TAKE HOME EXAMINATION Self Reflection Ethum 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TAKE HOME EXAMINATION



“SELF REFLECTION” Disusun Untuk Memenuhi Tugas Take Home Examination Mata Kuliah Etika dan Hukum Dalam Keperawatan Dosen Pengampu : Dr. Ibrahim Rahmat, S.Kp.,S.Pd.,M.Kes.



Oleh : Regina Ona Adesta 15/388312/PKU/15534



PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA 1



YOGYAKARTA 2016



KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan YME karena atas berkat rahmad dan kasih karuniaNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan take home examination Mata Kuliah Etika dan Hukum dalam Keperawatan ini tepat pada waktunya. Makalah ini berisi tentang “Self Reflection”. Penyusunan take home ini tidak terlepas dari adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ibrahim Rahmat, S.Kp.,S.Pd.,M.Kes. selaku dosen pengampuh Mata Kuliah Etika dan Hukum dalam Keperawatan. 2. Seluruh rekan Angkatan VI Program Studi Magister Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang telah banyak memberikan masukan yang sangat membantu. Penyusun menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penyusun mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini selanjutnya. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dipergunakan sebagaiman mestinya.



Yogyakarta, Januari 2016 Penyusun



2



DAFTAR ISI Sampul ................................................................................................................. Kata Pengantar ..................................................................................................... ii Daftar Isi .............................................................................................................. iii BAB I ANALISIS REFLEKSI ........................................................................... A. Refleksi terkait dengan Proses Kerja Kelompok .................................. 1. Deskripsi Materi Perkuliahan Yang Diperoleh .................................. 2. Deskripsi Kasus Bahasan .................................................................. B. Analisis dan Sintesis berdasarkan Materi Perkuliahan .........................



1 1 1 6 9



BAB II RENCANA TINDAK LANJUT ................................................ 11 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 12 A. Kesimpulan ................................................................................................... 12 B. Saran .............................................................................................................. 12 DAFTAR PUSTAKA



3



BAB I ANALISIS REFLEKSI A. Refleksi terkait dengan Proses Kerja Kelompok 1. Deskripsi Kasus Bahasan Materi penugasan kelompok yaitu tentang Major Health Issues Needing Ethical and Legal Resolution dengan kasus yang menarik untuk dibahas oleh kelompok adalah Withdrawal Life Support pada pasien Mati Batang Otak. Anggota kelompok terdiri dari 9 orang, yaitu Apri Nur Wulandari, Cut Oktaviyana, Dian Novita K., Indah Prawesti, Latifah Susilowati, Regina Ona Adesta, Warti Ningsih, Widiono dan Yulia Riska. Kasus yang dibahas yaitu : Kritis, Keluarga Lepas Alat Bantu Hidup Bobbi Brown, diambil dari TEMPO.CO, Atlanta. Bobbi Kristina Brown, 22 tahun, putri penyanyi Whitney Houston kini berada dalam perawatan rumah sakit. Anggota keluarganya kini hanya menunggu waktu, setelah sebelumnya dokter spesialis dan perawat yang menangani Bobbi memberikan informasi mengenai tidak adanya harapan pulih pada Bobbi karena pasien mengalami mati batang otak. Bobbi masih bernafas dan memiliki detak jantung hal ini dikarenakan alat bantu hidup dan obat-obatan terpasang di tubuh Bobbi. Pat Houston, tante Bobbi, mengatakan alat bantuan hidup telah dilepaskan dari tubuh keponakannya. Ia mengatakan saat ini kondisi Bobbi terus memburuk. "Dia di tangan Tuhan sekarang," ujar Pat Houston, seperti yang dikutip dalam Daily Mail, Kamis, 25 Juni 2015. Tim medis memberikan pilihan kepada keluarga untuk tetap mempertahankan alat bantu hidup atau melepas alat tersebut. Tim medis sepenuhnya menyerahkan keputusan tersebut kepada keluarga. Akhirnya, keluarga memutuskan untuk melepas seluruh alat bantu hidup di tubuh Bobbi agar ia dapat meninggal secara alami dan tidak merasakan kesakitan lagi. Bobbi ditemukan dalam kondisi tidak sadarkan diri di dalam bak mandi di rumahnya di Atlanta pada 31 Januari 2015. Kejadian ini terjadi sekitar tiga tahun setelah Whitney Houston ditemukan tewas di bak mandi. Insiden penemuan 1



