Studi Kasus Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga Di Kota Yogyakarta PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

STUDI KASUS TENTANG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM RUMAH TANGGA DI KOTA YOGYAKARTA S. Hafsah Budi. A Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Abstrak Jogja dikenal sebagai kota budaya dan kota pendidikan, banyak orang dari berbagai daerah di Indonesia maupun warga negara tetangga yang menimba ilmu di Jogja. Pendatang menganggap mengikuti pendidikan di Jogja selain berkualitas suasana masyarakatnya menyejukkan. Selain itu masyarakat Jawa terkenal karena dapat menjaga harmoni, tenggang rasa, nrima (menerima), rumangsan (mudah merasa), moralitas dijaga, tepo seliro (toleransi tinggi), kekerabatan penting, penikmat hidup, gugothon. Sifat-sifat masyarakat Jawa ternyata tidak menjamin tidak terjadinya Kekerasan dalam Rumah tangga di Jogja Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan apakah yang dialami perempuan dalam rumah tangganya, faktor-faktor apakah yang menyebabkan suami melakukan kekerasan pada istri, akibat apa saja yang ditimbulkan atas tindakan kekerasan tersebut, dan apa reaksi istri terhadap kekerasan yang diterimanya. Subjek penelitian 100 istri di Kecamatan Gondomanan dan Kecamatan Kraton Yogykarta. Alat ukur yang digunakan adalah skala, observasi, wawancara, diskusi terarah. Anlisa data dilakukan secara diskriptif - kualitatif. Penelitian ini menemukan empat tipe kekerasan, ekonomi, psikologi, seks dan fisik, penyebab kekerasan adalah pertengkaran soal uang, cemburu, problema seksual, alkohol/ narkoba, pertengkaran tentang anak, suami di PHK/menganggur, kehamilan. Akibat yang ditimbulkan atas tindakan kekerasan terhadap istri : sakit dan stres, kehilangan kepercayaan terhadap suami, merasa sakit, terutama yang terkena pukulan, pusing, sulit tidur, mual, tidak enak makan, merasa gugup, tegang, khawatir berlebihan, merasa trauma yang berkepanjangan, kehilangan rasa percaya. Reaksi yang dilakukan setelah mendapat kekerasan dari suami: diam saja karena merasa tidak berdaya, memaklumi tindakan suami, membalas perlakuan suami, menuruti keinginan suami, cerai. Kata kunci: Kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan pada perempuan



Abstract Jogja is famous as cultural city and educational city, many people of Indonesia and foreigner come Jogjakarta to look for science. Education in Jogja according to foreigner was very quality and country people in Jogja are known for their hospitality. Moreover, Java society were well-known by their friendliness, courtesy, complacency, sensitivity, etiquette, tolerance, generosity, ‘gugotuhon’. Characteristic of Java society can not ensure country people in Jogja free from domestic violance. Studi Kasus Tentang Kekerasan ........... (S. Hafsah Budi. A)



\ 75[ [



The research was intended to examine forms of violence against women in their families, factors of husband-to-wife violence, effects of violence toward women and their reaction in facing violence. This survey was held to 100 (hundred) wifes in Gondomanan area and Kraton Yogyakarta using scale, observation, interview, and directed discussion. Data were analyzed using qualitative-descriptive. The research found out 4 forms of violence; economy, psychology, sex and physic. Causes of violence were disputing of financial, jealous, sexsual problem, alcohol/narcoba, disputing in facing their children, Her husband retired..., pregnance. Effects of husband-to-wife violance; sick and stress, lost believe with her husband, being injured because of hit, headache, insomnia, vomit, lost of confidance. Their reaction after getting violence from their husband: keep silence because they feel that is not dangerous, understood their husband’s action, revenge their husband’s action, follow their husband’s passion, diforce.



Keyword: domestic violance, violance against women



Pendahuluan Jogja dikenal sebagai kota budaya dan kota pendidikan, banyak orang dari berbagai daerah di Indonesia maupun warga negara tetang ga yang menimba ilmu di Jogja. Pendatang menganggap mengikuti pendidikan di Jogja selain berkualitas suasana masyarakatnya menyejukkan. Selain itu masyarakat Jawa terkenal karena dapat menjaga harmoni, tenggang rasa, nrima (menerima), rumangsan (mudah merasa), moralitas dijaga, tepo seliro (toleransi tinggi), kekerabatan penting, penikmat hidup, gugothon. Sifat-sifat masyarakat Jawa ternyata tidak menjamin tidak terjadinya Kekerasan dalam Rumah tangga di Jogja. Hampir setiap hari kita menyaksikan peristiwa kekerasan dalam rumah tangga melalui media massa baik cetak maupun elektronik. Setiap tahun jumlahnya cenderung meningkat dalam berbagai bentuk seperti psikhis, fisik, seksual maupun ekonomi. Kantor Pemberdayaan Perempuan (KPP) Yogyakarta 2005 lalu telah menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 104 kasus dan kebanyakan korbannya adalah perempuan. LBH APIK Yogyakarta \ 76[ [



