tahu versi‐ versi lain yang dimaksud, baik sebagian maupun seutuhnya. Bahkan, versi lengkap dari tata‐urutan yang dipakai dalam SNW sendiri pun tidak 35



banyak diketahui. Juga, entah darimana asalnya, ada ‘keyakinan’ bahwa tata‐urutan SNW bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Benarkah demikian? Abu Abdullah Az‐Zanjani,6 penulis buku Wawasan Baru Tarikh Al‐Qur’an, dalam hal. 101‐102, ketika membicarakan susunan surah dalam Mushaf Ibnu ‘Abbas, menulis: Berikut ini kami kutip susunan mushafnya seperti disebut oleh Syahrastani dalam pendahuluan tafsirnya. Dalam hal ini dia (Syahrastani) adalah seorang yang dipercaya: (1) Iqra’, (2) Nuun, (3) Wad‐dhuha, (4) al‐Muzzammil, (5) al‐Muddatsir, (6) al‐Fatihah, (7) Tabbat Yada, (8) Kuwwirat, (9) al‐A’la, (10) Wal‐laili, (11) Wal‐fajri, (12) Alam Nasyrah, (13) ar‐Rahman, (14) Wal‐‘ashri, (15) al‐Kautsar.



Riwayat ini dengan jelas mencantumkan adh‐Dhuha sebagai surah ketiga dalam tartib nuzuli, setelah Nuun (al‐Qalam). Jika kita konsisten dengan ‘keyakinan’ tentang sumber tata‐urutan yang kita pergunakan dalam SNW adalah Ibnu ‘Abbas, maka harus ada penyisipan adh‐Dhuha dalam kajian SNW kita.7 Pilihan ini jelas dilematis. Disamping tidak akrab dengan kultur kita, ditinjau dari riwayatnya juga kontroversial. Kami akan menguraikan sumber kontroversinya pada tempatnya nanti, insya‐ Allah. Kami menyebut bentuk tata‐urutan ini sebagai Versi Pertama. Agaknya, riwayat tentang tata‐urutan yang benar‐benar sesuai dengan SNW harus dikutip dari sumber lain. Masih dalam buku yang sama, hal. 70‐76, Az‐Zanjani menyebutkan: Dalam masalah ini saya menggunakan rujukan buku Nazhmud Durar fi Tanasubil Aayi was Suwar8 yang disusun oleh Ibrahim bin Umar al‐Biqa’i, terbitan Mesir; kitab al‐Fihrist yang disusun oleh Ibnu Nadim, terbitan Mesir; dan kitab yang ditulis oleh Abu al‐Qasim Umar bin Muhammad bin Abdul Kafi seperti telah disebutkan diatas yang kemudian dikutip oleh Noldeke dalam bukunya des Chefte der Qeran (Sejarah al‐Qur’an) 6



Seorang profesor, pemikir dan mujtahid Syi’ah terbesar di masanya. Buku yang kami kutip ini, dalam edisi aslinya diterbitkan di Teheran (Iran) pada tahun 1984. Kata pengantarnya ditulis oleh Dr. Ahmad Amin, penulis trilogi Fajrul Islam, Dhuhal Islam dan Ayyamul Islam, yang pernah bertemu dengan Prof. Az‐ Zanjani pada tahun 1935. Dalam kata pengantarnya untuk buku az‐Zanjani tersebut, Ahmad Amin menulis, “Saya menilai beliau memiliki wawasan ilmu yang luas, pemikirannya mendalam tentang ilmu filsafat dengan segala seluk‐beluk dan perkembangannya, berjiwa bersih dan berakhlak mulia ... (dalam buku ini) beliau berhasil menghimpun sejumlah pendapat yang ada di berbagai buku karangan tokoh‐tokoh dari kalangan Sunni maupun Syi’i.” Meski mengutip dari sumber Syi'ah kemungkinan besar akan memicu keheranan, namun kami melihat bahwa isi buku tersebut cukup obyektif dan banyak merujuk kepada sumber‐sumber Sunni. Tidak tampak 'ashabiyah kepada madzhab tertentu, sehingga pengutipan ini tidak perlu dipermasalahkan dari segi keabsahannya. 7 Disini, dan juga versi‐versi lain, sengaja kami kutip sebagian kecil saja, agar tampak jelas perbedaannya satu sama lain. Untuk selengkapnya, silakan merujuk Lampiran di akhir risalah ini. 8 Pembetulan dari Zubdatul Itqan. Aslinya tertulis: “Nadzmud Durar wa Tanasuqul Ayat was‐Suar”. Penyusun.



36



yang oleh Noldeke dikatakan, bahwa buku Abu al‐Qasim tersebut terdapat di perpustakaan Cod Lugd 647 Warn. Sejarah turunnya surah‐surah: (1) al‐‘Alaq, (2) al‐Qalam, kecuali ayat 17‐33 dan 48‐50, (3) al‐Muzzammil, kecuali ayat 10, 11 dan 20, (4) al‐ Muddatsir, (5) al‐Fatihah, (6) al‐Masad, (7) at‐Takwir, (8) al‐A’la, (9) al‐ Lail, (10) al‐Fajr, (11) ad‐Dhuha, (12) Alam Nasyrah, (13) al‐‘Ashr, (14) al‐‘Adiyat, (15) al‐Kautsar. 9



Tata‐urutan ini, kami menyebutnya Versi Kedua, persis dengan SNW. Kami tidak tahu apakah Allahu‐yarham Ustadz Abdullah Sa’id merujuk sumber yang sama dengan Az‐Zanjani, yakni al‐Biqa’i dan Abul Qasim. Setidaknya, apakah Buya Malik juga merujuk versi ini dalam menulis Tafsir Sinar‐nya? Sebab, menurut informasi yang kami dapatkan, buku beliau ini merupakan rujukan yang berpengaruh kuat kepada Ustadz Abdullah Said dalam merumuskan konsep‐konsep dasar SNW. Di tempat lain, Muhammad ‘Izzah Darwazah menulis at‐Tafsir al‐Hadits yang secara jelas menafsiri surah demi surah dalam tata‐urutan seperti SNW. Kitab ini diterbitkan oleh Dar Ihya' al‐Kutub al‐'Arabiyyah 'Isa al‐ Baabi al‐Halabi wa Syurkaahu, Mesir, pada tahun 1381 H (1962 M). Bahkan, tata‐urutan yang dipergunakan dalam tafsir beliau tidak berbeda satu huruf pun dengan Versi Kedua ini. Tata urutan ini juga merupakan rujukan yang dipergunakan Quraish Shihab dalam menulis karya tafsirnya yang berdasar tartib nuzuli. Tampaknya, versi inilah yang paling populer dan banyak diterima. Namun, sebagai catatan, juga perlu diketahui bahwa riwayat sepersis SNW ini bukanlah ijma’ para ulama’ al‐Qur’an. Sebab, di dalam hal. 76‐ 77, Az‐Zanjani justru mengutip versi lain yang tidak menguatkan versi sebelumnya. Ada perbedaan tata‐urutan yang cukup mencolok, baik dalam urutannya maupun jumlah surahnya. Berdasarkan susunan yang disebut oleh Ibnu Nadim (al‐Fihrist, hal. 37 cetakan Mesir), dengan sanad Muhammad bin Nu’man bin Basyir, di bawah ini kami tampilkan urutan ayat‐ayat yang turun karena sanadnya dapat diandalkan. Antara yang disebut dalam kitab Ibrahim bin Umar al‐ Biqa’i dan kitab Abil‐Qasim Umar bin Muhammad bin Abdul Kafi, seperti dikutip Noldeke, terdapat sedikit perbedaan. Ia berkata, “Ayat yang pertama‐tama turun kepada Nabi SAW di Makkah adalah: (1) Iqra’ s/d ma lam ya’lam, (2) Nun wal‐qalam, (3) Ya ayyuhal muzzammil, (4) al‐Muddatsir, (5) Tabbat (menurut riwayat Mujahid), (6) Idzas‐syamsu kuwwirat, (7) Sabbih‐isma rabbikal a’la, (8) Alam nasyrah, (9) al‐‘Ashr, (10) Wal‐fajr, (11), Wad‐dhuha, (12) Wal‐laili, (13) Wal‐ ‘adiyat, (14) Inna a’thaina, (15) Alhaakumut takatsur.”



Dalam Versi Ketiga ini, bahkan tidak dicantumkan dimana posisi al‐ Fatihah, baik sebagai surah Makkiyah maupun Madaniyah. Versi ini memuat hal‐hal yang membingungkan, dan hanya sampai pada surah Makkiyah saja, sebab untuk tata‐urutan surah Madaniyah diambil dari sumber yang berbeda oleh Ibnu Nadim. 9



Daftar ini kami sederhanakan dari aslinya yang berbentuk tabel.



37



Versi lain yang hampir senada dengan versi Ibnu ‘Abbas adalah Versi Keempat, yakni susunan surah‐surah al‐Qur’an menurut Imam Ja’far ash‐Shadiq radhiya‐llahu 'anhu, salah seorang pemuka Ahlul Bait. Jika diperhatikan dengan seksama, maka ada kemiripan yang jelas diantara keduanya. Perbedaan terjadi pada variasi‐variasi kecil, dalam posisi surah‐surah tertentu. Disini, surah al‐Fatihah juga tidak ada, dan daftarnya hanya berisi 113 surah. Abu Abdullah az‐Zanjani menyebutkan dalam bukunya, hal. 103: Susunan surah‐surah al‐Qur’an menurut Imam Ja’far as‐Shadiq r.a. sebagaimana tersebut dalam pendahuluan tafsir Syahrastani: (1) Iqra’, (2) Nuun, (3) al‐Muzzammil, (4) al‐Muddatsir, (5) Tabbat, (6) Kuwwirat, (7) al‐A’la, (8) Wal‐laili, (9) Wal‐fajri, (10) Wad‐dhuha, (11) Alam Nasyrah, (12) Wal‐‘ashri, (13) Wal‐‘adiyat, (14) al‐Kautsar, (15) at‐ Takatsur.



Ada satu sumber lagi yang kami sebut Versi Kelima, yang dinukil Imam az‐Zarkasyi dalam al‐Burhan fi ‘Ulumil Qur’an I/193‐194. Sekilas versi ini mirip dengan Versi Kedua, kecuali dalam kedudukan beberapa surahnya, seperti al‐Fatihah dan an‐Nashr. Beliau menyebutkan al‐Lahab setelah al‐Muzzammil, bukan al‐Fatihah dan tidak memastikan al‐ Fatihah sebagai surah Makkiyah atau Madaniyah. Surah ini diperselisihkan kapan penurunannya. Untuk surah an‐Nashr (idza jaa'a nashru‐llahi), ada di urutan ke‐101 dan bukan surah terakhir turun seperti disebutkan Versi Kedua. Jika dibandingkan secara utuh, versi ini justru persis dengan Versi Keempat atau susunan surah dalam Mushhaf Ja'far ash‐Shadiq. Versi Keenam atau Versi Alternatif adalah hasil penelitian pakar sirah. Kami juga mendalami penelitian ini dalam buku yang sekarang Anda baca. Dari hasil penelusuran tersebut, ditemukan susunan yang berbeda lagi, yaitu: · · ·



Al‐‘Alaq 1‐5. Al‐Muddatsir 1‐5. Al‐Muzzammil 1‐9.



Setelah itu, masih melibatkan tanda tanya. Sebab, pembahasannya belum spesifik tentang al‐Qur’an; masih berbaur dengan pen‐tarjih‐an atas riwayat‐riwayat sirah. Kemungkinan besar, sebagimana akan dibahas secara tersendiri nanti, al‐Fatihah ayat 1‐7 ada di urutan ke‐4 diiringi al‐Lahab ayat 1‐5 di urutan ke‐5. Kami sendiri cenderung memilih versi ini, dengan pertimbangan‐pertimbangan yang akan kami kemukakan pada tempatnya nanti. Selengkapnya kami akan menguraikannya dalam Bagian II, insya‐Allah. Sedangkan daftar lengkap seluruh surah menurut versi‐versi tersebut dapat diperiksa dalam Lampiran di penghujung buku ini.



Versi‐versi Lain Sebetulnya, kami juga menemukan dua versi lagi, yang keduanya dinisbatkan kepada 'Ali bin Abi Thalib. Pertama, dinukil Ibnu Hajar 38



dalam Fathul Bari IX/42. Hanya saja, karena tidak lengkap sehingga tak kami cantumkan sebagai satu versi khusus. Ibnu Hajar menulis: Konon katanya Mushhaf 'Ali disusun menurut tata urutan penurunan (al‐ Qur'an). Awalnya adalah (1) Iqra', kemudian (2) ad‐Datsr (al‐Muddatsir), kemudian (3) Nun wal‐Qalami, kemudian (4) al‐Muzzammil, kemudian (5) Tabbat, kemudian (6) at‐Takwir, kemudian (7) Sabbih, demikian sampai akhir surah‐surah Makkiyah, kemudian (dilanjutkan) dengan surah‐surah Madaniyah.



Versi ini lebih unik lagi, dan memuat penguat bahwa wahyu kedua adalah al‐Muddatsir. Selain itu, penempatan al‐Qalam tampak tidak lazim dibanding versi lainnya. Antara al‐Muddatsir dan al‐Muzzamil dipisah, padahal dalam versi lainnya diseiringkan atau bahkan urutannya saling tertukar. Surah Sabbih yang disebutkan Ibnu Hajar diatas, maksudnya surah al‐A'la yang dimulai dengan kata sabbihi‐sma rabbikal a'la. Hal ini dapat diketahui dengan memperbandingkannya dengan versi‐ versi lain. Setelah apa yang disebutkan Ibnu Hajar itu, sayangnya tidak ada penjelasan lagi. Kedua, sebuah versi yang diungkap secara sepintas oleh Syekh 'Abdul Fattah Abu Ghaddah dalam surat yang dinukil oleh Syekh Muhammad 'Izzah Darwazah. Versi ini juga dinisbatkan kepada 'Ali, dan dikatakan bersumber dari al‐Itqan fi 'Ulumil Qur'an karya as‐Suyuthi. Hanya saja, saat ini kami tidak memiliki naskah al‐Itqan sehingga belum sempat melakukan verifikasi. Syekh Darwazah sendiri menyatakan bahwa sekurang‐kurangnya ada 7 versi yang dapat beliau temukan, sebagaimana diungkap dalam pengantar tafsirnya, at‐Tafsir al‐Hadits. Menurut beliau, tiga versi dimuat as‐Suyuthi dalam al‐Itqan, yang dinisbatkan kepada Jabir bin Zaid, al‐Husain, 'Ikrimah, Ibnu 'Abbas dan ditambah satu versi lagi yang tidak disebutkan pemiliknya. Ada satu versi lain lagi juga ditemukan dalam Tafsir al‐Khazin, kemudian satu versi lain dalam muqaddimah Tafsir Majma'ul Bayan.10 Kemudian terdapat versi lain yang tercantum dalam mushaf manuskrip (tulisan tangan) oleh kaligrafer terkenal, Bagdarugali (dicetak di bawah pengawasan Kementerian Dalam Negeri Mesir atas izin dari sesepuh qari' Mesir, 'Abdul Hamid Ahmad Hanafi). Demikianlah, masalah tata urutan ini merupakan sesuatu yang tidak terdapat kesepakatan bulat. Atau, meminjam penjelasan Syekh Darwazah dalam at‐Tafsir al‐Hadits I/12: 10



Karya Imam ath‐Thibrisi, seorang ahli tafsir otoritatif di kalangan Syi'ah. Beliau termasuk ulama' moderat dan pendapat‐pendapatnya dekat dengan Ahlus Sunnah. Dalam tafsirnya, beliau membantah banyak keyakinan kaum Syi'ah ekstrem, seperti keyakinan sebagian sekte yang mendakwakan bahwa al‐Qur'an yang beredar sekarang telah dikorupsi sampai duapertiga bagiannya. Konon, kelompok ekstrem ini mempunyai mushaf sendiri yang disebut Mushaf Fathimah, yang tiga kali lebih banyak dibanding mushaf yang ada. Ini adalah kebohongan dan fitnah belaka. Lihat: Riwayat Sembilan Imam Fiqh, karya Syekh Abdurrahman asy‐ Syarqawi yang diperkaya oleh H.M.H. al‐Hamid al‐Husaini, hal. 96‐98. Penjelasan ini menarik, sebab dimuat dalam bab yang justru menguraikan biografi Imam Zayd bin 'Ali Zaynal 'Abidin, salah seorang Imam Ahlul Bait yang sangat berpengaruh.



39



Diantara ketujuh tata urutan ini, terdapat beberapa perbedaan dari sisi mana yang didulukan dan diakhirkan, serta mana yang Madaniyah dan Makkiyah. Hanya saja, disini dapat kami ungkapkan bahwa: tidak mungkin untuk memastikan posisi urutan yang benar untuk turunnya surah‐surah al‐Qur'an secara keseluruhan, sebagaimana tidak ada pula satu tata urutan pun yang dapat bertahan terhadap kritik atau bersandarkan kepada sanad‐sanad yang kuat lagi terpercaya. Sebagai tambahan atas masalah ini, bahwasanya pendapat mengenai tata urutan surah‐surah menurut penurunannya merupakan sesuatu yang mengizinkan adanya sedikit kelonggaran. Disana terdapat banyak surah Makkiyah dan Madaniyah yang terlihat jelas dari isi kandungannya, bahwa bagian‐bagiannya tidaklah diturunkan sekaligus atau saling mengiringi. Akan tetapi, sebagian penggalannya diturunkan terlebih dahulu, kemudian turun sebagian penggalan surah‐surah lainnya, kemudian penggalan selebihnya diturunkan setelah jeda waktu tertentu. Penggalan‐penggalan surah (yang termasuk) urutan awal terkadang diturunkan sesudah penggalan‐penggalan surah (yang termasuk) urutan lebih belakangan, atau sebaliknya. Penggalan‐penggalan surah ini dirangkaikan setelah penurunannya lengkap. Posisi tata urutannya pun acap terpengaruh oleh satu atau beberapa penggalan pertama surah ini. Sebagian surah yang diletakkan di bagian permulaan tata urutan lebih tepat jika diletakkan di posisi lebih akhir, atau sebaliknya. Sebagian surah yang diriwayatkan sebagai Madaniyah lebih pas jika digolongkan sebagai Makkiyah, atau sebaliknya. Hal ini akan kami ingatkan dalam konteks penafsiran setiap surah, insya‐Allah. Meskipun demikian, hal ini tidaklah bermakna bahwa berbagai tata urutan yang disandarkan kepada riwayat‐riwayat klasik, atau kepada para tokoh Sahabat maupun Tabi'in menjadi tidak shahih seluruhnya, atau tidak bisa dijadikan sebagai rujukan. Sebab, mayoritas surah‐surah Makkiyah diturunkan sekaligus lengkap atau dalam penggalan‐penggalan yang saling beriringan. Sebuah surah yang baru tidak dimulai (penurunannya) sampai surah sebelumnya lengkap. Isi kandungan banyak surah Makkiyah dan Madaniyah pun mengindikasikan bahwa apa yang diriwayatkan terkait asbabun nuzul tersebut adalah benar atau mendekati benar. Sementara itu, ada pula yang kami anggap bahwa di dalamnya mengandung sesuatu yang mengharuskan sikap abstain (tidak menentukan sikap). Juga, semua itu masih dalam batas‐batas "mendekati" dan pen‐tarjih‐an belaka.



Demikianlah, diskusi tentang tartib nuzuli ini harus berakhir dengan sebuah kesimpulan bahwa kita hanya mampu untuk melakukan suatu analisa perbandingan, tarjih, serta memberi toleransi yang cukup leluasa kepada adanya celah‐celah kecil yang tidak mungkin ditambal. Kasus ini terutama sangat terlihat pada saat harus menganilisis tata urutan surah secara lengkap atau memastikan sebuah surah sebagai urutan ke‐sekian dengan hanya bersandar kepada analisis bagian pembukanya, mengabaikan bagian selebihnya.[] Wallahu a'lam bish‐shawab.



40



BAB IV MEMAKNAI MARHALAH WAHYU



Pada kenyataannya, selain mempunyai tartib nuzuli atau tata‐urutan penurunan, al‐Qur’an memang mempunyai marhalah nuzul atau marhalah wahyu, yakni fase‐fase penurunan wahyu. Sebab, dengan kenyataan bahwa ia turun bagian demi bagian, maka setiap bagiannya pun memiliki kaitan khusus dengan konteks di sekitarnya dalam sirah nabawiyah. Dan, mengingat sirah sendiri mempunyai tahapan, maka wahyu yang turun di dalamnya pun mesti merekam – secara tidak langsung – ciri‐ciri tahapan yang dilaluinya. Jika tartib nuzuli membahas urutan kronologis, maka marhalah wahyu berfokus pada makna dan isi kandungan wahyu‐wahyu yang serupa satu sama lain sehingga dapat dikelompokkan dalam satu tahapan. Kedua topik ini saling berkaitan dan tak dapat dipisahkan, karena dengan mengetahui tartib nuzuli maka akan dapat pula dikaji marhalah wahyu, sementara dengan memahami marhalah wahyu maka tartib nuzuli pun akan menjadi data yang “hidup” dan “bergerak” mengikuti irama ayat‐ ayat yang ada di dalamnya. Sumber Marhalah Nuzulnya Wahyu Tidak mungkin memahami marhalah wahyu tanpa dilandasi penguasaan yang baik terhadap sirah nabawiyah dan asbabun nuzul. Pimpinan Umum Ustadz 'Abdurrahman Muhammad sendiri pernah menyatakan, bahwa jalan terbaik untuk memahami penerapan al‐Qur'an adalah penelusuran terhadap sirah.11 Menurut hemat kami, itu dapat berarti pula keharusan meneliti sanad dan matan dalam sirah sekaligus asbabun nuzul. Proyek ini cukup ambisius, namun bukannya mustahil karena bahan‐bahannya relatif melimpah. Dalam muqaddimah untuk kitabnya, Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, yang dicetak bersama Tafsir al‐Jalalain I/3, Imam as‐Suyuthi menulis: Pengetahuan tentang asbabun nuzul memiliki banyak faidah. Adalah tidak benar orang yang menyatakan bahwa ilmu ini tidak berguna, sebab asbabun nuzul (adalah sebuah rekaman fakta) yang bergulir seiring perjalanan sejarah (turunnya al‐Qur'an). Diantara faidahnya adalah memastikan makna atau menghilangkan kemusykilan (dalam memahami al‐Qur'an). Imam al‐Wahidi menyatakan bahwa tidak mungkin untuk mengetahui penafsiran suatu ayat tanpa memastikan kisah (di baliknya) serta asbabun nuzul‐nya. Menurut Ibnu Daqiiqil 'Ied, penjelasan asbabun nuzul adalah cara yang kuat untuk memahami makna‐makna al‐Qur'an. Dalam pandangan Ibnu Taimiyyah, mengetahui asbabun nuzul sangat membantu untuk memahami suatu ayat. Sebab, mengetahui sabab akan mendorong pengertian terhadap musabbab‐nya. Sebagian kalangan salaf 11



Kuliah Subuh, 09 Juni 2005 di masjid Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta.



41



pernah merasa sangat kesulitan dalam memahami makna‐makna ayat tertentu, sampai akhirnya mereka menemukan asbabun nuzul‐nya sehingga kesulitan itupun teratasi.



Imam as‐Suyuthi juga melanjutkan, bahwa: Menurut al‐Wahidi, tidak dibenarkan berbicara tentang asbabun nuzul kecuali berdasarkan riwayat dan mendengar langsung (kisahnya) dari orang‐orang yang menyaksikan penurunannya, tidak mengarang‐ngarang sendiri terhadap asbabun nuzul tersebut, dan berusaha menelitinya. Muhammad bin Sirin bercerita, bahwa beliau pernah bertanya kepada 'Ubaidah tentang (maksud) suatu ayat al‐Qur'an, maka dijawab, "Bertaqwalah kamu kepada Allah, dan katakanlah yang benar lagi tepat (sadaad), sungguh telah pergi orang‐orang yang mengetahui dalam masalah apa suatu ayat al‐Qur'an itu diturunkan."



Ringkasnya, asbabun nuzul – dan juga marhalah nuzul – hanya mungkin diperoleh dengan penelitian yang sungguh‐sungguh terhadap warisan intelektual generasi Sahabat yang direkam oleh para penerusnya dalam kitab‐kitab mu'tabar. Bagian ini tidak mungkin menerima ijtihad, sebab etika dan kejujuran ilmiah menuntut bahwa fakta‐fakta sejarah di masa silam pada dasarnya hanya bisa dibaca dan diinterpretasi, bukannya dibuat sendiri sesuai dengan keinginan.



Enam Marhalah Nuzulnya Wahyu Sebuah kajian yang menarik telah dilakukan oleh Syekh Abul Qasim an‐ Nisabury.12 Menurut penelitian beliau, wahyu‐wahyu Makkiyah turun dalam tiga marhalah, sebagaimana wahyu‐wahyu Madaniyah yang juga turun dalam tiga marhalah. Diantara ‘ulumul Qur’an yang paling mulia adalah pengetahuan tentang penurunan dan tempat‐tempatnya, serta tata‐urutan wahyu yang diturunkan di Makkah pada fase permulaan (ibtida’), pertengahan (wasath), dan penutup (intiha’); demikian pula tata‐urutan wahyu yang diturunkan di Madinah pada fase permulaan, pertengahan, dan penutup; kemudian wahyu yang diturunkan di Makkah dan hukumnya bersifat Madaniyah, wahyu yang diturunkan di Madinah dan hukumnya bersifat Makkiyah.13



Bila kita membiarkan data‐data ini seperti adanya, enam marhalah wahyu memang terkesan tidaklah terlalu penting dan relevan dengan dakwah. Bagian ini hanya akan memperlihatkan urgensinya jika diterapkan terhadap wahyu‐wahyu yang dimaksud secara langsung, lantas kita coba membandingkan pengertian yang didapat dari wahyu‐ wahyu tersebut dengan catatan sirah. 12



Abul Qasim al‐Hasan bin Muhammad bin Habib an‐Nisabury, seorang ahli nahwu, ahli tafsir, dan imam qira’at di masanya, wafat tahun 406 H. 13 Lihat: Al‐Burhan fi ‘Ulumil Qur’an I/192; Al‐Itqan fi ‘Ulumil Qur’an I/12‐13; Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, hal. 169. – catatan kaki ini dari buku aslinya [Penerjemah].



42



Untuk tujuan ini pula, Dr. Subhi as‐Shalih telah memberikan sebuah analisa yang lebih luas terhadap marhalah‐marhalah tersebut, dengan menyajikan pembahasan terhadap surah‐surah yang disepakati oleh para ahli sejarah (mu’arrikhun) maupun mufassirun sebagai bagian dari fase pertama, kedua dan ketiga dalam periode Makkiyah. Pada hal. 185, buku Mabahits, beliau menulis: Seandainya kita meminjam pemikiran Abul Qasim an‐Nisabury yang menerapkan metode historis‐kronologis dalam mengurutkan (surah) Makkiyah dan Madaniyah, niscaya tewujud bagi kita – sebagai penerapan dan pengaruh dari teorinya – pembagian masing‐masing dari surah‐surah Makkiyah maupun Madaniyah dalam tiga marhalah: permulaan (ibtida’iyah), pertengahan (mutawassithah) dan penutup (khitamiyah). Dan tidaklah terlalu sukar untuk menentukan marhalah‐marhalah tersebut jika kita kembalikan kepada isnad‐isnad yang paling shahih, disertai penerapan standar‐standar para kritikus hadits. Keraguan kita dalam (membahas) bagian Madaniyah akan sangat sedikit, bahkan tidak perlu disebutkan. Sebab, Islam telah tersebar luas di Madinah, al‐Qur’an sudah dihafalkan, banyak terdapat qurra’ (pembaca) dan katib (penulis) wahyu, mudahnya sarana‐sarana untuk menyalin (naskah), menukil, meriwayatkan serta tafaqquh fid‐dien. Adapun bagian Makkiyah, maka logika peristiwanya sendiri sudah menyebabkan munculnya kebingungan dalam menggambarkan marhalah‐marhalah di dalamnya, terlebih pada masa permulaan (dakwah). Sebab, Islam berawal di Makkah sebagai sesuatu yang asing (gharib), tidak ada yang mengimani Rasulullah SAW pada tahun‐tahun pertama (turunnya) wahyu kecuali sedikit sekali, maka tidak mudah bagi orang di luar para pendahulu diantara mereka untuk memeriksa secara cermat tahap‐tahap turunnya (wahyu), disertai menentukan permulaan‐permulaannya dengan pasti. Meskipun demikian, jika kita dapat mengabaikan sisi‐sisi yang diperselisihkan para peneliti dalam (menentukan) tata‐urutan kronologis (turunnya wahyu), dimana mereka sendiri tidak bisa menentukan mana yang turun lebih dulu dan mana yang lebih belakangan, (sebenarnya) tiada halangan bagi kita untuk meletakkan tangan diatas sekelompok (wahyu) yang serupa satu sama lain, juga penggalan (wahyu) yang seirama antara yang satu dengan lainnya, yang akan tampak jelas di dalamnya “warna wajah” tertentu (sehingga) membuat kita dapat memastikannya sebagai (bagian) dari marhalah pertama, pertengahan, atau penutup dalam (surah‐surah) Makkiyah maupun Madaniyah. Diantara surah‐surah yang disepakati oleh mu’arrikhun dan mufassirun bahwa ia termasuk diantara wahyu‐wahyu permulaan, atau dalam istilah modern kita sebut al‐marhalah makkiyah al‐ula (fase Makkah pertama), adalah: al‐‘Alaq, al‐Muddatstsir, at‐Takwir, al‐A’la, al‐Lail, asy‐Syarh, al‐‘Adiyat, at‐Takatsur, serta an‐Najm. Dan diantara (wahyu) yang termasuk al‐marhalah al‐mutawassithah (fase pertengahan) di Makkah adalah: ‘Abasa, at‐Tiin, al‐Qari’ah, al‐Qiyamah, al‐Mursalat, al‐Balad, serta al‐Hijr. Sedangkan diantara (wahyu) yang termasuk al‐marhalah al‐khitamiyah (fase penutup) di Makkah adalah: ash‐Shaffat, az‐ Zukhruf, ad‐Dukhan, adz‐Dzariyat, al‐Kahfi, Ibrahim, serta as‐Sajdah.



Di akhir bab ini, insya‐Allah akan kami sajikan secara lengkap terjemahan dari analisa ringkas yang dibuat oleh Dr. Subhi ash‐Shalih 43



tentang tiga marhalah wahyu Makkiyah. Adapun mengenai tiga marhalah wahyu Madaniyah setelah itu, beliau menulis di hal. 230‐231, sbb: Tidak diragukan lagi, bahwa kami telah berpanjang lebar membicarakan surah‐surah Makkiyah dalam 3 marhalahnya. Tujuan kami dalam hal ini sangat jelas, yakni menelusuri tahap‐tahap penurunan wahyu untuk menentukan mana yang (turun) terlebih dahulu dan mana yang lebih belakangan, juga untuk menunjukkan secara lebih jelas pertanda‐ pertanda yang kami maksudkan sebagai (dasar) perntarjihan batasan waktu yang di dalamnya diturunkan sekelompok surah dan ayat. Kami pun telah menyinggung sukarnya memastikan (batasan) dalam menggambarkan marhalah‐marhalah (wahyu) Makkiyah, terlebih dalam masa permulaan (turunnya) wahyu; juga (kami telah singgung) mudahnya pemastian semacam itu dalam menentukan marhalah‐ marhalah (wahyu) Madaniyah sampai wahyu yang terakhir diturunkan. Kami menjelaskan sebab‐sebab keadaan itu dikarenakan telah menyebarnya Islam dan lebih mudahnya (untuk ditemukan) piranti‐ piranti pencatatan, penulisan dan periwayatan selama di Madinah. Dan jika kita mengesampingkan jumlah sangat sedikit dari surah‐surah yang diperselisihkan status ke‐Madaniyah‐annya, atau adanya berbagai riwayat yang (berlainan) tentang urutannya apakah lebih awal atau lebih akhir; maka cukup leluasa bagi kami untuk bersepakat dengan para peneliti di kalangan ahli tafsir yang menyimpulkan bahwa Marhalah Madaniyah Ula dimulai dari surah al‐Baqarah, disusul al‐Anfal, kemudian Ali 'Imran, al‐Ahzab, al‐Mumtahinah, an‐Nisa', dan al‐Hadid. Untuk Marhalah Madaniyah Mutawassithah diawali dari surah Muhammad, diikuti ath‐Thalaq, al‐Hasyr, an‐Nuur, al‐Munafiqun, al‐Mujadilah dan al‐ Hujurat. Sementara untuk Marhalah Madaniyah Tsalitsah Niha'iyah dibuka dengan surah at‐Tahrim, dilanjutkan al‐Jumu'ah, al‐Ma'idah, at‐ Taubah dan an‐Nashr.



Hanya saja, karena pertimbangan panjangnya surah, maka beliau hanya menyertakan analisa atas tiga surah yang masing‐masing mewakili satu fase, yakni al‐Baqarah dari marhalah ula, an‐Nuur dari marhalah tsaniyah, dan al‐Maidah dari marhalah tsalitsah. Kami juga menyajikan tulisan beliau mengenai masalah ini, insya‐Allah.



Marhalah Wahyu Makkiyah dan Madaniyah Jika kita mempergunakan tartib nuzuli Versi Kedua (al‐Biqa’i dan Abul Qasim), misalnya, maka untuk wahyu Makkiyah kita akan memperoleh data‐data, sbb: ·



Marhalah Ula dimulai dari al‐'Alaq sampai an‐Najm, yakni surah urutan ke‐23. Dengan kata lain, marhalah pertama di Makkah berisi 23 surah.



·



Marhalah Wasath dimulai dari ‘Abasa (24) dan berakhir pada al‐Hijr (54), yang di dalamnya memuat 31 surah.



·



Marhalah Intiha', terkandung 32 surah selebihnya dari 86 surah Makkiyah, mulai dari al‐An’am sampai al‐Muthaffifin. 44



Sedangkan untuk wahyu‐wahyu Madaniyah, juga dengan mempergunakan tartib nuzuli Versi Kedua (al‐Biqa’i dan Abul Qasim), maka tata urutan dan marhalah yang beliau rinci adalah, sbb: ·



Marhalah Ula dimulai dari al‐Baqarah (87) sampai al‐Hadid (94), yang terdiri dari 8 surah.



·



Marhalah Wasath dimulai dari Muhammad (95) dan berakhir pada al‐ Hujurat (106), yang di dalamnya memuat 12 surah.



·



Marhalah Intiha', terkandung 8 surah selebihnya dari 28 surah Madaniyah, mulai dari at‐Tahrim (107) sampai an‐Nashr (114).



Dari pengelompokan tersebut, dan dengan merujuk kepada catatan sirah, kita akan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang situasi pada saat wahyu diturunkan, kemudian menarik benang merah faktanya ke masa kini. Dalam konteks SNW, penjenjangan tarbiyah kader dapat pula didasarkan kepada marhalah wahyu ini.14 Sebenarnya, para ulama’ al‐Qur’an menaruh perhatian yang sangat besar terhadap marhalah wahyu ini, dimana mereka nyaris tidak menyisakan satu ruang pun yang terlewat dari perincian dan pendalaman. Pembahasan yang ada telah mencapai sesuatu yang luar biasa, dimana terdapat riwayat tentang wahyu yang diturunkan siang hari, malam hari, di perjalanan, dalam kondisi muqim, di musim dingin, di musim panas, bahkan di rumah siapa dari para istri Rasul SAW, sebagaimana telah kami singgung sebelum ini. Akan tetapi, bila sebuah pengkajian yang berkesinambungan dirasa sukar, mengingat sebagian surah tersebut ada yang panjang, maka dapat dicoba untuk melihat ayat‐ayat pembuka setiap surah, antara 5 sampai 10 ayat. Menurut riwayat, kebanyakan al‐Qur'an diturunkan dalam jumlah ini. Namun, hal itu tidak mutlak dan terus menerus dilakukan seperti ini, karena memang sukarnya menemukan riwayat tentang kepastian kapan ayat‐ayat selanjutnya diturunkan, yakni setelah bagian pembukanya tersebut turun. Sebagai misal, ayat ke‐6 sampai penutup surah al‐'Alaq saja, yang pembukaannya adalah wahyu pertama, 14



Perincian tentang surah‐surah apa saja yang terdapat dalam setiap marhalah dapat dilihat dalam Lampiran, sementara pertimbangan‐pertimbangan ilmiah yang menjadi landasannya dapat dibaca pada Bagian III dari buku ini, khususnya tentang penggabungan antar versi tartib nuzuli. Untuk pembahasan yang lebih luas dan rinci, sebenarnya ada beberapa literatur dengan pokok‐pokok pikiran yang sejalan dengan ide diatas, yang ditulis Syekh Muhammad ‘Izzat Darwazah. Berdasarkan informasi sementara, buku‐buku tersebut adalah: (1) ‘Ashr an‐Nabiy shalla‐llahu ‘alaihi wa sallam, (2) Siirotu ar‐Rasul shalla‐llahu ‘alaihi wa sallam min al‐Qur’an, (3) Al‐Qur’an al‐Majiid, dan (4) ad‐Dustur al‐Qur’ani fi Syu’uni al‐Hayat. Kitab‐ kitab ini diterbitkan di Syiria dan Mesir pada tahun‐tahun 1940 dan 1950‐an. Sayang, kami belum pernah mendapatkan naskah kitab‐kitab ini, baik dalam edisi asli maupun terjemahnya. Untuk penafsiran lengkap menurut tartib nuzuli, beliau juga menulis satu kitab yang terdiri dari 12 jilid, masing‐masing sekitar 280 halaman, berjudul at‐Tafsir al‐Hadits. Kitab ini diterbitkan di Mesir pada tahun 1962. Tampaknya, hampir semua perpustakaan induk di Kampus IAIN seluruh Indonesia memiliki kitab yang disebut terakhir ini; setidaknya di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Malang, sebagaimana yang kami ketahui.



45



diturunkan jauh setelah zaman da'wah jahriyah. Surah‐surah yang lain pun mengalami hal yang kurang lebih serupa, kecuali sebagian surah yang pendek dimana ia turun sekaligus lengkap. Pemaparan atas hal ini dapat dilihat dalam Bab IV Tarikh Ayat‐ayat al‐Qur'an di Bagian I ini juga.



Manfaat dan Fungsi Marhalah Wahyu Dalam konteks manhaj SNW, kajian ini sangat penting, karena setidaknya ia memiliki dua manfaat langsung. Pertama, dengan mengetahui adanya fase‐fase ini, maka jalan untuk melakukan sebuah pelevelan tarbiyah menjadi terbuka lebar. Paling kurang, fase‐fase ini bisa menjawab pertanyaan para kader yang telah berkali‐kali mengikuti dan membahas SNW sampai akhirnya merasa ‘terhenti’ pada titik tertentu, “Setelah al‐Fatihah, lalu apa lagi?” Sebuah pertanyaan yang sederhana, dengan jawaban yang masih menggantung. Kedua, fase‐fase ini memperjelas pemaknaan maupun penjelasan kita terhadap setiap surah. Sebab, setiap fase wahyu senantiasa terkait dengan periode tertentu dalam sirah nabawiyah yang catatan peristiwanya, baik secara global maupun terperinci, diketahui dengan jelas. Sudah menjadi kaidah dalam penafsiran al‐Qur’an, bahwa diantara sarana ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengetahui makna suatu ayat atau surah adalah dengan mengenali asbabun nuzul atau konteks peristiwa penurunannya. Metode ini akan membantu penguatan kajian maupun penyampaian materi SNW dari sisi ilmiah, sehingga lebih dapat diterima oleh kalangan yang beragam. Secara internal, adanya pendasaran yang benar akan meningkatkan spirit dan ketenangan dalam mengamalkannya, bi‐ idznillah. Sebuah Model Pemaknaan Marhalah wahyu tidaklah bermakna apa‐apa tanpa usaha yang jelas untuk memahami setiap wahyu yang ada di dalamnya, ayat demi ayat, penggal demi penggal, dan kemudian membangun perspektif yang utuh terhadap fungsi masing‐masingnya dalam menyusun suatu kepribadian baru, yang tercermin tahap demi tahap dalam diri Rasulullah dan para Sahabatnya. Bagaimanapun, wahyu ibarat palu penempa, untuk mengeluarkan sifat asli serta keunggulan baja, agar lenyap darinya kerak maupun karat, sehingga kelak tampil penuh wibawa dan kekuatan dalam menegakkan serta menjaga kehormatan agama Allah. Sebagai model yang dapat dikembangkan, dianut metodenya, serta diambil sebagai sumber inspirasi, kami akan menyertakan kutipan lengkap dari hasil analisa Dr. Subhi ash‐Shalih terhadap marhalah wahyu, yang beliau tulis dalam Mabahits hal. 186‐233. Selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran 6. 46



Teks ini memuat berbagai penjelasan yang sangat bermanfaat, yang bagi kita sayang jika dilewatkan. Kami menerjemahkan dan memuatnya secara utuh disini, mengingat tidak semua pembaca dapat dengan mudah menemukan buku asli maupun edisi terjemahannya. Seluruh catatan kaki maupun referensi yang dirujuk pada lampiran tersebut adalah asli dari buku tersebut, kecuali jika diberikan isyarat khusus sebagai tambahan dari kami sendiri.[] Wallahu a'lam.



47



BAB V TARIKH NUZUL AYAT‐AYAT AL‐QUR'AN



Tarikh nuzul ayat‐ayat al‐Qur'an memperlihatkan dengan jelas, sebagaimana dilaporkan dalam kitab‐kitab tafsir, hadits maupun sirah, bahwa al‐Qur'an tidaklah diturunkan sekaligus lengkap sebagaimana kitab‐kitab terdahulu. Tentang masalah ini, Ibnu Hajar menulis dalam Fathul Bari IX/8: Sesungguhnya terlambatnya penurunan wahyu – kadang‐kadang – adalah karena adanya suatu hikmah yang mengharuskan hal itu, bukannya hendak meninggalkan beliau samasekali. Penurunan wahyu berlangsung dalam cara yang berlain‐lainan, adakalanya berturut‐turut dan sesekali dengan ada jeda waktu diantaranya. Ada banyak hikmah dalam penurunan al‐Qur'an secara terpisah dan bertahap. Diantaranya, untuk memudahkan penghafalan. Sebab, jika saja al‐Qur'an diturunkan sekaligus kepada umat yang buta huruf (ummatun ummiyah) dimana mayoritas mereka tidak bisa baca‐tulis, pasti mereka akan sangat kesulitan untuk menghafalnya.



Selanjutnya, beliau mengutip surah al‐Furqan: 32 dan al‐Isra': 106, dan meneruskan penjelasannya: Diantara hikmahnya juga adalah pasti timbul kesan pemuliaan dan perhatian yang besar (dari Allah) kepada beliau (dalam cara penurunan al‐Qur'an tersebut). Yakni, karena berulang‐ulangnya utusan Rabb beliau turun untuk mengajarkan hukum‐hukum segala sesuatu yang terjadi, juga jawaban atas berbagai pertanyaan tentang hukum maupun peristiwa. Diantara hikmahnya juga adalah diturunkannya al‐Qur'an dalam tujuh dialek (sab'atu ahruf), sehingga cocok sekali bila diturunkan secara terpisah. Andai ia diturunkan sekaligus lengkap, pasti akan sukar untuk dijelaskan pada suatu ketika nanti. Diantara hikmah lainnya adalah Allah berkehendak untuk menghapus (nasakh) apa yang Dia kehendaki dari hukum‐hukumnya. Maka, penurunan secara terpisah lebih baik dibanding sekaligus, supaya al‐ mahmud (yang menghapus, an‐nasikh) bisa terpisah dari al‐mansukh (yang dihapus).



Penjelasan ini diamini oleh Dr. Subhi ash‐Shalih dalam Mabahits, hal. 49‐ 62. Beliau mengupas panjang lebar masalah ini dalam satu bab tersendiri. Silakan merujuk kesana untuk memperoleh wawasan yang lebih utuh.



Ayat‐ayat Wahyu Pertama Ayat‐ayat al‐Qur’an diturunkan secara bertahap dalam kelompok‐ kelompok kecil, memuat sekitar 5 ayat. Ada juga yang turun sekaligus 10 ayat, 3 ayat yang merupakan satu surah utuh, atau satu ayat saja, 48



bahkan sepotong pendek yang kemudian “disisipkan” pada ayat yang panjang. Dalam Mabahits, hal. 49‐50, Dr. Subhi as‐Shalih menulis: Hikmah ilahiyah menghendaki wahyu berdialog dengan Rasulullah SAW, seraya mengajari beliau sesuatu yang baru setiap hari, membimbing dan memandu, meneguhkan dan menambahkan ketenangan; sekaligus berdialog dengan para Sahabat, seraya men‐tarbiyah, membenahi adat kebiasaan, menanggapai peristiwa yang mereka alami, serta tidak mengajari dan menurunkan syari’ah secara tiba‐tiba (tanpa proses persiapan sebelumnya); maka fenomena yang tampak dari sini adalah turunnya al‐Qur’an secara berangsur‐angsur “sesuai kebutuhan: lima ayat, sepuluh ayat, lebih banyak atau lebih sedikit”. Adalah shahih (riwayat tentang) turunnya 10 ayat sekaligus dalam kisah “Berita Bohong”,15 10 ayat permulaan surah al‐Mu’minun sekaligus, juga turunnya “ghairu ulidh‐dharari” saja – padahal ini hanya bagian dari suatu ayat (yang panjang).16 Demikian juga firman Allah “wa in khiftum ‘aylatan” sampai akhir, diturunkan setelah (bagian) awal ayat (ini sendiri).17



Penjelasan dan dasar dari pernyataan Dr. Subhi as‐Shalih adalah apa yang beliau sertakan sendiri dalam catatan kaki untuk bab ini. Sebagian ulama’ al‐Qur’an membatasi – sebagaimana dapat dimengerti dari berbagai riwayat – turunnya al‐Qur’an secara berangsur‐angsur lima ayat demi lima ayat, untuk memudahkan penghafalan oleh kaum mu’minin dalam setiap kesempatan. Imam Bayhaqi meriwayatkan dari Khalid bin Dinar: Abu ‘Aliyah berkata kepada kami, “Pelajarilah al‐ Qur’an lima ayat demi lima ayat, karena sesungguhnya Nabi Muhammad SAW mengambilnya dari Jibril lima lima”. Yang dekat dengan ini adalah riwayat yang diriwayatkan Ibnu ‘Asakir dari jalur Abu Nadhrah. Namun, (perkataan) ini disandarkan kepada ‘Ali (bin Abi Thalib) karramallahu wajhahu, beliau berkata, “Al‐Qur’an diturunkan lima lima, kecuali surah al‐An’am. Barangsiapa yang menghafalkan lima lima niscaya tidak akan lupa.” Hanya saja, as‐Suyuthi mengidentifikasi riwayat terakhir sebagai dha’if (lemah) jalurnya, dan berpendapat bahwa, “Maknanya – jika memang riwayat ini shahih – penerimaan Rasulullah SAW (sebatas) ukuran ini sampai beliau hafal, kemudian disampaikan kepada beliau sisanya, bukannya penurunan al‐Qur’an hanya dengan ukuran ini saja.” Al‐Itqan, 1/73.



Senada dengan diatas, Abu Abdullah az‐Zanjani, pada hal. 50‐51, menulis: Penelitian atas hadits‐hadits menunjukkan, kebanyakan (surat‐surat) al‐ Qur’an diturunkan secara sepotong‐sepotong; misalnya, dari surat qishar (pendek), Iqra’ yang pertamakali turun sampai dengan ma lam ya’lam, surat Wadh‐dhuha ayat‐ayat pertamanya turun sampai dengan fa tardha (HR ath‐Thabrani). Ada pula yang turun satu surah sekaligus, seperti al‐ 15



Ayat tentang “haditsul ifki” yang menyatakan bersihnya ‘Aisyah dari fitnah, surah an‐Nuur: 11‐21. 16 Surah an‐Nisa’: 95. 17 Surah at‐Taubah: 28.



49



Fatihah, al‐Ikhlash, al‐Kautsar, Tabbat, Lam yakunil dan an‐Nashr. Diantara surat thiwal (panjang) yang turun sekaligus adalah al‐Mursalat. Penelitian menunjukkan adanya ayat yang turun lima sampai sepuluh ayat sekaligus, seperti awal surah al‐Mu’min. Ada pula yang hanya uuli adh‐dharari saja. Kalimat ini merupakan bagian dari ayat la yastawil qa’iduna minal mu’minina. Demikian pula wa in khiftum ‘ailatan fa saufa yughnikumullahu min fadhlihi in sya’a innallaha ‘alimun hakim. Kalimat ini turun sesudha awal ayat, padahal masih merupakan bagian dari ayat tersebut.



Tentang asbabun nuzul al‐Mursalat diatas, az‐Zanjani mengutip riwayat al‐Hakim dalam al‐Mustadrak, dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Kami bersama Nabi SAW di suatu gua ketika turun wal musalaati ‘urfaa. Aku segera menghafalnya langsung dari mulut Rasulullah. Aku tidak tahu dengan ayat mana surah itu ditutup, dengan fa‐bi‐ayyi hadiitsin ba’dahu yu’minuun (ayat 48) atau wa idzaa qiila lahum‐urka’uu laa yarka’uun (ayat terakhir, 50).” Menurut yang kami ketahui, hadits ini dicantumkan al‐Hakim pada no. 2994, dalam al‐Mustadrak II/276, dan beliau men‐ shahih‐kannya. Kami sudah mencoba menghitung sendiri ayat‐ayat dalam al‐Qur’an dengan menggunakan Mushhaf Utsmani edisi kontemporer (terbitan Timur Tengah) yang banyak beredar di Indonesia dewasa ini. Di dalamnya kami menemukan 6236 ayat. Jumlah ini sama dengan versi Departeman Agama RI dalam Muqaddimah untuk Al‐Qur’an dan Terjemahnya dalam Bahasa Indonesia. Disini bahkan dirinci dengan baik, dimana untuk 86 surah Makkiyah berjumlah 4780 ayat, sedang untuk 28 surah Madaniyah berjumlah 1456 ayat. Beberapa sumber lain menyatakan jumlah berbeda, dan biasanya perbedaan itu berpangkal kepada cara menghitung. Sebab, dalam Mushaf Utsmani edisi kontemporer, adakalanya huruf‐huruf muqatha’ah di awal sebagian surah dihitung satu ayat, dan ada pula yang tidak. Jika sumber lain menghitung huruf‐huruf tersebut sebagai satu ayat, maka jumlahnya jelas akan lain. Misalnya, dalam Mushaf Utsmani yang kami pergunakan, Kaf Ha Ya ‘Ain Shad (surah Maryam), Tha Ha dan Ya Sin dihitung satu ayat, sedangkan Alif Lam Ra (surah Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, dan al‐Hijr), Shaad, Qaaf, dan Nuun (surah al‐Qalam) tidak dihitung satu ayat. Ada juga perbedaan jumlah ayat karena perbedaan pemotongan ayat. Namun, masalah ini terlalu rumit dan tidak berkaitan langsung dengan studi ini, sehingga tidak pada tempatnya untuk dibahas. Jika mayoritas dari 6236 ayat tersebut turun dalam kelompok‐kelompok kecil, sepanjang 23 tahun perjuangan Rasulullah SAW, atau lebih dari 8.200 hari, maka sudah terlihat jelas bagaimana intensifnya perhatian Allah terhadap Rasulullah dan kaum muslimin saat itu. Berbagai kitab tafsir dan asbabun nuzul banyak mengungkap satu atau dua ayat saja yang diturunkan berkenaan dengan suatu peristiwa, bahkan ada juga yang berupa potongan pendek yang kemudian disisipkan atau disambungkan kepada ayat lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Hebatnya, kita sering tidak menyadari bahwa ayat tersebut 50



sebenarnya tidak diturunkan sekaligus lengkap. Inilah salah satu sisi I’jazul Qur’an. Dalam konteks seringnya wahyu turun, kiranya tidak berlebihan apa yang ditulis oleh Sayyid Quthb dalam terjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an XII/303: Sejak saat itu, hiduplah penghuni bumi yang hakikat ini telah mantap di dalam jiwanya. Mereka berada di dalam perlindungan dan pemeliharaan Allah secara langsung dan jelas. Mereka hidup dengan dapat melihat (mengingat) Allah dalam semua urusannya secara langsung, baik dalam urusan besar maupun kecil. Mereka merasa dan bergerak di bawah pengawasan Allah. Mereka mengharapkan uluran tangan‐Nya untuk membimbing langkah mereka di jalan selangkah demi selangkah, mengembalikan dari kesalahan dan membimbing mereka kepada kebenaran. Setiap malam mereka menunggu datangnya wahyu dari Allah kepada mereka. Wahyu yang berbicara kepada mereka tentang diri mereka, memcahkan problematika mereka, dan berkata kepada mereka, “Ambillah ini, dan tinggalkanlah itu.” Sungguh ini merupakan masa yang menakjubkan. Hanya selama 23 tahun, berlangsung hubungan secara langsung antara manusia dan alam tertinggi. Masa yang tidak dapat dibayangkan hakikatnya kecuali oleh orang‐orang yang hidup pada zaman itu. Yakni, mereka yang merasakannya, menyaksikan permulaan dan kesudahannya, dan merasakan manisnya hubungan ini. Juga merasakan adanya tangan Allah yang membimbing langkah mereka di jalan kehidupan, dan melihat dari mana mereka memulai dan kemana tujuannya.



Kembali ke masalah pembatasan ayat wahyu‐wahyu pertama. Dalam ulumul Qur’an sudah dimaklumi bahwa suatu surah tertentu mendapatkan namanya sebagai Makkiyah atau Madaniyah karena bagian awalnya saja. Pembagian surah Makkiyah dan Madaniyah – dalam risalah ini – adalah pembatasan berdasar waktu, bukan tempat. Dalam bukunya, hal. 179, Dr. Subhi as‐Shalih menulis: An‐Nahhas18 mengklaim bahwa surah an‐Nisa’ adalah Makkiyah, berdasarkan kepada firman Allah “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanat kepada orang yang berhak”19 yang diturunkan di Makkah menurut kesepakatan (ulama’) berkenaan dengan kunci Ka’bah. As‐Suyuthi membantah argumen an‐Nahhas dan menganggapnya sebagai pendapat yang lemah, beliau berkata: “Itu adalah sandaran pendapat yang lemah sekali, karena turunnya satu atau beberapa ayat (di Makkah) dari suatu surah panjang yang sebagian besarnya diturunkan di Madinah, tidaklah mengharuskan surah tersebut menjadi Makkiyah. Terlebih, berpegang kepada pendapat yang paling kuat bahwasanya apa yang diturunkan setelah hijrah adalah (termasuk) Madaniyah. Dan, siapapun yang mencermati asbabun nuzul ayat‐ayatnya akan mengetahui sanggahan (atas pendapat an‐Nahhas tersebut). Diantara yang menolak pendapat tersebut adalah riwayat yang 18



Abu Ja’far an‐Nahhas Ahmad bin Muhammad bin Isma’il bin Yunus al‐Muradi, tokoh rujukan dalam ilmu dan bahasa di Mesir, wafat tahun 338 H, penulis kitab “an‐ Nasikh wal Mansukh”. 19 Surah an‐Nisa’: 58.



51



dikeluarkan al‐Bukhari dari ‘Aisyah, “Tidaklah surah al‐Baqarah dan an‐ Nisa’ diturunkan melainkan saya berada di sisi beliau (Rasulullah).” Dan Rasulullah baru tinggal serumah dengan ‘Aisyah setelah hijrah, berdasarkan kesepakatan (ulama’).” Al‐Itqan, I/19. Jika dalam masing‐masing surah Makkiyah dan Madaniyah ada ayat‐ayat perkecualian, maka sebagian ulama’ ada yang dalam pengecualiannya bersandar kepada ijtihad, bukan riwayat. Hal ini tidak bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Ibnu ‘Abbas, “Jika pembukaan suatu surah turun di Makkah maka ia ditulis di Makkah, kemudian Allah menambahkan di dalamnya apa yang dikehendaki‐Nya.”



