Broken Home, Kelompok 4 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KAJIAN TENTANG KONSELI DARI KELUARGA BROKEN HOME Disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Konseling Populasi Khusus



Dosen pembimbing : Fajriani, S.Pd., M.Ed Khairiah, S.Pd., M.Ed Oleh kelompok 4 : Nabila Arshadina Rafifah Rafika M. Rama Akbar



1706104030011 1706104030037 17061040300 17061040300



PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA 2020



KATA PENGANTAR



Puja dan puji bagi Allah yang telah mengangkat harkat derajat manusia dengan ilmu dan amal. Berkat keridhaan sang ilahhi rabbi Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kajian Tentang Konseli Dari Keluarga Broken Home“. Shalawat dan salam semoga terlimpah atas Nabi Muhammad SAW dan semoga pula tercurah atas keluarga dan sahabat yang menjadi sumber ilmu dan hikmah. Terutama sekali penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah seminar BK yaitu “ Fajriani, S.Pd., M.Ed & Khairiah, S.Pd., M.Ed ” dan rekan-rekan pelajar yang seperjuangan, yang telah memberikan dukungan begitu besar, dan semoga berkat tersusunnya makalah ini bisa memberikan sedikit panutan pada langkah yang lebih baik lagi. Akhir kata penulis menyadari bahwa makalah ini belum sepenuhnya sempurna dan masih perlu banyak perbaikan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan makalah ini, agar kedepannya menjadi lebih baik.



Banda Aceh, 13 Oktober 2020



Penulis



i



DAFTAR ISI



ii



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang



1.2 Rumusan Masalah



1.3 Tujuan Masalah



1



BAB II PEMBAHASAN



2.1 Pengertian Keluarga Pengertian keluarga secara realitas adalah sekelompok orang yang terdiri dari kepala keluarga dan anggotanya dalam ikatan nikah ataupun nasib hidup dalam satu tempat tinggal, memiliki aturan yang ditaati secara bersama dan mampu mempengaruhi antar anggotanya serta memiliki tujuan dan program yang jelas. Keluarga terdiri atas ayah, ibu, anak, saudara dan kerabat lainnya. Adapun keluarga batin biasanya terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak. Keluarga ini dapat dikatakan sebagai keluarga kecil (Aziz, 2015: 16-17). Keluarga merupakan pendidikan pertama anak. Bapak dan Ibunya berkedudukan sebagai pemimpin dalam rumah tangga, sedangkan anak adalah orang yang dipimpin. Sudah seharusnya dengan kedudukannya masing-masing punya tugas untuk mendidik dan membina dengan penuh tanggungjawab karena setiap pemimpin dalam hal ini sebagai orang tua, akan diminta pertanggungan jawab di hadapan Allah SWT kelak. Menurut Koerner dan Fitzpatrick (dalam Sri Lestari), definisi tentang keluarga setidaknya dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu definisi struktural, definisi fungsional, dan definisi intersaksional. 1) Definisi struktural. Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran dan ketidakhadiran anggota keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya. Definisi memfokuskan pada siapa yang menjadi bagian dari keluarga. Dari perspektif ini dapat muncul pengertian tentang keluarga sebagai asal usul (families of origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih (extended family). 2) Definisi fungsional. Keluarga didefinisikan dengan penekanan pada terpenuhunya tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikologis. Fungsi-fungsi tersebut



2



mencakup perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu. Definisi ini memfokuskan pada tugas-ugas yang dilakukan oleh keluarga. 3) Definisi transaksional. Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculka rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan. Definisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya. 2.2 Keluarga Broken Home Keluarga broken home adalah istilah populer dalam bahasa Inggris yang digunakan untuk menggambarkan keluarga yang mengalami perceraian. Perceraian yang terjadi pada keluarga konseli merupakan titik mula dari perubahan sikap dan emosional mereka. Situasi dan kondisi keluarga yang dahulunya bersama menjadi terpisah. Dalam bahasa Indonesia Broken home diartikan sebuah keluarga di mana orang tua telah bercerai atau berpisah. Pengertian tersebut menunjukkan dengan jelas bagaimana kondisi keluarga broken home secara sempit. Hal tersebut dikarenakan broken home sendiri memiliki arti yang lebih luas tidak hanya pada perceraian dan perpisahan. Broken home dapat juga diartikan dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian dan akan sangat berdampak kepada anak-anaknya khususnya remaja. Broken home bukan hanya berkaitan dengan perceraian atau perpecahan dalam keluarga, namun juga keluarga yang tidak utuh, dalam hal ini ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi sebagai orangtua yang sebenarnya. Berdasarkan pengertian tersebut maka diketahui bahwa pengertian keluarga secara transaksional tidak terbentuk dan keluarga tidak dapat melakukan fungsinya dengan baik.



