Special Chapter 1 - Kronologi Kepulangan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

special chapter 1 KRONOLOGI KEPULANGAN Kita pasti bertemu kembali dengan kisah yang lebih indah dari hari ini, setahun, dua tahun, atau banyak hari ke depannya lagi di tempat yang lebih abadi dari sebelumnya. ANGKASA menatap lekat Aurora dari atas motornya, kedua sudut bibirnya terangkat. Entah sejak kapan perempuan berbandana biru itu berhasil mengubah mimik wajah Angkasa ketika bersamanya, tapi yang pasti, dengan Aurora, Angkasa selalu merasa ada euforia yang hanya bisa dia dapatkan dari perempuan itu. “Gue bakal pergi kalau lo udah masuk,” ucap Angkasa. Aurora lalu berbalik, melangkah ke arah pintu rumahnya. “Jangan lupa dikunci,” peringkat Angkasa. Sebelum menutup pintu dengan rapat, Aurora memosisikan tangannya hormat. “Siap, Bos,” balasnya. Melihat pintu yang telah tertutup rapat, Angkasa menancap gas pergi dari pelataran rumah itu. Tetapi, dia kemudian memegang rem depannya tiba-tiba saat melewati pagar rumah Aurora. Ada perasaan



1



‘berbeda’ yang tiba-tiba terbersit di benaknya. Perasaan yang tidak biasa untuk Angkasa. Ada gemuruh yang sedang bersuara, tapi tidak bisa dia dengar. Angkasa berbalik menatap pintu rumah itu dari jarak yang lumayan jauh. Dia mulai menyadari satu hal, pertemuannya dengan Aurora ternyata sudah bisa dia hitung dengan skala tahun. Lumayan lama, dan tentu dengan kisah yang menurutnya sangat panjang untuk fase terluka dan mencintai sama-sama. “Gimana kalau gue nggak ada, ya?” Pertanyaan itu tiba-tiba muncul di pikiran Angkasa. Laki-laki itu kemudian menggeleng pelan ketika tersadar. Selesai dengan pikirannya, Angkasa menatap jalanan kompleks rumah Aurora dengan pandangan yang dia sendiri tidak bisa maknai. Tapi yang pasti, ada rasa  perpisahan  yang Angkasa rasakan, geografi yang seperti menegaskan kalau ini adalah terakhir kalinya dia datang ke tempat ini. Atlas sat is calling you… Angkasa membuka helmnya, kemudian menyimpan benda pipih itu di telinganya. “Lo dimana, Sat?” tanya Atlas yang terkesan tidak sabaran. “Di jalan, kenapa?” “Bro, gue mau mintol nih.” Angkasa menjauhkan ponselnya sebentar, membaca ulang nama yang tertera di screen ponselnya, memastikan kalau yang meneleponnya memang Atlas. “Apaan, bangs*t?” “Santai, woy, sopan lo sama Kakak,” tegur Atlas. Angkasa mendengkus. “Apa? Buruan?” “Mama hari ini ulang tahun, jadi tugas lo ke toko cake,” jelas Atlas. “Gue sama Aruna ada di mal, nih, nyiapin hadiah buat Mama. Tapi lo cukup pesan kue aja, terserah warna dan modelnya, yang penting itu pilihan lo, dan jangan lupa bilang, kalau kuenya harus selesai sebelum



