Solusio Plasenta [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN SOLUSIO PLACENTA



Oleh : Tillatul Laili 201710461011001



PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2017



Solusio Plasenta A. Definisi Solusio plasenta adalah Lepasnya sebagian atau seluruh plasenta yang normal implantasinya di atas 22 minggu dan sebelum lahirnya anak (Sulaiman, S, W et al, 2003). Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada sebelum waktunya yakni antara minggu 20 dan sebelum lahirnya anak. Plasenta secara normal terlepas setelah bayi lahir. Nama lain yang sering dipergunakan, yaitu abruptio placentae, ablatio placentae, accidental haemorrhage, premature separation of the normally implanted placenta (Mose.dkk, 2009).



Gambar 2.1 Solusio Plasenta B. Klasifikasi Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptura sinus marginalis), dapat pula terlepas lebih luas (solusio plasenta parsialis), atau bisa seluruh permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis). Perdarahan yang terjadi akan merembes antara plasenta dan miometrium untuk seterusnya menyelinap di bawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan ke kanalis servikalis dan keluar melalui



vagina,



menyebabkan



perdarahan



(Prawirohardjo, 2008). (Gambar 2.2).



eksternal



(revealed



hemorrhage)



Gambar 2.2 Solusio Plasenta Dengan Perdarahan Eksternal Yang lebih jarang, jika bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim, darah tidak keluar dari uterus, tetapi tertahan di antara plasenta yang terlepas dan



uterus sehingga menyebabkan perdarahan tersembunyi (concealed



hemorrhage) yang dapat terjadi parsial (Gambar 2.3) atau total (Gambar 2.4).



Gambar 2.3 Solusio Plasenta Parsial Disertai Perdarahan Tersembunyi



Solusio plasenta dengan perdarahan tertutup terjadi jika: 1. Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim 2. Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim 3. Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah 4. Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada segmen bawah rahim. Perdarahan yang tersembunyi biasanya menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi ibu, tidak saja karena kemungkinan koagulopati konsumptif tetapi juga karena jumlah darah yang keluar sulit diperkirakan4.



Gambar 2.4 Solusio Plasenta Total Disertai Perdarahan Tersembunyi Secara klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringannya gambaran klinik sesuai dengan luasnya permukaan plasneta yang terlepas, yaitu solusio plasenta ringan, sedang, dan berat. a. Solusio plasenta ringan Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25% atau ada yang menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar biasanya kurang dari 250 ml. Gejala-gejala sukar dibedakan dari plasenta previa kecuali warna darah yang kehitamam. Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada. b. Solusio Plasenta Sedang Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25%, namun belum mencapai separuhnya (50%). Jumlah darah yang keluar lebih banyak dari 250 ml tetapi belum mencapai 1000 ml. Gejala-gejala dan tanda-tanda sudah jelas seperti nyeri pada perut yang terus-menerus, denyut janin menjadi cepat, hipotensi, dan takikardi. c. Solusio Plasenta Berat Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%, dan jumlah darah yang keluar melebihi 1000 ml. Gejala dan tanda klinik jelas, keadaan umum disertai syok, dan hampir semua janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal ginjal yang ditandai pada oligouri biasanya telah ada.



C. Etiologi Sebab primer dari solusio plasenta tidak diketahui, tetapi terdapat beberapa keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan atau menyertai solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor risiko (Tabel 2.1), seperti hipertensi, riwayat trauma, kebiasaan merokok, usia ibu, dan paritas yang tinggi (Suyono, 2007). Faktor Risiko



Hubungan dengan risiko



Meningkatnya usia dan paritas



1.3–1.5



Preeklampsia



2.1–4.0



Hipertensi kronik



1.8–3.0



Ketuban pecah dini



2.4–4.9



Kehamilan ganda



2.1



Hidroamnion



2.0



Wanita perokok



1.4–1.9



Trombofilia



3–7



Penggunaan kokain



NA



Riwayat solusio plasenta



10–25



Mioma dibelakang plasenta



8 dari 14



Trauma abdomen dalam



Jarang



kehamilan Tabel 2.1 Faktor Risiko Solusio Plasenta D. Patofisiologi Solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang bermula dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korialis plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi perdarahan. Oleh karena itu patofisiologinya bergantung pada etiologi. Pada trauma abdomen etiologinya jelas karena robeknya pembuluh darah desidua (Prawirohardjo, 2009). Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis) yang disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat menyebabkan pembentukan trombosis dalam pembuluh darah desidua atau dalam vaskular vili dapat berujung kepada iskemia dan hipoksia setempat yang menyebabkan kematian



sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan sebagai hasil akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali selapisan tipis yang tetap melekat pada miometrium. Dengan demikian, pada tingkat permulaan sekali dari proses terdiri atas pembentukan hematom yang bisa menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada bagian plasenta yang berdekatan. Pada awalnya mungkin belum ada gejala kecuali terdapat hematom pada bagian belakang plasenta yang baru lahir. Dalam beberapa kejadian pembentukan hematom retroplasenta disebabkan oleh putusnya arteria spiralis dalam desidua. Hematoma retroplasenta mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal/plasenta ke sirkulasi janin. Hematoma yang terbentuk dengan cepat meluas dan melepaskan plasenta lebih luas/banyak sampai ke pinggirnya sehingga darah yang keluar merembes antara selaput ketuban dan miometrium dan selanjutnya keluar melalui serviks ke vagina (revealed hemorrhage). Perdarahan tidak bisa berhenti karena uterus yang lagi mengandung tidak mampu berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteria spiralis yang terputus. Walaupun jarang terdapat perdarahan tinggal terperangkap di dalam uterus (concealed hemorrhage) (Suyono, 2007). E. Manifestasi klinis Gejala dan tanda klinis yang klasik dari solusio plasenta adalah terjadinya perdarahan yang berwarna tua keluar melalui vagina (80% kasus), nyeri perut dan uterus tegang terus-menerus mirip his partus prematurus. Kurang lebih 30% penderita solusio plasenta ringan tidak atau sedikit yang menunjukkan gejala. Pada keadaaan yang sangat ringan tidak ada gejala kecuali hematom yang berukuran beberapa sentimeter terdapat pada permukaan maternal plasenta. Rasa nyeri pada perut masih ringan dan darah yang keluar masih sedikit, sehingga belum keluar dari vagina. Nyeri yang belum terasa menyulitkan membedakannya dengan plasenta previa kecuali darah yang keluar berwarna merah segar pada plasenta previa. Tanda vital ibu dan janin masih baik. Pada inspeksi dan auskultasi tidak dijumpai kelainan kecuali pada palpasi sedikit terasa nyeri lokal pada tempat terbentuknya hematom. Kadar fibrinogen darah dalam batas normal yaitu 350 mg%. Walaupun belum memerlukan intervensi segera keadaan ringan ini perlu dimonitor terus sebagai upaya mendeteksi keadaan bertambah berat. Pemeriksaan ultrasonografi berguna untuk menyingkirkan plasenta previa dan mungkin bisa mendeteksi luasnya solusio terutama pada solusio plasenta sedang atau berat (Leveno.et al, 2007).



Gejala dan tanda pada solusio plasenta sedang seperti rasa nyeri pada perut yang terus-menerus, denyut jantung janin biasanya telah menunjukkan gawat janin, perdarahan yang keluar tampak lebih banyak, takikardia, hipotensi, kulit dingin, oliguria mulai ada, kadar fibrinogen berkurang antara 150-250 mg/100 ml, dan mungkin kelainan pembekuan darah dan gangguan fungsi ginjal sudah mulai ada. Rasa nyeri bersifat menetap, tidak hilang timbul seperti pada his yang normal. Perdarahan pervaginam jelas dan berwarna kehitaman. Pada pemantauan keadaan janin dengan kardiotokografi bisa jadi telah ada deselerasi lambat. Perlu dilakukan tes gangguan pembekuan darah.



Gejala dan Tanda



Frekuensi (%)



Perdarahan pervaginam



78



Uterus tegang atau nyeri pinggang



66



Gawat janin



60



Partus prematurus



22



Kontraksi yang terus menerus tinggi



17



Hipertonus



17



Kematian janin



15



Tabel 2.2 Gejala dan Tanda yang Terdapat pada 59 Wanita Solusio Plasenta F. Diagnosis Banding Pada kasus solusio plasenta yang parah, diagnosis biasanya jelas. Bentukbentuk solusio yang lebih ringan dan lebih sering terjadi sulit diketahui dengan pasti dan diagnosis sering ditegakkan berdasarkan eksklusi. Karena itu, pada kehamilan variabel dengan penyulit perdarahan pervaginam, perlu menyingkirkan plasenta previa dan penyebab lain perdarahan dengan pemeriksaan klinis dan evaluasi USG. Telah lama diajarkan, mungkin dengan beberapa pembenaran, bahwa perdarahan uterus yang nyeri adalah solusio plasenta sementara perdarahan uterus yang tidak nyeri mengindikasikan plasenta previa. Sayangnya, diagnosis banding tidak sesederhana itu. Persalinan yang menyertai plasenta previa dapat menimbulkan nyeri yang mengisyaratkan solusio plasenta (Leveno.et.al, 2007). Perbedaan solusio plasenta dengan plasenta previa dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut.