3



Yang dimaksud kasus keluarga pecah (broken home) dapat dilihat dari dua aspek: 1) Keluarga itu terpecah karena strukturnya tidak utuh sebab salah satu dari kepala keluarga itu meninggal dunia atau telah bercerai. 2) Orang tua tidak bercerai akan tetapi struktur keluarga itu tidak utuh lagi karena ayah atau ibu sering tidak dirumah, dan atau tidak memperlihatkan hubungan kasih sayang lagi. Misalnya orang tua sering bertengkar sehingga keluarga itu tidak sehat secara psikologi. Sebuah kehidupan sangat wajar setiap orang mempunyai sebuah keluarga dan sebuah keluarga dikatakan utuh ketika aspek seperti bapak ibu dan anak ada didalamnya. Banyak keluarga yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun tapi akhirnya berakhir dengan perpecahan atau sering diistilahkan dengan broken home. Bahkan berdasarkan data bahwa terjadi peningkatan jumlah perceraian yang cukup signifikan. Peningkatan jumlah perceraian tentu saja sangat memperihatinkan karena dalam sebuah perceraian akan memberikan dampak buruk psikologi bagi anggota keluarga di dalamnya. ”Jablonska dan Lindber menyatakan bahwa remaja dengan orangtua tunggal memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap prilaku beresiko, menjadi korban dan mengalami distress mental daripada remja dgn orangtua lengkap”. Menurut Hurlock, Broken Home merupakan kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Perlu disadari bahwa banyak perkawinan yang tidak membuahkan kebahagiaan tetapi tidak dia akhiri dengan perpisahan. Permasalahan tersebut dikarenakan perkawinan dilandasi dengan suatu pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi dan alasanalasan yang lain. Perpisahan atau pembatalan perkawinan dapat dilakukan secara hukum maupun dengan diam-diam dan kadang ada juga kasus dimana salah satu pasangan (suami, istri) meninggalkan keluarganya (Hurlock, 1990: 310).



4



Kondisi keluarga yang kurang memberikan peran dalam kehidupan remaja sebagaimana mestinya ini berakibat kurang baik pula bagi pertumbuhan dan perkembangannya,



seperti



yang



diungkapkan



oleh



Sonokeling



dalam



www.lintasberita.com diakses pada 29 Desember 2010 bahwa “broken home merupakan keadaan kurangnya perhatian dari orang tua atau keluarga yang membuat mental anak frustasi, brutal dan susah diatur”. Pandangan di atas juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ahmad As-Sirbuny18, rumah tangga sebagai suatu lembaga mempunyai beberapa fungsi, antara lain: sebagai tempat pembentukan pribadi, karena keluarga menjadi motivator dan pendukung kebutuhan anak. Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama, dan tempat pembinaan dasar, untuk membangun karakter anak. Keluarga juga sebagai tempat yang pertama sekali bagi seorang anak mendapatkan dasar-dasar pendidikan kemasyarakatan, aqidah, ibadah, akhlaq, dan nilai budaya. Selanjutnya, masih menurut pandangan Gomma anak-anak yang mengalami usia perkembangan, cenderung gelisah dan agresif. Sikap-sikap tersebut biasanya muncul dari intraksi mereka dengan lingkungannya terutama dengan kedua orang tuanya. Sikap-sikap ini biasanya muncul dari intraksi mereka dengan kedua orang tuanya dalam lingkungan hidupnya dengan perasaan tidak nyaman yang diperoleh dari kedua orang tuanya. Maka jika sejak kecil anak-anak melihat dan merasakan sesuatu hal yang menakutkan, menggelisahkan, maka lambat laun hal-hal tersebut akan berpindah dan tertanam dalam jiwanya. Menurut beliau juga, bahwa sebagian besar teori menunjukkan bahwa peran pembelajaran melalui pemerhatian bagi anak atau pengaruh lingkungan bagi mereka, sangat besar. Jika orang tua menginginkan anak mereka agar bisa tumbuh dan berkembang jiwanya secara normal dan baik, maka kedua orang tuanya, harus terlebih dahulu menunjukkan sikap-sikap yang baik termasuk sikap social mereka dalam berintraksi. Siswa akan menerima pengaruh dari keluarganya berupa cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi



5



keluarga. Kebanyakan orang tua khususnya dalam perhatian yaitu kurannya memperhatikan anaknya, dan penyebabnya adalah orang tuanya sibuk bekerja, kurangnya keharmonisan dalam keluarga, bahkan broken home, hal itu sangat berdampak bagi anak. 2.3 Ciri Ciri Broken Home Pengertian sebuah keluarga berarti nuclear family yaitu terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah dan ibu secara ideal tidak terpisah dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai orang tua dan mampu memenuhi tugas sebagai pendidik yang paling pertama dan utama bagi anaknya. Namun tidak selamanya kondisi ini dapat terpenuhi dalam sebuah keluarga. Ada kalanya dalam sebuah keluarga terjadi permasalahan sehingga menyebabkan keluarga berada pada kondisi broken home. Ciri-ciri keluarga yang mengalami broken home menurut Yusuf (2009: 44) yaitu: 1) Kematian salah satu atau kedua orang tua. 2) Kedua orang tua berpisah atau bercerai (divorce). 3) Hubungan kedua orang tua tidak baik (poor marriage). 4) Hubungan orang tua dengan orang tua tidak baik (poor parent-child relationship). 5) Suasana rumah tangga tegang dan tanpa kehangatan (high tension and low warmth). 6) Orang tua sibuk dan jarang berada di rumah (parent’s absence). 7) Salah satu atau kedua orang tua mempunyai kelainan kepribadian atau gangguan kejiwaan (personality or psychological disorder) Kebanyakan keluarga yang broken home, lebih memberikan dampak yang negatif bagi remaja karena kurangnya dukungan orang tua/keluarga terhadap pertumbuhan dan perkembangan remaja yang pada dasarnya sedang berada dalam proses pencarian jati dirinya. 2.4 Faktor-faktor Pernyebab Broken Home