Dalam konteks Lembaga, ada cita‐cita untuk men‐tarbiyah para kader seperti yang diterima para Sahabat di masa silam. Dengan sendirinya, diperlukan kecermatan tinggi untuk menentukan batasan ayat dari suatu surah yang sudah diyakini – atau, terbukti secara ilmiah – sebagai wahyu‐ wahyu permulaan. Dengan kenyataan adanya ayat‐ayat Madaniyah dalam surah Makkiyah, atau sebaliknya, maka mencampurkan materi‐materi yang memiliki latar persoalan sangat berbeda dalam suatu tahap tarbiyah jelas menyimpan bahaya. Menurut kami, potensi bahaya paling cepat muncul adalah futur dan kekalahan, karena tidak tepatnya materi tarbiyah dengan tantangan yang harus dihadapi. Sebagai contoh, ada ayat‐ayat dalam surah al‐Muzzammil, yang dianggap kelompok wahyu pertama dan menjadi materi tarbiyah penting dalam manhaj SNW, ternyata justru turun di Madinah. Dalam tinjauan ini, penafsiran maupun penerapannya tidak dapat disandarkan kepada fakta yang shahih dalam sirah nabawiyah. Sebab, apa yang dikandung ayat itu bukan materi tarbiyah periode awal kenabian. Akan tetapi, jika kita hendak mengkaji secara utuh setiap surah, maka kita harus melakukannya dengan pendasaran dari tafsir yang mu’tabar, pengamatan yang jeli terhadap sirah, serta kehati‐hatian ekstra dalam menerapkan fiqh da’wah.



Ayat‐ayat dalam SNW Dalam kajian SNW, kita biasa ‘diyakinkan’ – atau, diberi wawasan – bahwa wahyu‐wahyu pertama al‐Qur’an berisi sekian ayat. Wahyu pertama yang turun, yaitu al‐‘Alaq berisi 5 ayat. Kemudian, untuk al‐ Qalam kita mencantumkannya hanya sampai ayat ke‐7. Mengenai al‐ Muzzammil, pembahasan berhenti pada ayat ke‐10. Setelah itu, al‐ Muddatstsir 1‐7, dan diakhiri dengan al‐Fatihah 1‐7. Diskusi tentang pembatasan ayat ini menjadi menarik, mengingat konsep dasar manhaj SNW menempatkan istilah “wahyu” sebagai salah satu pilarnya, disamping pilar lain yakni “sistematika nuzul” (tartib nuzuli atau tata‐urutan penurunan). Konsekuensi dari pilar ini adalah pembatasan terhadap ayat‐ayat yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan sebagai bagian dari wahyu pertama. Bagaimanapun, ketika menyebut “surah al‐‘Alaq sebagai wahyu pertama”, dalam tinjauan riwayat hadits, sirah maupun ulumul Qur’an, maksud dari pernyataan ini adalah surah al‐‘Alaq ayat 1‐5. Tidak 52



seorangpun yang akan berbicara bahwa wahyu pertama berarti keseluruhan al‐‘Alaq, yang totalnya berisi 19 ayat. Bagaimanapun juga, istilah “wahyu” tidaklah sama dengan “surah”. Dalam sebagian kasus memang ada surah yang turun sekaligus, sehingga ia bisa disebut secara bersamaan sebagai wahyu ke‐sekian maupun surah ke‐sekian dalam tartib nuzuli. Misalnya, al‐Fatihah, al‐Kautsar, an‐ Nashr, atau al‐Muddatstsir menurut sebagian pendapat. Dengan demikian, konsep dasar tarbiyah kader dalam SNW semestinya melihat aspek ini secara lebih cermat. Maksud kami, pembatasan ayat yang disertakan dalam kajian masing‐masing surah 5 wahyu pertama harus bersandar kepada riwayat yang shahih. Ini adalah manhaj, bukan bahan ceramah yang boleh dipakai atau tidak oleh para pendengarnya. Apa yang biasa disertakan di belakang setiap surah dalam SNW memang memperlihatkan tema‐tema tertentu yang berada pada ayat‐ayat tersebut. Berbagai dokumen resmi yang dikeluarkan oleh institusi di bawah naungan Hidayatullah memajang judul‐judul apik untuk setiap surah. Untuk al‐‘Alaq, diberi judul Menggugah Kesadaran dengan al‐ ‘Alaq. Pemaparan al‐Qalam diberi kop Meniti Jalan dengan al‐Qalam. Surah al‐Muzzammil dibingkai dengan Membentuk Watak dan Kepribadian dengan al‐Muzzammil. Sedangkan al‐Muddatsir biasa dibahasakan dengan Menyatukan Langkah dengan al‐Muddatstsir. Terakhir, al‐Fatihah dirumuskan dalam kalimat Berislam Kaffah dengan al‐Fatihah. Pemberian judul semacam ini sebetulnya tidak menimbulkan masalah, selain kemungkinan tema yang tidak tercakup dalam judul tersebut. Masalah sebenarnya ada pada pembatasan ayat‐ayatnya. Untuk al‐‘Alaq, tidak timbul pertentangan. Surah ini disepakati turun pertamakali dengan 5 ayat saja, sedangkan 14 ayat sisanya turun lebih kemudian. Namun, pembatasan ayat dalam al‐Qalam, al‐Muzzammil dan al‐ Muddatstsir, dengan berbagai pertimbangan, harus diverifikasi ulang. Menilik riwayat asbabun nuzul yang ada, juga catatan dalam sirah sendiri, kita harus memberanikan diri melihat susunan surah maupun pembatasan ayat di dalam SNW menurut versi berbeda. Atau, dengan kata lain, pembatasan ayat‐ayat di dalamnya – sebagaimana yang lazim dipergunakan dalam tarbiyah kader selama ini – mesti berlandaskan riwayat yang shahih, agar materi tarbiyah tidak menemui jalan buntu. Sebab, dengan adanya acuan yang tepat, maka akan lebih mudah diberikan penjelasan berdasar sirah. Bagaimanapun, tarbiyah ini dicita‐ citakan untuk mengulang sukses generasi pertama kaum muslimin. Dengan sendirinya, diperlukan ketelitian tersendiri untuk memilah “kurikulum”, agar tepat dosis seperti yang diterima para Sahabat, di masa silam. Sebaliknya, jika kita secara sadar memilih untuk memutlakkan seluruh ayat dari sebuah surah dalam kedudukannya menurut tartib nuzuli, maka persoalannya menjadi mudah. Kesannya, memang tidak adil membicarakan sebagian ayat namun melewatkan sebagian lainnya. Bagaimanapun juga, al‐Qur’an sudah lengkap diturunkan sekarang. 53



Disini, tidak diperlukan landasan riwayat atau logika yang rumit. Untuk diingat kembali, seperti sudah pernah dikutip sebelumnya, Ibnu Hajar menyatakan bahwa tartib nuzuli yang menyangkut ayat‐ayat suatu surah tidak banyak ditemukan riwayatnya. Perincian yang paling lengkap adalah tartib nuzuli surah secara global. Jelas, lebih mudah membicarakan suatu surah secara utuh dibanding berusaha memilah‐ milahnya, kecuali pada sebagian kasus surah yang memang disebutkan riwayat tartib nuzuli ayat‐ayatnya secara sharih dan shahih. Hanya saja, kita juga harus konsekuen dan ekstra waspada. Misalnya, kepada para kader, kita mesti menyiapkan penjelasan yang memuaskan, hati‐hati dan bertanggung jawab terhadap adanya keringanan qiyamul lail dalam ayat ke‐20 surah al‐Muzzammil, termasuk bagaimana mengaplikasikannya dalam tarbiyah. Riwayat Ayat‐ayat Pertama al‐'Alaq Jumhur ulama’ sepakat bahwa yang turun pertamakali dari surah ini adalah sampai “ma lam ya’lam”, yakni 5 ayat. Meskipun ada juga pendapat yang berbeda, namun kebanyakan dapat di‐ta’wil kepada pendapat lain, atau dibuktikan bahwa ia tidak benar. Riwayat ini dapat kita temukan dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, kitab‐kitab hadits yang lain, berbagai kitab sirah nabawiyah, tafsir, dan ulumul Qur’an. Disini tidak kami sebutkan, untuk menghindari pengulangan yang tidak perlu, karena akan ada perincian lebih lengkap pada tempatnya nanti, insya‐Allah. Riwayat Ayat‐ayat Pertama al‐Qalam Imam al‐Qurthuby dalam Tafsir‐nya XVIII/222, untuk pembukaan penafsiran surah al‐Qalam menulis: Surah Nun wal‐Qalam adalah Makkiyah, menurut pendapat al‐Hasan (al‐ Bashri), ‘Ikrimah (maula Ibnu ‘Abbas), ‘Atha (bin Abi Rabah), dan Jabir (bin ‘Abdullah). Menurut Ibnu ‘Abbas dan Qatadah, mulai dari awal al‐ Qalam sampai firman Allah sanasimuhu ‘alal khurthum (ayat ke‐16) adalah Makkiyah, sedangkan setelah itu sampai firman Allah akbar lau kanu ya’lamun (ayat ke‐33) adalah Madaniyah, lalu sesudahnya sampai firman Allah yaktubun (ayat ke‐47) adalah Makkiyah, kemudian setelah itu sampai firman Allah minash‐shalihin (ayat ke‐50) adalah Madaniyah, dan sisanya adalah Makkiyah. Demikian seperti dikatakan oleh al‐ Mawardi.



Penyimpulan dari riwayat yang umum seperti ini memang sukar. Jika kita mengambil bentuk mutlak riwayat, maka pembatasan wahyu pertama untuk surah al‐Qalam adalah ayat 1‐16. Jadi, mulai kisah para pemilik kebun (ashhabul jannah), sudah tidak termasuk kelompok ayat yang turun pertama kali. Kelompok ayat ini tentu saja berbeda dengan apa yang ada dalam SNW, dimana al‐Qalam biasanya dicantumkan sampai ayat ke‐7, yakni sampai firman Allah wa huwa a’lamu bil muhtadin. Kesimpulan dari riwayat yang umum seperti dalam Tafsir al‐Qurthubi 54



diatas juga belum tentu valid. Sebab, riwayat itu hanya menyebut ayat ke‐1 sampai ke‐16 sebagai Makkiyah, bukannya pembatasan wahyu pertama sejelas riwayat untuk al‐‘Alaq. Tidak menutup kemungkinan pula ayat‐ayat sebanyak ini diturunkan secara bertahap. Asy‐Syahid Sayyid Quthb pernah mengungkap keraguannya bahwa surah al‐Qalam yang berisi 52 ayat ini turun sebagiannya dan terpisah satu sama lain. Menurut beliau, zhahir ayat‐ayat dalam surah ini membicarakan satu tema yang sama dan berada dalam suasana dakwah yang sama, yakni dakwah umum yang terbuka (jahiriyyah), bukan dakwah individu yang diam‐diam (sirriyah). Dalam terjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an XI/377, beliau menulis: … tidak mungkinnya dipastikan bahwa bagian permulaan lebih dahulu diturunkan, kemudian disusul bagian‐bagian berikutnya. Jiga tidak mungkin dapat ditarjihkan kemungkinan‐kemungkinan ini. Karena bagian permulaan dan bagian akhir surah membicarakan hal yang sama, yaitu terus‐menerusnya orang‐orang kafir mengata‐ngatai Nabi Muhammad SAW dan mengatakannya gila.



Artinya, menurut beliau, ayat‐ayat dalam surah ini turun secara lengkap, dan itupun dalam periode dakwah yang lebih belakangan. Sebagai catatan, kritik ini tak berlandaskan kepada satu riwayat (an‐naql), namun berlandaskan nalar (ar‐ra’yu) semata. Ada sisi lemah tertentu dalam kritik ini. Hanya saja, ternyata beliau tidak sendiri. Sebagaimana akan kami paparkan nanti, kami justru menemukan banyak kritik yang senada dengan beliau dari berbagai sudut pandang. Adapun tentang riwayat detail pembatasan ayat‐ayat yang termasuk wahyu pertama dalam al‐Qalam itu sendiri, belum kami temukan. Oleh karenanya, fakta‐fakta ini merupakan catatan penting bagi kami yang semakin memperkuat dugaan bahwa al‐Qalam bukanlah wahyu yang turun dalam periode‐periode pertama. Perlu juga diketahui, Sayyid Quthb tidak yakin al‐Qalam sebagai wahyu kedua setelah al‐‘Alaq. Berbagai riwayat yang akan kami paparkan pada Bagian II, insya‐Allah, akan mengungkap masalah ini lebih terinci. Kemungkinan kompromi yang paling baik diberikan oleh Muhammad 'Izzah Darwazah, dalam at‐Tafsir al‐Hadits I/40:



Syekh



Isi kandungan 4 ayat permulaan dan yang mengiringinya memungkinkan bahwa empat ayat tersebut diturunkan secara terpisah, dan bahwasanya ayat‐ayat selebihnya diturunkan sesudah itu dengan jarak waktu tertentu; tidak menutup kemungkinan pula bahwa seluruh surah ini diturunkan sekaligus. Penempatan urutan surah ini sebagai yang kedua adalah berdasar pada kemungkinan turunnya empat ayat permulaan tersebut secara terpisah, di belakang lima ayat pertama surah al‐‘Alaq.



Inti argumen beliau adalah, bahwa bagian pertama yang darinya surah al‐Qalam berhak menduduki posisi di urutan kedua hanya diri dari 4 ayat, mulai Nuun sampai la'alaa khuluqin 'azhiim. Sehingga, masalahnya terlihat lebih sederhana dan paralel dengan catatan sirah maupun riwayat‐riwayat asbabun nuzul lainnya. Sebab, sampai ayat ke‐4 ini memang belum terlihat adanya perintah dakwah. 55



Riwayat Ayat‐ayat Pertama al‐Muzzammil Riwayat yang kami temukan jelas menunjukkan sebuah pemotongan dan penyisipan yang unik. Kami pernah meneliti masalah ini beberapa tahun silam (lihat: Sistem Pergerakan Dakwah Rasulullah SAW dalam Periode Makkah, hal. 119‐122). Kami menulis: Sebenarnya, agak janggal menempatkan surah ini pada posisi demikian awal. Masalahnya, jika teguh pada pilihan tersebut, studi ini dihadapkan pada kenyataan da’wah sirriyah yang tidak memungkinkan adanya konfrontasi langsung dengan kekuatan musuh, dalam kadar dan bentuk apapun. Padahal, salah satu ayatnya justru memberikan kutipan lain yang mengejutkan, “Dan bersabarlah atas apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” (ayat ke‐10). Siapakah disini yang ditunjuk dengan kata “mereka”? Menilik konteksnya, jelas adalah kafir Quraisy, seperti juga dikatakan Ibnu Katsir. Ayat ini mesti turun dalam fase da’wah jahriyah, karena mustahil Nabi diminta bersabar atas ucapan mereka jika beliau belum berdakwah secara terbuka dimana reaksi masyarakat juga belum terungkap terang‐terangan. Lebih dari itu, kosa kata “hajara” bermakna ‘mendiamkan’, ‘tak menanggapi’, atau ‘tidak saling bertegur sapa’. “Tidak halal bagi seorang muslim untuk mendiamkan (yahjura) saudaranya lebih dari tiga malam. Keduanya saling berpapasan, maka yang satu berpaling, demikian juga yang lainnya. Dan, yang terbaik diantara mereka adalah yang pertamakali memberi salam.” (Shahih Muslim, no. 25/2560; Sunan Abi Dawud, no. 4889‐4894; Sunan Ibnu Majah, no. 46). Dalam Lisanul ‘Arab, entri kata ‘ha‐ja‐ra’ adalah lawan dari al‐washl (menyambungkan hubungan), atau semakna dengan sharama (memutuskan), at‐tarku (meninggalkan), al‐i'radh (melengos), dan aghfala (melupakan). Diantara derivasinya, at‐tahajuur berarti at‐ taqaathu’ (saling memutuskan). Jika seseorang ber‐hijrah, berarti dia menjauh (tabaa’ada) serta menyingkirkan diri (na‐aa). Menurut al‐Laits, al‐hajru berasal dari al‐hijraan, yakni meninggalkan apa yang mestinya diteguhi. (Ibnu Manzhur, juz 5, hal. 250‐252). Penelitian lebih lanjut ternyata membuktikan bahwa bagian yang menjadi pembuka surah ini buat pertamakali hanya sampai ayat ke‐9 saja, seperti disinggung dalam Tafsir Al‐Qurthubi (jilid X, juz 19, hal. 30). Ayat ke‐10 dan selanjutnya turun lebih belakangan, di masa da’wah jahriyah sudah bergulir. Bahkan, menurut Ibnu ‘Abbas dan Qatadah, ayat tersebut turun di Madinah. Jadi, 9 ayat pertama memang turun di masa da’wah sirriyah, sementara kelanjutannya hadir jauh sesudah itu. ‘Aisyah r.a. menyatakan bahwa tak lama setelah ayat “wa mahhilhum qaliilaa” (ayat ke‐11) turun, Perang Badar pun meletus (ibid, hal. 43). Qatadah sendiri mengatakan bahwa ayat ke‐10 dan seterusnya itu berkenaan dengan belum adanya izin berperang, dan belakangan di‐ nasakh oleh “ayat‐ayat qital” (ibid). Maka, kutipan‐kutipan yang sering dilansir dalam Sistematika Nuzulnya Wahyu sebagai “tujuh ‘azimat al‐ Muzzammil” – jika merujuk pada tartib nuzuli – ternyata harus direvisi.



56



Materi penyiapan diri itu tidak menyangkut ash‐shabr dan al‐hijrah, tetapi: qiyamul lail, tartilul Qur’an, dzikir, tabattul, dan tawakkal.



Sebagai penguat, berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah, yang dikutip Tafsir Ibnu Katsir IV/434, disebut‐sebut bahwa Rasulullah dan segelintir Sahabat beliau melakukan qiyamul lail sebagai realisasi perintah Allah dalam surah al‐Muzzammil ini, sampai telapak kaki mereka bengkak‐ bengkak. Maka, Allah kemudian memberi keringanan yang termuat dalam ayat ke‐20 dari surah ini, yang turun setelah berjalan selama 12 bulan. Ayat‐ayat al‐Muzzammil ini disusun secara unik. Jika riwayat‐riwayat tersebut shahih, maka bagian pertamanya (ayat 1‐9) turun lebih dulu di awal kenabian, yang disusul ayat penutupnya (ayat 20) setahun kemudian. Kelak, menjelang Perang Badar, justru bagian tengah surah ini (ayat 10‐19) yang turun, atau dalam periode Madaniyah, karena Perang Badar sendiri pecah pada bulan Ramadhan tahun 2 H. Riwayat Ayat‐ayat Pertama al‐Muddatstsir Secara lengkap kami akan sajikan riwayat tentang surah ini pada Bagian II, bersamaan pembahasan pilar‐pilar utama manhaj SNW, dari sisi tartib nuzuli. Disini, dikutip salah satu teks paling eksplisit yang menunjukkan pokok bahasan kita sekarang, yang berasal dari buku Seleksi Sirah Nabawiyah, hal. 109‐110: Tidak diketahui secara pasti berapa lama wahyu sempat terhenti. Akan tetapi, yang jelas hal itu tidak berlangsung terlalu lama sehingga jiwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali merasa tenang untuk siap menyambut turunnya wahyu secara berturut‐turut. Setelah berhenti beberapa waktu, wahyu pertama yang turun ialah surah al‐ Muddatstsir ayat 1‐5.



Dalam konsep asli SNW, bagian wahyu pertama untuk al‐Muddatstsir adalah ayat 1‐7. Dengan riwayat ini, kita harus menerima bahwa riwayat yang ada berbicara lain; yakni hanya terhenti sampai “war‐rujza fahjur” (ayat 5), tidak mencakup “wa la tamnun tastaktsir” (ayat 6) maupun “wa li rabbika fashbir” (ayat 7). Perlu diketahui, kekuatan hujjah dari riwayat ini tidak diragukan, sebab bersumber dari ash‐Shahihain. Memang ada riwayat yang menyebutkan sampai ayat ke‐7, namun jika sumbernya adalah Ibnu 'Abbas, maka sanad‐nya lemah karena ada seorang perawi dha'if bahkan matruk di dalamnya. Kami akan menunjukkan hal ini pada tempatnya nanti, insya‐Allah. Tentang 5 ayat pertama al‐Muddatsir ini, sebenarnya riwayat yang disebutkan al‐Bukhari dan Muslim cukup banyak, dan seluruhnya sama. Imam al‐Bukhari mencantumkanya sebagai hadits no. 5, 3066, 4641, 4642 dan 4671, semuanya dari Jabir bin 'Abdillah al‐Anshari radhiya‐ llahu 'anhuma. Sedang Imam Muslim meriwayatkannya di satu tempat saja, yakni hadits no. 161, juga dari Jabir.



57



Sebagai tambahan keterangan, Ibnu Hajar menulis dalam Fathul Bari IX/40, tentang sebagian ayat al‐Muddatsir dalam kaitannya dengan sebagian ayat dalam al‐'Alaq. Pernyataan (dalam riwayat yang dikutip al‐Bukhari) bahwa yang pertamakali diturunkan dari al‐Qur'an (min‐hu) adalah surah yang di dalamnya menyebutkan tentang surga dan neraka. Lahiriah pernyataan ini berseberangan dengan apa yang telah dibahas sebelumnya bahwa yang pertamakali diturunkan adalah iqra' bismi‐rabbika, padahal di dalamnya tidak disebut‐sebut surga dan neraka. Maka, boleh jadi "min" dalam riwayat ini adalah "min muqaddarah" – yakni kata "min" yang mengharuskan adanya frase tertentu yang dibuang karena sudah umum dimengerti dari pola kalimat seperti itu. Maksudnya, "termasuk diantara wahyu yang pertamakali diturunkan adalah". Yang ditunjuk oleh riwayat ini adalah surah al‐Muddatsir, dimana ia adalah yang pertamakali diturunkan setelah berlalunya masa fatrah wahyu serta pada penghujungnya disebut‐sebut tentang surga dan neraka. Sangat mungkin, akhir surah al‐Muddatsir ini turun sebelum sisa surah Iqra' – yakni ayat 6‐19 – sebab yang diturunkan pertamakali dari surah ini hanyalah 5 ayat, seperti sudah diuraikan sebelumnya.



Masalah semacam ini adalah umum dalam penurunan ayat‐ayat suatu surah, sehingga cukup sukar memastikan pemilahannya. Wallahu a'lam. Tujuh Ayat al‐Fatihah Ada ikhtilaf di kalangan ulama’ mengenai kapan surah ini diturunkan, namun disepakati ayatnya berjumlah tujuh. Memang ada ikhtilaf lain, yakni apakah lafazh “basmalah” termasuk ayat atau bukan, tapi pendapat yang paling luas disepakati adalah lafazh itu termasuk salah satunya. Orang yang menyatakan lafazh itu bukan ayat tetap menghitung al‐ Fatihah berisi tujuh ayat, karena ayat ke‐6 selesai pada kata “an’amta ‘alaihim”, sedang ayat ketujuh dimulai dari “ghairil maghdhubi ‘alaihim”. Dengan demikian mana pun pendapat yang dipilih, al‐Fatihah tetap berisi tujuh ayat. Perbedaan ini hanya dalam masalah pembagian fashilah (pemisah) diantara ayat‐ayatnya. Demikian menurut Imam az‐ Zarkasyi dalam al‐Burhan fi 'Ulumil Qur'an I/75. Ada pendapat‐pendapat lain lagi tentang jumlah ayat dalam surah ini, tergantung riwayat yang diunggulkan oleh para ulama' dalam memotong ayatnya. Untuk memahami masalah ini, ada disiplin ilmu tersendiri yang merupakan cabang 'ulumul Qur'an. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa surah ini turun setengahnya di Makkah, lalu setengah sisanya turun belakangan di Madinah, adalah pendapat yang sangat aneh (gharib jiddan). Jelasnya, surah ini turun 7 ayat sekaligus. Dalam Tafsir Ibnu Katsir I/7‐8, dinyatakan: Abul Laits as‐Samarqandi mengungkapkan bahwa separoh al‐Fatihah diturunkan di Makkah sedangkan separoh lainnya di Madinah. Ini adalah



58



pendapat yang sangat asing sekali (gharib jiddan). Pendapat ini dinukil oleh al‐Qurthubi dari Abul Laits. Al‐Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat, dengan tidak ada perselisihan (tentangnya). ‘Amr bin ‘Ubaid berpendapat, “Al‐Fatihah (terdiri dari) delapan ayat,” sedang Husain al‐Ju’fi berpendapat, “Al‐Fatihah (terdiri dari) enam ayat.” Kedua pendapat ini janggal (syadz). Hanya saja, para ulama’ memang berselisih pendapat tentang basmalah, apakah lafal ini ayat tersendiri dari awal al‐Fatihah – sebagaimana pendapat mayoritas qurra’ Kufah, sejumlah Sahabat, tabi’in, dan beberapa ulama’ dari generasi yang lebih akhir – ataukah (lafal itu) sebagian dari ayat, atau tidak termasuk awal al‐Fatihah secara total – sebagaimana pendapat Ahli Madinah dari kalangan qurra’ dan fuqaha’, (demikianlah) menurut tiga pendapat yang akan kami tetapkan pada temptanya nanti, insya‐ Allah, dan kepada‐Nya (kami) percaya. Al‐Hafizh Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Mardawaih dalam tafsirnya menyatakan – kami tidak sebutkan sanad‐nya karena terlalu panjang – dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin (terdiri dari) tujuh ayat. Bismillahir‐rahmanir‐rahim salah satu darinya. Dia adalah as‐sab’ul matsani dan al‐Qur’an al‐ ‘azhim. Dia adalah ummul kitab dan fatihatul kitab”. Imam Ad‐ Daruquthni juga meriwayatkan hadits seperti ini atau yang serupa dengannya, dari Abu Hurairah secara marfu’. Menurutnya, semua (perawinya) adalah tsiqah.



Di tempat lain, Imam az‐Zarkasyi menganggap bahwa al‐Fatihah termasuk salah satu surah atau ayat yang diturunkan dua kali, demi menunjukkan keagungan maknanya. Hal ini terjadi ketika sebuah asbabun nuzul yang sama terulang dalam kesempatan lain, sehingga perlu diturunkan kembali wahyu yang berkenaan dengannya agar umat tetap mengingat hukumnya (lihat: al‐Burhan fi 'Ulumil Qur'an I/29).[] Wallahu ‘alam bish‐shawab.



59



RINGKASAN



Manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW), secara konsepsional, berakar kepada pencapaian‐pencapaian gemilang para ulama' terpercaya dalam studi ulumul Qur'an, ulumul hadits dan sirah nabawiyah. Apa yang kemudian dikembangkan sebagai sebuah metode dakwah dan tarbiyah oleh Allahu‐yarham Ustadz Abdullah Said sesungguhnya merupakan bentuk praktis dari kaidah‐kaidah yang terpancar dari khazanah salaf tersebut. Jika dewasa ini apa yang disebut sebagai SNW terdengar asing dan bahkan dianggap bid'ah atau bertentangan dengan manhaj salafus shalih, maka penilaian seperti itu tidak berdasar. Buku ini akan memperlihatkan kepada pembaca dimana letak kesalahan anggapan miring tersebut terhadap SNW. Sebagai sebuah manhaj, tentu saja ada landasan‐landasan ilmiah yang menjadi pijakan bangunannya. Secara ringkas, bagian pertama buku ini berusaha memetakan konsep‐konsep tersebut, dan memberikan kepada pembaca daftar pustaka yang bisa dirujuk untuk pendalaman lebih lanjut. Konsep dasar manhaj ini, jika disederhanakan, merupakan ramuan dari sirah nabawiyah, 'ulumul Qur'an dan 'ulumul hadits, termasuk di dalamnya tafsir dan hadits itu sendiri. Bahkan, sesungguhnya manhaj ini bertumpu kepada hadits wa 'ulumuhu secara mutlak. Sebab, dalam tradisi ilmiah kaum muslimin yang paling otentik, seluruh ilmu berhutang kepada metodologi yang dikembangkan oleh para ulama' hadits. Para pakar sirah dan tafsir mempergunakan metodologi ahli hadits dalam menelusuri keakuratan riwayat yang beredar, dan dari sini lahir karya‐ karya kredibel‐otoritatif. Dalam bagian pertama buku ini, sekilas telah kami tunjukkan pentingnya kaidah‐kaidah Ilmu Hadits dalam pengkajian SNW. Bagian‐bagian selanjutnya akan berusaha semaksimal mungkin untuk konsisten pada batasan ini, yakni mengedepankan kaidah‐kaidah Ilmu Hadits, insya‐Allah. Manhaj ini adalah ramuan yang diracik dalam upaya menapaktilasi tahap‐tahap tarbiyah Allah kepada Rasulullah shalla‐llahu 'alaihiwa sallam dan para Sahabat radhiya‐llahu 'anhum. Dengan memperhatikan fenomena sirah, manhaj SNW mengambil kesimpulan bahwa kemenangan‐kemenangan besar yang dicapai Rasulullah dan para Sahabat hanya mungkin bersumber dari al‐Qur'an. Lebih jauh, manhaj ini merumuskan bahwa tahap‐tahap perjalanan generasi terbaik tersebut menuju kesempurnaan berdiri diatas tahap‐tahap turunnya al‐Qur'an. Pada titik inilah, pemahaman terhadap tartib nuzulnya wahyu menjadi sesuatu yang amat penting.[] Wallahu a'lam bish‐shawab.



60



SARAN BAHAN BACAAN LANJUT



[Bab I dan IV] Topik utama kedua bab ini adalah pemaknaan marhalah wahyu, atau hikmah di balik tata urutan penurunan wahyu yang unik. Untuk memahami landasan ilmiah konsep ini, sekaligus contoh praktis penerapannya dalam tafsir, silakan merujuk ke:



1. Rahasia Susunan Surah al‐Qur’an Menurut Tertib Mushhaf, karya Imam as‐Suyuthi. Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka Amani Jakarta (1996). Secara umum, materi buku ini tidak terkait langsung dengan diskusi makna marhalah wahyu, karena memang lebih berfokus kepada hikmah tata urutan surah dalam Mushaf 'Utsmani. Namun, kata pengantar yang ditulis editor edisi aslinya ('Abdul Qadir Ahmad 'Atha) sangat berharga. Kata pengantarnya sendiri cukup panjang dan sebenarnya layak untuk dibukukan dalam judul terpisah. Disana, Anda akan temukan ulasan sejarah perkembangan ilmu munasabah, baik dalam kaitannya dengan tartib mushafi maupun tartib nuzuli. Jika kita cermati, tampak bahwa ilmu ini termasuk jarang disentuh para sarjana sejak zaman dulu karena tergolong rumit dan susah, setidaknya demikian seperti yang disimpulkan oleh as‐Suyuthi sendiri. Naskah ini memberi penjelasan yang cukup memadai tentang konsep, sejarah, para perintis, daftar rujukan, dilema dan kesulitan, sekaligus contoh‐contoh ringkas penerapannya. 2. At‐Tafsir al‐Hadits as‐Suwar al‐Murattabah hasba an‐Nuzuul, karya Syekh Muhammad 'Izzah Darwazah. Belum ada edisi terjemahnya, terdiri dari 12 jilid sedang yang masing‐masing berisi sekitar 800 halaman. Jilid I kitab ini memuat pengantar yang bagus tentang konsep marhalah wahyu, rujukan‐rujukan ilmiah yang lebih luas, juga daftar versi tata urutan wahyu yang lebih banyak. Tafsir ini menjadi istimewa karena ditulis berdasar tata urutan penurunan wahyu, bukan menurut urutan peletakan surah dalam mushaf yang ada. Ditulis dalam bahasa yang sederhana dengan mengurangi sesedikit mungkin diskusi‐diskusi berlebih dan berat. Fokus buku ini lebih kepada makna wahyu, bukan konsep 'Ulumul Qur'an dan ilmu‐ ilmu lainnya yang terkait dengan ayat‐ayat yang sedang dibahas. Cocok untuk kajian tafsir yang ingin berkonsentrasi kepada pemahaman isi al‐Qur'an, dan bukan aspek‐aspek eksternalnya. Penulis buku ini juga membahas dengan ringkas status riwayat maupun kedudukan suatu surah dalam tartib nuzuli. Referens yang dipergunakan dalam menyusun buku ini sangat luas, mencakup karya‐karya ahli tafsir, hadits, dan sirah yang terpercaya, sebagaimana yang tampak dari catatan kaki yang diberikan. 3. Mabaahits fi 'Ulumil Qur'an, karya Dr. Subhi ash‐Shalih, hal. 164‐233, Pasal III 'Ilmu al‐Makkiy wal‐Madaniy. Bagian menarik pasal ini adalah esai sepanjang 49 halaman mengenai Marhalah Wahyu, yakni mulai hal. 183 dan seterusnya. Salinan lengkapnya yang sudah 61



diterjemahkan kami sertakan dalam Lampiran 6. Analisis yang beliau tulis memberi sketsa menarik tentang bagaimana membangun keselarasan antara tafsir, hadits dan sirah nabawiyah. Ulasan ini dimaksudkan sebagai contoh dan model untuk memahami bagaimana wahyu mendampingi perjalanan dakwah Rasulullah dan men‐tarbiyah beliau bersama para Sahabat. Naskah ini memuat uraian ringkas atas 19 surah Makkiyah yang terbagi dalam 3 marhalah (fase), dan 3 surah Madaniyah yang mewakili 3 marhalah berbeda dalam perjalanan dakwah beliau. [Bab II, III dan V] Untuk topik tartib nuzuli, marhalah wahyu, masalah Makkiyah dan Madaniyah (baik secara konsepsional maupun rincian praktis), serta diskusi seputar kodifikasi al‐Qur'an dan Mushaf 'Utsmani, silakan merujuk ke:



1. Al‐Burhan fi 'Ulumil Qur'an, karya Imam az‐Zarkasyi, I/187‐210, Bagian IX Ma'rifatu al‐Makkiy wal‐Madaniy. Terdapat penjelasan klasik atas masalah ini, disertai rujukan kepada para ulama' salaf berikut contoh‐contoh yang bagus. Dimulai dengan diskusi seputar definisi Makkiyah dan Madaniyah, dilanjutkan dengan pemaparan ciri‐ciri umum yang biasa terdapat pada masing‐masing kelompok surah. Imam az‐Zarkasyi selalu menyertakan siapa pembela suatu pendapat dan terkadang memberikan kritik, tarjih maupun ulasan singkat. Beliau juga merinci surah apa saja yang termasuk Makkiyah dan Madaniyah dalam suatu tata urutan yang jelas. Disini, beliau juga merinci surah‐surah yang masih menjadi bahan perdebatan tentang posisi urutan (tartib) maupun penurunannya (nuzul). Ada pula pembahasan tentang surah yang berstatus Makkiyah namun memuat hukum‐hukum Madaniyah, juga sebaliknya. Perincian yang bermuara pada dua masalah ini dapat ditemukan sangat luas. Terdapat pula rincian atas surah atau ayat yang diturunkan secara faktual di luar teritori Makkah maupun Madinah, seperti di Juhfah, Baitul Maqdis, Thaif dan Hudaibiyyah. Ada pula contoh‐contoh unik dari ayat‐ayat yang turun malam hari dan yang diiring malaikat. Bila berharap mengetahui bagian wahyu mana yang pertama atau terakhir turun, baik secara mutlak atau dalam topik tertentu, maka disini Anda akan menemukannya. Kami juga menyarankan Anda menelaah Bagian XIII, hal. 233‐243, yang membahas sejarah pengumpulan dan kodifikasi al‐Qur'an, sejak zaman Nabi sampai periode kontemporer. Ada riwayat asal‐mula yang mendorong pembukuan al‐Qur'an di zaman kekhilafahan Abu Bakar, serta kerja keras Zaid bin Tsabit untuk menyalinnya ke dalam satu naskah utuh. Peristiwa‐peristiwa lain yang mengiringi perjalanan naskah Al‐Qur'an sejak zaman Abu Bakar, 'Umar sampai 'Utsman diuraikan pula. Beliau juga memastikan bahwa jumlah salinan Mushaf 'Utsmani ada 4 buah. Termasuk dalam bab ini adalah pemaparan tentang pengumpulan al‐Qur'an dalam bentuk hafalan. 62



Sangat baik jika Anda juga membaca Bagian II, hal. 35‐52, yang membahas ilmu munasabah (keselarasan antara ayat dan surah). Informasi utama yang dibahas disini adalah menemukan hikmah tata‐ letak ayat maupun surah dalam susunan al‐Qur'an yang kita kenal sekarang. Ilmu ini mengajak Anda bertanya, "Mengapa ayat ini diletakkan disini? Apa kaitannya dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya? Apa hikmah di balik semua itu?" Dalam bahasa modern, hal ini diistilahkan dengan sibaaq (pendahulu, previous), siyaaq (konteks langsung, current) dan lihaaq (pengiring, next). Pertanyaan serupa dapat diajukan kepada tata letak surah‐surah al‐Qur'an. Biasanya, seperti yang dicontohkan Imam as‐Suyuthi dalam kitabnya, Anda akan diajak menyelami hikmah yang akan merangkai penutup suatu surah dengan pembuka surah berikutnya, juga sebaliknya.



2. Mabaahits fi 'Ulumil Qur'an, karya Dr. Subhi ash‐Shalih, hal. 49‐62, Pasal III Tanjiim al‐Qur'an wa Asraaruhu. Bab ini mengulas hikmah penurunan al‐Qur'an secara berangsur‐angsur, yang merupakan esai berjangkauan luas terhadap berbagai materi menarik dalam tema ini. Tampaknya, hanya cocok sebagai bacaan tingkat lanjut, karena memuat banyak sekali persoalan yang biasanya hanya akrab bagi kalangan yang menekuni Ulumul Qur'an. Bagus juga dibaca oleh para mahasiswa pemula yang ingin memahami bagaimana berbagai kaidah maupun disiplin keilmuan yang tercakup dalam Ulumul Qur'an diterapkan dalam sebuah diskusi. Periksa pula hal. 164‐233, Pasal III 'Ilmu al‐Makkiy wal‐Madaniy. Penulis mendiskusikan tema‐tema sentral tentang surah Makkiyah dan Madaniyah, termasuk kritiknya terhadap hasil studi Orientalis dalam bidang ini. Disertai analisis tajam terhadap surah‐surah tertentu, yang ditujukan sebagai contoh dari argumen‐argumennya. Esai ini diakhiri dengan uraian mengenai Marhalah Wahyu sebagaimana sudah kami singgung dimuka. Bab II Taarikhu al‐Qur'an, terutama Pasal I dan II, hal. 63‐100. Ulasan yang cukup ringkas dan baik tentang sejarah kodifikasi Al‐ Qur'an, Mushaf 'Utsmani, rasm dan khath. Seperti biasa, penulis juga membahas kesalahan Orientalis dalam bidang ini. Dikutip pula kesaksian Ibnu Katsir yang masih sempat melihat secara fisik eksistensi salah satu naskah asli Mushaf 'Utsmani yang disimpan di Masjid Jami' Damaskus. Menurut beliau naskah itu besar, tebal, khath‐nya bagus, jelas dan kuat, tintanya masih terang, dan kemungkinan terbuat dari lembaran kulit unta. Menarik, sebab beliau adalah ulama' abad ke‐8 H, yang berarti terdapat selang waktu tidak kurang dari 700 tahun sejak Mushaf itu ditulis oleh tim bentukan Khalifah 'Utsman sekitar tahun 30‐an Hijriyah. Naskah ini akhirnya hangus saat Masjid tersebut terbakar pada tahun 1310 H.



3. Zubdatul Itqan fi 'Ulumil Qur'an, karya Dr. Muhammad bin 'Alawi al‐ Maliki al‐Husaini, hal. 7‐10, pasal Awwalu maa nuzila. Buku ini sebenarnya merupakan edisi ringkas karya as‐Suyuthi, sehingga kurang mendalam. Sayang kami tidak memiliki edisi aslinya. Disana 63



tertuang poin‐poin ringkas tentang wahyu yang pertama maupun terakhir turun, baik secara umum atau khusus. Periksa pula pasal Fii munaasabati al‐aayaat was‐suwar hal. 116‐ 118. Materi pasal ini dapat melengkapi pemahaman kita tentang hikmah tartib nuzuli.



4. The History of the Qur'anic Text from Revelation to Compilation, karya Prof. Dr. Musthafa Muhammad A'zhami. Edisi Indonesia buku ini diterbitkan oleh Gema Insani Press Jakarta dan sering dibedah dalam berbagai pertemuan ilmiah. Analisis buku ini tajam, dan hampir secara khusus diarahkan sebagai sebuah kumpulan argumen yang membantah teori maupun kesimpulan Orientalis – juga pengagum mereka – dalam studi Al‐Qur'an. Buku ini mencakup pengenalan ringkas tentang sejarah Al‐Qur'an dari segi penulisan dan koleksinya. Sepertiga isi buku ini juga mengupas sisik‐melik Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sebagai sebuah perbandingan. Untuk topik asbabun nuzul, konsep dan rincian per surah atau ayat, teks lengkap riwayat, sanad berikut derajatnya, silakan merujuk ke:



1. Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, karya as‐Suyuthi, yang dicetak bersama Tafsir Al‐Jalalain. Bagian awal kitab ini memuat pengantar ringkas mengenai konsep asbabun nuzul, kaidah ilmiah, dan sumber‐ sumber pengambilannya. Setelah itu, as‐Suyuthi menyebutkan satu demi satu riwayat yang dapat beliau temukan. Kadang beliau memberi penilaian kualitasnya, kadang didiamkan. Secara konsisten beliau merujukkan sumber periwayatannya kepada kitab‐kitab terkenal, yang memudahkan kita menelusuri teks asli maupun sanadnya. Dalam kitab itu sendiri memang hanya disebutkan nama perawi terakhir dari kalangan Sahabat, Tabi'in atau lainnya, tanpa menyertakan rangkaian sanad. 2. Ad‐Durrul Mantsur fit‐Tafsir bil Ma'tsur, juga karya as‐Suyuthi. Meski judul dan maksud penulisannya lebih terfokus kepada tafsir, namun riwayat asbabun nuzul hampir tidak bisa terlewatkan dari sini. Maklum, pengetahun tentang asbabun nuzul sendiri sangat membantu penafsiran. Disini, metode penulisan maupun gaya beliau dalam menyikapi kualitas sanad mirip dengan yang ada dalam Lubabun Nuqul. Kitab ini terdiri dari 8 juz yang merangkum penafsiran seluruh al‐Qur'an berdasarkan atsar, baik dari Nabi, Sahabat maupun Tabi'in. 3. Untuk memperoleh gambaran konseptual lebih memadai, silakan merujuk bab asbabun nuzul dalam Al‐Burhan, Mabahits maupun Zubdatul Itqan. Untuk literatur pertama, silakan periksa I/22‐34. Anda dapat pula melanjutkannya dengan beberapa pasal terpisah yang masih terkait. Untuk rujukan kedua, silakan kaji halaman 127‐ 163. Bab ini cukup panjang. Sedang untuk kitab ketiga, lihat hal. 11‐ 16. 64



Mengenai konsep an‐nasikh wal‐mansukh, mayoritas rujukan otoritatif dalam bidang ushul fiqh senantiasa membahas masalah ini, karena dampaknya dalam bidang hukum sangat jelas. Pembahasan terbatas untuk konsep ini dapat ditemukan pula dalam kitab‐kitab 'Ulumul Qur'an. Untuk itu, silakan menelaah: 1. Ar‐Risalah, salah satu karya utama Imam asy‐Syafii (w. 204 H). Buku ini terdiri dari satu juz saja, berisi sekitar 600 halaman. Dipandang sebagai perintis awal sistematika filsafat hukum Islam, dengan komitmen yang tidak diragukan lagi untuk senantiasa merujuk kepada al‐Qur'an dan Sunnah Rasul. Nilai ilmiah buku ini dan kejeniusan penulisnya diakui bahkan oleh pakar‐pakar hukum Eropa modern. Silakan mengkaji hal. 106‐146 untuk memperoleh uraian seputar an‐nasikh wal‐mansukh. Di dalamnya beliau mengulas konsep dasar, argumen, contoh, jenis dan daftar kasus untuk masing‐ masing bagian dimaksud. 2. Al‐Ihkam, karya Imam Abul Hasan al‐Amidi (w. 631 H). Pembahasan tentang an‐nasikh wal‐mansukh berada dalam III/111‐200. Buku ini membahas dengan sangat detil konsep ini berikut berbagai implikasi maupun contoh kasusnya. Perincian yang diberikan disertai pendapat yang pro maupun kontra, juga pemaparan argumen yang dipilih oleh penulisnya. Setelah membaca bab ini, Anda akan semakin memahami bahwa fiqh Islam bukan produk hukum primitif dan lemah, melainkan hasil sebuah kajian serius yang ditopang oleh ratusan sarjana handal dalam beberapa abad proses pematangannya. Rujukan wajib bagi mahasiswa Fakultas Syariah atau mereka yang menekuni penegakan syariat Islam. 3. Selain itu, masih ada banyak buku ushul fiqh lain yang dapat dirujuk, seperti: [a] Al‐Mustashfa fi 'Ilmil‐ushul, hal. 86‐107, karya Hujjatul Islam Abu Hamid al‐Ghazali (w. 505 H); [b] Al‐Mankhul, juga karya al‐Ghazali, hal. 288‐303; [c] Al‐Mahshul fi 'Ilmi Ushuli‐fiqh III/417‐ 567, karya Imam ar‐Razy (w. 606 H); [d] Rawdhatun Nazhir wa Jannatul Manazhir, bagian II, hal. 69‐89, karya Imam Ibnu Qudamah al‐Maqdisi (w. 620 H); [e] Irsyadul Fukhul fi Tahqiiqi 'Ilmil‐ushul, hal. 311‐336, karya Imam asy‐Syaukani (w. 1250 H). Karya‐karya kontemporer dalam ushul fiqh di Indonesia juga sudah banyak beredar, seperti milik Syekh 'Abdul Wahhab Khallaf, Syekh Muhammad Abu Zahrah, atau A. Qadir Hassan (Bangil) dan 'Abdul Hamid Hakim (Padangpanjang). Di lingkungan pesantren salaf, rujukan standar dapat dilihat dalam Al‐Asybah wan‐Nazhair (Imam as‐Suyuthi) atau al‐Luma' fi Ushulil Fiqh (Imam Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali bin Yusuf asy‐Syairazi al‐Fayruzabadi asy‐Syafii, w. 476 H). 4. Dalam bidang 'Ulumul Qur'an, silakan merujuk bab terkait dalam buku‐buku yang sudah kami sebutkan sebelum ini. Karya‐karya standar 'Ulumul Qur'an pasti membahas konsep ini, baik secara ringkas maupun detail. Disini, tentu saja hanya dikemukakan aspek teoritis disertai contoh‐contoh klasik yang nyaris sama dalam semua literatur. Maka, jika Anda menghendaki contoh lebih banyak dan 65



gambaran lebih aplikatif, silakan mencarinya dalam kitab‐kitab ushul fiqh.



Daftar ini masih dapat Anda lanjutkan dengan melengkapi studi sirah nabawiyah. Kami menyarankan Anda membaca tuntas sekurang‐ kurangnya tentang periode Makkah, agar memiliki gambaran lengkap tentang sirah berikut hubungannya dengan tartib nuzuli serta marhalah wahyu. Silakan merujuk ke:



1. As‐Sirah an‐Nabawiyah, karya Ibnu Hisyam. Karya ini menjadi rujukan paling terkenal dan otoritatif dalam studi sirah. Tidak ada buku sirah yang disusun belakangan yang tidak menoleh kepada sumber ini. Hanya saja, terdapat sisi tertentu dari kitab ini yang bagi pembaca sekarang terkesan tidak praktis dan membingungkan, diantaranya penyebutan sanad yang panjang, rincian nama atau kejadian yang diulang berdasar riwayat dari jalur berbeda, juga tata urutan kronologisnya yang acapkali berputar‐balik maupun tumpang tindih. Tetapi jangan khawatir, sudah ada edisi ringkas yang ditulis oleh Syekh Abdus Salam Harun. Edisi Indonesianya diterbitkan Pustaka Al‐Kautsar dalam satu jilid sedang. Seluruh persoalan yang memberatkan pembaca awam telah dipangkas, kronologinya disusun secara urut, dan rinciannya disederhanakan, sehingga enak dibaca. 2. Tarikh al‐Umam wal Muluk, karya Ibnu Jarir ath‐Thabari. Edisi aslinya terdiri dari 5 juz tebal, yang merupakan karya sejarah bersifat ensiklopedis. Isinya menuturkan sejarah alam semesta sejak era 'antah berantah' sampai permulaan abad IV Hijriyah, yakni periode historis yang sezaman dengan penulisnya. Masa ini adalah masa pemerintahan Al‐Muqtadir Billah, khalifah ke‐18 dari Bani 'Abbas, yang berkuasa antara tahun 295‐320 H. Adapun sirah nabi sendiri merupakan salah satu bagian darinya, yang dimulai dengan kisah kelahiran beliau dalam I/453, dan diakhiri dengan cerita Saqifah Bani Sa'idah dalam II/234. 3. Al‐Bidayah wan‐Nihayah, karya Ibnu Katsir. Karya ini lebih spekakuler lagi, karena terdiri dari 14 juz. Dimulai sejak sebelum penciptaan alam semesta sampai sekitar seperempat terakhir abad ke‐8 Hijriyah. Artinya, jauh setelah Baghdad diluluhlantakkan oleh balatentara Mongol pimpinan Hulagu Khan pada pertengahan abad ke‐7 Hijriyah (abad ke‐13 Masehi), dan kekhilafahan 'Abbasiyah sendiri telah berpindah ke Mesir. Sirah nabawiyah dituturkan sejak permulaan juz 2 sampai juz 5 hal. 245 (Saqifah Bani Sa'idah). Sebetulnya bagian‐bagian selanjutnya masih membahas seputar Rasulullah, namun dalam fragmen‐fragmen yang tidak sepenuhnya dapat diurutkan secara kronologis. 4. Masih ada beberapa karya klasik maupun kontemporer yang dapat dirujuk, dan akan kami sebutkan nanti pada apendiks Bagian III, insya‐Allah. Tentu saja, literatur‐literatur ini tebal dan penuh perincian yang detail. Beberapa diantaranya memuat studi intensif seputar kualitas sanadnya, sehingga memiliki bobot ilmiah yang 66



tinggi. Dan, bagi Anda yang tidak punya cukup waktu menelaah, tersedia karya Syekh Muhammad Khudhary Bek, yakni Nurul Yaqin fi Siirati Sayyidil Mursalin. Hanya satu jilid sedang, dengan gaya bahasa sederhana dan mudah dimengerti. Tetapi, kalau Anda juga masih segan melahap buku ini, versi ringkasannya pun tersedia. Silakan baca Khulashoh Nurul Yaqin fi Siirati Sayyidil Mursalin, ditulis Syekh 'Umar 'Abdul Jabbar dalam 3 juz mini, hanya ratusan halaman buku tulis. Masing‐masing membahas sirah periode Makkah, periode Madinah dan satu bagian terakhir mengulas sejarah 4 khulafa' ar‐rasyidun. Bahasanya sederhana, poin‐poinnya mudah diingat, dan satu lagi: tidak ada perdebatan teoritis maupun penyebutan sanad yang membingungkan. Cocok bagi pemula atau mereka yang enggan memelototi buku‐buku tebal! Demikian sebagian literatur yang sudah sempat kami kaji sepintas‐kilas, dan semoga dapat menjadi inspirasi bagi ikhwan sekalian. Bila Anda tidak memilikinya, dan karena kebanyakan merupakan kitab‐kitab tebal yang mahal, kami sarankan untuk mengakses perpustakaan milik perguruan tinggi negeri di bawah naungan Departemen Agama. Buku‐ buku tersebut bukan buku langka, dan biasanya termasuk literatur standar yang disarankan dalam studi‐studi lanjut untuk matakuliah terkait.[] Wallahu a'lam bish‐shawab.



67



xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx



BAGIAN II PILAR‐PILAR POKOK MANHAJ SISTEMATIKA NUZULNYA WAHYU Bagian ini mengetengahkan rujukan yang terinci atas pilar‐pilar pokok Manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu, yakni kedudukan masing‐masing surah dalam tartib nuzuli; yang juga merekam polemik, jawaban, penelitian dan takhrij atas riwayat‐riwayat yang ada. Seluruhnya terangkum dalam 6 bab. ·



Ijma' atas al‐'Alaq



·



Memahami Kontroversi al‐Qalam



·



Menjernihkan Kekaburan Riwayat al‐ Muzzammil



·



Al‐Muddatstsir Sebagai Wahyu Kedua



·



Kedudukan al‐Fatihah dalam Tartib Nuzuli



·



Al‐Lahab Sebagai Surah Penanda Da'wah Jahriyah



·



Ringkasan



·



Saran Bahan Bacaan Lanjut



wwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww 68 



BAB I IJMA' ATAS AL‐'ALAQ



Mayoritas ulama’ sepakat (ijma’) bahwa wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah adalah surah al‐‘Alaq ayat 1‐5, yakni sampai “ma lam ya’lam”. Memang ada pendapat lain, namun bisa dibuktikan kelemahannya atau di‐ta’wil kepada pendapat lain sehingga tepat selaras dengan ijma’ diatas. Kitab ash‐Shahihain sendiri menjadi sumber dua versi riwayat yang zhahir‐nya bertentangan, walau berasal dari sumber yang satu, yakni Jabir bin ‘Abdillah. Dalam riwayat itu beliau membantah bahwa Iqra' adalah wahyu pertama, dan menegaskan bahwa al‐Muddatsir lah yang turun lebih dahulu. Namun, dalam riwayat satunya ada "kejanggalan", yang akan dibahas secara tersendiri pada tempatnya. Satu lagi riwayat yang juga disebutkan dalam ash‐Shahihain tentang wahyu pertama, bersumber dari 'Aisyah, dan ini yang dinilai paling kuat. Mengenai surah ini, Syekh Muhammad ‘Izzah Darwazah menulis dalam at‐Tafsir al‐Hadits I/22‐23: Seluruh tata‐urutan surah yang diriwayatkan, meletakkan surah al‐‘Alaq ini di urutan pertama. Mudah dipahami dari fakta ini karena lima ayat pertamanya merupakan ayat‐ayat al‐Qur’an yang mula‐mula diturunkan, menurut mayoritas ulama’. Sebab, isi kandungan ayat selebihnya dan juga uslub‐nya menunjukkan bahwa ia diturunkan setelah jeda waktu tertentu pasca penurunan lima ayat permulaannya. Hanya saja, jeda waktu ini tidaklah terlalu lama berdasar pada apa yang diisyaratkan oleh ayat‐ayat surah itu sendiri. Dalam lima ayat pertama terdapat perintah kepada Nabi shalla‐llahu ‘alaihi wa sallam untuk membaca (qira’ah) dan pujian terhadap ilmu yang diilhamkan oleh Allah kepada manusia. Dalam ayat selebihnya terdapat serangan sengit kepada orang yang melampaui batas, yang terperdaya oleh harta‐benda dan kedudukannya, yang menentang Nabi shalla‐llahu ‘alaihi wa sallam; peneguhan kepada Nabi dalam dakwah dan sikapnya, dan agar beliau tidak memperdulikannya.



Setelah menyebutkan 5 ayat pertama surah al‐‘Alaq, disertai sedikit catatan kaki atas mufradat yang sukar, beliau melanjutkan: Ayat‐ayat ini – berdasar hadits yang diriwayatkan Imam al‐Bukhari dari ‘Aisyah radhiya‐llahu ‘anha yang akan kami sebutkan sebentar lagi – merupakan ayat al‐Qur’an yang permulaan turun. Meskipun ada riwayat‐ riwayat yang menyebutkan bahwa ayat‐ayat permulaan dari surah yang lain seperti al‐Qalam, al‐Muddatsir, dan al‐Muzzammil, dan (ada riwayat) bahwasanya surah al‐Fatihah dan adh‐Dhuha merupakan bagian al‐Qur’an yang diturunkan pertamakali, namun hadits‐hadits yang mengutarakan bahwa ayat‐ayat permulaan al‐‘Alaq ini lebih kuat sanadnya, sebagaimana isi kandungannya pun mengisyaratkan kuatnya riwayat ini.



69



Dalam ayat‐ayat yang ungkapannya sangat jelas ini tidak terdapat perintah berdakwah. Di dalamnya hanya ada peringatan dan penyiapan. Bilamana ayat‐ayat berikutnya mengandung pemandangan berupa tentangan dari orang‐orang yang melampaui batas kepada Nabi shalla‐ llahu ‘alaihi wa sallam tatkala memulai dakwah dan shalatnya, maka yang logis adalah ayat‐ayat (permulaan al‐‘Alaq) ini diturunkan sebagai satu kesatuan tersendiri, kemudian turun setelah itu beberapa ayat atau surah al‐Qur’an lainnya yang di dalamnya berisi perintah dakwah dan dasar‐dasarnya. Bahwa kedudukan surah ini sebagai yang nomor pertama dalam tartib nuzuli adalah disebabkan turunnya ayat‐ayat pembukaannya.



