Konseling Lintas Budaya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH



KONSELING LINTAS BUDAYA



“Etik dan Emik dalam Budaya”



Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Herman Nirwana, M.Pd., Kons.



Oleh Kelompok 5 : 1. Huriya Ulfa (18006272) 2. Ravida Aziz (18006315) 3. Zandia Salsabila (18006351)



JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2021



KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya terutama nikmat sehat dan kesempatan sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Konseling Lintas Budaya tentang Etik, Emik, Stereotip, Prasangka, dan Kaitannya dalam Konseling. Sholawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi suri tauladan bagi umat diseluruh alam. Makalah ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Konseling Lintas Budaya. Selanjutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Herman Nirwana, M.Pd., Kons. selaku dosen sekaligus pembimbing mata kuliah Konseling Lintas Budaya dan teman-teman yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Demikianlah makalah ini dibuat dan disusun dengan harapan semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.Wassalamu’alaikum Wr. Wb.



Padang,



September 2021



Penulis



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ................................................................................................................... ii DAFTAR ISI................................................................................................................................. iii BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1 A. Latar Belakang ................................................................................................................1 B. Rumusan Masalah ...........................................................................................................1 C. Tujuan..............................................................................................................................2 BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................3 A. Etik .................................................................................................................................3 B. Emik ................................................................................................................................3 C. Stereotipe .........................................................................................................................4 D. Prasangka.........................................................................................................................5 E. Keterkaitan Etik, Emik, Stereotipe, dan Prasangka dalam Proses Konseling .................6 BAB III PENUTUP ........................................................................................................................9 A. Kesimpulan .....................................................................................................................9 B. Saran ...............................................................................................................................9 KEPUSTAKAAN .........................................................................................................................10



iii



BAB II PENDAHULUAN A.



Latar Belakang Kehidupan masyarakat tidaklah dapat dihindari kenyataan bahwa budaya sangat berpengaruh terhadap perilaku, ekspresi emosi, kepribadian, keyakinan, dan kehendak. Budaya dalam kehidupan individu atau kelompok membuat suatu perbedaan antara sekelompok



orang



dengan



kelompok



lain.



Salah



satu



cara



utama



mengkonseptualisasikan prinsip-prinsip serta perbedaan budaya,. Kita akan membahas kedalam empat bagian etik,emik,stereotype dan prasangka. Etik mengcakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal Emik mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan demikian sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas budaya misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Sterotipe pendapat atau prasangka mengenai orang-orang dari kelompok tertentu, dimana pendapat tersebut hanya didasarkan bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok tertentu tersebut Dan prasangka sebuah sikap (bersikap negatif) yang ditujukan pada anggotaanggota beberapa kelompok, yang didasarkan pada keanggotaanya dalam kelompok. istilah ini mengacu pada keunikan yang bersifat universal dan kekhasan budaya, pengetahuan, dan kebenaran. Sedangkan dalam kegiatan konseling juga terdapat pendekatan-pendekatan untuk menunjang kelancaran suatu layanan. Berikut ini penjabaran tentang pendekatan etik dan emik dalam konseling.



B.



Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan etik dalam budaya? 2. Apa yang dimaksud dengan enik dalam budaya? 3. Apa yang dimaksud dengan stereotipe? 4. Apa yang dimaksud dengan prasangka? 5. Bagaimana kaitannya dalam proses konseling?



1



C.



Tujuan 1. Mengetahui tentang etik dalam budaya 2. Mengetahui tentang emik dalam budaya 3. Mengetahui tentang stereotype 4. Mengetahui tentang prasangka 5. Mengetahui kaitan etik,emik,sterotipe dan prasangka dalam proses konseling



2



BAB II PEMBAHASAN A.



Etik Etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat. Etik mengcakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Kalau kita tahu sesuatu tentang prilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik (alias universal), maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran bagi semua orang dari budaya apa pun, maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain (Matsumoto, 1994). Dalam konseling lintas budaya menggunakan perspektif objektif ini seorang konselor akan menggunakan dua pendekatan kebudayaan yang berbeda terhadap klien. Penggunaan perbedaan kebudayaan dilakukan untuk menunjukkan dimensi dan variabilitas kebudayaan dan untuk menunjukkan bahwa teori-teori komunikasi antar budaya tidak dimaksudkan untuk meneliti perbedaan budaya.