2



jam empat sore,” tambahnya. “Biar gue yang ngambil entar.” Angkasa mengangguk paham. “Oiya, motor gue aman, kan?”  Angkasa menatap motor Atlas yang sedang dia kendarai. “Hancur,” balas Angkasa, bercanda. Sontak laki-laki itu berteriak, “Woi! Motor mahal gue, awas aja lo.” “Motor bisa dibeli lagi, tapi nggak dengan gue,” ucap Angkasa serius. Atlas terkekeh di seberang sana, sedangkan Angkasa mematikan sambungan secara sepihak ketika merasa tidak ada lagi hal penting yang akan Atlas sampaikan padanya. Setelah itu, Angkasa kembali memasang helmnya, menyalahkan mesin motornya, kemudian berlalu pergi dengan kecepatan rata-rata. Hari ini, langit sedang terik, sinar matahari menyengat di tengah jalanan besar yang cukup padat pada pukul dua siang. Angkasa menyalip kendaraan dengan begitu lihai, dia sengaja tidak mengambil jalan pintas yang minim kendaraan, karena tidak ingin merasa repot jika harus berputar-putar. Tidak lama, Angkasa sampai di toko birthday cake tujuannya. Lakilaki itu beranjak masuk dengan langkah biasa. Di sana, dia melihat menu cake dengan banyak varian yang disediakan. “Lo ngapain di sini?” Suara itu mengalihkan pandangan Angkasa. Angkasa menatap orang itu acuh. “Menurut lo?” Bara tertawa. “Seingat gue, ultah Rora masih lama, deh. Kok lo cepat banget prepare-nya? Atau jangan-jangan, lo mau ngasih cake ke orang lain, ya?” tebak Bara asal. “Bajingan emang.” “Mau gue kasih Salsa,” jawab Angkasa asal. Sengaja ingin memancing laki-laki itu. Dia tahu, kalau hari ini ulang tahun Salsa. Bara sudah membicarakan ini kemarin dan bertekad untuk memberikan surprise pada perempuan itu. Bara sontak melototkan matanya, dia meneguk salivanya kasar. “Sa, seriusan lo?”



3



“Why not? Siapa, sih, yang nggak mau sama gue?” pancing Angkasa. “Panas, nih, gue, Sa. Jangan gitulah,” ujar Bara tidak semangat. Angkasa tidak menghiraukan Bara, dia kembali pada fokus utamanya, memesan kue yang menurutnya pas dengan seleranya, lalu membayarnya di meja kasir. “Jadi, kue ini mau diberi tulisan seperti apa, Mas?” tanya Waitress. Dia lalu menyodorkan iPad ke arah Angkasa. Angkasa menulis sesuatu di layar itu, kemudian menyerahkannya kembali pada Waitress. “Anjay, lo buat gue traveling, Sa, gue kira bener-bener buat Salsa,” ujar Bara ketika mengintip tulisan Angkasa di iPad tadi. “Bar, lo lama nggak di sini?” tanya Angkasa mengalihkan. Bara menggeleng. “Gue udah mau pulang.” “Oh.” Angkasa kemudian keluar toko, juga dengan Bara yang ikut keluar dengan kotak kue di tangannya. “Motor baru lo?” tanya Bara ketika melihat motor  sport  hitam dengan campuran warna gold di pinggirnya. “Punya Atlas,” balas Angkasa. Bara melirik nomor polisi motor itu. 171 ANSM. “Bar,” panggil Angkasa ketika Bara baru saja akan melangkah memasuki mobilnya. “Jaga Aurora, ya?” Alis Bara terangkat. “Maksudnya?” “Jaga dia buat gue,” jelas Angkasa. Bara masih tidak mengerti. “Lo ngomong apa, sih, Bor, gue nggak paham,” kata Bara, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tapi, Bara dapat menyimpulkan dari mimik wajah Angkasa yang seolah mengatakan ‘Lo bakal paham maksud gue’. “Kalau Rora ulang tahun nanti, buat surprise yang indah untuk dia, Bar,” kata Angkasa. “Iya, pasti, kita bakal rayain sama-sama,” balas Bara. Angkasa yang sudah memasang helm motornya kemudian



4



menyahut lagi, “Markas SATROVA jangan lupa lo bersihin.” “Eh, itu tugas Alas kaki, tugas gue minggu lalu,” koreksi Bara. “Kunci 2 Markas ada di kamar gue, lo bisa ambil kalau lo mau,” kata Angkasa. Laki-laki yang menjadi lawan bicara Bara menyalakan motornya, “Salam sama semuanya,” kata Angkasa. Bara bergeming menatap kepergian motor sport itu, hingga tak lagi bisa dijangkau oleh indranya. Ada sesuatu yang tiba-tiba mengganjal di hatinya. Perasaan aneh yang juga tidak bisa dia pahami.