Riwayat 'Aisyah tentang Wahyu Pertama Riwayat paling terkenal tentang awal mula turunnya wahyu adalah hadits yang bersumber dari 'Urwah bin az‐Zubair, yang menceritakannya dari 'Aisyah radhiya‐llahu 'anha. Teks (matan) hadits ini sangat panjang, dan dicantumkan oleh Imam al‐Bukhari dalam kitabnya I/4 hadits no. 3. Riwayat inilah yang paling shahih dan dijadikan sandaran oleh para ulama'. Yahya bin Bukair menyampaikan hadits kepada kami, katanya: al‐Laits menyampaikan hadits kepada kami, dari 'Aqil, dari Ibnu Syihab, dari 'Urwah bin az‐Zubair, dari 'Aisyah Ummul Mu'minin, bahwa beliau berkata: Yang mula‐mula datang kepada Rasulullah dari wahyu adalah mimpi yang bagus (ar‐ru'ya ash‐shalihah) dalam tidurnya. Beliau tidak pernah bermimpi kecuali ia pasti datang (terjadi), seperti halnya terbitnya subuh (yang pasti terjadi). Beliau kemudian terdorong untuk menyendiri (ber‐khalwat). Beliau menyendiri di Gua Gira', dan ber‐ tahannuts di dalamnya, yakni beribadah selama beberapa malam yang dapat dihitung, sebelum akhirnya kembali pulang menemui istrinya dan mengambil perbekalan untuk melanjutkan tahannuts‐nya. Beliau kemudian pulang kepada Khadijah serta mengambil bekal sejumlah yang sama. Sampai (akhirnya di suatu saat) datang kepada beliau kebenaran (al‐haqq) pada saat beliau berada dalam Gua Hira'. Malaikat mendatangi beliau dan berkata, "Bacalah (iqra')". Beliau menyahut, "Aku tidak bisa membaca." Ia (malaikat) merengkuh dan mendekapku sampai aku merasa sangat payah (sesak). Ia kemudian melepaskan aku dan berkata (lagi), "Bacalah". Aku menjawab, "Aku tidak bisa membaca." Ia merengkuh dan mendekapku untuk kedua kalinya sampai aku merasa sangat payah (sesak). Ia kemudian melepaskan aku dan berkata (lagi), "Bacalah". Aku menjawab, "Aku tidak bisa membaca." Ia merengkuh dan mendekapku untuk ketiga kalinya kemudian melepaskanku, dan berkata, "Iqra' bismi rabbika‐lladzi khalaq, khalaqal insana min 'alaq, iqra' wa rabbukal akram." Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam pun kembali dalam keadaan terguncang hatinya (yarjufu fu'aduhu). Beliau masuk menemui Khadijah binti Khuwailid radhiya‐llahu 'anha, dan berkata, "Selimuti aku, selimuti aku (zammiluuni, zammiluuni)." Mereka kemudian menyelimuti beliau sampai rasa takutnya hilang. Beliau kemudian berkata kepada Khadijah dan beliau telah menceritakan apa yang terjadi, "Sungguh aku sangat mengkhawatirkan diriku sendiri." Khadijah berkata, "Jangan begitu. Demi Allah, Dia tidak akan



70



menghinakanmu untuk selamanya. Engkau senantiasa menyambung tali persaudaraan, menanggung beban (orang lain), memberi pekerjaan kepada orang yang tidak berpunya, memuliakan tamu, menolong para pembela kebenaran." Maka Khadijah berangkat bersama beliau untuk menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin 'Abdil 'Uzza, putra pamannya. Dia adalah seorang penganut Nasrani di zaman jahiliyah. Dia juga bisa menulis kitab dalam bahasa Ibrani, sehingga dia – dengan izin Allah – menulis sebagian dari Injil dengan bahasa Ibrani. Dia adalah seorang yang sudah sangat tua lagi telah buta. Khadijah berkata kepadanya, "Hai anak pamanku, dengarkan (kisah) dari anak saudaramu (maksudnya, Muhammad) ini." Waraqah pun bertanya kepada beliau, "Hai anak saudaraku, apa yang telah engkau lihat?" Maka Rasulullah pun meberitahunya apa yang telah beliau lihat. Waraqah menanggapi, "Ini adalah an‐Naamuus (malaikat Jibril) yang telah Allah turunkan kepada Musa. Duh, seadainya aku masih muda dan perkasa. Seandainya aku masih hidup pada saat kaummu mengusirmu." Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam balik bertanya, "Apakah mereka akan mengusir saya?" Dia menjawab, "Ya, tak seorangpun yang pernah datang membawa seperti apa yang engkau bawa ini melainkan pasti dimusuhi. Jika aku mendapati hari‐harimu (itu), niscaya aku akan menolongmu dengan sekuat tenaga." Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dan wahyu mengalami fatrah."



Demikianlah riwayat panjang dan paling diakui dalam masalah wahyu pertama. Meski lahiriah ayat surah al‐'Alaq yang dikutip dalam riwayat ini hanya sampai ayat ke‐3, bukan berarti hanya sampai penggalan ini saja yang diturunkan pertamakali. Karena sudah masyhur, riwayat ini cukup meringkasnya dan tidak menyebutkan secara utuh. Banyak riwayat lain yang melengkapi dan menunjukkan bahwa wahyu pertama turun sampai ayat kelima. Riwayat serupa ini dikutip para ulama' lainnya di dalam kitab‐kitab mereka. Hampir seluruhnya berpangkal kepada Ummul Mu'minin 'Aisyah radhiya‐llahu 'anha, sbb: ·



Riwayat al‐Bukhari – selain yang sudah dikutip, dengan tambahan keterangan pada riwayat ini – dalam ash‐Shahih IV/1894 hadits no. 4670. Juga pada VI/2561 hadits no. 6581. Kata ar‐ru'ya as‐shalihah kadang diganti ar‐ru'ya ash‐shadiqah (mimpi yang benar). Baik dalam Sahih al‐Bukhari sendiri maupun kitab‐kitab lainnya, kedua istilah ini saling menggantikan.



·



Riwayat Muslim dalam ash‐Shahih I/139‐142 hadits no. 160.



·



Riwayat Ibnu Hibban dalam ash‐Shahih I/216‐219 hadits no. 33.



·



Riwayat at‐Baihaqi dalam as‐Sunan al‐Kubra VII/51 hadits no. 13112 dan 13113, dari Muhammad bin an‐Nu'man bin Basyir yang kemudian dirangkai dengan riwayat dari 'Aisyah. Disebutkan juga dalam IX/5 dst, bab mabtada'ul ba'tsi.



·



Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al‐Mushannaf VI/147 hadits no. 30218, dari Mujahid. Kemudian pada VII/254 hadits no. 35813, dari 'Ubaid bin 'Umair. Tiga riwayat setelahnya juga menyebutkan 71



masalah yang sama, bersumber dari 'Ubaid bin 'Umair, Abu Musa al‐ Asy'ari dan Mujahid. ·



Riwayat Abu Dawud ath‐Thayalisi dalam al‐Musnad I/215 hadits no. 1539. Kisah dalam hadits yang bersumber dari 'Aisyah ini cukup unik dan redaksinya berbeda dengan riwayat‐riwayat yang lain.



·



Sebuah riwayat yang dikemukakan dalam Musnad al‐Harits dan Zawa'id al‐Haitsami, karya al‐Harits bin Abi Usamah dan al‐Hafizh Nuruddin al‐Haitsami, II/867 hadits no. 928. Kisah di dalamnya serupa dengan riwayat Abu Dawud ath‐Thayalisi.



·



Riwayat Ahmad bin Hanbal dalam al‐Musnad VI/232 hadits no. 26001.



·



Riwayat al‐Hakim dalam al‐Mustadrak 'ala ash‐Shahihain II/240 hadits no. 2872, dari Abu Musa al‐Asy'ari. Hadits no. 2873 juga berisi perihal yang sama. Juga dalam II/576 hadits no. 3953 dari 'Aisyah. Dua riwayat setelahnya juga menyebutkan masalah yang sama.



Inilah sebagian dari yang dapat kami temukan. Keterangan tambahan bisa dicari secara lebih luas dan rinci dalam syarah untuk masing‐masing kitab hadits yang telah disebutkan, jika ada, seperti Fathul Baari karya Ibnu Hajar dan penjelasan Imam an‐Nawawi untuk Shahih Muslim.



Riwayat Jabir tentang Wahyu Pertama Kedua penulis ash‐Shahihain sendiri meletakkan riwayat Jabir ini setelah riwayat 'Aisyah diatas. Riwayat 'Aisyah memang mengungkap kisah yang jauh lebih jelas dan eksplisit tentang turunnya wahyu pertama, sementara riwayat Jabir mengandung sedikit kontroversi karena di dalamnya ada semacam sanggahan terhadap riwayat 'Aisyah, dan mengunggulkan bahwa wahyu pertama adalah al‐Muddatsir, bukannya Iqra'. Disini, kami mengutip salah satu dari riwayat al‐Bukhari yang bersumber dari Jabir (lihat: IV/1874 hadits no. 4638). Yahya menyampaikan hadits kepada kami: Waki' menyampaikan hadits kepada kami, dari 'Ali bin al‐Mubarak, dari Yahya bin Abi Katsir: Saya bertanya kepada Abu Salmah bin 'Abdurrahman [bin 'Auf] tentang wahyu yang pertamakali diturunkan dari al‐Qur'an. Dia menjawab, "Ya ayyuhal muddatsir." Saya katakan, "Mereka bilang (yang pertamakali turun adalah) Iqra' bismi rabbikal‐ladzi khalaq"? Abu Salmah berkata, "Saya telah bertanya kepada Jabir bin 'Abdillah radhiya‐llahu 'anhu tentang hal itu, dengan berharap seperti yang engkau katakan tadi. Maka Jabir pun berkata, 'Aku tidak menceritakan kepadamu kecuali apa yang telah Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam ceritakan kepadaku: "Aku berdiam (untuk ber‐khalwat) di Gua Hira', setelah aku menyelesaikannya maka aku pun turun. (Saat itu) ada suara memanggilku, lalu aku menoleh ke kanan dan aku tidak melihat apa pun. Aku tengok ke sebelah kiri, dan aku pun tidak melihat apa‐apa. Aku lihat di depanku, tidak kulihat apa‐apa. Kulihat ke belakang, juga tidak kulihat apa pun. Lalu aku tengadahkan kepalaku (ke atas), dan kulihat sesuatu. Aku segera menemui Khadijah dan kukatakan, 'Selimuti aku (datstsaruuni), dan siramkan air dingin kepadaku." Mereka pun



72



menyelimuti aku dan menyiramku dengan air dingin. Maka, turunlah "Ya ayyuhal muddatsir qum fa andzir wa rabbaka fa kabbir."



Merujuk kepada riwayat‐riwayat lain, "sesuatu" yang beliau lihat di langit adalah malaikat Jibril 'alaihis salam. Bahkan, diceritakan pula betapa terkejutnya Rasulullah ketika itu sehingga langsung jatuh berlutut dan ambruk ke tanah, saat melihat Jibril yang "tengah duduk di atas kursi, melayang di angkasa". Beberapa saat beliau tercenung di tempat itu sebelum akhirnya dapat mengumpulkan kembali kekuatannya dan pulang ke rumah. Tambahan keterangan seperti ini dapat dibaca dalam riwayat‐ riwayat yang seluruhnya berpangkal kepada Jabir bin 'Abdillah, sbb: ·



Riwayat al‐Bukhari dalam as‐Shahih III/1182 hadits no. 3066; IV/1875‐1876 hadits no. 4641‐4642.



·



Riwayat Muslim dalam as‐Shahih I/143 hadits no. 161.



·



Riwayat Ibnu Hibban dalam as‐Shahih I/220 hadits no. 34.



·



Riwayat an‐Nasai dalam as‐Sunan al‐Kubra VI/502 hadits no. 11631‐ 11633.



·



Riwayat at‐Baihaqi dalam as‐Sunan al‐Kubra VII/51 hadits no. 13113.



·



Riwayat 'Abdurrazzaq ash‐Shan'ani dalam al‐Mushannaf V/232.



·



Riwayat Abu Dawud ath‐Thayalisi dalam al‐Musnad I/235 hadits no. 1688.



·



Riwayat Abu Ya'la al‐Maushili dalam al‐Musnad III/451‐452 hadits no. 1948.



·



Riwayat Ahmad dalam al‐Musnad III/325 hadits no. 14523; hal. 377 hadits no. 15075; dan hal. 392 hadits no. 15251.



Ketakutan semacam ini memang terjadi beberapa kali pada masa awal perjumpaan beliau dengan Jibril. Banyak riwayat yang menguatkannya. Bagaimana pun, beliau adalah manusia biasa yang tidak pernah berpikir untuk memperoleh anugerah kenabian dan bertemu dengan makhluk Allah yang perkasa bernama Jibril itu. Al‐Qur'an pun mengisahkan ketakutan yang sama pernah dialami Musa 'alaihis salam saat menerima wahyu pertamakali. Bahkan, saat melihat tongkat yang selama ini beliau pegang mendadak berubah menjadi ular sungguhan yang bergerak sangat gesit, beliau langsung lari berbalik tanpa menengok (QS an‐Naml: 10 dan al‐Qashash: 31). Riwayat Jabir yang kontroversial ini juga dikutip oleh banyak ulama', yang dapat ditelusuri dalam referensi yang sudah kami sebutkan di atas. Namun, masalahnya sudah jelas. Sebab, jika disatukan antara satu riwayat dengan lainnya, tampak bahwa "sesuatu" telah terjadi pada teks yang berasal dari Jabir tersebut. Seperti disinyalir Ibnu Hajar, sebagian fragmen penting dalam kisah wahyu pertama ini kemungkinan besar hilang atau terlewatkan. Menurut para peneliti, memang ada keanehan dalam riwayat Jabir ini. Berdasarkan kepada riwayat dari Jabir juga, namun lewat jalur lain, ditemukan penyebutan kisah yang menyatakan ketakutan Nabi melihat malaikat yang pernah beliau temui di Gua Hira'. 73



Riwayat yang menyatakan tambahan teks semacam ini, misalnya, disebutkan oleh al‐Bukhari sendiri di tempat lain (lihat: IV/1895 hadits no. 4671). Indikasi ini jelas menunjukkan bahwa Iqra' telah turun dan Nabi agak trauma karena saat wahyu pertama turun beliau sempat didekap sangat erat oleh Jibril, sehingga beliau merasa sangat payah dan menyangka nyaris saja mati. Menurut Ibnu Hajar, yang menukil penilaian al‐Kirmani, bahwa pernyataan Jabir tentang al‐Muddatsir sebagai wahyu pertama sebelum Iqra' adalah hasil ijtihadnya sendiri, bukan berasal dari riwayatnya yang marfu' kepada Rasulullah. Yang shahih adalah riwayat 'Aisyah diatas (lihat: Fathul Bari VIII/678). Ibnu Hajar menengarai adanya fragmen yang hilang (saqatha) dari riwayat awal mula turunnya wahyu menurut Jabir, lewat salah satu jalur periwayatannya, yakni Yahya bin Abi Katsir. Sebab, dalam salah satu matan riwayat disebutkan cerita Rasulullah, "…saya berdiam di Gua Hira' selama sebulan, maka tatkala saya telah menyelesaikannya saya turun ke lembah, dan saya (mendengar) panggilan – sampai cerita – saya kemudian mendongakkan kepala, tiba‐tiba saya melihat dia (yaitu Jibril) di atas 'Arsy – maksudnya: di angkasa – maka saya mendatangi Khadijah dan berujar, 'Selimuti aku, selimuti aku!!" Kemungkinan, masih menurut Ibnu Hajar, kisah tentang kedatangan Jibril kepada Rasulullah di Gua Hira' dengan membawa Iqra' hilang dari riwayat ini, sebagaimana cerita selengkapnya dapat dilihat dalam riwayat lain dari 'Aisyah lewat 'Urwah atau riwayat Jabir sendiri menurut jalur lain. Atau, ada kemungkinan lainnya, dimana dalam riwayat mursal dari 'Ubaid bin 'Umair yang dinukil al‐Baihaqi dinyatakan bahwa Rasulullah kembali ber‐ tahannuts di Gua Hira' selama sebulan penuh, yaitu di bulan Ramadhan, yang berlangsung dalam masa fatrah wahyu. Mungkin, kisah dari Jabir ini berkaitan dengan kembalinya Jibril setelah sekian lama wahyu terhenti (fatrah). Disini, kita bertemu dengan riwayat mursal, dan karenanya pula tidak begitu yakin. Di lain pihak, Imam al‐Bukhari sendiri juga mengutip riwayat bahwa Jabir saat menyampaikan hadits tentang al‐Muddatsir sebenarnya sedang berbicara tentang masa fatrah wahyu (lihat: I/5 hadits no. 4; dan IV/1895 hadits no. 4671). Itu berarti, telah ada wahyu yang turun sebelumnya. Sudah dimaklumi bahwa setelah Iqra' turun sempat terjadi kevakuman beberapa saat dimana al‐Qur'an tidak turun kepada beliau. Menurut hemat kami, jumhur ulama' lebih puas untuk menyepakati bahwa al‐'Alaq adalah wahyu pertama secara mutlak, dan setelah itu disusul al‐Muddatsir, atau al‐Qalam menurut pendapat lainnya.[] Wallahu a'lam.



74



BAB II MEMAHAMI KONTROVERSI AL‐QALAM



Dalam khazanah literatur tafsir, 'ulumul Qur'an, hadits, maupun sirah nabawiyah, perbedaan pendapat yang menajam dimulai dari wahyu kedua, yakni surah apa yang diturunkan kepada Rasulullah setelah Iqra'? Sebagian pendapat menguatkan al‐Qalam, sebagaimana yang tampak jelas dalam berbagai versi tartib nuzuli yang telah kami sebutkan maupun dalam susunan mushhaf‐mushhaf yang ada. Di sisi lain, ada yang menguatkan surah al‐Muddatsir sebagai wahyu kedua setelah Iqra'. Perbedaan pendapat ini dipicu oleh beberapa hal, diantaranya adalah perbedaan diantara sebagian riwayat yang sama‐sama shahih tentang masalah ini, dan juga tidak disepakatinya berapa lama masa fatrah berlangsung kepada Rasulullah setelah turunnya wahyu pertama. Pilihan terhadap salah satu pendapat tentang masa fatrah akan berimplikasi kepada pilihan surah kedua yang turun, demikian pula sebaliknya. Di sisi lain, sebagian perawi agaknya juga dibingungkan oleh riwayat tentang masa fatrah yang konon tidak hanya sekali. Pembaca yang tidak cermat akan menyangka bahwa masa fatrah yang disebutkan untuk asbabun nuzul surah adh‐Dhuha adalah sama dengan masa fatrah setelah wahyu pertama. Jika perawi tidak bisa memilah hal ini, boleh jadi ia akan mencampur‐adukkan keduanya, sehingga wahyu kedua yang turun setelah Iqra' pun menjadi adh‐Dhuha. Contoh kasus dari kebingungan semacam ini dapat ditemukan dalam Sirah Ibnu Hisyam (lihat: II/80‐82 edisi Arab), yang itu berarti merupakan riwayat yang dipilih oleh Ibnu Ishaq.



Kontroversi Wahyu Kedua Sebenarnya, polemik seputar surah atau bagian wahyu mana yang turun di urutan kedua sangat luas. Perbedaan pendapat tidak hanya memunculkan al‐Qalam dan al‐Muddatsir di urutan kedua. Setidaknya, rekaman berikut ini akan memberi gambaran lebih jauh bahwa sesungguhnya kebanyakan riwayat tentang tata urutan penurunan adalah ijtihadi. Disini, perbedaan pendapat pun tak terelakkan, tergantung riwayat yang diterima masing‐masing ulama' maupun kekuatan ijtihadnya. Hanya satu hal yang pasti, bahwa tidak ada satupun versi tata‐urutan yang benar‐ benar mampu bertahan dari kritik yang melemahkan dan menolak keabsahannya. Semua mengandung kontroversi dan kelemahan, terlebih pada saat harus mengemukakan daftar lengkap tata urutan penurunan dari 114 surah al‐Qur'an. Boleh dikata, tidak ada yang benar‐benar kukuh sistem pengurutannya jika dikritik secara detail. Fakta‐fakta berikut ini kami cuplik dari Al‐Burhan fi 'Ulumil Qur'an I/206‐208, yang menggambarkan dengan gamblang spektrum ikhtilaf dalam masalah wahyu kedua: 75



Adapun yang pertama turun, maka dalam Shahih al‐Bukhari dalam hadits tentang awal mula wahyu terdapat riwayat yang memastikan bahwa yang pertamakali diturunkan kepada Nabi shalla‐llahu 'alaihi wa sallam adalah Iqra' bismi rabbika, kemudian al‐Muddatsir. Imam al‐ Hakim men‐takhrij sebuah hadits dari 'Aisyah radhiya‐llahu 'anha secara eksplisit dan menurut beliau itu shahih sanad‐nya. Dalam redaksi Imam Muslim disebutkan, "Bagian al‐Qur'an yang pertamakali diturunkan adalah Iqra' bismi rabbika sampai ayat 'allamal‐insaana ma lam ya'lam." Dalam Shahih al‐Bukhari sendiri terdapat pula bahwa (wahyu pertama hanya sampai ayat) wa rabbukal‐akram. Riwayat terakhir ini diringkas, sedang dalam riwayat yang pertama tadi ada tambahan. Tambahan ini berasal dari perawi tsiqah (terpercaya) dan bisa diterima. Ada pula riwayat yang membantah hal ini. Dalam Shahih Muslim, dari Jabir radhiya‐llahu 'anhu, "Bagian al‐Qur'an yang pertamakali diturunkan adalah surah al‐Muddatsir." Sebagian ulama' mengkompromikan kedua riwayat ini, bahwa Jabir sendiri mendengar Nabi shalla‐llahu 'alaihi wa sallam yang menuturkan kisah awal mula turunnya wahyu, sedang ia hanya mendengar bagian terakhirnya dan tidak mendengar bagian depannya, sehingga ia mengira bahwa itulah yang pertamakali turun, padahal bukan demikian sebenarnya. Ya, memang benar bahwa itu adalah wahyu yang pertamakali turun setelah surah Iqra' dan terjadinya masa fatrah. Hal itu berdasar riwayat lain yang juga berasal dari Jabir yang terdapat dalam ash‐Shahihain, bahwa Nabi shalla‐llahu 'alaihi wa sallam pernah bertutur tentang masa kosong dari wahyu (fatrah). Dalam cerita itu beliau menyebutkan, "Saat aku berjalan, aku mendengar suara dari arah langit, sehingga kudongakkan kepalaku. Tiba‐tiba kulihat malaikat yang pernah mendatangiku di Gua Hira' sedang duduk diatas kursi (melayang) diantara langit dan bumi. Akupun jatuh berlutut karena sangat kaget melihatnya. Aku pulang dan kukatakan, 'Selimuti aku! Selimuti aku!' Maka, Allah pun menurunkan yaa ayyuhal muddatsir qum fa‐andzir. Dalam hadits ini beliau menyebut‐sebut malaikat yang pernah mendatangi beliau di Gua Hira' pada kesempatan sebelumnya. Dalam hadits 'Aisyah, beliau mengabarkan bahwa turunnya Iqra' adalah di Gua Hira', dan inilah wahyu pertama. Kemudian, wahyu sempat terhenti sementara waktu setelahnya. Dalam hadits Jabir, beliau mengabarkan bahwa wahyu kemudian turun berturut‐turut setelah turunnya al‐ Muddatsir. Dari sini dapat diketahui bahwa Iqra' adalah wahyu yang turun pertama secara mutlak, dan bahwa surah al‐Muddatsir turun setelahnya. Demikian pula yang dikatakan Ibnu Hibban dalam Shahih‐ nya. Tidak ada pertentangan diantara kedua hadits tersebut. Bahkan, jelas yang pertama turun adalah Iqra' bismi rabbikal‐ladzi khalaq di Gua Hira', kemudian saat beliau kembali menemui Khadijah rahiya‐llahu 'anha dan beliau mengguyur Nabi dengan air dingin, maka Allah menurunkan yaa ayyuhal muddatsir di rumah Khadijah. Terlihat jelas bahwa setelah beliau menerima Iqra', beliau pulang ke rumah dan menyelimuti dirinya, sehingga Allah menurunkan yaa ayyuhal muddatsir. Ada pendapat lain bahwa yang pertamakali diturunkan adalah surah al‐ Fatihah. Hal ini diriwayatkan dari jalur Abu Ishaq, bersumber dari Abu Maysarah. Disebutkan, bahwa Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam



76



saat mendengar suara bergegas lari, disebutkan pula tentang turunnya malaikat menemui beliau, dan juga pesan, "Katakanlah: 'Alhamdu lillahi rabbil‐'alamin', sampai akhir surah." Qadhi Abu Bakr [al‐Baqillani] menyatakan dalam al‐Intishar, khabar ini sendiri munqathi’ (terputus sanadnya). Pendapat yang paling kuat (atsbat) sebagai wahyu pertama adalah Iqra' bismi rabbika, dan disusul Yaa ayyuhal muddatsir di posisi kedua kekuatannya. Cara menyatukan pendapat‐pendapat ini adalah, "Ayat yang pertamakali diturunkan adalah Iqra' bismi rabbika. Perintah dakwah yang pertamakali diturunkan adalah yaa ayyuhal muddatsir. Sementara, surah yang pertamakali diturunkan adalah al‐Fatihah." Kasus ini sama dengan hadits, bahwa yang pertamakali dihisab dari seorang hamba adalah shalat, sedangkan yang pertamakali diputuskan perkaranya adalah persoalan darah. Cara menyatukan keduanya bahwa yang pertamakali diputuskan hukumnya dari urusan mazhalim (penganiayaan) yang terjadi diantara sesama hamba Allah adalah urusan darah, sedangkan yang mula‐mula dihisab dari fara'idh (perkara yang diwajibkan Allah) badaniyah adalah shalat. Ada yang berpendapat bahwa yang pertamakali diturunkan untuk urusan kerasulan adalah yaa ayyuhal muddatsir, sedang untuk urusan kenabian adalah iqra' bismi rabbika. Para ulama' menyatakan bahwa firman Allah iqra' bismi rabbika menunjukkan kenabian Muhammad shlla‐llahu 'alaihi wa sallam, karena kenabian adalah ungkapan yang menyatakan diturunkannya wahyu kepada seorang pribadi melalui lisan malaikat dengan membawa beban kewajiban (taklif) khusus [bagi dirinya sendiri]. Sementara itu, firman Allah yaa ayyuhal muddatsir qum fa‐andzir menunjukkan kerasulan beliau, karena risalah adalah ungkapan yang menyatakan diturunkannya wahyu melalui lisan malaikat dengan membawa taklif umum [untuk semua orang]. Qadhi Abu Bakr [al‐Baqillani] meneyebutkan dalam al‐Intishar satu riwayat, "Kemudian sesudah surah Iqra' diturunkan tiga ayat permulaan surah Nuh dan tiga ayat permulaan surah al‐Muddatsir." Bersumber dari Mujahid, beliau berkata, "Surah diturunkan adalah Iqra', kemudian Nuh."



pertama



yang



Imam al‐Hakim menyebutkan dalam al‐Ikliil, bahwa ayat pertama yang diturunkan untuk masalah izin berperang adalah firman Allah, "Sesungguhnya Allah membeli harta dan jiwa kaum mukminin dengan imbalan surga bagi mereka." [QS at‐Taubah: 111] Dalam al‐Mustadrak diriwayatkan bersumber dari Ibnu 'Abbas bahwa ayat yang mula‐mula turun dalam masalah tersebut adalah, "Telah diizinkan (berperang) bagi orang‐orang yang diperangi … dst." [QS al‐ Hajj: 39]



Demikianlah, yang mencerminkan bahwa masalah ini termasuk topik 'Ulumul Qur'an yang luas diperselisihkan. Banyak peneliti yang bahkan sampai pada kesimpulan pesimistik, atau mendiamkannya samasekali, karena riwayat tentangnya memang sangat beragam. Wallahu a'lam.



77



Riwayat Masa "Fatrah" dan Kaitannya dengan al‐Qalam Sebagaimana telah kami singgung di muka, ada kaitan yang sangat erat antara riwayat masa fatrah dengan sejarah turunnya surah al‐Qalam maupun surah‐surah lainnya yang dianggap sebagai wahyu kedua dalam tartib nuzuli. Sangat boleh jadi, pilihan maupun upaya tarjih terhadap salah satu riwayat masa fatrah akan mendorong seorang perawi untuk menempatkan suatu surah sebagai wahyu kedua. Jika hal ini tidak secara sengaja dilakukan, maka kekeliruan mempersepsi riwayat masa fatrah pun akan berakibat kepada pilihan yang invalid atas suatu surah sebagai wahyu kedua. Secara umum, dalam konteks kajian ini, "fatrah" bermakna terhentinya wahyu selama periode tertentu. Menurut Ibnu Hajar, dalam Fathul Bari I/27, hal ini tidaklah bermakna menghilangnya Jibril samasekali, namun lebih merupakan periode dimana al‐Qur'an terlambat atau bahkan tidak turun. Dalam Tarikh milik Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dikutip Ibnu Hajar, memang terdapat riwayat yang paling masyhur mengenai masa fatrah, yakni 3 tahun. Tentang ini, Ibnu Hajar menulis: Dapat ditemukan dalan Tarikh karya Ahmad bin Hanbal, yang bersumber dari asy‐Sya'bi, bahwa lamanya masa fatrah adalah 3 tahun, dan ini yang ditetapkan oleh Ibnu Ishaq. Imam al‐Baihaqi menceritakan bahwa lamanya masa bermimpi – yakni, mimpi yang benar sebelum kenabian – adalah 6 bulan. Berdasar riwayat ini, (dapat dihitung) bahwa permulaan kenabian dengan datangnya mimpi adalah di bulan kelahiran beliau, yaitu Rabi'ul Awwal, setelah usia beliau genap 40 tahun; sedangkan awal mula (turunnya) wahyu dalam keadaan sadar adalah pada bulan Ramadhan.



Ibnu Hajar sendiri tidak memberikan penilaian atas riwayat‐riwayat tersebut. Boleh jadi, beliau setuju bahwa masa fatrah memang berlangsung selama 3 tahun, seperti yang tampak dalam uraian beliau di bagian selanjutnya: Saya telah mengecek langsung riwayat yang dinukil dari asy‐Sya'bi dalam Tarikh Imam Ahmad, yang redaksiya berasal dari jalur Dawud bin Abi Hind, dari asy‐Sya'bi: "Diturunkan kepada beliau kenabian dalam usia 40 tahun. Kemudian (malaikat) Israfil mendampingi kenabian itu selama 3 tahun. Israfil mengajari beliau al‐kalimah dan segala sesuatu, (namun) tidak ada al‐Qur'an yang diturunkan lewat lisannya. Setelah 3 tahun berlalu, (malaikat) Jibril mendampingi kenabian beliau dan al‐Qur'an diturunkan lewat lisannya selama 20 tahun". Ibnu Abi Khaytsamah mengeluarkan riwayat ini lewat jalur lain secara ringkas, masih dari Dawud juga, dengan redaksi: "Beliau diutus dalam usia 40 tahun, kemudian diwakilkan kepadanya Israfil selama 3 tahun, kemudian diwakilkan kepadanya Jibril (setelah itu)." Maka, berdasar atas (pendapat) ini, dan bagus sekali. Dan, sanggahan atas hal ini jika memang dapat dikuatkan kompromi atas dua pendapat tentang berapa lamanya Rasulullah tinggal di Makkah setelah kenabian,



78



sebab ada yang mengatakan 13 tahun dan ada yang mengatakan 10 tahun. Namun, al‐Waqidi menolak riwayat mursal ini, katanya: "Tidak mendampingi beliau satu malaikat pun selain Jibril," (Namun), masalahnya sudah jelas, bahwa (suatu pendapat) yang menetapkan (adanya sesuatu) harus diutamakan diatas pendapat yang menyatakan sebaliknya, kecuali jika orang yang berpendapat sebaliknya tersebut punya dalil atas penolakannya. Wallahu a'lam.



Namun, boleh jadi beliau malah berpendapat sebaliknya, yakni masa fatrah tersebut tidak mungkin berlangsung lama. Beliau melanjutkan: As‐Suhaili menerima riwayat ini dan mengkompromikan hal‐hal yang dipertentangkan di dalam masalah berapa lama Rasulullah berdiam di Makkah. Dia mengatakan, "Ada sebagian riwayat yang musannadah – jelas sanad‐nya – bahwasannya lama masa fatrah adalah dua setengah tahun, dan dalam riwayat lain bahwasannya masa datangnya mimpi adalah enam bulan. Maka, orang yang berpendapat bahwa Rasulullah berdiam di Makkah 10 tahun, berarti membuang masa fatrah dan datangnya mimpi. Sedangkan orang yang berpendapat masa berdiam beliau 13 tahun, berarti memasukkan kedua masa itu ke dalamnya." Namun, yang dijadikan pegangan oleh as‐Suhaili dalam hujjah‐nya ini, yakni riwayat mursal asy‐Sya'bi, tidak tetap (la yatsbut). Sebab, dibantah oleh riwayat lain dari Ibnu 'Abbas bahwa lamanya masa fatrah tersebut hanyalah dalam hitungan hari.



Syekh Muhammad al‐Khudhary Bek, penulis Nurul Yaqin fi Siirati Sayyidil Mursalin pada hal. 34‐35 (edisi terjemah), menyitir "pendapat yang paling kuat menyatakan bahwa tenggang masa tidak turunnya wahyu lamanya empat puluh hari". Ini serupa dengan apa yang disinggung penulis Seleksi Sirah Nabawiyah hal. 109‐110, yang bersumber dari Ibnu 'Abbas. Sementara itu, Dr. Mushthafa as‐Siba'iy menyatakan dalam Sirah Nabawi hal. 54, bahwa lamanya masa fatrah wahyu tersebut "paling maksimal adalah tiga tahun, dan paling minimal adalah enam bulan, dan itulah yang benar". Ketiga penulis sirah ini sama‐sama menguatkan bahwa masa fatrah tidaklah berlangsung sangat lama, maksimal enam bulan. Tentang masa fatrah ini, Ibnu Katsir juga menyinggungnya. Beliau menulis satu risalah penutup untuk karya tafsir beliau berjudul Fadha’ilul Qur’an, yang dicetak pada penghujung juz 4 tafsir tersebut. Pada halaman 6, beliau menulis: (Hadits Keempat) Al‐Bukhari berkata: haddatsana (menceritakan hadits kepada kami) ‘Amr bin Muhammad: haddatsana Ya’qub bin Ibrahim: hadatsana ayahku (Ibrahim bin Sa’ad az‐Zuhri): ‘an (bersumber dari) Shalih bin Kaysan: ‘an Ibnu Syihab, dia berkata: akhbarani (membawakan khabar kepadaku) Anas bin Malik: Sesungguhnya Allah menurunkan wahyu secara berturut‐turut kepada Rasulullah SAW sebelum beliau wafat, sehingga beliau diwafatkan ketika wahyu sudah sangat banyak (diturunkan), kemudian beliau wafat setelah itu.



79



Demikian pula yang diriwayatkan Muslim dari ‘Amr bin Muhammad20 ini – dia adalah an‐Naqid – dan Hasan al‐Hulwani serta ‘Abd bin Humaid; dan an‐Nasai (meriwayatkan juga) dari Ishaq bin Manshur al‐Kawsaj, dimana keempat orang perawi ini sama‐sama meriwayatkan dari Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’ad a‐Zuhri, berupa hadits ini juga. Artinya, sesungguhnya Allah menurunkan wahyu berturut‐turut kepada Rasulullah sedikit demi sedikit, setiap saat, sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Dan tidak terjadi lagi masa fatrah (senggang dari wahyu) setelah masa fatrah yang pertama, (yaitu) setelah turunnya malaikat untuk pertamakalinya dengan membawa firman Allah ta’ala (iqra’ bismi rabbika). Maka, dalam hal ini memang wahyu tertahan sesudahnya untuk sementara waktu, yang konon (yuqaalu) mendekati dua tahun atau lebih. Kemudian, wahyu kembali ‘aktif’ dan turun kembali berturut‐turut, dan yang pertamakali turun setelah masa fatrah tersebut adalah (ya ayyuhal muddatstsir, qum fa andzir).



Ibnu Katsir memang menyebut “dua tahun atau lebih” untuk lama masa fatrah, namun kata‐kata beliau sendiri meragukan. Beliau tidak jelas menyatakan sumbernya, dan hanya menuliskan yuqaalu (dikatakan, konon). Secara literal, kata berbentuk mabni lil‐maf’ul seperti ini mengindikasikan tidak jelasnya siapa yang menjadi fa’il (subyek) atau narasumber berita, sehingga tidak bisa ditelusuri lebih jauh. Dalam disiplin Ilmu Hadits, riwayat yang menggunakan kalimat seperti ini mengindikasikan kelemahan (dha'if), sebagaimana dibahas an‐Nawawi dalam at‐Taqrib wat‐Taysir hal. 27‐28. Kata‐kata seperti dzukira (disebutkan), ruwiya (diriwayatkan), hukiya (dikisahkan) dan sejenisnya yang mabni majhul, baik dalam bentuk fi'il madhi maupun mudhari', disebut shighat tamridh (lihat: Otentisitas Hadis, hal. 24‐25; 58‐60). Kebalikannya disebut shighat jazm. Konotasi shighat tamridh memang negatif, karena secara harfiah bermakna "pernyataan adanya penyakit". Perawi yang menggunakan kalimat ini biasanya tidak yakin akan ke‐ shahih‐an apa yang diceritakan, atau ia mencurigai "sesuatu" di dalamnya. Jadi, masalahnya sudah jelas. Dalam penafsiran Ibnu Katsir atas surah al‐Muddatstsir sendiri, masa fatrah ini memang disinggung‐singgung dalam sejumlah riwayat yang beliau sebut, terutama dari al‐Bukhari. Hanya saja, tentang “mendekati dua tahun atau lebih” ini, kami tidak menemukannya. Mungkin, dengan pengutipan yang mengambang seperti itu Ibnu Katsir ingin menghindari kritik atau bergelut dalam kontroversi berkepanjangan. Sebagai seorang ahli hadits di zamannya, beliau pasti mengetahui bahwa riwayat masa fatrah ini beraneka ragam. Apakah beliau juga tidak yakin dengan masa dua tahun lebih yang kosong dari wahyu? Wallahu a’lam. 20



Lengkapnya: Abu 'Utsman 'Amr an‐Naqid bin Muhammad bin Bukair bin Syabur al‐ Baghdadi, seorang faqih dan hafizh yang langka, menetap di ar‐Riqqah dan termasuk diantara deretan perawi al‐Bukhari, Muslim dan Abu Dawud. Wafat pada bulan Dzulhijjah 232 H. Dinilai sebagai perawi yang tsiqah, amiin dan shaduuq oleh Abu Hatim (lihat: at‐Tarikh al‐Kabir VI/375; al‐Jarh wat‐Ta’dil VI/262; Taqribu at‐ Tahdzib I/426; al‐Kasyif II/87; Tarikh Baghdad XII/205).



80



Di tempat lain, dalam penafsiran beliau untuk surah al‐‘Alaq, memang dicantumkan riwayat masa fatrah dan juga kondisi Rasulullah yang sempat bersedih, sampai‐sampai terpikir untuk bunuh diri dengan terjun dari puncak gunung. Namun, sebagaimana akan kita lihat nanti, riwayat yang memuat tambahan semacam ini dinilai mursal dan dha'if oleh para ahli hadits. Sumber yang menjadi rujukan Ibnu Katsir sendiri, yakni Shahih al‐ Bukhari, hanya menyatakan masa fatrah secara mutlak, tanpa penjelasan bilangan waktu. Kami menemukan teks haditsnya dalam Jawahirul Bukhari, hal. 2‐5, hadits no. 2, bab bad’ul wahyi li Rasulillah shalla‐llahu ‘alaihi wa sallam. Pada edisi asli Shahih al‐Bukhari, riwayat ini ditempatkan pada I/4 hadits no. 3. Teks riwayat yang bersumber dari 'Aisyah ini sangat panjang, berkisah tentang awal mula turunnya wahyu. Setelah menyebut‐nyebut pertemuan Rasulullah SAW dengan Waraqah bin Naufal, ‘Aisyah berkata: … tidak lama kemudian Waraqah meninggal dan wahyu mengalami masa fatrah.



Penjelasan tentang batasan waktu ada dalam catatan kaki, “tertahan selama tiga tahun”. Artinya, bukan dari teks asli al‐Bukhari, alias penjelasan dari peringkasnya sendiri (Dr. Mushthafa Muhammad ‘Imarah), seorang pakar hadits kontemporer dari Timur Tengah. Sumber ini tidak cukup kuat sebagai dalil tentang masa fatrah. Penjelasan yang lebih memadai kami temukan dalam Seleksi Sirah Nabawiyah, hal. 109‐110, dimana Dr. Akram Dhiya’ al‐Umuri menulis: Tidak diketahui secara pasti berapa lama wahyu sempat terhenti. Akan tetapi, yang jelas hal itu tidak berlangsung terlalu lama sehingga jiwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali merasa tenang untuk siap menyambut turunnya wahyu secara berturut‐turut. Setelah berhenti beberapa waktu, wahyu pertama yang turun ialah surah al‐ Muddatstsir ayat 1‐5. Pernah, beberapa kali wahyu turun terlambat selama dua atau tiga malam sehingga orang‐orang musyrik dengan sinis mengatakan, “Muhammad sudah ditinggalkan oleh Tuhannya.” Akan tetapi, kemudian Allah yang Mahamulia lagi Mahaagung menurunkan firman‐Nya, “Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.” Ada beberapa perawi yang keliru. Mereka mengira bahwa ayat tersebut turun setelah wahyu terhenti cukup lama, yakni setelah turunnya ayat “bacalah”.



Pada catatan kaki untuk pernyataan beliau “yang jelas hal itu tidak berlangsung terlalu lama”, Dr. Akram Dhiya’ menjelaskan: Ada riwayat yang menyebutkan, selama dua setengah tahun (ar‐Raudh al‐Anfi oleh as‐Suhaili, II/433‐434). Bahkan menurut riwayat yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas, hal itu hanya berlangsung selama empat puluh hari saja (Syarah al‐Mawahib al‐Laduniyah, I/236).



Artinya, beliau tak mengunggulkan pendapat tentang masa fatrah yang berlangsung sangat lama: 2 atau 3 tahun. Sebelum mengulas masa fatrah ini beliau sendiri sudah mengetengahkan berbagai hal yang meragukan 81



tentang apa saja yang terjadi sepanjang masa fatrah tersebut. Riwayat‐ riwayat yang masyhur menyebutkan bahwa Rasulullah sempat hampir putus asa dan berniat menjatuhkan dirinya dari puncak gunung. Cerita ini memang termaktub dalam ash‐Shahihain, namun merupakan riwayat mursal yang dha'if dari az‐Zuhri, sementara jika ditelusuri dari jalur lainnya terdapat perawi yang hafalannya sangat buruk. Bahkan, sudah menjadi kaidah dalam disiplin Ilmu Hadits, bahwa riwayat mursal az‐ Zuhri tidak bisa dijadikan hujjah. Maka, terkait semua hal ini, menurut Dr. Dhiya': Kata al‐Bukhari, “Salah seorang tokoh isnad riwayat ini adalah Mu’ammar yang mengatakan bahwa az‐Zuhri mendapatkan riwayat tersebut dari Urwah, dan Urwah dari Aisyah”. Seandainya tidak ada selingan kalimat “menurut yang kami dengar”, mungkin riwayat ini shahih. Lagi pula, menurut Ibnu Hajar, riwayat az‐Zuhri tersebut mursal, dan tidak maushul dari riwayat Urwah, dari Aisyah (Fath al‐ Bari, XII/359‐360). Riwayat‐riwayat mursal az‐Zuhri adalah dha’if. Riwayat mursal az‐Zuhri tersebut juga diketengahkan oleh ath‐Thabari (Tarikh ath‐Thabari, II/305). Menurut pendapat adz‐Dzahabi, riwayat az‐ Zuhri tersebut maushul (as‐Sirah an‐Nabawiyah, hal. 64). Demikian pula riwayat yang dikutip ath‐Thabari dari Nu’man bin Rasyid al‐Jazri dari az‐ Zuhri. Menurut ath‐Thabari, itu adalah riwayat yang maushul (Tarikh ath‐Thabari, II/298‐299). Akan tetapi, kendatipun Nu’man seorang perawi yang jujur, sayang hafalannya sangat buruk, seperti yang dikemukakan dalam Taqrib at‐Tahdzib, hal. 564. Nu’man bahkan secara tunggal sering memberikan tambahan‐tambahan yang dha’if dalam riwayat tadi, terlebih yang terkait dengan ayat al‐Qur’an yang pertamakali diturunkan, yakni firman Allah “bacalah”. Dan menurut al‐Albani, tambahan seperti itu mengandung dua ‘illat (cacat) sekaligus. Pertama, Mu’ammar meriwayatkannya sendirian tampa Yunus dan ‘Aqil. Riwayat seperti ini jelas kontorversial. Kedua, riwayat itu mursal dan tidak maushul sehingga tida bisa dijadikan sebagai hujjah. Secara makna, tambahan tersebut dianggap kabur karena bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallama yang berpredikat ma’shum, tidak layak menjatuhkan diri dari atas gunung, apa pun persoalan yang beliau hadapi (al‐Albani, Difa’ min al‐Hadits an‐ Nabawi wa as‐Sirah, hal. 41; dan Silisalah al‐Ahadits adh‐Dha’ifah, no. 4858).



Maka, menurut hemat kami, masa fatrah tidaklah berlangsung terlalu lama. Di luar hiruk‐pikuk masalah masa fatrah ini, sebenarnya kaitan yang kami maksud dengan surah al‐Qalam adalah isi surah ini yang sudah bernada mengancam sejak awal‐awal ayatnya. Jika masa fatrah hanya beberapa hari, atau maksimal dalam hitungan bulan, maka isi surah al‐ Qalam menjadi sukar dimengerti logika sejarahnya. Catatan‐catatan sirah nabawiyah sendiri membuktikan bahwa sampai 3 tahun setelah turunnya Iqra' adalah periode da'wah sirriyyah (dakwah tersembunyi). Rasulullah hanya menyeru orang‐orang yang sudah sangat beliau kenal dan diperkirakan tidak akan menolak atau menimbulkan gejolak besar di tengah‐tengah masyarakat Quraisy. Pada masa ini, beliau dan para 82



Sahabat mengerjakan shalat secara sembunyi‐sembunyi di celah‐celah bukit (syi’ib) di sekitar Makkah, menjauh dari pemukiman penduduk. Kisah terpergoknya beliau yang sedang shalat bersama 'Ali oleh Abu Thalib, sudah terkenal. Demikian pula kisah Sa’ad bin Abi Waqqash yang memukul kepala salah seorang kafir Quraisy dengan rahang bangkai keledai sehingga membunuhnya.21 Walau berita masalah dakwah beliau ini sudah mulai menyebar, dan sebagian masyarakat Quraisy mengetahui kegiatan beliau, mereka tidak menentang dan hanya menganggapnya sebagai pengikut kaum hanif – atau kaum shabi'ah (murtad dari agama leluhur) menurut mereka – sebagaimana Zaid bin 'Amr bin Nufail dan kawan‐kawannya. Dakwah beliau baru dimusuhi setelah ada kecaman terhadap berhala‐berhala Quraisy serta keyakinan leluhurnya, dan itu tidak mungkin terjadi sebelum tahun ke‐3 kenabian. Jika kita memilih masa fatrah berlangsung hanya sebentar, maka demikianlah konsekuensinya. Yakni, al‐Qalam tidak mungkin sebagai wahyu kedua setelah al‐'Alaq 1‐5. Sebaliknya, jika kita menguatkan 3 tahun masa fatrah, maka konteks ayat‐ayat yang keras dalam al‐Qalam pun menemukan tempatnya yang jelas dalam perspektif sirah nabawiyah. Setelah masa tiga tahun pertama itu memang suasana dakwah menjadi semakin keras dan penuh permusuhan. Wallahu a'lam.



Kedudukan al‐Qalam dalam Tartib Nuzuli Posisi surah al‐Qalam ini – sepanjang yang kami temukan – memang mendapatkan kritik paling luas dan rinci. Kami sendiri menangkap kesan bahwa surah ini tidak benar‐benar "sah" dalam kedudukannya sebagai wahyu kedua. Kritik yang luas ini menunjukkan banyaknya ketidaksepakatan, minimal mengindikasikan adanya celah nyata yang sukar diterima. Dalam konteks al‐Qalam ini, baik secara naqli (riwayat) maupun ‘aqli (penalaran), terkesan banyak kelemahan di dalam penempatannya. Untuk dimaklumi, menurut Dr. Subhi as‐Shalih, dalam Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, hal. 180‐181, bahwa penentuan tartib nuzuli lebih banyak berdasar ijtihad ‘aqli, bukan dalil naqli. Para ulama’ menentukan – berlandaskan kepada berbagai riwayat dan isnad – surah‐surah Makkiyah dan Madaniyah, kemudian meletakkannya sesuai dengan urutan turunnya … dalam hal‐hal semacam inilah para ulama’ saling berlomba untuk menunjukkan dalil dan argumen, dimana argumen‐argumen tersebut lebih merupakan ijtihad dibanding menukil riwayat (dalil) … bukan kepentingan para ulama’ untuk memutuskan secara pasti dan yakin dalam masalah yang sangat penting seperti yang terkait dengan tata‐urutan wahyu al‐Qur’an. Akan tetapi, sudah cukup bagi mereka untuk berusaha – sebagaimana yang dilakukan al‐Wahidi – melakukan tarjih suatu (riwayat) atas (riwayat) yang lain. (Dan ketika) ketidaktahuan tidaklah selalu menyelesaikan secara pasti segala urusan, maka tarjih saja sudah cukup untuk menghasilkan suatu ilmu dan pengetahuan. Tidaklah menjadi tujuan kami untuk membela al‐Wahidi, 21



Silakan periksa uraian peristiwanya dalam Sirah Ibnu Hisyam II/86; Tarikh ath‐ Thabari I/541 dan as‐Sirah al‐Halabiyyah I/456.



83



namun untuk mengingatkan bahwa sebagian besar pengetahuan kita terhadap bagian‐bagian Makkiyah dan Madaniyah pada akhirnya harus bersandar kepada ijtihad”.



Dalam terjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an XI/377‐378, pada Pengantar tasir surah al‐Qalam, Sayyid Quthb menulis argumen panjang, yang intinya meragukan posisi tartib nuzuli surah ini. Rasanya tidak mungkin menentukan tanggal turunnya surah ini, baik bagian permulaannya saja maupun keseluruhannya. Sebagaimana tidak mungkinnya dipastikan bahwa bagian permulaan lebih dahulu diturunkan, kemudian disusul bagian‐bagian berikutnya. Jiga tidak mungkin dapat ditarjihkan kemungkinan‐kemungkinan ini. Karena bagian permulaan dan bagian akhir surah membicarakan hal yang sama, yaitu terus‐menerusnya orang‐orang kafir mengata‐ngatai Nabi Muhammad SAW dan mengatakannya gila. Riwayat‐riwayat yang mengatakan bahwa surah ini merupakan surah yang turunnya menempati urutan kedua sesudah surah al‐‘Alaq memang banyak jumlahnya, dan diantara yang disepakati di dalam urutan mushaf yang berbeda‐beda bahwa ia adalah surah kedua. Akan tetapi, konteks surah, temanya dan metode penyampaiannya menjadikan kami menguatkan pendapat lain. Sehingga, hampir jelas bahwa ia turun setelah masa senggangnya dakwah umum, yang datang setelah sekitar tiga belas tahun dakwah fardiyah ‘secara individual’, yang pada waktu itu kaum Quraisy menolak dan memerangi dakwah ini. Sehingga, mereka mengata‐ngatai Rasulullah dengan perkataan yang buruk itu. Lalu, al‐ Qur’an menolak dan menyanggahnya, dan mengancam orang‐orang yang memusuhi dakwah dengan ancaman yang disebutkan dalam surah ini. Kemungkinan, permulaan surah ini turun lebih awal secara tersendiri sesudah turunnya surah al‐‘Alaq. Adapun kegilaan yang ditiadakan di dalamnya (ayat 2), “Berkat nikmat Tuhanmu, kamu (Muhammad) sekali‐ kali bukan orang gila,” itu datang sesuai dengan apa yang dikhawatirkan Nabi SAW atas dirinya pada awal turunnya wahyu semoga yang demikian itu bukan kegilaan yang menimpanya … maka kemungkinan ini sangat lemah. Pasalnya, mengenai kekhawatiran seperti ini sendiri tidak terdapat riwayatnya yang jelas. Karena konteks surah menunjukkan bahwa penyanggahan ini adalah terhadap apa yang disebutkan dalam firman Allah pada bagian akhir surah ini. “Sesungguhnya orang‐orang kafir itu benar‐benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar al‐Qur’an dan mereka berkata, ‘Sesungguhnya ia (Muhammad) benar‐benar orang yang gila’.” (al‐ Qalam: 51). Maka, hal inilah yang dinafikan (ditiadakan) di dalam pembukaan surah ini, sebagaimana yang akan segera ditangkap oleh orang yang membaca seluruh rangkaian surah ini. Demikian pula dengan riwayat‐riwayat yang menyebutkan bahwa di dalam surah ini terdapat beberapa ayat Madaniyah dari ayat 17 hingga ayat 33. Yaitu, ayat‐ayat yang membicarakan kisah para pemilik kebun beserta cobaan yang menimpa mereka. Juga ayat 42 hingga ayat 50 yang membicarakan kisah Nabi Yunus yang berada di dalam perut ikan … kami



84



menganggap kemungkinan ini sebagai kemungkinan yang jauh, dan kami berkeyakinan bahwa surah ini secara keseluruhan adalah Makkiyah, karena ciri kemakkiyahan ayat‐ayatnya sangat mendalam. Hal ini sangat relevan karena kesesuaian tema‐temanya dengan kondisi yang dihadapinya saat surah ini turun. Menurut hemat kami, surah ini bukanlah surah kedua dalam urutan turunnya. Ia turun sesudah masa diutusnya Nabi SAW dan diperintahkannya beliau melakukan dakwah secara umum, dan sesudah turunnya firman Allah. “Dan berilah peringatan kepada kerabat‐ kerabatmu yang terdekat.” (as‐Syu’ara’: 214). Juga setelah turunnya sebagian al‐Qur’an yang memuat kisah‐kisah dan informasi‐informasi orang‐orang dahulu yang mereka komentari dengan mengatakan. “…(Ini adalah) dongeng‐dongengan orang‐orang dahulu kala.” (al‐Qalam: 15). Dan, juga setelah kaum Quraisy secara keseluruhan diseru kepada Islam, lantas mereka menolak seruan ini dengan melontarkan tuduhan‐tuduhan batil dan peperangan yang sengit. Sehingga, diperlukan sikap yang tegas terhadap orang‐orang yang mendustakan ayat‐ayat Allah sebagaimana disebutkan di dalam surah ini, juga ancaman yang berat pada bagian permulaan dan bagian akhir surah ini pula. Pemandangan di bagian akhir surah ini juga mengesankan hal itu. “Sesungguhnya orang‐orang kafir itu benar‐benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar al‐Qur’an dan mereka berkata, ‘Sesungguhnya ia (Muhammad) benar‐benar orang yang gila’.” (al‐ Qalam: 51). Nah, ini adalah pemandangan tentang dakwah umum terhadap kelompok‐kelompok besar, sedang pada permulaan dakwah keadaan tidak demikian. Karena, dakwah pada permulaan itu hanya ditujukan kepada individu dengan metode yang sesuai dengan masing‐masing individu pula, dan tidak disampaikan kepada orang‐orang kafir secara keseluruhan. Hal ini tidak pernah terjadi, sebagaimana disebutkan dalam riwayat‐riwayat yang kuat, melainkan sesudah tiga tahun sejak dimulainya dakwah. Surah ini juga mengisyaratkan bagaimana kaum musyrikin berusaha menemui Nabi SAW di tengah jalan dan berlunak‐lunak untuk saling merelakan dalam persoalan yang mereka bertentangan dengan beliau dalam hal ini, yaitu persoalan akidah. “Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (al‐ Qalam: 9). Jelaslah bahwa usaha semacam ini tidak mungkin terjadi kalau dakwah itu dilakukan secara individual (orang perorang), dan tidak ada urgensinya. Maka, usaha semacam ini dilakukan setelah dakwah dilakukan secara terang‐terangan dan kaum musyrikin merasa terancam olehnya. Demikianlah banyaknya saksi atau bukti yang menunjukkan bahwa surah ini turun pada masa belakangan sesudah masa‐masa permulaan dakwah, yaitu terdapat tenggang waktu sekitar tiga tahun atau lebih antara permulaan dakwah dengan turunnya surah ini. Tidak masuk akal selama tiga tahun tidak ayat al‐Qur’an yang turun. Sudah tentu pada masa‐masa



85



itu terdapat banyak surah al‐Qur’an yang turun, dan ada beberapa bagian dari surah‐surah itu yang turun pada masa tersebut, yang membicarakan masalah akidah dengan tanpa ada serangan yang sengit dari orang‐orang yang mendustakannya seperti yang disebutkan dalam surah ini sejak bagian permulaan. Akan tetapi, hal ini tidak menutup kemungkinan surah ini dan surah al‐ Muddatstsir serta al‐Muzzammil turun pada masa‐masa permulaan dakwah, meskipun bukan yang pertama kali turun sebagaimana disebutkan dalam mushaf‐mushaf, dengan alasan‐alasan yang sudah kami sebutkan disini. Hal ini juga hampir berlaku bagi surah al‐ Muzzammil dan al‐Muddatstsir.