B.



Emik Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan demikian sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas budaya misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Pada prinsipnya dalam konseling yang menggunakan perspektif emik maka konselor “menjadikan dirinya” sebagai bagian dari kebudayaan klien, atau dengan kata lain, konselor bertindak sebagai individu penuh karena dia masuk dalam suatu struktur budaya tertentu. Menurut Matsumoto (2008: 7-8) (dalam Amin, dkk.,: 2014) emik merupakan kebalikan dari etik yakni emik mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda; dengan demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-spesifik). Emik (native point of view) misalnya,



3



mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Menurut Bungin (2007:75) (dalam Fuadi, 2016) emik berhubungan dengan apa yang dipahami, dimaknai, dan dirasakan oleh informan dan subjek-objek penelitian sebagaimana yang mereka maksudkan. Proses konseling Pendekatan emikpun sering menyebabkan atau menjadikan konselor menarik kesimpulan tentang suatu budaya tertentu berdasarkan ukuranukuran yang berlaku pada kebudayaan klien. Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri. Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik, menurut pandangan peneliti. Jika yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.



C.



Stereotipe Stereotype adalah pendapat atau prasangka mengenai orang-orang dari kelompok tertentu, dimana pendapat tersebut hanya didasarkan bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok tertentu tersebut. Stereotyp adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Sarwono, 1993). Menurut Bourhis, Turner, & Gagnon (1997) (dalam Widianti) stereotip berfungsi menggambarkan realitas antar kelompok, mendefinisikan kelompok dalam kontras dengan yang lain, membentuk imej kelompok lain (dan kelompok sendiri) yang menerangkan, merasionalisasi, dan menjustifikasi hubungan antar kelompok dan perilaku orang pada masa lalu, sekarang, dan akan datang di dalam hubungan itu. Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang sekiranya sesuai terhadap kelompok lain. misalnya etnis jawa memiliki stereotip lemah lembut dan kurang suka berterus terang, maka kita akan bertindak berdasarkan stereotip itu dengan bersikap 4



selembut-lembutnya dan berusaha untuk tidak mempercayai begitu saja apa yang diucapkan seorang etnis jawa kepada kita. Sebagai sebuah generalisasi kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang tidak. Misalnya stereotip etnis jawa yang tidak suka berterus terang memiliki kebenaran cukup tinggi karena umumnya etnis jawa memang kurang suka berterus terang. namun tentu saja terdapat pengecualianpengecualian karena banyak juga etnis jawa yang suka berterus terang. Stereotype dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian orang menganggap segala bentuk stereotype negatif. Stereotype bisa berangkat dari fakta. Namun demikian stereotype sering kali merupakan kombinasi antara fakta dan fiksi mengenai orang dari kelompok budaya tertentu steriotipe bisa berguna dengan menjadi semacam dasar untuk melakukan evaluasi dan interaksi dengan orang dari budaya lain. Dalam komunikasi antar budaya umumnya dan dalam konseling lintas budaya dalam khususnya, stereotype mengandung segi negatif karena : 1. Dapat memberikan stigma pada seseorang seakan akan sesuatu itu benar padahal tidak benar. 2. Seakan-akan sifat tertentu berlaku untuk setiap individu dalam kelompok yang bersangkutan 3. Dapat menjadi “self-fulfilling prophecy” bagi seorang terkena stereotype orang melakukan sesuatu karena telah dicap demikian.



D.