Angkasa mengambil arah kiri, kemudian berbelok ke arah jalan pintas untuk menghindari polusi udara, juga macet di jalanan besar. Tetapi, niatnya tiba-tiba dia urungkan, entah karena hal apa, Angkasa kemudian memutar lagi kendaraannya, dan melaju melalui jalanan besar. Laki-laki itu memainkan tali gasnya di kecepatan ratusan kilometer. “Kalau pulang jangan ngebut.” Ucapan Aurora beberapa menit yang lalu terbesit di kepala Angkasa. Dia kemudian menurunkan kecepatannya, tapi sebelum Angkasa benarbenar bisa menguasai laju motornya, bus pariwisata yang mengangkut rombongan anak TK meleset membentang di depannya. BRAKKKKK!!! CITTTTT!!! Trotoar jalan dihantam oleh motor sport hitam MV Agusta F4CC, suara nyaring ban mobil yang bergesekan dengan aspal saling beradu di jalanan besar itu. Angkasa merasa tubuhnya melayang di udara, kemudian akhirnya jatuh terhempas di aspal jalan dengan begitu keras. Dengungan di telinganya  tiba-tiba tercipta, diikuti dengan pandangannya yang berkunang-kunang. Kejadian itu terjadi begitu cepat, orang-orang yang berada di



5



lokasi itu berteriak histeris, beberapa pengendara ikut menepikan kendaraannya, mereka ikut serta menyaksikan apa yang sedang terjadi. Jalanan besar itu, tiba-tiba macet total. Beberapa yang tidak tahu, hanya bisa bertanya-tanya. Peristiwa apa yang terjadi di depan? “Kok, macet gini, sih?” tanya Bara pada Razi yang ada di sampingnya. Sebelum menemui Salsa dan memberi perempuan itu surprise, Bara lebih dulu menjemput Razi di rumahnya untuk dia ajak latihan basket gabungan. Laki-laki dingin itu hanya mengedikkan bahunya acuh, sembari menatap sekitarnya yang heboh. “Gue kepo banget, sumpah,” kata Bara lagi, kemudian akhirnya turun dari mobilnya, juga Razi. Terlihat orang-orang yang mengelilingi pinggir trotoar dengan ekspresi panik dan kaget yang mendominasi, sedangkan di depan mereka ada laki-laki yang terbaring terlentang tanpa ada pertolongan yang dilakukan. Razi masuk ke dalam kerumunan itu, beda dengan Bara yang memilih bertanya dan memastikan apa yang sedang terjadi sebenarnya. “Kecelakaan tunggal, kejadiannya baru saja, korban masih ada di tempat,” jelas salah satu pengendara mobil yang menyaksikan kejadian itu. Bara mematung sejenak, laki-laki itu mencari Razi yang tiba-tiba tidak ada di sampingnya. Tetapi, fokusnya tiba-tiba pecah ketika dia melihat motor sport dengan nomor polisi 171 ANSM yang hancur menghantam trotoar jalanan. Tulang-tulang Bara tiba-tiba lemas, dia berlari ke kerumunan itu. Sudah ada Razi yang pucat dan berusaha mencari cara untuk membawa Angkasa ke rumah sakit. “ANGKASA!” teriak Bara histeris. Suara sirene ambulans terdengar, seluruh kendaraan bekerja sama dengan baik memberi mobil putih itu jalan.