Kritik Sayyid Quthb demikian jelas, sehingga tak diperlukan ulasan dan penjelasan. Keberatan diatas berlandaskan pertimbangan rasional, dan tidak karena adanya riwayat tertentu. Sejauh ini, kita telah mendapati dua fakta sekaligus. Pertama, diragukannya riwayat dua atau tiga tahun masa fatrah. Kedua, diragukannya kedudukan surah al‐Qalam sebagai wahyu kedua setelah al‐‘Alaq. Dalam catatan kaki untuk pernyataan “setelah berhenti beberapa waktu, wahyu pertama yang turun ialah surah al‐Muddatstsir ayat 1‐5”, penulis buku Seleksi Sirah Nabawiyah menunjukkan sumber acuannya: Muttafaq ‘alaih (Fathu al‐Bari, VIII/678‐679, I/27 dan II/433‐434) dan Shahih Muslim, I/143.



Sebagaimana dimaklumi, kualitas riwayat dalam kedua kitab itu menempati peringkat tertinggi, dimana tingkat keotentikannya diakui setingkat di bawah al‐Qur’an. Hanya dengan dimuat pada salah satunya saja sudah cukup untuk meyakinkan kita tentang kekuatan hujjah‐nya, apalagi jika berstatus muttafaq ‘alaih (disepakati oleh kedua Imam tersebut). Namun, sebelum kami lanjutkan, dan demi memperoleh penilaian yang adil serta berimbang, ada baiknya kami paparkan riwayat yang menyatakan "al‐Qalam sebagai wahyu kedua", juga data‐data lain yang sejalan dengannya.



Riwayat "Al‐Qalam sebagai Wahyu Kedua" Terdapat beberapa riwayat yang intinya mendukung posisi al‐Qalam sebagai wahyu kedua. Dalam kitab ad‐Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, karya as‐Suyuthi VIII/580 dst, ada tiga riwayat yang disebutkan penulisnya. Sayang, beliau samasekali tak memberi keterangan lebih lanjut tentang kualitas isnad‐nya. (Riwayat pertama) Ibnu Abi Syaibah, ‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir (ath‐ Thabari), dan Ibnul Mundzir yang mengeluarkan hadits dari Mujahid, dia berkata: “Wahyu yang pertama kali diturunkan dari al‐Qur’an adalah Iqra’ bismi rabbika, kemudian Nun wal qalami.”



86



(Riwayat kedua) Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan hadits dari ‘Ubaid bin ‘Umair, dia berkata: “Wahyu yang pertama kali diturunkan dari al‐ Qur’an adalah Iqra’ bismi rabbikal‐ladzi khalaq, kemudian Nun.” (Riwayat ketiga) Ibnu ad‐Daf’ mengeluarkan hadits dalam kitabnya al‐ Mashahif, bersumber dari ‘Aisyah, dia berkata: “Wahyu yang pertamakali diturunkan kepada beliau (Rasulullah SAW) setelah Iqra’ bismi rabbika adalah Nun wal Qalam, lalu Ya ayyuhal muddatstsir, dan adh‐Dhuha.”



Kami mencoba menelusuri secara langsung kepada sumber‐sumber yang beliau rujuk, yakni Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Musnad 'Abd bin Humaid dan Tafsir ath‐Thabari. Riwayat‐riwayat tersebut dapat ditemukan dalam Tafsir ath‐Thabari dan Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, namun tidak kami dapati dalam Musnad 'Abd bin Humaid. Mungkin penelusuran kami yang kurang cermat, atau beliau mengutipnya dari sumber lain yang tidak kami ketahui. Kami juga mencoba menganalisa sanad‐nya. Riwayat pertama tersebut dicantumkan dalam Tafsir ath‐Thabari XXX/251‐252 dalam penafsiran surah al‐'Alaq, dengan sanad: Ahmad bin 'Utsman al‐Bashry, dari Wahb bin Jarir, dari ayahnya (Jarir bin Hazim), dari an‐Nu'man bin Rasyid, dari az‐Zuhri, dari 'Urwah, dari 'Aisyah: dia berkata, dst.22 Teks haditsnya sangat panjang, sehingga tidak kami cantumkan disini. Secara umum, riwayat ini berbicara tentang bagaimana awal mula turunnya wahyu kepada Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam, dan meneguhkan bahwa al‐'Alaq 1‐5 adalah wahyu pertama. Di dalamnya ada juga uraian tentang dukungan Khadijah radhiya‐llahu 'anha kepada Nabi yang mengkhawatirkan dirinya sendiri di awal‐awal pertemuan beliau dengan Jibril. Ada pula riwayat tentang keinginan beliau untuk menjatuhkan diri dari gunung, karena nyaris putus asa.23 Di akhir kisah, setelah menyebut‐nyebut pertemuan beliau dengan Waraqah bin Naufal, ada tambahan: "… kemudian wahyu yang pertamakali diturunkan kepadaku setelah Iqra' adalah Nuun wal Qalami – beliau menyebutkan sampai – fa‐satubshiru wa yubshiruun (ayat ke‐5), dan Ya ayyuhal muddatstsir qum fa andzir, dan wadh‐dhuha wal‐laili idza sajaa."



Imam Ibnu Jarir ath‐Thabari juga mencantumkan kembali riwayat ini dalam Tarikh I/531. Secara umum teks utamanya serupa dengan apa yang ada dalam tafsir beliau, disamping sumbernya yang juga sama. Melihat redaksinya, tambahan diatas masih dinisbatkan kepada 22



Sebagai informasi tambahan, Ahmad bin ‘Utsman bin Abi ‘Utsman al‐Bashry adalah perawi tsiqah, termasuk jajaran perawi Muslim, at‐Tirmidzi dan an‐Nasai (Tahdzib al‐Kamaal I/406‐407). Wahb bin Jarir bin Hazim al‐Azdy adalah perawi tsiqah, shaduuq dan shaalihul hadits (al‐Jarh wat‐Ta’dil IX/28), demikian juga ayahnya, Jarir bin Hazim (Siyaru A’lami an‐Nubala’ VII/98‐103). Adapun an‐Nu’man bin Rasyid, dia dikritik banyak pakar dan menjadi sumber kelemahan sanad riwayat ini. Sedangkan tiga orang selebihnya, yakni Ibnu Syihab az‐Zuhri, ‘Urwah bin az‐ Zubair dan ummul mu’minin ‘Aisyah, kiranya tidak perlu diperkenalkan secara khusus karena sudah tidak asing lagi. 23 Tambahan semacam inilah yang dinilai mursal dan dha'if atau mengandung 'illat (cacat) menurut para ahli hadits, sebagaimana akan kita saksikan nanti.



87



Rasulullah sendiri, sehingga tampak jelas bahwa urutan wahyu adalah: al‐'Alaq, disusul al‐Qalam, kemudian al‐Muddatstsir dan adh‐Dhuha. Namun, tambahan diatas tidak dikuatkan oleh riwayat lain yang disebutkan Ibnu Jarir sendiri setelah riwayat ini, baik dalam kitab Tafsir maupun Tarikh‐nya, meskipun sama‐sama bersumber dari 'Aisyah lewat jalur lain, yakni: Yunus, dari Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Ibnu Syihab, dari 'Urwah, dari 'Aisyah.24 Matan (teks) riwayat ini sama dengan sebelumnya, hanya saja "dia tidak mengatakan 'kemudian yang pertamakali turun kepadaku dari al‐Qur'an (setelah itu)' dan seterusnya". Dengan kata lain, tambahan tersebut hanya diriwayatkan oleh an‐Nu'man bin Rasyid dari az‐Zuhri, karena murid‐murid az‐Zuhri yang lain tidak menyebutkannya. Dalam disiplin Ilmu Hadits (lihat: at‐ Taqrib wat‐Taysir, hal. 86), ini disebut gharib (asing) dari segi tambahan (ziyadah) atas matan‐nya. Riwayat gharib adakalanya shahih, hasan, atau dha'if, tergantung perawi maupun isi matan‐nya. Dalam kasus diatas, statusnya adalah dha'if, baik karena perawinya yang kurang kredibel maupun tambahan matan‐nya yang mengandung 'illat (cacat), sebagaimana dikatakan Syekh al‐Albani dimuka. An‐Nu'man bin Rasyid yang disebutkan dalam riwayat Ibnu Jarir ini adalah perawi yang tidak dipercaya oleh para kritikus hadits. Meskipun menurut sebagian riwayat ia sebenarnya jujur (shaduuq), namun hafalannya sangat buruk. Dia bekas budak Bani Umayyah dan salah seorang murid az‐Zuhri. Tentang dirinya, Yahya bin Sa'id al‐Qaththan menilainya sangat lemah (fa‐dha'afahu jiddan), sedang Ahmad bin Hanbal melihat hadits‐haditsnya mudhtharib dan ia banyak meriwayatkan hadits munkar. Yahya bin Ma'in menganggapnya perawi lemah (dha'if) dan tidak dianggap apa‐apa (laisa bi‐syai'in). Sementara itu, an‐Nasai menilainya lemah (dha'if) banyak keliru (katsirul ghalath), dan hadits‐haditsnya acap terbolak‐balik atau saling tertukar (maqluubah).25 Dalam disiplin Ilmu Hadits (al‐Kifayah, hal. 105‐107), jika penilaian yang melemahkan kredibilitas (al‐jarh) atas seorang perawi disebutkan sebab‐ sebabnya, maka penilaian itu lebih kuat dibanding orang yang menguatkan kredibilitasnya (at‐ta'dil). Untuk kasus an‐Nu'man ini, kiranya sudah sangat jelas mengapa ia dilemahkan oleh para kritikus hadits. Terlebih, perawi ini pun dinilai banyak salahnya (katsirul ghalath) dalam menyampaikan riwayat, hingga makin memperparah kelemahannya. Hadits dari perawi yang banyak salahnya semacam ini disebut matruk (lihat: Minhatul Mughits, hal. 26). Kesimpulannya, sanad riwayat Ibnu Jarir ath‐Thabari ini lemah (dha'if), demikian juga matan tambahan di dalamnya yang berasal dari perawi 24



Keseluruhan perawi dalam rangkaian sanad ini terpercaya (tsiqah). Yunus yang disebut pertama adalah Yunus bin ‘Abdil A’la (al‐Jarh wat‐Ta’dil IX/243). Yang dimaksud Ibnu Wahb adalah ‘Abdullah bin Wahb al‐Mishry (al‐Jarh wat‐Ta’dil V/189). Sedang Yunus kedua adalah Yunus bin Yazid bin Abi an‐Najjad (Siyaru A’lami an‐Nubala’ VI/297‐301). 25 Disarikan dari: Taqrib at‐Tahdzib I/564; al‐Jarh wat‐Ta'dil VIII/448; al‐Kamil fi Dhu'afa' ar‐Rijal VII/13; al‐Kasyif II/323; Tahdzibul Kamal XXIX/445‐448.



88



kontroversial. Adapun matan sebelum itu adalah shahih yang dapat dirujukkan kepada riwayat‐riwayat shahih lainnya, seperti dalam ash‐ Shahihain. Jika riwayat dha'if tentang "al‐Qalam sebagai wahyu kedua" ini dipersandingkan dengan riwayat shahih tentang "al‐Muddatsir sebagai wahyu kedua", tentu saja yang dha'if tidak bisa mengalahkan hujjah dari yang shahih. Dengan kata lain, riwayat penurunan al‐Qalam yang seperti ini dianggap "gugur". Riwayat ini tidak berhasil melampaui standar kritik hadits yang lebih ketat, disebabkan rangkaian sanad yang mentransmisikannya mengandung cacat yang tidak bisa ditolelir. Jalan untuk menguatkannya dengan menggunakan pendukung (syawahid) dari riwayat lain juga kurang meyakinkan, sebab riwayat‐riwayat lain tersebut juga mengandung masalahnya sendiri‐sendiri, sebagaimana yang akan kita kupas satu persatu. Selain riwayat diatas, Ibnu Jarir juga mengutip tiga riwayat lain tentang "al‐Qalam sebagai wahyu kedua setelah al‐'Alaq", yang seluruhnya bersumber dari Mujahid. Artinya, ini merupakan ijtihad generasi Tabi'in yang tidak akan lebih kuat dibanding hadits yang marfu' dari Rasulullah atau para Sahabat. Statusnya adalah mursal. Sebagaimana sudah sering kami singgung, bahwa masalah tartib nuzuli kebanyakan merupakan ijtihad, dan Mujahid adalah ulama' generasi Tabi'in yang menukil pendapat tersebut dari ijtihadnya sendiri, walau ada kemungkinan beliau menukilnya dari gurunya, Ibnu ‘Abbas. Dalam bagian selanjutnya kami akan memaparkan bahwa ijtihad Mujahid ini dapat dikesampingkan oleh adanya riwayat yang lebih kuat dari Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam. Riwayat yang bersumber dari Mujahid juga disebutkan Ibnu Abi Syaibah (w. 235 H), dalam al‐ Mushannaf VI/147 hadits no. 30217, dengan sanad: Waki', dari Sufyan, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid.26 Riwayat kedua diatas, dicantumkan Ibnu Abi Syaibah sebagai hadits no. 30219 dalam al‐Mushannaf VI/147; juga dalam VII/254 hadits no. 35814, dengan sanad: Waki', dari Syu'bah, dari 'Amr bin Dinar, dari 'Ubaid bin 'Umair.27 Di tempat yang sama, pada hadits no. 35813, riwayat ini 26



Untuk dipertimbangkan, Waki’ bin al‐Jarrah adalah perawi tsiqah dan tsabat (Al‐ Jarh wat‐Ta’dil IX/37‐38; Tahdzib at‐Tahdzib XI/109‐114). Yang dimaksud Sufyan disini adalah Sufyan bin Sa’id bin Masruq ats‐Tsauri, seorang ulama’ besar dan terpercaya. Antara Waki’ dan Sufyan, keduanya saling meriwayatkan satu sama lain, walau Sufyan sendiri lebih senior dan merupakan guru dari Waki’ (Al‐Jarh wat‐Ta’dil IV/222‐224). Ibnu Abi Najih, namanya sendiri adalah ‘Abdullah, sedangkan nama asli ayahnya adalah Yasar. Keduanya dinilai tsiqah. Yasar adalah bekas budak al‐Akhnas bin Syariq dari Bani Tsaqif (Siyaru A’lami an‐Nubala’ VI/125‐126; at‐Tarikh al‐Kabir VIII/420; al‐Jarh wat‐Ta’dil IX/306). Sedangkan Mujahid, beliau adalah murid Ibnu ‘Abbas, dan riwayatnya sudah sangat dikenal. 27 Sebagai tambahan informasi, Syu’bah bin al‐Hajjaj bin al‐Ward adalah ulama’ Bashrah yang digelari amirul mu’minin fil‐hadits, sehingga kredibilitasnya tidak perlu diragukan lagi (Siyaru A’lami an‐Nubala’ VII/202‐228). Untuk Waki’, sudah disebutkan pada catatan kaki sebelum ini. ‘Amr bin Dinar adalah seorang hafizh dan imam besar, lahir tahun 45 atau 46 hijriyah di zaman kekhilafahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan (Siyaru A’lami an‐Nubala’ V/300‐307).



89



diulang dengan awal sanad Hasyim bin al‐Qasim28 sebagai ganti Waki', yang juga bersumber dari 'Ubaid bin 'Umair. 'Ubaid bin 'Umair adalah seorang Tabi'in Senior yang dilahirkan pada zaman Nabi masih hidup, bahkan kemungkinan besar pernah bertemu sebelum Nabi wafat. Beliau belajar dari 'Umar bin al‐Khaththab dan putranya 'Abdullah bin 'Umar, 'Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya sendiri ('Umair bin Qatadah al‐Laitsi), dan banyak Sahabat lainnya radhiya‐llahu 'anhum. Namun, beliau lebih dulu wafat sebelum Ibnu 'Umar, yakni tahun 68 H. Ada yang mengatakan wafatnya tahun 74 H. Menurut Yahya bin Ma'in dan Abu Zur'ah, 'Ubaid adalah bisa dipercaya (tsiqah). Menurut al‐'Ajali, beliau adalah seorang Tabi'in Makkah yang tsiqah, termasuk Tabi'in Senior (kibaru at‐tabi'in). Bahkan menurut Ibnu Hajar, beliau disepakati (ijma') atas ke‐tsiqah‐annya. Kata Mujahid, beliau adalah satu diantara 4 tokoh Tabi'in yang patut dibanggakan. Beliau adalah pembawa kisah di tengah‐tengah penduduk Makkah.29 Hanya saja, sebagaimana halnya dengan pendapat Mujahid diatas, riwayat ini pun ijtihad generasi Tabi'in. Statusnya mursal, terhenti hanya sampai generasi mereka, tanpa penjelasan nama Sahabat yang menjadi narasumber berita. Tentu saja kami tidak memilihnya. Disamping karena Imam as‐Suyuthi sendiri tidak berkomentar apa‐apa terhadap riwayat yang dinukilnya, ternyata ada sumber lain yang lebih kuat yang berbeda dengannya, yakni ash‐Shahihain.



Riwayat Lain Asbabun Nuzul al‐Qalam Ada sebuah riwayat lain yang unik, dimana di dalamnya dituturkan kisah awal mula turunnya wahyu, terutama terkait suasana hati Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam yang belum tenang. Namun, kisah ini menyebutkan sesuatu yang tidak lazim, yang terdapat dalam as‐Sirah al‐ Halabiyyah I/393‐394. Dalam sebagian riwayat disebutkan, bahwa sebelum Khadijah pergi bersama Rasulullah menemui Waraqah bin Naufal, dia terlebih dahulu telah pergi menemui 'Addas, seorang Nasrani yang berasal dari Niniveh, kampung halaman Nabi Yunus 'alaihis salam. Khadijah berkata kepadanya, "Wahai 'Addas, aku ingatkan engkau terhadap Allah (maksudnya, jangan bohong), kecuali apa‐apa yang engkau beritahukan kepadaku. Adakah engkau punya sesuatu pengetahuan tentang Jibril?" Maksudnya, sesungguhnya nama (Jibril) ini tidak dikenal di Makkah, demikian juga di tempat‐tempat lainnya di tanah Arab, sebagaimana sudah dibahas di muka. 28



Hasyim bin al‐Qasim Abu an‐Nadhr, yang digelari Qayshar (Kaisar), adalah perawi tsiqah dan termasuk perawi yang mutatsabbit di Baghdad pada zamannya. Termasuk deretan guru dari para ulama’ ahli hadits terkenal, seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, ‘Ali bin al‐Madini, Yahya bin Ma’in, Abu Khaytsamah dan Abu Bakr bin Abi Syaibah (perawi hadits diatas). Lahir tahun 134 H di Khurasan dan wafat tahun 207 H di Baghdad (at‐Tarikh al‐Kabir VIII/235; al‐Jarh wat‐Ta’dil IX/105; Tahdzibu at‐Tahdzib XI/18). 29 Disarikan dari: Taqribut Tahdzib I/377; al‐Kasyif I/691; Tahdzibul Kamal XIX/223‐ 224; at‐Tarikh al‐Kabir V/455; al‐Jarh wat‐Ta'dil V/409; Tahdzibut Tahdzib VII/65.



90



Maka, 'Addas pun berkata, "Qudduus! Qudduus! Ada urusan apa (nama) Jibril disebut‐sebut di negeri ini, padahal penghuninya adalah para penyembah berhala?" Maksudnya, demi Dzat Maha Suci yang terbebas dari segala aib. Kalimat ini diucapkan sebagai ekspresi keheranan, seperti sudah disebutkan sebelumnya. Khadijah melanjutkan, "Beritahu saya, apa yang engkau ketahui tentang dia?" 'Addas menjawab, "Dia (Jibril) adalah Amiinu‐llah (kepercayaan Allah), (sebagai perantara) antara Dia dan para Nabi, dan dia adalah pendamping Musa 'alaihis salam." Dalam hal ini, akan ada pembahasan tentang kepergian Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam ke Thaif pasca kematian Abu Thalib untuk mengusahakan keislaman kaum Tsaqif, dimana di dalamnya disebutkan pertemua beliau dengan 'Addas yang sudah disebutkan ini. Akan tetapi, ('Addas yang disebutkan) dalam kisah itu sangat amat jauh (yab'udu ma'ahu kulla al‐bu'di) dengan 'Addas yang ada disini. Coba Anda renungkan juga. Saya lihat, 'Addas yang disebutkan disini adalah seorang rahib (pendeta) yang sudah sangat tua, bahkan sebegitu tuanya dia sampai bulu alisnya tumbuh memanjang hingga menutupi kedua matanya. Khadijah menyapanya, "Pagi yang indah, hai 'Addas!" dan dia menyahut, "Sepertinya ini ucapan dari Khadijah, tokoh terhormat dari kalangan wanita Quraisy?" "Ya, benar," jawab Khadijah. 'Addas kemudian berkata, "Mendekatlah kemari, karena pendengaranku sudah payah (fa‐qad tsaqula sam'ie)." Maka Khadijah pun mendekat, dan menceritakan perihal yang telah kami kutipkan sebelum ini. Hal ini akan tampak lebih jelas dalam masalah 'Addas yang akan kami tuturkan sebentar lagi, bahwa keduanya hanyalah dua individu (berbeda) namun memiliki nama yang sama, dan bahwasannya mereka berdua sama‐sama budak milik 'Utbah bin Rabi'ah. Dalam riwayat (kalam) yang disebutkan Ibnu Dihyah, 'Addas adalah seorang budak milik 'Utbah bin Rabi'ah yang berasal dari Niniveh dan mengetahui sesuatu dari Al‐Kitab. Khadijah mengirim seorang utusan kepadanya untuk bertanya tentang Jibril, yang kemudian 'Addas berkata, "Qudduus! Qudduus!", dan seterusnya seperti dalam hadits. Jelas bahwa ini adalah kesalahpahaman serta kerancuan (isytibaah) dari sebagian perawi, tidak diragukan lagi. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa 'Addas yang ini berkata kepada Khadijah, "Wahai Khadijah, sangat boleh jadi syetan menampakkan dirinya kepada seseorang kemudian memperlihatkan kepadanya perkara‐ perkara (ajaib). Maka dari itu, ambil Kitabku ini dan pulanglah menemui suamimu. Jika dia gila (majnun, kesurupan jin), niscaya akan hilang darinya. Jika itu dari Allah, maka …" Khadijah pun pulang dengan membawa Kitab itu. Tatkala masuk rumahnya, didapatinya Rasulullah tengah bersama Jibril yang membacakan ayat‐ayat ini, "Nuun. Wal qalami wa ma yasthurun. Ma anta bi‐ni'mati Rabbika bi majnun. Wa inna laka (la‐ajran ghaira) mamnun. Wa innaka la‐'ala khuluqin 'azhim. Fa‐satubshiru wa yubshirun. Bi‐ayyikumul maftun." Ketika Khadijah mendengar bacaannya, dia pun sangat melonjak kegirangan, dan berkata kepada



91



Nabi shalla‐llahu 'alaihi wa sallam, "Ayah ibuku menjadi tebusanmu! Ayo ikut denganku menemui 'Addas!" Saat 'Addas melihat beliau, maka dia segera menyingkap punggung beliau dan mendapati stempel kenabian (khatam an‐nubuwwah) tertera diantara dua tulang belikat beliau. 'Addas pun tersungkur sujud demi melihat tanda kenabian itu, seraya berkata, "Qudduus! Qudduus! Engkau ini, demi Allah, sungguh Nabi yang diberitakan oleh Musa!" – dan seterusnya hadits itu. Dalam hal ini, jika benar terjadi sebelum kepergian Khadijah bersama Rasulullah kepada (Waraqah), maka turunnya surah Nuun adalah sebelum surah Iqra'. Itu tidak sejalan dengan jawaban Rasulullah kepada Jibril (di Gua Hira'), "ma ana bi‐qaari' (saya tidak bisa membaca)", sebab dari sini tampak jelas bahwa beliau belum pernah membaca apapun sebelumnya. Dari situ pula diketahui bahwa yang paling masyhur adalah Iqra' turun sebagai wahyu pertama. Fakta bahwa surah Nuun diturunkan oleh asbabub nuzul ini juga bertentangan dengan apa yang disebutkan bahwa ia turun berkenaan dengan kaum musyrikin yang menyifati beliau sebagai gila (majnun), kecuali jika ada pendapat lain bahwa tidak ada salahnya (surah ini) termasuk turun lebih dari sekali.



Menurut kami, riwayat‐riwayat ini memuat sangat banyak kontradiksi dan ketidakjelasan di dalam dirinya sendiri. Fakta‐fakta yang diuraikannya saling bertentangan dan tidak konsisten, sehingga penulisnya nyaris kesulitan memastikan apapun selain menyebutkan deretan riwayat yang saling kontradiktif itu. Jika riwayat ini harus diterima dan kemudian dirangkai dengan sirah, maka akan ditemukan banyak dilema pelik. Unsur‐unsur sejenis ini dekat dengan apa yang diistilahkan sebagai idhthirab atau mudhtharib dalam Ilmu Hadits. Secara harfiah, istilah itu berarti "bergoyang terus" atau "tidak mantap", yang dalam praktiknya mengacu kepada suatu riwayat yang tidak mungkin diterima apalagi dijadikan hujjah (dasar argumen) disebabkan adanya kontradiksi parah yang tidak mungkin dikompromikan. Tinjauan Langsung terhadap Kandungan Surah al‐Qalam Hampir seluruh kritik dan pemaparan di muka, berpijak kepada fakta‐ fakta eksternal, yakni analisis atas riwayat‐riwayat asbab nuzul maupun masalah lain yang berkaitan dengan penurunan surah al‐Qalam. Sebagaimana dimaklumi, ada cara lain untuk menentukan kekuatan sebuah riwayat selain kritik terhadap sanad‐nya. Disini, kami tidak hendak mengkritik matan (teks) riwayat‐riwayat tersebut, akan tetapi meneliti secara langsung isi kandungan surah al‐Qalam sendiri, dilengkapi dengan uraian dari tafsir‐tafsir yang mu'tabar (kredibel). Menurut kami, isi al‐Qalam sangat berbeda dengan al‐‘Alaq. Dalam sirah, masa setelah al‐‘Alaq adalah periode dakwah tersembunyi, dimana tidak ada penentangan terbuka dari Quraisy. Padahal, sejak awal surah ini sudah berbicara tentang dahsyatnya pendiskreditan Quraisy terhadap pribadi Rasulullah, yang menurut Sirah, baru muncul setelah beliau berdakwah terang‐terangan dan mengecam kepercayaan maupun berhala kaumnya. 92



Pada ayat kedua, dengan jelas turun bantahan Allah terhadap gelar yang berusaha disematkan musyrikin Quraisy kepada beliau, "Berkat nikmat Tuhanmu, engkau samasekali bukan orang gila." Penelusuran kami terhadap catatan sirah nabawiyah menunjukkan bahwa gelar seperti ini hanya muncul dalam periode da'wah jahriyah, dan pernah benar‐benar berusaha disepakati justru menjelang akhir periode Makkah. Saat itu, ketika Rasulullah tidak melihat adanya harapan baik dari kaumnya, maka beliau mulai menawarkan dakwahnya kepada suku‐suku lain yang mendatangi Baitullah di musim haji. Untuk mencegah simpati suku‐suku lain tersebut kepada beliau, maka kaum kafir Quraisy bermusyawarah untuk menyepakati gelar buruk apa yang secara bersama‐sama akan mereka kenakan kepada beliau. Ada yang mengusulkan majnuun (gila, dihinggapi jin, akalnya tertutup), kaahin (dukun), atau saahir (penyihir). Mungkin, ayat dalam al‐Qalam ini berkaitan dengan peristiwa musyawarah pemuka Quraisy di Darun Nadwah tersebut. Sayangnya, riwayat yang ada justru menyebut peristiwa ini sebagai asbab nuzul surah al‐Muzzammil, bukan al‐Qalam. Namun, riwayat yang bersumber dari Jabir serta dinukil oleh al‐Bazzar dan ath‐Thabrani ini sanad‐nya dha'if, sebagaimana disebutkan dalam Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat‐ayat al‐Qur'an, hal. 606. Menurut Zhafir al‐Qasimi, dalam Nizhamul Hukmi fisy‐Syari’ah wat‐ Tarikh al‐Islami I/26, beragam bentuk tawar‐menawar oleh Quraisy dalam hal akidah baru terjadi pada tahun ke‐3 kenabian dan berkali‐kali setelah itu. Pada masa ini, beberapa kali Rasulullah mendapat tawaran menarik agar beliau bersedia menghentikan dakwahnya. Abu Thalib juga ditawari beberapa alternatif agar mencegah Rasulullah berdakwah, atau melepas perlindungannya kepada beliau. Uraian lengkap atas masalah ini dapat dipelajari, misalnya dari Sirah Ibnu Hisyam [arab] II/383; atau edisi terjemahnya I/219‐225 dan 246‐251. Padahal, pada ayat 9 dinyatakan, "Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak dan mereka pun bersikap lunak (pula kepadamu)." Bersikap lunak disini adalah saling bertoleransi dalam hal akidah dan penyembahan kepada Allah. Asbabun nuzul surah al‐Kafirun merekam peristiwa‐peristiwa ini dengan jelas (lihat: Asbabun Nuzul hal. 683‐684). Menurut semua versi tartib nuzuli yang kami temukan daftar lengkapnya, surah ini turun pada urutan antara 17‐19, dan itu jelas jauh setelah al‐Lahab (urutan antara 5‐7) yang merupakan penanda awal da'wah jahriyah. Tentunya, al‐Qalam turun dalam periode dakwah semacam ini, yakni ketika mulai muncul tawar‐menawar dari tokoh‐ tokoh kafir Quraisy. Ibnu Hisyam mencatat bahwa kedatangan mereka dengan membawa penawaran semacam itu berlangsung beberapa kali, dan terakhir terjadi menjelang wafatnya Abu Thalib. Ini bermakna pula, bahwa tawaran‐ tawaran kompromi masih terus diajukan kafir Quraisy sampai tahun ke‐ 10 kenabian, sebab diketahui bahwa Abu Thalib dan Khadijah wafat pada tahun sama, yakni tahun ke‐10 kenabian (lihat: Sirah Ibnu Hisyam [arab] II/263‐266).



93



Penawaran semacam itu tidak mungkin ada dalam periode da’wah sirriyah. Saat itu, beliau mengajak orang‐orang tertentu yang terbatas dan sudah dikenalnya. Kaum Quraisy jelas belum menganggap beliau sebagai ancaman, dan sekedar mendudukkan keyakinan beliau sejajar dengan beberapa gelintir orang hanif – mereka menyebutnya shabi’ah alias murtad – seperti Zaid bin ‘Amr bin Nufail, ‘Utsman bin al‐ Huwayrits, Waraqah bin Naufal, dan ‘Ubaidillah bin Jahsy. Mereka memang mengetahui kegiatan beliau, namun tidak bereaksi apa‐apa. Saat itu, dakwah beliau bukan masalah serius bagi Quraisy. Bahkan, perintah pertama untuk memulai dakwah terbuka pun dibatasi mulai dari keluarga terdekat, “wa andzir ‘asyirataka al‐aqrabin”, bukan khalayak umum yang beraneka ragam latar belakangnya (lihat: Seleksi Sirah Nabawiyah hal. 126). Kemungkinan, ada semacam kebingungan di kalangan perawi hadits tentang masa‐masa ini, yang berimbas kepada posisi al‐Qalam dalam tartib nuzuli. Sebagaimana sudah kita bahas sebelum ini, ada riwayat yang menyebutkan masa fatrah setelah al‐‘Alaq berlangsung paling tidak 2 tahun. Dengan berpegang pada riwayat ini, memang memungkinkan bahwa al‐Qalam turun pada tahun ke‐3 kenabian, bersamaan dengan mulai meningkatnya serangan Quraisy terhadap kepribadian Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam. Namun sayang sekali, sejauh ini, riwayat masa fatrah yang sangat lama itu sendiri cenderung kontroversial dan tidak bisa diandalkan, kecuali bahwa ia berlangsung singkat sebagaimana pendapat penulis buku Seleksi Sirah Nabawiyah.30 Kebingungan semacam ini memang bisa muncul, terutama jika riwayat yang ada tidak tegas, atau ada beberapa versi yang saling bertentangan. Gaya bahasa al‐Qalam yang “lantang dan terbuka” juga berbeda dengan al‐‘Alaq yang “berbisik‐bisik dan tertutup”. Banyak dhamir (kata ganti) dalam al‐Qalam 1‐16 yang berbentuk jama’ (plural, banyak) yang ditujukan kepada sekelompok orang tertentu. Kitab‐kitab tafsir mengidentifikasi dengan jelas bahwa orang yang ditunjuk oleh ayat‐ayat itu adalah al‐Walid bin Mughirah, atau tokoh mana saja yang sesuai dengannya. Dalam Sirah Nabi, Sejarah Kehidupan Muhammad SAW, hal. 109‐117, Imam adz‐Dzahabi merinci makar dari 5 tokoh Quraiys dalam kaitannya dengan dakwah terbuka,31 yang – menurut kami – cocok sebagai sasaran dari ayat‐ayat al‐Qalam. Figur terkenal lainnya adalah Abu Jahal 'Amr bin Hisyam al‐Makhzumi. Tentang al‐Walid bin al‐Mughirah, cukup banyak ayat lain dalam surah‐ surah yang turun dalam periode Makkah membicarakannya. Namanya terekam secara eksplisit dalam sejumlah tafsir. Misalnya, dalam Tafsir al‐Qurthubi saja, kami menemukan namanya di banyak tempat berbeda. Pertama, berkaitan dengan surah al‐An'am 124 (lihat: VII/79‐80). Kedua, berkenaan ayat 164 surah al‐An'am (lihat: VII/155‐157). Ketiga, dalam 30



Lihat pembahasan penulisnya tentang kualitas tambahan keterangan tertentu mengenai masa fatrah ini dalam bukunya, hal. 107‐110, serta catatan kaki no. 19‐ 24. 31 Mereka adalah: al‐Walid bin al‐Mughirah, an‐Nadhr bin al‐Harits bin Kaldah, ‘Utbah bin Rabi’ah, al‐Akhnas bin Syariq, dan Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam.



94



asbab nuzul ayat 9‐11 surah Hud (lihat: IX/10‐11). Keempat, dalam kaitannya dengan orang‐orang yang memperolok dakwah, yakni ayat 95 surah al‐Hijr (lihat: X/62). Jika masih kurang, silakan buka penafsiran ayat‐ayat berikut ini dalam Tafsir al‐Qurthubi. · · · · · · ·



Al‐Qalam ayat 10‐16 Al‐Muzzammil ayat 10‐11 Al‐Muddatstsir ayat 11‐25 Al‐Lail ayat 15‐16 An‐Nahl ayat 90‐92 Al‐Isra' ayat 83‐84 Maryam ayat 77‐80.



Penting pula untuk diingat, seluruh surah ini adalah Makkiyah. Sebenarnya, masih banyak lagi yang lainnya, namun kami cukupkan disini agar tidak bertele‐tele. Adapun tentang Abu Jahal, berbagai riwayat yang shahih menyebutkan namanya dalam asbab nuzul ayat 6‐19 surah al‐'Alaq. Ayat‐ayat ini pun jelas bukan bagian dari kelompok wahyu‐wahyu pertama. Ia turun di masa dakwah terbuka, sebagaimana dapat dibaca secara eksplisit dari kisahnya. Untuk keterangan lain, dapat ditemukan dalam terjemah Sirah Ibnu Hisyam I/226‐227. Sebaliknya, semua dhamir dalam al‐‘Alaq 1‐5 berbentuk mufrad (singular, tunggal), yang ditujukan kepada Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam secara pribadi. Tidak ada musuh, tidak ada cemoohan dan kritik. Gaya ini diulang‐ulang kembali dalam wahyu‐wahyu berikutnya. Perhatikan surah al‐Muddatstsir dan al‐Muzzammil, dimana dhamir yang ada selalu mufrad: qum, zid, unqush, rattil, andzir, kabbir, thahhir, dst. Juga, diulang‐ulangnya kata ganti milik “ka” dalam ayat‐ayat al‐ Muddatsir: rabbaka, tsiyabaka. Ini adalah bentuk turunan dari kata ganti kedua tunggal “anta”. Dengan kata lain, jika diurutkan di nomor dua, al‐ Qalam seperti dijepit oleh surah‐surah lain yang tidak senada dengannya. Al‐Qalam Bukan Wahyu Kedua Wahyu kedua sesudah al‐‘Alaq 1‐5 bukanlah surah al‐Qalam – sebagaimana dalam versi‐versi tartib nuzuli maupun konsep dasar SNW – melainkan surah al‐Muddatsir ayat 1‐5. Dalam Mabahits hal. 186, Dr. Subhi as‐Shalih juga berpendapat seperti ini. Keterangan serupa dapat pula ditemukan dalam Faidhul Khabir wa Khulashatu at‐Taqrir, hal. 57‐ 58, atau Tafsir al‐Qur'an al‐Karim karya Dr. Quraish Shihab, hal. 216‐ 217. Lalu, dimana posisi al‐Qalam sendiri setelah digugurkan dari urutan kedua? Menurut Mabahits hal. 40, secara implisit penulisnya menunjuk bahwa surah ini turun setelah meningkatnya perlawanan kaum Quraisy, yang ditandai dengan banyaknya cemoohan yang berusaha mendiskreditkan 95



dan menjatuhkan kepribadian Rasulullah SAW. Hal ini sejalan dengan analisa Sayyid Quthb tentang karakter pesan‐pesan yang ada di dalam al‐ Qalam. Analisis serupa dikemukakan Dr. Quraish Shihab yang bahkan "tidak menudukung penempatan surah al‐Qalam pada urutan kedua" (lihat: Tafsir al‐Qur'an al‐Karim hal. 218). Menurut catatan sirah nabawiyah sendiri, peristiwa‐peristiwa semacam ini tidak terjadi lebih awal dari tahun ke‐3 atau ke‐4 kenabian,32 dimana fase dakwah tertutup telah berakhir dan beliau mulai tampil mengecam kepercayaan maupun berhala‐berhala Quraisy secara terbuka. Dalam bukunya tersebut, Dr. Subhi as‐Shalih menulis: Dan, boleh jadi bangsa Arab tidaklah menilai gangguan‐gangguan mimpi selain sebagai gejala kegilaan. Oleh karena itu mereka mengatakan: “Dia (Muhammad) itu seseorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi pula seorang yang gila.”33 Dan, mereka berkata: “Sesungguhnya Rasul yang diutus kepada kalian sungguh‐sungguh gila.”34 Dan Allah menolak tuduhan bohong mereka dengan menghibur Nabi‐Nya, dimana Dia berfirman: “Nuun, wal qalami wa ma yasthurun, ma anta bi ni’mati rabbika bi majnun.”



Hanya saja, patut dicatat, uraian diatas bukanlah cuplikan riwayat asbabun nuzul, dan karenanya harus ditemukan sumbernya yang jelas. Sebagaimana disepakati, kita tidak boleh mengarang sendiri dalam masalah ini, dan harus berpegang kepada riwayat yang shahih dari Nabi atau Sahabat yang menyaksikannya. Jika diperiksa dengan cermat, ayat kedua yang disitir Dr. Shubhi ash‐ Shalih – QS as‐Syu'ara': 27 – ternyata berkaitan dengan kisah Nabi Musa. Kata‐kata cemoohan bahwa Rasul gila dalam ayat tersebut bukan rekaman ucapan kafir Quraisy kepada Rasulullah Muhammad shalla‐llahu 'alaihi wa sallam, namun ucapan Fir'aun dan pengikutnya kepada Nabi Musa 'alaihis salam. Dengan kata lain, tidak ada kaitan langsung dengan persoalan yang kita bahas disini. Adapun ayat pertama – QS ad‐Dukhan: 14 – memang berkaitan dengan kaum kafir Quraisy. Konteks peristiwanya jelas ada dalam sirah, tatkala Rasulullah mendoakan mereka yang memusuhi beliau agar tertimpa kemarau seperti di zaman Nabi Yusuf 'alaihis salam. Riwayat ini disebutkan as‐Suyuthi dalam Lubabun Nuqul (lihat: Tafsir al‐Jalalain II/308), yang bersumber dari al‐Bukhari, dari Ibnu Mas'ud. Namun, ternyata tidak jelas juga apa kaitan langsungnya dengan al‐Qalam. Jikapun harus dipersandingkan, maka jelas sekali peristiwa yang dimaksud sebagai latar belakang ayat ini terjadi belakangan, di masa dakwah jahriyah, dan dalam situasi puncak ketegangan antara Rasulullah dengan kaumnya. 32



Ini menurut Sirah Ibnu Hisyam, dengan tanpa menyebut sanad‐nya. Dalam Thabaqah Ibnu Sa’ad, disebutkan sanad‐nya, tapi sumbernya adalah al‐Waqidi yang matruk dan gurunya majhul (tidak dikenal identitasnya). Al‐Baladziri, dalam Ansabul Asyraf menyebut batasan 4 tahun. Lihat: Seleksi Sirah Nabawiyah, hal. 115, catatan kaki no. 43‐44. 33 Surah ad‐Dukhan: 14. 34 Surah asy‐Syu’ara’: 27.



96



Dalam Tafsir Zhilal jilid 11, hal. 377‐378, Sayyid Quthb menyinggung bahwa selayaknya surah al‐Qalam turun setelah banyak kisah‐kisah tentang umat terdahulu diberitakan kepada kaum Quraisy. Hal ini dapat dilihat dari salah satu ayatnya yang menyatakan bahwa mereka menganggap al‐Qur'an cuma dongeng dari kaum purbakala. Dalam ayat ke‐15, al‐Qur'an merekam komentar mereka, "(Ini adalah) dongeng‐ dongengan orang‐orang dahulu kala.” Tentu saja, jika argumen ini benar, maka harus ada sekian banyak surah lain yang turun sebelum al‐ Qalam, yang di dalamnya memuat kisah‐kisah dan pelajaran dari umat terdahulu. Jika al‐Qalam adalah wahyu kedua, maka kisah semacam ini tidak ada dalam al‐'Alaq. Sayyid Quthb sendiri menilai bahwa 52 ayat dari surah al‐Qalam tidak turun secara terpisah‐pisah. Menurut beliau, seluruhnya Makkiyah dan turun sekaligus lengkap. Atau, paling tidak, turun dalam periode tertentu yang berdekatan tanpa pemisah wahyu lainnya. Wallahu a'lam. Sementara ini, kami berkesimpulan bahwa tidak mudah memastikan posisi urutan surah ini. Sejauh hasil penelusuran yang lebih berhati‐hati, kami baru mencatat tiga poin penting yang dapat dijadikan pegangan. Pertama, surah al‐Qalam adalah Makkiyah. Kedua, surah ini tidak turun sesudah al‐‘Alaq, lebih jelasnya "al‐Qalam bukan wahyu kedua". Ketiga, surah ini turun dalam periode dakwah terbuka, dan mungkin sekali turun dalam periode yang lebih belakangan. Dengan demikian, kami meralat beberapa argumen yang – pada edisi pertama naskah buku ini – berusaha meyakinkan posisi urutan surah al‐ Qalam sebagai wahyu di belakang ad‐Dukhan dan asy‐Syu'ara'. Walau kami cenderung menilai surah al‐Qalam turun dalam periode yang lebih akhir dakwah terbuka, tetapi memastikannya sebagai urutan ke‐sekian adalah suatu keberanian yang berlebihan. Seharusnya, tak semudah itu menetapkan posisi urutannya. Semoga Allah mengampuni ketergesa‐ gesaan kami, dan memberi petunjuk kepada yang lebih baik. Amin.



Kemungkinan Kompromi Seputar Kedudukan al‐Qalam Sebagaimana pernah kami singgung pada dalam Bab V Tarikh Nuzul Ayat‐ayat Al‐Qur'an, memang ada kemungkinan kompromi. Ulasan yang cukup panjang diberikan oleh Syekh Darwazah di sela‐sela penafsirannya terhadap al‐Qalam, dalam I/40. Berikut ini kami paparkan uraian beliau, sebagai bahan pertimbangan dan penjelasan untuk memahami duduk perkaranya. Isi kandungan 4 ayat permulaan dan yang mengiringinya memungkinkan bahwa empat ayat tersebut diturunkan secara terpisah, dan bahwasanya ayat‐ayat selebihnya diturunkan sesudah itu dengan jarak waktu tertentu; tidak menutup kemungkinan pula bahwa seluruh surah ini diturunkan sekaligus. Penempatan urutan surah ini sebagai yang kedua adalah berdasar pada kemungkinan turunnya empat ayat permulaan tersebut secara terpisah, di belakang lima ayat pertama surah al‐‘Alaq. Akan tetapi, jika kemungkinan ini tidak benar sehingga empat ayat pertama tersebut dan ayat‐ayat seterusnya diturunkan secara



97



bersamaan, maka penempatan tata urutannya (sebagai yang ke‐2) tentunya tidak benar. Demikianlah kondisi sebenarnya. Hal itu berarti mengharuskan (surah ini) diturunkan lebih belakangan setelah tempo tertentu. Mushaf yang kami jadikan pegangan juga menyebutkan bahwa ayat 17‐33 dan ayat 48‐50, adalah Madaniyah. Namun, baik uslub maupun isi kandungannya mengisyaratkan tidak benarnya pernyataan itu. Ayat‐ayat dalam surah ini terangkai sedemikian rupa, baik dalam tema, untaian maupun jaringannya. Hal ini melapangkan jalan bagi pendapat bahwasanya surah al‐Qalam termasuk diantara surah‐surah yang diturunkan sekaligus atau (terpisah) dalam bagian‐bagian yang saling beriringan (waktu penurunannya), dengan satu catatan terkait empat ayat pertamanya yang sudah kami sebutkan dimuka.



Dalam halaman 43‐44, ketika membahas keterkaitan pembukaan surah ini dengan 5 ayat pertama surah al‐'Alaq, beliau menulis: Diriwayatkan bahwa ayat‐ayat ini merupakan ayat yang turun mengikuti permulaan surah al‐'Alaq. Peletakan surah al‐Qalam sebagai urutan kedua dalam penurunan surah‐surah al‐Qur'an adalah dikarenakan hal ini. Jika riwayat tersebut shahih, maka ayat‐ayat itu pastilah diturunkan secara terpisah sementara bagian surah selebihnya diturunkan setelah itu dengan jeda waktu tertentu; yang kemudian dirangkai sehingga dengan demikian sempurnalah penyusunan dan sosoknya. Surah inipun diturunkan dalam rangka menenangkan dan meneguhkan Nabi 'alaihis salam, menafikan apa yang beliau sangka dan takutkan, yakni (kekhawatiran beliau) bahwa apa yang beliau lihat dan dengar saat pertamakali diberi wahyu hanyalah (bentuk) kesurupan jin sehingga beliau sempat berkeinginan menjatuhkan dirinya dari puncak gunung, sebagaimana yang diriwayatkan oleh ath‐Thabari dalam sebuah hadits yang disandarkan kepada 'Abdullah bin az‐Zubair, bersumber dari Nabi 'alaihis salam. Jika riwayat ini tidak shahih, maka dari satu sisi ayat‐ayat ini merupakan penenang dan peneguh bagi beliau, sekaligus bantahan atas penyifatan kaum kafir kepada beliau sebagai orang gila dari sisi lain. Al‐Qur'an sendiri telah mengisahkan tentang orang‐orang ini dalam banyak ayat, misalnya dalam surah al‐Hijr:



ÇÏÈ ×bqãZôfyJs9 y7¨RÎ) ã•ø.Ïe%!$# Ïmø‹n=tã tAÌh“çR “Ï%©!$# $pkš‰r'¯»tƒ (#qä9$s%ur "Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al‐Quran kepadanya, sesungguhnya kamu benar‐benar orang yang gila." (QS 15: 6) Sama halnya dengan yang ada dalam surah al‐Mu'minun berikut:



ÇÐÉÈ tbqèdÌ•»x. Èd,ysù=Ï9 ÷LèeçŽsYò2r&ur Èd,ysø9$$Î/ Nèduä!%y` ö@t/ 4 8p¨ZÅ_ ¾ÏmÎ/ tbqä9qà)tƒ ôQr& "Atau (apakah patut) mereka berkata: "Padanya (Muhammad) ada penyakit gila." Sebenarnya dia telah membawa kebenaran kepada mereka, dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu." (QS 23: 70) Juga dalam ayat terakhir surah al‐Qalam itu sendiri:



98



×bqãZôfpRmQ ¼çm¯RÎ) tbqä9qà)tƒur t•ø.Ïe%!$# (#qãèÏÿxœ $£Js9 óOÏdÌ•»|Áö/r'Î/ y7tRqà)Ï9÷”ã•s9 (#rã•xÿx. tûïÏ%©!$# ߊ%s3tƒ bÎ)ur ÇÎËÈ tûüÏHs>»yèù=Ïj9 Ö•ø.ÏŒ žwÎ) uqèd $tBur ÇÎÊÈ "Dan sesungguhnya orang‐orang kafir itu benar‐benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Al‐Quran dan mereka berkata: "Sesungguhnya ia (Muhammad) benar‐benar orang yang gila". Dan Al‐Quran itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat." (QS 68: 51‐52) Patut digarisbawahi, (bahwa) adanya kecocokan dan kesatuan rangkaian diantara ayat‐ayat ini dengan ayat‐ayat sesudahnya, bisa melemahkan riwayat pertama diatas, dan layak dikatakan bahwa ayat‐ayat tersebut beserta ayat‐ayat sesudahnya diturunkan dalam satu rangkaian (tak terpisah) atau saling beriringan. Dan, peletakannya sebagai surah urutan kedua pun tidak benar, karena ayat‐ayat selanjutnya memuat pemandangan pendustaan dan perdebatan, serangan kritis dan penuturan mengenai kata‐kata para pendusta bahwasanya Al‐Qur'an hanyalah dongengan kaum terdahulu; dimana hal ini tidak mungkin terjadi kecuali setelah turunnya sejumlah besar ayat‐ayat al‐Qur'an, juga setelah Nabi 'alaihis salam berhubungan dengan orang banyak disertai pembacaan beliau akan ayat‐ayat tersebut kepada mereka, juga setelah keterlibatan beliau dalam perdebatan dan adu argumen dengan mereka.



Hanya saja, menurut hemat kami, uraian inipun mengandung keragu‐ raguan implisit, sehingga nilai hujjah‐nya justru sama dengan sikap yang diambil Sayyid Quthb dalam Tafsir Zhilal.[] Wallahu a’lam bish‐shawab.



99



BAB III MENJERNIHKAN KEKABURAN RIWAYAT AL‐MUZZAMMIL



Antara al‐Muzzammil dan al‐Muddatsir, riwayat asbabun nuzul keduanya memang sering bertumpang tindih. Bahkan, menurut riwayat yang disebutkan as‐Suyuthi dalam Lubabun Nuqul, kedua surah ini disatukan begitu saja tanpa dijelaskan mana yang turun dalam kaitannya dengan latar belakang peristiwa yang disebutkan. Di lain tempat, dalam pengantar penafsirannya untuk surah al‐Muzzammil dan al‐Muddatstsir, Sayyid Quthb bahkan mengakui bahwa sukar untuk membedakan mana dari kedua surah ini yang turun lebih dahulu. Demikianlah, riwayat yang ada sering tertukar satu sama lain. Kekaburan semacam ini berulang dalam hampir semua tafsir, yang artinya diperlukan penjernihan memadai atas segenap kekeruhan riwayat yang berkenaan dengan keduanya. Perlu diketahui, bahwa dengan adanya riwayat yang sering saling tertukar tersebut, tampak bahwa kedua surah ini turun beriringan dan saling berdekatan. Kalimat pembuka kedua surah ini, meski bunyi lafazh‐nya berlainan – al‐muddatstsir dan al‐muzzammil – namun sama‐ sama menunjuk kepada kondisi Rasulullah yang berselimut, entah menggigil akibat rasa takut setelah melihat Jibril lagi atau karena sedih mendengar tuduhan keji dari kaumnya. Dengan membaca berbagai riwayat tersebut apa adanya, jelasnya kedua lafazh ‘berselimut’ ini bersifat haqiqi dan zhahiri, bukan ma’nawi dan bathini. Berbagai riwayat tentang awal mula turunnya wahyu memang sering menyitir bahwa Rasulullah menggigil ketakutan sepulang dari Gua Hira', bergegas pulang menemui Khadijah dan minta diselimuti serta diguyur air dingin, sampai tenang kembali. Riwayat‐riwayat bagaimana cara wahyu turun juga mendeskripsikan bahwa kondisi Rasulullah saat itu bukannya kedinginan, namun sebaliknya suhu tubuh beliau meningkat, wajahnya memerah, tubuhnya menjadi berat, keringat mengucur dari pelipisnya meski wahyu turun di malam yang sangat dingin. Jika beliau sedang berkendara, maka unta yang ditungganginya seketika jatuh terduduk. Sementara itu, pada suatu saat Zaid bin Tsabit yang duduk berhimpit dengan Rasulullah merasakan pahanya nyaris patah tertindih paha beliau yang sedang menerima wahyu. Jelasnya, beliau minta diselimuti bukan karena menggigil kedinginan, sebagaimana tampak dari permintaan beliau untuk disiram dengan air dingin. Awalnya beliau menggigil takut, cemas dan mengkhawatirkan dirinya. Setelah terbiasa, maka beratnya wahyu itu tetap saja memberikan pengaruh dan tekanan yang jelas kepada fisik beliau. Bila kita meneliti teks‐teks hadits tentang turunnya wahyu, maka penggambaran seperti itu sangat umum disebutkan. Para Sahabat sering



100



menyaksikan kondisi Rasulullah semacam ini, dan menyadari bahwa beliau tengah menerima wahyu.35



Riwayat Asbabun Nuzul al‐Muzzammil Imam as‐Suyuthi menukil dalam Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, yang termaktub dalam II/360 dari Tafsir al‐Jalalain, tiga buah riwayat asbabun nuzul untuk surah ini. Salah satu riwayatnya memuat kebingungan, disamping derajat sanad‐nya yang menurut beliau sangat lemah atau semi palsu (waahin). Malangnya, justru riwayat inilah yang paling pokok dari ketiganya. Imam al‐Bazzar dan ath‐Thabrani mengeluarkan hadits dengan sanad yang semi palsu atau sangat lemah (waahin), bersumber dari Jabir, ia berkata: Orang‐orang Quraisy berkumpul di Darun Nadwah, kemudian berkata, "Beri nama orang ini – maksudnya, Rasulullah – dengan suatu sebutan yang membuat orang‐orang akan berpaling darinya." Ada yang berkata, "Dukun (kaahin)." Ditanggapi oleh lainnya, "Dia bukan dukun." Ada yang usul lagi, "Gila (majnuun)." Yang lain menyahut, "Dia bukan orang gila." Ada lagi saran, "Tukang sihir (saahir)." Ditanggapi pula, "Dia bukan tukang sihir." Cerita tentang pertemuan ini sampai kepada Nabi shalla‐llahu 'alaihi wa sallam, sehingga – beliau sangat bersedih – lalu menudungi diri (tazammala) dengan pakainnya dan berselimut (tadatstsara) dengannya. Maka, Jibril mendatangi beliau dan berkata, "Ya ayyuhal muzzammil ya ayyuhal muddatstsir."