melaporkan pada tahun 2004 menangani 74 kasus dan pada tahun 2005 sejumlah 162. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat meningkat dari 3.160 pada tahun 2001 menjadi 5.163 pada tahun 2002; dari 7.787 kasus pada tahun 2003 menjadi 14.020 kasus pada tahun 2004 (Kedaulatan Rakyat, 24 Februari 2005). Ironisnya dari kasus-kasus yang terjadi menunjukkan fakta bahwa perempuan sangat rentan dengan tindak kekerasan yang justru dilakukan orang terdekatnya atau orang yang dipercaya dan diyakini akan melindungi, mengayomi dan menyintainya. Akibatnya, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mendominasi angka-angka kekerasan terhadap perempuan (KTP) dalam masyarakat. Data yang dihimpun Spek-HAM Solo menunjukkan dari 28 kasus yang terjadi, hanya 1 orang yang pelakunya tidak dikenal. Dari data tersebut, 19 orang korbannya adalah isteri pelaku alias terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Data lain menunjukkan kasus KDRT juga mendominasi pelbagai kasus yang ada di Jawa Tengah dan DIY. Data statistik Mitra Perempuan Jakarta mencatat angka yang terus meningkat dalam periode 1997 sampai dengan 2002. Dari 64 kasus menjadi 101 HUMANITAS Vol. 3 No. 2 Agustus 2006



kasus, 113 kasus, 232 kasus, 258 kasus dan 226 kasus. Tahun 2004 Mitra Perempuan mencatat adanya 239 perempuan yang tergolong baru mengadukan kasusnya. Dari angka tersebut, 81,82% kekerasan dilakukan suami dan 2,42% dilakukan mantan suami (Kedaulatan Rakyat, 25 Februari 2005). Memperhatikan semakin meningkatnya Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat, Kementrian Pemberdayaan Perempuan memandang perlu melakukan upaya penghapusan dan pencegahan serta penanggulangannya secara yuridis dengan diterbitkannya UU No.23 Tahun 2004. Per masalahan KDRT bukanlah masalah sederhana, melainkan pelanggaran hak asasi manusia. Peristiwa yang menimpa perempuan itu berawal dari ketidakadilan jender baik secara struktural maupun sistemik. Budaya patriarkhi yang masih mengakar kuat dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia telah memposisikan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan sehingga terjadi dominasi satu pihak terhadap pihak lain. Disamping itu ketidaktepatan dalam menafsirkan nash agama oleh para mufasir yang kebanyakan laki-laki tur ut berpengaruh dalam membentuk pemahaman kedudukan perempuan dalam rumah tangga. Berdasarkan uraian di atas peneliti bermaksud melihat bentuk-bentuk kekerasan yang dialami perempuan dalam rumah tangganya, faktor-faktor yang menyebabkan suami melakukan kekerasan kepada istri, akibat yang ditimbulkannya, serta reaksi istri terhadap kekerasan yang diterimanya. Tinjauan Pustaka Dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang ter utama perempuan, yang berakibat



timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (pasal 1 ayat 1). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga adalah perempuan sebagai seorang istri yang sah dari seorang suami. Dalam lingkup rumah tangga setiap orang dilarang melakukan kekerasan dengan cara kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga (pasal 5 UU PKDRT). Kekerasan terhadap perempuan. dibagi dalam empat bentuk kekerasan UU PKDRT, yaitu: 1. Kekerasan Fisik Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (UU. PKDRT, pasal 6, 2004). Kekerasan fisik secara umum meliputi semua bentuk serangan dan siksaan seperti menampar, memukul, menendang, menarik rambut, menyodok, meng gigit, membakar, mencubit, melakukan eksplorasi, menyulut dengan rokok, melukai dengan senjata, mengabaikan kesehatan istri, dan sebagainya. 2. Kekerasan Psikologis Dalam UU PKDRT, kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikhis berat pada seseorang (pasal 7, 2004) 3. Kekekarasan seksual Kekerasan seksual yang dimaksud dalam UU PKDRT 2004, meliputi : a. Pemaksaan hubungan seksual yang



Studi Kasus Tentang Kekerasan ........... (S. Hafsah Budi. A)



\ 77[ [



dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (pasal 8). Meskipun aktivitas seksual yang terjadi adalah antara suami dan istri, tetapi karena sifatnya memaksa, maka termasuk sebagai kekerasan dalam penyiksaan, karena tindakan dilakukan sebagai ekspresi power dan bukan sematamata dorongan seksual yang tidak terkontrol. 4. Kekerasan ekonomi Bentuk-bentuk kekerasan ekonomi antara lain tidak memberi nafkah istri, memanfaatkan ketergantungan ekonomi istri, menguasai hasil kerja istri atau memeras uang dari penghasilan istri, menghabiskan uang belanja untuk berjudi, memaksa istri bekerja untuk memenuhi kebutuhan suami (Rifka Anisa, 1995). Sedangkan dalam UU PKDRT 2004, dijelaskan bahwa penelantaran rumah tangga: a. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya. b. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9). Tarigan dkk (2000) mengemukakan bahwa faktor pencetus kekerasan terhadap istri adalah: 1. Pertengkaran soal uang, suami mengetatkan uang belanja, diberi uang \ 78[ [



2.