Prasangka Prasangka adalah sebuah sikap (bersikap negatif) yang ditujukan pada anggotaanggota beberapa kelompok, yang didasarkan pada keanggotaanya dalam kelompok. Dengan kata lain, jika seseorang memiliki prasangka pada seseorang, maka prasangka yang muncul didasarkan pada keanggotaan orang tersebut pada sebuah kelompok dan bukan oleh karakteristik lain yang dimilikinya, seperti kepribadian masa lalu atau karna kebiasaan negatifnya (Sarwono, 2009: 226). Menurut Daft (1999) (dalam Widianti), prasangka lebih spesifik yakni kecenderungan untuk menilai secara negatif orang yang memiliki perbedaan dari umumnya orang dalam hal seksualitas, ras, etnik, atau yang memiliki kekurangan kemampuan fisik. 5



Menurut Sherif and Sherif (dalam Ahmadi, 2007: 196) prasangka adalah suatu sikap negatif para anggota suatu kelompok, berasal dari norma mereka yang pasti, kepada kelompok lain beserta anggotanya. Penyebab pendorong muncul prasangka: 1. Untuk meningkatkan citra diri/konsep diri/harga diri. Prasangka dapat memainkan sebuah peran penting untuk melindungi atau meningkatkan konsep diri mereka. Ketika individu dengan sebuah prasangka memandang rendah sebuah kelompok, hal ini membuat mereka yakin akan harga diri mereka sendiri. 2. Menghemat usaha kognitif (prinsip heuristic). Ketika stereotype terbentuk, kita tidak perlu melakukan proses berpikir yang hati-hati dan sistematis, karena kita sudah “tahu” seperti apa anggota kelompok ini.



E.



Keterkaitan Etik, Emik, Stereotipe, dan Prasangka dalam Proses Konseling Secara sangat sederhana, emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si pengamat. Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri. Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik, menurut pandangan peneliti. Contoh kasus pada sebuah fenomena masyarakat seperti pengemis. Bila perilaku pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial atau sebuah keniscayaan. Maka berlaku sebutan: pengemis adalah sampah masyarakat, manusia tertindas, manusia yang perlu dikasihani, manusia kalah, manusia korban kemiskinan struktural, dsb. Anggapan ini bukan sebuah kesalahan berpikir, melainkan sebuah sudut pandang etik orang di luar pengemis untuk menunjukkan fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan emik, bagaimana pengemis melihat dirinya sendiri. Dalam pandangan emik yang bersifat interpretif atau fenomenologis, pengemis adalah subjek. Mereka adalah aktor kehidupan yang memiliki hasrat dan kehidupan sendiri yang unik. Pandangan subjektif seperti ini diperlukan untuk mengimbangi pandangan obyektif yang seringkali justru memojokkan mereka, melihat mereka 6



sebagai korban kehidupan, kesenjangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial, bukan sebagai entitas masyarakat yang memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami sendiri. Jika yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain. Secara sangat sederhana dapat saya simpulkan bahwa emik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan klien, sedangkan etik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan secara keseluruhan dalam proses konseling. Jadi dengan konsep atau landasan teori maka dalam melakukan proses hubungan konseling dengan klien, maka pendekatan yang akan saya lakukan adalah memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti yang harus saya lakukan adalah bisa atau dapat memahami budaya klien secara spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum atau universal yang sifatnya keseluruhan (Etik). Namun dalam memahami budaya spesifik berarti harus mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil dari sosialisasi dan adaptasi klien dari lingkungannya. Hal ini sangat penting karena setiap klien akan membawa budayanya sendiri sendiri (Etik). Ada banyak contoh etik dan emik dalm psikologi lintas budaya. Bahkan barangkali bias dikatakan bahwa tujuan utama psikologi lintas budaya sebagai sebuah disiplin adalah untyk memeriksa mana aspek-aspek perilaku manusia yang etik dan mana manusia yang emik. Salah satu tujuan utama adalah untuk menyajikan berbagai contoh etik dan emik yang diperoleh dari penelitian lintas budaya. Streotip adalh sikap atau keyakinan yang baku (fixed) tentang orang-orang yang berasal dari budaya lain. Streotip buada berasal dari fakta. Namun demikian, streotipseringkali merupakan kombinasi antara fakta dan fiksi mengenai orang dari kelompok budaya tertentu. Streotip bisa berguna dengan menjadi semacam dasar untuk melakukan penelitian, evaluasi dan interaksi dengan orang dari budaya. Namun streotip dapat menjadi berbahaya dan merusak bila kita memegangnya dengan kaku dan menerapkannya secara pukul rata pada semua orang dari latar belakang budaya tertentu 7