6



Bara dan Razi mengangkat Angkasa naik ke ambulans, dibantu dengan orang-orang sekitar. Kesadaran Angkasa tidak sepenuhnya hilang, laki-laki itu masih merasakan suara seseorang yang memanggilnya, tapi sulit untuk dia kenali lagi. Tubuh kekarnya tidak bisa melakukan koordinasi, Angkasa merasa dia tidak berada di dunia saat ini. Entah dalam kesadaran yang seperti apa, tapi pikirannya tiba-tiba berputar mengenai Dokter Falra, perempuan berbandana biru, dan Aruna, pikiran Angkasa berjalan tentang hari-harinya dengan semua perempuan itu, juga dengan kalimat-kalimat sederhana yang berhasil membuatnya bahagia. Semua terlihat bak mimpi untuk Angkasa, tentang Aurora, SATROVA, keluarganya, SMA Andromeda, terkesan jadi sesuatu yang sekilas baginya. Wajah perempuan bermata lentik muncul kala itu, walaupun hadir ‘sebentar’ tanpa diberi kesempatan untuk merasakan banyak kasih sayang dari seorang ibu, Angkasa tetap bersyukur, karena Tuhan masih begitu baik dengannya untuk mempertemukan kembali keluarganya. “Ma, selamat ulang tahun.” “Kalau kalimat itu nggak terdengar dua kali dari mulut saya, berarti usia saya di dunia ini udah habis.” Aurora kemudian muncul di tengah ketidaksadaran Angkasa, bagaimana perempuan itu tersenyum, bagaimana dia melambaikan tangannya pada Angkasa, bagaimana Aurora jika bersama dengannya, semua hadir mengelilingi ingatan yang sebentar lagi akan musnah. “Gue beruntung kenal sama lo, perempuan berbandana biru.” Tidak ada suara, kalimat itu hanya meraung di hati Angkasa. Memenuhi seluruh ruangan bawah sadar yang tidak akan pernah sampai di titik kesadaran. “Kalau hari ini udah waktunya gue untuk kembali, jangan pernah kecewa sama Tuhan, Ra. Jangan marah, jangan sedih.” Nama SATROVA ikut andil di ingatan laki-laki itu, Angkasa



7



telah menjadikan perkumpulan besarnya sebagai rumah. Tempat itu mendewasakannya, mendekapnya dengan rasa persahabatan yang tidak akan bisa dibeli oleh apa pun. “Perjalanan lo semua masih panjang, lanjutkan. Kibarkan SATROVA sampai lo semua punya catatan jejak yang diakui oleh masa.” “Sama gue, atau pun nggak sama sekali.” Setelahnya, semua hilang begitu saja. Ambulans berjalan membawa Angkasa ke rumah sakit, langit yang tadinya cerah berubah mendung seketika, semesta tampak tidak restu juga dengan kejadian ini. Bara menghubungi semua anak SATROVA melalui via chat, juga dengan Razi yang berusaha menghubungi Aruna. Angkasa tidak sadarkan diri, banyak darah di sekujur tubuhnya, perawat mulai melakukan pertolongan pertama di mobil putih ini. “Gue mau pingsan, Zi, serius,” ujar Bara. Laki-laki bertubuh besar itu bergetar. Razi memandang keluar, dia tidak tahu, apakah Angkasa masih bisa tertolong atau tidak. Sesampainya di rumah sakit, Angkasa dengan cepat di bawah ke UGD, perawat dengan segera bertidak. Membiarkan Bara dan Razi untuk menunggu di depan ruangan. Hujan yang turun dengan deras di balik jendela kaca rumah sakit menambah perasaan gelisah keduanya. Tapi yang pasti, di balik kejadian seperti ini, selalu ada kata ‘semoga’ yang terselip di antara doa yang dilangitkan. “Tenang, Bar,” kata Razi. Laki-laki itu kemudian mengambil posisi pojok. Tidak lama, Alaska, Bobby, dan Sekala datang, mereka tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap di celah-celah pintu UGD. Mereka sama-sama memahami kepanikan masing-masing. “Gue hubungi Rora, nggak?” tanya Bara. “Nggak usah,” kata Alaska lemah.



8



“Tapi, kalau nggak dikasih tau, kita terkesan menyembunyikan, Las,” ujar Sekala. “Gue ngikut aja, gue kayak udah nggak punya tenaga pas ngeliat chat lo,” kata Bobby. Setelahnya tidak ada sahutan lagi, semua kembali dengan pikirannya masing-masing. Bara menatap screen ponselnya cukup lama. Ia berpikir sejenak, menimbang segala risiko, lalu akhirnya mengetik sesuatu di room pesannya dengan Aurora.