3.



4.



5.



6.



7.



hanya untuk kebutuhan masak, sementara istri mempunyai kebutuhan lain. Cemburu, apabila istri bekerja dan mempunyai kedudukan atau penghasilan yang lebih tinggi dari suami, maka suami merasa rendah diri dan ini merupakan benih kecemburuan, sehingga sebagai kompensasinya suami melakukan kekerasan kepada istri. Problema seksual, seperti misalnya irnpotensi, frigiditas, hiperseks, dapat menjadi pangkal pertengkaran. Alkohol atau narkoba dalam keadaan dibawah pengaruh minuman keras yang berlebihan biasanya suami kurang dapat mengontrol diri sehingga mudah sekali untuk melakukan kekerasan terhadap istrinya, misalnya memukul, memaksa berhubungan seks, mengeluarkan perkataan menyakiti istri. Pertengkaran tentang anak, misalnya ketidakserasian pandangan, sikap atau cara menghukum anak merupakan benih subur untuk terjadinya perrtengkaran yang sering diikuti dengan tindak kekerasan terhadap istri. Suami di PHK atau menganggur, sehingga kekesalan suami karena kesulitan ekonomi sering kali disalurkan dengan cara melakukan kekerasan terhadap istri. Kehamilan, misalnya belum ada kehamilan atau kehamilan yang tidak direncanakan dapat merupakan gangguan dalam hubungan suami istri dan menjadi pangkal pertikaian.



Pertanyaan Penelitian Beberapa pertanyaan diajukan dalam penelitian adalah: 1. Bentuk-bentuk kekerasan apakah yang dialami perempuan dalam rumah tangganya? 2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan HUMANITAS Vol. 3 No. 2 Agustus 2006



suami melakukan kekerasan pada istri?. 3. Akibat yang ditimbulkan atas tindakan kekerasan tersebut. 4. Reaksi istri terhadap kekerasan yang diterimanya. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode diskriptif-kualitatif yang merupakan desain penelitian yang bersifat alamiah, dalam arti peneliti tidak berusaha memanipulasi setting penelitian, melainkan melakukan studi terhadap satu fenomena dalam situasi di mana fenomena tersebut ada (Purwandari, 1998). Data yang muncul dalam penelitian kualitatif berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka (Miles dan Huberman, 1992). Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu isu yang sangat sensitif dan bagi budaya Indonesia terutama Jawa merupakan sesuatu yang masih tabu untuk diungkapkan karena hal itu dianggap akan melemahkan dan membuat malu perempuan. Oleh karena itu diperlukan metode yang tepat agar dapat mengetahui pengalaman-pengalaman mereka secara mendalam. Cara-cara yang digunakan peneliti untuk memperoleh data adalah : melakukan Diskusi Kelompok Terarah (DKT), wawancara mendalam, angket dan observasi. Subjek penelitian adalah sebagian anggota PKK di kecamatan Kraton dan kecamatan Gondomanan Jogja sebanyak 100 orang. Setelah angket diberikan pada subjek ternyata ditemukan 20 orang yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Subjek untuk DKT dan wawancara mendalam adalah perempuan yang pernah mendapat kekerasan dalam rumah tangganya, atau istri yang pernah mendapat kekerasan dari suaminya. Hal ini dimaksudkan agar memperoleh data yang lengkap tentang bentuk-bentuk kekerasan dan sebab-sebab timbulnya kekerasan pada perempuan di Jogja.



HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian dengan cara Diskusi Terarah (DKT), wawancara mendalam (WM), angket dan observasi, peneliti menemukan empat bentuk kekerasan yang sering dialami perempuan dalam rumah tangganya, yaitu kekerasan fisik, psikologis, seksual dan ekonomi. Kekerasan psikologis dan fisik adalah bentuk kekerasan yang paling sering ditemukan dalam penelitian ini. Hasilnya sebagai berikut: 1. Bentuk-bentuk kekerasan akan diuraikan secara rinci. a. Kekerasan Psikologis Kekerasan psikologis yang ditemukan dari hasil DKT, terbagi menjadi dua yaitu kekerasan verbal dan non verbal. Kekerasan psikologis dalam bentuk verbal adalah ucapan kasar, sindiran, ancaman, hinaan, bentakan yang ditujukan kepada perempuan, sehingga merendahkan harga diri perempuan dan mengakibatkan perasaan perempuan menjadi terluka. Sedangkan dalam bentuk nonverbal di antaranya adalah selingkuh, pergi tanpa pesan sehingga menelantarkan perempuan, dan menikah lagi tanpa ijin dari istri. Beberapa ungkapan dari hasil wawancara mendalam; “Saya dikatakan perempuan tidak tahu diri, punya uang malah dikasihkan laki-laki selingkuhannya, padahal uang itu betul-betul hilang karena kena gendam dijalan” (Iva WM). “Yah suami pernah nyakitin saya tuh, katanya dasar perempuan gatal, tidak bisa apa-apa, tidak berguna, kemudian pernah saya melihat suami dikamar pembantu laki-laki sedang mesum, hatiku sakit sekali, sudah dianiaya, dihina masih ditinggal selingkuh



