Substansi Akidah Islam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH



SUBSTANSI AKIDAH ISLAM Di Bimbing Oleh : Suriyadin, M.Pd.I



Oleh :



Kelompok: 4 1. Saraswati 2. Eka Kurniati 3. Andi Sihab



SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) TAMAN SISWA BIMA TAHUN 2021



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Aqidah Islam. Makalah ini berisikan tentang informasi pengertian Aqidah, Iman Islam atau yang lebih khususnya membahas pengertian aqidah islam, ruang lingkup pembahasan aqidah, kemahaesaan allah dan lain-lain. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang Aqidah Iman Islam. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.



Bima, Oktober 2021



Penyusun



DAFTAR ISI



HALAMAN SAMPUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penulisan BAB II PEMBAHASAN A. AQIDAH ISLAM



B. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah C. Kemahaesaan Allah D. Rukun Iman sebagai Fondasi Aqidah Islam E. Kiamat, hukum alam, dan akhirat F. Peranan malaikat, dan makhluk ghaib lainnya serta pengaruhnya terhadap manusia G. Tugas dan peranan Nabi dan Rasul H. Pengertian qadha dan qadar BAB III PENUTUP Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA1



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Segala sesuatu yang Allah SWT ciptakan bukan tanpa sebuah tujuan. Allah SWT menciptakan bumi beserta isinya, menciptakan sebuah kehidupan di dalamnya, bukanlah tanpa tujuan yang jelas. Sama halnya dengan Allah SWT menciptakan manusia. Manusia diciptakan oleh Allah SWT tidak sia-sia, manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi untuk mengatur atau mengelola apa yang ada di bumi beserta segala sumber daya yang ada. Di samping kita sebagai manusia harus pandai-pandai mengelola sumber daya yang ada, sebagai seorang manusia juga tidak boleh lupa akan kodratnya yakni menyembah sang Pencipta, Allah SWT, oleh karena itu manusia harus mempunyai aqidah yang lurus agar tidak menyimpang dari apa yang diperintahkan Allah SWT. Penyempurna aqidah yang lurus kepada Alla SWT tidak luput dari aqidah yang benar kepada Malaiakat-Malaikat Allah, Kitab- kitab yang diturunkan oleh Allah kepada para Rosul-rosul Allah untuk disampaikan kepada kita, para umat manusia.



1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah aqidah itu? 2. Apakah sumber dari aqidah? 3. Bagaimana aqidah jika di tinjau dari ayat-ayat Al Qur’an? 4. Apakah manfaat aqidah ?



1.3 Tujuan Penulisan Makalah ini ditulis dengan tujuan agar kita lebih memahami apa itu aqidah secara etimologis dan terminologis, sumber-sumber aqidah, pengertian aqidah yang ditinjau dari ayat-ayat Al Qur’an, ruang lingkup pembahasan dan manfaat dari aqidah untuk seorang muslim



BAB II PEMBAHASAN B. AQIDAH ISLAM  Pengertian Aqidah Secara Bahasa (Etimologi) : Kata "‘aqidah" diambil dari kata dasar "al-‘aqdu" yaitu ar-rabth (ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam (penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk (pengokohan) dan al-itsbaatu (penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan) dan al-jazmu (penetapan). Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id. Aqidah islam itu sendiri bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunah, bukan dari akal atau pikiran manusia. Akal pikiran itu hanya digunakan untuk memahami apa yang terkandung pada kedua sumber aqidah tersebut yang mana wajib untuk diyakini dan diamalkan. 



Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi)



Aqidah menurut istilah adalah perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan. 



Pengertian aqidah menurut hasan al-Banna



"Aqa'id bentuk jamak rai aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa yang tidak bercampur sedikit dengan keraguanraguan". 



Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:



"Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini keshahihan dan keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu. Untuk lebih memahami definisi diatas kita perlu mengemukakan beberapa catatan tambahan sebagai berikut: 1. Ilmu terbagi dua: 







Pertama ilmu dharuri yaitu Ilmu yang dihasilkan oleh indera, dan tidak memerlukan dalil. Misalnya apabila kita melihat tali di hadapan mata, kita tidak memerlukan lagi dalil atau bukti bahwa benda itu ada. Kedua adalah ilmu nazhari yaitu. Ilmu yang memerlukan dalil atau pembuktian.