Mengetahui kabar tentang Angkasa, Atlas yang baru saja akan ke toko birthday cake langsung memutar arahnya. Laki-laki itu membawa mobil Angkasa dengan kesetanan. Perasaan gelisah dan tidak tenang yang sejak tadi Atlas rasakan, kini memiliki jawabannya. Ada sesuatu yang terjadi dengan saudaranya. Sesampainya di rumah sakit, Atlas memburu langkahnya, berlari sekuat mungkin untuk segera sampai ke UGD. Tetapi, belum sempat kakinya menginjak  ruangan itu, suara perawat terdengar di telinganya, yang memberi tahu kalau Angkasa butuh darah.  Berarti kondisi Angkasa, parah? Sejenak, Atlas menenangkan dirinya. Berusaha menghilangkan semua kekhawatirannya. Kemudian akhirnya bersuara menyanggupkan dirinya untuk melakukan donor darah. Dokter Falra juga turun tangan menangani Angkasa, diikuti dengan Atlas yang segera masuk ke ruang UGD untuk Angkasa. Di ruangan itu, Angkasa terbaring di atas brankar dengan banyak alat medis yang mengepungnya. Atlas menatap pedih kembarannya, seperti ada pilu yang bisa Atlas rasakan, walaupun bukan dirinya yang di posisi Angkasa. “Lo kuat, Sa. Adek gue itu, jagoan…” bisik Atlas pada telinga Angkasa. “Gue ngasih darah gue, nih, jadi, lo harus sadar setelah ini,”



9



lanjut laki-laki itu sebelum benar-benar ikut berbaring di atas brankar yang ada di sebelah kanan. Hampir tiga jam dokter berjuang di ruangan itu. Ketegangan menyelimuti mereka, juga dengan Atlas yang sejak tadi melihat Dokter Falra mundur berkali-kali. Berbagai alat medis dipasang di tubuh Angkasa, berharap harapan masih berpihak di tengah usaha ini. Tetapi..., tidak lama kemudian, bunyi nyaring elektrokardiogram terdengar, sontak mata para dokter menatap monitor yang menampilkan garis lurus. Di tengah kepanikan, Dokter Falra meraih defibrilator untuk memulihkan detak jantung Angkasa. Tetapi, hingga percobaan kesekian, monitor tetap menampilkan garis lurusnya. Dokter Ariandi menggeleng pelan, harapan yang ‘tipis’ tadi, kini berubah menjadi ‘kosong’. Monitor dengan garis lurus, cukup untuk menjelaskan bagaimana seseorang yang akhirnya memang tidak ditakdirkan untuk bertahan dengan lama. “Bagaimana, Dok?” tanya perawat. “Kita sudah berjuang dengan baik, dan dia juga sudah kembali dengan tenang,” jawab Dokter Ariandi. Mendengar itu, Dokter Falra terduduk di lantai putih UGD. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Dokter Falra merasa gagal menjadi seorang Dokter, juga seorang Mama di waktu yang bersamaan. Atlas merangkul Mamanya. “Don’t be sad, Mom. Dia kembali kepada pemilik sesungguhnya.” Alat-alat rumah sakit, dilepas dari tubuh Angkasa, kemudian tubuh laki-laki itu ditutup dengan menggunakan kain putih. Tanda kalau seseorang di baliknya tidak memiliki umur untuk diperhitungkan lagi. Atlas mendekat. “See you in heaven, Brother.” Dia kemudian keluar, memeluk Aruna dan menangis pada perempuan itu. Setiap  perjalanan  yang tercipta  selalu memiliki titik henti pada akhirnya: istirahat sebentar, atau istirahat selamanya. Kegaduhan dan isak tangis yang pecah mengeruhkan suasana duka



10



di UGD unit 01 saat itu, dengan langit yang terus mengguyur bumi dengan rintiknya. Angkasa telah kembali hari ini.



11