Studi Kasus Tentang Kekerasan ........... (S. Hafsah Budi. A)



\ 79[ [



dengan pembantu laki-laki” (Ati, WM). Hasil skala menunjukkan hampir semua bentuk kekerasan psikologis banyak dialami oleh istri, namun yang paling sering terjadi diantaranya adalah menghina, tidak diberi nafkah batin, selingkuh/pergi ketempat pelacuran, diterlantarkan, suami ingin kawin lagi, suami pulang larut malam. b. Kekerasan Fisik Kekerasan fisik yang paling sering ditemukan dan dialami perempuan adalah dipukul, ditendang, dijambak, dan ditampar. “wah saya sering ditampar..kalau ada barangnya yang hilang teriak-teriak kemudian plak...plak gitu. Kemaren malah dijambak sampai kepala terasa pusing banget”. (Ati WM). “ya...ya saya juga pernah dipukul dicekik disuruh ngaku kalau selingkuh, padahal sumpah aku belum pernah lakukan itu, tapi bagaimana lagi daripada mati” (Iva WM). c. Kekerasan Seksual Kekerasan seksual meliputi semua aktivitas seksual yang dipaksakan kepada perempuan (tanpa persetujuan perempuan). Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang ditemukan di antaranya adalah memaksa istri melakukan hubungan seksual pada saat istri sedang tidak ingin melakukannya, misalnya karena sedang haid, lelah, sakit, dan sebagainya. Selain itu juga suami melakukan hubungan seks dengan cara yang tidak wajar atau tidak disukai istri. “Apalagi saya sedang capai, suami memaksa kalau tidak mau dituduh telah selingkuh, yah terpaksa saya melayani, kadang sambil nangis” (Iva DKT). \ 80[ [



“Pernah nih ketika suami minta dilayani dengan oral seks, ketika menolak suami menampar, menghina, akhirnya dengan terpaksa mau juga walau setelah itu perut terasa mualmual dan mutah-mutah” (Iva DKT). Hasil angket juga tidak menunjukkan banyak perbedaan dengan hasil DKT dan wawancara mendalam. Lebih dari 50% perempuan mengalami kekerasan seksual. d. Kekerasan ekonomi Kekerasan ekonomi yang paling sering meminta uang kepada istri, suami mengetatkan uang belanja istri, suami memaksa istri bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, dan suami memaksa istri untuk meminta uang pada keluarganya guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. “Suami saya lama-lama sering minta uang untuk rokok, bensin, yah mau gimana lagi, saya dan anak bukannya dilindungi, tapi malah sering dimintai uang hasil kerja saya, dan dia juga sering membentak-bentak dan tidak mau kerja hanya duduk-duduk dan ngrokok” (Nor, WM). “Rumah tangga saya paling pahit, dulu saya nikah karena terpaksa sudah hamil duluan. Ternyata setelah nikah perilaku suami semakin tidak terkontrol, tidak mau kerja, kalau menginginkan sesuatu tidak terpenuhi akan marah dan tak segan-segan memukul”(Rosita, WM). Hasil angket, diskusi terarah dan wawancara mendalam tidak ada perbedaan. 2. Faktor yang menyebabkan timbulnya kekerasan suami terhadap istri a. Pertengkaran Soal Uang Penyebab suami melakukan HUMANITAS Vol. 3 No. 2 Agustus 2006



b.



c.



d.



e.



kekerasan terhadap istri salah satunya adalah dikarenakan pertengkaran masalah uang, disini dapat dilihat 55% kebutuhan istri/keluarga tidak terpenuhi dan karena istri menuntut akhirnya terjadi tindak kekerasan pada istri. Suami memberikan uang pada orang lain/keluarga sebanyak 35%. Pembatasan uang belanja 35% dan 1% tidak pernah diberi nafkah. Cemburu Hasil analisis data ada beberapa bentuk cemburu, ada 3 penyebab yang mempunyai nilai kontribusi yang sama besar sebagai pemicu terjadinya tindak kekerasan oleh suami pada istri yaitu, mempunyai gaji/kedudukan yang lebih tinggi dari suami 15%, dan istri ketemu pacar lama 15%, kemudian 5% istri mempunyai pria idaman lain. Problema Seksual Hasil temuan yang ada bahwa 10% suami mengalami impotensi, dan angka yang sama ternyata 10% istri mengalami frigiditas sehingga tidak mau melayani suami dan 10% suami mengalami hiperseks sehingga istri tidak mampu untuk memenuhi keinginan suami. Alkohol/Narkoba Hanya ada 5% suami yang menggunakan narkoba, kaena terpengaruh obat obatan tersebut sering terjadi penganiayaan terrhadap istri. Pertengkaran Tentang Anak Tidak sefaham dalam cara mendidik anak mempunyai nilai 45%, angka yang sama 45% istri mengalami kekerasan dari suami dikarenakan tidak serasi dalam menghukum anak. Kemudian 5% suami yang memukul anak sehingga istri tidak dapat