Misalnya ketiga sisi segitiga sama sisi mempunyai panjang yang sama, memerlukan dalil bagi orang-orang yang belum mengetahui teori itu. Di antara ilmu nazhari itu, ada hal-hal yang karena sudah sangat umum dan terkenal tidak memerlukan lagi dalil. Misalnya kalau sebuah roti dipotong sepertiganya maka yang du pertiganya tentu lebih banyak dari sepertiga,



hal itu tentu sudah diketahui oleh umum bahkan anak kecil sekalipun. Hal seperti ini disebut badihiyah. Jadi badihiyah adalah segala sesuatu yang kebenarannya perlu dalil pemuktian, tetapi karena sudah sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran itu tidak lagi perlu pembuktian. 2. Setiap manusia memiliki fitrah mengakui kebenaran (bertuhan), indera untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman menentukan mana yang benar dan mana yang tidak. Tentang Tuhan, musalnya, setiap manusia memiliki fitrah bertuhan, dengan indera dan akal dia bisa membuktikan adanya Tuhan, tetapi hanya wahyulah yang menunjukkan kepadanya siapa Tuhan yang sebenarnya. 3. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan. Sebelum seseorang sampai ke tingkat yakin dia akan mengalami beberapa tahap.   



Pertama: Syak. Yaitu sama kuat antara membenarkan sesuatu atau menolaknya. Kedua: Zhan. Salah satu lebih kuat sedikit dari yang lainnya karena ada dalil yang menguatkannya. Ketiga: Ghalabatu al-Zhan: cenderung labih menguatkan salah satu karena sudah meyakini dalil kebenarannya. Keyakinan yang sudah sampai ke tingkat ilmu inilah yang disebut dengan aqidah.



4. Aqidah harus mendatangkan ketentraman jiwa. Artinya lahirnya seseorang bisa saja purapura meyakini sesuatu, akan tetapi hal itu tidak akan mendatangkan ketenangan jiwa, karena dia harus melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya. 5. Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan. 6. Tingkat keyakinan (aqidah) seseorang tergantung kepada tingkat pemahaman terhadap dalil. Misalnya: - Seseorang akan meyakini adanya negara Sudan bila dia mendapat informasi tentang Negara tersebut dari seseorang yang dikenal tidak pernah bohong. - Keyakinan itu akan bertambah apabila dia mendapatkan informasi yang sama dari beberapa orang lain, namun tidak tertutup kemungkinan dia akan meragukan kebenaran informasi itu apabila ada syubhat (dalil-dalil yang menolak informasi tersebut). - Bila dia menyaksikan foto Sudan, bertambahlah keyakinannya, sehingga kemungkinan untuk ragu semakin kecil. - Apabila dia pergi menyaksikan sendiri negeri tersebut keyakinanya semakin bertambah, dan segala keraguannya akan hilang, bahkan dia tidak mungkin ragu lagi, serta tidak akan mengubah pendiriannya sekalipun semua orang menolaknya. - Apabila dia jalan-jalan di negeri Sudan tersebut dan memperhatikan situasi kondisinya bertambahlah pengalaman dan pengetahuanya tentang negeri yang diyakininya itu. Dalam pengertian lain aqidah berarti pemikiran menyeluruh tentang alam, manusia, dan kehidupan, dan tentang apa-apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Pemikiran



menyeluruh inilah yang dapat menguraikan ‘uqdah al-kubra’ (permasalahan besar) pada diri manusia, yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan; siapa yang menciptakan alam semesta dari ketiadaannya? Untuk apa semua itu diciptakan? Dan ke mana semua itu akan kembali (berakhir)?



B. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah Menurut Hasan al-Banna sistematika ruang lingkup pembahasan aqidah adalah: 1. Ilahiyat Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilahi seperti wujud Allah dan sifat-sifat Allah, dan lain-lain 2. Nubuwat Yaitu pembahasan tentang segala seuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang Kitab-Kitab Allah, mu'jizat, dan lain sebagainya. 3. Ruhaniyat Yaitu pembahsasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti malaikat, Jin, Iblis, Syaitan, Roh dan lain sebagainya. 4. Sam'iyyat Yaitu pembahahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam'I (dalil naqli berupa Al-Quran dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lainnya.



