Studi Governance Lintas Budaya (TKO) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Studi Governance Lintas Budaya; Implikasi Konseptual dan Metodologis



Bagian ini membahas pentingnya peneliti untuk memahami serta mengapresiasi latar belakang budaya mereka sendiri sebelum melakukan penelitian bersifat lintas budaya (cross-cultular studies). hal ini dimaksud menjadi kritikal karena peranan budaya didalam penelitian terkategori lintas budaya berpengaruh terhadap aspek konseptual dan metodologis keilmuan dalam rangkaian proses penelitian yang dilakukan.



Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan globalisasi, terdapat kecenderungan para peneliti, ahli dan akademisi dalam bidang governance memberikan perhatian dan mengapresiasi semakin pentingnya aspek budaya dalam pemikiran governance dan praktik bisnis dimasa depan. Melalui pehaman komperehensif dan holistik terhadap berbagai aspek budaya dapat memberikan dasar untuk menentukan cara agar konsepsi governance dapat diduplikasi dalam konteks budaya yang berbeda. Dalam kaitan ini berbagai studi yang berkaitan dengan fenomena budaya dapat dilakukan melalui dua cara: pertama, melalui pengembangan model penelitian yang sudah ada sebelumnya atau kedua, melakukan replikasi terhadap preset design models untuk kontek budaya yang berbeda.



Peranan Buadaya dalam Penelitian Terminologi budaya telah didefinisikan secara variatif berdasarkan cara dan sudut pandang yang berbeda (Ferraro, 1998). Misalnya, Hofstede (1984a) mendefinisikan budaya sebagai ‘cara’ sekelompok individu dalam masyarakat menyelesaikan masalah mereka dan melakukan rekonsiliasi terhadap berbagai dilema yang dihadapi dengan ‘cara mereka’. hubungan dengan penelitian lintas budaya, isu tersebut berkaitan dengan kenyataan bahwa sebuah teori atau konstruk dan proses penelitian yang dapat diaplikasikan pada suatu konteks budaya, tidak selamanya selalu sesuai untuk diaplikasikan pada konteks budaya, tidak selamanya selalu sesuai untuk diaplikasikan pada konteks budaya yang berbeda.



Berbagai Isu Budaya dan Dimensi Penelitian Burrel dan Morgan (1979) membedakan sifat alamiah dunia sosial yang relevan untuk menjadi rujukan dalam melakukanpenelitian diranah ilmu sosial menjadi dua dimensi; subjektifistik dan objektifistik. Berdasarka sudut pandang sujektifistik maka



seorang peneliti akan mengumpulkan informasi berdasarkan pendekata metode ideographic (qualitative). tujuannya adalah agar peneliti dapat terlibat secara rasional maupun emosional terhadap fenomena yang diteliti, sehingga dapat melakukan observasi seacara baik dan menghasilkan keluaran penelitian yang memenuhi asumsi dari dimensi subjectivist. Simensi objectivist disisi lainnya menggunakan asumsi ontologi realisme (the realism ontology) dan epistomologi positivisme (the positivism epistemology). Dimensi Objectifistik memberikan penekanan pada penggunaan metedologi nomothetic (quantitative) didalam mengumpulkan informasi untuk mnecapai tujuan penelitian yang dilakukan. Terlepas dari dimensi manapun (subjectivist atau objectivist) yang digunakan oleh peneliti, setiap peneliti harus memperhatikan secara jelas dan penuh kehati-hatian pentingnya isu budaya dalam berbagaielemen riset yang dilakukan dalam konteks budaya riset yang berbeda.



Penelitian Lintas Budaya Brislin (1976) mendefinisikan penelitian lintas budaya (cross-cultular research) sebagai suatu studi empirikal yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok peneliti dari beragam latar budaya dengan pengalaman yang berbeda, sehingga memiliki perilaku penelitian yang berbeda secara signifikan. Tegasnya peneliyian lintas budayamenghuedaki peneliti untuk memperhatikan dan mempertimbangkan kembali tingkat kesesuaian dari segi konsep teoritikal dan metodologis, dibandingkan jika penelitian dilakukan dalam satu konteks budaya tempat peneliti berbeda. Menurut Adler (1991) berbagai pendekatan dalam penelitian lintas budaya didesain untuk menjawab seperangkat pertanyaan penelitian yang didasarkan pada seperangkat asumsi yang relevan. Pembedaan dari pendekatan penelitian ini diperlukan untuk menyesuaikan kebutuhan peneliti dengan tujuan penelitian yang ditetapkan dalam konteks lintas budaya.



Terms Denoting



Terms Denoting



Cultural Uniqucness



Universality



Culturaly Spesific



Culturally General



Emic:



Etic:



Sounds which are specific to a particular language



Sound which are similar in all language



Particular



Universal



Idiographic:



Nomothetic:



Descriptive of the uniqueness of the individual



Laws describing behaviour of groups of individuals



Polycentric:



Geocentric:



Cultures must be understood in their own terms



Search for universal, pan-cultural laws



Whitin culture:



Across cultures:



Studies behavior from within the culture to discover whatever structure it might have. Both the antecedents and the consequence of the behaviour are found within the culture



Emphasize the most general description of social phenomena with concept that are cultural free. Structures of observation is created by the scientist.



Culturally contingent:



Culturally independent:



The studied behaviour is dependent on the particular culture in which it is embedded



The studied behaviour is not related to or influenced by the particular culture in whivh it embedded



Difference empharized



Similarity emphasized



Universality denied



Universality central and accepted



Unique



Pan-cultural



Source; Adler (1983)



Perbedaan Antarnegara Melaksanakan penelitian dalam konteks budaya yang berbeda memunculkan isu penting tentang bagaimana para peneliti mampu dan dapat mengidentifikasi budaya, khususnya yang terhubung dengan upaya untuk menciptakan bahasan tertenu (the boundaries) untuk membedakan budaya antarnegara atau wilayah penelitian. Boyacigiller et al. (1996) memberikan argumentasi bahwa untuk tingkatan global, budaya seringkali diidentifikasi sinonim dengan bangsa atau negara yang didefinisikan melalui kesamaan budaya dan nilai-nilai yang dianut secara bersama (commonalities or shared value). Penggunaan negara sebagai batasan suatu budaya dapat dilihat melalui rangkaian penelitian. Dapat dipahami bahwa penggunaan batasan budaya (cultural boundary) dalam suatu penelitian samgat ditentukan oleh unit of analysis atau research perspective. Pertanyaan ini didukung oleh Negandhi (1983), bahwa budaya organisasi merupakan fungsi dari kondisi lingkungan eksternal yang dihadapi perusahaan dilokasi atau negara yang berbeda.



Perubahan Budaya dalam Metodologi Penelitian Terdapat dua pilihan yang tersedia terkait peranan budaya dalam metodologi penelitian; apakah penelitian dilakukan tanpa memperhatikan faktor budaya (cultural free) atau menggunakan faktor budaya sebagai pembatas (culturaly-bound). Scandura dan Williams (2000) memberikan argumentasi signifikan elemen budaya dalam penelitisn, karena perbedaan karakteristik budaya dalam studi lintas budaya akan membatasi kesimpulan yang dapat dihasilkan dalam suatu penelitian. Para peneliti yang mendukung mazhab ini memiliki pemahaman dan kepercayaan bahwa faktor budaya akan mempengaruhi dan memiliki implikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap temuan hasil penelitian baik disadari sepenuhnya oleh peneliti.



Isu Metodologis: Penelitian Lintas Budaya Didalam penelitian lintas budaya, konsepsi emic-etic analysis merupakan konsepsi pokok dan utama. Konsep yang dimaksud dia plikasikan melalui pembedaan secara tegas antara berbagai item budaya secara umum (the general culture) dengan item budaya yang bersifat spesifik (culture spesific items). sebelum melakukan penelitian, seorang penelitian, seorang peneliti harus melakukan uji terhadap konstruk tertentu yang akan memiliki fungsi sama serta diekspresikan dengan hal dan cara yang sama untuk budaya atau negara yang berbeda. An Emic approach



An Etic approach



Behaviour is studied within a single system



Behavior is studied from a perspective outside any given system



Only a single culture is studied



Multiple systems are assesed and compared with one another



The structure of the system is discovered by the analysis



Structured is created by analyst



Criteria used in the analyses are internal to the culture



Criteria used in the analyses are consired absolute and universal



Table 7 Karakteristik Pendekatan Emic-Etic



Sekan (1983) mengkategorikan peranan kritikal aspek budaya dalam hubungannya dengan metodologi penelitian menjadi lima aspek; functional equivalence, instumentation, data collection, sampling design, dan analysis. Dalam kaitan ini



dipercaya bahwa kelima isu tersebut penting didalam mencapai tujuan dan hasil penlitian linta budaya yang secara metodologis telah memenuhi aspek yang patut dipertimbangkan (methodologically rigor).



Latar Belakang Budaya Peneliti Latar belakang budaya seorang peneliti dapat dianggap sebagai elemen utama dan bersifat sentral di dalam proses penelitian lintas budaya (Usunier, 1998). konsekuensinya latar belakang budaya peneliti tersebut berpotensi untuk melemahkan hasil penelitian, terutama berupa risiko akibat bias yang ditimbulkan oleh latar belakang budaya (the risk of cultural bias). Kondisi ini pada akhirnya akan mempengaruhi proses serta hasil yang akan diperoleh melalui penelitian lintas budaya. Berbagai hal terkait isu etnosentris (ethnocentrism) atau lebih dikenal dengan culture contered merupakan kendala utama didalam melaksanakan penelitian lintas budaya. Isu tersebut merupakan turunan dari kecerendungan peneliti dalam memahami perilaku pihak lain dengan menggunakan standar penilaian yang didasarkan kepada latar belakang budaya seorang peneliti (Ferraro, 1998). Langkah fundamental paling utama dalam mengatasi potensi bias dari perilaku dan sikap etnosentris adalah melalui tindakan spesifikasi terhadap domain teoritik dari suatu konstruk penelitian (research construct) (Cavusgil dan Das, 1997). Brbagai bias ysng berpotensi muncul dalam penelitian lintas budaya dapat disebabkan oleh faktor berikut. 1. Dimensi Budaya (the Cultural Dimension) 2. Nilai-nilai budaya (the Cultural Values) 3. Peranan Bahasa (the language) 4. Aspek Keagamaan (Religious Aspek) Berdasarkan uraian tersebut, adalah penting bagi seorang peneliti yang akan melakukan penelitian lintas budaya untuk memahami budaya mereka sendiri, sebelum dapat memahami serta mengapresiasi budaya lainnya. Masalah terkait faktor budaya akan mempengaruhi temuan penelitian, terlepas dari peneliti menyadari atau tidak.



Implikasi Terhadap Penelitian Corporate Governance sejalan dengan perekmbangan globalisasi maka dinamika bidang keilmuan dan praktik governance diberbagai belahan dunia juga mengalami perkembangan yang berarti. Hal demikian sesuai dengaan pandangan OECD (1999) bahwa konsepsi governance merupakan work in progress dan adaptif sesuai dengan perkembangan



lingkungan organisasi dan bisnis. Dalam kaitannya dengan budaya Griffin et al. (2014) membedakan perspektif the universalist dengan the culturalist dalam praktik CG lintas negara. Perspektif universalist memiliki pandangan bahwa perusahaan dan berbagai negara yang menerapkan konsepsi CG akan memiliki kinerja lebiih baik dibandingkan perusahaan yang tidak mengadopsi CG, karena keberadaan CG dalam perusahaan dapat mengatasi berbagai konflik kepentingan yang muncul. Beberapa potensi permasalahan terkait pemahaman konseptual dan akan berpengaruh dalam penelitian CG, khususnya berhubungan dengan perbedaan legal origins, dapat mebawa implikasi konseptual praktis dan metodologis, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa tradisi hukum dapat dibedakan menjadi: (a) the common law tradition dan (b) the civil lawa tradition. 2. Perkembangan literatur CG =, baik penelitian empirikal maupun konseptual, pada umumnya mengacu kepada model berbasis Anglo-Saxon. 3. Konsepsi CG pada generasi ke-3, sebagai mana telah dibahas pada bagian sebelumnya, memperlihatkan kecenderungan semakin terkonsentrasinya kepemilikan perusahaan diberbagai belahan dunia (lihan Denis dan McConel, 2001). 4. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa pola kepemilikan perusahaan di negara berbasis Anglo-Saxon mengarah kepada kepemilikan konsentrasi, diantaranya ditandai dengan semakin aktuf dan besarnya para investor institusi (institutional investors). 5. Implakasi penggunaan CG dan penelitian empirikal dengan tradisi hukum yang berbeda juga ditemukan pada variable kepemilikan oleh anggota direksi atau dewan komisaris atas perusahaan.



Pemahaman terhadap budaya juga diikuti dengan pemahaman secara konseptual terhadap isu CG yang akan diteliti sesuai dengan karakteristik setiap negara, serta membawa konsekuensi terhadap desain isu CG yang akan diteliti sesuai dengan karakteristik setiap negara, serta membawa konsekuensi terhadap desain penelitian yang dilakukan. Penekanan ini diperlukan pada studi komparatif atau lintas budaya dalam bidang aplikasi konsepsi CG.