menerima perlakuan itu. Suami di PHK/Menganggur 15% dikarenakan suami tidak mempunyai penghasilan kemudian 10 % tidak mempunyai penghasilan tetap. g. Kehamilan Istri hamil yang tidak dikehendaki suami 5%, kemudian 5% karena kehamilan yang belum ada. 3. Akibat yang muncul setelah istri mendapatkan kekerasan dari suami f.



Setelah istri mendapatkan kekerasan dari suaminya, 50% lebih istri merasa tidak berguna dan merasa tidak bahagia, 50% istri merasa sakit hati dan mengalami stres. Untuk istri yang mengalami kekerasan fisik 40% merasa sakit, terutama yang terkena pukulan. Kemudian 40% kehilangan kepercayaan terhadap suami. Bentuk lain akibat yang muncul adalah 35% merasa pusing, mual, sulit tidur, tidak enak makan. Kemudian 30% istri merasa gugup, tegang, khawatir berlebihan, 30% merasa trauma yang berkepanjangan dan 15% merasa kehilangan rasa percaya diri. “Iya mbak kepala sering banget sakit, pusing-pusing, soalnya suami kalau marah paling sering mukul bagian kepala”(Rosita WM). Sementara istri yang sering mendapatkan kekerasan psikologis akan mengalami penderitaan seperti kepala pusing, sulit tidur, perut mual, tidak enak makan, perasan menjadi takut, kehilangan kepercayaan pada suami, kehilangan rasa percaya diri, sakit hati hingga mengalami stres. “Dari dulu suami ya pendiam gitugitu aja, tapi kalau ngomong nadanya perintah-perintah terus, berkali-kali dah tak kritik malah tambah marah, jadi



Studi Kasus Tentang Kekerasan ........... (S. Hafsah Budi. A)



\ 81[ [



rasanya dirumah hanya seperti pembantu, yang tidak punya hak bicara kalau tuannya tidak menghendaki, jadi rasanya tegang gitu”(Ati WM). Istri yang mendapatkan kekerasan seksual akan mengeluh mengalami rasa sakit didaerah vagina karena dilakukan secara paksa dan juga istri kurang siap untuk melakukan hubungan seksual. “Rasanya sakit hati, sakit badan ter utama didaerah vagina, dianggap sebagai barang yang tidak punya perasaan sewaktu-waktu dapat dipakai, setelahnya ditinggalkan”(Ati WM). Sementara penderitaan yang paling sering dialami oleh istri yang mengalami kekerasan ekonomi diantaranya adalah perasaan cemas, takut, dan tertekan. 4. Reaksi istri terhadap kekerasan yang dialaminya Diam saja 45% karena merasa tidak berdaya, memaklumi tindakan suaminya 20%. Reaksi memperbolehkan dan menganggap wajar sering dilakukan oleh istri yang mendapatkan kekerasan psikhis 20%. Reaksi selalu menuruti keinginan suami 15% karena takut terhadap apa yang dilakukan suami adalah reaksi yang sering dilakukan istri yang mendapatkan kekerasan seksual dan ekonomi. Sementara para istri yang mendapatkan kekerasan fisik menunjukkan keseimbangan antara reaksi diam saja tidak membalas, melarikan diri 20%, atau membalas perlakuan suami 10%. “Iya wajar, namanya laki-laki, masalahnya kalau sudah bosan, yah tidak dapat dipaksakan lagi. Sebetulnya saya masih menginginkan sekali diajak bermesraan oleh suami, tapi dianya tidak pernah peduli akhirnya tak pendem sendiri keinginan itu. Kadang kalau sudah tak tahan saya nangis kalau suami tahu kadang \ 82[ [



dia mau bermesraan, rasanya sakit gitu lho masak pengin bermesraan saja harus nangis dulu” (Ati WM). “Sering suami kalau sudah pengin bercinta langsung maksa walau saya sedang mensturasi kalau tidak mau dihina, diejek dengan kata-kata jorok dan langsung ditinggal pergi”. (Iva, WM). Pembahasan Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kraton dan Kecamatan Gondomanan Kota Yogyakarta. Budaya Jawa merupakan budaya yang dominan di daerah penelitian ini, dan Islam adalah agama yang dianut sebagian besar masyarakat. Secara umum penelitian ini menguatkan asumsi bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada perempuan tanpa membedakan status sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya. Variabel-variabel seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, usia ternyata tidak berpengaruh terhadap munculnya kekerasan suami terhadap istri. Meskipun mungkin bila ditinjau dari segi metodologi, penelitian ini masih mempunyai banyak kekurangan namun cukup dapat mengungkapkan fenomena kekerasan di Yog yakarta khususnya di kecamatan Gondomanan dan kecamatan Kraton. Penelitian ini menemukan bahwa 20 dari 100 istri (20%) pernah mendapatkan kekerasan dari suaminya. Jumlah tersebut dapat dikatakan jumlah yang tidak sedikit. Hal itu juga berarti bahwa 1 dari 5 istri mendapatkan kekerasan dari suaminya. Hasil ini juga sama besarnya dengan angka perceraian di Yogyakarta, juga tidak terlepas dari budaya setempat yang sudah lama mengakar dalam pikiran dan perilaku masyarakat. Jika perceraian sudah dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak tabu atau memalukan, maka masyarakat pun sudah tidak lagi terbebani jika harus bercerai. Hal itu juga menyebabkan seorang suami tidak lagi merasa malu jika HUMANITAS Vol. 3 No. 2 Agustus 2006