C. Kemahaesaan Allah Allah adalah esa; satu dalam dzat, sifat dan karya-nya.Keesaan Allah merupakan gambaran kemahakuasaan-Nya yang tidak tertandingi oleh apa dan siapapun, sebab selain Dia adalah ciptaan-Nya belaka. Tauhid merupakan keyakinan akan keesaan Allah, yaitu keyakinan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Keyakinan akan keesaan Allah merupakan ciri utama dari agama Islam yang berbeda dengan agama-agama lainnya di dunia. Keesaan Allah dalam ajaran Islam berbeda dengan keyakinan monoteistik pada agama Yahudi dan Nasrani. Tauhid merupakan keyakinan akan keesaan Allah yang meniadakan segala unsur yang lain. Satu bukanlah terdiri dari unsur-unsur atau bagian dari bilangan, tetapi satu yang utuh. Keesaan Allah dalam keyakinan muslim bukan hanya berupa pengetahuan dan pengakuan tetapi mendorong dalam membentuk perilaku dan sikap tauhid yang diawali dengan persaksian melalui syahadat. Syahadatain berbunyi: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah Pengakuan dan keyakinan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah “ mengandung arti bahwa tidak ada bentuk apapun yang dipertuhankan selain Allah. Artinya hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan bagi seorang muslim. Tuhan diartikan sebagai segala



sesuatu yang mendominasi diri, atau yang membuat orang tergantung kepadanya. Apabila ada seseorang memiliki sesuatu baik orang maupun barang atau kedudukan, apabila dominan dan membuat orang itu tergantung kepadanya, maka orang itu tidaklah bertauhid. Karena itu, persaksian yang dinyatakan dalam syahadat itu tidak terbatas pada ucapan dua kalimat syahadat (syahadatain), melainkan dibuktikan dalam berpikir, bertindak, dan bersikap. Berpikir tauhid adalah berpikir utuh dan intgral, ia akan memandang alam maupun manusia sebagai sesuatu sistem yang integral. Dengan demikian ia akan mampu memberikan penilaian dan bertindak secara adil. Sementara dalam hubungannya dengan sikap, maka tauhid memiliki implikasi dalam bentuk sikap hidup yang tidak tergantung pada siapapun selain pada Allah, karena itu ia akan hidup berani, merdeka dan mandiri.



D. Rukun Iman sebagai Fondasi Aqidah Islam Akhir-akhir ini di Indonesia kembali marak terjadi penyimpangan dan pelecehan agama Islam. Ini menandakan bahwa rukun iman yang merupakan dasar dari aqidah agama Islam di masyarakat Indonesia telah melenceng. Oleh karena itu kita perlu mengkaji lebih jauh lagi apa sebenarnya yang dimaksud dengan rukun iman. Iman artinya percaya dan yakin kepada Allah Pencipta, kemudian kepada malaikat, rasul, kitab, qada dan qadar, juga hari akhir. Tapi, ada yang merumuskan iman itu harus mengandung 3 aspek: hati, lidah, dan perbuatan. Hati membenarkan apa yang kita percayai dengan yakin, lidah menyatakan dan mengakui apa yang dipercayai hati. Dan kesungguhan dan kebenaran iman akan terbukti kalau diikuti dengan amal yang baik (amal shaleh) Iman ibarat fondasi, yang menjadi penyangga pada bangunan (agama). Kokohnya bangunan akan sangat bergantung pada kokohnya fondasi. Tapi iman itu sendiri dapat kuat bila disangga oleh enam pilar utama disebut “rukun iman”. Di dalam Al-Quran disebutkan : “Bukanlah menghadapkan wajah ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi” (QS Al-Baqarah, 2:177). Iman Kepada Allah, inti iman sesungguhnya adalah tauhid (mengesakan Allah), sebagaimana yang menjadi misi segala Nabi (QS 21:25). Pada ayat-ayat lain dijelaskan :     