Kriteria Perdarahan



Solusio Plasenta



Plasenta Previa



Merah tua s/d coklat hitam



Merah segar, Berulang ,



Terus menerus



Tidak nyeri



Disertai nyeri Tak tegang



Uterus Tegang, Bagian janin tak



Tak nyeri tekan



teraba, Nyeri tekan Jarang



Syok/Anemia Lebih sering



Sesuai dengan jumlah darah



Tidak sesuai dengan jumlah



yang keluar



darah yang keluar



Fetus



Pemeriksaan



40% fetus sudah mati



Biasanya fetus hidup



Tidak disertai kelainan letak



Disertai kelainan letak



dalam



Teraba plasenta atau Ketuban menonjol



perabaan fornik ada bantalan



walaupun tidak his



antara bagian janin dengan jari pemeriksaan



Tabel 2.3 Perbedaan Solusio Placenta dan Placenta Previa G. Komplikasi Komplikasi solusio plasenta berasal dari perdarahan retroplasenta yang terus berlangsung sehingga menimbulkan berbagai akibat pada ibu seperti anemia, syok hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan darah, gagal ginjal. Sindroma Sheehan terdapat pada beberapa penderita yang terhindar dari kematian setelah menderita syok yang berlangsung lama yang menyebabkan iskemia dan nekrosis adenohipofisis sebagai akibat solusio plasenta (Prawirohardjo, 2009). Kematian janin, kelahiran prematur dan kematian perinatal merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada solusio plasenta. Solusio plasenta berulang dilaporkan juga bisa terjadi pada 25% perempuan yang pernah menderita solusio plasenta sebelumnya. Solusio plasenta kronik dilaporkan juga sering terjadi di mana



proses pembentukan hematom retroplasenta berhenti tanpa dijelang oleh persalinan. Komplikasi koagulopati dijelaskan sebagai berikut. Hematoma retroplasenta yang terbentuk mengakibatkan pelepasan retroplasenta berhenti ke dalam peredaran darah. Tromboplastin bekerja mempercepat perombakan protrombin menjadi trombin. Trombin yang terbentuk dipakai untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin untuk membentuk lebih banyak bekuan utama pada solusio plasenta berat. Melalui mekanisme ini apabila pelepasan tromboplastin cukup banyak dapat menyebabkan terjadi pembekuan darah intravaskular yang luas (disseminated intravascular coagulation) yang semakin menguras persediaan fibrinogen dan faktor-faktor pembekuan lain. Curah jantung yang menurun dan kekakuan pembuluh darah ginjal akibat tekanan intrauterina yang meninggi menyebabkan perfusi ginjal sangat menurun dan menyebabkan anoksia. Keadaan umum yang terjadi adalah nekrosis tubulus-tubulus ginjal secara akut menyebabkan kegagalan fungsi ginjal. Mungkin terjadi ekstravasasi luas darah ke dalam otot uterus dan di bawah lapisan serosa uterus yang disebut sebagai apopleksio uteroplasental ini, yang pertama kalinya dilaporkan oleh Couvelaire pada awal tahun 1900-an, sekarang sering disebut sebagai uterus couvelaire. Pada keadaan ini perdarahan retroplasenta menyebabkan darah menerobos melalui sela-sela serabut miometrium dan bahkan bisa sampai ke bawah perimetrium dan ke dalam jaringan pengikat ligamentum latum, ke dalam ovarium bahkan bisa mengalir sampai ke rongga pernitonei. Perdarahan miometrium ini jarang sampai mengganggu kontraksi uterus sehingga terjadi perdarahan postpartum berat dan bukan merupakan indikasi untuk histerektomi (Leveno.et al, 2007). H. Penatalaksanaan Terapi solusio plasenta akan berbeda-beda tergantung pada usia kehamilan serta status ibu dan janin. Pada janin yang hidup dan matur, dan apabila persalinan pervaginam tidak terjadi dalam waktu dekat, sebagian besar akan memilih seksio sesaria darurat. a. Solusio Plasenta Ringan Solusio plasenta ringan



