Stategi Coping Remaja Korban Broken Home [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Strategi Coping Stress Remaja Korban Broken Home



Disusun oleh : Catur Widi Wasono 15112141057



Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta 2017



PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam kehidupan ini adalah dua pengalaman yang amat menyedihkan dan paling menekan perasaan (stressful) dalam kehidupan berkeluarga yaitu kematian dan perceraian, ditambah lagi jika pasangan yang bercerai mempunyai anak, maka keadaan akan menjadi bertambah rumit (Mu`tadin, 2002). Menurut Holmes dan Rahe (dalam Taylor, 1999), perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup. Berdasarkan hasil penelitian, Jumlah perceraian di Samarinda telah mencapai angka yang sangat fantastis. Tercatat, 3 tahun belakangan ini kasus perceraian makin meningkat yaitu dari tahun 2009 sampai 2011. Di tahun 2009 kantor pengadilan agama mendapat perkara sejumlah 2.138 dan di tahun 2010 pengadilan agama kota Samarinda mendapat 2.063 perkara. Angka perkara yang paling drastis adalah di tahun 2011 pengadilan agama samarinda telah menerima 2.310 perkara. Menurut Sinudarsono (2009) broken home adalah kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian. Kondisi ini dapat menimbulkan dampak yang sangat besar terutama bagi anak-anak. Pada umumnya, para orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik. Oleh karena itu, bagaimana apabila permasalahan perceraian orang tua ini dihadapi oleh remaja, seperti diketahui masa remaja merupakan masa dimana terjadinya peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, tidak hanya itu mereka juga bukan membentuk kematangan fisik (purbetas) saja akan tetapi juga mengarah ke arah kematangan social-psikologis, antara lain menuju kedewasaan dan kemandirian (Muss, dalam Sarwono 1994), sehingga mereka mulai merasa diperlukan atau dibutuhkannya sosok figure orang tua yang mungkin akan selalu siap dalam memberikan arahan atau bimbingan. Bagi remaja yang sedang mengalami masa yang dipenuhi banyak perubahan, perceraian orangtua akan menambah derajat stres yang sudah ada dan akhirnya akan mempengaruhi perkembangan remaja itu sendiri. Dalam hal ini Lazarus (dalam Prabowo, 1998) mengungkapkan stres adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Dan penuturan ini ditambahkan pula oleh Goldberger dan Brenitz (dalam Lidwina, 2004), penyebab stres (stressor) dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari situasi eksternal yang dapat mempengaruhi individu. Jelas disini tidak hanya dari penuturan Lazarus saja tetapi dari Goldberger dan Brenitz juga yang menyatakan bahwa faktor eksternal merupakan salah satu penyebab terjadinya stres, dan faktor eksternal disini meliputi faktor lingkungan, yang berupa lingkungan masyarakat, lingkungan kelompok termasuk lingkungan keluarga. Pada saat individu dihadapkan pada kondisi stres karena adanya suatu permasalahan, maka secara otomatis individu tersebut berusaha untuk dapat mengurangi atau menghilangkan perasaan stres yang dialaminya itu, dan hal itu juga yang dilakukan oleh remaja yang mengalami stres karena perceraian orang tuanya.