Bobbi di bak mandi ini terjadi hanya beberapa jam sebelum ia diketahui berencana bertemu dengan seorang teman untuk menceritakan masalah yang dialaminya dengan Nick Gordon. Nick adalah anak angkat Houston, yang



kemudian berpacaran dan memutuskan menikahi Bobbi. Gordon sendiri saat ini tengah menghadapi gugatan hukum terkait dengan perlakuan kasar dan kekerasan fisik yang ia lakukan kepada Bobbi. Gordon juga digugat ihwal pencurian uang Bobbi bernilai ribuan dolar yang dilakukan Gordon saat Bobbi koma. Atas pelepasan alat bantu hidup Bobbi, Gordon menanggapinya dengan memasang sebuah status di sosial media Twitter. "Kami terus berdoa, dia telah berjuang keras selama ini, jangan putus asa." Sumber : www.tempo.com. Tanggal : Kamis, 25 Juni 2015 Kasus di atas merupakan salah satu kasus dilema etik yang muncul di rumah sakit. Dokter dan perawat sama-sama menghadapi masalah etika dan hukum dalam pengambilan keputusan pengakhiran hidup dengan pelepasan alat bantu hidup. Kajian dan telaah dari sudut medis, etika-moral maupun hukum oleh masingmasing pakarnya akhirnya menyimpulkan adanya beberapa bentuk pengakhiran kehidupan yang sangat mirip dengan euthanasia, tetapi sebenarnya bukan euthanasia. Kasus – kasus demikian disebut oleh Profesor Leenen sebagai Pseudo – Euthanasia. Salah satu bentuk pseudo- euthanasia adalah pengakhiran perawatan medik karena gejala mati otak atau batang otak. Berakhirnnya pernapasan dan detak jantung merupakan gejala utama kematian pada zaman dahulu, namun dengan perkembangan ilmu kedokteran yang sangat pesat, kini telah dibedakan antara mati klinis dan mati vegetative. Dengan teknologi kedokteran, sekarang dimungkinkan jantung dan paru – paru tetap berfungsi (secara otonom), walaupun fungsi otak telah berhenti. Walaupun pernapasan dan detak jantung masih ada, namun jika otak tidak lagi berfungsi maka kehidupan secara intelektual dan psikis/ kejiwaan telah berakhir. Mati otak menjadi tanda bahwa seseorang telah meninggal dunia dalam proses kematian. Dalam kasus di atas tim medis perlu melakukan pengambilan keputusan etik. Beberapa prinsip-prinsip etika yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan saat terjadi konflik antara prinsip-prinsip dan aturan-aturan yaitu : a.



2



Kemurahan hati



Tanggung jawab untuk melakukan kebaikan yang menguntungkan pasien dan menghindari perbuatan yang merugikan atau membahayakan pasien.



Pada kasus ini tim medis telah menunjukkan prinsip etika kemurahan hati dalam pengambilan keputusan terhadap kelangsungan hidup Bobbi. Meskipun tim medis mengetahui bahwa Bobbi tidak mempunyai harapan untuk hidup karena mengalami mati batang otak, tim medis tidak menghentikan proses perawatan namun memberikan 2 pilihan alternatif bagi keluarga, yaitu mempertahankan alat bantu agar Bobbi bisa terus hidup atau melepaskan alat bantu dengan konsekuensi kondisi Bobbi akan semakin menurun/buruk. Keputusan tim medis dengan menyerahkan sepenuhnya keputusan tersebut kepada keluarga sudah tepat karena yang akan bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut adalah keluarga, sehingga tim medis dapat mempertanggung jawabkan tindakan medis yang akan dilakukan selanjutnya terhadap Bobbi. b.



Keadilan Keadilan merupakan salah satu dari etika keperawatan yang harus dipertimbangkan oleh para perawat dalam pengambilan keputusan. Pada kasus pelepasan alat bantu (withdrawal of life support) ini, keadilan dapat dipertimbangkan dengan mengidentifikasi dampak dari tindakan tersebut, apakah telah sesuai dengan prosedur yang ada dan tidak terlepas dari hukum yang berlaku.



c.



Otonomi Prinsip otonomi menyatakan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan menentukan tindakan atau keputusan berdasarkan rencana yang mereka pilih. Berdasarkan kasus ini seorang perawat dapat menggunakan hak otonominya untuk membela pasien dalam melanjutkan hak untuk hidupnya. Namun disisi lain, melihat keadaan pasien yang hidup dengan alat bantu, dan tidak dapat menentukan hak otonomi dirinya, keluarga mengambil alih keputusan pada diri pasien. Perawat hanya dapat mengikuti keputusan keluarga sebagai pengganti pasien dan mendukung keluarga dalam menghadapi proses kehilangan. 3



d.