Jika riwayat ini sanad‐nya waahin, berarti di dalamnya ada perawi yang waahiyah (semi palsu, lemah sekali), yang nilainya sejajar dengan matrukul hadits dan kadzdzab (pembohong), sebagaimana dinyatakan an‐Nawawi dalam at‐Taqrib wat‐Taysir hal. 53. Kualitas riwayat seperti ini berarti tidak bisa dijadikan pegangan (hujjah), karena kurang lebih setaraf dengan hadits matruk dan maudhu'. 36 35



Untuk keterangan lebih lengkap silakan periksa: Tafsir al‐Qurthubi XIX/39‐40; Tafsir Ibnu Katsir IV/107, 436; Shahih al‐Bukhari I/4 hadits no. 2; Shahih Ibnu Hibban I/225 hadits no. 38; an‐Nasai dalam as‐Sunan al‐Kubra I/323‐324 hadits no. 1005‐1006; juga VI/330 hadits no. 11128; Sunan at‐Tirmidzi V/597 hadits no. 3634; Sunan al‐Bayhaqi al‐Kubra VII/52‐53 hadits no. 13120‐13122; Musnad Ahmad VI/256 hadits no. 26241; ath‐Thabrani dalam al‐Mu’jam al‐Kabir III/259‐260 hadits no. 3344‐3346; dan Malik bin Anas dalam al‐Muwatha’ I/202 hadits no. 475. Berbagai sumber lain mencatat hal yang sama, dan hampir seluruhnya bersumber dari ‘Aisyah yang melaporkan jawaban Rasulullah atas pertanyaan al‐Harits bin Hisyam tentang bagaimana beliau menerima wahyu. 36 Imam an‐Nawawi mengurutkan empat peringkat al‐jarh atau pernyataan yang melemahkan seorang perawi, yakni (secara urut): (1) Layyinul hadits, (2) Laysa bi‐ qawiy, (3) Dha'iful hadits, yang ketiganya masih boleh ditulis serta diriwayatkan haditsnya; dan (4) Matrukul hadits, atau waahiyah, atau kadzdzab, yang sudah tidak boleh diriwayatkan haditsnya. Tentu saja, kecuali jika disertai dengan penjelasan akan derajatnya, seperti yang dilakukan as‐Suyuthi dalam kitabnya tersebut.



101



Meskipun as‐Suyuthi menempatkan riwayat ini dalam bab surah al‐ Muzzammil, tetapi tampak bahwa dari segi sanad maupun matan‐nya tidak meyakinkan. Tidak jelas, apakah al‐Muzzammil atau al‐Muddatsir yang turun dalam kaitannya dengan riwayat ini. Dalam bab surah al‐ Muddatsir sendiri, beliau mengutip riwayat lain yang di dalamnya secara jelas menyebut surah al‐Muddatsir, masih dalam kitab yang sama, hal. 361. Kisahnya mirip dengan asbabun nuzul al‐Muzzammil diatas, yang berbeda adalah tokoh utamanya. Akan tetapi, sanad riwayat yang beliau kutip dari ath‐Thabrani ini juga lemah (dha'if). Dr. Quraish Shihab dalam Tafsir al‐Qur'an al‐Karim yang disusun menurut tartib nuzuli, hal. 161‐162, tampaknya terkecoh dengan riwayat diatas sehingga berpendapat bahwa "sulit untuk diterima pendapat yang menyatakan bahwa wahyu ini (al‐Muzzammil, pen.) adalah wahyu ke‐3 atau ke‐4". Dengan kata lain, beliau yakin surah ini turun dalam periode dakwah terbuka, sebagaimana tampak jelas dalam asbabun nuzul tersebut. Beliau sepertinya tidak menyadari bahwa riwayat ini mengandung masalah dalam hal sanad‐nya. Riwayat yang disebutkan as‐Suyuthi tentang al‐Muzzammil diatas dicantumkan oleh ath‐Thabrani dalam al‐Mu'jam al‐Ausath II/319 hadits no. 2096. Redaksinya sedikit berbeda dengan apa yang dinukil as‐Suyuthi tersebut, namun intinya sama. Sanad‐nya memuat dua orang perawi yang dipermasalahkan oleh para ahli biografi rijalul hadits, yakni 'Abdullah bin Muhammad bin 'Aqil al‐Hasyimi dan Ma'la bin 'Abdirrahman al‐Wasithy. Figur pertama, 'Abdullah bin Muhammad bin 'Aqil bin Abi Thalib al‐ Hasyimi – dikenal dengan Ibnu 'Aqil – adalah cucu 'Ali bin Abi Thalib karrama‐llahu wajhahu dari jalur putrinya Zainab ash‐Shughra. Pada dasarnya, ia perawi yang jujur (shaduuq), tetapi hafalannya buruk atau berubah di usia senjanya. Sufyan bin 'Uyainah tidak memuji hafalannya, dan beliau cenderung menghindarinya karena kecurigaan beliau kepada hafalannya ini. Yahya bin Ma'in tidak menyukainya dalam hal periwayatan hadits, dimana statusnya beliau samakan dengan 'Ashim bin 'Ubaidillah, seorang perawi yang lemah dan bahkan hadits‐haditsnya munkar. Masih menurut beliau, Ibnu 'Aqil ini lemah dalam segala hal. Menurut Ibnu Hibban, "Lemah haditsnya (layyinul hadits), tidak kuat (laysa bil qawiy), tidak termasuk orang yang hadits‐haditsnya bisa dijadikan pegangan (wa la mim‐man yuhtajju bi haditsihi), walau haditsnya masih boleh ditulis." Dalam sebagian buku biografi rijalul hadits, disamping terdapat pujian atau daftar panjang guru dan muridnya, ada pula kecaman‐kecaman pedas dari para kritikus, yang intinya melemahkan dan menolak ber‐hujjah dengan hadits‐haditsnya. Ibnu Hibban memasukkan namanya dalam kitab al‐Majruuhin, yang berarti ia adalah perawi yang tidak kredibel (majruh) atau lemah (dha'if).37 Kitab Ibnu Hibban sendiri diberi judul Al‐Majruuhin min al‐ Muhadditsin wa adh‐Dhu'afa' wa al‐Matrukin, yakni "Orang‐orang yang 37



Disarikan dari: Taqribut Tahdzib I/321; al‐Jarh wat Ta'dil V/153; al‐Kamil fi Dhu'afa' ar‐Rijaal IV/127; Tahdzibul Kamal XVI/78‐84; al‐Kasyif I/594; al‐ Majruuhin II/3.



102



tidak kredibel di kalangan ahli hadits, juga mereka yang lemah dan ditinggalkan riwayatnya." Maka, masalahnya sudah jelas. Sebetulnya, menurut an‐Nawawi dan at‐Taqrib wat‐Taysir hal. 53, perawi yang berpredikat layyinul hadits masih dapat ditulis haditsnya untuk diperiksa dan ditelusuri lebih lanjut, apakah ada jalur periwayatan lain yang menguatkannya (hadits mutabi' dan syawahid). Menurut ad‐ Daruquthni, perawi semacam ini tidak digugurkan dan hanya cacat oleh sesuatu hal yang tak merusak 'adalah‐nya. Sedang predikat laysa bi‐ qawiy sedikit di bawah layyinul hadits, yang juga masih boleh ditulis hadits‐haditsnya. Tampaknya, kelemahan sanad ini bukan semata‐mata berasal dari Ibnu 'Aqil, namun dari tokoh lainnya, yakni Ma'la bin 'Abdirrahman. Ma'la bin 'Abdirrahman al‐Wasithy ini, menurut Ibnu Hibban, adalah perawi yang dha'if (lemah), hadits‐haditsnya tidak ada sumber aslinya (la ashla lahu) dan ia adalah perawi yang matruk. Demikian seperti disebutkan dalam al‐Jarh wat Ta'dil VIII/334. Bahkan, dalam Taqribut Tahdzib X/214, ada pengakuan darinya yang sangat mengejutkan. Abu Dawud berkata: Saya mendengar Yahya bin Ma'in ditanya tentang Ma'la bin 'Abdirrahman, maka beliau menjawab, "Menurut saya, laporan tentang kondisinya yang terbaik adalah: Menjelang kematiannya, dikatakan kepadanya, 'Tidakkah engkau memohon ampun kepada Allah?' Maka ia menjawab, 'Bagaimana aku tidak berharap Allah mengampuniku, sedangkan aku telah memalsukan 70 hadits tentang keutamaan (fadha'il) 'Ali?"



Jadi, perawi ini adalah pemalsu hadits, menurut pengakuannya sendiri. Dalam disiplin Ilmu Hadits, perawi semacam ini samasekali tidak boleh diambil riwayatnya karena ia adalah pendusta. Menurut al‐Khathib al‐ Baghdadi dalam al‐Kifayah fi 'Ilmi ar‐Riwayah hal. 101, seseorang yang sudah dipastikan berdusta harus ditolak periwayatan (khabar) dan persaksiannya, terlebih ia berdusta atas nama Rasulullah. Sebagaimana dimaklumi, salah satu cara mengetahui pemalsuan hadits adalah pengakuan (iqrar) dari perawinya (lihat: at‐Taqrib wat‐Taysir hal. 46‐ 47). Dan, ini adalah salah satu contoh pengakuan tersebut. Jika catatan dalam Taqribut Tahdzib dibaca lebih lanjut, kita akan ngeri menerima hadits‐hadits yang diriwayatkan Ma'la. 'Abdullah bin 'Ali bin al‐Madini berkata, yang bersumber dari ayahnya: "(Ma'la) adalah lemah haditsnya, dan beliau meyakini bahwa Ma'la pernah memalsukan hadits. Beliau juga berkata, 'Saya membuang haditsnya.' Beliau pun menilainya sebagai sangat lemah. Di tempat lain, beliau berkata, '(Ma'la) mengambil hadits‐haditsnya dari Abul Haitsam, dari al‐Laits, dan beliau meyakininya telah berbohong." Abu Zur'ah berkata: Dia adalah perawi yang haditsnya dibuang (dzaahibul hadits) Ibnu Hibban berkata: Dia meriwayatkan dari 'Abdul Hamid bin Ja'far hadits‐hadits yang terbalik atau tertukar (al‐maqluubaat). Tidak boleh ber‐hujjah dengannya jika hanya ia sendirian yang meriwayatkan suatu hadits.



103



Ad‐Daruquthni berkata: Dia lemah (dha'if) dan pembohong (kadzdzab).



Memang ada sebagian kritikus yang memuji Ma'la, seperti ad‐Daqiqy, atau Ibnu 'Adiy yang berkata, "Saya berharap ia tidak apa‐apa (la ba'sa bihi)." Komentar terakhir ini termasuk lafal ta'dil (pernyataan tentang kredibilitas perawi). Namun, dengan adanya pengakuan memalsu hadits, ditambah penyebutan sebab‐sebab yang jelas atas al‐jarh (inkredibilitas) perawi ini, maka status Ma'la tidak bisa berubah menjadi kuat. Lebih parah lagi, dalam Taqribut Tahdzib I/541, Ibnu Hajar menyatakannya sebagai perawi yang tertuduh memalsukan hadits, bahkan dicurigai menganut ajaran Rafidhah (salah satu sekte Syi'ah ekstrim). Dalam at‐ Taqrib wat‐Taysir hal. 53, an‐Nawawi menyatakan bahwa perawi yang dicap kadzdzab oleh kritikus hadits berarti dibuang segala riwayatnya dan tidak perlu ditulis. Ini peringkat terburuk dalam al‐jarh (kritik yang melemahkan kredibilitas perawi), bersama predikat matrukul hadits dan waahiyah (sangat lemah). Memang ada perbedaan pendapat tentang diterima atau tidaknya riwayat dari seorang perawi yang diketahui menganut aliran bid'ah. Al‐ Khathib al‐Baghdadi membahasnya panjang lebar (lihat: al‐Kifayah hal. 120‐132). Akan tetapi, patut diingat, bahwa penolakan terhadap Ma'la bukan semata‐mata karena ia penganut Rafidhah. Faktor ini hanya menambah cacat‐cacat lain yang sudah disebutkan sebelumnya. Tampaknya, kecurigaan sebagai penganut Syi'ah ini benar, sebab Ma'la sendiri mengakui telah memalsukan hadits‐hadits tentang keutamaan 'Ali bin Thalib radhiya‐llahu 'anhu. Kedudukan menantu Rasulullah ini di dalam akidah Syi'ah sudah masyhur, sementara beliau sendiri berlepas diri dari kesesatan mereka. Catatan keterlibatan seorang perawi dengan Rafidhah memang tergolong cacat yang hampir pasti merusak kredibilitasnya, sebab mereka diketahui memperbolehkan berbohong untuk membela madzhabnya dan terbukti mengkafirkan mayoritas Sahabat. Padahal, kebohongan adalah aib besar, terlebih berbohong atas nama Rasulullah; sementara menuduh Sahabat sebagai kafir adalah dosa yang tidak bisa dianggap enteng. Ulasan atas masalah ini dapat dilihat dalam buku‐buku ulumul hadits.



Al‐Muzzammil Turun setelah al‐Muddatsir Penting dicatat bahwa dalam konsep asli SNW yang selama ini dipergunakan, surah al‐Muzzammil merupakan wahyu ketiga setelah al‐ Qalam. Dengan sendirinya kini timbul pertanyaan tentang kedudukan surah ini dalam tartib nuzuli. Jika kedudukan al‐Qalam digugurkan dari urutan kedua, dan sebagai gantinya al‐Muddatstsir – yang biasanya menempati urutan keempat – justru menjadi wahyu kedua, maka dimanakah surah al‐Muzzammil berada? Sebetulnya, pijakan dasar untuk memahami argumen dalam pasal ini adalah apa yang sudah kami jabarkan dalam bab sebelumnya, yakni tentang kedudukan surah al‐Qalam. Telah jelas bahwa al‐Qalam bukan wahyu kedua sesudah Iqra'. Sebagai gantinya, berlandaskan kepada riwayat yang shahih, al‐Muddatsir adalah wahyu kedua. Dengan 104



sendirinya, al‐Muzzammil tak mungkin turun mendahului al‐Muddatsir. Surah ini sudah pasti turun setelahnya. Sebagai penjelas, dapat kami kemukakan empat argumen tambahan, sbb: Pertama, sekilas Dr. Subhi as‐Shalih membicarakan posisi surah al‐ Muzzammil ini. Sayangnya, tanpa disertai ulasan yang lengkap dan komprehensif. Dalam bukunya, hal. 40, ketika membahas keadaan Rasulullah yang menggigil serta kebingungan setelah menerima wahyu pertama, beliau menulis: Penting untuk diingat disini, bahwa goncangnya hati beliau menunjukkan kepada adanya rasa takut yang meliputi beliau karena wahyu turun secara tiba‐tiba tanpa diharapkan terjadinya, sebagaimana firman Allah: “Dan tidaklah engkau mengharap‐harap diberikan suatu kitab kepadamu, melainkan (turunnya kitab itu) adalah rahmat dari Tuhanmu.”38 Dan juga firman‐Nya: “Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu wahyu (al‐Qur’an) kepadamu. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al‐Kitab (al‐Qur’an) itu (dan tidak pula mengerti) apakah iman itu. Namun Kami jadikah al‐Qur’an itu sebagai cahaya, yang Kami beri petunjuk dengannya siapa saja yang Kami kehendaki.”39 Dan tidak pula dalam kegoncangan pikiran beliau gejala apa pun yang menunjukkan menurunnya suhu anggota‐anggota tubuh, yang biasanya diiringi dengan wajah yang pucat dan gigi gemerutuk menggigil. Yang terjadi justru sebaliknya, dimana suhu tubuh beliau meninggi, wajahnya memerah, sampai‐sampai keringat mengalir dari pelipis beliau, badannya menjadi berat – seperti sudah kita saksikan – sehingga hampir‐ hampir saja mematahkan paha orang yang duduk di sebelahnya. Dan permintaan beliau kepada Khadijah: “selimuti aku!”, tidaklah berarti seringnya beliau berbaring di ranjang untuk menghangatkan diri di bawah selimut dan rehat dari (trauma setelah) menyaksikan pemandangan ghaib yang menakutkannya, juga perkataan berat (al‐qaul ats‐tsaqil) yang keras, dan karenanya Allah (merasa perlu) memerintahkan beliau untuk melompat dan bangkit – yakni setelah kembalinya wahyu pasca masa terputusnya – untuk memikul beban‐ beban dakwah ke jalan Allah. Disini, Allah berfirman: “Ya ayyuhal muddatstsir qum fa andzir”, kemudian berfirman setelah itu: “Ya ayyuhal muzzammil qumil laila illa qaliilaa”.



Jelas terlihat, beliau menyatakan bahwa al‐Muzzammil merupakan wahyu yang turun setelah al‐Muddatstsir. Kedua, jika menilik berbagai tartib nuzuli yang dikemukakan oleh para ulama', mulai dari Versi Pertama sampai Kelima sebagaimana sudah kami singgung di Bagian I, juga dalam konsep asli SNW, memang tampak jelas bahwa al‐Muzzammil selalu ditempatkan sebelum al‐Muddatsir. Penempatan semacam ini konsisten dalam semua tartib nuzuli. Pertanyaannya, apakah hal ini sudah bisa diterima sebagai dalil bahwa tata urutannya memang seperti itu? Dalam Fathul Bari VIII/678, Ibnu Hajar mengemukakan: 38 39



Surah al‐Qashash: 86. Surah asy‐Syura: 52.



105



Pendapat lainnya dinukil dari 'Atha al‐Khurasani, "Al‐Muzzammil diturunkan sebelum al‐Muddatsir." (Akan tetapi), 'Atha ini lemah (dha'if), dan riwayatnya adalah mu'dhal, karena tidak ditemukan bukti yang pasti tentang pertemuannya dengan seorang pun Sahabat tertentu. Lahiriah dari hadits‐hadits yang shahih (menyatakan) lebih akhirnya penurunan al‐Muzzamil, sebab di dalamnya disebutkan (perintah) qiyamul‐lail dan lain sebagainya yang (jelasnya) ada jeda waktu (antara hal itu) dengan awal mula turunnya wahyu; berbeda dengan al‐ Muddatsir dimana di dalamnya ada (perintah) qum fa‐andzir.



Riwayat mu'dhal adalah riwayat yang dalam sanad‐nya gugur (baca: tak disebutkan) dua orang perawi atau lebih, baik di awal, tengah maupun akhirnya. Tentu saja riwayat semacam ini termasuk dha'if dan tidak bisa dijadikan sandaran utama. Yang mirip dengan ini adalah riwayat mu'allaq, yang juga dha'if. 'Atha' al‐Khurasani yang dilemahkan oleh Ibnu Hajar diatas, nama lengkapnya adalah 'Atha' bin Abi Muslim 'Abdullah, yang meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas dan beberapa Sahabat lainnya secara mursal. Dalam kitabnya Ta'jilul Manfa'ah, Ibnu Hajar sendiri tidak mengomentari 'Atha ketika menyebutkan biografinya. Dia dinyatakan tsiqah oleh Yahya bin Ma'in dan Ahmad bin Hanbal. Sedangkan menurut Ibnu Hibban beliau tidak bermasalah (la ba'sa bihi), jujur (shaduuq) dan hadits‐haditsnya bisa dijadikan pegangan (yuhtajju bihi). Menurut Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, beliau adalah faqih Khurasan sepeninggal al‐'Abadilah.40 Menurut Ya'qub bin Syaibah, beliau adalah tokoh yang termasyhur di masanya, memiliki keutamaan dan ilmu, serta dikenal banyak berfatwa dan pergi berjihad. Imam Malik mau mengambil riwayat darinya, padahal beliau termasuk sangat berhati‐hati dalam menyeleksi para perawi. Secara umum, 'Atha adalah perawi yang tsiqah‐tsabat (terpercaya lagi kuat).41 Dan, menurut penelusuran kami, paling tidak Imam Muslim telah meriwayatkan satu hadits yang dalam sanad‐nya mencantumkan nama 'Atha al‐Khurasani ini, pada II/672 hadits no. 977 tentang ziarah kubur. Penilaian Ibnu Hajar dengan para ulama' lainnya ini tampak bertentangan. Namun, sebenarnya tidak demikian. Kelemahan 'Atha dalam periwayatan hadits adalah semata‐mata berdasar ketidaktersambungan sanad‐nya, bukan dari segi kredibilitas kepribadian (‘adalah) maupun kualitas hafalan (dhabith). Sebab, bagaimanapun 'Atha adalah seorang ulama' besar yang fatwa‐fatwanya dirujuk secara luas oleh masyarakat Khurasan di masanya. Dalam disiplin Ilmu Hadits, keterputusan sanad merupakan jenis hadits dha'if. Keterputusan sanad itu terutama jika yang diriwayatkan oleh ‘Atha adalah hadits‐hadits 40



Maksudnya, tokoh ulama’ dari kalangan Sahabat yang namanya sama‐sama ‘Abdullah, yakni Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ibnu az‐Zubair dan Ibnu ‘Amr bin al‐ ‘Ash. Sebetulnya masih ada seorang ‘Abdullah lagi, yakni Ibnu Mas’ud, namun beliau lebih senior dan tidak dimasukkan menjadi al‐‘Abadilah al‐Arba’ah (empat orang ‘Abdullah). Akan tetapi, dalam periwayatan hadits, jika disebut secara mutlak bahwa suatu hadits bersumber dari ‘Abdullah, maka biasanya yang dimaksud adalah Ibnu Mas’ud ini. 41 Disarikan dari: Ta'jilul Manfa'ah hal. 545; al‐Jarh wat‐Ta'dil VI/334; Mu'jamul Buldan II/354.



106



seputar masalah tafsir. Sebab, menurut Ibnu Hajar, nama 'Atha al‐ Khurasani ini sering tertukar dengan 'Atha bin Abi Rabah, salah seorang murid Ibnu 'Abbas. Riwayat‐riwayat yang berkaitan dengan tafsir dan ulumul Qur'an yang bersambung kepada Ibnu 'Abbas adalah yang berasal dari 'Atha bin Abi Rabah, bukan 'Atha al‐Khurasani. Menurut Ibnu Hajar, para sekretaris ulama' (warraaq) saat itu sering jenuh harus mengulang‐ ulang penulisan nisbat al‐Khurasani, sehingga hanya ditulis nama depannya 'Atha saja. Belakangan orang mengira bahwa itu adalah 'Atha bin Abi Rabah. Kasus ini terutama menyangkut riwayat‐riwayat tafsir Ibnu Juraij dari 'Atha al‐Khurasani, dari Ibnu 'Abbas. Rangkaian sanad ini jelas‐jelas dha'if karena terputus, dimana ada satu perawi diantara 'Atha dan Ibnu 'Abbas yang tidak disebutkan namanya (lihat: Fathul Bari VIII/667). Sebagaimana pula dimaklumi, riwayat tentang asbabun nuzul tidak mungkin berasal dari selain Sahabat, sementara 'Atha al‐Khurasani sendiri tidak terbukti pernah bertemu dengan seorang Sahabat pun. Wallahu a'lam. Ketiga, di tempat lain dari kitabnya, VIII/722, Ibnu Hajar juga menulis: Dapat diketahui dari penyatuan dua hadits ini (yang membicarakan) tentang turunnya ya ayyuhal muddatsir setelah kata‐kata Rasulullah "datstsaruuni wa zammiluuni", bahwa yang dimaksud dengan "zammiluuni" disini adalah "datstsaruuni" juga, dan tidak bisa disimpulkan begitu saja dari kata‐kata beliau tersebut bahwa (ini merupakan sebab) turunnya ya ayyuhal muzzammil pada saat itu. Sebab, turunnya ya ayyuhal muzzammil disepakati lebih akhir dibanding ya ayyuhal muddatsir. Sebab lain, dalam ya ayyuhal muddatsir ada perintah untuk memberi peringatan (indzar) dan ini merupakan awal mula bi'tsah (pengutusan beliau sebagai rasul), sementara awal al‐ Muzzammil adalah perintah mengerjakan qiyamul‐lail dan mentartil al‐ Qur'an dimana hal ini mengharuskan telah diturunkannya banyak ayat‐ ayat al‐Qur'an sebelum itu.



Keempat, ketika Imam al‐Bukhari (lihat: IV/1875 hadits no. 4641) dan Imam Muslim (lihat: I/143 hadits no. 161) meriwayatkan hadits tentang asbabun nuzul surah al‐Muddatsir, keduanya sama‐sama mengutip sepotong pendek penjelasan tambahan dari perawinya. Setelah mengisahkan ketakutan Rasulullah saat melihat kembali Jibril dan kemudian al‐Muddatsir 1‐5 turun, ada keterangan, "sebelum diwajibkannya shalat." Riwayat ini bersumber dari Jabir, lewat jalur Abu Salmah bin 'Abdirrahman bin 'Auf, kemudian az‐Zuhri. Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari VIII/679, kalimat ini seolah mengisyaratkan bahwa mensucikan baju adalah sesuatu yang diperintahkan sebelum diwajibkannya shalat. Yang dimaksud perintah "mensucikan baju" adalah bunyi ayat ke‐4 surah al‐Muddatsir, wa tsiyabaka fa‐thahhir. Menurut kami, yang dimaksud "sebelum diwajibkannya shalat" adalah kandungan al‐Muzzammil tentang kewajiban qiyamul lail. Maka, ini adalah dalil yang jelas tentang lebih dahulunya penurunan al‐Muddatsir dibanding al‐Muzzamil. Sebab, sebagaimana disebutkan oleh para mufassirin, qiyamul lail adalah wajib sebelum turunnya perintah shalat 107



lima waktu sehari semalam. Perintah ini kemudian diringankan kurang lebih setahun kemudian dan dijadikan sebagai shalat sunnah setelah turunnya perintah shalat lima waktu. Riwayat tentang keringanan ini banyak disebutkan para penulis hadits dan tafsir, bersumber dari 'Aisyah, Ibnu 'Abbas dan selainnya.42 Dengan demikian, dapat disimpulkan secara meyakinkan bahwa al‐ Muzzammil turun setelah al‐Muddatsir, bukan sebelumnya.[] Wallahu a'lam.



42



Lihat pembahasannya, misalnya, dalam: Tafsir al‐Qurthubi XIV/211; XIX/34‐37, 55. Tafsir ath‐Thabari XXIX/124‐126, 225. Tafsir Ibnu Katsir IV/437‐438. Uraian senada insya‐Allah dapat ditemukan dalam penafsiran surah al‐Muzzammil pada kitab‐kitab tafsir lainnya.



108



BAB IV AL‐MUDDATSTSIR SEBAGAI WAHYU KEDUA



Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan surah al‐Qalam, kita sampai pada kesimpulan bahwa surah al‐Muddatstsir merupakan wahyu kedua sesudah al‐‘Alaq. Dalam bab al‐Muzzammil, kami juga sudah mengutip penjelasan Ibnu Hajar bahwa tidak mungkin surah al‐ Muzzammil turun mendahului al‐Muddatsir. Kiranya kami tidak perlu mengulang kembali penjelasan‐penjelasan yang sudah ada. Disini, kami akan menyajikan sisi lain yang belum dibahas. Misalnya, adanya sebab‐sebab 'tersembunyi' yang mendorong peletakan kedua surah ini dalam urutan ke‐3 dan 4, serta hal‐hal lain yang berkenaan dengan kontroversinya. Pada pokoknya, paparan yang disajikan dalam bab ini merupakan bukti tambahan atas kesimpulan bahwa al‐Muddatsir adalah wahyu kedua. Kami juga membahas bahwa riwayat asbabun nuzul surah al‐Muddatsir yang banyak dikenal ternyata lemah kualitasnya, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Riwayat Lemah Asbabun Nuzul al‐Muddatsir Ada dua versi riwayat asbabun nuzul surah ini. Satu versi disebutkan dalam kaitannya dengan masa fatrah, dan ini yang shahih, sebagaimana sudah pernah dikupas detail sebelum ini. Kami menjadikan riwayat ini sebagai pegangan, sehingga al‐Muddatsir bukan wahyu keempat – seperti dalam konsep asli SNW dan versi‐versi tartib nuzuli yang ada – namun wahyu kedua. Sementara satu versi lainnya disebutkan secara terpisah sebagai peristiwa khusus yang berkenaan dengan al‐Muddatsir. Disini, latar belakangnya memperlihatkan suasana dakwah terbuka. Agaknya, kecenderungan meletakkan al‐Muzzammil dan al‐Muddatsir sebagai wahyu ketiga dan keempat juga berawal dari sini. Sebab, jika masa fatrah berlangsung 3 tahun dan kemudian dakwah terbuka dimulai, maka logis jika keduanya turun dalam suasana dakwah terbuka. Sebelum ini kita telah melihat bahwa riwayat penurunan al‐Muzzamil yang menyebutkan latar belakang dakwah terbuka adalah waahin (lemah sekali), cenderung palsu. Sayangnya, riwayat untuk al‐Muddatsir yang sejenis ini juga dinilai dha'if (lemah) oleh as‐Suyuthi dalam Lubabun Nuqul, dicetak bersama Tafsir al‐Jalalain II/361. Ath‐Thabrani mengeluarkan hadits dengan sanad lemah (dha'if) yang bersumber dari Ibnu 'Abbas: bahwasanya al‐Walid bin al‐Mughirah menyiapkan jamuan makan untuk kaum Quraisy. Setelah mereka selesai menyantapnya, ia berkata, "Apa yang kalian katakan tentang tentang orang ini?" – maksudnya, Rasulullah – Sebagian mereka menjawab, "Penyihir." Ada yang menyahut, "Dia bukan penyihir." Ada lagi yang berkata, "Dukun." Ditanggapi oleh kawannya, "Dia bukan dukun." Ada yang usul lagi, "Penyair." Dikomentari oleh lainnya, "Dia bukan penyair."



109



Ada yang berujar lagi, "Itu adalah sihir yang dipelajari dari nenek‐ moyang (sihrun yu'tsar)." Cerita ini sampai kepada Nabi, sehingga beliau bersedih, menundukkan mukanya dan berselimut (tadatstsara). Maka turunlah firman Allah: ya ayyuhal muddatstsir qum fa‐andzir – sampai ayat – wa li rabbika fa‐ shbir.



Lahiriah kisah ini justru lebih cocok dengan ayat 11‐30 surah al‐ Muddatsir, yang di dalamnya merekam kata‐kata al‐Walid sendiri: in haadzaa illaa sihrun yu'tsar, in haadzaa illaa qaulul basyar. Dengan kata lain, peristiwa yang diceritakan riwayat diatas lebih pas menjadi asbabun nuzul ayat 11‐30, bukan ayat pembukanya. Ayat‐ayat ini merupkan satu kesatuan yang mencela perilaku tokoh kafir tersebut. Peristiwa yang menjadi asbabun nuzul‐nya berbeda, seperti disebutkan Ibnu Jarir ath‐Thabari dalam Tafsir‐nya XXIX/156‐157. Sayang, sanad‐nya munqathi' (terputus) karena hanya sampai 'Ikrimah, seorang ulama' generasi Tabi'in, dan tidak disebutkan nama Sahabat yang menjadi narasumbernya. Riwayat yang dinukil as‐Suyuthi diatas dimuat ath‐Thabrani dalam al‐ Mu'jam al‐Kabir XI/125 hadits no. 11250. Teks riwayatnya sama, dengan tambahan, "Maka mereka pun menyepakati pendapat bahwa beliau (membawa) sihir yang dipelajari dari nenek moyang."43 Sanad riwayat ini adalah: Muhammad bin 'Ali bin Syu'aib as‐Simsar, dari al‐Hasan bin Bisyr al‐Bajalli, dari al‐Mu'afi bin 'Imran, dari Ibrahim bin Yazid, dari Ibnu Abi Malikah, dari Ibnu 'Abbas radhiya‐llahu 'anhuma.44 Kelemahan sanad ini ada pada Ibrahim bin Yazid, yakni Abu Isma'il al‐ Khauzy, bekas budak 'Umar bin 'Abdul 'Aziz yang kemudiaan tinggal di Makkah dan meninggal tahun 150 atau 151 H. Menurut Ibnu Hibban, ia meriwayatkan banyak sekali hadits munkar dan sangat tidak jelas dari 'Umar bin Dinar, Abu az‐Zubair dan Muhammad bin 'Abbad bin Ja'far, sehingga seolah‐olah riwayatnya dapat dijadikan pegangan (padahal tidak demikian). Ahmad bin Hanbal memiliki penilaian yang buruk terhadap perawi ini, yakni haditsnya matruuk. 'Abdullah bin al‐Mubarak menolak meriwayatkan hadits darinya. Yahya bin Ma'in menilainya tidak bisa dipercaya (laysa bi‐tsiqah) dan bukan apa‐apa (laysa bi‐syai'in). 43



Pada sebagian literatur, frase "sihrun yu'tsar" diterjemahkan dengan "sihir yang berpengaruh", yakni memiliki pengaruh kuat kepada orang yang dikenainya. 44 Selain Ibrahim bin Yazid al‐Khauzy yang dilemahkan oleh banyak pakar biografi, nama‐nama lain dalam sanad ini adalah perawi yang bisa diterima haditsnya. Tentang Muhammad bin ‘Ali bin Syu’aib as‐Simsar yang wafat tahun 290 H, tidak kami temukan komentar apapun tentang dirinya (lihat: Tarikh Baghdad III/66; ). Al‐Hasan bin Bisyr bin Salm bin al‐Musayyib al‐Bajalli adalah perawi yang shaduuq, meskipun menurut an‐Nasai tidak kuat [laysa bi‐qawiy]. Hanya meriwayatkan sedikit hadits yang satu sama lain nyaris serupa, dan bukannya munkar. Al‐Bukhari termasuk yang mengambil riwayat darinya, sedang Ibnu Hibban memasukkan namanya dalam daftar perawi tsiqah. Wafat tahun 221 H (lihat: at‐Tarikh al‐Kabir II/287; al‐Jarh wat‐Ta’dil III/3; al‐Kamil fi Dhu’afa’ ar‐Rijal II/320; Tahdzibu at‐ Tahdzib II/223; Tahdzibu al‐Kamal VI/58‐62). Sedang al‐Mu’afi bin ‘Imran al‐ Maushili dan ‘Abdullah bin Abi Malikah adalah dua imam besar yang sudah sangat dikenal dalam studi hadits.



110



Imam al‐Bukhari menyatakan bahwa para kritikus hadits mendiamkannya (sakatuu 'anhu), sebagai isyarat "kecurigaan" atas dirinya. Dalam catatan Ibnu Abi Hatim, ia adalah perawi lemah (dha'iful hadits) dan para ahli hadits sendiri menghindari periwayatan darinya.45 Andai ia hanya berpredikat dha'iful hadits, mungkin berguna jika kita menelusuri riwayatnya dari jalur lain. Sebab, perawi dengan predikat ini menempati peringkat ketiga dalam kelemahannya, dan haditsnya tidak perlu dibuang serta bisa dicoba memeriksanya dari periwayatan lain (lil‐ i'tibar). Namun, Imam Ahmad justru menvonisnya sebagai matrukul hadits, yang berarti mendekati palsu atau maudhu' (lihat juga: at‐Taqrib wat‐Taysir hal. 53). Kesimpulannya, riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah, dan dengan sendirinya pembatasan ayat sampai ayat ke‐7 tidak sah, jika bersumber dari sini. Yang benar adalah al‐Muddatsir diturunkan hanya sampai ayat ke‐5. Hal ini dinyatakan oleh riwayat‐riwayat yang ada dalam ash‐ Shahihain.



Al‐Muddatstsir: Wahyu Penegas Kerasulan Dalam Zubdatul Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, hal. 7‐8, Imam as‐Suyuthi membahas masalah kedudukan al‐Muddatstsir ini, dan dari zhahir‐nya beliau menguatkan pendapat bahwa surah ini memang wahyu kedua. Setelah mengutip pendapat yang paling shahih tentang al‐‘Alaq 1‐5 sebagai wahyu pertama, beliau kemudian mengutip pendapat lain: Pendapat kedua: (wahyu yang pertama turun adalah) Ya ayyuhal muddatstsir. Asy‐Syaikhaini (al‐Bukhari dan Muslim) meriwayatkan dari Abu Salmah bin Abdirrahman [bin 'Auf], dia berkata, “Saya bertanya kepada Jabir bin Abdillah (surah) al‐Qur’an manakah yang diturunkan pertamakali?” Dia menjawab: “Ya ayyuhal muddatstsir”. Saya bertanya lagi, “Atau iqra’ bismirabbika?” Dia menjawab: “Saya beritahu kamu apa yang disampaikan Rasulullah SAW kepada kami: “Sesungguhnya aku berdiam di Gua Hira’, maka tatkala aku menyelesaikan diamku disana, aku turun dan di tengah‐tengah lembah akau melihat ke kiri dan kanan, kemudian aku melihat ke atas. Tiba‐tiba aku melihat dia – yakni malaikat Jibril – sehingga aku gemetar. Aku kemudian menemui Khadijah dan menyuruhnya menyelimuti aku, kemudian Allah menurunkan “ya ayyuhal muddatstsir qum fa andzir”. Akan tetapi, para ulama’ menyanggah pertentangan diantara dua riwayat ini dengan berbagai jawaban, yang paling masyhur adalah: maksud dari yang pertama turun (al‐awwaliyah) dalam hadits Jabir ini adalah awwaliyah makhshushah (yang pertama turun dalam kriteria tertentu), yakni yang pertama turun dalam masalah perintah untuk memberi peringatan. Maksudnya, wahyu yang pertamakali diturunkan untuk (tugas) kerasulan adalah “ya ayyuhal muddatstsir”, sedangkan wahyu yang pertamakali diturunkan untuk (pengangkatan) kenabian 45



Disarikan dari: al‐Majruuhin I/100‐102; at‐Tarikh al‐Kabir I/336; al‐Jarh wat‐Ta'dil II/146.



111



adalah “iqra’ bismirabbika”. Ini adalah sebuah jawaban yang baik dan tepat sekali.



Pernyataan senada dapat kita jumpai dalam Sirah Nabi, karya Imam adz‐ Dzahabi, hal. 84. Setelah menyebutkan riwayat dari Abu Salmah, dari Jabir, seperti yang juga disebutkan as‐Suyuthi diatas, beliau menulis: Riwayat diatas merupakan bukti bahwa ayat ‘ya ayyuhal muddatstsir’ diturunkan setelah turunnya wahyu pertama, yaitu ‘iqra’ bismi rabbikal‐ ladzi khalaq’. Jadi, wahyu pertama adalah pengangkatan beliau sebagai Nabi, sedang wahyu kedua adalah pengangkatannya sebagai Rasul.



Imam az‐Zarkasyi menyatakan (al‐Burhan I/207), bahwa pendapat terkuat tentang wahyu pertama adalah al‐'Alaq. Menurutnya, pendapat bahwa al‐Muddatsir adalah wahyu kedua juga menjadi kesepakatan yang kekuatannya setingkat dibawah ijma' untuk al‐'Alaq. Kompromi yang beliau tawarkan pun sama, bahwa al‐'Alaq adalah wahyu pelantikan Muhammad shalla‐llahu 'alaihi wa sallam sebagai Nabi, sedang al‐ Muddatsir adalah wahyu pengangkatan sebagai Rasul. Pendeknya, wahyu pertama berkaitan dengan tugas nubuwwah, sedang yang kedua berkenaan dengan misi risalah. Pada halaman selanjutnya, az‐Zarkasyi menulis: Ada yang berpendapat, wahyu yang pertamakali diturunkan untuk (misi) risalah adalah ya ayyuhal muddatsir sedangkan untuk (tugas) nubuwwah adalah iqra' bismi rabbika. Para ulama' menyatakan bahwa firman Allah iqra' bismi rabbika menunjukkan kepada kenabian Muhammad shalla‐ llahu 'alaihi wa sallam, sebab kenabian adalah ungkapan untuk (menamai fenomena dimana) wahyu (yang diturunkan) kepada seseorang lewat lisan malaikat dengan membawa beban tugas (taklif) khusus (bagi dirinya sendiri). Sedang firman Allah ya ayyuhal muddatsir qum fa‐ andzir merupakan petunjuk atas kerasulan beliau karena kerasulan adalah ungkapan untuk wahyu (yang diturunkan) kepada seseorang dengan membawa taklif umum (bagi semua orang).



Bila riwayat‐riwayat asbabun nuzul surah al‐'Alaq – sebagaimana dipaparkan dalam Bab I dimuka – dibaca ulang, kita akan menemukan bahwa memang demikianlah tata urutan penurunan wahyu berdasar pada riwayat‐riwayat yang shahih.[] Wallahu a'lam.



112



BAB V KEDUDUKAN AL‐FATIHAH DALAM TARTIB NUZULI



Selain dalam tartib nuzuli seperti diuraikan pada Bagian I, cukup sukar menemukan riwayat tentang urutan penurunan surah ini. Para penulis tafsir maupun ulama’ al‐Qur’an tidak sepakat tentangnya. Referensi‐ referensi utama dalam 'ulumul Qur'an yang kami miliki selalu menyertakan catatan khusus untuk al‐Fatihah, dimana semua menegaskan adanya ikhtilaf yang luas dan sulitnya memberi kata putus. Hanya ada indikasi‐indikasi tertentu yang dipegangi para ulama', walau semua kemudian berpulang kepada keyakinan masing‐masing untuk menerima maupun menolaknya. Riwayat asbabun nuzul surah al‐Fatihah sebenarnya ada, namun tidak banyak dikutip para ahli tafsir. Akibatnya, surah ini terkesan turun tanpa asbabun nuzul. Para ulama' sendiri berbeda pendapat tentang kapan diturunkannya. Kebanyakan mufassirun berkonsentrasi menjelaskan keagungan surah ini, bukan asbabun nuzul‐nya. Memang, tidak semua ayat al‐Qur'an memiliki asbabun nuzul. Jika dibandingkan dengan jumlah ayatnya yang ribuan, maka jumlah riwayat tentang latar belakang penurunannya tidaklah seberapa. Bahkan, ada surah‐surah yang dilewati begitu saja oleh Imam as‐Suyuthi dalam kitab Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, dengan tanpa menyebutkan sepotong pun riwayat tentangnya. Malangnya, al‐Fatihah adalah surah pertama dalam deretan yang tidak disinggung sedikitpun riwayatnya dalam kitab itu. Setelahnya, ada 11 surah lain yang juga tidak disebutkan riwayat asbabun nuzul‐nya, yaitu: an‐Naml (27), al‐Mulk (68), Nuh (71), al‐ Insyiqaq (84), al‐Buruuj (85), al‐Balad (90), asy‐Syams (91), al‐Bayyinah (98), al‐Qari'ah (101), al‐'Ashr (103), dan al‐Fiil (105). Hanya saja, fakta ini tidak serta‐merta menyatakan bahwa dalam kitab‐kitab yang lain tidak disebutkan riwayatnya. Menurut pengakuan as‐Suyuthi dalam muqaddimah‐nya, kitab beliau disusun berdasarkan salah satu referensi asbabun nuzul yang paling masyhur di masanya, yakni karya Imam al‐Wahidi. Itu pun sudah disertai berbagai tambahan yang membuatnya "bernilai lebih", sehingga seharusnya lebih lengkap dan komprehensif. Kami tidak tahu, apakah surah‐surah yang dilewati tanpa asbabun nuzul tersebut memang demikian adanya, atau ada riwayat tertentu namun tidak bisa dipercaya? Kebanyakan kitab tafsir hanya mengutip pendapat ulama' salaf tentang kapan surah ini turun. Sebagaimana akan kita lihat sebentar lagi, riwayatnya saling menafikan satu sama lain. Ada yang mengatakan turun di Makkah, ada pula yang bersikukuh ia turun di Madinah. Bahkan, ada yang mengompromikannya sebagai diturunkan dua kali atau diturunkan setengah disini dan sisanya disana. Dengan sendirinya, nyaris tiada yang bisa diselidiki maupun dipastikan kekuatannya, selain berpegang pada keyakinan kita tentang ketokohan ulama' yang memiliki pendapat tersebut. Masalahnya, dalam kasus al‐Fatihah ini, keyakinan tentang ketokohan ini pun tidak benar‐benar membantu memastikan mana yang 113



paling shahih, sebab mereka yang saling berbeda pendapat adalah para Sahabat sendiri, juga ulama'‐ulama' besar yang tsiqah. Kami juga berusaha melacak ke dalam kitab as‐Suyuthi yang lain, yang banyak memuat atsar tentang penafsiran ayat‐ayat al‐Qur'an, yakni ad‐ Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma'tsur. Sayang, hasilnya juga nyaris "buntu", karena sanad riwayat yang ada ternyata munqathi' (terputus) hanya sampai generasi Tabi'in saja.



Al‐Fatihah: Diperselisihkan Tarikh Nuzulnya Demikianlah, diskusi tentang surah ini selalu memuat banyak kebingungan, yang pada akhirnya harus berakhir dengan kompromi dalil (al‐jam’u bainal adillah), bukan penguatan atas salah satu dalil (at‐ tarjih bainal adillah), sebagaimana dikatakan Dr. Subhi as‐Shalih, hal. 180: Para ulama’ menentukan – berlandaskan kepada berbagai riwayat dan isnad – surah‐surah Makkiyah dan Madaniyah, kemudian meletakkannya sesuai dengan urutan turunnya. Bila mereka meragukan awal atau akhir yang diturunkan dari suatu surah –mereka sampai pada ikhtilaf mengenai surah al‐Fatihah yang dibaca kaum muslimin setiap rakaat shalat – maka sebagian dari mereka berpandangan bahwa surah ini Makkiyah sedang menurut sebagian lainnya Madaniyah. Ada lagi kelompok ketiga yang berpendapat surah ini turun dua kali. Sebagian ulama’ menegaskan bahwa surah ini adalah wahyu yang pertamakali diturunkan di Makkah, sehingga ia menjadi surah yang pertamakali turun secara mutlak. Sebagian ulama’ lain menegaskan bahwa ada beberapa surah lain yang turun terlebih dahulu (sebelumnya). Dalam hal‐hal semacam inilah para ulama’ saling berlomba untuk menunjukkan dalil dan argumen, dimana argumen‐argumen tersebut lebih merupakan ijtihad dibanding menukil riwayat (dalil). Salah seorang ulama’, Al‐ Wahidi misalnya, menganggap tak mungkin Rasulullah berdiri mengerjakan shalat selama 10 tahun lebih dengan tanpa membaca al‐ Fatihah.



Dalam catatan kaki, beliau menyatakan bahwa diantara sekian banyak surah yang masih diperselisihkan adalah al‐Fatihah ini. Al‐Hasan bin al‐Hishar menyusun nazham dalam kitabnya an‐Nasikh wal Mansukh yang memuat beberapa bait, dimana darinya dapat difahami bahwa ulama’ bersepakat 20 surah sebagai Madaniyah,46 yaitu: (1) al‐ Baqarah, (2) Ali ‘Imran, (3) an‐Nisa’, (4) al‐Maidah, (5) al‐Anfal, (6) at‐ Taubah, (7) a‐Nuur, (8) al‐Ahzab, (9) Muhammad, (10) al‐Fath, (11) al‐ Hujurat, (12) al‐Hadid, (13) al‐Mujadalah, (14) al‐Hasyr, (15) al‐ Mumtahanah, (16) al‐Jumu’ah, (17) al‐Munafiqun, (18) ath‐Thalaq, (19) at‐Tahrim, dan (20) an‐Nashr. Mereka berbeda pendapat mengenai 12 surah lainnya, karena banyaknya riwayat (yang saling bertentangan) tentang surah‐surah tersebut, yakni: (1) al‐Fatihah, (2) ar‐Ra’d, (3) ar‐Rahman, (4) ash‐Shaff, (5) at‐ 46



Agaknya, surah‐surah ini disebutkan begitu saja, bukan dengan urutan tartib nuzuli. Penomoran berasal dari kami sendiri untuk memudahkan. – Penulis.



114



Taghabun, (6) at‐Tathfif, (7) al‐Qadr, (8) Lam Yakun, (9) Idza Zulzilat, (10) al‐Ikhlash, (11) al‐Falaq, dan (12) an‐Naas. Adapun surah‐surah selain (yang sudah disebutkan diatas), disepakati sebagai surah Makkiyah (Lihat: al‐Itqan 1/17‐18, disini as‐Suyuthi menyebutkan secara lengkap bait yang dibuat Ibnul Hishar). Berdasarkan ini dapat ditentukan bahwa jumlah surah‐ Makkiyah adalah 82, karena jumlah (surah) al‐Qur’an selengkapnya adalah 114.



Riwayat dan pendapat tentang posisi surah al‐Fatihah dalam tartib nuzuli memang saling bertentangan, sebagaimana ditulis Ibnu Katsir dalam tafsirnya, I/8‐9: (Surah) ini adalah Makkiyah, menurut pendapat Ibnu ‘Abbas, Qatadah dan Abul ‘Aliyah. Menurut pendapat lain, surah ini Madaniyah, yakni dari Abu Hurairah, Mujahid, ‘Atha’ bin Yasar, dan az‐Zuhri. Menurut yang lain, konon surah ini diturunkan dua kali, sekali di Makkah dan sekali di Madinah. Pendapat yang pertama lebih sesuai dengan firman Allah “wa laqad atainaka sab’an minal‐matsani” (dan sungguh telah Kami berikan kepadamu tujuh ayat yang diulang‐ulang), wallahu ta’ala a’lam. Abul Laits as‐Samarqandi mengungkapkan bahwa separoh al‐Fatihah diturunkan di Makkah sedangkan separoh lainnya di Madinah. Ini adalah pendapat yang sangat asing sekali (gharib jiddan). Pendapat ini dinukil oleh al‐Qurthubi dari Abul Laits.



Setelah menyebutkan beberapa riwayat yang berkaitan dengan basmalah, Ibnu Katsir mengutip sebuah pernyataan berkenaan dengan Ibnu Mas’ud, juga riwayat lain yang intinya senada dengan apa yang sudah dikutip oleh Dr. Subhi as‐Shalih dimuka. Al‐A’masy meriwayatkan dari Ibrahim, dia berkata: “Pernah ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud, mengapa Anda tidak menuliskan al‐Fatihah dalam mushaf Anda?” Beliau menjawab, “Andai saya menuliskannya, tentu saya akan menuliskannya di awal setiap surah.”



Dalam Mushaf Ibnu Mas’ud, konon, memang tidak dicantumkan surah al‐ Fatihah. Bahkan, az‐Zarkasyi mengutip pernyatan al‐Qadhi Abu Bakr al‐Baqillani yang – menurut kami – terkesan pesimistis (lihat: al‐Burhan I/260). Siapa yang menyusun al‐Qur'an berdasarkan (kriteria surah‐surah) Makkiyah dan Madaniyah, niscaya tidak mengerti harus dimana meletakkan surah al‐Fatihah, mengingat perbedaan pendapat para ulama' tentang tempat penurunannya.



Kemungkinan yang bisa dilakukan adalah menilai tokoh yang mengemukakan pendapat tersebut, walau hasilnya boleh jadi tidak memuaskan. Kami memilih bahwa surah al‐Fatihah adalah Makkiyah, mengingat ini berasal dari Ibnu 'Abbas. Dalam hal pen‐tarjih‐an ini, kami berpegang pada Lubabun Nuqul (lihat: Tafsir al‐Jalalain I/6), dimana as‐ Suyuthi menulis: Diantara yang bisa dijadikan sandaran dalam pen‐tarjih‐an adalah dengan memeriksa isnad‐nya, juga status perawi yang menjadi salah



115



seorang penyebab (turunnya wahyu dimaksud) yang hadir – menyaksikan sendiri – dalam kisahnya itu, atau dia termasuk salah seorang ulama' tafsir seperti Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud radhiya‐llahu 'anhum.



Dalam dua pendapat diatas, ada dua kubu: Ibnu ‘Abbas, Qatadah dan Abul ‘Aliyah di satu pihak; dan Abu Hurairah, Mujahid, ‘Atha’ bin Yasar serta az‐Zuhri di pihak lain. Ada dua Sahabat dan selebihnya adalah ulama' besar Tabi'in yang berguru kepada mereka. Kita sudah sama‐sama mengerti kedudukan Ibnu 'Abbas dalam tafsir. Untuk Abu Hurairah, hadits yang beliau riwayatkan memang banyak, namun beliau tidak dikenal sebagai ulama' tafsir. Sebagaimana kaidah pen‐tarjih‐an pendapat dalam masalah asbabun nuzul yang dikatakan as‐Suyuthi diatas, kiranya kami tidak layak mengakhirkan Ibnu 'Abbas disini. Wallahu a'lam. Riwayat Asbabun Nuzul al‐Fatihah Imam as‐Suyuthi menukil dalam ad‐Durrul Mantsur I/10‐11, sebuah riwayat panjang tentang latar belakang penurunan surah ini, juga keterangan lainnya yang menegaskan kapan surah ini diturunkan. Al‐Wahidi mengeluarkan hadits (dalam kitab Asbabun) Nuzul, juga ats‐ Tsa'labi dalam kitab tafsirnya, yang bersumber dari 'Ali, bahwa beliau berkata, "Surah al‐Fatihah diturunkan di Makkah dari gudang perbendaharaan di bawah 'Arsy." Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan hadits dalam kitab al‐Mushannaf, juga Abu Nu'aim dan al‐Baihaqi yang keduanya mengeluarkan hadits dalam kitab Dala'ilun Nubuwwah, juga al‐Wahidi dan ats‐Tsa'labi, yang bersumber dari Abu Maysarah 'Amr bin Syurahbil: Sesungguhnya Rasulullah berkata kepada Khadijah, "Sesungguhnya aku, jika sedang menyepi sendirian, (sering) mendengar suara panggilan. Sungguh, demi Allah, aku sangat takut jika ini adalah sesuatu (gangguan jin)!" Khadijah pun menjawab, "Aku berlindung kepada Allah. Tidak mungkin Allah melakukan hal itu kepadamu. Demi Allah, engkau sungguh senantiasa menunaikan amanah, menyambung tali persaudaraan, dan berkata benar." Saat Abu Bakar masuk ke rumah Nabi dan beliau sedang tidak ada di dalamnya, Khadijah pun menceritakan hal itu kepadanya. Khadijah juga berkata, "Pergilah engkau dengan Muhammad menemui Waraqah." Maka, tatkala Rasulullah datang, Abu Bakar meraih tangan beliau dan berkata, "Ayo kita bersama‐sama pergi menemui Waraqah." Rasulullah bertanya, "Siapa yang memberitahumu (tentang apa yang kualami)?" Abu Bakar menjawab, "Khadijah." Maka keduanya pun pergi menemuinya, dan menceritakan padanya kisah itu. Rasulullah menuturkan, "Jika aku sedang menyepi sendirian, aku mendengar suara panggilan dari belakangku, 'Hai Muhammad! Hai Muhammad!' Maka, akupun segera melarikan diri (ke tempat lain) di muka bumi." Waraqah menyahut, "Jangan begitu. Jika (nanti) dia datang lagi, tetaplah diam di tempat, sehingga engkau mendengar apa yang dikatakannya, setelah itu datang lagi temui aku."



116



Kemudian beliau memberitahu saya, bahwa tatkala beliau sedang sendirian, sebuah suara memanggilnya, "Hai Muhammad! Katakanlah: bismillahir‐rahmaanir‐rahim al‐hamdu lillahi rabbil‐'alamin – sampai ayat – wa ladh‐dhaalliin." Dia juga berkata, "Katakanlah: laa ilaaha illa‐ llaah." Beliau pun mendatangi Waraqah lagi dan menceritakan padanya peristiwa itu. Maka, dia pun berkata, "Bergembiralah! Sekali lagi, bergembiralah! Sungguh, aku bersaksi bahwa sesungguhnya engkaulah (orang) yang diberitakan dalam kabar gembira ('Isa) putra Maryam. Sungguh, engkau mengalami seperti Namus‐nya Musa. Dan, sungguh engkau adalah seorang Nabi yang diutus."