Seperti diungkapkan oleh Radley (1994) istilah coping stres dapat diartikan sebagai penyesuaian secara kognitif dan perilaku menuju keadaan yang lebih baik, mengurangi dan bertoleransi dengan tuntutan-tuntutan yang ada yang mengakibatkan stres. Adapun pengupayaan individu atau remaja dalam hal mengurangi atau menghilangkan perasaan stres tersebut yakni dengan menggunakan beberapa cara atau strategi. Lazarus (dalam Radley, 1994) beliau mengungkapkan bahwa setiap individu melakukan cara coping yang berbeda-beda dalam menghadapi situasi yang menekan dari lingkungan, mekanisme atau cara coping ini bisa meliputi kognitif (pola pikir) dan perilaku (tindakan). Perbedaan cara yang dilakukan setiap idividu dalam hal menangani stresnya itu dimasukkan kedalam 2 strategi atau cara. Seperti diungkapkan oleh Lazarus dan Folkman (1974) cara coping dibedakan menjadi dua bagian besar berdasarkan tujuan atau intensi individu yaitu problem focused coping, yakni coping yang memfokuskan pada masalah ini melibatkan usaha yang dilakukan untuk merubah beberapa hal yang menyebabkan stres (stressor). Tujuannya adalah untuk mengurangi tuntutan dari situasi dan meningkatkan usaha individu dalam menghadapi situasi tersebut. Cara ini lebih sesuai apabila digunakan dalam menghadapi masalah atau situasi yang dianggap dapat dikontrol atau dikuasai oleh individu. emotion focused coping yakni coping ini merupakan bentuk coping yang lebih memfokuskan pada masalah emosi, bentuk coping ini lebih melibatkan pikiran dan tindakan yang ditunjukan untuk mengatasi perasaan yang menekan akibat dari situasi stres. emotion focused coping juga terdiri dari usaha yang diambil untuk mengatur dan mengurangi emosi stres penggunaan mekanisme yang dapat menghindarkan dirinya dari berhadapan dengan stressor. Berdasarkan ulasan diatas, maka akan diungkap secara simpulan bahwa suatu perceraian memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan kelangsungan hidup pasangan suami istri terlebih anak-anak, apalagi jika si anak tersebut sedang mengalami masa peralihan dalam perkembangan fisik maupun sosial psikologis atau lebih dikenal dengan masa remaja, karena seperti diketahui kebutuhan anak remaja pada saat itu terhadap peran orang tua sangat diharapkan lebih dari sebelumnya. Sehingga dengan adanya permasalahan tersebut suatu perceraian orangtua dapat menjadi suatu faktor penyebab terjadinya stres pada anak remaja. Agar tekanan atau stres yang dialami tidak berlangsung terus-menerus, maka dibutuhkan suatu upaya untuk mengatasi stres tersebut disebut coping stres. Menurut Lazarus (1994) coping adalah suatu respon individu terhadap sumber stres. Coping stres yang digunakan oleh individu bisa bermacam-macam, misalnya melakukan suatu aktivitas yang mengubah sumber stres menjadi suatu hal yang positif atau mengurangi tekanan emosional yang timbul dari situasi stres. Dengan penelitian ini maka secara tidak langsung membantu subjek dalam menghadapi permasalahannya, membantu mengurangi atau mencoba menghilangkan beban subjek dalam mengahadapi pengaruh negatif yang terjadi akibat perceraian orangtuanya tersebut.



B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah Coping Remaja Dengan Orang Tua yang Bercerai ?



C. TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui gambaran Coping Stress Remaja dengan Orang Tua Bercerai 2. Mengetahui Karakteristik Remaja dengan Orang Tua Bercerai 3. Mengetahui gambaran Stress Remaja 4. Mengetahui Coping Stress Remaja 5. Mengetahui kebutuhan remaja dengan orang tua bercerai D. MANFAAT PENELITIAN 1. Bagi Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan mengembangakan Ilmu Pengetahuan dalam bidang Psikologi 2. Bagi Peneliti Dapat mengetahui gambaran coping Stress Remaja dengan oarang tua bercerai dan dapat menjadi perbandingan hasil dengan penelitian lain terkait dengan Coping Stress remaja 3. Bagi Responden Responden dapat mengungkapkan permasalahan yang dihadapi oleh dirinya khususnya stress dan dapat menerima kondisinya sehingga responden memiliki Coping yang adaptif.



II. KAJIAN PUSTAKA A. PERCERAIAN Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta sebab akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami-istri itu perkawinannya putus. Kemudian tidak kalah urgensinya adalah alasan yang mendasari putusnya perkawinan itu serta sebabsebab apa terjadi perceraian. Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, karena itu perceraian senantiasa diatur oleh hukum perkawinan. Cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masingmasing. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudia hidup terpisah secara resmi dan diakui oleh hukum yang berlaku (Erna, 1999). Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri.Di mata hukum, perceraian tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Artinya, harus ada alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan sebuah perceraian. Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang notabene berwenang memutuskan, apakah sebuah perceraian layak atau tidak untuk dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang menyangkut konsekuensi terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan melakukan perceraian. Agama menilai bahwa perceraian adalah hal terburuk yang terjadi dalam hubungan rumah tangga. Namun demikian, Agama tetap memberikan keleluasaan kepada setiap pemeluk Agama untuk menentukan jalan islah atau terbaik bagi siapa saja yang memiliki permasalahan dalam rumah tangga, sampai pada akhirnya terjadi perceraian. Hukum Positif menilai bahwa perceraian adalah perkara yang sah apabila memenuhi unsur-unsur cerai, diantaranya karna terjadinya perselisihan yang menimbulkan percek-cokan yang sulit untuk dihentikan, atau karna tidak berdayanya seorang suami untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga.