6



Persoalan Broken Home bukan persoalan yang bisa dilihat secara fisik melainkan secara batin atau bisa dilihat dari aspek psikologi. Beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa broken home adalah rusaknya hubungan dan peran sebuah keluarga dikarenakan perceraian, salah satu dari orang tuanya meninggal, atau pergi meninggalkan keluarga karena pekerjaan, selingkuh, dan lain-lain yang menyebabkan ketidakharmonisan dan berakibat pada kondisi mental anak. Menurut (Suraptri, 2011) faktor penyebab dari Broken Home ini adalah sebagai berikut ini : 1) Orang tua yang bercerai. Perceraian menunjukkan suatu kenyataan dari kehidupan suami istri yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang dasar dasar perkawinan yang telah terbina bersama telah goyah dan tidak mampu menompang keutuhan kehidupan keluarga yang harmonis. Dengan demikian hubungan suami istri antara suami istri tersebut makin lama makin renggang, masing-masing atau salah satu membuat jarak sedemikian rupa sehingga komunikasi terputus sama sekali. 2) Kebudayaan bisu dalam keluarga Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog antar anggota keluarga. Keluarga yang tanpa dialog dan komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan rasa jengkel dalam jiwa anak-anak. Bila orang tua tidak memberikan kesempatan dialog dan komunikasi dalam arti yang sungguh yaitu bukan basa basi atau sekedar bicara pada hal-hal yang perlu atau penting saja, anak-anak tidak mungkin mau mempercayakan masalahmasalahnya dan membuka diri. Mereka lebih baik berdiam diri saja. Kenakalan remaja dapat berakar pada kurangnya dialog dalam masa kanakkanak dan masa berikutnya, karena orangtua terlalu menyibukkan diri sedangkan kebutuhan yang lebih mendasar yaitu cinta kasih diabaikan. Akibatnya anak menjadi terlantar dalam kesendirian dan kebisuannya. 3) Perang dingin dalam keluarga



7



Perang dingin dalam keluarga yaitu kurang terciptanya dialog, perselisihan dan kebencian dari masing-masing pihak. Awal perang dingin dapat disebabkan karena suami mau memenangkan pendapat dan pendiriannya sendiri, sedangkan istri hanya mempertahankan keinginan dan kehendaknya sendiri. Suasana perang dingin dapat menimbulkan: a) Rasa takut dan cemas pada anak-anak. b) Anak-anak menjadi tidak betah dirumah sebab merasa tertekan dan bingung serta tegang. c) Anak-anak menjadi tertutup dan tidak dapat mendiskusikan problem yang dialami. d) Semangat belajar dan konsentrasi mereka menjadi lemah. e) Anak-anak berusaha mencari kompensasi semu. Berdasarkan beberapa faktor penyebab diatas dapat disimpulkan bahwa broken home lebih banyak bersumber dari permasalahan orang tua. Anak lebih berperan sebagai korban dalam kasus broken home ini. Perkembangan dan pertumbuhan anak menjadi kurang optimal karena anak tidak mendapatkan pemenuhan terhadap kebutuhannya terutama kebutuhannya akan cinta dan kasih sayang. 2.5 Pola Asuh Keluarga Broken Home Keluarga merupakan pendidikan pertama anak. Oleh sebab itu, pola asuh di dalam keluarga akan berpengaruh signifikan terhadap segala aspek perkembangan anak. Beberapa hal yang menjadi temuan di dalam penelitian ini terkait dengan pola asuh di dalam keluarga broken home, sebagai berikut: 1. Kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua Keluarga broken home adalah istilah populer dalam bahasa Inggris yang digunakan untuk menggambarkan keluarga yang mengalami perceraian. Perceraian yang terjadi pada keluarga partisipan merupakan titik mula dari perubahan sikap dan emosional mereka. Situasi dan kondisi keluarga yang



8



dahulunya bersama menjadi terpisah. Widyarini (2009:35-36) menjelaskan bahwa perceraian orang tua merupakan kehancuran bagi kehidupan anak. Perceraian akan menorehkan luka batin bagi anak sehingga orang tua wajib untuk meminimalisir penderitaan anak. Anak membutuhkan perhatian dan kasih sayang orang tua guna meneteramkan hatinya. 2. Kurang Interaksi dengan Orang Tua Kurangnya interaksi dengan salah satu orang tua menjadi konsekuensi yang harus ditanggung oleh anak-anak korban perceraian pada umumnya. Soetjiningsih (2015:10) menjelaskan bahwa interaksi anak dan orang tua adalah langkah untuk menumbuhkan keakraban dalam keluarga. Dengan demikian, anak mau terbuka dan mendiskusikan masalahnya bersama orang tua. Interaksi yang berkualitas akan mampu mengantarkan orang tua untuk memahami dan memenuhi kebutuhan anak secara optimal yang dilandasi kasih sayang. Menurut Trianingsih, R., dkk (2019) pola asuh di dalam keluarga broken home yang cenderung kurang interaksi antara orang tua dan anak, kurangnya bimbingan orang tua, kurangnya kasih sayang secara psikologi mengakibatkan beberapa kecenderungan perilaku moral partisipan sebagai berikut: 1. Membuat kesalahan dan tidak mau minta maaf. 2. Sering tidak mentaati tata tertib sekolah. 3. Mencari perhatian dengan membuat kegaduhan saat jam pelajaran. Selain dampak pada perkembangan moral anak, pola asuh keluarga broken home dalam penelitian ini juga memberikan dampak terhadap perkembangan psikososial anak. Adapun kecenderungan yang dirasakan dan tampak dalam diri partisipan sebagai berikut. 1. Tidak semangat mempelajari pengalaman baru. 2. Anak tidak percaya diri. 3. Sering membandingkan dirinya dengan teman.