Lahiriah kisah ini menampilkan periode yang sangat awal dalam penurunan wahyu kepada Rasulullah, yang agaknya dari sini dipahami oleh sebagian ulama' bahwa al‐Fatihah adalah wahyu pertama secara mutlak. Ada beberapa kompromi yang ditawarkan, bersamaan dengan riwayat lain tentang al‐Muddatsir. Dalam berbagai sumber klasik, disebutkan bahwa "al‐'Alaq adalah wahyu pertama secara mutlak, kemudian al‐Muddatsir adalah wahyu pertama yang didahului sebab tertentu, sedang al‐Fatihah adalah wahyu pertama yang diturunkan satu surah secara utuh". Jadinya, ketiganya memang tetap wahyu pertama, dalam konteksnya masing‐masing. Dalam kaitannya dengan riwayat al‐Fatihah diatas, sebagaimana disebutkan dalam berbagai riwayat lain, seperti dalam Shahih al‐Bukhari yang bersumber dari 'Aisyah, tokoh Waraqah bin Naufal meninggal tidak lama setelah turunnya wahyu pertama. Dan, kondisi gemetar serta ketakutan setiap kali didatangi Jibril hanya terjadi pada masa‐masa awal pertemuan beliau dengan malaikat ini. Sebab, setelah beliau yakin tidak dirasuki jin dan bahwa yang dilihatnya adalah makhluk lain, tidak ada lagi riwayat yang menyebutkan kekhawatiran beliau. Bahkan, setelah itu adalah masa‐masa kemesraan panjang antara beliau dengan Jibril, dimana malaikat pembawa wahyu tersebut sering mendatangi beliau atas perintah Allah, baik untuk tujuan menyampaikan al‐Qur'an atau lainnya. Riwayat yang dikutip as‐Suyuthi tersebut dicantumkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al‐Mushannaf VII/329‐330, dengan teks yang bahkan lebih panjang dan dengan tambahan keterangan lain yang tidak disebutkan as‐Suyuthi. Inti kisahnya sama. Sanadnya adalah: 'Ubaidullah, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Abu Maysarah. Abu Maysarah nama aslinya adalah 'Amr bin Syurahbil al‐Kufi al‐ Hamadani, seorang perawi yang dinilai tsiqah oleh Yahya bin Ma'in, dan sempat ikut bertempur bersama 'Ali bin Abi Thalib 'alaihis‐salam di Shiffin. Menurut Ibnu Hajar, Abu Maysarah seorang yang tsiqah, ahli ibadah dan muhadhram yang wafat pada tahun 63 H. Syuraih al‐Qadhi memimpin shalat jenazahnya. Menurut adz‐Dzahabi, perawi ini adalah ahli ibadah yang riwayatnya dapat dijadikan pegangan ('aabid hujjah). Jika kita perhatikan guru‐gurunya, maka beliau sempat berjumpa dan menerima riwayat dari banyak Sahabat senior, yakni 'Umar, 'Ali, Hudzaifah bin al‐Yaman, Salman bin Rabi'ah, 'Abdullah bin Mas'ud, Qays 117



bin Sa'ad bin 'Ubadah, 'Aisyah, Ma'qil bin Muqrin al‐Muzanni, dan an‐ Nu'man bin Basyir radhiya‐llahu 'anhum.47 Hanya saja, menurut al‐Qadhi Abu Bakar al‐Baqillani dalam kitab al‐ Intishar, seperti dikutip az‐Zarkasyi dalam al‐Burhan I/207, sebagaimana juga dapat kita lihat secara jelas dari rangkaian sanad‐nya, khabar ini terputus (munqathi') karena Abu Maysarah adalah generasi Tabi'in, dan beliau tidak menyebutkan siapa Sahabat yang menjadi sumbernya. Perlu diingat, berita tentang nuzul‐nya al‐Qur'an tidak mungkin bersumber dari selain Rasulullah atau Sahabat. Sebab, masa pewahyuan terhenti setelah wafatnya Rasulullah. Walau, memang benar bahwa dalam hal semisal asbabun nuzul hampir tak mungkin generasi Tabi'in membuatnya sendiri. Yang lebih mungkin adalah mereka mendasarkannya dari salah seorang Sahabat. Hanya saja, dalam kasus Abu Maysarah ini, persisnya siapa Sahabat yang dirujuknya? Bila kita perhatikan lebih teliti riwayat itu, lahirnya memang terkesan agak aneh. Seharusnya, jika al‐Fatihah turun jauh setelah al‐'Alaq, saat itu Waraqah bin Naufal sudah wafat. Dalam matan riwayat yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah juga terdapat berbagai hal yang – menurut riwayat 'Aisyah dalam Shahih al‐Bukhari – diucapkan Waraqah berkenaan dengan turunnya Iqra' (wahyu pertama). Pertanyaannya, bagaimana mempertemukan keduanya? Ibnu Hajar al‐'Asqalani pernah mengulas masalah Waraqah bin Naufal ini dalam kaitannya dengan dakwah Rasulullah (lihat: Fathul Baari I/27). Disini, beliau sedang menjelaskan teks hadits riwayat al‐Bukhari yang menyatakan bahwa setelah turunnya wahyu pertama, Waraqah tidak memiliki kaitan apa‐apa lagi yang bisa diceritakan, sampai meninggalnya (lam yata'allaq bi‐syai'in minal‐umuuri hatta maata). Menurut beliau: Hal ini berbeda dengan apa yang disebutkan Sirah Ibnu Ishaq, bahwasannya Waraqah pernah lewat di dekat Bilal yang sedang disiksa. Kisah ini mengharuskan masih hidupnya Waraqah sampai zaman dakwah dan juga sampai masuk Islamnya sebagian orang. Jika kita menahan diri dari men‐tarjih riwayat ini, maka sebenarnya apa yang disebutkan dalam Shahih (al‐Bukhari) lebih shahih. Dan, jika kita melakukan kompromi (al‐jam'u), mungkin dapat dikatakan bahwa wawu dalam kata‐kata wa‐fatara al‐wahyu (dan wahyu pun mengalami masa fatrah), tidak bermakna tartib (urutan kejadian). Boleh jadi, perawi tidak mengingat kisah lain tentang Waraqah setelah (turunnya wahyu) itu, yang berkenaan dengan sesuatu perkara (yang dapat diceritakan berkenaan dengan dakwah Nabi). Alhasil, perawi pun menjadikan kisah (awal mula turunnya wahyu) ini sebagai akhir urusan Waraqah, sebatas apa yang diketahuinya dan bukan menurut fakta yang sesungguhnya terjadi.



Cerita tentang melintasnya Waraqah di dekat Bilal yang tengah disiksa memang ada dalam Sirah Ibnu Hisyam, yang merupakan ringkasan sekaligus saringan dari Sirah Ibnu Ishaq yang sudah hilang. Kisah ini ada 47



Disarikan dari: al‐Kasyif II/78; Taqribut Tahdzib I/422; al‐Jarh wat Ta'dil VI/237; Tahdzibul Kamaal XXII/60‐61.



118



pada II/159‐160 dari Sirah Ibnu Hisyam, yang diterbitkan oleh Darul Jayl, Beirut. Bilal adalah maula (bekas budak yang dimerdekakan) oleh Abu Bakar, asalnya milik sebagian anggota Bani Jumah dan merupakan salah seorang keturunan budak‐budak mereka. Dia bernama Bilal, putra Rabah, dimana ibunya bernama Hamamah. Bilal termasuk orang yang benar dalam ber‐Islam dan bersih hatinya. Umayyah bin Wahb bin Hudzafah bin Jumah menyeretnya keluar ke sebuah tanah lapang di lembah Makkah ketika matahari tengah panas menyengat, kemudian menyuruh orang meletakkan batu besar diatas dadanya. Ia berkata kepada Bilal, "Kau akan terus seperti ini sampai mati, atau kau mengkufuri Muhammad serta mau menyembah al‐Latta dan al‐'Uzza!" Ditengah‐tengah siksaan itu, Bilal hanya mengucapkan, "Ahad. Ahad" (artinya: ilah yang esa, ilah yang esa, yakni Allah). Ibnu Ishaq berkata: Hisyam bin 'Urwah bercerita kepadaku: bersumber dari ayahnya – 'Urwah bin az‐Zubair – dia berkata: Waraqah bin Naufal pernah lewat di dekat Bilal yang sedang disiksa seperti itu, sementara dia tetap mengucapkan "Ahad, Ahad". Maka, Waraqah pun berkata, "(Terus ucapkan) kata‐kata ahad ahad itu, demi Allah, wahai Bilal." Ia kemudian berbalik menghadap ke arah Umayyah bin Khalaf dan orang‐ orang yang menyiksanya dari Bani Jumah, seraya berkata, "Aku bersumpah demi Allah, jika kalian membunuhnya dalam keadaan tetap seperti ini, pasti aku akan menjadikan dia sebagai hanaan." Yakni, orang yang dicari berkahnya.



Hanya saja, riwayat Ibnu Ishaq dari Hisyam yang bersumber dari 'Urwah ini mursal, dimana tidak disebutkan sumber aslinya dari kalangan Sahabat. Sebab, 'Urwah sendiri adalah generasi Tabi'in yang tidak menyaksikan peristiwa tersebut. 'Urwah adalah putra az‐Zubair bin al‐ 'Awwam radhiya‐llahu 'anhu, yang menurut Ibnu Sa'ad termasuk generasi kedua penduduk Madinah. 'Urwah lahir pada tahun 23 H, di penghujung kekhilafahan 'Umar radhiya‐llahu 'anhu. Saat pecah Perang Jamal tahun 36 H, beliau masih dianggap anak kecil sehingga tidak dilibatkan (lihat: Tahdzibut Tahdzib VII/165). Sedang peristiwa penyiksaan Bilal terjadi di Makkah pada tahun‐tahun awal dakwah Rasulullah. Ada jarak waktu tak kurang dari setengah abad antara peristiwa itu dengan usia baligh 'Urwah, yang dalam etika periwayatan hadits merupakan batas diterimanya riwayat. Darimana sumber cerita 'Urwah ini? Apakah dari bibi dan gurunya, ummul mu’minin ‘Aisyah? Kalaupun benar, tetap saja mursal, karena saat peristiwa itu berlangsung ‘Aisyah tentu belum lahir atau masih balita. Sebab, beliau lahir sekitar tahun ke‐4 kenabian. Dalam asbabun nuzul surah al‐Lahab kita akan membahas topik ini lebih mendalam, insya‐Allah. Alhasil, riwayat asbabun nuzul al‐Fatihah diatas tidak bersambung (muttashil) ke generasi Sahabat. Logika peristiwanya juga kurang meyakinkan dari sisi sirah, meskipun boleh jadi hal itu benar sebagaimana disinggung Ibnu Hajar. Lagi pula, menurut an‐Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim II/108, pendapat bahwa al‐Fatihah sebagai wahyu pertama adalah dha'if, bahkan bathil. Letak kekeliruannya, masih menurut beliau, sudah sangat jelas sehingga tidak usah disebutkan 119



(buthlaanuhu azhharu min an yudzkar). Lebih disayangkan lagi, ternyata riwayat sirah yang berkaitan dengan masih hidupnya Waraqah setelah zaman dakwah diatas juga tidak bersambung. Jadi, rangkaian logikanya pun tidak bisa diandalkan dari berbagai segi. Al‐Fatihah Turun di Makkah Menurut kami, selain berpegang kepada pendapat Ibnu 'Abbas diatas, kedudukan al‐Fatihah dalam tartib nuzuli dapat diluruskan dengan meneliti konteks peristiwanya dalam Sirah. Kita sudah menyaksikan bahwa ketika surah al‐Muzzammil turun dan memuat perintah menegakkan qiyamul lail, maka Rasulullah dan para Sahabat mengerjakan selama setahun penuh, sebelum akhirnya diberi keringanan oleh Allah. Catatan‐catatan sirah juga menyebutkan bahwa para Sahabat sudah mengerjakan shalat sejak awal dakwah di Makkah. Peristiwa perkelahian Sa'ad bin Abi Waqqash dengan beberapa orang kafir yang mengejek shalatnya di sebuah lembah memperlihatkan hal ini. Saat itu, Sa'ad yang masih remaja – sekitar 18 tahun – memukul lawannya dengan tulang bekas bangkai kepala keledai. Inilah darah pertama yang ditumpahkan di jalan Allah. Tentu saja, shalat ini di siang hari, sebagai keringanan dari Allah. Menurut berbagai hadits shahih, shalat tidak sah tanpa membaca al‐ Fatihah di dalamnya. Kami sudah mengutip pernyataan al‐Wahidi yang menganggap mustahil Rasulullah mengerjakan qiyamul lail sepuluh tahun lebih tanpa membaca al‐Fatihah. Perlu diingat, bahwa sebelum diwajibkannya shalat 5 waktu – di akhir periode Makkah menjelang peristiwa hijrah – selama 10 tahun qiyamul lail adalah wajib. Syekh Muhammad 'Izzah Darwazah memberikan sebuah catatan panjang mengenai masalah shalat ini dalam kaitannya dengan dakwah Rasulullah dalam periode awal. Pada intinya beliau menyimpulkan bahwa shalat, sebagaimana yang sudah dikenal dewasa ini, telah dikerjakan sejak awal sekali, mungkin dimulai dengan tanpa batasan waktu dan jumlah rakaat. Pembatasan yang tegas tentang waktu dan jumlah rakaat baru turun setelah peristiwa Mi'raj, yang menurut pendapat terkuat berlangsung di penghujung periode Makkah, atau paling cepat pada tahun ke‐4 kenabian. Silakan merujuk kepada kitab beliau, At‐Tafsir al‐Hadits I/28‐ 34. Dengan demikian, anggapan bahwa al‐Fatihah turun di Madinah sukar diterima. Bahkan, selazimnya surah ini turun tidak jauh setelah al‐ Muzzammil, sebagai semacam jawaban atas pertanyaan tertentu yang timbul ketika turun kewajiban qiyamul lail.[] Wallahu a’lam bish‐shawab.



120



BAB VI AL‐LAHAB SEBAGAI SURAH PENANDA DA'WAH JAHRIYAH



Diterangkan bahwa, wahyu pertama yang diturunkan berkenaan dengan dimulainya dakwah terbuka adalah surah asy‐Syu'ara': 214 dan al‐Hijr: 94. Ayat pertama menyuruh Rasulullah memberi peringatan (indzar) kepada keluarga beliau yang terdekat, sedang ayat kedua memerintahkan beliau untuk berdakwah secara terang‐terangan dan tidak memperdulikan tanggapan orang‐orang musyrik. Peristiwa ini terjadi setelah kenabian berjalan 3 tahun, sebagaimana dikatakan Ibnu Jarir ath‐Thabari dalam Tarikh‐nya I/541, 543. Mungkin timbul pertanyaan, jika keduanya adalah wahyu yang lebih dahulu turun menjelang dakwah terbuka, mengapa bukan surah asy‐ Syu'ara' dan al‐Hijr saja yang dianggap sebagai urutan ke‐5 setelah al‐ Fatihah? Jawabnya, dikemukakan Dr. Subhi ash‐Shalih dalam Mabahits, hal. 179. …disampaikan oleh Ibnu ‘Abbas, “Jika pembukaan suatu surah turun di Makkah maka ia ditulis di Makkah, kemudian Allah menambahkan di dalamnya apa yang dikehendaki‐Nya.”



Artinya, sebuah surah panjang tidak serta merta disebut Makkiyah atau Madaniyah hanya karena tempat dan tarikh nuzul sebagian ayat yang ada di tengah‐tengahnya. Sebuah surah memperoleh status itu karena tarikh nuzul bagian permulaannya jelas‐jelas berkaitan dengan salah satu dari kedua periode tersebut. Demikian juga posisi suatu surah dalam tartib nuzuli sangat bergantung kapan bagian permulaannya diturunkan. Masalah ini pernah kami contohkan dalam kasus surah al‐ Muzzammil, dimana urutan penurunan ayat‐ayatnya yang unik, yakni ujungnya diturunkan lebih dahulu daripada tengah‐tengahnya.48 Kaidah yang sama berlaku pula untuk surah asy‐Syuara' dan al‐Hijr. Menurut versi‐versi tartib nuzuli yang ada, keduanya turun di urutan 40‐an dan 50‐an. Itu artinya, kemungkinan bagian awalnya turun setelah tahun ke‐ 5 kenabian, di belakang surah Maryam dan Thaha. Kedudukan ini tidak menghalangi untuk turunnya ayat‐ayat lain dari surah‐surah tersebut, yang bukan bagian permulaannya. Adapun al‐Lahab, surah ini cukup pendek dan hanya memuat 5 ayat, yang semuanya turun sekaligus dalam satu kesempatan saja. Lebih jelasnya, turunnya al‐Lahab sebagai wahyu ke‐5 tidak serta merta bermakna bahwa sebelum itu tidak ada wahyu‐wahyu lain yang diturunkan. Kita telah melihat bahwa ayat ke‐20 surah al‐Muzzammil turun setahun setelah bagian pembukanya, yang berarti masih dalam fase da'wah sirriyah sebelum turunnya ayat‐ayat dalam surah asy‐ Syu'ara', al‐Hijr maupun al‐Lahab. Jika kita melihat jumlah total ayat‐ ayat surah Makkiyah, maka wajar jika turun dalam periode sangat rapat, 48



Lihat kembali Bagian I, Bab III Tarikh Nuzul Ayat‐ayat al‐Qur'an, pada pembahasan pembatasan ayat yang pertamakali turun dari surah al‐Muzzammil.



121



atau mirip kuliah harian yang terus‐menerus ditambahkan materi baru setelah yang lama usai diterima, dimengerti dan diamalkan. Dari sini kami beranggapan bahwa selama 3 tahun da'wah sirriyyah, ada ayat‐ayat lain yang turun kepada Rasulullah, walau bukan merupakan bagian permulaan suatu surah tertentu, sehingga tidak menyebabkan perubahan urutan tartib nuzuli. Sayyid Quthb melontarkan kritik keras atas pendapat bahwa selama 3 tahun masa fatrah tidak ada wahyu yang turun samasekali, sebagaimana terlihat dalam pembukaan penafsiran beliau atas surah al‐Qalam.49 Syekh Darwazah juga cenderung meyakini indikasi semacam ini, mengingat beberapa penggal permulaan surah yang diriwayatkan turun dalam periode awal kenabian, seperti al‐Qalam, justru menyitir olok‐olok kaum kafir Quraisy terhadap isi al‐Qur'an sebagai cerita purbakala. Olok‐olok mereka setidaknya mengindikasikan telah adanya ayat‐ayat yang turun dan berbicara tentang kisah umat‐ umat terdahulu, yang mungkin sebagian besar mirip dengan isi kitab‐ kitab milik kaum Yahudi dan Nasrani, sehingga mereka menuduh Nabi cuma menjiplak.50



Riwayat Asbabun Nuzul al‐Lahab Latar belakang historis turunnya surah ini shahih, sebagaimana yang diriwayatkan Imam al‐Bukhari dalam Shahih‐nya IV/1902 hadits no. 4687. Yusuf bin Musa menceritakan hadits kepada kami: Abu Usamah menceritakan hadits kepada kami: al‐A'masy menceritakan hadits kepada kami: 'Amr bin Murrah menceritakan hadits kepada kami: bersumber dari Sa'id bin Jubair: bersumber dari Ibnu 'Abbas radhiya‐ llahu 'anhuma, beliau berkata: Tatkala diturunkan (wahyu) "wa andzir 'asyiratak al‐aqrabiin" wa rahthaka minhum al‐mukhlashiin, Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam keluar sampai berada di puncak bukit Shafa. Beliau kemudian berseru nyaring, "Yaa shabahaah!! (Serangan pagi! Serangan pagi!)" Orang‐orang pun saling bertanya, "Siapa gerangan orang (yang memanggil‐manggil) ini?" Mereka pun berkumpul mendekati beliau. "Apa pendapat kalian," kata beliau, "jika aku kabarkan bahwa sepasukan tentara berkuda akan keluar (menyerbu kalian) dari celah gunung ini, adakah kalian percaya padaku?" Mereka menjawab, "Kami belum pernah melihatmu berbohong." Beliau pun bersabda, "Aku ini sungguh‐sungguh pemberi peringatan kepada kalian dari ancaman siksa yang sangat pedih." Maka Abu Lahab pun menyahut, "Celaka besar engkau ini! Engkau mengumpulkan kami hanya untuk ini?" Dia segera bangkit pergi, dan kemudian turunlah "tabbat yadaa abi lahabin wa tabba", dan ia benar‐benar telah celaka. Demikianlah al‐A'masy membacanya pada saat itu.



Dua riwayat setelahnya menceritakan hal yang sama, namun berasal dari jalur sanad berbeda. Potongan riwayat ini maupun matan lengkapnya 49



Lihat kembali Bab II Memahami Kontroversi al‐Qalam diatas, terutama kritik panjang Sayyid Quthb yang kami kutip dari Tafsir Zhilal. 50 Silakan periksa penafsiran beliau terhadap surah al‐Qalam.



122



dicantumkan juga oleh al‐Bukhari pada I/470 hadits no. 1330; IV/1787 hadits no. 4492‐4493, hal. 1804 hadits no. 4523, hal. 1902 hadits no. 4687. Riwayat yang serupa juga dituturkan oleh Imam‐imam lainnya, yakni: ·



Imam Muslim dalam Shahih‐nya I/193‐194 hadits no. 208, dari Ibnu 'Abbas.



·



Imam Ibnu Hibban dalam Shahih‐nya XIV/485‐488 yakni hadits no. 6548 dari 'Aisyah, berupa potongan matan; no. 6549 dari Abu Hurairah; no. 6550 dari Ibnu 'Abbas; no. 6551 dari (Abu Musa) al‐ Asy'ari, berupa potongan matan.



·



Imam at‐Tirmidzi dalam Sunan‐nya V/451 hadits no. 3363, dari Ibnu 'Abbas. Menurutnya, hadits ini hasan‐shahih. Juga dalam V/339 hadits no. 3186, dari Abu Musa al‐Asy’ari. Namun menurut beliau, hadits yang ini gharib, karena riwayat yang lebih shahih adalah mursal dari Qasamah bin Zuhair al‐Mazini al‐Bashri, tanpa menyebutkan nama Abu Musa. Qasamah sendiri adalah perawi tsiqah dari generasi Tabi’in, wafat pada tahun 80‐an hijriyah di zaman al‐ Hajjaj bin Yusuf.51



·



Imam an‐Nasai, di beberapa tempat dalam as‐Sunan al‐Kubra VI/243‐ 244 hadits no. 10815‐10817 dari Qubaishah bin Mukhariq dan Zuhair bin 'Amr; hal. 244 hadits no. 10818‐10819; hal. 437, hadits no. 11426; dan hal. 526 hadits no. 11714. Semua riwayat yang terakhir ini dari Ibnu 'Abbas.



·



Imam Ahmad bin Hanbal dalam al‐Musnad I/281 hadits no. 2544; hal. 307 hadits no. 2807, keduanya dari Ibnu 'Abbas. Juga dalam III/476 dari Qubaishah bin ‘Amr.



·



Imam Ibnu Jarir ath‐Thabari dalam at‐Tarikh I/541‐543, bersumber dari Ibnu 'Abbas, 'Ali bin Abi Thalib, dan al‐Hasan bin Abi al‐Hasan. Ada beberapa riwayat yang beliau muat disini, termasuk salah satunya yang di dalam sanad‐nya mencantumkan nama 'Ali bin Abi Thalib sebelum Ibnu 'Abbas. Artinya, sumber pertama kisah ini bukan dimutlakkan kepada Ibnu 'Abbas seperti dalam riwayat‐riwayat yang lain, namun dapat ditelusuri lebih jauh lagi kepada 'Ali bin Abi Thalib.



·



Imam al‐Baihaqi dalam as‐Sunan al‐Kubra IX/7. Selain menyebutkan banyak riwayat di dalamnya, baik secara rinci maupun global, beliau juga memiliki sanad yang serupa dengan milik Ibnu Jarir diatas.



·



Imam Muhammad bin Ishaq al‐Fakihy dalam Akhbaaru Makkkah II/213‐216, hadits no. 1379‐1381 dan 1384, dari Ibnu 'Abbas dan Abu Hurairah.



51



Disarikan dari: al‐Jarh wat‐Ta’dil VII/147; Tahdzib at‐Tahdzib VIII/338; Taqrib at‐ Tahdzib I/455; al‐Kasyif II/137; Tahdzibu al‐Kamal XXIII/602.



123



·



Imam Ibnu Katsir dalam al‐Bidayah wan‐Nihayah III/38‐40; VI/111‐ 112 dari Ibnu 'Abbas, Abu Hurairah, 'Ali bin Abi Thalib [lewat Ibnu 'Abbas dan Rabi'ah bin Majid].



·



Imam al‐Mundziri dalam at‐Targhib wat‐Tarhib IV/244‐245, dari Abu Hurairah.



·



Imam Abu Bakr asy‐Syaibani dalam al‐Aahad wal‐Matsaani III/124 hadits no. 1446 dari Zuhair bin ‘Amr.



·



Imam ath‐Thabrani dalam al‐Mu’jam al‐Kabir V/272 hadits no. 5305, dari Zuhair bin ‘Amr al‐Hilali.



Selain dalam kitab‐kitab hadits, pada umumnya kitab tafsir juga menuturkan riwayat ini dari sumbernya masing‐masing. Sebagai misal, salah satu riwayat Imam al‐Qurthubi dikutip dalam Tafsir XIV/312 dari Ibnu ‘Abbas. Untuk Imam ath‐Thabari, salah satunya tercantum dalam Tafsir XIX/120‐121, dari beberapa sumber. Untuk Imam Ibnu Katsir beliau menukilnya dalam Tafsir III/350‐351, juga dari beberapa sumber. Demikianlah, terlihat bahwa riwayat ini tidak asing, walau kita harus menyadari bahwa tidak seluruhnya shahih dan muttashil, sebagaimana yang akan kita lihat sebagian darinya dalam analisa berikut.



Status Riwayat Asbabun Nuzul al‐Lahab Menurut kami, ada beberapa catatan yang perlu diberikan terkait dengan riwayat‐riwayat diatas, terutama dari segi perawi terakhirnya dari kalangan Sahabat. Sebab, seluruh perawi yang disebutkan diatas hampir pasti tidak menyaksikan secara langsung peristiwa yang diceritakannya. Dengan kata lain, enam Sahabat tersebut bukan saksi sejarah, hanya pengutip berita: ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Abu Musa al‐ Asy’ari, Abu Hurairah, Qubaishah bin Mukhariq, dan Zuhair bin ‘Amr radhiya‐llahu ‘anhum. Pasti ada sumber tertentu dari kalangan Sahabat sendiri yang lebih senior dan menjadi saksi sejarahnya. Siapakah dia? Ibnu 'Abbas sudah pasti tidak mungkin menyaksikannya. Ketika Rasulullah naik ke bukit Shafa dan memanggil kaumnya, Ibnu 'Abbas bahkan belum lahir. Menurut catatan, beliau lahir 3 tahun sebelum hijrah, padahal peristiwa tersebut terjadi sekitar 10 tahun sebelum hijrah.52 Satu riwayat lain yang disebutkan oleh al‐Bukhari bersumber dari Abu Hurairah, dan ini juga musykil, karena beliau pasti tidak menyaksikannya. Sebagaimana dimaklumi, Abu Hurairah masuk Islam di Madinah pada bulan Muharram 7 H, bertepatan dengan Perang Khaibar.53 Jelas timbul pertanyaan, darimana sumber riwayat ini sebenarnya? Siapa saksi sejarah yang darinya kedua Sahabat diatas mengutip riwayat? Oleh karenanya, wajar jika Ibnu Hajar menggolongkan riwayat ini sebagai 52



Silakan periksa: Taqribu at‐Tahdzib I/309; at‐Tarikh al‐Kabir V/3‐4; al‐Jarh wa at‐Ta'dil V/116; Tahdzibu at‐Tahdzib V/242‐244; al‐Kasyif I/565; Tahdzibu al‐ Kamal XV/154 dst. 53 Disarikan dari: Siyaru A'lami an‐Nubala' II/578 dst.; Tahdzibu al‐Kamal XXXIV/366 dst.; at‐Tarikh al‐Kabir VI/132; al‐Jarh wa at‐Ta'dil VI/49; Tahdzibu at‐Tahdzib XII/288‐291; Taqribu at‐Tahdzib I/680; al‐Kasyif II/469.



124



hadits mursal di kalangan sesama Sahabat (baca: mursal shahabi, lihat: Fathul Bari VIII/502‐504). Kasus serupa terjadi dalam riwayat yang disebutkan ath‐Thabrani, yang walaupun bersumber dari empat orang Sahabat terkenal, namun seluruhnya tidak mungkin menyaksikan peristiwa tersebut. Ummul mu'minin 'Aisyah pada saat kejadian itu tentu masih belum dilahirkan. Kita mengetahui bahwa pada saat dinikahi Rasulullah di bulan Syawal tahun ke‐10 kenabian, usia 'Aisyah baru 6 tahun, yang darinya dapat difahami bahwa beliau lahir tahun ke‐4 atau 5 kenabian,54 padahal peristiwa da'wah jahriyah pertama itu terjadi pada tahun ke‐3 kenabian. Jika pun peristiwanya diundur beberapa tahun ke belakang, tentunya beliau tetap masih balita. Untuk Ibnu 'Abbas dan Abu Hurairah masalahnya sudah jelas. Sementara itu, Abu Musa al‐Asy'ari sudah masuk Islam sejak Rasulullah masih di Makkah, ikut berhijrah ke Abbyssinia (Habasyah), dan baru bergabung dengan beliau di Madinah pada saat Perang Khaibar, bersama rombongan muhajirin Abbyssinia lainnya. Akan tetapi, Abu Musa al‐ Asy'ari atau nama aslinya 'Abdullah bin Qays, menurut Ibnul Qayyim tidak terbukti berangkat berhijrah ke Abbyssinia dari Makkah. Beliau memang masuk Islam di Makkah namun segera kembali ke negerinya (Yaman) setelah itu. Ketika mendengar adanya rombongan Ja’far bin Abi Thalib yang menumpang kapal dagang ke seberang Laut Merah, beliau segera menyusul dan bergabung. Hijrah ke Abbyssinia yang pertama sendiri terjadi di bulan Rajab tahun ke‐5 kenabian, yakni setelah bergulirnya da’wah jahriyah dan tekanan kaum kafir Quraisy semakin tak tertahankan. Padahal, rombongan Ja’far adalah gelombang kedua Sahabat yang berhijrah, yang berlangsung beberapa bulan setelah yang pertama. Demikianlah, Rasulullah sering menyuruh orang yang masuk Islam dari luar Makkah dan bukan anggota Quraisy atau sekutunya untuk pulang dulu ke negerinya, dan meminta mereka untuk bergabung dengan beliau jika mendengar Islam telah berjaya. Kasus serupa dialami oleh Abu Dzar al‐Ghifari. Suku Asy’ari sendiri tidak punya hubungan apapun dengan Quraisy, sehingga posisi Abu Musa di Makkah sangat rawan sementara Rasulullah tak mampu memberi jaminan perlindungan kepadanya.55 Jika memang demikian, maka hampir pasti Abu Musa bukan saksi sejarah dari peristiwa yang sedang kita bicarakan. Sumber lain yang menyebutkan nama Sahabat berbeda adalah an‐Nasai, yang mencantumkan dua nama: Qubaishah bin Mukhariq dan Zuhair bin 'Amr. Menurut al‐Bukhari dalam at‐Tarikh al‐Kabir, Qubaishah ini seorang suku Hilal, cabang Qays 'Ailan. Ada juga yang berpendapat ia berasal dari suku 'Ajali. Al‐Bukhari menyebutkan satu hadits yang diriwayatkannya dari Nabi, oleh anaknya Quthn, dalam masalah thiyarah. Kami belum mendapat keterangan lebih banyak, sebab perawi ini hanya disebut‐sebut berstatus Sahabat. Itu saja. Namun, nama Qubaishah ini kembali disebut oleh al‐Bukhari ketika menuturkan 54 55



Disarikan dari: Siyaru A'lami an‐Nubala' II/135; as‐Sirah al‐Halabiyyah II/42. Disarikan dari: at‐Tarikh al‐Kabir V/22; Siyaru A'lami an‐Nubala' II/380 dst.; al‐ Jarh wa at‐Ta'dil V/138; al‐Kasyif I/586; Zaadul Ma’ad III/23‐28.



125



biografi Zuhair bin 'Amr Musaddad al‐Bashri al‐Hilali, yang juga salah satu perawi an‐Nasai diatas. Hadits yang dicontohkan al‐Bukhari sendiri tepat dalam masalah da'wah jahriyah pertama. Meski demikian, menurut Ibnu Hajar, al‐Bukhari sebenarnya tidak mengabsahkan status Sahabat untuk Qubaishah, sebab beliau tidak memakai lafal simaa' (mendengar hadits). Sedangkan menurut al‐Baghawi, Zuhair tidak diketahui meriwayatkan hadits kecuali tentang wa‐andzir 'asyiirataka al‐aqrabiin ini, itupun bersama‐sama dengan Qubaishah. Tampaknya, kedua orang ini akrab, sebab kedua‐duanya diindikasikan berasal dari suku Hilal. Keduanya merupakan perawi Muslim dan an‐Nasai, dalam hadits peristiwa dakwah diatas Bukit Shafa itu.56 Sedangkan al‐Hasan bin Abil Hasan yang disebut dalam sumber Tarikh ath‐Thabari adalah tokoh yang lebih dikenal sebagai al‐Hasan al‐Bashri. Kredibilitasnya memang tidak diragukan, hanya saja beliau termasuk generasi Tabi'in yang jelas tidak menyaksikan peristiwa yang diceritakannya. Beliau seorang faqih yang sangat wara' dan termasyhur, deretan awal generasi Tabi'in. Lahir pada dua tahun di penghujung kekhilafahan 'Umar, dan di usia remajanya sempat menghadiri khuthbah Jum'at yang disampaikan khalifah 'Utsman. Ayah beliau, Yasar, adalah maula (bekas budak) Zaid bin Tsabit yang kemudian menikahi Khayrah, mantan budak ummul mu'minin Ummu Salamah radhiya‐llahu 'anhum. Hanya saja, para pakar biografi menyatakan al‐Hasan tidak mendengar hadits dari sebagian besar Sahabat seperti 'Ali, Abu Musa, Ubay bin Ka'ab, 'Aisyah, 'Abdullah bin 'Amr bin al‐'Ash, Ummu Salamah, dan Abu Hurairah radhiya‐llahu 'anhum. Riwayatnya dari Sahabat kebanyakan mursal serta mudallas, dan beliau termasuk longgar dalam masalah ini. Al‐Hasan wafat di bulan Rajab 110 H, dalam usia 90‐an tahun.57 Hanya saja, sebagaimana kita lihat, riwayat‐riwayat al‐Baihaqi, Ibnu Jarir dan salah satu jalur Ibnu Katsir, memiliki sanad lebih "lengkap", karena di dalamnya disebutkan satu orang lagi sebelum Ibnu 'Abbas, yakni 'Ali bin Abi Thalib, sebagai sumber kisah‐kisah ini. Jika memang demikian halnya, dan bila sanad‐nya shahih, maka riwayatnya menjadi logis, dan terangkat statusnya dari mursal menjadi maushul atau muttashil. Saat itu, usia 'Ali tak mungkin kurang dari 10 tahun. Sebab, berbagai riwayat menuturkan bahwa beliau berusia antara 8 sampai 18 tahun saat Rasulullah menerima wahyu,58 sedangkan peristiwa da'wah jahriyah pertama tersebut terjadi sekitar 3 tahun kemudian. Akan tetapi, kisah yang bersumber dari ‘Ali ini bukan tidak mengandung masalah jika dikaitkan secara langsung dengan asbabun nuzul surah al‐ Lahab, sebab inti kisahnya menyangkut undangan Rasulullah kepada para 56



Disarikan dari: at‐Tarikh al‐Kabir III/424, VII/173; al‐Jarh wa at‐Ta'dil III/585, VII/124; Tahdzibu at‐Tahdzib III/300; Taqribu at‐Tahdzib I/217; al‐Kasyif I/407; Tahdzibu al‐Kamal IX/410. 57 Disarikan dari: Siyaru A'lami an‐Nubala' IV/563 dst; at‐Tarikh al‐Kabir II/289; al‐ Jarh wa at‐Ta'dil III/40‐41; Tahdzibu at‐Tahdzib II/230‐235; Taqrib at‐Tahdzib I/160; al‐Kasyif I/322; Tahdzibu al‐Kamal VI/95 dst. 58 Disarikan dari: Tarikh Khulafa' hal. 193; Tarikh ath‐Thabari I/538‐539; Fadha'ilu ash‐Shahabat li‐Ibni Hanbal II/589; at‐Tarikh al‐Kabir VI/259; Tahdzibu at‐Tahdzib VII/296.



126



pamannya untuk suatu jamuan di rumah beliau, dan kemudian beliau mendakwahi mereka. Tidak ada penyebutan surah al‐Lahab disini. Dakwah Nabi di dalam jamuan makan kekeluargaan dan seruan diatas bukit Shafa adalah dua peristiwa berbeda. Keterkaitan antara keduanya hanya diasumsikan, mengingat kedekatannya secara kronologis di satu sisi, dan catatan sejarah bahwa keduanya merupakan pengamalan dari wahyu yang sama (QS asy‐Syu'ara': 214 dan al‐Hijr: 94) di sisi lain. Dalam kitab‐kitab sirah sendiri, kedua peristiwa ini sering dituturkan secara berurutan, sehingga logika peristiwa diantara keduanya pun tidak jauh menyimpang. Adapun rangkaian sanad riwayat al‐Baihaqi tersebut, adalah sbb: Abu 'Abdullah al‐Hafizh memberitahu kami: Abu al‐'Abbas Muhammad bin Ya'qub menceritakan hadits kepada kami: Ahmad bin 'Abdul Jabbar menceritakan hadits kepada kami: Yunus bin Bukair menceritakan hadits kepada kami, bersumber dari Muhammad bin Ishaq, dia berkata: seseorang yang mendengar dari 'Abdullah bin al‐Harits bin Naufal menceritakan hadits kepadaku, bersumber dari Ibnu 'Abbas, bersumber dari 'Ali bin Abi Thalib, dia berkata: dst.



Dua nama pertama dalam jajaran perawi diatas, yakni matarantai terdekat dengan al‐Baihaqi: gurunya (Abu ‘Abdillah al‐Hafizh)59 dan guru dari gurunya (Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub), tampaknya tidak perlu dipersoalkan. Adapun para perawi selanjutnya, seluruhnya dapat diterima riwayatnya walaupun ada yang kontroversial (Muhammad bin Ishaq) atau tidak kuat (Ahmad bin ‘Abdul Jabbar). Matarantai periwayatannya pun terlihat bersambung runtut. Masing‐masing perawi tercatat pernah bertemu dan mengambil riwayat dari generasi yang lebih senior. Demikianlah, sejauh ini sanad‐nya memang terlihat baik‐baik saja. Akan tetapi, yang menjadi masalah berat justru “seseorang” yang disebutkan secara anonim oleh Ibnu Ishaq, sebagai sumber riwayat yang diambilnya dari ‘Abdullah bin al‐Harits bin Naufal. Siapakah orang ini? Tidak jelas. Artinya, sanad ini mengandung unsur‐unsur tadlis (penyamaran identitas perawi), jahalah (tidak bisa diverifikasi), atau inqitha’ (keterputusan sanad). Menurut para pengkritiknya, Ibnu Ishaq sering berbuat seperti ini dalam menyalurkan riwayat, atau mudallis. Secara logika, Ibnu Ishaq memang tak mungkin mendengar hadits langsung dari ‘Abdullah bin al‐ Harits. Sebab, pada saat Ibnu al‐Harits wafat tahun 84 H di Oman, Ibnu Ishaq masih kanak‐kanak. Ibnu Ishaq sendiri dilahirkan di Madinah tahun 80 H. Secara geografis, Oman dan Madinah terpisah jarak yang tidak sedikit. Jadi, sanad al‐Baihaqi ini tak dapat dipegangi karena terputus (munqathi’). Riwayat al‐Baihaqi ini juga dikutip Ibnu Katsir dalam al‐Bidayah wan‐ Nihayah, dengan sanad yang sama yang beliau ambil dari Dalail an‐ 59



Ketika mengutip riwayat al‐Baihaqi ini, yang diambil dari kitab Dalail an‐ Nubuwwah, Imam Ibnu Katsir menyebut nama lengkap guru al‐Baihaqi ini sebagai Muhammad bin ‘Abdul Hafizh. Sayang, kami tidak menemukan biografinya dalam literatur yang kami miliki. Lihat: al‐Bidayah wan‐Nihayah III/39.



127



Nubuwwah. Ada penjelasan unik dalam rangkaian sanad‐nya, yakni dalam kata‐kata Yunus bin Bukair tentang nama perawi yang menjadi narasumber Ibnu Ishaq. Menurut Yunus, Ibnu Ishaq berkata: “Telah menceritakan hadits kepada kami (haddatsani) seseorang yang mendengar (sami’a) ‘Abdullah bin al‐Harits bin Naufal, dan dia menyembunyikan namanya dariku (was‐taktamanii ismahu), bersumber dari Ibnu ‘Abbas, bersumber dari ‘Ali bin Abi Thalib, dia berkata, ‘ketika diturunkan ayat …’ dst.”



Kalimat “dan dia menyembunyikan namanya dariku” adalah kata‐kata Yunus, yang merekam kondisi saat ia menerima periwayatan dari Ibnu Ishaq. Terlihat ada kesengajaan dari Ibnu Ishaq untuk menyembunyikan identitas syaikh (guru yang menjadi sumber riwayatnya), sehingga tidak dapat dilacak lebih jauh. Menurut Ibnu Katsir, syaikh Ibnu Ishaq ini mubham (tidak jelas identitasnya). Tentu saja kualitas sanad‐nya menjadi tidak dapat diandalkan. Hanya saja, masih menurut Ibnu Katsir, riwayat seperti ini juga dikutip Ibnu Jarir ath‐Thabari dalam Tarikh‐nya.60 Didalamnya tercantum dua orang perawi lain yang menjadi perantara antara Ibnu Ishaq dengan ‘Abdullah bin al‐Harits, yakni ‘Abdul Ghaffar Abu Maryam bin al‐Qasim dan al‐Minhal bin ‘Amr. Siapa mereka berdua ini? Nama pertama, ‘Abdul Ghaffar Abu Maryam bin al‐Qasim al‐Kufi al‐ Anshari, menurut al‐Bukhari tidak kuat (laysa bil‐qawiy) di mata ulama’ Ahli Hadits. Bahkan menurut Ahmad bin Hanbal, “Perawi ini tidak bisa dipercaya (laysa bi‐tsiqah), dia menceritakan tentang kejadian‐kejadian tragis (di masa pemerintahan) ‘Utsman sementara mayoritas haditsnya adalah bathil (tidak benar).” Menurut Yahya bin Ma’in, ‘Abdul Ghaffar Abu Maryam ini bukan apa‐apa (laysa bi‐syai’in) dan tidak bisa dipercaya (laysa bi‐tsiqah). Menurut Abu Zur’ah, dia itu lemah (layyin). Menurut Abu Hatim, dia termasuk gembong Syi’ah yang hadits‐haditsnya matruk dan tidak boleh ditulis. An‐Nasai juga menilainya matruk. Menurut Ibnu al‐Madini dan Abu Dawud, dia pemalsu hadits (kaana yadha’u al‐hadits). Sementara itu, Syu’bah bin al‐Hajjaj meninggalkan riwayatnya karena ia terbukti mendukung Rafidhah, salah satu sekte Syi’ah ekstrim.61 Bukti ini sekaligus menguatkan pernyataan Ahmad bin Hanbal diatas yang menilai mayoritas hadits ‘Abdul Ghaffar seputar kejadian tragis di zaman khalifah ‘Utsman adalah bathil. Sebagaimana diketahui, pemikiran Syi’ah tidak akan lepas dari opini seputar kekhilafahan ‘Utsman, karena memang banyak hal yang bermula dari masa pemerintahan beliau. Perawi lain dalam sanad Ibnu Jarir, yakni al‐Minhal bin ‘Amr, meski dinilai tsiqah oleh Ibnu Ma’in dan an‐Nasai, perawi ini tidak lepas dari kontroversi. Dia tak disukai karena suka memperdengarkan qira’ah dengan diiringi rebana. Al‐Minhal memang memiliki suara yang bagus dan bahkan mempunyai suatu lahn (semacam notasi acuan irama bacaan) yang disebut wazan sab’ah. Selain itu, menurut al‐Jauzjani, 60 61



Tepatnya, dalam Tarikh ath‐Thabari I/542. Disarikan dari: at‐Tarikh al‐Kabir VI/122; al‐Jarh wat‐Ta’dil VI/55; al‐Kamil fi Dhu’afa’ ar‐Rijal V/327; Ta’jilu al‐Manfa’ah I/263.



128



perawi ini menganut madzhab yang buruk (sayyi’ul madzhab). Syu’bah semula mau mengambil riwayatnya, akan tetapi kemudian sengaja meninggalkannya karena suatu alasan tertentu, yakni kesenangannya mendengar nyanyian dan musik.62 Di zaman itu, kasus sejenis ini merupakan cacat kepribadian yang sudah cukup untuk meruntuhkan kredibilitas seorang perawi hadits. Kembali ke riwayat Ibnu Ishaq, terlihat bahwa siapapun diantara kedua orang diatas yang menjadi narasumbernya, atau bahkan kedua‐duanya sekaligus, hasilnya sama‐sama tidak meyakinkan. Jika benar bahwa mereka merupakan matarantai yang menyambungkan Ibnu Ishaq dengan ‘Abdullah bin al‐Harits bin Naufal, maka bisa diduga bahwa kesengajaan Ibnu Ishaq menutupi identitas syaikh‐nya bermula dari status syaikh tersebut yang tidak diterima para ulama’ Ahli Hadits. Ini juga membuktikan satu hal, bahwa Ibnu Ishaq memang sering tidak berhati‐ hati memilih perawinya. Jadi, kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah, riwayat peristiwa dakwah terbuka di atas bukit Shafa status maksimalnya mursal shahabi, yakni hadits yang sanad‐nya tidak bersambung kepada saksi sejarahnya secara langsung di kalangan sesama Sahabat, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Ibnu Hajar al‐‘Asqalani. [] Wallahu 'alam.



62



Disarikan dari: Tahdzibu at‐Tahdzib X/283; Taqribu at‐Tahdzib I/547; al‐Kasyif II/298; Tahdzibu al‐Kamal XXVIII/568.



129



RINGKASAN



Para ulama' sepakat bahwa wahyu yang pertamakali diturunkan kepada Rasulullah adalah surah al‐'Alaq ayat 1‐5. Wahyu ini merupakan penegasan pertama tentang pengangkatan Muhammad dalam konteks kenabian (nubuwwah). Allah berfirman: zO¯=tæ “Ï%©!$# ÇÌÈ ãPt•ø.F{$# y7š/u‘ur ù&t•ø%$# ÇËÈ @,n=tã ô`ÏB z`»|¡SM}$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ “Ï%©!$# y7În/u‘ ÉOó™$$Î/ ù&t•ø%$# ÇÎÈ ÷Ls>÷ètƒ óOs9 $tB z`»|¡SM}$# zO¯=tæ ÇÍÈ ÉOn=s)ø9$$Î/ Wahyu ini meneguhkan rububiyyah Allah dan bahwa Dia lah satu‐satunya Pencipta. Secara eksplisit, surah ini juga menyatakan kemakhlukan manusia. Kemudian ayat‐ayat ini berusaha menunjukkan jatidiri manusia serta asal‐usulnya. Diakhiri dengan penegasan bahwa Allah sajalah sumber ilmu, yang mengajari manusia lewat pena (al‐qalam). Dengan demikian, segenap proses perjalanan manusia maupun peradaban yang mereka bangun harus merujuk kepada pengajaran dari‐Nya, agar tercapai kemaslahatan bagi diri mereka sendiri. Surah ini merupakan pelantikan Muhammad shalla‐llahu 'alaihi wa sallam sebagai seorang Nabi. Setelah sempat terjadi masa fatrah selama beberapa saat, dan yang jelas tidak terlalu lama, turunlah surah al‐Muddatstsir ayat 1‐5. Wahyu ini diinterpretasikan oleh para ulama' sebagai penegasan pertama untuk tugas kerasulan (risalah). Allah berfirman: ÇÎÈ ö•àf÷d$$sù t“ô_”•9$#ur ÇÍÈ ö•ÎdgsÜsù y7t/$u‹ÏOur ÇÌÈ ÷ŽÉi9s3sù y7-/u‘ur ÇËÈ ö‘É‹Rr'sù óOè% ÇÊÈ ã•ÏoO£‰ßJø9$# $pkš‰r'¯»tƒ Allah memerintahkan beliau untuk bangkit, mulai bekerja memberikan peringatan. Dalam penggunaan al‐Qur'an, indzar biasanya berkaitan dengan akhirat. Beliau juga disuruh untuk mengagungkan Allah, membersihkan pakaian, dan meninggalkan segala dosa maupun penyembahan berhala. Ini adalah prinsip‐prinsip fundamental seorang da'i: berfokus kepada kehidupan akhirat, bekerja hanya untuk membesarkan nama Allah, tampil bersih dalam seluruh aspek kepribadiannya, dan menjauhi perbuatan dosa maupun syirik. Dalam kesempatan yang tidak berjauhan, Allah kemudian menurunkan surah al‐Muzzammil, sebagai bekal mental spiritual bagi Rasulullah dan para Sahabat dalam keyakinannya, membangun kedekatan dengan Allah, mengimani al‐Qur'an, dan lain sebagainya. Allah berfirman: È@Ïo?u‘ur Ïmø‹n=tã ÷ŠÎ— ÷rr& ÇÌÈ ¸x‹Î=s% çm÷ZÏB óÈà)R$# Írr& ÿ¼çmxÿóÁÏoR ÇËÈ Wx‹Î=s% žwÎ) Ÿ@ø‹©9$# ÉOè% ÇÊÈ ã@ÏiB¨“ßJø9$# $pkš‰r'¯»tƒ ãPuqø%r&ur $\«ôÛur ‘‰x©r& }‘Ïd È@ø‹©9$# spy¥Ï©$tR ¨bÎ) ÇÎÈ ¸x‹É)rO Zwöqs% š•ø‹n=tã ’Å+ù=ãZy™ $¯RÎ) ÇÍÈ ¸x‹Ï?ö•s? tb#uäö•à)ø9$#



130



•>§‘ ÇÑÈ Wx‹ÏFö;s? Ïmø‹s9Î) ö@-Gu;s?ur y7În/u‘ zNó™$# Ì•ä.øŒ$#ur ÇÐÈ WxƒÈqsÛ $[sö7y™ Í‘$pk¨]9$# ’Îû y7s9 ¨bÎ) ÇÏÈ ¸x‹Ï% ÇÒÈ Wx‹Ï.ur çnõ‹ÏƒªB$$sù uqèd žwÎ) tm»s9Î) Iw É>Ì•øópRùQ$#ur É-ÎŽô³yJø9$# Dalam suasana yang senyap dari gangguan dan permusuhan, dimana iman dibangun secara intens secara sembunyi‐sembunyi, kepribadian Rasulullah dan para Sahabat terbentuk dengan sangat kokoh. Dengan racikan resep qiyamul‐lail, tartil al‐Qur'an, dzikir, tabattul, serta tawakkal, mereka melangkah tahap demi tahap menyongsong kemenangan yang dijanjikan. Disinilah, Allah menurunkan al‐Fatihah sebagai bacaan yang harus mereka lafalkan dalam shalat‐shalat mereka di malam hari, juga di siang hari sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat. Å7Î=»tB ÇÌÈ ÉOŠÏm§•9$# Ç`»uH÷q§•9$# ÇËÈ šúüÏJn=»yèø9$# Å_Uu‘ ¬! ߉ôJysø9$# ÇÊÈ ÉOŠÏm§•9$# Ç`»uH÷q§•9$# «!$# ÉOó¡Î0 xÞºuŽÅÀ ÇÏÈ tLìÉ)tGó¡ßJø9$# xÞºuŽÅ_Ç9$# $tRω÷d$# ÇÎÈ ÚúüÏètGó¡nS y‚$-ƒÎ)ur ߉ç7÷ètR x‚$-ƒÎ) ÇÍÈ ÉúïÏe$!$# ÏQöqtƒ ÇÐÈ tûüÏj9!$žÒ9$# Ÿwur óOÎgø‹n=tæ ÅUqàÒøóyJø9$# ÎŽö•xî öNÎgø‹n=tã |MôJyè÷Rr& tûïÏ%©!$# Walau sebagian warga Quraisy mulai mengetahui munculnya sebuah keyakinan baru, namun mereka mendiamkannya. Paling‐paling mereka hanya menunjuk kepada Rasulullah dengan sikap tidak perduli, "Inilah pemuda Bani Hasyim yang katanya mendapat berita dari langit." Keadaan ini bergulir tenang selama tiga tahun, sampai akhirnya Allah menyuruh beliau untuk memberi peringatan secara lebih terbuka. Allah berfirman: ÇÒÍÈ tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# Ç`tã óÚÌ•ôãr&ur ã•tB÷sè? $yJÎ/ ÷íy‰ô¹$$sù Dalam kaitan ini pula, turun perintah lainnya. ÇËÊÍÈ šúüÎ/t•ø%F{$# y7s?uŽ•Ï±tã ö‘É‹Rr&ur Catatan‐catatan yang ada kadang membalik kedua ayat ini, mana yang lebih dulu. Ada yang mendahulukan tindakan beliau berdakwah di atas bukit Shafa, ada pula yang memulai dari seruan beliau kepada kerabat dekatnya sendiri dalam jamuan makan yang beliau adakan di rumah Abu Thalib. Hal ini mengindikasikan keduanya terjadi dalam waktu yang berdekatan. Hanya saja, jelas bahwa periode da'wah jahriyah telah dimulai. Beliau pun mulai bergerak dan bangkit memberi peringatan. Dengan berdiri diatas bukit Shafa pada suatu pagi, dipanggilnyalah kabilah‐ kabilah Quraisy seluruhnya, lalu beliau sisihkan satu demi satu sampai tinggal keluarga‐keluarga terdekat beliau. Beliau menyeru mereka untuk mengimani serta membela risalah yang diembannya, dan memperingatkan mereka akan datangnya siksa yang pedih di balik alam 131



kematian. Tanggapan pertama dan paling sinis datang dari Abu Lahab, paman beliau sendiri. Merespon penolakan ini, Allah menurunkan kembali firman‐Nya: ÇÌÈ 5=olm; |N#sŒ #Y‘$tR 4’n?óÁu‹y™ ÇËÈ |=|¡Ÿ2 $tBur ¼ã&è!$tB çm÷Ytã 4Óo_øîr& !$tB ÇÊÈ ¡=s?ur 5=ygs9 ’Î1r& !#y‰tƒ ôM¬7s? ÇÎÈ ¤‰|¡¨B `ÏiB ×@ö7ym $ydω‹Å_ ’Îû ÇÍÈ É=sÜysø9$# s's!$£Jym ¼çmè?r&t•øB$#ur Setelahnya, wahyu bergulir mengikuti peristiwa, meneguhkan dan membimbing, menghibur dan menyemangati, juga mengkritik dan merendahkan musuh‐musuhnya, mengancam serta meramalkan kehancuran mereka. Di lain kesempatan, wahyu turun tanpa didahului oleh sebab‐sebab tertentu, sesuai kehendak Allah. Dengan demikian, sebagai kesimpulan atas Bagian II ini, kita telah mendapatkan tata‐urutan (tartib nuzuli) baru yang berbeda dengan berbagai versi‐versi yang sudah dikutip sebelumnya. Konsekuensinya, versi ini juga tidak sejalan dengan tata urutan wahyu yang dipegangi dalam konsep asli SNW. Secara lebih jelas, tata urutan ini adalah, sbb: · · · · ·



Al‐‘Alaq ayat 1‐5 Al‐Muddatstsir ayat 1‐5 Al‐Muzzammil ayat 1‐9 Al‐Fatihah ayat 1‐7 Al‐Lahab atau al‐Masad ayat 1‐5



Pembatasan ayat‐ayat yang termasuk 'rombongan pertama' yang turun dari surah‐surah tersebut adalah seperti apa yang kami cantumkan itu. Untuk surah al‐Muddatsir dan al‐Muzzammil, jumlah ayatnya berbeda dengan konsep asli SNW. Sedangkan untuk al‐'Alaq dan al‐Fatihah masih sama. Tentang al‐Lahab, ini masih baru dan tidak ada padanannya dalam konsep asli SNW. Kemungkinan, surah al‐Qalam terdesak sampai posisi ke‐6, di belakang al‐Lahab. Dalam perspektif sirah, posisi ini lebih logis, selaras dengan isi kandungan maupun gaya bahasa al‐Qalam sendiri. Atau, jika kita bisa menerima kompromi yang ditawarkan oleh Syekh Darwazah, maka al‐ Qalam tetap di posisi ke‐2, namun yang turun sebagai penggal pertamanya hanya sampai ayat ke‐4, bukan 7 ayat seperti yang biasa dicantumkan dalam konsep SNW. 5bqãZôJtB uŽö•xî #·•ô_V{ y7s9 ¨bÎ)ur ÇËÈ 5bqãZôfyJÎ/ y7În/u‘ ÏpyJ÷èÏZÎ/ |MRr& !$tB ÇÊÈ tbrã•äÜó¡o„ $tBur ÉOn=s)ø9$#ur 4 úc ÇÍÈ 5OŠÏàtã @,è=äz 4’n?yès9 y7¯RÎ)ur ÇÌÈ Demikianlah, semoga Allah mengampuni kekeliruan dan ketergesaan kami. Dialah sebaik‐baik pelindung dan penolong.[] Wallahu a'lam bish‐shawab. 132



SARAN BAHAN BACAAN LANJUT



Secara umum, Bagian II ini membahas derajat riwayat hadits yang menjadi sumber posisi tata urutan wahyu. Tidak banyak lagi yang dapat kami sarankan bagi Anda untuk dikaji lebih lanjut, sebab hampir seluruh literatur terkait yang kami miliki telah dikutip. Disini, sekedar memberi garis besar dan panduan untuk melakukan penelitian lebih mendalam, maka kami sarankan Anda menelaah jenis‐jenis referensi berikut: 1. Asbabun nuzul, terutama yang memang menyertakan penilaian terhadap kualitas sanad‐nya. Ada sebuah kitab dalam kualifikasi ini yang dapat dirujuk, yakni Ash‐Shahih al‐Musnad fi Asbabin Nuzul, karya Syekh Muqbil bin Hadi al‐Wadi'iy. 2. Untuk kritik perawi, silakan meneliti kitab‐kitab yang telah kami sertakan sepintas dalam catatan kaki topik terkait dalam halaman‐ halaman terdahulu. Sebagai pedoman untuk memahami bagaimana menggunakan data biografi yang melimpah tersebut, silakan merujuk kitab‐kitab disiplin Ilmu Hadits, terutama dalam topik al‐jarh wa at‐ ta'dil. Karya al‐Khathib al‐Baghdadi al‐Kifayah fi 'Ilmi ar‐Riwayah dan karya as‐Suyuthi Tadribu ar‐Raawi merupakan dua karya yang dapat dirujuk. Dalam kasus khusus, Anda dapat pula menelaah Muqaddimah Shahih Muslim dan Hadyu as‐Saari yang merupakan mukaddimah Fathul Baari. Di Indonesia, juga sudah ada beberapa literatur ringkas yang dapat dibaca. 3. Sebagian besar pembukaan Tafsir ath‐Thabari menyertakan pembahasan ringkas tentang masalah kedudukan surah yang akan dibahas. Dan, karya as‐Suyuthi Ad‐Durrul Mantsur fit‐Tafsir bil‐ Ma'tsur merupakan daftar riwayat seputar masalah ini, juga at‐Tafsir al‐Hadits karya Syekh Darwazah. Tafsir karya Imam Fakhr ar‐Raazy konon memuat materi sejenis. Di Indonesia, karya Dr. Quraish Shihab yang disusun berdasar tartib nuzuli pun cukup bagus. Silakan merujuknya. 4. Sebagai penyempurna, Anda dapat melakukan pemeriksaan langsung kepada karya‐karya otoritatif dalam bidang hadits, karena disinilah sebenarnya sumber utama riwayat. Jika Anda dapat menemukan lokasi asli sebuah riwayat, maka langkah selanjutnya untuk menentukan kekuatan maupun kelemahan sanad berikut matan‐nya semakin terbuka. Banyak pengumpul hadits yang menyertakan teks‐ teks tambahan, penelusuran riwayat dari jalur lain, catatan‐catatan tertentu tentang riwayat tersebut, juga isyarat tentang sumber lain yang menguatkan atau melemahkannya. Keterangan lebih detail dapat ditemukan dalam kitab‐kitab syarah seperti Fathul Baari karya Ibnu Hajar, Syarah Shahih Muslim oleh an‐Nawawi, atau Syarh Ma'aani al‐Atsar oleh ath‐Thahawi.[] Wallahu a'lam bish‐shawab.