Allah itu Esa Zat-Nya, tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia (QS 112: 1) Allah Esa Sifat-Nya (Dia hidup berkuasa, Berilmu, Berkehendak), tetapi sifat_nya tidak sama dengan makhluk lain-Nya. (QS 2:255 ; QS 42:13) Allah Esa Perbuatan-Nya. Perbuatan Allah tidak bisa ditiru oleh siapapun. Dia menciptakan bunga, adakah manusia dapat membuat sekuntum bunga? (QS 59:24) Allah Esa Wujud-Nya (QS 13:16) Allah Esa dalam memberi hukum. Sebaik apapun hukum yang dibuat manusia, tidak dapat menyamai hukum Tuhan, umpamanya ditinjau dari segi keadilannya, simpelnya, kebijaksanaannya, filosofi hukumnya, dan akibat yang dihasilkan oleh hukumnya ( QS 5:50; 28:70). Allah Esa menerima ibadah. Tiada yang pantas, patut dan berhak disembah kecuali Dia semata. (QS 1:5; 21:25).







Allah Esa menerima do’a, hajat dan hasrat manusia. Berdoa dan minta tolonglah hanya kepada-Nya karena Dia pasti memperkenankan apa yang diminta hamba-Nya. (QS 3:8; 51:58).



Iman kepada malaikat, mengapa kita wajib beriman kepada malaikat? Karena salah satu dari pekerjaan malaikat adalah menyampaikan wahyu dan menulis segala perbuatan kita. Dari wahyu itulah kita memperoleh informasi Tuhan itu Esa, Tuhan mempunyai aturan-aturan yang harus ditaati oleh manusia (syari’ah). Kalau kita tidak percaya kepada malaikat, maka akan menjadi ragu  pula terhadap wahyu yang disampaikannya kepada para Nabi dan Rasulullah. Oleh karena itu kita harus percaya kepada malaikat, agar kita bisa memperoleh informasi yang luas dari wahyu yang disampaikannya. Iman kepada para Nabi dan Rasul. Untuk mengatur kehidupan manusia yang baik dan benar Tuhan menurunkan wahyu yang dibawa malaikat yang disampaikan kepada Nabi dan Rasul. Nabi adalah orang-orang pilihan yang cerdas, terpercaya, dan tahan uji. Mereka dipilih Tuhan untuk menerima berita dan menyampaikannya kepada umat (manusia). Menurut Al-Quran setiap umat telah diutus Rasul atau Nabi untuk mereka (QS Fathir, 35:24). Tuhan tidak akan mengazab manusia yang di tempat mereka belum pernah diutus pemberi peringatan. Manusia diberi kebebasan untuk memilih apakah akan menerima hidayah yang disampaikan atau tidak (QS Al-Isra’, 17:15). Iman kepada Kitab-Kitab Allah. Konsekuensi dari iman kepada Nabi dan Rasul, wajib iman (percaya) pula kepada yang dibawanya. Para Rasul itu, sebagaimana dikemukakan terdahulu, membawa misi kerasulan (risalah). Risalah itu berupa perintah-perintah Tuhan, Baik yang berupa (kewajiban) untuk dijalankan, maupun perintah untuk ditinggalkan (larangan). Itulah makna asli dari “Kitab” yaitu “Perintah Suci”. Salah satu dari rukun iman percaya kepada “kitab-kitab Allah”. Didalam surat Al-Baqarah ayat 24 disebutkan bahwa orang beriman adalah orang yang percaya kepada kitabyang diturunkan kepadamu, Muhammad (yaitu AlQuran) dan yang percaya kepada kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya (Zabur, Taurat, dan Injil). Semua kitab yang telah ada sebelumnya mengajarkan hal yang sama yaitu tentang tauhid kepada Allah, yang berbeda hanya dalam pelaksanaannya. Iman kepada Hari Akhir (Eskatologi). Kepercayaan kepada Hari Akhir atau hari Kiamat dikenal juga dengan istilah “Eskatologi”, yaitu suatu ajaran teologi atau kepercayaan mengenai akhir zaman, Hari Kiamat atau Hari Kebangkitan. Iman atau kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, kitab dan rasul, membawa kita kepada kepercayaan pada adanya Hari Akhirat ataupun Hari Kebangitan. Keyakinan akan adanya Hari Kiamat adalah kepercayaan yang paling asasi pada setiap agama, terutama agama Islam. Hidup sekarang, di dunia ini sebenarnya hanyalah hidup sementara, hidup persinggahan untuk menyiapkan bekal kehidupan yang lebih abadi di akhirat nanti. Segala perbuatan kita di dunia akan dimintai pertanggungjwabannya. Iman kepada hari akhirat amat penting. Meskipun dalam rukun iman diletakkan pada rukun yang kelima, tetapi kalau kita perhatikan Al-Quran sering menyebutkan iman kepada hari akhir ini langsung di bawah Iman kepada Allah, seakan rukun iman hanya ada dua (QS Al-Baqarah, 2:8). Iman kepada Qadla dan Qadar. Qadla dan Qadar seringkali “takdir” berasal dari bahasa Arab yang akar katanya: Qadla-yaqdli-qadlaan, biasa berarti: hukum atau keputusan (QS. 4:65): perintah (QS. 17:23), kehendak (QS 3:47) menciptakan (QS 41:12). Sedang Qadar berasal dari akar kata: Qaddara-yuqaddiru-taqdiran, mempunyai arti: kadar atau ukuran (QS. 2:20). Qadla dan Qadar (taqdir) artinya : Hukum, keputusan, perintah, kehendak, ciptaan menurut