Kejujuran (Veracity) Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh



pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Dalam kasus ini peran perawat adalah memberi tahu dan menjelaskan secara jelas mengenai keadaan atau kondisi pasien. Berlandaskan pada alasan bahwa batang otaklah terletak pusat penggerak napas dan jantung. Sehingga apabila batang otak telah mati maka jantung dan paru-paru hanya bisa bergerak dengan bantuan alat-alat penopang. Dengan demikian inform consent sangat berperan aktif dalam kasus ini. Apa proses selanjutnya yang diinginkan oleh pihak keluarga. Agar informed consent dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan dialog antara pasien dan penyedia layanan kesehatan yang terdiri dari lima komponen berbeda. e.



Ketaatan (Fidelity) Ketaatan dapat ditampilkan oleh perawat dengan melakukan semua tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku atau kode etik profesi keperawatan yang ada. Perawat pada kasus ini merupakan seorang care giver dan advokat bagi pasien dimana perawat bertanggung jawab untuk tetap setia pada suatu kesepakatan dan dituntut untuk dapat melakukan semua tindakan terkait permasalahan pasien tanpa merugikan pasien, keluarga pasien dan tenaga kesehatan lainnya. Prinsip etik tersebut menjadi bagian yang tidak terlepas ketika perawat mengambil keputusan etik. Tahap pengambilan keputusan etika keperawatan berdasarkan kasus di atas dapat menggunakan metode Jameton yang membagi tahapan pengambilan keputusan dalam enam langkah, yaitu: a.



Identifikasi masalah Pada tahap ini perawat melakukan identifikasi masalah terkait dengan masalah etik yang berhubungan dengan kasus withdrawal of life support (pelepasan alat bantu hidup). Masalah yang muncul pada kasus ini dapat menjadi konflik baik pada sisi medis, perawat, maupun keluarga. Kondisi pasien yang 4



mengalami mati batang otak yaitu keadaan dimana telah terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk batang otak dan serebelum. Bagi perawat yang menghadapi kondisi pasien seperti ini dapat muncul



konflik ketika menjelaskan dengan jujur dan berlandaskan prinsip etika kepada keluarga tentang kondisi pasien yang tidak mungkin kembali pulih secara medis serta kemungkinan yang akan didapatkan apabila alat tetap dipasang ataupun dilepas. Sedangkan dalam keluarga sendiri muncul konflik untuk memberikan keputusan apakah alat bantu hidup akan tetap dipasang atau dilepas mengingat kondisi pasien yang tidak memungkinkan lagi untuk sembuh dan keluarga menginginkan pasien tidak merasakan kesakitan lagi. b.



Pengumpulan data tambahan Pada kasus ini kondisi pasien yang mengalami mati batang otak tidak memungkinkan untuk mengambil keputusan sendiri terkait tindakan medis yang didapatkannya. Maka perlu melibatkan keluarga atau orang terdekat dari pasien dalam pengambilan keputusan. Pada kasus ini tante dari pasien yang terlibat langsung dalam pengambilan keputusan untuk mengakhiri penggunaan alat bantu hidup dan melepaskan dari tubuh pasien. Selain pengumpulan data berupa orangorang yang dekat dengan pasien, perawat melaporkan perjalanan kondisi pasien sampai akhirnya terpasang alat bantu hidup serta konflik yang muncul baik itu dari intern anggota keluarga ataupun anggota keluarga dengan tim medis.



c.



Identifikasi semua pilihan dan alternatif Sebelum mengidentifikasi pilihan keputusan etik maka tenaga kesehatan baik itu dokter maupun perawat perlu memperhatikan landasan hukum yang mengatur tindakan tersebut. Berdasarkan sudut hukum pidana, KUHP mengatur mengenai euthanasia melalui beberapa pasal, sebagai contoh adalah pasal 344 KUHP berbunyi “ barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh – sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Selain pasal 344, pasal 351 KUHP dapat dipergunakan sebagai acuan yang berbunyi “suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien tanpa izin dapat dikategorikan sebagai 5



penganiyaan”. Jika pasien dibiarkan meninggal atau tidak dilakukan suatu tindakan medik, dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 304 KUHP yang berbunyi “barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan



seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia wajib memberikan kehidupan, perawatan dan pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara“ Berdasarkan sudut hukum pidana, KUHP mengatur mengenai euthanasia melalui beberapa pasal, sebagai contoh adalah pasal 344 KUHP. Apabila tenaga kesehatan bertindak sebagaimana disebutkan pada pasal 344 KUHP, maka tenaga kesehatan tersebut sudah melakukan tindakan euthanasia namun Van Wijmen (1985) mengemukakan beberapa keadaan yang tidak dapat dimasukkan dalam rumusan pasal – pasal KUHP tesebut, yaitu : 1. Abstinence, of which the essence is that treatment in medical respects is useless 2. Refusing treatment by the patient, in which case the patient’s choice must be fully respected. 3. Brain death, in which case the duty to treat ceases to exist Pada kasus ini dapat muncul alternatif pilihan tindakan dalam pengambilan keputusan etik sesuai dengan aspek hukum, ilmu pengetahuan dan hak pasien. Pilihan tersebut antara lain tetap memasang alat bantu hidup pada pasien atau melepas alat bantu hidup. Masing-masing pilihan keputusan dapat menimbulkan dampak pada pasien, keluarga, maupun tim medis. Sebagai perawat kita berusaha untuk memfasilitasi apapun keputusan dari keluarga. Perawat bersama tim medis lain menjelaskan informasi yang jelas tentang alternatif keputusan yang dapat diambil terkait kondisi pasien dan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan akhir. Hal ini telah berdasarkan hak pasien menurut Meagen (1989) yaitu hak pasien untuk diberi informasi dan hak untuk dilibatkan dalam pembuatan keputusan tentang pengobatan dan perawatan. Alternatif pengambilan keputusan : a.