tanpa menyadari kemungkinan adanya kekeliruan pada dasar-dasar streotip tersebut maupun adanya perbedaan individual didalam sebuah budaya. Masing-masing budaya akan saling merendahkan yang lain dan membenarkan budaya diri sendiri, saling menolak, sehingga sangat potensial muncul konflik di antaranya. Contoh konflik yang sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku madura yang sejak dulu terus terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing tidak mau saling menerima dan menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementra yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh atar anggota budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya barat sebagai budaya yang ’vulgar’ dan tidak tahu sopan santun. Budaya asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling unggul dan paling baik sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan dengan orang barat. Orang takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya asli akan tercemar budaya barat sebagai polusi pencemar. Etik, emik, prasangka, dan streotip adalah konsep-konsep penting untuk dipelajari dan diingat. Dalam mempelajari berbagai kemiripan dan perbedaan budaya, penting untuk memiliki gambaran tentang hal-hal yang potensial menjadi jebakan. Tidak perlu dikatan lagi bahwa membuat pernyataan nilai dan mempertahankan tidaklah kondusif bagi kemajuan bidang ini.



8



BAB III PENUTUP A.



Kesimpulan Secara sangat sederhana, emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si pengamat. Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri. Etnosentrisme terkait erat dengan streotip. Streotip adalh sikap atau keyakinan yang baku (fixed) tentang orang-orang yang berasal dari budaya lain. Streotip buada berasal dari fakta. Namun demikian, streotip seringkali merupakan kombinasi antara fakta dan fiksi mengenai orang dari kelompok budaya tertentu. Streotip bisa berguna dengan menjadi semacam dasar untuk melakukan penelitian, evaluasi dan interaksi dengan orang dari budaya. Namun streotip dapat menjadi berbahaya dan merusak bila kita memegangnya dengan kaku dan menerapkannya secara pukul rata pada semua orang dari latar belakang budaya tertentu tanpa menyadari kemungkinan adanya kekeliruan pada dasar-dasar streotip tersebut maupun



adanya perbedaan individual didalam



sebuah budaya. Etik, emik, prasangka, dan streotip adalah konsep-konsep penting untuk dipelajari dan diingat. Dalam mempelajari berbagai kemiripan dan perbedaan budaya, penting untuk memiliki gambaran tentang hal-hal yang potensial menjadi jebakan. Tidak perlu dikatan lagi bahwa membuat pernyataan nilai dan mempertahankan sikap etnosentris tidaklah kondusif bagi kemajuan bidang ini. B.



Saran Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan baik dari dosen matakuliah maupun dari mahasiswa. Selain itu kami harapkan kepada pembaca agar bisa menjadikan makalah ini sebagai bahan bacaan yang tujuannya ingin memahami tentang hakikat perkawinan. Sekian terima kasih.



9



KEPUSTAKAAN Amin, Z., dkk. 2014. Perbandingan Orientasi Karir Siswa Keturunan Jawa dengan Siswa Keturunan Tionghoa. Indonesia Journal of Guidance and Counseing Theory And Application. [Online]. Diakses dari http://journal.unnes.ac.id/index.php/jbk. Fuadi,



Hamdan.



2016.



Mengontruksi



Desain



Penelitian.



[Online].



Diakses



dari



http://www.hamdanfuadi.com/2016/11/mengontruksi-desain-penelitian.html. Matsumoto, D. 1994. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta : Pustaka Belajar. Matsumoto. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta : Pustaka Belajar. Sarwono, S. W. 2014. Psikologi Lintas Budaya. Depok : Raja Grafindo Persada. Widianti, Mutiana. (TT). Pengembangan Pribadi Konselor Dasar-Dasar Keagamaan dalam Pengembangan



Pribadi



Konselor.



[Online].



Diakses



https://mutianawidianti.wordpress.com/tag/prasangka-dan-stereotif-budaya/.



10



dari