9



2.6 Broken Home terhadap Perkembangan Anak (remaja) Broken home memiliki dampak yang berbeda-beda bagi seorang anak yang akan dikelompokkan berdasarkan fase usia. Hal ini dialami oleh kebanyakan orang yang mengalami dampak yang berbeda dalam setiap usia penulis. Perbedaanperbedaan dampak berdasarkan fase usia ini divisulisasikan dalam karya-karya broken home di skripsi ini. Penulis membagi menjadi empat fase dampak broken home ini yaitu : 1) Fase pertama adalah perpecahan keluarga atau kematian cinta kasih dalam Keluarga. 2) Fase kedua adalah fase keterasingan, kekosongan dan kesendirian seorang anak korban broken home. 3) Fase ketiga adalah fase pertumbuhan kedewasaan saat korban broken home memiliki rasa memberontak, rasa ingin balas dendam. 4) Fase keempat adalah fase kedewasaan saat korban broken home mulai menemukan bahwa pelarian, protes, ketidakikhlasan bukanlah jalan keluar. Korban mulai memiliki mimpi dan tujuan untuk diperjuangkan, korban mulai harus mengisi hidupnya dengan soul of life, kehidupan yang memiliki nyawa, kehidupan yang memiliki jiwa untuk meraih mimpi dan cita-citanya. Melihat pendapat diatas, tentunya broken home lebih banyak memberikan dampak negatif daripada positifnya bagi perkembangan anak. Walaupun begitu, tidak semua anak akan terjebak dalam dampak –dampak negatif dari broken home tersebut. Anak yang memilliki konsep diri dan pertahanan yang baik tentunya akan dapat mengatasi dan menghadapi keadaan tersebut dengan baik pula tanpa terjerumus kedalam dampak-dampak yang diakibatkan oleh broken home. 2.7 Masalah-masalah yang dihadapi anak broken home Terdapat beberapa masala-masalah yang dihadapi oleh anak broken home berdasarkan penelitian Rahmi, S., dkk (2014), antara lain:



10



1. Masalah Kegiatan Belajar Berdasarkan hasil penelitian pada 39 siswa yang berasal dari keluarga broken home pada masalah kegiatan belajar ini adalah 70,1% dan masalah terbanyak yang dihadapi siswa yaitu pada item pernyataan tidak konsentrasi belajar karena memikirkan perceraian orangtua, yaitu sebanyak 78,5%. Perceraian orangtua membuat anak menjadi ikut gelisah dalam menghadapi dan menjalani status apa yang akan disandangnya nanti. Biasanya akan muncul pikiran-pikiran negatif tentang keadaan keluarganya nanti sehingga membuat mereka merasa tertekan. Hal ini sesuai dengan pendapat Asfriyati (2011) menambahkan peceraian orangtua membuat semangat belajar dan konsentrasi mereka menjadi lemah dalam belajar karena merasa tertekan atas kejadian tersebut. Selanjutnya Agus Somantori (2012) mengatakan efek-efek kehidupan seorang broken home salah satunya adalah academic problem; seorang yang mengalami broken home akan menjadi orang yang pemalas belajar dan tidak bersemangat untuk berprestasi. 2. Masalah Keadaan Diri Sendiri Berdasarkan hasil penelitian pada 39 siswa yang berasal dari keluarga broken home menghadapi masalah keadaan diri sendiri adalah 71,2% dan masalah terbanyak yang dihadapi siswa yaitu pada item pernyataan mengahayal terlahir dari keluarga bahagia, sebanyak 82,1%. Mereka menjadi tidak dapat menerima keadaan keluarga dan orangtua khususnya, merekapun memilih untuk menghayal memiliki keluarga yang lebih baik atau bahkan merasa tertwekan dengan keadaan yang tidak semestinya sesuai dengan harapan mereka ini. Sesuai dengan pendapat tersebut Hetherington (dalam Shaffer David R., 1994:468) mengungkapkan mereka sendiri sering marah, takut, dan tertekan tentang kejadian tersebut dan mungkin merasa bersalah juga, terutama jika mereka anak-anak prasekolah, yang cenderung berpikir bahwa mereka bertanggungjawab atas perpisahan orangtua mereka itu. 3. Masalah Kehidupan Keluarga



11



Siswa yang berasal dari keluarga broken home pada masalah kehidupan keluarga ini menghadapi masalah sebanyak 69,9% dan masalah terbanyak yang dihadapi siswa yaitu pada item pernyataan perhatian ayah/ibu mereka berkurang karena waktu sehari-hari lebih banyak untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarga dengan persentase 80%. Hal ini dikarenakan para orangtua yang telah bercerai tentu akan bekerja dua kali lebih keras dari pada biasanya. Sebagaimana yang diungkapkan Gestwicki Carol (2004:512) bahwa usai perceraian, pola bekerja para ibu akan makin meningkat dan standar kehidupan berubah seiring dengan meningkatnya tekanan ekonomi keluarga. Pekerjaan yang semula dibagi berdua dengan pasangan, sekarang harus dijalani sendiri agar kebutuhan keluarga, sekolah anak dan lainnya dapat terpenuhi seperti sebelum terjadi perceraian. Keadaan ini membuat orangtua tidak memiliki waktu untuk anak sehingga anak merasa tidak diperhatikan orangtua. 4. Masalah Pergaulan Dengan Teman Sebaya Berdasarkan hasil penelitian pada 39 siswa yang berasal dari keluarga broken home pada masalah pergaulan dengan teman sebaya ini adalah 61,6% dan masalah terbanyak yang dihadapi adalah pada item pernyataan hanya bergaul dengan sesama jenis karena merasa nyaman jika berkeluh kesah dengan mereka, yaitu sebanyak 69,2%. Sesuai dengan pendapat Allison (dalam Shaffer David R., 1994: 469) menyatakan perceraian orangtua tidak hanya berdampak pada kebiasaan buruk di rumah, tapi juga pada pergaulan dengan teman sebaya, akademik dan gangguan perilaku di sekolah. Dalam hal pergaulan dengan teman sebaya ini kebanyakan siswa yang berasal dari keluarga broken home menarik diri dari pergaulan karena merasas takut dicemooh oleh teman, malu dengan keadaan keluarga dan banyak hal negatif yang mereka pikirkan yang membuat mereka menjadi pribadi yang tetutup bahkan terkesan antisosial. Siswa broken home juga memilih berteman dengan teman yang sejenis agar mereka merasa nyaman untuk berkeluh kesah