kadar, ukuran, ketentuan, aturan, kekuasaan. Iman kepada qadla-qadar Allah artinya Percaya bahwa segala hukum, keputusan, perintah,  ciptaan tidak lepas (selalu berlandasan) pada kadar, ukuran, ketentuan, aturan, dan kekuasaan Allah SWT. Kewajiban kita beriman kepada qadla-qadar ini diatur dalam banyak ayat dalam Al-Quran agar kita terus berusaha dan berikhtiar dalam menjalani kehidupan ini, tidak berputus asa, dan mudah menyerah. Melihat uraian di atas, kita bisa mengambil berbagai pelajaran mengenai rukun iman yang merupakan fondasi dari sistem aqidah Islam. Uraian ini bisa membuat kita lebih memperkokoh lagi aqidah kita untuk  mengatasi berbagai penyimpangan oleh orang yang tidak bertanggungjawab yang ingin menghancurkan Islam.



E. Kiamat, hukum alam, dan akhirat Kiamat merupakan akhir perjalanan kehidupan alam raya dan pintu masuk alam akhirat. Peristiwa kiamat adalah hari kehancuran dunia yang di gambarkan Alquran Surat. Al Zalzalah (kegoncangan) sebagai saat penghancuran total yang tidak ada satu makhluk pun yang tertinggal, semua hancur, selain dalam surat Al Zalzalah, Allah juga memberikan penjelasan tentang kiamat dalam surat Al Waqi’ah ayat 5-6, surat At Takwir ayat 1,2,3,6, dan 11. Di riwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata: Bahwa Rasulullah bersabda: Sesungguhnya akan datang seorang lelaki besar gemuk pada hari kiamat yang berat amalnya di sisi Allah tidak seberat sayap seekor nyamuk sekalipun. Bacalah oleh kalian: Maka Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi amalan mereka pada hari kiamat. (Shahih Muslim No.4991) Datangnya hari kiamat tidak dijelaskan secara rinci baik dalam Alquran maupun hadis, tetapi ciri-ciri akan datangnya kiamat diisyaratkan dalam berbagai hadits Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda: Allah Taala menggenggam bumi pada hari kiamat dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian berfirman: Akulah raja! Manakah raja-raja bumi? (Shahih Muslim No.4994) manakala manusia tidak lagi berpegang kepada nilai-nilai ilahiyah yang menjaga kemanusiaannya, tetapi telah menjadikan nafsu sebagai tuhannya. Apabila diperhatikan isyarat-isyarat tentang datangnya kiamat, maka dapat dipastikan bahwa kiamat berhubungan dengan keserakahan manusia dan ditinggalkannya nilai-nilai agama. Karena itu, jika dikaitkan dengan hukum alam (sunnatullah), maka kiamat pasti akan datang karena sebagai akibat semakin jauhnya manusia dari nilai-nilai kebaikan yang menjadi tugas hidupnya sebagai khalifatullah fil ardhi dan meletakkan dirinya sebagai penguasa yang tanpa batas.