har us menceraikan istrinya. Terjadinya perceraian di Yogyakarta banyak disebabkan hadirnya orang ketiga, masyarakat juga sudah menganggap wajar jika suaminya mempunyai wanita idaman lain atau serong dengan perempuan lain. Jika hasil penelitian Hakimi dkk (2001) di Jawa Tengah lebih banyak menemukan perempuan yang mendapatkan kekerasan fisik dan seksual (27%), maka dalam penelitian Erni Sulastri (2002), lebih banyak istri yang mendapatkan kekerasan psikologis dan seksual. Hasil penelitian Rifka Annisa Women Crisis Center (RAWCC) (1995) menemukan bahwa perempuan yang mendapat kekerasan psikologis sebanyak 48,09%, sedangkan penelitian di Indramayu perempuan yang mendapatkan kekerasan psikologis jumlahnya jauh lebih banyak yaitu 90,48%. Dalam penelitian ini kekerasan psikologis 50% lebih hasil ini sama banyaknya dengan jumlah kekerasan yang dialami oleh responden, karena setiap bentuk kekerasan fisik, seksual, dan ekonomi selalu disertai kekerasan psikologis. Faktor-faktor penyebab kekerasan yang terjadi di Yogyakarta juga tidak berbeda dengan faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan istri di daerah atau negara lain. Semuanya sejalan dengan data tentang kekerasan terhadap perempuan yang telah ada, antara lain suami peminum alkohol, suami serong, suami menganggur, ketidakpuasan perkawinan, pertengkaran soal uang, istri menolak hubungan seks, suami marah kepada anak, suami terlalu sibuk sehingga meninggalkan rumah terlalu lama, istri tidak mempunyai kemandirian ekonomi. Hanya saja dalam penelitian ini kekerasan psikis yang sering terjadi adalah dihina (45%), sedangkan penelitian di Indramayu kekerasan terhadap perempuan lebih kompleks dan lebih beragam, fakta suami sering berjudi dan sering pergi ke tempat pelacuran. Dalam penelitian Hakimi dkk (2001), menjelaskan bahwa di seluruh



dunia berbagai penelitian telah mengidentifikasikan suatu kecenderungan yang konsisten tentang kejadian yang dapat disebut pemicu terjadinya kekerasan terhadap istri. Kejadian tersebut antara lain adalah tidak patuh pada suami, tidak menyediakan makan pada tepat waktunya, tidak mampu merawat anak-anak atau rumah dengan baik, menanyai suami tentang bagaimana ia menggunakan uangnya, menanyai suami tentang pacar atau WIL-nya, menolak suami berhubungan seks, mencurigai suami. Penelitian ini menemukan bahwa kekerasan lebih banyak dilakukan karena suami tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi atau menganggur (55%), hal ini senada dengan hasil penelitian Erni S dkk (2002), bahwa kekerasan yang terjadi pada perempuan di Indramayu bahwa suami yang menganggur lebih banyak dan sering melakukan kekerasan terhadap istri di semua bentuk kekerasan. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Hakimi dkk (2001) yang menyatakan bahwa keadaan yang cenderung mengarah pada terjadinya kekerasan terhadap istri di Jawa Tengah adalah karena suami menganggur. Berbeda dengan hasil penelitian Erni S dkk (2002), bahwa penggunaan alkohol sangat besar pengaruhnya terhadap kekerasan yang dilakukan suami kepada istri Dalam penelitian ini yang menarik adalah penyebab kekerasan terhadap istri yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah pertengkaran disebabkan karena anak yaitu, tidak sefaham dengan cara mendidik anak 45%, dan tidak serasi dalam menghukum anak 45%. Hal ini dapat disebabkan budaya di kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota budaya dan pelajar masyarakatnya sangat memperhatikan keberhasilan dan pendidikan anak. Akibat yang ditimbulkan atas tindakan kekerasan dari suami, 50% lebih istri merasa tidak bahagia dan merasa menjadi orang yang



Studi Kasus Tentang Kekerasan ........... (S. Hafsah Budi. A)