jarang ditemukan di RS. Pada umumnya didiagnosis



secara kebetulan pada pemeriksaaan USG oleh karena tidak memberikan gejala klinik yang khas. Apabila kehamilannya kurang dari 36 minggu dan perdarahan kemudian berhenti, perut tidak menjadi nyeri, dna uterus tidak tegang, maka



penderita harus diobservasi dengan ketat. Apabila perdarahan berlangsung terus dan gejala solusio plasenta bertambah jelas atau dengan pemeriksaan USG daerah solusio



plasenta



bertambah



luas



maka



dilakukan



terminasi



kehamilan



(Prawirohardjo, 2009). b. Solusio Plasenta Sedang dan Berat Pada solusio plasenta sedang sampai berat dilakukan perbaikan keadaan umum terlebih dahulu dengan resusitasi cairan dan transfusi darah. Bila janin masih hidup biasanya dalam keadaan gawat janin, dilakukan seksio sesarea, kecuali bila pembukaan telah lengkap. Pada keadaan ini dilakukan amniotomi, drip oksitosin, dan bayi dilahirkan dengan ekstraksi forcep. Apabila janin telah mati dilakukan persalinan pervaginam dengan cara melakukan amniotomi, drip oksitosin. Bila bayi belum lahir dalam waktu 6 jam, dilakukan tindakan seksio sesarea. c. Tokolitik Hurd dkk. (1983) mendapatkan bahwa solusio berlangsung dalam waktu yang lama dan membahayakan apabila diberikan tokolitik. Towers dkk. (1999) memberikan magnesium sulfat, terbutalin, atau keduanya kepada 95 di antara 131 wanita dengan solusio plasenta yang didiagnosis sebelum minggu ke-36. Angka kematian perinatal sebesar 5% dan tidak berbeda dari kelompok yang tidak diterapi. Namun, penggunaan tokolitik pada penatalaksanaan solusio plasenta masih kontroversial. d. Seksio Sesarea Pelahiran secara cepat janin yang hidup tetapi mengalami gawat janin hampir selalu berarti seksio sesarea. Kayani dkk. (2003) meneliti hubungan antara cepatnya persalinan dan prognosis janinnya pada 33 wanita hamil dengan gejala klinis berupa solusio plasenta dan bradikardi janin. 22 bayi secara neurologis dapat selamat, 15 bayi dilahirkan dalam waktu 20 menit setelah keputusan akan dilakukan operasi. 11 bayi meninggal atau berkembang menjadi Cerebral Palsy, 8 bayi dilahirkan di bawah 20 menit setelah pertimbangan waktu, sehingga cepatnya respons adalah faktor yang penting bagi prognosis bayi ke depannya. Seksio sesarea pada saat ini besar kemungkinan dapat membahayakan ibu karena mengalami



hipovolemia



berat



dan



koagulopati



konsumtif



yang



parah



(Prawirohardjo, 2009). e. Persalinan Pervaginam Apabila terlepasnya plasenta sedemikian parah sehingga menyebabkan janin meninggal, lebih dianjurkan persalinan pervaginam kecuali apabila perdarahannya



sedemikian deras sehingga tidak dapat diatasi bahkan dengan penggantian darah secara agresif, atau terdapat penyulit obstetri yang menghambat persalinan pervaginam. Defek koagulasi berat kemungkinan besar dapat menimbulkan kesulitan pada seksio sesarea. Insisi abdomen dan uterus rentan terhadap perdarahan hebat apabila koagulasi terganggu. Dengan demikian, pada persalinan pervaginam, stimulasi miometrium secara farmakologis atau dengan massage uterus akan menyebabkan pembuluh-pembuluh darah berkontraksi sehingga perdarahan serius dapat dihindari walaupun defek koagulasinya masih ada. Lebih lanjut, perdarahan yang sudah terjadi akan dikeluarkan melalui vagina (Suyono, 2007). f. Amniotomi Pemecahan selaput ketuban sedini mungkin telah lama dianggap penting dalam penatalaksanaan solusio plasenta. Alasan dilakukannya amniotomi ini adalah bahwa keluarnnya cairan amnion dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin dan mungkin faktor-faktor pembekuan aktif dari bekuan retroplasenta ke dalam sirkulasi ibu. Namun, tidak ada bukti keduanya tercapai dengan amniotomi. Apabila janin sudah cukup matur, pemecahan selaput ketuban dengan mempercepat persalinan. Apabila janin imatur, ketuban yang utuh mungkin lebih efisien untuk mendorong pembukaan serviks daripada tekanan yang ditimbulkan bagian tubuh janin yang berukuran kecil dan kurang menekan serviks (Leveno.et al, 2007). g. Oksitosin Walaupun pada sebagian besar kasus solusio plasenta berat terjadi hipertonisitas yang mencirikan kerja miometrium, apabila tidak terjadi kontraksi uterus yang ritmik, pasien diberi oksitosin dengan dosis standar. Stimulasi uterus untuk menimbulkan persalinan pervaginam memberikan manfaat yang lebih besar daripada risiko yang didapat. Pemakaian oksitosin pernah dipertanyakan berdasarkan anggapan bahwa tindakan ini dapat meningkatkan masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu sehingga memacu atau memperparah kaogulopati konsumtif atau sindroma emboli cairan amnion (Leveno.et al, 2007). I. Prognosis Solusio plasenta mempunyai prognosis yang buruk baik bagi ibu hamil dan lebih buruk lagi bagi janin jika dibandingkan dengan plasenta previa. Solusio plasenta ringan masih mempunyai prognosis yang baik bagi ibu dan janin karena tidak ada