F. Peranan malaikat, dan makhluk ghaib lainnya serta pengaruhnya terhadap manusia Di samping manusia dan makhluk lainnya yang bersifat fisik, Allah menciptakan makhluk yang bersifat ghaib, yaitu jin, malaikat, dan setan. Jin adalah makhluk yang bersifat ghaib;



tidak tampak secara kasat mata dan menghuni dunianya sendiri yang bersifat ghaib pula. Jin memiliki tugas yang sama dengan manusia, yaitu beribadah kepada Allah, karena itu kebaikan dan keburukan pun terjadi di dunia jin. Jadi di dalam dunia jin terdapat jin yang baik dan yang jahat. Di samping jin, terdapat pula setan yang lebih ditampilkan dalam bentuk kekuatan halus yang membisikkan keburukan kepada manusia dan jin. Sedangkan makhluk lainnya adalah malaikat yang lebih menggambarkan kekuatan baik. Baik setan maupun jin tidak diperoleh gambaran secara pasti di kalangan para hali tafsir, jadi bisa dalam bentuk makhluk yang bersifat halus dan ghaib atau mungkin saja berupa kekuatan yang membisikkan yang buruk dan baik. Yang pasti bahwa kedua makhluk tersebut berpengaruh kepada manusia dalam bentuk bisikan untuk berbuat baik dan buruk ke dalam hati manusia yang dilakukan oleh jin dan manusia



G. Tugas dan peranan Nabi dan Rasul Nabi dan Rasul adalah manusia-manusia pilihan yang bertugas memberi petunjuk kepada manusia tentang keesaan Allah swt dan membina mereka agar melaksanakan ajaranNya. Ciriciri mereka dikemukakan dalam Al Qur’an



Artinya : (yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah[1222], mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pembuat perhitungan. [1222] Maksudnya: Para Rasul yang menyampaikan syari'atsyari'at Allah kepada manusia. (QS. A; Ahzab;39) Tentang perbedaan para Nabi dan Rasul dengan umat manusia biasa diterangkan dalam Al Qur’an “ Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka



Artinya : Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: "Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hambaNya. dan tidak patut bagi Kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal. (QS. Ibrahim;11) Manusia dengan segala keterbatasan yang dimilikinya tidak mungkin mengetahui segala informasi tentang Tuhan, kecuali diberitahu oleh Tuhan sendiri. Pencarian Tuhan oleh manusia menyebabkan kesalahan yang sangat fatal, karena manusia menjadi penentu



Tuhannya. Dalam logika yang sehat, Tuhan sebagai pencipta haruslah Maha Kuasa dari segala sesuatu yang diciptakannya. Oleh karena itu, manusia memerlukan informasi tentang Tuhan dari Tuhan sendiri agar informasi yang diterimanya benar menurut Tuhan sendiri; bukan benar menurut manusia. Untuk berhubungan langsung dengan Tuhan, manusia tidak memiliki kemampuan sehingga mustahil dapat bertanya langsung kepada Tuhan. Karena itu manusia memerlukan penjelasan tentang Tuhan melalui orang yang dipercaya oleh Tuhan untuk menjelaskan segala sesuatu tentang Tuhan. Di sinilah peranan dan fungsi Rasul sebagai orang yang dipercaya dan dipilih Tuhan untuk menerangkan segala sesuatu tentang Tuhan. Karena itu beriman kepada Tuhan mengharuskan orang untuk beriman kepada Rasul, karena dengan perantaraan Rasullah orang dapat mengetahui segala sesuatu tentang Tuhan. Nabi dan Rasul adalah pembawa berita dari Tuhan, mereka tidak berbicara atas dasar pikirannya, melainkan atas dasar wahyu. Mengenai penunjukkan seseorang sebagai Nabi dan Rasul bukanlah ditunjuk oleh manusia tetapi oleh Tuhan sendiri, sebagaimana Allah menunjuk Muhammad sebagai Rasulullah dengan firman- Nya:



Artinya : Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, Maka tetaplah pada jalan yang Lurus menuju kepadanya dan mohonlah ampun kepadanya. dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (QS.Fussilat, 41:6)



H. Fungsi Kitab suci yang dibawa Rasul Bagi umatnya Allah menurunkan petunjuk kepada manusia melalui wahyu yang dibawa oleh para Rasul-Nya. Alquran mencatat empat kitab suci yang dibawa rasul-rasul Allah untuk manusia, yaitu Zabur, Taurat, Inzil dan Alquran yang masing-masing dibawa oleh Nabi Daud, Musa, Isa dan muhammad SAW. Kitab suci yang dibawa oleh para nabi tersebut merupakan informasi dari Allah Swt untuk disampaikan kepada manusia. Keempat kitab suci tersebut bersumber dari Allah Swt, karena itu dari segi keyakinan (aqidah) ketuhanannya sama, yaitu tauhid atau mengesakan Tuhan. Sedangkan hukum-hukum (syariat) yang dibawanya memiliki perbedaan, karena hukum-hukum itu terkait dengan kondisi dan situasi masyarakatnya, terlebih lagi nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad diutus untuk suatu bangsa atau suku bangsa tertentu, karena itu syariat masing-masing Nabi berbeda. Kitab-kitab suci yang dibawa para nabi berfungsi memberikan penjelasan tentang kebenaran Allah Yang Maha Esa sebagai Tuhan Semesta Alam serta memberikan petunjuk jalan yang benar kepada umatnya.



H. Pengertian qadha dan qadar Allah sebagai Maha Pencipta telah meletakkan ukuran yang pasti kepada seluruh ciptaan Nya dimana ukuran-ukuran tersebut menjadi hukum tersendiri bagi alam. Aturan yang ditetapkan



Allah atas alam tersebut seringkali disebut sunnatullah dan dalam ilmu pengetahuan disebut hukum alam. Sunnatullah yang telah diatur sehingga alam menjadi harmonis dan seimbang itu bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, tetapi direncanakan secara sengaja oleh Allah Swt. Rencana Allah atas alam dan semua makhluknya disebut qadha Sedangkan realisasi segala perencanaan itu disebut qadar. Perencanaan yang telah ditetapkan Allah atas segala sesuatu merupakan hak Allah dan manusia tidak bisa mengintervensinya. Disebutkan dalam hadits riwayat anas bin malik ra. Sesungguhnya Allah Taala mengutus seorang malaikat di dalam rahim. Malaikat itu berkata: Ya Tuhan! Masih berupa air mani. Ya Tuhan! Sudah menjadi segumpal darah. Ya Tuhan! Sudah menjadi segumpal daging. Manakala Allah sudah memutuskan untuk menciptakannya menjadi manusia, maka malaikat akan berkata: Ya Tuhan! Diciptakan sebagai lelaki ataukah perempuan? Sengsara ataukah bahagia? Bagaimanakah rezekinya? Dan bagaimanakah ajalnya? Semua itu sudah ditentukan dalam perut ibunya. (Shahih Muslim No.4785) Demikian pula Allah berhak untuk menentukan dan melaksanakan apa yang direncanakannya untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan-Nya. Allah menetapkan qadha dan qadar dan siapapun tidak akan bisa merubahnya kecuali Allah sendiri. Allah yang berhak merobah ketentuannya karena Dia Maha Kuasa atas segalanya, misalnya: api adalah zat yang telah ditentukan Allah untuk memiliki sifat panas dan dapat membakar sesuatu. Tetapi suatu saat api yang panas itu dirobah-Nya untuk dingin sehingga Nabi Ibrahim selamat dari pembakaran yang dilakukan musuhnya. Demikian pula hukum-hukum yang lain, misalnya apabila benda dilepaskan dari suatu ketinggian, maka benda itu akan jatuh ke bumi. Jatuh ke bumi adalah takdir Allah yang disebut oleh ilmu pengetahuan dengan istilah gravitasi. Kemudian manusia memikirkan dan mengusahakan dengan kemampuannya untuk menghindarkan gravitas bumi dengan membuat peralatan tertentu seperti pesawat udara, maka gravitasi itu pun dapat dihindari dan manusia dapat melayang di udara. Kemampuan manusia untuk melayang di udara dengan pesawat terbang itu juga adalah takdir Allah. Dari kedua contoh di atas tampak bahwa Allah menetapkan dan merubah takdir segala sesuatu. Perubahan itu merupakan kekuasaan Allah dan sebagian dapat dirubah oleh manusia melalui usaha-usahanya. Takdir yang berupa ketetapan atau hukum Allah atas segala sesuatu tidak terlepas dari sifat Allah Yang Maha Adil, karena itu segala usaha manusia akan diperhitungkan Allah sebagai gambaran keadilan- Nya itu. Demikian pula dengan nasib seseorang, Allah telah menetapkan qadha dan qadarnya yang tiada seorang pun mengetahuinya. Selanjutnya manusia didorong untuk berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan takdir yang terbaik untuknya. Allah Maha Adil untuk memberikan perhargaan pada usaha yang dilakukan manusia, karena itu bisa jadi takdirnya menjadi baik pula baginya. Dengan demikian qadar dan ikhtiar merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, tetapi takdir Allah yang terjadi pada seseorang setelah berikhtiar merupakan keputusan Allah yang terbaik bagi orang itu. Karena Allah hanya memberikan yang terbaik sesuai dengan sifatnya Yang Maha pengasih dan Penyayang. Walaupun yang terbaik menurut Allah tidak selalu sama dengan keinginan dan harapan manusia.



BAB III PENUTUP Kesimpulan Aqidah adalah ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan, atau sebuah keyakinan. Keyakinan yang kokoh kepada Allah SWT dimana tidak ada keraguan di dalam dirinya. Yakin bahwa Allah itu Esa/ satu, dan tidak berbuat kafir atau menyekutukan Allah. Aqidah islam itu sendiri bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunah, bukan dari akal atau pikiran manusia. Akal pikiran itu hanya digunakan untuk memahami apa yang terkandung pada kedua sumber aqidah tersebut yang mana wajib untuk diyakini dan diamalkan. Atas dasar ini, akidah mencerminkan sebuah unsur kekuatan yang mampu menciptakan mu'jizat dan merealisasikan kemenangan-kemenangan besar di zaman permulaan Islam. Keyakinan harus di dasari dengan mengesakan Allah, karena barang siapa yang menyakin adanya Tuhan maka hendaknya harus yakin bahwa Allah itu esa/satu. Seperti di tuangkan pada surat Al Ikhlas bermakna memurnikan ke esaan Allah SWT, diterangkan bahwa kandungan Al-Qur’an ada tiga macam: Tauhid, kisah-kisah dan hukum-hukum. Dan dalam surat ini terkandung sifat-sifat Allah yang merupakan tauhid. Dinamakan surat AlIkhlash karena didalamnya terkandung keikhlasan (tauhid) kepada Allah dan dikarenakan membebaskan pembacanya dari syirik (menyekutukan Allah ).



DAFTAR PUSTAKA 



  







Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdu! Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425HIAgustus 2004M Lisaanul `Arab (IX/31 1:tj-~) karya tbnu Nlanzhur (wafat th. 711 H) t dan Mu'jamu! Wasiith (tl/614:tL.3-~). Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma' wa Shifat Allah. Lihat Buhuuts fii `Aqiidah Ahtis Sunnah wat Jamaa'ah (hal. 11-12) oleh Dr. Nashir bin `Abdul Karim at `Aql, cet. !II Daarul `Ashimah/ th. 1419 H, `Aqiidah Ahiis Sunnah wal Jamaa'ah (hal. 13-14) karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim alHamd dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah fil `Aqiidah oleh Dr. Nashir bin `Abdul Karim al-`Aql. Disalin dari kitab AI-Qadha wal Qadar, edisi Indonesia Qadha & Qadhar, Penyusun Syaikh Muhammad Shalih AI-Utsaimin, Penerjemah A.Masykur Mz, Penerbit Daru( Haq, Cetakan Rabi'ul Awwa( 1420HIJuni 1999M