\ 83[ [



tidak berguna. 50% sakit hati dan stres sehingga tidak ada keinginan melakukan kegiatan seksual dengan suami. 40% istri merasa sakit, terutama yang terkena pukulan dan merasa tidak percaya pada suami. Perasaan pusing, sulit tidur, mual dan tidak enak makan dirasakan 35% isri yang mengalami kekerasan. 30% istri merasa trauma yang berkepanjangan dan 15% kehilangan rasa percaya diri. Reaksi yang dilakukan setelah mendapat kekerasan dari suami, 45% istri diam saja karena merasa tidak berdaya, hal ini dapat dikaitkan dengan budaya Jawa bahwa istri harus “nrimo ing pandom” artinya menerima apa adanya, juga ada yang menganggap bahwa istri tidak punya hak apa-apa dalam keluarga ia hanya sebagai “konco wingking’ artinya bahwa suami adalah orang yang harus ada didepan istri hanya sebagai teman dibelakang saja sehingga istri tidak boleh protes dengan apa yang dilakukan suami. Reaksi lain dari istri 20% memaklumi tindakan suami, mereka punya anggapan bahwa suami memang harus menang dan istri tidak boleh menentang keinginan suami dan apa saja yang dilakukan suami lebih baik diam karena kalau dibalas akan berakibat lebih buruk bagi dirinya. Sedangkan 20% istri membalas perlakuan suami, mereka yang berani membalas perlakuan suami mengatakan bahwa ia mempunyai hak yang sama dengan istri dan kalau suami tidak dibalas pasti akan mengulangi melakukan kekerasan lagi karena diang gap istri tidak berdaya sehing ga diperlakukan seenaknya sendiri. 15% istri melarikan diri dari rumah mereka mengatakan tidak tahan lagi dengan perilaku suami yang selalu melakkukan kekerasan terhadap dirinya. 30% istri minta cerai karena tidak kuat hidup bersama lagi dengan suami. Perempuan yang mempunyai pengalaman dianiaya secara fisik atau seksual oleh suaminya cenderung mengatakan status kesehatannya buruk, serta mengeluh nyeri \ 84[ [



perut bagian bawah dan memar-memar. Lebih jauh mereka mengeluhkan sakit kepala yang berkepanjangan, tukak lambung, serta istri yang mendapatkan kekerasan seksual mengeluhkan masalah perut dan vagina. Faktor-faktor penyebab kekerasan yang terjadi di Yogyakarta juga tidak berbeda dengan faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap istri di daerah lain atau di negara lain. Semuanya sejalan dengan data kekerasan terhadap perempuan yang telah ada antara lain; suami serong, menganggur, ketidak puasan perkawinan, pertengkaran soal uang, istri menolak hubungan seks, suami marah kepada anak, perilaku meniru, istri tidak mempunyai kemandirian ekonomi. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa 20 dari 100 istri (20%) mendapatkan kekerasan dari suaminya. Secara rinci disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Bentuk-bentuk kekerasan yang ditemukan terhadap Perempuan dalam Rumah tangga adalah: a. Kekerasan fisik: dipukul, ditendang termasuk mendorong dan menekan, dijambak dan ditampar dicekik, diancam pakai pisau. b. Kekerasan Psikis: dihina/dicaci, tidak diberi nafkah batin, suami selingkuh/pergi ke pelacuran, diterlantarkan, suami ingin kawin lagi dan suami sering pulang larut malam. c. Kekerasan Seksual: dipaksa melakukan hubungan seksual, diperlakukan sebagai pelacur. d. Kekerasan Ekonomi: suami tidak mau bekerja/menganggur, dipaksa bekerja untuk kepentingan suami/ keluarga, suami berjudi. 2. Faktor – faktor penyebab suami melakukan kekerasan pada istri: a. Pertengkaran soal uang: HUMANITAS Vol. 3 No. 2 Agustus 2006



kebutuhan istri/keluarga tidak terpenuhi, suami memberikan uang pada orang lain/keluarga, pembatasan uang belanja. b. Cemburu: istri punya kedudukan/gaji lebih tinggi, istri ketemu mantan pacar, istri punya teman akrab di tempat kerja, istri punya pria idaman lain. c. Problema Seksual: terjadi impotensi pada suami, terjadi frigiditas pada istri, hiperseks. d. Alkohol/Narkoba: menggunakan uang untuk narkoba. e. Pertengkaran tentang Anak: tidak sefaham dalam mendidik anak, tidak serasi dalam menghukum anak dan memukul anak. f. Suami di PHK/Menganggur: tidak punya penghasilan, penghasilan tidak tetap. g. Kehamilan: kehamilan tidak dikehendaki, kehamilan yang belum ada. 3. Akibat yang ditimbulkan atas tindakan kekerasan terhadap istri : sakit dan stres (50%), kehilangan kepercayaan terhadap suami (40%), merasa sakit, terutama yang terkena pukulan (40%), pusing, sulit tidur, mual, tidak enak makan ( 35%), merasa gugup, tegang, khawatir berlebihan (30%), merasa trauma yang berkepanjangan (30%), kehilangan rasa percaya diri (15%). 4. Reaksi yang dilakukan setelah mendapat kekerasan dari suami: diam saja karena merasa tidak berdaya (45%), memaklumi tindakan suami (20%), membalas perlakuan suami (20%), menuruti keinginan suami (15%), cerai (10%).