12



atau hanya sekedar mengobrol. Karena mereka merasa jika sejenis, perasaan dan pendapat yang dimiliki akan sama berbeda dengan lawan jenis yang memungkinkan untuk tidak sependapat. 2.8 Dampak Broken Home terhadap Anak Menurut Hasanah, S., dkk (2016) berikut ini terdapat beberapa dampak dari broken home terhadap anak, antara lain: 1. Anak kurang mendapat perhatian, kasih sayang, dan tuntunan pendidikan orangtua, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan serta konflik batin sendiri. 2. Kebutuhan fisik maupun psikis remaja menjadi tidak terpenuhi. Keinginan dan harapan anak-anak tidak bisa tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapat kompensasinya. 3. Anak-anak tidak pernah mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan dengan disiplin dan kontrol diri yang baik. Beberapa dampak yang muncul dari seseorang yang mengalami broken home Suprapti, Z (2011), antara lain : Menurut Nurmalasari ada beberapa dampak yang juga dapat disebabkan dari keluarga yang broken home bagi perkembangan anak adalah sebagai berikut: 1) Psychological disorder yaitu anak memiliki kecenderungan agresif, introvert, menolak untuk berkomitmen, labil, tempramen, emosional, sensitif, apatis, dan lain-lain. 2) Academic problem yaitu kecenderungan menjadi pemalas dan motivasi berprestasi rendah. 3) Behavioral problem yaitu kecenderungan melakukan perilaku menyimpang seperti bullying, memberontak, bersikap apatis terhadap lingkungan, bersikap



13



destruktif terhadap diri dan lingkungannya (merokok, minum-minuman keras, judi dan free sex). Dari segi kejiwaan (psikologis), seseorang yang mengalami broken home akan berakibat seperti : 1. Broken Heart, seseorang akan merasakan kepedihan dan kehancuran hati sehingga memandang hidup ini sia sia dan mengecewakan. Kecenderungan ini membentuk si individu tersebut menjadi orang yang krisis kasih dan biasanya lari kepada yang bersifat keanehan sexual. Misalnya sex bebas, homo sex, lesbian, jadi simpanan orang, tertarik dengan istri atau suami orang lain dan lain-lain (Amin, 2018). 2. Broken Relation, seseorang merasa bahwa tidak ada orang yang perlu di hargai, tidak ada orang yang dapat dipercaya serta tidak ada orang yang dapat diteladani (Astuti, 2015). Kecenderungan ini membentuk si individu menjadi orang yang masa bodoh terhadap orang lain, ugal ugalan, cari perhatian, kasar, egois, dan tidak mendengar nasihat orang lain, cenderung “semau gue”, 3. Broken Values (Prabandani & Santoso, 2017) seseorang kehilangan ”nilai kehidupan” yang benar. Baginya dalam hidup ini tidak ada yang baik, benar, atau merusak yang ada hanya yang ”menyenangkan” dan yang ”tidak menyenangkan”, pokoknya apa saja yang menyenangkan saya lakukan, apa yang tidak menyenangkan tidak saya lakukan. 2.9 Pendekatan dan Teknik Konseling 1) Rational Emotive Therapy Menurut WS. Winkel mengungkapkan bahwa Rational Emotive Therapy adalah corak konseling yang menekankan kebersamaan dan interaksi antara berpikir akan sehat (rational thingking), berperasaan (emoting), dan berperilaku (acting) serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam dalam cara berpikir dan berperasaan dapat mengakibatkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku. Menurut Gerald Corey mengungkan Rational Emotive Therapy adalah pemecahan



14



masalah yang menitikberarkan pada aspek berpikir, menilai, memutuskan, direktif tanpa banyak berurusan dengan dimensidimensi perasaan. Dalam pendekatan Rational Emotive Therapy terdapat berbagai teknik yang mana teknik-tekniknya mencakup tiga aspek yakni aspek kognitif, afektif, dan behavior sehingga pemilihan teknik dalam pendekatan Rational Emotive Therapy perlu memperhatikan dan menyesuaikan dengan kondisi serta masalah yang dialami konseli. Willis menyebutkan beberapa teknik dalam pendekatan Rational Emotive Therapy antara lain: a) Sosiodrama yaitu sandiwara singkat yang menjelaskan masalahmasalah kehidupan sosial. b) Modelling yaitu teknik ini konseli dapat mengamati seseorang yang menjadikan modelnya untuk berperilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model. c) Reinforcement yaitu teknik yang digunakan untuk mendorong konseli kearah perilaku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun punishment (hukuman). Teknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irasional pada konseli dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif. Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka konseli akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya. d) Dispute Cognitive yaitu teknik yang digunakan untuk mengubah keyakinan irasional konseli melalui philosophical, persuation, didactic, presentation, socratic dialogue, vicarious experinces dan berbagai ekspresi verbal lainnya. e) Self control yaitu konseli diajarkan cara-cara mengendalikan diri dan menahan emosi. f) Home Work Assigments (pemberian tugas rumah) yaitu teknik yang digunakan untuk memberikan konseli tugas-tugas rumah untuk melatih membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai



15



tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, konseli diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide serta perasaan-perasaan yang irasional dan ilogis dalam situasi-situasi tertentu, mempraktekkan respon-respon tertentu berkonfrontasi dengan verbalisasi dari yang mendahului, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihanlatihan tertentu berdasarkan tugas yang telah diberikan. g) Simulasi yaitu melalui bermain peran antara konselor dan konseli h) Bibiliografi yaitu dengan memberikan bahan bacaan tentang orangorang yang mengalami masalah yang hampir sama dengan konseli dan akhirnya dapar mengatasi masalahnya atau bahan bacaan yang dapat meningkatkan cara berpikir konseli agar lebih rasional. 2) Teknik Behavior Menurut Gerald Corey (1988: 196) Behavior merupakan salah satu teknik guna merubah tingkah laku yang lebih adaptif. Pendekatan ini dirasa lebih efektif untuk menangani kasus-kasus dalam dunia pendidikan, khususnya maladaptive. Berfokus pada modifikasi tingkah laku menjadi ciri yang sangat menonjol dalam teknik behavior. Teknik ini berkembang mulai tahun 1950-an hingga sekarang, teknik behavior masih relevan untuk diterapkan. Penting untuk diketahui bahwa behavior ini merupakan aspek gerakan memodifikasi tingkah laku pada taraf yang masih bias didefinisikan secara operasional, diamati dan diukur. Manusia mempunyai potensi positif dan negativ yang bias jadi terbentuk karena faktor lingkungan social budaya. Adapun ciri behavior dapat dilihat dari : a) Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak. b) Kecermatan dan penguraian tujuantujuan treatment. c) Perumusan prosedur treatment yang spesifik sesuai dengan masalah. d) Penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.



16



Arah dari behavior dasarnya adalah mengarah pada perolehan tingkah laku baru yang lebih adaptif, sehingga dapat menghapus tingkah laku yang maladaptive. Serta tingkah laku dapat diasosiasikan dengan tingkah aku yang nampak, dan berpusat pada here and Now. Semua tingkah laku dapat dipelajari baik yang adaptif maupun yang maladaptive. Belajar merupakan cara efektif mengubah tingkah laku maladaptif. Corey (1988: 212-220) menuturkan macam-macam teknik behavior antara lain: a) Desensititasi sitematik Ini merupakan salah satu teknik paling luas dalam behavior. Desensititasi sitematik digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dengan menyertakan pemunculan tingkah laku yang hendak dihapuskan. Hal ini klien diarahkan untuk menampilkan suatu respon yang tidak konsisten dengan kecemasan. Wolpe dalam bukunya Corey membagi prosedur desensitisasi pertama-analisis tigkah laku atas stimulus-stimulus yang bias membangkitkan kecemasan dalam suatu wilayah tertentu seperti penolakan, rasa iri. Kedua-lahatian relaksasi. Ketiga-membuat keadaan klien santai dengan mata tertutup. b) Asertif Klien belajar untuk membedakan tingkah laku agresif, pasif dan asertif. Tujuannya agar klien belajar bertingkah laku asertif. c) Aversi Teknik ini untuk meredakan gangguan behavior yang spesifik. Agar tingkah laku sesuai yang diinginkan, maka stimulannya adalah berupa hukuan-hukuman. d) Teknik Relaksasi Teknik yang digunakan untuk membantu konseli mengurangi ketegangan fisik dan mental dengan latihan pelemasan otot-ototnya



17



dan pembayangan situasi yang menyenangkan saat pelemasan ototototnya sehingga tercapai kondisi rilek baik fisik dan mentalnya. e) Teknik Flooding Teknik yang digunakan konselor untuk membantu konseli mengatasi kecemasan dan ketakutan terhadap sesuatu hal dengan cara



menghadapkan



konseli



tersebut



dengan



situasi



yang



menimbulkan kecemasan tersebut secara berulang-ulang sehingga berkurang kecamasannya teradap situasi tersebut. f) Reinforcement Technique Teknik yang digunakan konselor untuk membantu meningkatkan perilaku yang dikehendaki dengan cara memberikan penguatan terhadap perilaku tersebut. g) Modelling Teknik untuk memfasilitasi perubahan tingkah laku konseli dengan menggunakan model. h) Cognitive restructuring Teknik yang menekankan pengubahan pola pikiran, penalaran, sikap konseli yang tidak rasional menjadi rasional dan logis. i) Self Management Teknik yang dirancang untuk membantu konseli mengendalikan dan mengubah perilaku sendiri melalui pantau diri, kendali diri, dan ganjar diri. j) Behavioral Rehearsal Teknik penggunaan pengulangan atau latihan dengan tujuan agar konseli belajar ketrampilan antarpribadi yang efektif atau perilaku yang layak. k) Kontrak Suatu kesepakatan tertulis atau lisan antara konselor dan konseli sebagai teknik untuk memfasilitasi pencapaian tujuan konseling. Teknik ini memberikan batasan, motivasi, insentif bagi pelaksanaan



18



kontrak, dan tugas-tugas yang ditetapkan bagi konseli untuk dilaksanakan anatr pertemuan konseli. l) Pekerjaan Rumah Teknik yang digunakan dengan cara memberikan tugas / aktivitas yang dirancang agar dilakukan konseli antara pertemuan konseling seperti mencoba perilaku baru, meniru perilaku tertentu, atau membaca bahan bacaan yang relevan dengan maslah yang dihadapinya. m) Time-out Time-out merupakan teknik menyisihkan peluang individu untuk mendapatkan penguatan positif. Time-out tehnik akan dilakukan apabila konseli membolos sekolah dijam pelajaran, gambarannya jika siswa ketahuan membolos pada jam pelajaran efektif, maka konsekuensinya adalah membersihkan kamar mandi, dan itu dilakukan hingga perilakunya membolos dapat berhenti. 3) Konseling realitas Konseling realitas merupakan suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang. Konselor dalam konseling realita mengajarkan tingkah laku yang bertanggung jawab agar individu mampu menghadapi segala kenyataan yang harus dijalani dan memenuhi kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti terapi realita adalah penerimaan tanggung jawab pribadi, yang dipersamakan dengan kesehatan mental. Menurut Latipun (2006: 155) konseling realita adalah pendekatan yang berdasarkan pada anggapan tentang adanya suatu kebutuhan psikologis pada seluruh kehidupannya; kebutuhan akan identitas diri, yaitu kebutuhan untuk merasa unik, terpisah, dan berbeda dengan orang lain. Pandangan terapi realita menyatakan bahwa, Karena individu-individu bisa mengubah cara hidup, perasaan dan tingkah lakunya, maka mereka pun bisa mengubah identitasnya yang bergantung pada perubahan tingkah laku. Jadi jelas bahwa



