Subsistem Manajemen, Informasi, Dan Regulasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Subsistem Manajemen, Informasi, dan Regulasi Kesehatan Keperawatan Komunitas 2



Disusun Oleh Kelompok 5 1. Rizal Khaerul H 2. Izza Alimiyah Prananingrum 3. Revi Agusvina 4. Dina Setya Rahma Kelrey 5. Deti Dwi Lestari 6. Devi Hartanti 7. Lilis Zuhriyah 8. Mia Nur Fauziah 9. Nadhia Elsa Silviani 10.Ita Samtasiah 11.Rahma Fitrah 12.Susi Erawati



Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014



SUBSISTEM MANAJEMEN, INFORMASI, DAN REGULASI KESEHATAN Pengertian Subsistem manajemen, informasi, dan regulasi ke sehatan adalah pengelolaan yang menghimpun berbagai upaya kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, pengaturan hukum kesehatan, pengelolaan data dan informasi kesehatan yang mendukung subsistem lainnya dari SKN guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya. Tujuan Tujuan subsistem manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan adalah terwujudnyakebijakan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan, berbasis bukti dan operasional, terselenggaranya fungsi-fungsi administrasi kesehatan yang berhasil guna, berdaya guna, dan akuntabel, serta didukung oleh hukum kesehatan dan sistem informasi kesehatan untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Unsur Unsur subsistem manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan terdiri dari: a. kebijakan kesehatan; b. administrasi kesehatan; c. hukum kesehatan; d. informasi kesehatan;dan e. sumber daya manajemen kesehatan. Masalah SKN Sub Sistem Manajemen, Informasi, dan Regulasi Kesehatan 1. Perencanaan pembangunan kesehatan antara pusat dan daerah belum sinkron. Begitu pula dengan perencanaan jangka panjang/menengah masih belum menjadi acuan dalam menyusun perencanaan jangka pendek. Demikian juga dengan banyak kebijakan yang belum disusun berbasis bukti dan belum bersinergi baik perencanaan di tingkat pusat dan atau di tingkat daerah. Contoh:  Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional ( SJSN) yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2014 masih belum didukung ketersediaan sumber daya manusia ( SDM ) berkualitas. Program ini masih memiliki masalah utama di sektor teknis. Perbandingan dokter-bidan dengan area layanan memang sangat kurang. Ada sekitar 86 juta penduduk yang tercatat sebagai penerima layanan SJSN bidang kesehatan, 10 juta diantaranya adalah rakyat di daerah tertinggal. Fakta tambahan, ketersediaan pelayanan kesehatan yang tidak proposional terjadi karena antara beban kerja bagi daerah tertinggal dan tingkat keterjangkauan masyarakat.  Mudahnya memperoleh pelayanan kesehatan di ibu kota dengan ketersediaan tenaga kesehatan dan fasilitas ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di daerah tertinggal. Seperti yang terjadi di daerah Nunukan, Kalimantan Timur. Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur per 2009, menyebutkan bahwa di puskesmas masih kekurangan 519 tenaga kesehatan. Kurangnya tenaga kesehatan dan fasilitas yang ada membuat masyarakat Kabupaten Nunukan lebih memilih untuk berobat ke Malaysia. 2. Sistem informasi kesehatan menjadi lemah setelah menerapkan kebijakan desentralisasi. Data dan informasi kesehatan untuk perencanaan tidak tersedia tepat waktu. Contoh:  Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia di Medan Rabu (9 maret 2006 ), Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Prof Dr Hadi Pratomo mengungkapkan penerapan desentralisasi kesehatan tidak mudah,