B. REMAJA Sebelum abad kedua puluh, tidak ada konsep masa remaja dan anak-anak dalam budaya barat memasuki masa dewasa. Individu matang secara fisik atau ketika mulai bekerja magang maka dapat disebut dewasa. Dapat diketahui bahwa masa remaja merupakan kontruksi sosial (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Akan tetapi, ahli psikologi tetap mendefinisikan masa remaja. Gagasan mengenai remaja mulai direkonstruksi sejak Hall menerbitkan gagasannya. Sejak itu hingga saat ini para ahli mulai menyampaikan gagasan mengenai remaja. Hurlock adalah salah satunya. Hurlock (1980) mengungkapkan remaja sebagai periode peralihan serta menjabarkan arti remaja sebagai tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Lebih lanjut, Hurlock(1980) menjelaskan bahwa masa peralihan bukan berarti terputus karena pengalaman sebelumnya akan membekas dan akan terbawa ke tahap berikutnya. Masa remaja merupakan masa penting. Piaget (dalam Hurlock, 1980) mengungkapkan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Usia menjadi tolak ukur dalam definisi yang diungkapkan Piaget walaupun sesungguhnya remaja memiliki arti luas yang mencangkup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Piaget dalam Hurlock, 1980). Pemikiran Hurlock mengenai pentingnya masa remaja sejalan dengan Erickson (dalam Feist & Feist, 2010a) yang menyatakan remaja merupakan salah satu tahap yang penting karena 15 individu harus sudah mendapatkan identitas ego yang tetap pada akhir periode ini. Menurut Erickson (dalam Feist & Feist, 2010a), faktor yang berperan dalam periode ini adalah pubertas. Pubertas diartikan sebagai kematangan genital (Feist & Feist, 2010a; Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Pemikiran remaja terkait pubertas juga disampaikan oleh Papalia, Olds, dan Feldman (2008). Papalia, Olds, dan Feldman (2008) mengungkapkan bahwa pubertas adalah awal masa remaja secara umum. Remaja didefinisikan sebagai perjalanan dari anak-anak menuju dewasa. Masa remaja adalah waktu meningkatnya perbedaan diantara anak muda mayoritas yang diarahkan untuk mengisi masa dewasa dan menjadikannya produktif serta minoritas yang akan berhadapan dengan masalah besar (Offer & Schonrt-Reichl dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Semua pemikiran tersebut bermula dari pemikiran bahwa remaja merupakan masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan perubahan suasana hati (Hall dalam Santrock, 2007). Istilah yang sering digunakan Hall (dalam Santrock 2007a) adalah badai dan stress. Menurut pandangan ini, berbagai pemikiran, perasaan, dan tindakan remaja berubah-ubah antara kesombongan dan kerendahan hati, niat yang baik dan godaan, kebahagiaan dan kesedihan. Pemikiran Hall sangat dipengaruhi oleh Charles Darwin, pencetus teori evolusi (Santrock, 2007a).



1. Batas Usia dan Proses Remaja Masa remaja dalam sebuah paradigma dijelaskan sebagai perjalanan panjang masa anak-anak menuju masa dewasa. Masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 tahun sampai masa remaja akhir yaitu awal usia 20-an dan masa tersebut membawa perubahan besar saling bertautan pada semua ranah perkembangan (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Hurlock (1980) membagi dua masa remaja yaitu remaja awal dan akhir. Usia sekitar 17 tahun rata-rata individu mulai memasuki sekolah menengah atas disebut dengan masa remaja awal. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun. Individu berusia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun dikatakan sebagai remaja akhir yaitu usia matang secara hukum (Hurlock, 1980). Dapat diketahui bahwa masa remaja menurut Hurlock dialami individu ketika berusia 13 hingga 18 tahun. Pendapat Hurlock berbeda dengan Hall (dalam Santrock, 2007a) yang menyatakan usia remaja berkisar antara 12 hingga 23 tahun. Meskipun rentang usia dari remaja bervariasi terkait dengan lingkungan dan budaya, Santrock (2007a) mengungkapkan masa remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir sekitar usia 18 hingga 22 tahun. Pendapat Santrock mengenai rentang usia masa remaja merupakan yang paling panjang diantara lainnya yaitu 13 tahun, dimulai sejak usia 10 hingga 22 tahun, sedangkan pendapat Hurlock adalah rentang yang paling pendek yaitu 6 tahun, dimulai sejak 13 hingga 18 tahun. Pendapat Hall memiliki perbedaan 1 tahun yang lebih pendek dari Santrock yaitu 12 tahun, yang dimulai dari 10 hingga 22 tahun. Pendapat ini berbeda 2 tahun dari Papalia dan Olds yang menyatakan masa remaja dimulai dari usia 11 dan berakhir pada usia 20-an. Papalia, Olds dan Feldman (2008) tidak menjelaskan lebih spesifik mengenai batas usia 20-an.



2. Perkembangan Identitas Diri Remaja Remaja merupakan masa pencarian identitas, yaitu masa menentukan siapakah dirinya, apa keunikannya, dan apa tujuan hidupnya (Santrock, 2007a). Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2008) mendefinisikan pencarian identitas sebagai konsepsi tentang diri, penentuan 19 tujuan, nilai dan keyakinan yang diperteguh oleh orang lain. Ini merupakan fokus atau tugas pada masa remaja (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Pencapaian akhir pencarian identitas adalah identitas remaja. Akan tetapi, tidak semua remaja mendapatkan identitas diri dari puncak krisis antara identitas dan kebingungan identitas di masa remaja. Eksplorasi identitas merupakan bagian dari masa pembentukan identitas. Dalam eksplorasi indentitas, remaja mengalami psychosocial moratorium (Santrock, 2007a). Psycosocial moratorium merupakan kesenjangan antara rasa aman masa anak-anak dengan otonomi pada masa dewasa. Selain itu, dalam proses eksplorasi identitas, remaja sering



bereksperimen dengan berbagai peran (Santrock, 2007a). Eksplorasi peran remaja dapat dilakukan (Santrock, 2007a) dengan menjadi ketua, sekretaris, maupun anggota dalam kelompok remaja, seperti organisasi siswa intra sekolah (OSIS). Ekstrakurikuler yang ada di sekolah seperti basket, KSPAN (Kelompok Siswa Peduli AIDS dan Narkoba), KIR (Kelompok Ilmiah Remaja), dan PMR (Palang Merah Remaja) juga merupakan wadah bagi remaja untuk melakukan eksplorasi peran. Selain itu, kelompok teman sebaya di luar sekolah juga memberikan kesempatan bagi remaja untuk melakukan eksplorasi peran. Peran yang diambil oleh remaja dalam kelompok memberikan tanggungjawab kepada remaja. Kecenderungan remaja untuk membuat keputusan memilih peran yang dijalani merupakan unsur dalam pembentukan identitas (Purwadi, 2004). C. COPING STRESS 1. Pengertian Coping Stres Coping merupakan suatu proses yang dilakukan setiap waktu dalam lingkungan keluarga, lingkungan kerja, sekolah maupun masyarakat. Coping digunakan seseorang untuk mengatasi stress dan hambatan–hambatan yang dialami. Dalam kamus psikologi (Chaplin, 2002 ; 112), coping behavior diartikan sebagai sembarang perbuatan, dalam mana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan sesuatu (tugas atau masalah). Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino ; 1997) mengartikan coping adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengatur kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan (dalam Smet 1994 ; 143) Lazarus dan Folkman mendefinisikan coping sebagai sesuatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan, baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun yang berasal dari lingkungan dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi stress. Rasmun mengatakan bahwa coping adalah dimana seseorang yang mengalami stres atau ketegangan psikologik dalam menghadapi masalah kehidupan sehari-hari yang memerlukan kemampuan pribadi maupun dukungan dari lingkungan, agar dapat mengurangi stres yang dihadapinya. Dengan kata lain, coping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi stressful. Coping tersebut adalah merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik. (Rasmun, 2004 ; 29) Jadi dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa coping adalah segala usaha individu untuk mengatur tuntutan lingkungan dan segala konflik yang muncul, mengurangi ketidaksesuaian/kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi baik yang berasal dari individu maupun lingkungan dengan sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi stress. Berdasarkan beberapa pengertian diatas coping stress merupakan suatu bentuk upaya yang dilakukan individu untuk mengatasi dan meminimalisasikan situasi yang penuh akan tekanan (stress) baik secara kognitif maupun dengan perilaku. 2. Macam-Macam Coping