133



xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx



BAGIAN III MEMBACA SIRAH NABAWIYAH DALAM TINJAUAN TARTIB NUZULNYA WAHYU Bagian ini mengetengahkan rancangan studi untuk penelusuran rangkaian peristiwa dalam sirah nabawiyah yang dipandu dengan tata urutan wahyu, yakni bagaimana wahyu dipraktekkan oleh generasi Sahabat. Sebelum itu, kami mencoba merangkum seluruh kesimpulan diskusi dalam dua bagian terdahulu dengan memetakan kelompok‐kelompok wahyu Makkiyah sesuai dengan periodenya masing‐ masing, serta usaha awal dalam penggabungan versi‐versi tartib nuzuli. Seluruhnya terangkum dalam 3 bab. ·



Al‐Qur'an dan Sirah Nabawiyah



·



Sumber Rujukan



·



Mengidentifikasi Kronologi Sirah Nabawiyah Lewat Tartib Nuzuli



·



Ringkasan



·



Saran Bahan Bacaan Lanjut



wwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww



134 



BAB I AL‐QUR'AN DAN SIRAH NABAWIYAH



Sirah nabawiyah adalah refleksi paling gamblang dari al‐Qur'an, dimana di dalamnya firman Allah diaplikasikan dalam bentuk yang paling sempurna sepanjang sejarah. Kehidupan Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam sendiri jelas‐jelas didedikasikan untuk menerapkan al‐Qur'an, tahap demi tahap, hingga sempurna dan layak dijadikan contoh bagi generasi setelahnya. Maka, membaca sirah pada hakikatnya serupa dengan membaca al‐Qur'an yang telah ditransformasikan dalam kehidupan nyata. Hal seperti ini tidak dapat ditemukan dalam periode sejarah lain setelahnya, kecuali dalam figur‐figur tertentu yang tidak banyak. Dalam 'Ulumul Qur'an serta tafsir, catatan‐catatan peristiwa sirah nabawiyah menyebar di berbagai topik. Diantara bank data terbanyak dalam masalah ini adalah riwayat‐riwayat asbabun nuzul dan an‐nasikh wal mansukh. Hanya saja, karena kedua jenis riwayat ini ditransmisikan bukan untuk tujuan sejarah semata, maka kita tidak bisa secara mudah menemukan relevansinya dengan sirah dalam pengertiannya sebagai sejarah suatu umat pada periode tertentu. Menurut para ulama', adanya data‐data ini menunjukkan bahwa pengertian kita tentang suatu ayat dapat tertolong oleh penjelasan tentang bagaimana ia turun, kapan, dimana, dalam masalah apa, siapa yang ditunjuk olehnya, dsb. Sebaliknya, penghayatan kita kepada sirah pun akan lebih tercerahkan dengan adanya rujukan ayat atau surah al‐ Qur'an yang turun terkait atau di sekitar suatu peristiwa. Misalnya, peristiwa perang Uhud dapat dinilai secara adil dan tepat dengan melibatkan ayat‐ayat yang turun berkenaan dengannya. Begitu pula seharusnya dalam peristiwa‐peristiwa yang lain. Di muka kita telah membahas bahwa al‐Qur'an tidaklah turun sekaligus, namun bertahap dan perlahan‐lahan. Setelah wahyu pertama diterima Rasulullah di Gua Hira', potongan‐potongan dari rangkaian keseluruhan al‐Qur'an berturut‐turut turun membimbing perjalanan beliau dan para Sahabatnya, dalam rentang waktu kurang lebih 23 tahun. Hal ini tentu saja berakibat adanya kesejajaran tertentu antara peristiwa‐peristiwa dalam sirah dengan tahapan‐tahapan turunnya wahyu. Begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, bagian ini akan berusaha membaca serta menyajikan sirah Nabi Muhammad shalla‐llahu 'alaihi wa sallam dalam tinjauan tartib nuzuli, marhalah wahyu, atau tarikh nuzulnya wahyu. Dengan kata lain, jika biasanya disajikan kronologi sirah terlebih dahulu, dan ayat‐ayat yang turun disebutkan secara tidak teratur di dalamnya, maka kali ini kami sengaja melihat sirah dalam bingkai ayat‐ayat dan surah al‐ Qur'an yang turun secara bertahap sepanjang 'jalan kehidupan' beliau. Tidak ada yang baru disini, sebab yang terjadi hanyalah mengubah cara penyajian, disertai upaya menonjolkan satu aspek yang biasanya 135



disinggung sekilas‐lintas belaka dalam penulisan sirah. Aspek yang kami maksud adalah ayat dan surah al‐Qur'an berikut perannya dalam sebuah peristiwa sirah. Sebagai catatan, kami tidak bermaksud merekonstruksi sejarah penurunan al‐Qur'an secara radikal, sebagaimana yang sering diagendakan oleh para Orientalis dan pengagumnya. Kami menyadari sepenuhnya, bahwa apa yang kami lakukan ini memiliki titik‐singgung tertentu dengan isu‐isu sentral mereka, namun sedikit pun kami tidak meniatkan kesana. Dari segi motivasi, metodologi dan juga hasil yang ingin diraih, kajian ini tidak sejalan dengan keinginan mereka. Semoga Allah membimbing jalan kami dalam studi ini, dan sebaliknya semoga Dia meruntuhkan upaya para musuh Islam itu. Kami tidak tahu apakah sudah ada yang melakukan hal ini sebelumnya. Terus terang, kami sadar bahwa upaya ini masih sangatlah mentah, terutama disebabkan oleh keterbatasan kapasitas penulis pribadi dan khazanah literatur yang telah kami telaah. Kami memang mendengar ada karya‐karya Syekh Darwazah yang didesain dalam pola ini. Akan tetapi, sayang sekali kami tidak memilikinya.[] Wallahu a'lam.



136



BAB II SUMBER RUJUKAN



Sebagai fakta sejarah, sirah adalah refleksi hidup dari Kitabullah, tanpa terkecuali. Kita meyakini bahwa Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam telah selesai melaksanakan tugasnya, tanpa meninggalkan satu perkara pun menggantung dan kehilangan contoh yang dapat dirujuk. Inilah periode emas sejarah umat manusia, dimana Allah berkenan menyempurnakan bimbingan‐Nya kepada umat manusia, sampai akhir zaman. Namun, seperti dikatakan oleh az‐Zain al‐'Iraqi (dikutip dari as‐Sirah al‐ Halabiyah juz 1 hal. 3‐4), sebagai disiplin ilmu, sirah tidak lepas dari catatan‐catatan yang shahih, lemah, mursal, munqathi', bahkan munkar. Disinilah diperlukan kecermatan, kewaspadaan, konsistensi dan keluasan metodologis maupun referensi di dalam menyajikannya. Dimulai dari pelurusan niat, pemilihan referensi, dan pemilahan bahan secara bertanggung jawab. Sebetulnya, ada sangat banyak sumber rujukan bagi kajian kita di bidang ini, baik yang klasik maupun kontemporer. Para ulama' telah mencoba menyajikannya dalam beragam cara, baik menurut kronologi utuh maupun dengan memilih pendalaman atas sebuah segmen atau tema spesifik. Pokok‐pokok persoalan yang dibahas pun sangat beragam. Karya‐karya seperti Sirah Ibnu Hisyam, as‐Sirah al‐Halabiyyah ('Ali bin Burhanuddin al‐Halabi), ar‐Rahiiq al‐Makhtum (Syekh Shafiyurrahman al‐ Mubarakfuri), Hayatu Muhammad (Dr. Muhammad Husain Haekal), dan Nurul Yaqin fi Sirati Sayyidil Mursalin (Syekh Khudhari Bek), adalah diantara literatur populer yang bercorak kronologis. Edisi ringkas Nurul Yaqin yang terdiri dari 3 juz tipis sampai saat ini masih banyak dipergunakan di berbagai pesantren Salaf di Indonesia, khusunya pulau Jawa. Ada pula dua karya besar di bidang tarikh, yang sebenarnya membahas kronologi sejarah secara umum, namun menyertakan periode kehidupan Rasulullah di dalamnya. Keduanya adalah al‐Bidayah wa an‐Nihayah karya Imam Ibnu Katsir dan Tarikh al‐Umam wa al‐Muluk karya Imam Ibnu Jarir ath‐Thabari. Masing‐masing terdiri dari 14 dan 5 juz tebal. Ada pula jenis karya sirah yang menitik‐beratkan pada aspek dakwah dan pergerakan, seperti buku: Sirah Nabawiyah (Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan al‐Buthi), Manhaj Haraki (Syekh Munir Muhammad al‐ Ghadhban), atau Sirah Nabawi (Dr. Musthafa as‐Siba'ie). Ada pula yang memilih tema spesifik dalam sirah, seperti buku‐buku yang membahas aspek militer, misalnya Ensiklopedi Peperangan Rasulullah SAW oleh Syaikh Mahmud Syakir. Berbagai kitab maghazi (peperangan Rasulullah) yang ditulis para ulama' Salaf termasuk jenis ini, seperti milik az‐Zuhri dan 'Urwah bin az‐Zubair. Tema yang berdekatan dengan peperangan adalah politik, dan ada beberapa judul seperti ini yang dapat ditemukan. 137



Sebagian ulama' juga menulis fragmen biografi Rasulullah, seperti Kitabul Wafaat (Imam Ahmad bin Syu'aib an‐Nasai) yang khusus menguraikan saat‐saat terakhir kehidupan Rasulullah di dunia; Tirkatu an‐Nabiy (Abu Isma'il Hammad bin Ishaq al‐Baghdadi) yang mencatat polemik seputar harta peninggalan Rasulullah, yang sekaligus menginventarisir bentuk fisik harta‐harta peninggalan dimaksud. Imam at‐Tirmidzi menulis buku asy‐Syama'il al‐Muhammadiyah wa al‐Khasha'il al‐Mushthafawiyah yang menyoroti perilaku, ciri fisik dan hal‐hal 'remeh' dalam diri Rasulullah. Karya Dr. 'Aidh 'Abdullah al‐Qarni, Muhammad Ka‐ annaka Tara, menurut kami dapat dikelompokkan disini. Ada buku tulisan Syekh Fethullah Gulen dari Turki yang isinya nyaris serupa dengan buku Dr. al‐Qarni. Untuk versi‐versi yang menelaah secara kritis sirah nabawiyah, baik yang berkonotasi negatif maupun positif, dapat ditemukan pula dalam beragam sudut pandang. Ada karya M.A. Shaban berjudul Sejarah Islam (Penafsiran Baru): 600‐700 M, yang membahas sirah dari sisi dinamika ekonomi komunitas Quraisy saat itu. Karya sejenis ini dibuat Asghar Ali Engineer, berjudul Asal‐usul Perkembangan Islam, juga buku lainnya Devolusi Negara Islam. Dalam kedua buku ini, pendekatannya lebih radikal, karena mengulas sirah lewat teori Marxisme. Ini mengherankan, tentu saja, namun itulah yang terjadi. Syekh Muhammad al‐Ghazali punya buku Fiqh as‐Sirah, yang sebagian isinya kontroversial dan menuai kritik dari banyak ulama'. Yang sejenis karya al‐Ghazali adalah milik Dr. Husein Mu'nis, berjudul Al‐Sirah al‐Nabawiyah: Upaya Reformulasi Sejarah Perjuangan Nabi Muhammad SAW. Ali Syari'ati, pemikir Iran kontemporer, menulis buku tipis tentang sirah nabawiyah periode Madinah, yang disajikan dengan gaya bahasa memikat. Untuk periode Makkah, ada karya Fuad Hashem, yang disesaki rujukan silang namun diwarnai opini‐opini khas pengikut Syi'ah. Buku karya Dr. Akram Dhiya' al‐Umuri berjudul Studi Kritis Muhadditsin, melakukan penyaringan ketat terhadap kualitas riwayat sirah, bukan semata‐mata kronologi peristiwanya. Tentu saja, masih ada banyak karya lainnya, misalnya yang ditulis oleh para Orientalis, baik klasik maupun kontemporer. Disini, ada penulis‐ penulis berkaliber internasional seperti W. Montgomery Watt, Phillip K. Hitti, atau Karen Armstrong. Hanya saja, kami tidak menjadikannya sebagai rujukan, karena kajian mereka yang cenderung bias dan ambigu. Tema sirah nabawiyah memang selalu menarik untuk dikaji dan ditulis ulang. Apa yang kami sebutkan diatas tidak seluruhnya karya otoritatif dan standar. Daftar ini hanya ingin menggambarkan kepada pembaca bahwa kita tidak kekurangan referensi untuk mengenal, mendalami dan meneladani kehidupan Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam. Jika dilandasi niat yang tulus, metodologi yang shahih, dan referensi standar‐ otoritatif (mu'tamad‐mu'tabar), insya‐Allah kita akan memperoleh secercah cahaya terang dari kehidupan beliau yang agung.



138



Literatur Pilihan Sebagai pegangan utama studi ini, kami memilih, mempergunakan serta memperbandingkan 5 (lima) literatur sirah dan tarikh, sbb: ·



As‐Sirah Nabawiyyah, atau dikenal sebagai Sirah Ibnu Hisyam, karya Abu Muhammad 'Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub al‐Himyari al‐ Mu'afiri. Beliau wafat tahun 213 H. Karya ini merupakan rujukan yang cukup lengkap dalam sirah yang sampai kepada generasi kita. Terdiri dari 2 juz, dan merupakan ringkasan serta perbaikan yang dilakukan oleh penyusunnya atas karya serupa dari Ibnu Ishaq. Nama yang terakhir ini merupakan sedikit diantara penulis sirah periode awal.



·



Tarikh ath‐Thabari, karya Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath‐ Thabari. Beliau lahir tahun 224 H dan wafat tahun 310 H. Merupakan karya sejarah yang mencatat peristiwa sejak sebelum diciptakannya dunia sampai periode historis yang dekat dengan kewafatan penulisnya. Terdiri dari 5 juz.



·



Zaadul Ma'ad fi Hadyi Khairil 'Ibaad, karya besar Syekh Abu 'Abdillah Muhammad bin Abi Bakr Ayyub az‐Zar'iy, terkenal sebagai Ibnul Qayyim al‐Jauziyyah. Beliau lahir tahun 691 H dan wafat tahun 751 H. Karya ini tidak hanya berbicara sirah dalam bentuk catatan sejarah, namun sekaligus menyajikan bimbingan yang bisa diraih dari sela‐sela kehidupan agung Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam. Dalam edisi Arabnya, kitab ini termasuk banyak dicari pembaca. Hal ini terlihat, misalnya, dari fakta bahwa edisi yang kami rujuk adalah cetakan ke‐14. Terdiri dari 5 juz.



·



As‐Sirah al‐Halabiyyah, karya 'Ali bin Burhanuddin al‐Halabi. Beliau lahir tahun 975 H dan wafat tahun 1044 H. Karya ini merupakan ringkasan dari kitab 'Uyunul Atsar karya al‐Hafizh Abul Fath Ibnu Sayyidinnas, salah seorang ulama' ahli hadits yang wafat pada tahun 734 H. Kitab ini terdiri dari 3 juz, masing‐masing berisi antara 500‐ 800 halaman.



·



Seleksi Sirah Nabawiyah Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dha’if, edisi terjemahan, karya Dr. Akram Dhiya’ al‐Umuri. Penulisnya adalah pakar sirah yang telah 20 tahun mendalami bidangnya di Universitas Baghdad, sebelum akhirnya pindah ke Universitas Madinah al‐Munawwarah. Karya kontemporer ini memiliki kelebihan tersendiri dalam hal tarjih‐nya atas berbagai riwayat sirah, sebagaimana tercermin dari judulnya. Terdiri dari 1 jilid tebal.



Sedangkan sebagai peta kasar peristiwa dan tokoh, kami mempergunakan buku tipis Khulashatu Nuril Yaqin fi Siirati Sayyidil Mursalin, sebuah karya populer yang meringkas kitab Syekh Khudhori Bek menjadi 3 juz mungil. Peringkasnya, yakni al‐Ustadz 'Umar 'Abdul Jabbar, dikenal oleh kalangan santri pondok salaf sebagai ulama' yang cukup produktif. Edisi ringkas itu biasanya dipergunakan oleh murid‐ murid kelas ibtida'iyah (dasar) untuk memulai studi mereka dalam mengenal Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam. 139



Untuk rujukan lebih lengkap studi ini ke depan, silakan periksa Saran Bahan Bacaan Lanjut di belakang Bagian III ini, yang sengaja kami kutipkan dari daftar literatur yang telah disiapkan oleh Dr. Akram Dhiya' al‐Umuri dalam bukunya, Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dha’if, hal. 43‐46. Namun, terus terang saat ini kami belum sanggup menyuguhkan hasil penyelidikan yang lebih terinci dan nyata. Pencapaian sejauh ini pun bahkan nyaris tak terduga, walau sudah pernah kami "ramalkan" sebelumnya. Perlu studi terpisah dan spesifik atas tema besar sirah nabawiyah tersebut, dan semoga kami diberi taufiq oleh Allah untuk menuntaskannya setelah ini. Secara khusus, studi kami saat sekarang pun hanya menyangkut manhaj SNW, yang lebih berfokus pada penyelidikan tafsir dan 'ulumul Qur'an disertai hadits dan 'ulumul hadits. Untuk tema sirah, mengingat besarnya jangkauan, kami ingin memisahkannya dalam buku tersendiri, bi‐idznillah, dengan tidak menafikan hasil‐hasil yang telah diraih disini. Meski demikian, dalam buku ini kami sertakan asumsi‐asumsi awal yang dapat dikembangkan oleh siapa saja yang sependapat dan memiliki kemampuan untuk itu.[] Wallahu a'lam.



140



BAB III MENGIDENTIFIKASI KRONOLOGI SIRAH NABAWIYAH LEWAT TARTIB NUZULI Sudah dimaklumi, bahwa karir bi'tsah Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam membentang selama 23 tahun, kurang atau lebih. Sepanjang periode itu, al‐Qur'an tidak henti‐hentinya turun, membimbing dan menyemangati, menegur dan memberi arahan, mendorong dan menahan, membangun dan meruntuhkan. Pendeknya, firman Allah selalu menyertai Rasulullah dan umat yang beliau asuh itu langkah demi langkah, sehingga sempurna dan mempersembahkan buahnya. Dengan sendirinya, menurut pengamatan kami, seharusnya ada sisi yang paralel diantara keduanya; antara sirah nabawiyah dan tartib nuzuli. Bagi para pengkaji sirah dan 'ulumul Qur'an, untuk sampai kepada kesimpulan tersebut cukup beralasan. Data dan fenomenanya sangat melimpah. Masalahnya adalah, bagaimana kita dapat mengaitkannya secara total, ayat demi ayat? Proyek ini, seperti pernah disinggung 'Ikrimah, adalah sesuatu yang tidak mungkin. Menurut kami, keinginan tersebut juga berlebihan dan hampir‐hampir tidak bisa dirasakan manfaatnya. Kepayahan yang harus dibayar takkan sebanding dengan hasil yang diraih. Maka, yang masih bisa kita lakukan adalah membaca seluruhnya secara global, dan mencoba melihat tahapan‐tahapan dalam keduanya secara umum. Dalam batasan tertentu, banyak potongan surah yang dilaporkan secara jelas latar belakang historisnya lewat asbabun nuzul, sehingga masih mungkin untuk disalinghubungkan. Ibarat puzzle (mainan bongkar pasang), banyak surah atau bagian‐bagian tertentu darinya yang bisa dipasang pada segmen tertentu dalam gambaran besar sirah nabawiyah. Sebaliknya, kita pun dapat mempergunakan riwayat shahih dalam sirah untuk menilai validitas laporan tentang posisi urutan suatu surah dalam tartib nuzuli. Para ahli hadits banyak menggunakan metodologi semacam ini untuk mengecek keakuratan contents riwayat (al‐matn) yang mereka terima dan transmisikan, atau ketersambungan sanad riwayat (the chain of transmission) yang mereka temui. Buku‐buku rijalul hadits (biografi para perawi) banyak membantu kita untuk memastikan hal ini secara ilmiah dan bertanggung jawab.



Dua Langkah Pendahuluan Studi ini berusaha mengembangkan pendekatan unik dalam memahami sirah nabawiyah, dengan cara memasang tata urutan wahyu (tartibu nuzulil wahyi) sebagai guide (pemandu). Untuk memenuhi tujuan tersebut, terlebih dahulu kita harus memastikan dua hal; pertama menyangkut kronologi sirah nabawiyah yang disepakati jumhur ulama', dan kedua kronologi turunnya surah‐surah al‐Qur'an yang paling dapat diterima keakuratannya. 141



Mengenai sirah, kami berpegang kepada rujukan‐rujukan utama yang telah kami sebutkan dalam Bab II di muka. Dalam hal peristiwa‐peristiwa besar dan masyhur, apa yang ada dalam sirah tidaklah "gelap" atau misterius. Sumber‐sumber maupun urutan waktunya cukup jelas dan konsisten. Tidak banyak kesukaran yang kita temui disini. Perbedaan pendapat biasanya menyangkut hal‐hal partikular (juz'iyyah), bukan universal (kulliyyah). Misalnya, siapa yang lebih dulu dinikahi Rasulullah sepeninggal Ummul mu'minin Khadijah al‐Kubra: 'Aisyah atau Saudah, radhiya‐llahu 'anhunna? Sedang untuk masalah kronologi turunnya surah secara lengkap, kami terpaksa harus melakukan penggabungan versi‐versi yang ada. Hal ini dikarenakan tidak selarasnya hasil studi atas riwayat dalam hadits dan sirah dengan laporan utuh tentang tartib nuzuli menurut sebagian ulama' al‐Qur'an. Meskipun ketidakselarasan itu – dalam studi ini – masih sangat dini dan baru menyangkut surah‐surah yang turun pada periode awal bi'tsah Rasulullah, namun bukan berarti tidak ada kemungkinan yang sama pada surah‐surah lain yang turun dalam periode lebih akhir.



Menggabungkan Versi Tartib Nuzuli Ada dua versi paling lengkap yang potensial untuk tujuan ini, yakni Versi Pertama (Ibnu ‘Abbas) dan Versi Kedua (al‐Biqa’i dan Abul Qasim), karena memuat 114 surah. Tata urutannya terlihat jelas, utuh dan tidak memuat kebingungan. Bila Versi Keenam kita gabungkan dengan salah satu dari dua versi tersebut, bentuknya mungkin juga harus sedikit berlainan pada bagian pembukaan saja. Selebihnya, kita bisa mengikuti apa yang ada sambil terus melakukan upaya penelusuran lebih lengkap. Kami sendiri lebih memilih versi al‐Biqa’i dan Abul Qasim untuk dijadikan pegangan penggabungan ini, bukan versi Ibnu ‘Abbas, dengan 4 pertimbangan, sbb: Pertama, versi Ibnu ‘Abbas tidak dengan jelas dinyatakan bahwa mushhaf‐nya disusun menurut tartib nuzuli. Penguatnya hanya dengan merujuk versi Ja’far as‐Shadiq yang jelas disebut sebagai “susunan surah‐surah al‐Qur’an”, dan juga bentuk diantara kedua susunan ini yang mirip, sehingga mungkin benar bahwa Mushhaf Ibnu ‘Abbas disusun berlandaskan kepada tartib nuzuli. Sekali lagi, ini baru kemungkinan, belum bisa kami pastikan. Secara ilmiah, kekurangan ini cukup mengganggu. Kedua, sekalipun berhasil dikukuhkan bahwa versi Ibnu ‘Abbas berlandaskan tartib nuzuli, kami melihat versi ini diwarnai kerancuan dalam mempersepsi riwayat masa fatrah. Pendapat kami ini merujuk kepada buku Seleksi Sirah Nabawiyah, hal. 109‐110 (perhatikan kutipan yang diberi penebalan): Tidak diketahui secara pasti berapa lama wahyu sempat terhenti. Akan tetapi, yang jelas hal itu tidak berlangsung terlalu lama sehingga jiwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali merasa tenang untuk siap menyambut turunnya wahyu secara berturut‐turut. Setelah berhenti beberapa waktu, wahyu pertama yang turun ialah surah al‐



142



Muddatstsir ayat 1‐5. Pernah, beberapa kali wahyu turun terlambat selama dua atau tiga malam sehingga orang‐orang musyrik dengan sinis mengatakan, “Muhammad sudah ditinggalkan oleh Tuhannya.” Akan tetapi, kemudian Allah yang Mahamulia lagi Mahaagung menurunkan firman‐Nya, “Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.”63 Ada beberapa perawi yang keliru. Mereka mengira bahwa ayat tersebut turun setelah wahyu terhenti cukup lama, yakni setelah turunnya ayat “bacalah”. (catatan: penebalan berasal dari kami, penulis).



Tartib nuzuli versi Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa, setelah al‐‘Alaq turun berturut‐turut al‐Qalam, adh‐Dhuha, al‐Muzzammil, al‐ Muddatstsir, al‐Fatihah, dst. Sebelum ini kita telah membahas bahwa wahyu kedua adalah al‐Muddatstsir, bukan al‐Qalam. Dengan demikian, penempatan al‐Qalam setelah al‐‘Alaq gugur menurut riwayat sirah dan hadits. Di lain pihak, terlihat bahwa versi Ibnu ‘Abbas meletakkan adh‐ Dhuha – kemungkinan – berpegang para riwayat tentang masa fatrah tentang surah ini yang dipersepsikan sebagai masa fatrah setelah al‐ ‘Alaq. Ini jelas tidak tepat. Ketiga, dengan memperhatikan asbabun nuzul surah adh‐Dhuha, sangat jelas bahwa tanggapan sinis terhadap Rasulullah berasal dari kaum musyrikin, dimana tidak mungkin terjadi hal semacam ini kecuali setelah dimulainya da’wah jahriyah. Sirah menyebutkan bahwa dakwah terbuka baru dimulai setelah 3 atau 4 tahun kenabian. Setelah turunnya al‐‘Alaq, beliau belum memaklumkan seruan apa pun, bahkan masih diwarnai kebingungan dan ketidakpastian. Riwayat shahih tentang asbabun nuzul al‐Muddatstsir sendiri juga masih memperlihatkan suasana hati beliau yang gemetar dan bingung. Artinya, beliau masih belum terbiasa melihat Jibril dan kecemasan yang timbul setelah menerima wahyu pertama belum benar‐benar hilang. Ibnu Hisyam meriwayatkan berbagai upaya Nabi untuk meyakinkan diri – bersama Khadijah radhiyallahu ‘anha – bahwa yang mendatanginya adalah malaikat, bukan jin atau syetan (lihat: terjemah Sirah Ibnu Hisyam, jilid 1, hal. 199‐200). Dengan sendirinya, surah adh‐Dhuha tidak mungkin turun lebih awal dari al‐Muddatsir atau al‐Muzzammil. Menurut hemat kami, surah ini justru turun pada masa da’wah jahriyah, dimana ketika wahyu agak terlambat turun beberapa malam, serta‐merta kaum musyrikin seakan mendapat celah memperolok beliau. Hal ini sesuai dengan konteks riwayat asbabun nuzul‐nya yang memuat cemoohan sinis kaum musyrikin, dalam hal ini Ummu Jamil (istri Abu Lahab) atau figur historis lainnya. Seruan umum baru beliau mulai setelah menerima wahyu dalam surah al‐Hijr 94, "fa‐shda' bima tu'maru wa a'ridh 'anil mursyrikin". Reaksi penolakan Abu Lahab terhadap dakwah ini sangat terkenal. Lalu beliau mengumpulkan karib kerabatnya sendiri di rumah Abu Thalib, setelah turun surah asy‐Syu’ara’: 214, “wa andzir ‘asyiratakal aqrabin”. 63



Surah adh‐Dhuha: 1‐3.



143



Keempat, saat ini kami menemukan dua literatur tafsir yang memakai tata urutan tersebut, padahal keduanya secara tegas menyatakan sebagai disusun berdasarkan tartib nuzuli. Kedua karya itu adalah tafsir yang disusun oleh Syekh Muhammad 'Izzat Darwazah dan Prof. Dr. Quraish Shihab. Konon, Tafsir Sinar yang disusun Buya Malik juga memakai tata urutan ini. Namun, sayang sekali kami belum sempat menelaahnya. Artinya, tata urutan ini dikenal baik dan banyak diterima oleh kalangan yang otoritatif di bidangnya. Menurut kami, hal ini penting, sebab dalam masalah yang berkaitan dengan al‐Qur'an – juga ilmu‐ilmu lainnya – kita dianjurkan untuk memilih satu pendapat yang banyak dianut oleh ulama'. Dan, sejauh yang kami ketahui, versi tartib nuzuli tersebut memang yang paling banyak diterima. Wallahu a'lam. Empat hal inilah yang membuat kami menjatuhkan pilihan pada tartib nuzuli versi al‐Biqa’i dan Abul Qasim. Ketiga pertimbangan dan kritik diatas, bila diterapkan kepada versi ini, seluruhnya terjawab dengan cukup memuaskan. Dari sisi penukilan riwayat, versi ini jelas disebut sebagai “sejarah turunnya surah‐surah”, atau tarikh nuzul, yang secara eksplisit dapat dimaknai sebagai urutan kronologis. Dari sisi riwayat adh‐ Dhuha, tidak timbul pertentangan dengan fakta sirah nabawiyah, sebab dalam versi ini surah tersebut berada pada urutan ke‐11, jauh setelah al‐Lahab. Jarak antara keduanya diisi oleh empat surah lain, yakni at‐ Takwir, al‐A’la, al‐Lail, dan al‐Fajr. Dengan sendirinya riwayat asbabun nuzul surah adh‐Dhuha yang menyebut‐nyebut ejekan seorang musyrik kepada Rasulullah menjadi logis, karena berlangsung dalam masa da’wah jahriyah, yang salah satu penanda terpentingnya adalah surah al‐Lahab. Argumen tambahan yang memperkuat Versi Kedua adalah kedudukan surah al‐Fatihah. Disini, al‐Fatihah turun sesudah al‐Muddatstsir sebelum al‐Lahab. Mengenai mana yang lebih dulu antara al‐Muzzammil dan al‐ Muddatstsir, persoalannya sudah jelas. Tampaknya, versi al‐Biqa’i dan Abul Qasim terjebak pada kebingungan yang sama akibat riwayat asbabun nuzul kedua surah ini yang sering tertukar. Kedua surah ini terlihat jelas turun berdekatan waktunya. Kita sudah memaparkan bahwa yang benar adalah al‐Muddatstsir turun terlebih dahulu. Sementara itu, masalah al‐Qalam yang ditempatkan sebagai surah kedua setelah al‐‘Alaq, kritik kami sama dengan apa yang kami tujukan kepada Versi Pertama (Ibnu ‘Abbas) diatas. Surah yang lebih memungkinkan pada posisi ke‐4 adalah al‐Fatihah, kemudian diiringi al‐Lahab pada posisi ke‐5. Di lain pihak, kitab at‐Tafsir al‐Hadits yang ditulis oleh Muhammad ‘Izzat Darwazah mempergunakan versi al‐Biqa’i dan Abul Qasim ini, surah demi surah, baik Makkiyah maupun Madaniyah, tanpa perbedaan sedikit pun; yang pada gilirannya semakin menambah kekuatan versi ini. Penggabungan menjadi alternatif paling memungkinkan. Sebab, studi terhadap manhaj ini tidaklah mungkin berjalan terus tanpa pegangan tertentu, meski bersifat sementara. Bagi sebagian kalangan yang ingin mendapat ramuan instan, yang bermanfaat untuk studi lebih komprehensif terhadap makna surah‐surah al‐Qur’an dalam tinjauan tartib nuzuli, saran kami tersebut dapat dipertimbangkan. Dengan tetap 144



berpegang pada hasil studi kita, perubahan hanya akan berdampak kepada sebagian kecil surah di bagian awal, yakni mengubah awal tata‐ urutan dalam versi tersebut menjadi: (1) (2) (3) (4) (5)



al‐‘Alaq ayat 1‐5. al‐Muddatstsir ayat 1‐5. al‐Muzzammil ayat 1‐9. al‐Fatihah ayat 1‐7. al‐Lahab ayat 1‐5.



Tata‐urutan ini – menurut kami – cukup sesuai dengan catatan sirah nabawiyah, juga riwayat tentang wahyu‐wahyu pertama yang turun dalam kelompok‐kelompok kecil. Titik terang lain adalah adanya kesejajaran tertentu bagi posisi sebagian besar surah setelah al‐Lahab. Dengan merujuk Tabel Perbandingan 5 Versi Tartib Nuzuli dalam Lampiran di penghujung risalah ini, pembaca akan melihat dengan jelas “kesejajaran” yang kami maksudkan. Kami menyebut tata‐urutan hasil studi ini sebagai Versi Alternatif. Uraian yang dipaparkan pada bab berikutnya akan memberikan verifikasi lebih lanjut terhadap masalah ini, insya‐Allah. Selengkapnya, kronologi 114 surah hasil penggabungan tersebut adalah, sbb: (1) Al‐‘Alaq, (2) Al‐Muddatsir, (3) Al‐Muzzammil, (4) al‐Fatihah, (5) Al‐ Masad, (6) Al‐Qalam, (7) At‐Takwir, (8) Al‐A’la, (9) Al‐Lail, (10) Al‐Fajr, (11) Adh‐Dhuha, (12) Alam nasyrah, (13) Al‐‘Ashr, (14) Al‐‘Adiyat, (15) Al‐Kautsar, (16) At‐Takatsur, (17) Al‐Ma’un, (18) Al‐Kafirun, (19) Al‐Fiil, (20) Al‐Falaq, (21) An‐Naas, (22) Al‐Ikhlash, (23) An‐Najm, (24) ‘Abasa, (25) Al‐Qadr, (26) Asy‐Syams, (27) Al‐Buruj, (28) At‐Tiin, (29) Quraisy, (30) Al‐Qari’ah, (31) Al‐Qiyamah, (32) Al‐Humazah, (33) Al‐Murasalat, (34) Qaaf, (35) Al‐Balad, (36) Ath‐Thariq, (37) Al‐Qamar, (38) Shaad, (39) Al‐A’raf, (40) Al‐Jinn, (41) Yaasin, (42) Al‐Furqan, (43) Fathir, (44) Maryam, (45) Thaha, (46) Al‐Waqi’ah, (47) Asy‐Syu’ara’, (48) An‐Naml, (49) Al‐Qashash, (50) Al‐Isra’, (51) Yunus, (52) Huud, (53) Yusuf, (54) Al‐ Hijr, (55) Al‐An’am, (56) Ash‐Shaffat, (57) Luqman, (58) Saba’, (59) Az‐ Zumar, (60) Ghafir (al‐Mu’min), (61) Fushshilat, (62) Asy‐Syuura, (63) Az‐Zukhruf, (64) Ad‐Dukhan, (65) Al‐Jatsiyah, (66) Al‐Ahqaf, (67) Adz‐ Dzariyat, (68) Al‐Ghasyiyah, (69) Al‐Kahfi, (70) An‐Nahl, (71) Nuuh, (72) Ibrahim, (73) Al‐Anbiya’, (74) Al‐Mu’minun, (75) As‐Sajdah, (76) Ath‐ Thuur, (77) Al‐Mulk, (78) Al‐Haaqqah, (79) Al‐Ma’arij, (80) An‐Naba’, (81) An‐Nazi’at, (82) Al‐Infithar, (83) Al‐Insyiqaq, (84) Ar‐Ruum, (85) Al‐ Ankabut, (86) Al‐Muthaffifin, (87) Al‐Baqarah, (88) Al‐Anfal, (89) Ali ‘Imran, (90) Al‐Ahzab, (91) Al‐Mumtahanah, (92) An‐Nisa’, (93) Az‐ Zalzalah, (94) Al‐Hadid, (95) Muhammad, (96) Ar‐Ra’du, (97) Ar‐ Rahman, (98) Al‐Insan, (99) Ath‐Thalaq, (100) Al‐Bayyinah, (101) Al‐ Hasyr, (102) An‐Nuur, (103) Al‐Hajj, (104) Al‐Munafiqun, (105) Al‐ Mujadilah, (106) Al‐Hujurat, (107) At‐Tahrim, (108) At‐Taghabun, (109) Ash‐Shaff, (110) Al‐Jumu’ah, (111) Al‐Fath, (112) Al‐Maidah, (113) At‐ Taubah, (114) An‐Nashr.



Khusus surah al‐Qalam, perlu diberi catatan tersendiri. Sebab, jika mengikuti versi‐versi yang ada, harusnya ia berada pada jajaran wahyu‐ wahyu pertama. Namun, ini musykil berdasarkan riwayat‐riwayat yang 145



sudah kita bahas sebelum ini. Yang dapat diyakini dari surah ini adalah, bahwa ia turun dalam periode dakwah terbuka yang lebih akhir, melihat konteks isinya yang keras dan tajam. Paling kurang, dengan tetap menerima riwayat‐riwayat tartib nuzuli, maka posisi surah ini harus digeser setelah al‐Lahab, yakni sesudah dakwah terbuka benar‐benar bergulir. Wallahu a'lam.



Kronologi Sirah dan Tartib Nuzuli Data yang dapat dipergunakan untuk studi ini adalah marhalah wahyu, seperti pernah kami uraikan pada permulaan buku ini. Paling kurang, kita telah memperoleh gambaran yang cukup terang tentang surah apa saja yang ada dalam masing‐masing periode dakwah di Makah. Sedangkan untuk periode dakwah di Madinah, kami belum memperoleh datanya yang pasti. Dengan mengacu kepada Versi Alternatif diatas, sekaligus merujuk kepada apa yang kami sebut marhalah wahyu, maka kronologi sirah dalam tinjauan tarib nuzuli adalah, sbb: 1) Tahun pertama sampai ketiga, dimulai dari surah al‐'Alaq sampai turunnya al‐Lahab. Pada masa ini juga turun ayat‐ayat dari surah lain, atau kelengkapan wahyu yang bagian pembukaannya sudah turun terlebih dahulu. Disinilah masuk Islamnya tokoh‐tokoh utama para Sahabat berlangsung, seperti Khadijah, Abu Bakar, 'Ali, Zaid bin al‐Haristah, 'Utsman, Thalhah, az‐Zubair, Sa'ad bin Abi Waqqash, Abu 'Ubaidah bin al‐Jarrah, dan lain‐lain yang dikenal sebagai as‐Sabiqun al‐Awwalun. 2) Tahun ketiga sampai keenam, dimulai dari peristiwa terkenal yang melatarbelakangi turunnya surah al‐Lahab sampai saat surah Maryam dan Thaha sudah turun. Peristiwa penting yang menandai periode ini adalah meningkatnya siksaan kafir Quraisy kepada kaum muslimin, hijrah ke Habasyah (Abbyssinia), serta masuk Islamnya Hamzah dan 'Umar bin al‐Khaththab radhiya‐llahu 'anhuma. 3) Tahun keenam sampai kesepuluh, secara global diawali dari surah al‐ Waqi'ah. Periode ini diawali dengan meningkatnya kekuatan kaum muslimin berkat masuk Islam Hamzah dan 'Umar, dan diakhiri dengan wafatnya Khadijah radhiya‐llahu 'anha dan Abu Thalib. Pada rentang waktu ini pula Bani Hasyim diboikot di Syi'ib Abu Thalib, Rasulullah mulai giat menawarkan diri kepada kabilah‐kabilah yang mendatangi Baitullah di musim haji, juga peristiwa tragis yang beliau alami dalam perjalanan ke Thaif. Jika menilik riwayat sirah, peristiwa kelaparan dahsyat yang menimpa Quraisy juga berlangsung pada tahun‐tahun ini, yang sepintas disinggung oleh permulaan surah ad‐ Dukhan. 4) Tahun‐tahun terakhir di Makkah, sampai menjelang hijrah ke Madinah. Peristiwa penting yang patut dicatat adalah pertemuan beliau dengan rombongan jamaah haji dari Madinah. Buku‐buku sirah menyebutkan bahwa terjadi beberapa kali pertemuan rahasia, dan 146



dalam kesempatan‐kesempatan 'Aqabah yang terkenal itu.



tersebut



berlangsunglah



Bai'at



Inilah empat titik penting bagi kami untuk menandai periode‐periode sirah nabawiyah yang dikaitkan dengan tartib nuzuli. Sekilas tampak berbeda dengan apa yang dirinci oleh Dr. Shubhi ash‐Shalih sebagai tiga Marhalah Wahyu Makkiyah, berdasar kajian dari Abul Qasim an‐Nisaburi. Namun, jika dibaca lebih teliti, sebetulnya tidak ada yang berbeda. Untuk penjelasan lebih terinci, saat ini belum dapat diberikan, termasuk seperti apa merangkai sirah periode Madinah dengan tartib nuzuli. Kami berencana menuliskannya dalam buku tersendiri, insya‐Alllah.[] Wallahu a'lam.



147



RINGKASAN



Sirah nabawiyah adalah al‐Qur'an hidup, yang potretnya terabadikan dalam bingkai sejarah umat manusia. Al‐Qur'an hidup dalam jiwa manusia‐manusia terbaik, yang lewat mereka "energi langit" terekspose keluar, dalam bentuk‐bentuk spektakuler yang dapat disaksikan dunia. Tentu saja, ekspresi jiwa al‐Qur'an tidak tercermin dari pencapaian fisik dan luasnya penaklukan, namun dari lapangnya pondasi peradaban yang ditegakkan diatas kepatuhan tauhid. Sirah tidak berbicara tentang orang‐orang yang merumuskan kaidah‐ kaidah filosofi abadi, bukan pula mereka yang memancangkan landasan hukum peradaban, semua atas namanya sendiri. Sirah hanya bercerita tentang orang‐orang bersahaja, di tengah jazirah tandus, yang sepenuh hati mematuhi otoritas Tuhannya, bersungguh‐sungguh mewujudkan kehendak‐Nya di dalam kehidupan, serta tidak meragukan kebenaran janji‐Nya. Namun, sebagai disiplin ilmu, sirah kadang tercampuri riwayat‐riwayat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebagai generasi yang berkomitmen untuk meneladani jejak langkah Rasulullah, adalah penting untuk bersikap cermat, waspada, konsisten dan menguasai metodologi maupun referensi di dalam mengkajinya. Ada sangat banyak sumber rujukan bagi kajian kita di bidang ini, baik yang klasik maupun kontemporer. Para ulama' telah mencoba menyajikannya dalam beragam cara, baik menurut kronologi utuh maupun dengan memilih pendalaman atas sebuah segmen atau tema spesifik. Pokok‐pokok persoalan yang dibahas pun sangat beragam. Buku ini berusaha menemukan jalan untuk melakukan suatu studi sirah dengan menggabungkan kepadanya kajian atas tartib nuzulnya wahyu. Meski pencapaian dari upaya ini masih "kasar" dan minimal, namun kami optimis bahwa pekerjaan ini memiliki masa depannya sendiri. Dengan niat tulus, kekuatan metodologis, kecermatan kinerja ilmiah, keluasan referensi, serta kesediaan untuk melakukan diskusi dalam skala luas, insya‐Allah apa yang kita cari akan ditemukan. Semoga.[] Wallahu a'lam bish‐showab.



148



SARAN BAHAN BACAAN LANJUT



Berikut adalah daftar 17 kitab sirah paling menonjol yang naskah lengkapnya sampai kepada kita di zaman ini. Kami mengutip daftarnya dari buku Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dha’if hal. 43‐46, karya Dr. Akram Dhiya’ al‐Umuri. Kutipan dibuat sesuai dengan tujuan penulisan buku ini, yakni memberikan semacam pedoman dan daftar referensi yang dapat dirujuk lebih lanjut untuk melakukan studi pendalaman. 1. Sirah Ibnu Hisyam. Sirah ini mengoreksi Sirah Ibnu Ishaq. Selain membuang riwayat‐riwayat israiliyat dan syair‐syair yang menjiplak, Ibnu Hisyam juga menambahkan data‐data bahasa dan silsilah sehingga menjadikan Sirah Ibnu Hisyam sebagai kitab yang mengundang simpati mayoritas ulama’. Tulisan‐tulisan senada yang muncul belakangan juga mengacu kepada Sirah Ibnu Hisyam ini. Sebenarnya gaya penulisan Ibnu Hisyam tentang kehidupan Rasulullah shalla‐llahu ‘alaihi wa sallam dari aspek‐aspek peperangan sangat mirip dengan yang ditulis dalam kitab‐kitab hadits yang shahih. Itulah yang membuat Sirah Ibnu Hisyam menjadi sangat terkenal dan mempunyai nilai tersendiri. Sirah Ibnu Hisyam ini diulas oleh al‐Hafizh as‐Suhaili (w. 581 H) dalam kitabnya ar‐ Raudh al‐Unuf yang sudah dicetak. 2. Ath‐Thabaqat al‐Kubra. Jilid pertama dan kedua dari kitab karya Muhammad bin Sa’ad (w. 230 H) ini khusus menerangkan tentang sirah. Harus diakui bahwa Ibnu Sa’ad memang seorang ulama’ tsiqah yang sangat teliti terhadap riwayat‐riwayatnya, seperti yang diungkapkan oleh ‘Abdurrahman al‐Khathib al‐Baghdadi dan Ibnu Hajar al‐‘Asqalani. Akan tetapi, ia juga mengutip dari beberapa pewari yang dha’if; seperti al‐Waqidi yang kutipan‐kutipannya banyak dicurigai oleh Ibnu Nadim “mencuri” dari tulisan‐tulisannya. Namun, berdasarkan pengamatan yang cermat, Ibnu Sa’ad adalah seorang penulis yang memiliki metode tersendiri. Selain sering mengutip dari al‐Waqidi, ia juga sering mengutip dari guru‐guru lain yang cukup terkanal; seperti ‘Affan bin Muslim, ‘Ubaidillah bin Musa dan al‐Fadhal bin Dakin. Ketiganya adalah ulama’ ahli hadits yang tsiqah. Al‐Hafizh adz‐Dzahabi mengatakan, “Menurut para ulama’, apa yang diriwayatkan Ibnu Sa’ad dari al‐Waqidi, lalu ia tulis dalam kitan Ath‐ Thabaqah cenderung menggambarkan riwayat ulama’ lain yang dikutip darinya.” 3. Tarikh Khalifat al‐Khayyath. Khalifat al‐Khayyath (w. 240 H) adalah seorang ulama’ ahli hadits yang tsiqah. Ia adalah salah seorang guru Imam al‐Bukhari dalam menulis Shahih al‐Bukhari. Kitab tersebut adalah sejarah umum yang pada bagian pertama membahas potongan‐potongan peristiwa sirah, dan menempatkan Ibnu Ishaq sebagai referensi utamanya. 149



4. Ansab al‐Asyraf. Kitab karya Ahmad bin Yahya bin Jabir al‐Baladziri (w. 279 H) ini berisi sejarah umum yang cukup sistematik. Pada bagian awal kitab ini, al‐Baladziri khusus membahas tentang sirah. Menurut para ulama’ ahli hadits, al‐Baladziri adalah seorang perawi yang dha’if. Ibnu Hajar al‐‘Asqalani menuturkan data biografi al‐ Baladziri dalam kitabnya, Lisan al‐Mizan, yang memang membahas para perawi dha’if. 5. Tarikh ar‐Rusul wal‐Muluk. Bagian pertama kitab karya Muhammad bin Jarir ath‐Thabari (w. 310 H) ini khusus membahas tentang sirah. Ath‐Thabari adalah perawi tsiqah yang menempatkan Ibnu Ishaq sebagai referensi utamanya. Metode yang digunakan ath‐Thabari tidak menganggap penting kritik yang menyoroti riwayat dari aspek shahih dan dha’ifnya. Ia mengemukakan riwayat berikut sanad‐ sanadnya begitu saja, dan menyerahkan tugas untuk meneliti serta men‐tarjih kepada pembaca. 6. Ad‐Durar fi Ikhtshari al‐Maghazi was‐Siyar. Kitab ini ditulis oleh Ibnu ‘Abdil Barr al‐Qurthubi (w. 463 H), seorang ulama’ ahli hadits terkemuka pada zamannya. Kitab ini berorientasi kepada Sirah Ibnu Hisyam, Sirah Musa bin ‘Uqbah, Tarikh Ibnu Khaytsamah, dan beberapa kitab hadits. Ia tidak menegaskan telah mengutip dari al‐ Waqidi, kecuali hanya dalam satu bagian saja. Akan tetapi, ia mengaku mengutip riwayat al‐Maghazi milik al‐Waqidi. Dalam menulis kitabnya, ia menyatakan secara umum mengikuti pola Ibnu Ishaq. Dan ia tidak terikat dengan menyebutkan sanad. 7. Jawami’ as‐Sirah. Kitab karya Ibnu Hazm azh‐Zhahiri (w. 456 H) ini samasekali tidak menyinggung cara penyebutan sanad, dan juga tidak menunjukkan sumber‐sumbernya. Ia juga mengadakan unggulan diantara riwayat‐riwayat, menetapkan riwayat unggulan dalam kitabnya, dan mengadakan penelitian terhadap peristiwa‐ peristiwa sejarah. Ia menggunakan pola penyimpulan untuk memebersihkan sirah dari syair dan kisah‐kisah. Dalam catatan kaki, Dr. Akram Dhiya’ memberi tambahan informasi, bahwa Ibnu Hazm sendiri mengaku mengutip sirahnya dari Khalifat bin Khayyath dalam tiga bagian, dari Tarikh Abu Hassan az‐Ziyadi dalam tiga bagian pula, dan juga mengutip dari ad‐Durar fi Ikhtishari al‐Maghazi was‐Siyar karya Ibnu ‘Abdil Barr dalam satu bagian saja. Menurut para muhaqqiq kitab tersebut, Ibnu Hazm banyak mengutip dari ad‐Durar. 8. Al‐Kamil fit‐Tarikh. Kitab sejarah umum yang ditulis oleh Ibnu al‐ Atsir al‐Jazri (w. 632 H), seorang ulama’ ahli sejarah yang tsiqah ini, beberapa bagiannya khusus tentang sirah. 9. ‘Uyun al‐Atsar fi Funun al‐Maghazi was‐Syama’il was‐Siyar. Kitab ini ditulis oleh Ibnu Sayyidinnas (w. 743 H), seorang ulama’ ahli hadits yang tsiqah. Al‐Hafizh adz‐Dzahabi dan al‐Hafizh Ibnu Katsir juga menganggapnya tsiqah. Dalam kitabnya itu ia banyak mengutip dari kitab‐kitab hadits dan juga kitab‐kitab tentang peperangan yang 150



sebelumnya. Ia juga menyebutkan sumber‐sumbernya pada bagian muqaddimah kitabnya. 10. Zaad al‐Ma’aad fi Hadyi Khairi al‐‘Ibaad. Kitab ini ditulis oleh Ibnu Qayyim al‐Jauziyyah (w. 751 H), seorang ulama’ terkemuka pada zamannya. Kitab ini sangat penting karena isi materinya mencakup tentang perilaku, akhlak, adab, fiqh dan cerita‐cerita peperangan. 11. As‐Sirah an‐Nabawiyah. Kitab ini ditulis oleh al‐Hafizh adz‐Dzahabi (w. 748 H), seorang penulis yang tsiqah dan memiliki kekuatan intelektual yang tajam, terutama dalam menggunakan kaidah‐kaidah ulama’ ahli hadits. Dalam kitab ini ia hanya mengkritik sebagian riwayat saja. 12. Al‐Bidayah wan‐Nihayah. Kitab yang ditulis oleh al‐Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) ini merupakan kitab sejarah umum yang beberapa bagiannya khusus membahas tentang sirah. Ibnu Katsir adalah termasuk imam tsiqah yang mutahaqqiq. Adz‐Dzahabi, Ibnu Hajar al‐ ‘Asqalani dan Ibnu al‐Ammad al‐Hanbali juga menganggapnya sebagai ulama’ yang tsiqah. 13. Imta’ al‐Asma’. Kitab ini ditulis dengan ringkas tanpa menyebutkan sanad oleh al‐Muqrizi, seorang ulama’ yang tsiqah. Akan tetapi, menurut as‐Sakhawi, kitab ini banyak mendapat kritikan. 14. Al‐Mawahib al‐Laduniyyah bil‐Manhi al‐Muhammadiyah, oleh Ahmad bin Muhammad al‐Qasthalani (w. 923 H). 15. Syarh al‐Mawahib al‐Laduniyyah, oleh Muhammad bin ‘Abdul Baqi az‐Zarqani (w. 1122 H). Kedua kitab tadi termasuk kitab‐kitab yang secara lengkap membahas tentang perilaku, akhlak dan sirah Nabi. 16. As‐Sirah al‐Halabiyyah. Kitab karya Burhanuddin al‐Halabi (w. 841 H) ini berisi sisipan‐sisipan dan cerita israiliyat. Ia sengaja membuang sanad riwayat‐riwayatnya. Ia cukup menyebutkan perawi hadits, mengulas riwayat‐riwayat yang gharib, dan memberikan tambahan komentar‐komentar lain. 17. Subul al‐Hadyi war‐Rasyad fi Siirati Khairi al‐‘Ibaad. Kitab tulisan Muhammad bin Yusuf ad‐Dimasyqi asy‐Syami (w. 942 H) ini telah dipilih oleh lebih dari dua ribu orang penulis. Selain daftar diatas, ada 3 judul buku yang ditulis oleh seorang ulama’ kontemporer kelahiran Palestina, Syekh Muhammad ‘Izzah Darwazah, yang secara khusus disusun berdasar asumsi tata‐urutan wahyu. Ketiganya adalah: 1. ‘Ashr an‐Nabi shalla‐llahu ‘alaihi wa sallam (Era Kehidupan Nabi SAW). Menurut informasi, kitab ini sudah dicetak di Damaskus tahun 1365 H (1946 M). 2. Siratu ar‐Rasul shalla‐llahu ‘alahi wa sallam min al‐Qur’an (Sejarah Hidup Rasul SAW yang Diambil dari al‐Qur’an). Kitab ini dicetak pada tahun 1367 H (1948 M) di Kairo, Mesir.