masih banyak persoalan yang harus ditangani. Penerapan desentralisasi kesehatan mempunyai sisi kelemahan yaitu pihak eksekutif dan legislatif di daerah , dominan menentukan anggaran kesehatan dari pemerintah pusat yang dimasukkan dalam APBD. Artinya penggunaan anggaran termasuk dana kesehatan, dikompromikan tergantung kebutuhan. Padahal desentralisasi kesehatan sebenarnya merupakan kesempatan bagi daerah. Artinya masalah – masalah di daerah dapat ditangani dan dikoordinasikan lebih cepat, terarah, dan tepat sasaran dari yang dibutuhkan masyarakat. 3. Sistem Informasi Kesehatan Nasional (Siknas) yang berbasis fasilitas sudah mencapai tingkat kabupaten/kota namun belum dimanfaatkan secara optimal. Contoh:  Data dan informasi kesehatan untuk perencanaan tidak tersedia tepat waktu, diakibatkan belum adanya standar pelayanan bidang kesehatan mengenai data dan informasi. Sehingga masing-masing pemerintah daerah memiliki persepsi yang berbeda mengenai sistem informasi kesehatan yang standar. Hal ini mengakibatkan menurunnya kelengkapan dan ketepatan waktu penyampaian data SP2TP/SIMPUS, SP2RS, dan profil kesehatan. (Sikda Generik)  Salman Anti dalam laporannya yang ditulis pada 20 September 2012 menyatakan beberapa masalah terkait informasi kesehatan yang terjadi di Kabupaten kerinci. Berikut issu atau permasalahannya,  Alokasi dana untuk pengembangan Sistem Informasi Kesehatan (SIK) terbatas sementara kebutuhan terhadap sistem informasi kesehatan semakin tinggi.  Anggaran Dinas Kesehatan hanya dialokasikan untuk meningkatkan keterampilan petugas puskesmas sebagai pengelola data Kabupaten/Kota sedangkan penyediaan fasilitas penunjang seperti penyediaan perangkat keras dan perangkat lunak, pemasangan jaringan, pemeliharaan dan pengembangan sistem informasi tidak mendapat prioritas dalam pengalokasian dana. 4. Surveilans yang belum dilaksanakan secara baik dan menyeluruh. Contoh: Keberhasilan program pemberantasan penyakit memerlukan dukungan surveilans epidemiologi. Kegiatan surveilans epidemiologi meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data epidemiologi penyakit serta penyajian informasi. Untuk itu diperlukan data dan informasi epidemiologi yang akurat, lengkap dan tepat waktu sebagai dasar pengambilan keputusan. Permasalahan sistem informasi surveilans epidemiologi yang berjalan saat ini adalah data dan informasi yang dikirim oleh puskesmas ke tingkat kabupaten maupun ketingkat selanjtumya tidak lengkap, tidak akurat serta tidak tepat waktu. Selain permasalahan tersebut, kendala jarak antar a puskesmas dan Dinas kesehatan kabupaten juga mempengaruhi ketersediaan data dan informasi di tingkat kabupaten.Pada dasarnya kelemahan system informasi ini memiliki kelemahan yang sama disetiap daerah. Misalnya system surveillance kusta di Kab. Brebes memiliki berberapa kelemahan, yaitu:  Kesederhanaan. Karena pengumpulan data dilakukan oleh puskesmas sehingga seluruh informasi berada di puskesmas namun di sistem Dinas Kesehatan Kab. Brebes hanya termuat sedikit informasi.  Fleksibilitas, sistem surveilens dikatakan fleksibel apabila mampu menyesuaikan diri dengan perubahan informasi yang dibutuhkan atau situasi pelaksaaan tanpa peningkatan yang beraarti dalam biaya, waktu serta tenaga.  Akseptabilitas, ditunjukkan dengan pencapaian hasil kegiatan yang belum sesuai dengan target yang ditetapkan serta kurangnya pencatatan dan pelaporan.  Ketepatan waktu, dalam hal ini ialah ketepatan pengumpulan dan pengolahan data.



5. Hukum kesehatan belum tertata secara sistematisdan harmonis serta belum mendukung pembangunan kesehatan secara utuh. Peraturan perundang-undangan bidang kesehatan pada saat ini belum cukup, baik jumlah, jenis, maupun efektifitasnya. Contoh:  Sampai saat ini, paling tidak tercatat 387 kasus dugaan malapraktik di Indonesia. Dari jumlah tersebut hanya 10 persen yang bisa diproses secara hukum. Anehnya, sampai kini belum ada pasien korban malapraktik yang dimenangkan di pengadilan. Bahkan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (salah satunya adalah kasus perkara nomor 188/2005 PN.TNG), Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari memerintahkan untuk segera diperiksa sambil menunggu terbentuknya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokeran Indonesia (MKDI). Menkes menjelaskan bahwa berdasarkan laporan yang ada sedikitnya terdapat empat kasus dugaan malapraktik dokter yang mulai diselidiki. Kasus malpraktik itu, yakni kasus yang menimpa Sisi CK Chalik, kasus almarhum Adya Vitry Hadisusanti, kasus Sellywayin Carolin Lubis dan kasus Syintia AN. (Budianto,2009) 6. Pemerintah belum sepenuhnya dapat menyelenggarakan pembangunan kesehatan yang efektif, efisien, dan bermutu sesuai dengan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Contoh: Beberapa masalah pembangunan kesehatan yang belum tertangani menurut pernyataan Menkes tahun 2013 adalah 1. Penurunan Angka Kematian Ibu (228/100.000 KH pada 2009; target 118/100.000 KH pada 2014); 2. Penurunan Angka Kematian Bayi (32/1000 KH pada 2012; target 24/1000 KH pada 2014) 3. Penurunan Total Fertility Rate (2,6 anak pada 2012; target 2,1 anak pada 2014); 4. Peningkatan persentase penduduk dengan akses air minum yang berkualitas (42,76% pada 2011; target 68% pada 2014); 5. Penurunan Annual Parasite Index untuk penyakit malaria (1,69 pada 2012; target 1 pada 2014). 6. Peningkatan Umur Harapan Hidup (71,1 tahun pada 2012; target 72 tahun pada 2014); 7. Peningkatan Cakupan Persalinan yang Ditolong Tenaga Kesehatan Terlatih (88,64% pada 2012; target 90% pada 2014); 8. Peningkatan persentase penduduk 15 tahun ke atas yang memiliki pengetahuan HIV/AIDS (79,5% pada 2012; target 90% pada 2014); 9. Peningkatan persentase penduduk yang memiliki jaminan kesehatan (64,58% pada 2012; target 80,10% pada 2014. Sumber: Budianto, Agus.2009.Kasus Malpraktek antara Penegakan Hukum dengan Rasa Keadilan Masyarakat Vol 3. Surabaya:Medicinus Novia. (2013, 12 24). . Retrieved 03 16, 2014, from pedesaansehat.com Sikda Generik. (n.d.). Retrieved 03 16, 2014, from http://sikda.depkes.go.id