a. Coping psikologis Pada umumnya gejala yang ditimbulkan akibat stres psikologis tergantung pada dua faktor, yaitu: 1) Bagaimana persepsi atau penerimaan individu terhadap stressor, artinya seberapa berat ancaman yang dirasakan oleh individu tersebut terhadap stressor yang diterima 12 2) Keefektifan strategi coping yang digunakan oleh individu; artinya dalam menghadapi stressor, jika strategi yang digunakan efektif maka menghasilkan adaptasi yang baik dan menjadi suatu pola baru dalam kehidupan, tetapi jika sebaliknya dapat mengakibatkan gangguan kesehatan fisik maupun psikologis. b. Coping psiko-sosial Adalah reaksi psiko-sosial terhadap adanya stimulus stres yang diterima atau dihadapi oleh klien. Menurut Struat dan Sundeen mengemukakan (dalan Rasmun ; 2004) bahwa terdapat 2 kategori coping yang bisa dilakukan untuk mengatasi stres dan kecemasan: 1) Reaksi yang berorientasi pada tugas (task-oriented reaction). Cara ini digunakan untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan konflik dan memenuhi kebutuhan dasar. Terdapat 3 macam reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu: a. Perilaku menyerang (fight) Individu menggunakan energinya untuk melakukan perlawanan dalam rangka mempertahankan integritas pribadinya b. Perilaku menarik diri (withdrawl) Merupakan perilaku yang menunjukkan pengasingan diri dari lingkungan dan orang lain. c. Kompromi Merupakan tindakan konstruktif yang dilakukan individu untuk menyelesaikan masalah melalui musyawarah atau negosiasi. 2) Reaksi yang berorientasi pada Ego Reaksi ini sering digunakan oleh individu dalam menghadapi stres, atau ancaman, dan jika dilakukan dalam waktu sesaat maka akan dapat mengurangi kecemasan, tetapi jika digunakan dalam waktu yang lama akan dapat mengakibatkan gangguan orientasi realita, memburuknya hubungan interpersonal dan menurunkan produktifitas kerja. (Rasmun, 2004 ; 30-34)



III. METODE A. METODE PENELITIAN 1. Pendekatan Kualitatif Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif berbentuk studi kasus. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas sebagaimana dilakukan penelitian kuantitatif dengan positifismenya. Peneliti menginterpretasikan bagaimana subjek memperoleh makna disekelilingsekeliling dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka.



Penelitian dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah (naturalistic) bukan hasil perlakuan (treatment) atau manipulasi variable yang dilibatkan. (Basuki, H.2006). 2. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah anak remaja yang orang tuanya bercerai dengan batasan usia antara usia (12 tahun- 21 tahun) Jumlah subjek dalam penelitian studi kasus ini adalah 1 (satu) orang. 3. Tahap-tahap Penelitian Tahap-tahap penelitian yang dilakukan peneliti adalah: a. Tahap persiapan Meliputi persiapan keperluan pelaksanaan seperti menentukan dan mencari ciri-ciri yang akan menjadi subjek penelitian sesuai dengan kasus penelitian lalu berikutnya membuat pedoman wawancara sesuai dengan tujuan penelitian dan berdasarkan teori yang relevan dengan permasalahan dan terakhir melakukan teknik pengumpulan data lainnya yakni observasi. Pedoman wawancara ini berupa berisi pertanyaan- pertanyaan yang mendasar yang nantinya dapat berkembang dalam wawancara, setelah itu mempersiapkan waktu yang tepat untuk melakukan wawancara berdasarkan kesepakatan bersama antara subjek dan si peneliti. b. Tahap pelaksanaan Melakukan hal-hal yang berkaitan dengan teknis seperti melakukan wawancara dengan subjek sesuai pedoman yang telah dibuat, lalu mengobservasi subjek dan menganalisis data yang telah diterima. c. Tahap analisis data Pada penelitian ini, analisis yang dilakukan pertama-tama terhadap kasus. Peneliti menganalisis hasil wawancara berdasarkan pemahaman terhadap hal-hal yang diungkapkan oleh responden. Data yang telah di kelompokan tersebut oleh peneliti dicoba untuk memahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting serta kata kuncinya, sehingga peneliti dapat megangkat pengalaman, permasalahan, dan dinamika yang terjadi pada subjek. d. Tahap penulisan laporan Dalam penelitian ini, penulisan yang dipakai adalah presentasi data yang didapat yaitu, penulisan data-data hasil penelitian berdasarkan wawansara mendalam dan observasi dengan subjek. Prosesnya dimulai dari data-data yang telah diperoleh dari subjke dipahami kembali dengan membacanya berulang-ulang hingga akhirnya penulis benar-benar mengerti permasalahannya dan kemudian dianalisis, sehingga mendapat gambaran mengenai permasalahan dan pengalaman subjek. Selanjutnya dilakukan interpretasi secara keseluruhan dimana didalamnya tercakup keseluruhan kesimpulan dari penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara semi terstruktur. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode observasi