151



3. Ad‐Dustur al‐Qur’ani fi Syu’uni al‐Hayat (Undang‐undang Qur’ani dalam Masalah‐masalah Kehidupan). Kitab ini juga dicetak di Kairo, tahun 1376 H (1956 M). Secara pribadi, dari ke‐20 referensi diatas, hanya enam diantaranya yang kami miliki dan sudah kami telaah sebagiannya. Satu referensi lagi, yakni at‐Tafsir al‐Hadits yang terdiri dari 12 jilid, karya Syekh Darwazah juga, saat ini tengah kami kaji bersama‐sama sebagai salah satu rujukan utama pembinaan dalam halaqah mingguan di lingkungan kader/warga Hidayatullah di Malang. Demikian semoga daftar ini bermanfaat dan dapat membuka jalan untuk lebih mengenal dan meneladani kepribadian serta kehidupan Nabi kita, Muhammad shalla‐llahu ‘alaihi wa sallam bersama generasi pertama umat ini yang beliau bina.[] Wallahu a'lam bish‐showab.



152



xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx



BAGIAN IV MANHAJ SISTEMATIKA NUZULNYA WAHYU DALAM PRAKTEK



Bagian ini mengetengahkan usulan model kajian atas apa yang sudah didiskusikan pada bagian sebelumnya. Dengan kata lain, berkenaan de‐ngan penerapan Manhaj. Seluruhnya terangkum dalam 3 bab, ditambah Penutup. ·



Memperbaharui Tartib Nuzuli dalam SNW



·



Qira'ah, Tartil dan Tilawah



·



Manhaj Tarbawi



·



Penutup



wwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww



153 



BAB I MEMPERBAHARUI TARTIB NUZULI DALAM SNW



Sebagian orang – bisa jadi – merasa enggan membicarakan masalah ini, demi menghormati Allahu‐yarham Ustadz Abdullah Said dan memelihara orisinalitas gagasan yang beliau wariskan. Akan tetapi, menurut kami, perasaaan seperti itu sangat subyektif dan tidak pada tempatnya. Sebab, justru dengan mencoba membangun landasan ilmiah yang jelas bagi SNW, kita telah menghormati warisan beliau dan mengembangkannya secara lebih bertanggung jawab. Sisi yang akan kita coba benahi adalah tartib nuzuli atau tata‐urutan penurunan wahyu dalam konsep dasar SNW, bukan spiritnya. Perlu diingat, bahwa dalam kajian ilmiah semacam ini, acapkali tidak dapat ditemukan spirit yang nyata. Namun, adalah naif jika kita membangun spirit tanpa landasan ilmu. Dalam tradisi para ulama' besar di masa silam, kritik pedas yang mereka arahkan kepada kaum Sufi adalah disebabkan ketiadaan ilmu yang melandasi spirit dalam peribadatan. Imam Ibnul Jauzi, seorang ulama' abad ke‐5 H, mengkhusukan satu bab panjang dalam buku Talbis Iblis‐nya hanya untuk "menelanjangi" kebohongan dan kebodohan kaum Sufi. Tentu saja yang dimaksud adalah kalangan Sufi yang mengada‐adakan sendiri beragam ajaran yang tidak dikenal sebelumnya dalam Sunnah Rasulullah dan tradisi para penerusnya yang shalih.64 Agar jamaah dalam kapal Lembaga ini selamat dari fakta maupun tuduhan semacam itu, maka adalah penting untuk menelusuri serta melandaskan manhaj‐nya kepada Sunnah dan tradisi Salaf. Di masa depan, SNW harus dikaji dan diterapkan berlandaskan kepada spirit "tradisional" kita, dengan peneguhan ilmiah yang valid. Artinya, mencoba mendiskusikan dan kemudian memilih versi lain bagi SNW adalah sesuatu yang wajar bagi perjalanan kita, sepanjang berlandaskan metode serta sumber acuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pilihan paling praktis memang berada pada "ruang aman" bagi konsep dasar SNW selama ini, yang dengan demikian tidak ada perubahan apa‐ apa terhadapnya. Namun, dengan membaca seluruh sumber acuan yang telah kami paparkan sebelum ini, mau tidak mau memang harus ada perubahan. Permasalahannya, sejauh ini hasil studi kami masih sebatas wahyu kelima saja. Perlu usaha keras sekali lagi untuk melanjutkannya sehingga lebih sempurna. Membatasi pembahasan hanya sampai lima surah – menurut hemat kami – hanya akan mengulang kegamangan serupa dalam kajian SNW selama ini. Yang paling memungkinkan adalah menggabungkan hasil studi ini dengan satu versi lainnya, dengan cara 64



Lihat: Talbis Iblis, hal. 189‐313. Ini merujuk kepada edisi terjemahan bahasa Indonesia, yang sebetulnya sudah mengalami pemendekan.



154



menganalisa materi tartib nuzuli yang ada di dalamnya. Secara lebih rinci kami telah membahasnya dalam Bagian III. Walau pilihan manapun tidak akan lepas dari kontroversi, akan tetapi jika sebuah pilihan dapat dirujukkan kepada suatu landasan ilmiah yang valid dan akurat, maka kritik serta keberatan pun dapat dieliminir seminimal mungkin. Selama ini, menurut pengamatan kami, aspek mendasar di balik tata urutan surah SNW itu sendiri hampir tidak pernah disentuh. Dengan membaca sumber‐sumber yang memuat tata urutan sejenis itu, terlihat jelas bahwa semuanya disajikan secara lafzhiyah dan apa adanya, tanpa penjelasan apapun. Maksud kami, tidak ada uraian rinci mengenai mengapa surah ini ada di urutan ke sekian, apa dasarnya, bagaimana relevansinya dengan fakta sirah, dsb. Jika pun ada penjelasan, itu bersifat tafsiriyah, yakni uraian hikmah yang dapat diambil dari posisi surah tersebut dalam kaitannya dengan dakwah dan tarbiyah. Kami belum melihat adanya penilaian yang mendalam terhadap kualitas riwayatnya. Studi dalam buku ini, dengan segala keterbatasannya, berusaha merintis jalan untuk menutup celah itu. Kami tidak bermaksud menggugat dan mengahancurkan, namun membenahi dan meneguhkan. Apa yang ada dalam buku ini sepenuhnya diniatkan bagi pemurnian manhaj kita dari unsur‐unsur ketidakakuratan, prasangka tanpa ilmu, penjelasan subyektif, atau tafsir‐tafsir individual yang tidak otoritatif. Bagaimanapun, kita tengah membahas al‐Qur'an. Adalah naif jika kita berbicara tanpa dasar. Dan tentu saja, lancang jika dalam memahami al‐ Qur'an, kita dengan berani meletakkan kerangka berfikir yang berasal dari pengalaman pribadi kita sendiri, namun pada saat bersamaan tidak berusaha meletakkan kerangka berfikir yang berlandaskan kepada hadits‐hadits shahih, warisan generasi Salaf, serta ulasan‐ulasan berharga dari para ulama' terpercaya. Bukan berarti kita tidak boleh memahami al‐Qur'an menurut kemampuan kita, namun untuk boleh menyebarkan hasil pemahaman itu jelas diperlukan prasyarat. Seseorang yang menguraikan al‐Qur'an tanpa dilandasi oleh metodologi maupun bekal‐bekal lain yang baik, kemungkinan untuk salah baginya akan semakin besar. Padahal, kita tidak boleh salah dalam memahami Kitab Suci. Kesalahan pada tahap ini bisa berdampak pada kekeliruan amaliah. Bahaya besar jelas menanti. Untuk kasus SNW, kita telah sampai pada taraf menyebarkan pemahaman. Sebab, SNW adalah manhaj, dan setiap manhaj pasti ditujukan untuk disebarkan, diikuti, diamalkan. Oleh karenanya, memberi rincian akurat atas manhaj ini merupakan kebutuhan mendesak. Tidak bisa ditunda‐tunda lagi.[] Wallahu a'lam.



155



BAB II QIRA'AH, TARTIL DAN TILAWAH



Tiga Sarana Pokok Berinteraksi dengan al‐Qur’an tak bisa lepas dari tiga sarana pokok: qira’ah, tilawah, dan tartil. Masing‐masing merupakan thariqah yang berbeda, namun bersinggungan satu sama lain pada titik‐titik tertentu, sehingga tidak bisa dilepaskan atau dipergunakan secara mandiri tanpa melibatkan lainnya. Tiga kosakata al‐Qur’an diatas biasanya diterjemahkan dengan "membaca" dalam bahasa Indonesia. Untuk membuktikannya, Anda bisa melihat bagaimana terjemahan 3 kata ini dalam surah al‐‘Alaq (iqra’ bismi rabbika), al‐Jumu’ah (yatlu ‘alaihim ayatina), dan al‐Muzzammil (wa rattilil Qur’ana tartiila). Ketiga surah ini sudah sangat dikenal dalam kajian SNW. Secara umum, menerjemahkan ketiganya sebagai "membaca" adalah benar, namun tidak lengkap. Dalam penggunaan bahasa Arab maupun al‐ Qur'an sendiri, ketiganya terkadang bisa saling menggantikan. Namun, dengan meneliti kamus‐kamus dan kitab‐kitab tafsir, tampak jelas kosakata bahasa Indonesia tidak mampu menangkap secara sempurna makna aslinya. Kita mesti memberi penjelasan lebih jika ingin memahami maksudnya secara utuh.



Makna Qira’ah Asalnya, kata ini berarti menyatukan (jama’a) huruf atau kalimat dengan yang semisalnya dalam suatu tartil, yakni melafalkan huruf‐hurufnya secara terpadu (dalam suatu kalimat). Derivasi (bentuk turunan) kata dasar ini bisa memiliki makna‐makna: berusaha memahami (tafahhama), terus mempelajari (daarasa), berupaya mengerti secara mendalam (tafaqqaha), dan beribadah dengan tekun (tanassaka). Dalam hal ini, hafalan adalah salah satu dari bentuk yang menjadi maknanya. Karena, menghafal (hafizha) juga berarti mengumpulkan (jama'a) dan menyatukan (dhamma). Makna lain yang juga muncul adalah haid dan suci darinya, pemisah bait sya'ir (qawafi), dsb.65 Al‐fiqh sendiri makna asalnya adalah pemahaman yang lebih cermat dan mendalam, tidak sekedar tahu.66 Tentu saja, jika aspek‐aspek makna kata ini dirangkai maka akan terlihat jelas bahwa tujuan penyatuan berbagai huruf dan kalimat adalah untuk mencipta serta mengungkap makna, yang darinya akan terlahir pemahaman, pengertian dan pelajaran. Hafalan (tahfizh) merupakan satu tahap pengumpulan ide dan kaidah, untuk kemudian secara 65



Lihat: Mu'jam Mufradat Alfazhil Qur'an hal. 413‐414; Mukhtaru ash‐Shihah I/220; al‐Faa'iq III/177; an‐Nihayah fi Gharibil Hadits IV/30‐31; Lisanul 'Arab I/128‐133. 66 Lihat: Mu'jam Mufradat Alfazhil Qur'an hal. 398.



156



intelektual diproses lewat dirasah, tafaqquh dan tafahhum. Oleh karena itu, dalam penggunaan kontemporer, kata ini diderivasi menjadi istiqra' yang berarti eksplorasi, investigasi, analisa, penelitian dan pengujian.67 Sebuah hadits menyebut kata aqra’uhum li kitabillah, sebagai syarat pertama imam shalat.68 Para ulama' memaknai kata ini dengan aktsaruhum hifzhan (yang memiliki hafalan terbanyak), afqahuhum li kitabillah (yang paling faqih terhadap kitab Allah), aktsaru qira'atan (paling banyak membaca), atau atqanu wa ahfazhu lil‐Qur'an (lebih menguasai dan hafal al‐Qur'an).69 Sebuah hadits lain yang bersumber dari 'Amr bin Salamah menggunakan kalimat aktsaruhum qur'aanan (yang terbanyak hafalan/bacaan Qur'annya), dalam membahas masalah yang sama, sebagaimana disitir Ibnu Hajar dalam Fathul Bari juz 2 hal. 186. Maka, seperti sudah kita singgung, kata qira'ah lebih menekankan aspek intelektual dari membaca. Dalam bahasa Inggris, terjemahan yang tepat adalah "to read" (membaca, yakni memahami content atau isi bacaan). Pilihan terjemah ini pula yang dipergunakan dalam The Noble Qur'an: English Translation of the meaning and commentary, untuk pembuka surah al‐'Alaq. Oleh karenanya, Dr. Quraish Shihab menulis dalam Tafsir al‐Qur'an al‐ Karim hal. 77‐78, terkait ayat pertama wahyu pertama, bahwa: …arti asal kata ini menunjukkan bahwa iqra' yang diterjemahkan dengan bacalah!, tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai obyek baca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karenanya, dalam kamus, Anda dapat menemukan beraneka ragam arti kata tersebut. Antara lain menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri‐ciri sesuatu, dan sebagainya, yang kesemuanya bermuara pada arti "menghimpun". Selain itu, kata qira'ah, berikut bentuk‐bentuk yang seakar dengannya, dalam al‐Qur'an dipakai mengungkapkan aktifitas membaca yang umum, mencakup teks apa saja yang bisa dijangkau.



Dengan kata lain, kata ini mencirikan sebuah aktifitas intelektual yang terus menerus, mendalam, intensif. Meskipun tetap bermakna membaca atau melafalkan huruf‐huruf sehingga tercipta suatu makna, namun titik 67



Lihat: A Dictionary of Modern Written Arabic hal. 753; Kamus Kontemporer "Krapyak" hal. 108‐109; Kamus Al‐Bisri hal. 589; Kamus Al‐Munawwir hal. 1101‐ 1102. 68 Lihat: Shahih al‐Bukhari I/245‐246, juga di beberapa tempat lainnya; Shahih Muslim I/465 hadits no. 673; Shahih Ibnu Hibban V/500‐501 hadits no. 2127; hal. 505 hadits no. 2033; hal. 516 hadits no. 2144; Shahih Ibnu Khuzaimah III/4 hadits no. 1507; hal. 6 bab ke‐33; Sunan Abu Dawud I/159 hadits no. 582, dst; Sunan Ibnu Majah I/313 hadits no. 980; As‐Sunan al‐Kubra li an‐Nasai I/279 hadits no. 855; Musnad al‐Humaydi I/217, hadits no. 457; at‐Tamhid li‐Ibni 'Abdil Barr XXII/124; al‐Muntaqa li‐Ibnil Jaarud hal. 85, hadits no. 308. Hadits ini juga diriwayatkan oleh at‐Tirmidzi, al‐Baihaqi, 'Abdurrazzaq, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud ath‐Thayalisi, ath‐Thabrani, dan Ibnul Ja'di dalam kitab mereka masing‐masing. Hadits ini bersumber dari satu orang Sahabat saja, yakni Abu Mas'ud al‐Anshari al‐ Badri radhiya‐llahu 'anhu. 69 Lihat: Lisanul 'Arab I/129. Silakan lihat pula penjelasan dalam kitab‐kitab fiqh yang membahas masalah ini secara lebih detail.



157



tekannya bukan pada pembacaan bersuara. Fokus qira'ah adalah meraih makna atau pengertian dari apa yang dibaca tersebut. Jika dikaitkan dengan al‐Qur'an, yang mana nama kitab suci ini sendiri juga berasal dari kata qira'ah, maka membaca disini harus disertai tadabbur, tafakkur, dan tadzakkur. Tidak disebut qira'ah jika hanya menekankan pelafalan lisan dan mengeraskan suara. Qira'ah adalah aktifitas yang sistematis, terstruktur, disengaja, sadar dan memiliki tujuan jelas. Dalam hal ini, adalah demi memperoleh hidayah Allah. Makna Tartil Arti dasar tartil adalah sesuatu terpadu (ittisaq) dan tersistem (intizham) secara konsisten (istiqamah), yakni melepaskan kata‐kata dari mulut dengan mudah dan konsisten. Titik tekannya ada pada pengucapan secara lisan, atau pembacaan verbal dan bersuara. Dalam Bahasa Inggris, padanan tepatnya adalah "to recite" (mengucapkan, melafalkan dengan lisan). Tepatnya, slow recitation, membaca secara perlahan‐lahan dengan bersuara.70 The Noble Qur'an menerjemahkan frase "wa rattilil Qur'aana tartiila" dalam surah al‐Muzzammil dengan "and recite the Qur'an (aloud) in a slow (pleasant tone and style)", yakni bacalah al‐Qur'an dengan suara keras secara perlahan‐lahan (dalam nada serta cara yang tenang). Secara teknis, tartil berkaitan erat dengan pelaksanaan kaidah‐kaidah Ilmu Tajwid. Imam an‐Nawawi menulis dalam at‐Tibyan fi Adabi Hamalati al‐Qur'an, hal. 45‐46: Sebaiknya tartil ketika membaca al‐Qur'an. Para ulama' telah bersepakat tentang dianjurkannya tartil (membaca perlahan‐lahan). Allah berfirman, "wa rattilil Qur'aana tartiila". Ada sebuah hadits bersumber dari Ummu Salamah radhiya‐llahu 'anha bahwa beliau menjelaskan sifat bacaan al‐Qur'an Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam, yakni qira'ah muffassirah (bacaan disertai menafsirkan), huruf demi huruf. (Riwayat Abu Dawud, at‐Tirmidzi dan an‐Nasai. Menurut at‐Tirmidzi, hadits ini hasan‐shahih). Bersumber dari Mu'awiyah bin Qurrah radhiya‐llahu 'anhu, bersumber dari 'Abdullah bin Mughaffal radhiya‐llahu 'anhu, bahwasanya dia berkata, "Saya melihat Rasulullah shalla‐llahu 'alaihi wa sallam pada hari Penaklukan Kota Makkah, beliau tengah berada di atas untanya membaca surah al‐Fath, dan beliau mengulang‐ulang bacaannya." (Riwayat al‐Bukhari dan Muslim). Ibnu 'Abbas radhiya‐llahu 'anhuma berkata, "Sungguh, membaca satu surah dengan tartil lebih saya sukai daripada membaca al‐Qur'an seluruhnya." 70



Lihat: Mu’jam Mufradat li Alfazhil Qur’an hal. 192; A Dictionary of Modern Written Arabic hal. 325; Kamus "Krapyak", hal. 958, 456; Kamus Al‐Bisri, hal. 234‐ 235.



158



Mujahid pernah ditanya tentang dua orang (yang mengerjakan shalat), yang satu membaca surah al‐Baqarah dan Ali 'Imron, sedang lainnya membaca surah al‐Baqarah saja, sementara waktu (yang mereka gunakan), lamanya ruku', sujud dan dan duduk diantara dua sujud, adalah satu serta sama? Maka, Mujahid menjawab bahwa yang membaca surah al‐Baqarah saja, itu lebih utama. Dilarang keras berlebihan dalam kecepatan (membaca al‐Qur'an), yang disebut dengan istilah al‐hadzramah. Ada sebuah riwayat bersumber dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiya‐llahu 'anhu bahwa ada seseorang berkata kepada beliau, "Saya membaca surah‐surah al‐Mufashshal dalam satu rakaat." Maka, beliau berkomentar begini begitu, "Itu adalah syair. Sungguh banyak orang membaca al‐Qur'an, namun al‐Qur'an tidak melewati tenggorokan mereka. Akan tetapi, jika (bacaan itu) jatuh ke hati dan meresap ke dalamnya, itu pasti bermanfaat." (Riwayat al‐ Bukhari dan Muslim. Lafazh ini dari Muslim menurut salah satu riwayat yang dikemukakannya). Para ulama' menyatakan, bahwa tartil dianjurkan untuk proses tadabbur atau tujuan lainnya. Mereka juga mengatakan bahwa tartil dianjurkan terutama bagi orang‐orang non‐Arab ('ajam), yang tidak memahami maknanya, karena hal lebih mendekatkan kepada sikap pengagungan serta penghormatan terhadap al‐Qur'an, serta lebih kuat pengaruhnya ke hati.



Oleh karenanya, dalam al‐Muzzammil, tartil adalah membaca al‐Qur'an secara bersuara, perlahan dan dengan menerapkan hukum‐hukum bacaan secara tepat. Secara khusus, aktifitas ini dilakukan dalam shalat dan di malam hari, yakni qiyamul‐lail. Dari sini, diharapkan lahir kesan ke dalam jiwa, sebagaimana dijelaskan dalam rangkaian ayat‐ayat al‐ Muzzammil itu sendiri. Makna Tilawah Makna awalnya adalah mengikuti (tabi’a) secara langsung dengan tanpa pemisah, yang secara khusus berarti mengikuti kitab‐kitab Allah, baik dengan cara qira’ah (intelektual) atau menjalankan apa yang digariskan di dalamnya (ittiba'). Dengan jelas kita melihat bahwa kata ini mengungkapkan aspek praktis dari 'membaca', yakni sebuah tindakan yang terpadu, baik secara verbal, intelektual maupun fisik dalam mengikuti serta mengamalkan isi Kitabullah. Kata ini berbicara bahwa dalam membaca al‐Qur'an tidak boleh sekedar secara intelektual atau lisan. Harus ada tindak lanjutnya yang nyata. Terjemah Inggris untuk tilawah adalah "to follow" (mengikuti), atau menurut Khurram Murad dalam buku Generasi Qur'ani hal. 10‐11: …tilawah pada dasarnya berarti "bergerak maju", mengikuti urutan, pergi mengejar, mengambil sebagai pembimbing, pemimpin, model, menerima wewenang, mendukung penyebabnya, bertindak, mempraktekkan jalan hidup, memahami, mengikuti latihan berpikir – atau mengikuti membaca, memahami dan mengikuti (petunjuk) al‐



159



Qur’an – adalah tugas mereka yang mengaku beriman pada kitab suci ini.



Dengan demikian, tilawah merupakan upaya intensif untuk mengikatkan diri kepada firman‐firman Allah satu demi satu, selangkah demi selangkah, hingga mencapai taraf tertentu yang dipersyaratkan untuk siap memasuki tingkatan selanjutnya. Hal ini sejalan dengan pengamatan Dr. Quraish Shihab (Tafsir al‐Qur'an al‐Karim, hal. 79), bahwa obyek baca kata tilawah dalam al‐Qur'an adalah teks suci dan pasti benar. Tentu saja harus demikian, sebab implikasi aktifitas tilawah adalah mengikuti dan menerapkan jalan hidup (way of life) yang digariskan di dalam teks yang dibaca. Jika saja al‐ Qur'an mengizinkan manusia untuk mengikuti dan menerapkan jalan hidup dari selainnya, maka obyek kata tilawah dalam al‐Qur'an akan beraneka ragam. Ternyata tidak demikian. Faktanya, justru kata qira'ah saja yang dalam al‐Qur'an dipakai untuk obyek baca beragam, adakalanya yang berasal dari Allah, ada juga yang dari selain‐Nya, sebagaiman sudah dibahas di muka. Kami berkesimpulan, bahwa proses intelektual (qira'ah) bisa berlangsung dengan mempergunakan banyak sumber, baik yang berasal dari Allah maupun selain‐Nya. Namun, untuk tartil dan tilawah tidak demikian. Hanya al‐Qur'an yang layak mendapat perlakuan itu.



Membaca al‐Qur'an Sederhananya, kita tetap bisa menerjemahkan ketiga kosakata diatas dengan "membaca", sebagaimana yang biasa digunakan dalam bahasa Arab. Akan tetapi, dalam praktek tarbiyah, harus ada penekanan dan fokus yang jelas. Tujuannya, agar kita tidak terjebak pada salah satu aspek membaca dan merasa cukup. Kesulitan dalam berinteraksi dengan al‐Qur'an berawal dari tidak lengkapnya thariqah. Boleh jadi, sebagian orang telah berulang‐ulang menyelesaikan tartil, namun ia melupakan qira'ah dan tilawah. Atau hanya mengintensifkan qira'ah, tanpa disertai tilawah dan tartil. Pun, bisa jadi ada yang telah menjalankan tilawah, namun tidak ditemukan aktifitas qira'ah dan tartil dalam kesehariannya. Masing‐masing dari ketiga thariqah membaca diatas memiliki fungsi khas. Fungsi‐fungsi tersebut harus diseimbangkan sedemikian rupa agar atsar ayat‐ayat Allah betul‐betul nyata dalam karakter iman kita. Dengan kata lain, dalam berinteraksi dengan al‐Qur’an, kita harus melibatkan tiga hal sekaligus. Pertama, adanya proses qira’ah, berupa pemahaman mendalam, studi intensif, analisa, perenungan, dst. Termasuk dalam cakupan ini adalah hafalan (tahfizh). Aktifitas qira'ah merupakan upaya untuk merawat iman dari sisi intelektual, yakni dengan berdasar ilmu yang benar. Hujjatul Islam Abu Hamid al‐Ghazali menulis kitab al‐Arba'in fi Ushuliddin, yang dari struktur pembahasannya terungkap bahwa



160



landasan semua perkara dalam Islam (ushuluddin) adalah ilmu, dimana secara sepesifik dirinci sebagai prinsip‐prinsip akidah Islam.71 Kedua, sekaligus ada upaya tilawah, yakni aktifitas riil untuk mengikuti isinya, mengamalkan, menerapkan, mengikuti tahapan, mematuhi rambu‐rambu, memenuhi haknya sebagai Kitab Suci, menjadikan al‐ Qur'an sebagai "imam yang diikuti", dst. Aktifitas ini merupakan usaha merawat iman dengan terus‐menerus menambah ketaatan, menjauhi kemaksiatan, menjaga adab dan akhlaq baik lahir maupun batin. Iman adalah amal, dan setiap amal pasti memiliki pengaruh kepada keimanan seseorang. Jika baik, maka baiklah pengaruhnya. Demikian pula sebaliknya. Ada cukup banyak hadits shahih tentang masalah ini. Dalam jangakauan yang luas dan rinci, Anda dapat temukan spirit tersebut dalam dua kitab karya Imam an‐Nawawi, yaitu Riyadhus Shalihin dan al‐ Adzkar an‐Nawawiyyah. Ketiga, di sepanjang waktu ini, seseorang tidak boleh lepas dari amaliah lisan, yakni tartil, berupa bacaan‐bacaan yang teratur, menerapkan hukum‐hukum tajwid, khusyu’, tidak bosan, tidak pula berlebihan, dst. Aktifitas ini bertujuan untuk tetap merawat kedekatan serta keakraban spiritual kita dengan Allah. Ada hadits‐hadits yang menyatakan bahwa al‐Qur'an adalah tali Allah yang menghubungkan Dia dengan hamba‐Nya. Dengan membaca al‐Qur'an, seolah kita sendiri yang diajak berbicara oleh‐Nya. Masalah ini sudah cukup luas dirinci dalam buku‐buku ulumul Qur'an maupun kitab hadits, utamanya bab‐bab yang berkaitan dengan fadha'il al‐Qur'an. Imam an‐Nawawi punya satu karya yang khusus membahas etika berinteraksi dengan al‐Qur'an, at‐Tibyaan fi Adabi Hamalati al‐Qur'an. Silakan merujuknya kesana.[] Wallahu a’lam.



71



Lihat: Arba'in Al‐Ghazali, hal. 3 dan seterusnya. Beliau mengawali kitabnya dengan menyebutkan bahwa dasar ilmu yang pertama adalah ilmu (mengetahui) Dzat Allah, yang dilanjutkan dengan prinsip‐prinsip mendasar dalam memahami asma', shifat maupun af'al Allah lainnya, kemudian ilmu tentang Hari Akhir dan ilmu tentang Kenabian.



161



BAB III MANHAJ TARBAWI



Rambu‐rambu Kajian Al‐Qur'an adalah kitab berbahasa Arab. Ketika ia pertamakali diturunkan di tengah‐tengah umat yang berbahasa Arab, maka wajar bagi mereka untuk mampu memahaminya secara langsung. Sebab, kitab itu diungkapkan dalam bahasa mereka sendiri. Namun, juga merupakan fakta bahwa tingkat kekuatan pemahaman mereka tidaklah sama. Di kalangan mereka ada para ulama' yang mampu memahaminya dengan sangat mendalam, seperti Abu Bakar, 'Umar bin Khaththab, 'Ali bin Abi Thalib, 'Abdullah bin Mas'ud, Ubay bin Ka'ab, atau 'Abdullah bin 'Abbas. Boleh dikata, manusia silakan bertanya apa saja kepada mereka tentang al‐Qur'an dan mereka akan menjawabnya dengan memuaskan. Namun, ada juga orang‐orang biasa yang berpikiran sangat bersahaja, seperti kisah seorang Sahabat yang mengikat dua utas tali putih dan hitam di kakinya pada malam hari bulan Ramadhan. Ketika itu turun ayat al‐Baqarah surah 187, "Makan dan minumlah sampai tampak jelas benang hitam dari benang putih". Dengan sangat sederhana, ia terus (membolehkan dirinya) makan‐minum selama belum bisa membedakan warna hitam dan putih kedua tali itu, karena malam yang begitu gelap. Ketika ia bercerita tentang hal ini kepada Rasulullah SAW, beliau tertawa dan menegurnya, "Duh, Anda ini memang bertengkuk lebar. Yang dimaksud ayat itu adalah hitamnya malam dan putihnya siang." Turunlah kelanjutan ayat tersebut, "yakni fajar." Maksudnya, mustahil bagi bangsa Arab saat itu tidak faham ungkapan al‐ Qur'an ketika mendengarnya. Namun, akibat keterbatasan ilmu, mereka tetap bisa salah paham juga. Disinilah diperlukan otoritas ulama', disamping keterbukaan untuk mencari yang benar dengan meminta fatwa. Sahabat diatas tidak salah ketika berusaha memahami ayat dan mengamalkan pemahamannya. Namun, ia menyadari kekurangannya sehingga mendatangi Rasulullah dan meminta klarifikasi atas kesimpulan pribadinya tersebut. Maka, ia pun selamat dan mendapat petunjuk yang benar. Di setiap zaman, dari segala bangsa dan latar belakang, setiap muslim tidak dilarang untuk berusaha memahami makna ayat‐ayat al‐Qur'an secara pribadi dan langsung. Bahkan, ini merupakan kewajiban asasi bagi mereka. Jelasnya, akan ada pemahaman tertentu yang diberikan oleh Allah, kepada setiap pengkaji al‐Qur'an. Hanya saja, untuk mendapat pemahaman yang benar dan lurus, apalagi jika ingin menyebarkannya kepada orang lain, sudah selayaknya mereka "mengenali" dirinya sendiri. Jika belum mencukupi secara ilmu, silakan merujuk kepada para ulama' yang otoritatif. Seorang muslim wajib menuntut ilmu sepanjang hayat. Haram bersandar kepada kemalasan dan berbangga sebagai orang awam dalam masalah agamanya sendiri. Jika memang merasa awam, sebaiknya konsekuen. Diamlah dan cari ilmu. Itu lebih selamat. 162



Betapa banyak orang malas yang berlindung di balik kedok, "Agar ilmu tidak jumud (beku), maka tidak boleh ada pembatasan dalam penafsiran atau penetapan syarat‐syarat mufassir." Atau, mereka berargumen, "Ini hasil renungan dan pencarian spiritual. Allah telah menganugerahkannya kepada setiap orang yang bersungguh‐sungguh mengkaji kitab‐Nya." Sikap ini adalah kesombongan tersembunyi yang menjangkiti banyak tokoh, yang sesungguhnya kekurangan ilmu namun tidak kekurangan pendengar dan murid. Ketika mereka harus berbicara dan berfatwa, tak pelak mereka lebih mempercayai dirinya sendiri dan enggan menambah ilmunya. Dalam sejarah, kesesatan para pengukit jalan Sufi generasi belakangan adalah karena kebodohan dan meninggikan derajat dirinya sendiri, melebihi keadaan yang sesungguhnya. Al‐'Allamah Ibnul Jauzi mengkhususkan puluhan halaman di dalam kitab Talbis Iblis untuk mengupas akar‐akar kesesatan kelompok ini. Silakan merujuknya. Pengajian Berkelompok Sebaiknya dilakukan pengkajian berkelompok, karena lebih menjamin adanya kontrol satu sama lain, memperluas cakrawala, dan dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan yang disepakati untuk diusahakan sebagai amaliah bersama. Tidak dianjurkan mengkaji secara individual, kecuali jika telah memenuhi prasyarat intelektual dan spiritual yang memadai. Ingat, kajian ini adalah pendalaman al‐Qur’an, bukan sebuah diskusi biasa. Luruskanlah niat, dan awali dengan doa permohonan kepada Allah agar memberi kita ilham pemahaman yang benar. Jangan mengkaji demi alasan intelektual semata‐mata. Usahakan setiap anggota kajian telah mendapatkan kurikulum yang jelas tentang arah kajian yang diselenggarakan, dimana ia dapat memikirkan dan mendalaminya secara mandiri di sela‐sela kesibukan pribadinya. Pertemuan kelompok ditujukan sebagai ajang pematangan dan kontrol terhadap penyimpangan yang mungkin timbul. Oleh karenanya, harus ada seorang pemimpin kajian yang mempunyai pemahaman dan ilmu lebih baik. Dalam pengkajian kelompok, setiap orang harus memegang minimal satu mushaf al‐Qur’an standar, disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Ini prasyarat mutlak. Akan lebih baik jika ada penafsiran singkat, atau penjelasan lain dari hadits dan asbabun nuzul. Jauh lebih baik jika diketengahkan juga kitab tafsir yang mu’tabar, seperti Tafsir Ibnu Katsir atau Tafsir ath‐Thabari. Perspektif yang lengkap dapat diperoleh dengan tambahan dari kitab asbabun nuzul atau terjemahan dalam bahasa lain, misalnya Inggris. Khusus terjemahan, akan lebih baik jika kelompok kajian tersebut memiliki lebih dari satu versi. Bila memungkinkan, silakan mengkaji dengan bantuan makna‐makna asli dari setiap kata kunci. Pembahasan ini memang tidak selalu menarik, sangat teoritik, “berat”, sehingga sebaiknya hanya sesekali saja dilakukan. Untuk mengatasi kejenuhan, tugaskan salah satu anggota yang kompeten untuk mencari makna asli ini, dan menyampaikan hasilnya pada pertemuan rutin. Untuk mencapainya, dapat dirujuk kitab 163



kamus standar Arab ke Arab, seperti al‐Mu’jam Mufahras li Alfazhil Qur’an karya ar‐Raghib al‐Asfahani; al‐Munjid fil A’lam wal Lughah karya Louis Ma’luf; atau Lisanul ‘Arab karya Ibnu Manzhur. Hindarkan pembicaraan yang menyentuh ikhtilaf dan menguraikannya panjang lebar, karena bisa menyeret anggota kepada masalah yang tidak penting lalu melupakan pokok persoalan sebenarnya. Maka, masalah yang berkenaan dengan fiqh atau hal‐hal ghaib, sebaiknya dibicarakan sekedarnya. Jika ada ayat yang mutasyabihat, jangan dipertanykan karena tidak akan memberi manfaat yang berarti. Serahkan kepada Allah maknanya. Pembahasan yang luas tentang fiqh dapat dilakukan dalam majelis kajian lain yang memang sejak awal dirancang untuk tujuan itu. Makna yang paling dapat dipegang dalam al‐Qur’an adalah yang paling dekat dengan pemahaman langsung, berdasarkan konteks yang ada, bukan penafsiran yang jauh dengan mengandalkan makna‐makna simbolik. Al‐Qur’an telah dimudahkan Allah agar dapat dipahami dengan akal yang bersahaja, bukan dengan struktur logika yang rumit seperti dalam filsafat. Bahasa al‐Qur’an adalah bahasa percakapan, yakni teks yang berbicara secara langsung dengan pembacanya. Biarkan al‐Qur’an mengungkapkan dirinya, bukan kita yang mendiktenya dengan akal dan logika kita. Namun, bagaimanapun juga, apa yang digambarkan dalam tulisan ini adalah alternatif, bukan satu‐satunya metode. Setiap kelompok dapat mengembangkan sendiri metode yang paling sesuai dengan kebutuhan maupun kondisinya. Jika tidak memungkinkan untuk memakai tafsir, hadits, atau kamus bahasa, maka minimal harus ada terjemahan literal yang dipegang oleh setiap anggota.



Marhalah Materi Materi pokok kajian kita adalah ayat‐ayat al‐Qur’an, dengan materi penyerta berupa tartib‐nuzuli dan marhalah wahyu. Dua istilah terakhir ini adalah metodologi, bukan pembatasan makna ayat dan surah. Setiap pemahaman terhadap al‐Qur’an tergantung kepada kondisi riil pengkajinya. Metodologi hanyalah alat bantu yang menjamin terjaganya alur berpikir serta memudahkan komunikasi antar pribadi – bahkan antar generasi – karena adanya bahasa pikiran yang terstruktur secara konsisten. Sebenarnya, pelevelan dalam materi tidak otomatis identik dengan tingkat kekaderan, namun lebih berkait dengan pengorganisasian materi dalam sebuah kurikulum yang mudah dimengerti dan dibahas. Di bawah ini kami kemukakan 3 marhalah wahyu Makkiyah, sekaligus 3 marhalah wahyu Madaniyah, yang dapat dijadikan sebagai pedoman pengkajian. Jika sebuah kelompok kajian ingin menjadikan marhalah ini sekaligus sebagai pembatasan untuk level pengkaderan, hal itu tidak ada salahnya.



164



a) Marhalah Makkiyah Ula (1) Al‐‘Alaq, (2) Al‐Muddatsir, (3) Al‐Muzzammil, (4) al‐Fatihah, (5) Al‐Masad, (6) Al‐Qalam, (7) At‐Takwir, (8) Al‐A’la, (9) Al‐Lail, (10) Al‐Fajr, (11) Adh‐Dhuha, (12) Alam nasyrah, (13) Al‐‘Ashr, (14) Al‐ ‘Adiyat, (15) Al‐Kautsar, (16) At‐Takatsur, (17) Al‐Ma’un, (18) Al‐ Kafirun, (19) Al‐Fiil, (20) Al‐Falaq, (21) An‐Naas, (22) Al‐Ikhlash, (23) An‐Najm. b) Marhalah Makkiyah Wasath (24) ‘Abasa, (25) Al‐Qadr, (26) Asy‐Syams, (27) Al‐Buruj, (28) At‐Tiin, (29) Quraisy, (30) Al‐Qari’ah, (31) Al‐Qiyamah, (32) Al‐Humazah, (33) Al‐Murasalat, (34) Qaaf, (35) Al‐Balad, (36) Ath‐Thariq, (37) Al‐ Qamar, (38) Shaad, (39) Al‐A’raf, (40) Al‐Jinn, (41) Yaasin, (42) Al‐ Furqan, (43) Fathir, (44) Maryam, (45) Thaha, (46) Al‐Waqi’ah, (47) Asy‐Syu’ara’, (48) An‐Naml, (49) Al‐Qashash, (50) Al‐Isra’, (51) Yunus, (52) Huud, (53) Yusuf, (54) Al‐Hijr. c) Marhalah Makkiyah Intiha’ (55) Al‐An’am, (56) Ash‐Shaffat, (57) Luqman, (58) Saba’, (59) Az‐ Zumar, (60) Ghafir (al‐Mu’min), (61) Fushshilat, (62) Asy‐Syuura, (63) Az‐Zukhruf, (64) Ad‐Dukhan, (65) Al‐Jatsiyah, (66) Al‐Ahqaf, (67) Adz‐Dzariyat, (68) Al‐Ghasyiyah, (69) Al‐Kahfi, (70) An‐Nahl, (71) Nuuh, (72) Ibrahim, (73) Al‐Anbiya’, (74) Al‐Mu’minun, (75) As‐ Sajdah, (76) Ath‐Thuur, (77) Al‐Mulk, (78) Al‐Haaqqah, (79) Al‐ Ma’arij, (80) An‐Naba’, (81) An‐Nazi’at, (82) Al‐Infithar, (83) Al‐ Insyiqaq, (84) Ar‐Ruum, (85) Al‐Ankabut, (86) Al‐Muthaffifin. d) Marhalah Madaniyah Ula (87) Al‐Baqarah, (88) Al‐Anfal, (89) Ali 'Imran, (90) Al‐Ahzab, (91) Al‐ Mumtahinah, (92) An‐Nisa', (93) Az‐Zalzalah, (94) Al‐Hadid. e) Marhalah Madaniyah Wasath (95) Muhammad, (96) Ar‐Ra'du, (97) Ar‐Rahman, (98) Al‐Insan, (99) Ath‐Thalaq, (100) Al‐Bayyinah, (101) Al‐Hasyr, (102) An‐Nuur, (103) Al‐Hajj, (104) Al‐Munafiqun, (105) Al‐Mujadilah, (106) Al‐Hujurat. f) Marhalah Madaniyah Intiha’ (107) At‐Tahrim, (108) At‐Taghabun, (109) Ash‐Shaff, (110) Al‐ Jumu'ah, (111) Al‐Fath, (112) Al‐Ma’idah, (113) At‐Taubah, (114) An‐ Nashr. Tema Surah dalam Marhalah Mungkin saja dapat dicoba melakukan pembatasan ketat dalam ayat‐ ayat. Namun, riwayat yang dikumpulkan harus sangat luas dan menyulitkan. Kepentingan kita tidak akan segera terlaksana jika menunggu selesainya proyek ambisius ini. Di sisi lain, ini sangat tidak praktis, dan secara jelas tidak pernah diperintahkan Rasulullah maupun dicontohkan generesi terdahulu. Kita sudah memperbincangkan masalah ini panjang lebar dalam Bagian III. Pilihan yang paling aman dan adil, 165



mengingat wahyu yang sudah turun lengkap di masa kita sekarang, adalah membahas secara utuh sebuah surah. Namun, jika memang dapat ditemukan riwayat yang jelas (sharih) dan benar (shahih) tentang suatu ayat, maka ia dapat dipegangi. Perkecualian pembahasan terhadap ayat dalam suatu surah harus berlandaskan kepada riwayat, bukan pilihan asal‐asalan. Jika ada ayat yang jelas‐jelas disebut oleh riwayat sebagai Madaniyah padahal surah tersebut dipastikan Makkiyah, maka sebaiknya kita meletakkan ayat tersebut dalam konteksnya. Memang ia tetap dibahas dan dikaji, sebagai bagian integral dari sebuah surah. Sebab, selalu ada hikmah disini. Namun, penjelasan maupun kesimpulan yang ditarik darinya harus memperhatikan konteks asli, walau dalam hal penerapan hukum dapat saja bersifat berkelanjutan dan universal. Untuk memperoleh pemahaman yang terstruktur, setiap surah dalam suatu marhalah harus dibagi secara tematis (maudhu’i). Jalan yang cukup mudah dan dapat diterima adalah mengikuti tema‐tema yang dicantukan dalam terjemahan al‐Qur’an. Oleh karena itulah, mempunyai sebuah mushaf al‐Qur’an disertai terjemahan adalah prasyarat mutlak. Biasanya, sebelum terjemahan setiap surah selalu disertai dengan Muqaddimah yang menjelaskan pokok‐pokok isinya, asal penamaannya, jumlah ayat, posisinya dalam tartib nuzuli, juga klasifikasinya sebagai Makkiyah atau Madaniyah. Sebelum mengkaji suatu surah, adalah bijak untuk membacakan bagian ini sebagai pendasaran global, sebelum akhirnya memasuki tahap perincian ayat demi ayat. Jika telah selesai dan ingin berpindah kepada surah selanjutnya, baca juga bagian Penutup dalam terjemahannya. Ada hal‐hal bermanfaat yang dapat dipetik dari sini. Jika dapat ditemukan wajhul munasabah (aspek persesuaian) antara suatu surah dengan surah berikutnya menurut tartib nuzuli, akan lebih baik. Acuan untuk masalah ini bisa didapat dari tafsir yang secara khusus membahasnya atau sirah nabawiyah. Pada Pentutup terjemahan setiap surah memang ada pembahasan ringkas tentang hal ini, namun dari sisi tartib mushafi (tata‐urutan surah menurut mushaf al‐Qur’an), bukan tartib nuzuli. Bagi pengkaji yang lebih mahir serta menguasai bahasa Arab, pemilahan tematis dapat dicari dengan melihat bagaimana cara para mufassirin mengelompokkan ayat‐ayat sebelum menafsirkannya. Perhatian. Tentu saja, tema‐tema tersebut masih sangat umum, dan terkadang tidak bisa mencakup seluruh pesan penting yang ada. Bagaimanapun, al‐Qur’an mengandung pesan yang padat bahkan dalam setiap huruf dan kata yang menyusunnya, yang tidak mudah diglobalkan begitu saja. Perluasan dan pendalaman sangat tergantung kepada kemampuan maupun referensi pendukung yang dimiliki para pengkaji sendiri. Dianjurkan untuk memulai penelaahan langsung kepada teks‐ teks al‐Qur’an, ayat demi ayat, dengan pendampingan pembimbing dan tafsir mu’tabar. Jangan membatasi diri dengan topik yang ada dalam edisi terjemahan tersebut, tapi jangan pula bereksplorasi melebihi kemampuan. 166



Maksudnya, jika Anda tidak menguasai bahasa Arab, jangan mencoba membicarakan segi ini. Jika Anda tidak memahami fiqih dan kaidah‐ kaidah pengambilan hukum, jangan membebankan diri untuk berijtihad. Jika Anda tidak mengerti Sirah dan tarikh al‐Qur’an, maka jangan berfatwa tanpa ilmu. Bila Anda melanggar rambu‐rambu ini, maka yang muncul adalah bid’ah dan ra’yu (rasio) semata. Na’udzu billah.



Bagaimana Memulai Kajian? Ada dua pendekatan yang dapat dipergunakan, yakni model kajian surah dan model kajian tematis. Mana pun yang dipilih, tergantung tingkat kebutuhan dan “bekal diri” yang ada. Model Kajian Surah. Disini, Anda akan mengkaji suatu surah secara utuh, lalu melanjutkan dengan surah berikutnya menurut tartib‐nuzuli, demikian seterusnya sampai selesai. Dalam setiap pembahasan, sebaiknya dicatat tema‐tema penting yang muncul, sebagai pengingat bahwa tema tersebut pasti mendapatkan penjelasan lebih lanjut pada surah berikutnya. Misalnya, dalam surah al‐‘Alaq dijelaskan tentang shifat wa af’al Rabb yang haqq, yaitu (1) alladzi khalaq, (2) al‐akram, (3) ‘allama bil qalam, (4) ‘allamal insana ma lam ya’lam. Surah ini bukan satu‐satunya yang menyinggung masalah tersebut. Pastikan penjelasan yang lebih luas ditemukan dalam wahyu‐wahyu selanjutnya. Misalnya, dalam surah al‐Fatihah, ada rabbul ‘alamin. Dalam al‐A’la ada (1) rabbikal a’la, (2) alladzi khalaqa fa sawwa, (3) walladzi qaddara fa hadaa, (4) walladzi akhrajal mar’aa, (5) fa ja’alahu ghutsa’an ahwaa, (6) ya’lamul jahra wa ma yakhfa. Contoh lain, dalam al‐‘Alaq dibicarakan penyebab penolakan manusia kepada kebenaran, yakni an ra’ahus‐taghna. Ini adalah tipologi para musuh dakwah, di mana pun, sejak dulu sampai hari kiamat. Jelas, Anda akan menemukan karakter para musuh Allah dijelaskan secara lebih nyata dalam wahyu‐wahyu berikutnya, apalagi yang turun dalam periode dakwah terbuka. Di tengah pengkajian ini, Anda akan menemukan tema‐tema baru yang belum disinggung dalam wahyu‐wahyu sebelumnya. Misalnya, tentang hari kiamat dan kedahsyatannya yang ditampilkan buat pertamakali dalam surah at‐Takwir. Tema ini akan dijelaskan secara lebih lengkap dalam wahyu‐wahyu setelahnya, termasuk apa saja yang ada disana seperti surga, neraka, perhitungan amal, dsb. Atau, tema tentang kemewahan hidup yang membawa manusia untuk melalaikan akhirat, yang baru disinggung untuk pertamakalinya dalam surah at‐Takatsur. Atau, surah adh‐Dhuha yang mulai membicarakan situasi sosial di sekitar kita, seperti anak‐anak yatim dan para peminta‐minta. Tema ini akan dipertegas lagi dalam al‐Ma’un. Atau, tema kesatuan pokok‐pokok akidah diantara agama‐agama samawi, yang disinggung dalam penghujung surah al‐A’la. Model Kajian Tematis. Anda hanya perlu mengubah pola pertama diatas dengan menelusuri tema‐tema dalam setiap surah. Diperlukan studi yang teliti untuk ini. Secara praktis, jelas penerapannya lebih sukar, karena 167



Anda harus lebih dulu mempunyai kurikulum yang baik, dan kemudian harus meloncat‐loncat dari satu surah ke surah lainnya dalam rentang yang tidak selalu berdekatan. Bagi para pengkaji yang mahir dan tekun, pilihan ini dapat menghasilkan satu buku tersendiri untuk satu tema saja. Misalnya, Anda ingin menelusuri bagaimana al‐Qur’an memperkenalkan kembali Rabb yang haqq kepada bangsa Arab yang sudah tidak mengenali lagi siapa Tuhannya, lalu menerapkannya dalam tarbiyah di zaman sekarang. Tahap‐tahap yang dipakai al‐Qur’an dengan menyebutkan shifat, af’al, dan asma’ Rabb yang dimaksudkannya membuat kita tidak menemukan celah bahwa memang Allah lah yang dimaksud oleh al‐Qur’an sebagai Rabb yang haqq, Ilah yang haqq. Tapi, bagaimana tahap‐tahap itu dilalaui satu persatu? Dari titik mana al‐Qur’an memulai, dan sampai tahap mana kemudian ia merasa cukup? Apa media yang dipergunakan dalam menjelaskan semua itu? Anda harus menjawabnya sendiri dengan studi yang cermat dan tekun. Contoh lain, ketika al‐Qur’an hendak menanamkan keyakinan tentang hal ghaib kepada bangsa Arab yang buta huruf tersebut. Misalnya, tentang hakikat malaikat, surga, neraka, hari kiamat, dsb. Tidak ada referensi yang dapat dipergunakan dari panca indera untuk menggambarkan sesuatu yang memang tidak bisa dilihat dengan mata. Namun, bukankah fakta dalam Sirah menunjukkan keyakinan para Sahabat yang demikian kukuh tentang segala hal ghaib, tanpa penyelewengan dan kesesatan di dalamnya? Bagaimana al‐Qur’an mengenalkan sesuatu yang tidak ada disini, namun berada di balik tabir kegaiban, dimana hanya Allah saja yang tahu? Cara apa yang dipergunakannya? Anda harus menjawabnya sendiri dengan memperhatikan ayat‐ayat yang membicarakannya. Menurut hemat kami, bagi pembaca awam, sebaiknya memakai model pertama. Tidak diperlukan energi berlebih, dan manfaatnya segera terasa. Model kedua hanya cocok bagi sebuah studi intensif yang ditujukan untuk merancang materi tarbiyah yang secara spesifik membahas tema tertentu.[] Wallahu ‘alam.



168



PENUTUP Sebuah manhaj, sebaik apapun, tidaklah memiliki daya kekuatan apa‐ apa, jika tidak digerakkan oleh jiwa‐jiwa yang sepenuhnya yakin dan percaya. Dan, kadangkala kepercayaan yang kuat sudah mencukupi untuk membangkitkan kemenangan‐kemenangan besar. Namun, jika sebuah manhaj tidak memiliki nilai kebenaran intrinsik dalam dirinya, cepat atau lambat ia akan runtuh. Ia akan dikalahkan dan tidak lagi dibela. Jika pun masih ada yang berada di belakangnya, maka hanya demi ‘ashabiyah dan hawa nafsu. Ikatan seperti ini akan melonggar satu demi satu, sebelum akhirnya pecah berantakan, tak terselamatkan lagi. Kehancuran ini sudah pasti dapat diramalkan. Sebab, segala yang diyakini sebatas taqlid dan warisan para leluhur, tanpa asas yang bersumber dari Allah yang Mahakekal dan tidak pernah berubah, pada akhirnya harus berhadapan dengan usianya sendiri yang menua serta lapuk. Segala uraian dalam buku ini bisa jadi hanya akan menjadi bahan diskusi, atau sekadar pajangan ilmiah yang mentereng, tanpa manfaat lebih jauh. Apalah daya setumpuk kertas dan sekian baris huruf? Namun bisa juga menjadi sebaliknya; penuh inspirasi dan membawa perubahan‐ perubahan besar. Hanya jiwa para pembacanya yang dapat mentransfer semua ini ke alam nyata. Meneriakkannya, membangunnya, mengutip darinya kekuatan, dan berjaya, dengan izin Allah. Kekuatan para Nabi dan pengikutnya terletak pada perjuangan mereka yang sungguh‐sungguh. Dan, kelemahan umat mereka pun terletak pada jalan sebaliknya. Ingatlah pesan Allah dalam surah Maryam, ayat 58‐61: “Mereka itulah orang‐orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi dari keturunan Adam, dan dari orang‐orang yang kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang‐ orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat‐ayat Allah yang Mahapemurah kepada mereka, maka mereka tersungkur bersujud dan menangis. Lalu, datanglah sesudah mereka, generasi pengganti (yang buruk) yang menyia‐nyiakan shalat dan mempertuhankan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang‐orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dizhalimi sedikit pun. Yaitu, surga ‘Adn yang telah dijanjikan oleh Tuhan yang Maha Pemurah kepda hamba‐hamba‐Nya, sekalipun (surga itu) tidak nampak. Sesungguhnya janji Allah itu pasti akan ditepati.”



Dalam surah al‐A’raf ayat 169‐171, Allah mencela Bani Israil yang meninggalkan Taurat, sesudah mereka berjanji dengan sungguh‐sungguh untuk mengamalkan dan menjaganya. Para pendahulu mereka mampu memikul beban itu dan menegakkan tanggung jawab atasnya, namun anak‐anak mereka tidak lagi. “Maka datanglah sesudah mereka generasi pengganti (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: “Kami akan diberi ampun”. Dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan



169



mengambilnya (juga). Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang haqq, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Dan negeri akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertaqwa. Maka, apakah kamu tidak mengerti? Dan orang‐orang yang berpegang teguh kepada al‐Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami takkan menyia‐ nyiakan pahala orang‐orang yang mengadakan perbaikan. Dan (ingatlah), tatkala Kami mengangkat bukit ke atas mereka sekan‐akan bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada mereka): ‘Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah (amalkanlah) selalu apa yang tersebut di dalamnya, supaya kamu menjadi orang‐orang yang bertaqwa’.”



Sebagai penguat dan penambah spirit, kami sarankan Anda menelaah serial Kajian Utama majalah Suara Hidayatullah tahun‐tahun awal. Tulisan‐tulisan tersebut secara jelas melukiskan penafsiran yang lebih kontekstual terhadap manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu. Secara pribadi, kami memang belum membaca keseluruhannya, namun sudah menyelesaikan penelaahan artikel utama beberapa edisi tersebut. Sebagai kader Hidayatullah, penelaahan naskah‐naskah tersebut sangat penting, mengingat itulah satu‐satunya warisan tertulis Allahu‐yarham Ustadz Abdullah Said yang secara nyata masih terpelihara dengan baik hingga saat ini. Bagi para pemula, tentu akan memudahkan mereka mengenal spirit Lembaga ini, sekaligus mengenal tokoh pencetusnya. Akhirnya, semoga Allah membimbing, melindungi dan menolong kita semua. Tiada daya dan kekuatan kecuali atas izin‐Nya jua. Shalawat serta salam bagi junjungan mulia, Muhammad Rasulillah, ahli bait beliau, ummahatul mu'minin, dan para Sahabat.[] Wallahu a’lam bish‐shawab.



170