Relevansi Kebutuhan Konseling Lintas Budaya [PDF]

  • Author / Uploaded
  • rima
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Relevansi kebutuhan akan Konseling Lintas Budaya di Indonesia semakin sering persoalan-persolan yang bersumber dari keragaman budayaklien muncul dan sulit dipecahkan dalam proses pendidikan dan konselingsekolah; sementara para konselor itu, dan bahkan sistem persekolahan belum secara sengaja disiapkan untuk menghadapi keadaan tersebut. Perilaku malasuai (maladjustment) siswa untuk tingkat tertentu sangat terkait dendari mana la berasal dan kemana afiliasi kelompoknya, apakah itu etnik, ras,asal daerah, atau bahkan status sosial-ekonomi keluarganya. Hal



serupa terjadi di luar persekolahan. Ketika terjadi berbagai gejolakdaerah (Aceh,



Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi tengah, Maluku dan Timor Timu), banyak pendudduk mengungsi dan mengalami stress berat Pemerintah kemudian meluncurkan program rehabilitasi sosial melalui layanankonseling bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi dan Lembaga SosMasyarakat (LSMI. Dilaporkan bahwa tidak banyak orang atau lembaga yangsecara khusus mempunyai cukup kepakaran untuk menangani persoalanpersoalan seperti itu. Mereka menyadari bahwa prinsip-prinsip yang lazim digunakan dalam konseling dan psikologi saja tidak cukup untok menangani masalah-masalah yang bersifat lintas-budaya, tanpa adanya pengertian yangmemadai tentang karakteristik budaya populasi yang dilayaninya. Cintoh dalam konteksyang relevan, kegagalan Indonesia uniuk menjadikan orang-orang Timtim sebagai bagian dari bangsa Indonesia sehingga lepas kembali) bersumber pula dari ketidak mampuan kita untuk memahami dan memperlakukan manusia Timtim secara tepat. Misalnya, untuk dan atas nama persatuan dan kesatuan bangsa, mereka serta-merta diperlakukan seperti anak-anak di bagian Indonesia lainnya yang secara historis memang dikat oleh nasionalisme Indonesia, sementara akar kesejarahan orang Timtim berbeda sehingga tidak ada nasionalisme Indonesia di Timtim (Rahardjo, 1999. dalam Supriadi, 2001: 67). Sunaryo Kartadinata (1996) mengemukakan bahwa konselor berperan dan berfungsi sebagai seorang Psychoeducator, maka harus memahami kompleksitas interaksi individu-lingkungan



dalam ragam konteks sosial dan budaya; menguasai ragam bentuk intervensi psikologis yang tidak terbatas kepada intervensi intrapersonal tetapi juga interpersonal dan litas budaya. Mohamad Surya (1997) mengemukkan bahwa bimbingan dalam suasana harmoni budaya bangsa, pernyataan ini mempunyai implikasi bahwa kebudayaan hendaknya di jadikan sebagai suatu pendekatan Pelaksanaan bimbingan Pola bimbingan yang ditawarkan adalah bimbingan yang holistik dengan fokus sasaran utamanya adalah pemberdayaan pribadi, berpusat pada keluarga dengan berakar pada nilai relegi, bernuansa pendidikan, dan dalam harmoni budaya bangsa Adapun pola-pola bimbingan yang dimaksud, yaitu: Pertama, pola bimbingan yang holistik makna batwa layanan yang diberikan merupakan suatu keutuhan berbagal dimensi yang terkait. Kedua, fokus sasaran bimbingan diarahi pada pemberdayaan pribadi sebagai sumber kekuatan daya manusiawi. Ketiga bimbingan yang berpusat pada keluarga. Keempat, pola bimbingan yang bemuansa pendidikan dalam arti dilandasi oleh paradigma dan nilai nilai pendidikan karena pada hakekatnya bimbingan menupakan proses pendidikan Kelima, bimbingan dalam suasana hamoni budaya bangsa Selanjutnya Djawad Dahlan (2002) mengemukakan bahwa terdapat berbagai nilai yang perlu dilestarikan dan dipelihara dari generasi ke penerasi dan sama sekali tidak dapat diabaikan dalam menata kehidupan di era globalisasi yang utuh. Nilai-nilai tersebut disingkapkan oleh Malik Fadjar (1999) dalam butir-butir yang menyatu, berkelindari. disebutkan olehnya, antara lain nilai: (1) shilaturrahmi, berupa cinta kasih sesama manunia, sesama warga negara Indonesia (2) ukhuwah, berupa semangat persaudaraarn yang tidak terikat oleh bertagai identitas suku, ras dan agama