2. Istri yang mengalami kekerasan dan ingin pendampingan hukum maupun psikologi dirujuk ke Rekso Diah Utami (RDU) rumah perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga milik KPP DIY (Kantor Pemberdayaan Perempuan)



Saran



Nevid, J. S. Rathus, S. A. & Greene, B. (1997). Abnormal Psychology in a Changing World. Prentice-Hall Inc.



1. UU PKDRT hendaknya lebih disosialisasikan oleh pihak-pihak yang berwenang, sehingga para istri yang mengalami kekerasan dapat mengetahui akan hak-haknya dan mendapatkan perlindungan hukum.



Daftar Pustaka Chusairi, A. (2000). Kekerasan terhadap istri dan keadilan gender. Menggugat Harmoni. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Center. Hakimi, M., Hayati, E.N., Marlinawati, V.U., Winkvist, A., Ellsberg. M.C. (2001). Membisu Demi Harmoni: Kekerasan terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan di.Jawa Tengah Indonesia. LPKGM-FK UGM Yogyakarta. Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta, lJmea University Swedwn Women’s Health Exchange, USA. Kedaulatan Rakyat, (2005). Data Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga, Surat kabar Harian Kedaulatan Rakyat. Yogyakarta Kementrian Pemberdayaan Perempuan, (2003). Himpunan Peraturan Perundangundangan Yog yakarta : Kantor Pemberdayaan Perempuan. LBH APIK, (2006). Laporan korban Kekerasan dalam Rumah tang ga, Yogyakarta. Miles, M.B., & Huberman, A.M. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.



Purwandari, E. K. (1998). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: Fakultas Psikologi Ul.



Studi Kasus Tentang Kekerasan ........... (S. Hafsah Budi. A)



\ 85[ [



Rifka Annisa, (1995). Kekerasan terhadap Perempuan. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Center. Sulastri E, dkk. (2002). Studi Eksploratif tentang Kekerasan terhadap Rumah Tangga di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Yogyakarta: Psikologika, UII Tarigan, dkk. (2000). Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak: Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak Yang Meniadi Korban Kekerasan. Jakarta: Derap Warapsari.



\ 86[ [



HUMANITAS Vol. 3 No. 2 Agustus 2006



STRES DITINJAU DARI ACTIVE COPING, AVOIDANCE COPING DAN NEGATIVE COPING. Triantoro Safaria Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Abstrak Stres merupakan bagian dari kehidupan dan kehidupan tidak lepas dari stres. Stres bisa dialami siapa saja, dari kanak-kanak hingga lanjut usia. Stres bisa bersifat akut dan bisa pula bersifat kronis. Banyak penelitian empiris yang membuktikan bahwa stres berdampak secara negatif bagi kesehatan tubuh dan kesejahteraan psikologis. Namun banyak faktor yang berpengaruh terhadap stres. Diantara faktor faktor tersebut adalah strategi coping yang digunakan individu. Penelitian ini menguji hubungan antara tiga strategi coping yaitu active coping, avoidance coping dan negative coping dengan stres pada mahasiswa. Subyek penelitian berjumlah 41 orang yang merupakan mahasiswa psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Berdasarkan hasil analisis regresi menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara active coping, negative coping dan avoidance coping secara bersamasama dengan stres R = 0.045 F = 1.631 p = 0.199. Hasil uji korelasi product moment pearson antara active coping dengan stres menunjukkan adanya hubungan negatif yang tidak signifikan r = - 0.034 p = 0.417. Korelasi antara avoidance coping dengan stres menunjukkan adanya hubungan positif yang tidak signifikan r = 0.113 p = 0.241. Korelasi antara negative coping dengan stres menunjukkan hubungan positif yang signifikan r = 0.340 p = 0.015. Negative coping menyumbang 9.3 % terhadap stres. Ini menunjukkan masih terdapat 90.7 % pengaruh variabel lain yang terhadap stres. Kata kunci : stres, coping aktif, coping negatif dan coping menghindar. Abstract Stres is part of life and life doesn’t get out of stres. Stres can be experienced by whosoever, from finite child to elderly. Stres can be acute and can also be chronic. Many empirical researchs prove that stress affect negatively for health of psychological body and prosperity. But many factors having an effect on to stres. One of influencing factor is coping strategy applied by individual. This research tests relation between three strategies coping, that is active coping, avoidance coping and negative coping with stress at student. Research subject amounts to 41 psychology student of Ahmad Dahlan University Yogyakarta. Based on result of regression analysis shows there is no relationship signifikan between active coping, negative coping and avoidance coping joinly with stres R = 0045 F = 1631 p = 0199. Correlation test result product moment pearson between active coping with stres shows Stres Ditinjau dari Active Coping ........... (Triantoro Safaria)



\ 87[ [