kematian dan morbiditasnya rendah. Solusio plasenta sedang mempunyai prognosis yang lebih buruk terutama terhadap janinnya karena mortalitas dan morbiditas perinatal yang tinggi. Solusio plasenta berat mempunyai prognosis yang paling buruk baik terhadap ibu terlebih terhadap janinnya2. J. Pengkajian 1. Anamnesis a. Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien bisa b. Melokalisir tempat mana yang paling sakit, dimana plasenta terlepas. c. Perdarahan pervaginam yang sifatnya bisa hebat, yang terdiri dari darah segar dan bekuan darah. d. Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti atau tidak bergerak lagi. e. Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, pandangan berkunangkunang, ibu keliatan anemis tidak sesuai dengan banyaknya darah yang keluar. 2. Inspeksi a. Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan. b. Pucat, sianosis, keringat dingin. c. Kelihat darah keluar pervaginam. 3. Palpasi a. Fundus uteri tambah naik karena terbentuknya hematoma retroplasenta, uterus tidak sesuai dengan tuanya kehamilan. b. Uterus teraba tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus inbois baik waktu his maupun diluar his. c. Nyeri tekan terutama ditempat plasenta tadi terlepas. d. Bagian-bagian janin susah dikenali, karena perut (uterus) tegang. 4. Auskultasi Sulit, karena uterus tegang. Bila denyut jantung janin terdengar biasanya diatas 140 dpm, kemudian turun dibawah 100 dpm dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari sepertiga. 5. Pemeriksaan Dalam a. Serviks bisa telah terbuka atau masih tertutup. b. Kalau sudah terbuka maka ketuban dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his maupun diluar his. c. Kalau ketuban sudah pecah dan plasenta sudah terlepas seluruhnya,



d. Plasenta ini akan turun kebawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus plasenta, ini sering dikacaukan dengan plasenta previa. 6. Pemeriksaan Umum a. Tensi semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit vaskuler, tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh syok. b. Nadi, cepat, kecil.



DAFTAR PUSTAKA



Sulaiman Sastrawinata. 1985. Obstetri Fisiologi. Bandung : Eleman. Hal 102-122. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan; Bagian Ketiga: Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas, dan Bayi Baru Lahir (Masalah Ibu); Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi ke-4. Jakarta: Penerbit P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h. 492-513. Mose, Johanes C. 2004. Penyulit Kehamilan; Perdarahan Antepartum; Dalam: Obstetri Patologi, edisi ke-2. Editor: Prof. Sulaiman Sastrawinata, dr, SpOG(K), Prof. Dr. Djamhoer Martaadisoebrata, dr, MPSH, SpOG(K), Prof. Dr. Firman F. Wirakusumah, dr, SpOG(K). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC dan Padjadjaran Medical Press. h. 91-96 Suyono,Lulu,Gita,Harum,Endang. 2007. Hubungan Antara Umur Ibu Hamil Dengan Frekuensi Solusio Plasenta di RSUD Dr. Moewardi Surakarta; Dalam: Cermin Dunia Kedokteran vol.34 no.5.h 233-238 Leveno, Kenneth J. MD; Cunningham, F. Gary MD; Alexander, James M. MD; Bloom, Steven L. MD; Casey, Brian M. MD; Dashe, Jodi. S MD; et al. 2007. Obstetrical Complications Section VII, Chapter 35. Obstetrical Hemorrhage. In: Williams, 22nd edition. Editor: Anne Sydor, Marsha Loeb, Peter J. Boyle. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc.