Konseling Lintas Budaya  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB Ill HAMBATAN KONSELING LINTAS BUDAYA



A. Dimensi Pelaksanaan Konseling Lintas Budaya



Proses konseling pada intinya adalah terjadinya komunikasi yang efektif antara konselor dan klien dalam membantu menyelesaikan masalah klien. Komunikasi dalam konseling akan melibatkan hubungan pribadi yang berbeda antara konselor dan klien. Perbedaan kepribadian dibentuk dari sistem sosial suatu masyarakat yang dihasilkan oleh pmduk budaya itu sendiri. Kehidupan mia! budaya anam mayarakat pada hakekatnya adalah sisitem terbuka yang selalu berinteraksi dengan sistem lain. Keterbukaan ini akan mendorong terjadinya pcmmbuhan, pergeseran, dan perubahan nilai pada masyarakat yang akhirnya mewarnai cara berpikir dan perkembangan perilaku manusia.



Budaya yang mempengaruhi perilaku akan memiliki nilai dalam setiap fase perkembangan individu dalam mengambil keputusan. Rusaknya nilai dalam masyarakat tentunya berdampak negatif pula terhadap perkembangan masyarakat itu sendiri. Jika dilihat secara mendalam keberadaan kehidupan manusia baik secara Perorangan maupun kelompok akan tampak gejala-gcjala mendasar sebagai berikut: Pertama, antara orang yang satu dengan orang0mg lainnya terdapat perbedaan yang kadang-kadang sangat besar, walaupun mereka juga memiliki persamaan yang banyak. Setiap individu sama-sama membutuhkan makan, minum, pakaian, papan, tempat tinggal, rasa aman, kasih sayang, ketenangan, kebahagiaan dan lain sebagainya. Sedangkan perbedaannya juga sangat banyak seperti dari segi penampilan, fisik, kuat, lemah, tinggi-pendek, kurus, gemuk, cantik, tampan, mata bulat, sipit, dan sebagainya. Dari segi mental serta kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah juga memiliki pabedaan Saudara kembarpun tidak ada yang memiliki kesamaan yang sama persis pasti ada perbedaannya. Kedua, semua orang memerlukan orang lain, tidak ada seorangpun di dunia ini yang memperoleh kebahagiaan dan kehidupan yang menyenangkan tanpa bantuan dari orang lain. Dari sudut pandang agama, Nabi Adampun sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Allah memerlukan teman, yang selanjutnya diciptakan Siti Hawa. Keturunan Adam dan Hawa selanjutnya berinteraksi dengan sesamanya untuk mewujudkan keberadaannya dalam melaksanakan kehidupan di dunia. Ketiga, kehidupan manusia tidak sembarangan bersifat acak, tetapi mengikuti aturan-aturan tertentu yang berlaku di lingkungannya. Hampir semua kegiatan manusia baik perseorangan maupun kelompok ada aturan yang harus dipatuhi. Untuk itu manusia harus mampu untuk menyesuaikan diri dimanapun ia berada. Baik dalam keadaan memiliki masalah maupun tidak, dalam kondisi bahagia atau dirundung derita. Semua itu harus dijalani bersama dengan orang lain untuk menghasilkan perubahan-perubahan



perilakunya ke arah yang positif. Hidup bersama orang lain harus mengikuti aturan yang berlaku serta memperhatikan situasi dan kondisi pihakpihak yang terkait dengan kehidupan kita. Keempat, dari sudut pandangan agama, kehidupan ini tidak semata-mata kehidupan di dunia fana, melainkan menjangkau kehidupan di akhirat. Kesadaran tersebut pada gilirannya akan mewarnai perilaku kehidupan manusia secara individu maupun kelompok. Kehidupan kemanusiaan sekarang maupun nanti akan mengingatkan kepada kita bahwa apa yang kita kerjakan saat ini bukan semata-mata untuk kepentingan sekarang, namun juga bisa mempengaruhi kehidupan di masa yang akan datang. Perbedaan, kebersamaan, aturan, dan kesadaran pada hari akhir nanti merupakan sesuatu yang hakiki da bisa dikembangkan oleh manusia sendiri. Keempat gejala yang mendasar tersebut merupakan dimensi kemanusiaan yang secara hakiki ada pada manusia dan bisa dikembangkan. Masing-masing gejala mendasar tersebut dapat dirumuskan sebagai dimensi keindividualan (individualitas), dimensi kesosialan (sosialitas), dimensi kesusilaan (moralitas), dan dimensi keberagamaan (religiusitas). Pengembangan dimensi keindividualan memungkinkan seseorang mengembangkan segenap potensi dirinya secara optimal untuk mengarah pada kehidupan yang positif. Bisa berupa pengembangan bakat, minat, kemampuan mental, fisik, biologis, maupuan aspek lainnya. Perkembangan dimensi keindividualan harus diimbangi dengan dimensi kesosialan pada diri individu agar bisa berinteraksi, membawa individu bisa mampu tegak berdiri dengan ciri kepribadiannya sendiri, teguh, positif, produktif, dinamis, dan mampu berkomunikasi dan berinteraksi sehingga bisa mengembangkan kerjasama dengan orang lain. Saling mengisi, tumbuh berkembang dan saling menemukan makna yang sesungguhnya. Dimensi kesusilaan memberikan penguatan pada kehidupan dengan orang lain. Norma, etika, dan berbagai ketentuan lain mengatur kehidupan kebersamaan antar individu dengan yang lainnya. Kehidupan dengan orang lain tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan diri sendiri maupun orang lain, tetapi harus mengikuti aturan norma yang berlaku. Dengan harapan orang yang tinggal di dalam lingkungan tersebut memperoleh manfaat yang baik untuk kehidupan kebersamaan dalam kelompoknya. Dimensi kesusilaan mampu menjadi pemersatu dalam satu kesatuan yang utuh, serasi, dan saling menguntungkanKctiga dimensi tersebut hanya mengarah pada kehidupan duniawi, belum mampu mengarah pada kehidupan akhirat. Untuk itu perlu dilengkapi dengan dimensi keempat yaitu keberagamaan. Terpadunya keempat dimensi dapat dijadikan wadah kehidupan manusia yang hakiki dalam meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Lengkaplah wadah kehidupan manusia dalam segenap sisinya; sisi individu, sosial, sisi dorongan yang harus dipenuhi dengan etika, serta sisi dunia dan akhirat, yaitu hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Jika dimensi keberagamaannya bisa dilaksanakan dengan baik, maka akan mampu mengangkat kehidupan manusia semakin tinggi derajatnya baik di dunia maupun di akhirat. B. Hambatan Struktural dalam Konseling Lintas Budaya Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dan latar belakang kebudayaan yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan dengan teijadinya hambatan-hambatan budaya



pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya, mengerti dan dapat mengapresiasikan budaya, dan memiliki keterampilanketerampilan yang responsif secara kultural. Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling lintas budaya. Namun tidak mudah untuk melaksanakan konseling dengan klien yang berbeda latar belakang budayanya dengan konselor, sehingga ada hambatan yang mengganggu jalannya proses konseling. Hambatan struktural merupakan hambatan yang muncul dalam proses konseling dan terdapat dalam sebuah susunan terjadinya hubungan antara tiap bagian serta posisi yang ada pada konseling lintas budaya. Hambatan struktural menggambarkan dengan jelas kendala yang satu dengan yang lainnya dan menggambarkan pula bagaimana posisi hubungan antara konselor dan klien dalam melaksanakan tugas dan fimgsinya sehingga saling mendukung lancarnya kegiatan proses konseling. Hambatan-hambatan struktural dalam konseling lintas budaya bisa berupa: 1. Pemindahan (tranference) Istilah pemindahan (tranference) dalam pengertian yang luas menunjukkan pertanyaan perasaan klien terhadap konselor, apakah berupa reaksi rasional kepada pribadian konselor atau proyeksi yang tidak sadar dari sikap-sikap dan streteotipe sebelumnya Secara psikoanalisa pemindahan merupakan satu proses dimana sikap klien sebelumnya dinyatakan kepada orang lain atau secara tidak sadar diproyeksikan kepada konselor. Transference; mengacu kepada perasaan apapun yang dinyatakan atau dirasakan klien (cinta, benci, marah, ketergantungan) terhadap konselor, baik berupa reaksi rasional terhadap kepribadian konselor ataupun proyeksi terhadap tingkah laku awal dan sikap-sikap selanjutnya konselor. Penyebab terjadinya transference adalah konselor mampu memahami klien lebih dari klien memahami diri mereka sendiri dan dikarenakan konselor mampu bersifat ramah dan secara emosional bersifat hangat.



Jenis transference: positif (proyeksi perasaan bersifat kasih sayang, cinta, ketergantungan) dan negative (proyeksi rasa permusuhan dan penyerangan). Sumber perpindahan perasaan: 1) pengalamanpengalaman masa lalu klien yang mengalami kegagalan dalam perkembangan yang diistilahkan Gestal dengan situasi yang tak terselesaikan, klien membawa berbagai alat manipulasi lingkungan, tetapi cendenmg kurang memiliki dukungan dari diri sendiri yang merupakan suatu kualitas penting untuk bertahan. 2) Klien merasa takut akan penolakan dan ketidakpercayaan, hal ini merupakan bentuk perlawanan, sehingga klien memanipulasi konselornya dengan memakai topeng wolah-olah dia orang yang baik.



Fungsi transference: membantu hubungan dengan memberikan kesempatan pada klien untuk mengekspresikan perasaan yang menyimpang, mempromosikan atau meningkatkan rasa percaya diri klien, membuat klien menjadi sadar tentang pentingnya dan asal dari perasaan ini pada kehidupan mereka di masa sekarang melalui intepretasi perasaan tersebut. 2. Pemindahan balik (counter-transference) Pemindahan balik merupakan reaksi emosional dan proyeksi konselor terhadap klien. baik yang disadari maupun tidak disadari. Timbulnya pemindahan balik bersumnber dari kecemasan konselor yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: a. Masalah pribadi yang tak terpecahkan. b. Tekanan situasional yang berkaitan dengan masalah pribadi konselor, c. Komunikasi perasaan klien dengan konselor. Tanda-tanda perasaan pemindah balik: tidak memerhatikan pernyataan klien dengan jelas, menolak kehadiran kecemasan, menjadi simpatik dan empatik berlebihan, mengabaikan perasaan klien, tidak mampu mengidentifikasi perasaan klien, membuat kecendrungan beragumentasi dengan klien, kepedulian yang berlebihan,bekerja terlalu keras dan melelahkan, perasaan terpaksa dan kewajiban terhadap klien, perasaan menilai klien baik/tidak baik. Konselor memproyeksikan perasaan-perasaan atau sikap klien berdasarkan pada masa lalu atau hubungan konselor dengan orang lain sehingga berlawanan dengan kondisi sekarang dalam melaksanakan konseling secara efektif.



Konselor dapat mengatasi perasaan pemindahan-balik ini dengan cara :



a Membatasi sumber perasaan pemindahan balik. b. Meminta bantuan kepada ahli lain. c. Mendiskusikan dcngan klien. d. Menyadari diri sendiri. e. Rujukan kepada konseling atau terapi kelompok. 3. Raport Rapport adalah suatu hubungan (relationship) yang ditandai dengan keharmonisan, kesesuaian, kecocokan, dan saling tarik menarik. Rapport dimulai dengan persetujuan, kesejajaran, kesukaan, dan persamaan. Ada dua cara kita melihat orang lain, yaitu perbedaan dan persamaan. Jika melihat perbedaan diwarnai oleh perasaan egosentrisme, yakni melihat orang lain dari kelemahan, kesalahan,



atau kebumkannya serta menganggap diri sendiri yang paling hebat, pandai, terhormat, mulia dan sebagainya. Segi persamaan, melahirkan sikap ingin berbagi dan menganggap saudara. Jika menekankan perbedaan, maka akan sulit mencapai rapport, sebaliknya jika menekankan persamaan sikap resisten akan hilang. Rapport dalam relasi pada umumnya adalah proses membangun dan memelihara hubungan saling percaya dan saling memahami antara dua orang atau lebih yang berusaha untuk membangun respon dari orang lain. Dalam konseling menunjuk pada suasana hubungan yang ditandai suasana rileks, harmoni, hangat, akrab, guyub, kenyamanan bicara, dan saling menerima antara konselor dan klien. Ada kehangatan hati dan keramahan konselor yang sangat diharapkan klien dalam menciptakan kondisi yang bisa mendatangkan kenyamanan dan keamanan klien. Kondisi yang seperti itu sangat diharapkan klien sehingga dapat memfasilitasi pengungkapan permasalahan yang dialami klien. Diharapkan pelaksanaan konseling lancar dalam membantu memecahkan masalah klien sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Menjadi hambatan apabila antara konselor dengan klien tidak mampu menciptakan hubungan yang harmonis. 4. Resistance Resistance adalah suasana anti terapeutik klien yang ditandai penolakan, ketidakbersediaan dan kegagalan kerja sama dalam konseling. Klien menolak karena cemas, tidak percaya mampu menyelesaikan masalah atau konflik yang dialami. Perlawanan terhadap usaha mengubah hal yang tidak disadari menjadi hal yang disadari serta mobilisasi fungsifungsi penindasan (represif) dan perlindungan (protektif) ego. Sumber resistensi bisa dari internal maupun eksternal, internal disebabkan karena kekhawatiran pertumbuhan dan ketidakmauan untuk mandiri. Sedangkan eksternal bisa karena teknik yang digunakan kurang tepat bisa juga kurang persiapan sesuai dengan yang diharapkan, kelelahan fisik maupun psikis, kurang sehat/memiliki penyakit, psikosis, dan kemungkinan hambatan bahasa asing. Resistensi memiliki fungsi yang positip yaitu memberikan indikasi kemajuan wawancara secara umum dan menjadi landasan bagi perumusan diagnosa dan prognosa serta petlmjuk mengenai struktur devensif klien yang menimbulkan atau bisa sebagai informasi bagi konselor bahwa klien mau mengidentifikasi perasaannya. 5. Language Bahasa merupakan sistem lambang bunyi berartikulasi yg bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Perbedaan bahasa bisa menghambat proses konseling, jika klien dan konselor tidak memahami bahasa yang digunakan saat konseling. Untuk itu hambatan bahasa harus dipecahkan jika ingin konseling berhasil. C. Hambatan Psikososial dalam Konseling Lintas Budaya Hambatan psikososial merupakan hambatan yang berasal dari faktor psikologi dan sosial yang bisa berpengaruh dalam diri jiwa seseorang ataupun pengaruh dari masyarakat yang masuk pada diri seseorang. Proses konseling bisa saja berakhir sebelum waktunya, bila prosesnya kurang tepat walaupun



tujuan konselingnya tepat. Jika konseling yang dilakukan konselor kurang efektif antara proses dan tujuan konseling ada yang tidak cocok dengan nilai budaya klien maka bisa berakibat berakhirnya proses konseling sebelum bisa mencapai tujuan atau bisa dikatakan prematur. Adapun faktor-faktor yang bisa mempengamhi keberhasilan konseling lintas-budaya atau menjadi bias dan bisa menjadi penghambat konseling lintas-budaya dijelaskan sebagai berikut: 1. Bahasa Perbedaan bahasa merupakan penghambat terbesar yang perlu diperhatikan dalam proses konseling lintas budaya. Bahasa adalah sistem lambang bunyi beranikulasi yang bersifat sewenangwcnang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Saat ini belum banyak konselor yang menguasai beberapa bahasa atau dikatakan praktisi konseling bilingual (menguasai dua bahasa). Keadaan seperti itu juga terjadi di Indonesia, apalagi masyarakat kita multi etnis. Adapun yang menjadi penyebab adanya hambatan-hambatan ini ialah sebagai berikut: a) Tingkat penguasaan bahasa sangat kurang. b) Ada beberapa orang yang memiliki kesulitan dalam menyusun kosa kata dan tata bahasa umum yang dipakai banyak orang, sehingga terkadang orang lain kurang mengerti akan apa yang diucapkannya dan menimbulkan persepsi yang berbeda. Minim dalam kosa kata. Seseorang yang memiliki kekurangan dalam perbendaharaan kata. c) Minim dalam ungkapan-ungkapan. Sekarang banyak ungkapan yang menggunakan bahasa gaul remaja dengan menggunakan kode-kode tertentu. Contoh; “Cius Miapah” maksudnya Serius demi apa, “Tante kos saya memang saiko" maksudnya gila, dsb. d) Penggunaan dialek yang berbeda-beda. Contoh: Orang Surabaya yang menggunakan kata dibalik-balik misalnya: orang (arek) dan menggunakan dialek tegas (terkesan kasar). Orang Yogyakarta menggunakan krama alus dalam kebanyakan pembicaraannya. e) Merasa menjadi etnis yang mayoritas sehingga menganggap orang lain selalu mengerti apa yang ia maksudkan. Contoh: konselor yang berbicara dengan bahasa jawa padahal konselinya berasal dari Madura, konselor menganggap konseli mengerti semua apa yang dikatakan. Namun pada kenyataannya konseli tidak semua mengerti apa yang diucapkan konselor. f) Perbedaan kelas sosial Pada kelas Sosial yang tinggi cenderungan orang berbicara dengan bahasa yang kelasnya tinggi (eksklusif) dan sulit dimengerti oleh orang dengan status sosial rendah. Contoh: mahasiswa yang KKN menjelaskan pada warga desa terpencil dcngan menerangkan tentang penyebaran penyakit dengan menggunakan istilahistilah Apalagi jika konselor merasa etnis mayoritas, ada kecenderungan menganggap orang lain pasti tahu apa yang dimaksudkan, ia lupa bahwa di antara kliennya tidak tahu apa yang dibicarakan.



Selain itu, kenyataan adanya beda kelas sosial, usia, latar pendidikan keluarga dan sebagainya juga mempengaruhi beda bahasa. Pemggunaan bahasa prokem, bahasa gaul di kalangan remaja atau sekelompok tertentu juga dapat merupakan hambatan. 2. Nilai Nilai (value) merupakan kecenderungan kecenderungan/disposisi mengenai preferensi (kelebih-sukaan) yang didasarkan pada konsepsi tertentu, yaitu hal yang dikehendaki/diinginkan dan disukai orang banyak. Ini berkenaan dengan baik/buruk, pantas/tidak pantas, patut/tidak patut. Nilai merupakan konstruk yang disimpulkan (sebagai sesuatu yang dianut masyarakat secara kolektif dan pribadi-pribadi secara perorangan). Istilah nilai menunjuk suatu konsep yang dikukuhi individu atau anggota suatu kelompok secara kolektif mengenai sesuatu yang diharapkan dan berpengaruh terhadap pemilihan cara maupun tujuan tindakan dari beberapa alternative (Kluckhohn dalam Berry, 1999). Nilai menjadi faktor penghambat dalarn Konseling Lintas Budaya bilamana: a. Memaksakan Nilai diri terhadap orang lain. Contoh: Konselor yang memaksakan konseli untuk melaksanakan nilai sub-budaya konselor. Konselor merupakan orang yang rapi dan wangi, konselor tidak melayani konseli yang tidak rapi dan tidak wangi sebelum mereka rapi dan wangi. b. Memaksakan Nilai golongan mayoritas terhadap nilai golongan minoritas. Contoh: Konselor yang menganggap konseli tidak sopan karena tidak membungkuk ketika lewat di depan orang yang lebih tua. Konselor tersebut tidak mau membantu konseli sebelum ia mau mengubah kebiasaan mereka untuk membungkukkan badan ketika lewat didepan orang yang lebih tua. Tohang berasal dari Timor Leste yang mempunyai kebiasaan menepuk bahu orang yang dijumpainya sekalipun ia lebih tua darinya. Di Indonesia tidak sedikit terdapat perbedaan nilai yang ada pada konselor dan nilainilai yang dianut klien. Klien menganut nilai dari kehidupan keluarga itupun masih sering terdapat kesenjangan dengan orang tuanya apalagi dengan konselor yang merupakan orang asing bagi klien. Kesenjangan nilai bisa juga terjadi karena antara konselor dan klien berasal dari latar kehidupan sosial yang berbeda, tingkat sosial ekonomi, usia, agama, suku, jenis kelamin dan sebagainya. c. Stereotip Stereotip adalah opini/pendapat yang terlalu disederhanakan, dan tidak disertai penilaian/kritikan (Brown et al, 1988). Stereotip merupakan kendala konseling (termasuk hambatan sikap) karena terbentuk secara lama berakar sehingga sulit diubah, dan menjadi pola tingkah laku yang berulang-ulang. Hal ini dapat dipahami karena Stereotip itu sebagai hasil belajar, sehingga makin lama belajar makin sulit diubah. Lebih-lebih menjadi kendala jika konselor dihinggapi Stereotip. Apabila konselor menggunakan Stereotip, maka mereka tidak bisa bersikap luwes waktu merespon klien dengan segala kebutuhannya. Keadaan ini bisa menjadi parah jika klien juga mempunyai Stereotip terhadap konselornya Ungkapanungkapan Stereotip misalnya “Orang Solo halus; Madura itu keras; Cina itu pelit; laki-laki itu hanya pakai



rasio; perempuan itu main perasaan; anak remaja sukanya hura-hura; orang tua itu kolot; orang pakai tato itu jahat; anak lakilaki yang rambutnya panjang pasti nakal”. 4. Kelas Sosial Dalam proses konseling, tingkat perbedaan pengalaman antara konselor dengan klien, persepsi dan wawasan mereka terhadap dunia dapat merupakan hambatan besar. Konselor dari kelas sosial menengah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan hidup klien dari kelas sosial bawah dan atas. 5. Ras atau Suku Di Indonesia yang terdiri atas bennacammacam rasa tau suku menyebabkan variasi perbedaan yang sangat beragam. Perbedaan suku ini seringkali merupakan penghambat proses konseling, karena masing-masing suku memiliki kebiasaan, falsafah hidup, dan nilai budaya yang berbeda, hal ini yang perlu dipahami oleh konselor. Atas dasar kesadaran lintas-budaya yang dimiliki oleh konselor diharapkan ia dapat mengatasi hambatan ini. 6. Jenis Kelamin (Gender) Perbedaan jenis kelamin antara konselor dengan klien juga bisa menghambat proses konseling. Apalagi diantara mereka dihinggapi stereotip terhadap jenis kelamin tertentu:. Misalnya konselor laki-laki mempunyai stereotip terhadap klien perempuan yang mudah terpengaruh dan mudah emosi. Klien lakilaki mempunyai stereotip terhadap konselor perempuan yang tidak tegas misalnya. Sebaliknya, klien perempuan menganggap konselor laki-laki yang tidak dapat memahami perasaannya, karena pada dasarnya pria itu banyak menggunakan rasionya. 7. Usia Usia merupakan penghambat konseling, karena pada dasarnya masing-masing periode perkembangan mempunyai kebutuhan, kebiasaan, gaya hidup, dan nilai budaya tertentu, yang harus dipahami oleh konselor. Misalnya konselor yang masih muda membantu klien yang lebih tua usianya. Hal ini bukan berarti tidak ada problem bagi konselor yang melayani konseling anak-anak muda. Dengan melewati continuum Locke, diharapkan konselor memeliki keterampilan dan teknik yang efektif. 8. preferensi Seksual Usaha-usaha yang dilakukan orang untuk mengatasi masalah seksualitasnya merupakan isu yang lazim menjadi bahan kajian dalam konseling. Itu perihal perasaan seksual, menyirap perasaan-perasaan itu ke dalam dan membentuk citra diri memang. dan membuat keputusan tentang bagaimana bertindak atas dasar perasaan dan jati dirinya. Proses ini cukup sulit bila orang memperoleh cukup banyak dukungan dari orang lain hal ini bila membingungkan arah yang ditempuh berlawanan dengan norma masyarakat yang berlaku dan sangat dijaga kelestariannya. 9. Gaya Hidup



Pola hidup atau gaya hidup dapat dibagi menjadi gaya hidup tradisional, yang didukung secara terbuka oleh sebagian besar anggota masyarakat. dan gaya hidup alternative yang jarang terjadi dan biasanya kurang disetujui masyarakat luas. Kalau perkawinan dan anak merupakan inti dari gaya hidup tradisional. maka hidup secara komunal, hidup sendirian, dan perkawinan tanpa anak merupakan beberapa contoh gaya hidup alternative. Dapat ditambahkan contoh-contoh seperti hidup selibat (membujang, hidup lajang), hidup bersama tanpa ikatan pernikahan resmi, merupakan gaya hidup yang sulit dimengerti dan diterima bukan saja oleh masyarakat umum. melainkan juga oleh konselor. 10. Keadaan Orang-Orang Cacat Keadaan orang cacat merupakan penghambat bagi pelaksanaan konseling. Keadaan cacat yang dimiliki seseorang akan mcmpengamhi perilaku, sikap, kepekaan perasaan, dan reaksinya terhadap lingkungan. Nathanson mengidentifikasi pelanggaran-pelanggaran yang umum dilakukan konselor terhadap integritas kaum cacat, yaitu: a. Memandang bahwa satu faktor penghambat dapat menjalar ke aspek-aspek lain seseorang, sehingga keseluruhan individu itu dinilai hanya dari ciri fisiknya saja. b. Keliru mengasihani seorang individu dengan memandangnya sebagai individu yang rapuh, tak ada harapan lagi, penuh penderitaan, frustrasi dan ditolak. c. Merusak peluang individu untuk menunjukkan tanggung jawab dan keyakinan diri dengan terlalu cepat (gampang) mendorong orang lain memberikan orang "istirahat ”. d. Menghambat antusiasme dan optimisme klien dengan jalan terlah) cepat membatasi masalah klien untuk bertindak dengan harapan agar ia terhindar dari kegagalan. e. Berlebih-lebihan menilai (memuji) prestasi seorang klien dengan kata-kata seperti “mengagumkan” atau “hebat” yang mempunyai implikasi bahawa kebanyakan kaum cacat adalah inferior. D. Etika Konseling Lintas Budaya Profesi konselor dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman pada kode etik yang sudah ditetapkan oleh organisasi profesi. Banyak hal yang harus dimilki oleh konselor dalam memberikan bantuan untuk membantu menyelesaikan masalah klien. Kompetensi yang harus dimiliki diantaranya adalah memiliki wawasan dan pemahaman keilmuan tentang bimbingan dan konseling secara mendalam, memilki kepribadian yang sehat, serta menguasai berbagai macam keterampilan dalam melaksanakan proses konseling. Konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar benar mengetahui adanya perbedaan yang mendasar antara dia dengan klien yang akan dibantunya. Selain itu, konselor harus menyadari benar akan timbulnya konflik jika dia memberikan layanan konseling kepada klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa konselor lintas budaya harus mengerti dan memahami budaya di Indonesia, terutama nilai nilai budaya yang dimilikinya. Sebab bukan tidak



mungkin macetnya proses konseling hanya karena konselor tidak mengetahui dengan pasti nilai-nilai apa yang dianutnya. Dengan demikian, kesadaran akan nilai-nilai yang dimiliki oleh konselor dan nilainilai yang dimiliki oleh klien, akan dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan konseling. Kinerja konselor dalam melaksanakan bantuan profesional memiliki kode etik dan sistem etika. Etika adalah sarana orientasi bagi seseorang untuk menjawab pertanyaan pokok: bagaimana seseorang harus hidup dan bertindak. Etika membantu individu agar lebih bisa bcrtanggungjawab dalam melaksanakan kehidupannya. Demikian halnya dengan konselor dalam melaksanakan tugasnya memerlukan kode etik agar bisa mempertanggungjawabkan tugas-tugas profesionalnya. Kode etik konselor di Indonesia sudah dirumuskan oleh organisasi ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia). Tujuan kode etik adalah memberikan dasar umtuk mengatur perilaku anggota kelompok profesi. Kode etik memberikan standar dalam menjalankan praktik layanan, memberikan arahan untuk bertindak bila situasi sulit muncul dan konselor harus segera mengambil keputusan. Kode etik juga bermaksud menjelaskan tanggungjwab konselor dalam membantu klien, atasan, masyarakat luas dan terhadap organisasi profesi. Di samping itu kode etik juga bertujuan untuk meningkatkan keharmonisan profesi secara internal, memberikan petunjuk dalam menjalankan praktik profesi, mengatur interaksi diantara para anggota seperti bagaimana mereferal klien, melakukan konsultasi dan sebagainya. Intinya kode etik merupakan seperangkat petunjuk moral yang dirancang untuk melindungi tenaga profesional, profesinya, dan masyarakat yang dilayani. Profesi konseling lintas budaya ini harus muncul kesadaran dan kepekaan akan isu yang berhubungan dengan masalah etnis dan persoalan-persoalan budaya. Konselor harus mengacu pada kode etik sebagai pedoman dan pegangan untuk menentukan arah apakah tindakan dan perilaku profesionalnya dalam konteks budaya disebut etis atau tidak, patut atau tidak, pantas atau tidak. Dalam proses konseling klien dan konselor membawa budaya sendiri-sendiri yang memiliki perbedaan nilai, kepercayaan, kebiasaan, ide-ide, kelas sosialnya, jenis kelamin, agama, dan kondisi geogralis tempat tinggalnya. Etik merupakan prinsip-prinsip atau patokan dasar manusia dalam berperilaku secara individual, kelompok, atau organisasi. Etik merupakan pn'nsip pemikiran yang bermanfaat untuk menyeleksi komponen yang baik dan buruk dalam interaksi manusia (Huey and Remley; 1990). Secara riil masalah etik dalam organisasi merupakan proses yang rasional untuk mengeksplorasi berbagai alternatif perilaku sehingga dapat menetapkan pilihan perilaku yang tepat. Organisasi membutuhkan etik berkualitas yang tidak hanya dapat mencegah timbulnya perilaku yang tidak adaptif tertapi juga memberi inspirasi dan penimbangan dalam bertindak. Etik dapat memberi inspirasi atas timbulnya inovasi, kekompakan tim, dan proses pencapaian hasil yang bcrsinambung dan kompetitif. Pemikiran etis dibangun dari fundasi dan prinsip dasar dengan maksud untuk menerapkannya secara etis. Prinsip-pn'nsip etik yang dapat diterapkan dalam sebuah komunitas antara lain: 1. Natural Law; hukum dibangun secara alamiah oleh manusia sendiri. Pada umumnya dipercaya bahwa semakin alamiah hukum, maka semakin efisien sistem sosial yang diatumya. Implikasinya adalah bahwa nilai etik yang dapat mengatur sistem sosial hendaknya digali dan dikembangkan dari nilai-nilai yang telah tumbuh dan berlaku dalam masyarakat (budaya lokal).



2, Values. etik adalah proses yang rasional untuk menentukan nilai-nilai apa yang menjadi landasannya. Oleh karena itu panutan orang pada nilai dengan cara tidak rasional akan mengabaikan etika dan mengembangkan perilaku yang tidak pantas. 3. Change, etik menuntut suatu kesediaan untuk berubah dan tuntunan perubahan merupakan aplikasi etik. 4. Ethical process quality, prinsip yang etik adalah proses yang terbaik untuk mencapai tujuan yang terbaik secara individual maupun bersama-sama. 5.Greater good. setiap keputusan yang diambil tidak lain untuk meningkatkan agar keputusan tersebut menjadi lebih baik, sebab etik mengatur perilaku manusia yang kompleks agar selalu menjadi baik. 6. Linkage of logic and utilry, melakukan kebaikan adalah lebih rasional dan bermanfaat daripada melakukan ketidakbaikan. Untuk mengetahui yang baik berbuatlah dengan baik, dan mereka yang melakukan hal yang tidak baik, sebagian besar mereka tidak mengetahuinya. Etik adalah hasil logika terhadap alam manusia dan hal itu bermanfaat karena logis. 7. Form, prinsip dan aplikasi dapat dibangun ke dalam format yang dapat diterapkan secara konsisten. 8. Situasional vs constant aplication, beberapa format yang universal dengan mengabaikan waktu dan ruang, sedangkan format lainnya dengan sepenuhnya bersifat situasional. Proses konseling lintas budaya mempertimbangkan berbagai aspek, mulai dari lingkungan budaya yang berbeda sampai relevansinya dengan teori-teori dan teknik-teknik konscling dalam praktiknya. Sedangkan ragam budaya secara sederhana hanya diarahkan pada kelompok ras/etnik yang minoritas di dalam budaya tersebut. Konselor yang efektif adalah mereka yang dapat mengadaptasikan model, teori, dan teknik konseling terhadap keunikan yang dimiliki setiap klien. Kemampuan atau keterampilan ini diperlukan oleh konselor agar dapat melihat klien baik sebagai individu maupun sebagai anggota/penganut budaya tertentu