(3) musyawarah, persamaan yang berpandangan bahwa harkat dan martahal mansala adalah sama, tanpamemandang jenis kelamin, suku dan kebangaannya 4) adil,makna seimbang dalam memandang, menilai atau menyikapi sesuatu atau orang (5) husnudzdzan baik sangka, yang memandang manusa dilahirkan atas fitrah yang suci; (6) tawadhu, yang mewujudian sikap rendah hati yang lahir dari keinsafan bahwa kesempumaan tidak dimiliki oleh manusia (7) tepat janji, yang merupakan ciri khas manusia terpuji (8 lapang dada, yaitu adanya kesediaan menghargai pendapat dan pandangan orang lain (9) amanah, merupakan ciri manusia yang dapat dipercaya, karena memiliki tanggung jawab yang tinggi (10) harga diri, yang menunjukkan sikap rendah hati, tidakmudah memelas (11) hemat, dalam arti tidak menahan hak orang lain; dan (12)dermawan, yang menunjukkan sikap penolong bagi sesama manusia Perspektif global konseling lintas budaya



PERSPEKTIF GLOBAL KONSELING LINTAS BUDAYA Selain pengenalan terhadap seluk beluk budaya lokal dan sikap-sikap yang menyertai perbedaan antar-budaya, isu dalam kajian anatar-budaya umumnya konseling lintas budaya khususnya juga berkaitan dengan pergeseran hubungan antar-peradaban yang mempengaruhi pola-pola hubungan antar individu dan antar-kelompok individu. Dalam hal ini, siapapun yang terlibat dalam kajian antar-budaya dituntut untuk memiliki perspektif global.



Mungkin perspektif ini tidak langsung berkaitan dengan pemahaman konselor terhadap perilaku klien, tetapi memberikan perspektif pada bagaimana seorang konselor lintas-budaya memposisikan diri dalam perkembangan global. Sebagai contoh, dari perkembangan terakhir yaitu serangan terhadap WTC (World Trade Center) dan Pantagon pada tanggal 11 September 2001 bersama implikasi-implikasi global yang menyertainya, kita dapat mengerti mengapa, Amerika Serikat dan sekutu Baratnya segera mengangkat peristiwa itu sebagai serangan terhadap peradaban Barat dan bahkan peradaban Dunia. Kita juga dapat menditeksi, betapa stereotipe, prasangka, dan bias-bias Barat terhadap Islam yang secara historis diwariskan dari generasi ke generasi apakah konseling seperti yang dipraktikkan di Amerika Utara, bisa diadabtasikan ke negara lain. Analisis budaya dan konseling menyimpulkan, bahwa negara aman dan makmur memandang konseling sebagai cara untuk mempromosikan minat dan kemampuan individu. Negara yang ekonominya kurang maju dan berada di bawah ancaman pihak asing, memandang pelayanan konseling sebagai cara untuk menghubungkan individu dengan area tertentu yang dibutuhkan untuk bertahan secara budaya (Super, 1954). Pengetahuan tentang perbedaan budaya semacam ini, harus diperhatikan dalam konseling internasional, terutama yang berhubungan dengan konseling khusus Sebagai contoh, di Polandia, konseling karir lebih dihargai dari pada bentuk konseling lainnya, karena sifat negara tersebut sebagai negara berkembang (Richard Lamb, komunikasi pribadi, 7 juni, 1997). Di negara lain, seperti Jepang, konseling bersifat terapiutik dan psikososial; yang sering digunakan misalnya, memberikan konseling tentang menjadi seorang ayah kepada pria Jepang (Seto, Becker, & Akutsu, 2006). Henkin (1985) mengajukan beberapa panduan praktik untuk konselor dalam berinteraksi di tingkat internasional. Selain membangun struktur yang tegas untuk layanan konseling dan menjelaskan prosesnya pada klien, Henkin merekomendasikan agar konselor mendidik diri mereka sendiri tentang budaya kliennya, termasuk pentingnya keluarga dan kehidupan



komunitas. Jelas, “pendekatan Barat jika langsung diterapkan pada orang-orang dari Timur, bisa menimbulkan konsekuensi negatif”