dengan jenis observasi non partisipan yaitu observasi dimana pengamat berada diluar subjek yang diteliti dan tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan , selain itu subjek juga menggunakan observasi berstruktur yaitu observasi dimana pengamat dalam melaksanakan observasinya menggunakan pedoman pengamatan.



5. Alat Bantu Pengumpul Data Dalam penelitian, informasi atau data yang dibutuhkan bisa dalam bentuk verbal dan non verbal. Oleh sebab itu dalam melakukan observasi dan wawancara peneliti memerlukan beberapa alat bantu yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mempermudah proses jalannya suatu penelitian. Beberapa sarana atau instrumen yang digunakan adalah menggunakan media perekam suara, catatan atau tulisan tangan, pedoman wawancara, dan pedoman observasi. 6. Keakuratan Penelitian Untuk mencapai keakuratan dalam suatu penelitian dengan metode kualitatif, ada beberapa teknik yang digunakan dan salah satu teknik tersebut adalah triangulasi. Triangulasi dapat dibedakan menjadi emapat macam yaitu triangulasi data, pengamat, teori, dan metodologis.Dalam penelitian ini peneliti menggunakan semua triangulasi yang tersedia karena menurut peneliti triangulasi yang tersedia saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. 7. Teknik Analisa Data Data yang diperoleh akan di analisa dengan menggunakan teknik analisa data kualitatif. Adapun tahapan tersebut adalah penyusunan data, Klasifikasi data, Menguji asumsi atau permasalahan yang ada terhadap data, Mencari alternatif penjelasan bagi data, Menulis hasil penelitian.



DAFTAR PUSTAKA



Chaplin J.P (2002). Dictionary of Psychology. New York. Dell Publishing Co. Inc. Elizabeth B. Hurlock.1994. Psikologis Perkembangan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga. Jakarta Holmes, T.H. & Rahe, R.H. 1967. The social readjustment rating scale. Journal of Psychosomatic Research, 11, 213-218. ( 29 Desember 2017 ) John W. Santrock (2007). Perkembangan Anak. Jilid 1 Edisi kesebelas. Jakarta : PT. Erlangga. Karim, Erna. 1999. “Pendekatan Perceraian dari Perspektif Sosiologi”. Dalam Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Lazarus, R.S.,& Folkman, S. 1984. Stress, Appraisal and Coping. New York: Spanger ( 31 Desember 2017 ) Mu'tadin, Z. 2002. Strategi Koping. Diperoleh dari HTTP://www.e-Psikologi .com ( 31 Desember 2017 ) Nugraheni, L. W. 2012. Pola Pengasuhan Remaja dalam Keluarga Broken Home Akibat Perceraian. Jurnal Psikologi UNS. ( 1 Januari 2018 ) Papalia, Diane E. 2008. "Human development (psikologi perkembangan) . Jakarta : Kencana ( 31 Desember 2017 ) Rasmun, 2004. Pengertian Stres, Sumber Stres, dan Sifat Stresor. Dalam: Stres, Koping, dan Adaptasi. Edisi 1. Sagung Seto. Jakarta ( 31 Desember 2017 ) Sinudarsono, Marshela Regina. 2009. Depresi Pada Remaja Putri Keluarga Broken Home Ditinjau dari Persepsi Terhadap Keluarga. Skripsi. Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. ( 29 Desember 2017 )