19



konseling realita dibangun diatas asumsi bahwa manusia adalah yang menentukan dirinya sendiri, memiliki tanggung jawab untuk menerima konsekuensi-konsekuensi dan tingkah lakunya sendiri dan menjadi apa yang ditetapkannya. Terapi realita sangat berguna apabila menganggap identitas dalam pengertian “identitas keberhasilan” dan “identitas kegagalan”. Dalam pembentukan identitas, masing-masing dari kita mengembangkan keterlibatan dari orang lain dan dengan bayangan diri, sehingga kita merasa relatif berhasil atau tidak berhasil. Orang lain memiliki peran penting dalam membantu kita menjelaskan dan memahami identitas diri kita. Identitas diri ini berkaitan dengan konsep diri yang dimiliki individu. Oleh karena itu konseling realita digunakan sebagai pendekatan dalam membantu mengubah konsep diri negatif menjadi konsep diri yang positif pada siswa broken home. Konseling realita merupakan konseling yang aktif secara verbal, yang menekankan rasional konseli dan difokuskan pada kekuatan-kekuatan dan potensi-potensi konseli yang dihubungkan dengan tingkah lakunya sekarang dan usahanya untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Konselor membantu konseli menyadari tingkah lakunya, membuat pertimbangan nilai atas tingkah lakunya, dan mengarahkan konseli membuat rencana pengubahan tingkah lakunya. Beberapa teknik konseling yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut : a) Terlibat main peran dengan konseli. b) Menggunakan humor. c) Mengkonfrontasikan konseli dan menolak dalih apa pun. d) Membantu konseli dalam merumuskan perencanaan perubahan tindakan. e) Bertindak sebagai model dan guru. f) Menentukan batas-batas dan menyusun struktur konseling yang sesuai. g) Menggunakan “terapi kejutan verbal” atau sarkasme yang layak untuk mengkonfrontasikan konseli dengan tingkah lakunya yang tidak realistis



20



h) Melibatkan diri dengan konseli dalam upaya mencari kehidupan yang lebih efektif (Corey, 2003: 282). 2.10 Peran Konselor Mengatasi Keluarga Broken Home Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi keluarga broken home adalah konseling keluarga yaitu terdiri dari interaksi antar keluarga, kontrak awal sebelum melakukan konseling (A. Sari, 2016) membantu keluarga berkomunikasi pada sesi awal, meningkatakan kesadaran dan dinamika keluarga, memadukan konseling individual dengan kerja keluarga keseluruhan. Konseling keluarga melibatkan seluruh anggota keluarga, dari upaya yang telah dilakukan orang tua dibutuhkan ketaatan remaja “bermasalah” agar segera keluar dari permasalahan (internal ataupun eksternal). Selain upaya yang sudah disebutkan di atas, pemenuhan kebutuhan jiwa remaja akan menghindarkan atau mengatasi perilaku menyimpang pada remaja. Penanaman pedidikan karakter oleh konselor bekerja sama dengan keluarga sangat penting untuk perkembangan remaja agar meningkatkan self disclosure remaja tersebut (Ifdil, 2010) Upaya yang dapat dilakukan guru bimbingan dan konseling untuk membantu menentaskan permasalahan yang dihadapi siswa yang berasal dari keluarga broken home dengan melaksanakan program bimbingan yang menerapkan berbagai jenis layanan bimbingan dan konseling yang ada. Program bimbingan konseling dapat dilaksanakan menggunakan acuan beberapa pernyataan instrumen penelitian yang menggungkapkan bahwa siswa tersebut bermasalah. 1. Layanan Informasi Seperti memberikan layanan bimbingan dan konseling mengenai kosentrasi belajar dan menerima keadaan keluarga dengan ikhlas tanpa berpikir seandainya terlahir dari



keluarga



bahagia



melalui



layanan



informasi. Menurut Prayitno dan Erman Amti (2004:259) ada tiga alasan mengapa layanan informasi perlu diselenggarakan; (1)membekali individu dengan berbagai pengetahuan tentag lingkungan sekitar, pendidikan, jabatan,



21



maupun sosial budaya, (2)



memungkinkan individu menentukan arah



hidupnya, (3) setiap individu itu unik. Dalam layanan informasi dapat diberikan materi tentang bagaimana



meningkatkan konsentrasi belajar dan



meningkatkan kualitas keakraban dengan keluarga. Prayitno dan Erman Amti (2004: 260) menjelaskan “layanan informasi berguna untuk memberikan pemahaman kepada individu yang berkepentingan tentang berbagai hal yang diperlukan untuk menjalani suatu tugas atau kegiatan”. 2. Layanan Konseling Individual Memberikan



layanan



konseling



perorangan



terkait



masalah



berkurangnya perhatian ayah atau ibu karena waktu sehari-hari lebih banyak untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarga dan membina komunikasi siswa yang berasal dari keluarga broken home dengan lawan jenis. Layanan konseling individual bertujuan mengentaskan masalah yang dialami klien”. 3. Layanan Bimbingan Kelompok Menurut Prayitno (2004: 309-310) menyatakan bimbingan kelompok adalah layanan bimbingan yang diberikan dalam suasana kelompok. Dalam bimbingan kelompok ini memungkinkan siswa untuk memperoleh informasi tentang keperluan tertentu untuk anggota kelompok. Lebih jauh, informasi itu berguna untuk menyusun rencana dan membuat keputusan, atau keputusan lain yang relevan dengan nformasi yang dibutuhkan. 4. Layanan Konseling Kelompok Menurut Prayitno (2004: 311-313) menerangkan layanan konseling kelompok memungkinkan siswa memperoleh kesempatan bagi pembahasan dan pengentasan masalah yang dialami melalui dinamika kelompok. Dengan layanan ini, diharapkan siswa atau klien, mampu untuk secara terbuka menyampaikan



masalah



yang



dialaminya sehingga



masalah



yang



dialaminya dapat dientaskan bersama-sama melalui dinamika kelompok.



22



Selain itu layanan ini juga bertujuan untuk melatih keberanian siswa atau klien untuk berbicara di depan umum. Layanan konseling kelompok pada dasarnya adalah layanan konseling perorangan yang dilakukan di dalam suasana kelompok, dalam layanan ini bisa juga membantu mengurangi kecemasan siswa dalam berkomunikasi (Aswida & Syukur, 2012) khususnya untuk siswa yang sering menyendiri sebagai akibat adanya disharmonis keluarga. Melalui bimbingan kelompok dan konseling kelompok dapat mengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan, dan sikap yang menunjang perwujudan tingkah laku lebih efektif. Kemudian dapat mengembangkan kemampuan berkomunikasi baik



verbal maupun



non



verbal agar siswa dapat bergaul dengan nyaman dengan semua teman walaupun berbeda jenis kelamin. 5. Layanan Penguasaan Konten Menurut Prayitno (2004: 279) menjelaskan pengertian layanan penguasaan konten adalah layanan penguasaan konten merupakan layanan bantuan kepada individu untuk menguasai kemampuan atau kompetensi tertentu melalui kegiatan belajar. Tujuannya adalah untuk menambah wawasan dan pemahaman, mengarahkan penilaian, sikap, menguasai cara-cara atau kebiasaan tertentu untuk memenuhi kebutuhannya dan mengatasi masalahmasalahnya. Erat kaitannya perhatian orang tua



dengan motivasi siswa



untuk meningkatkan prestasi belajar serta berhubungan dengan penyelesaian tugas-tugas (Febriany & Yusri, 2013). Dengan adanya layanan penguasaan konten dapat membantu siswa dalam meningkatkan motivasi dan prestasi belajar.



23



BAB III PENUTUP



3.1 Kesimpulan



3.2 Saran



24



DAFTAR PUSTAKA Amin, M. N. (2018). Pencegahan Penggunaan Narkoba Pada Siswa Melalui Pendidikan Agama. E-Prosiding PKM, 1(1), 189–195. Astuti, M. (2015). Subjective well-Being pada remaja dari keluarga broken home. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Aswida, W., & Syukur, Y. (2012). Efektifitas Layanan Bimbingan Kelompok Dalam Mengurangi Kecemasan Berkomunikasi Pada Siswa. Konselor, 1(2). Corey, Gerald. (1988). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Eresco. Corey, Gerald. (2003). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Rafika Aditama. Febriany, R., & Yusri, Y. (2013). Hubungan Perhatian OrangTua dengan Motivasi Belajar Siswa Dalam Mengerjakan Tugas-Tugas Sekolah. Konselor, 2(1). Hasanah S, dkk. (2016). Broken Home Pada Remaja dan Peran Konselor. Jurnal Riset Tindakan Indonesia: Jurnal Pendidikan Indonesia, 2(2), 1-6. Ifdil, I. (2010). Pendidikan Karakter dalam Bimbingan dan Konseling. Pedagogi: Jurnal Ilmu Pendidikan, 10(2), 55–61. Latipun. (2002). Psikologi Konseling. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Lubis, Namora Lumongga. (2011). Memahami Dasar-Dasar Konselig Dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana. Prabandani, L., & Santoso, H. P. (2017). The Correlation between The Intensity of Broken Home Family Communication and Peer Group Interaction with Adolescent’s Self Concept. Interaksi Online, 21(1), 1–14. Prayino dan Erman Amti. (2004). Dasar- dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta Rahmi S, dkk. (2014). Masalah-Masalah Yang Dihadapi Siswa Yang Berasal Dari Keluarga Broken Home Dan Implikasinya Terhadap Program Layanan Bimbingan Dan Konseling, Jurnal: Konselor, 3(1), 1-6.



25



Sari, A. (2016). Konseling Keluarga untuk Mencegah Perceraian. Jurnal EDUCATIO: Jurnal Pendidikan Indonesia, 2(1). Soetjiningsih. (2015). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Suprapti, Z. (2011). Mengatasi Kenakalan Remaja pada Siswa Broken Home Melalui Konseling Realita di SMA Negeri 4 Pekalongan (Skripsi). Jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Trianingsih, R., dkk. (2019). Pengaruh Keluarga Broken Home Terhadap Perkembangan Moral dan Psikososial Siswa Kelas V SDN 1 Sumberbaru Banyuwangi. Jurnal Pena Karakter: Jurnal Pendidikan Anak dan Karakter, 2(1), 9-16. Widyarini, N. (2009). Relasi Orang Tua dan Anak. PT Elex Media Kumputindo. Winkel, W.S. (1991). Bimbingan dan Konseling Islam di Institusi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.



26