Mempertahankan pemasangan alat bantu hidup Kelebihan : Apabila tetap memasang alat bantu hidup maka fungsi sistem pada 6



tubuh pasien terutama pernafasan dan kardiovaskuler tetap berfungsi dengan bantuan alat dan obat-obatan. Keluarga tidak merasa kehilangan anggota keluarga karena masih bisa bertemu dan memberikan perhatian serta perawatan



pada pasien. Selain itu, keluarga memiliki harapan pasien dapat sembuh kembali. Sesuai dengan hak pasien menurut Megan (1989) yaitu hak pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang adil, memadai dan berkualitas telah dipenuhi pada tindakan ini. Kelemahan : Ketika ilmu pengetahuan medis telah menyebutkan bahwa kondisi pasien tidak dapat sembuh ataupun mengurangi penderitaan maka segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana sebagai dampak dari biaya perawatan yang cukup besar untuk merawat pasien intensif di rumah sakit. b.



Melepas alat bantu hidup Kekuatan : Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan



kesembuhan



ataupun



pengurangan



penderitaan



maka



pengakhiran pengobatan atau pelepasan alat bantu hidup merupakan keputusan yang tepat karena tidak menyiksa pasien dan tidak melanggar hak pasien lain untuk mendapatkan pelayanan yang layak sesuai dengan kondisi kesehatan mereka yang lebih memiliki harapan hidup. Kelemahan : Keluarga akan merasakan kesedihan karena kehilangan anggota keluarganya. Perawat perlu melakukan pendampingan bagi keluarga agar dapat menerima kondisi ini dengan ikhlas. Pertemuan dengan keluarga pasien menjadi aspek penting untuk memberikan dukungan emosional dan memastikan bahwa setiap orang keluarga pasien memahami proses withdrawal of life support (Kathleen, 2012). Selain



mendampingi



keluarga,



perawat



berkewajiban



untuk



memberikan pelayanan keperawatan end of life bagi pasien sehingga diakhir 7



hidupnya pasien dapat meninggal dengan tenang dan tanpa kesakitan. Hal ini berdasarkan hak pasien untuk mempertahankan dying with dignity (meninggal dengan kemuliaan) (Megan, 1989).



d.



Memikirkan masalah etis secara berkesinambungan Merujuk pada Undang – Undang Nomor 38 tahun 2014 tentang keperawatan a. Pasal 29 poin (b) yang menjelaskan mengenai tugas perawat yaitu sebagai penyuluh dan konselor. Penjelasan lebih lanjut terkait wewenang penyuluh dan konselor disampaikan di pasal 31 ayat (1) b. Pasal 37 tentang kewajiban perawat dalam pelaksanaan praktik keperawatan, point (e) menyebutkan bahwa kewajiban perawat adalah “memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas dan mudah dimengerti mengenai tindakan keperawatan kepada klien dan atau keluarganya sesuai dengan batas kewenangannya. Menurut Jurnal yang berjudul Constructing the story: How Nurses Work Family Regarding Withdrawal of Aggressive Treatment in ICU – A Narrative Study. Oleh Mc Alpine (2015), dijelaskan bahwa dalam perawatan pada pasien – pasien yang berada dalam fase end of life, komunikasi antara keluarga dean perawat tentang withdrawal, penuh dengan hubungan emosional yang sulit, tidak pasti dan kurangnya ketrampilan komunikasi dari penyedia pelayanan kesehatan dan juga konflik antara tujuan perawatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan praktik komunikasi oleh perawat ICU membantu keluarga memahami apa yang terjadi terhadap anggota keluarganya (pasien) yang disebut sebagai “Constructive the story”. Dengan adanya Constructive the story perawat ICU membantu keluarga menyadari bahwa dalam beberapa kasus tertentu withdrawal aggressive treatment akan melepaskan pasien dari penderitaan, meningkatkan kenyamanan dan mengembangkan



kematian



dalam



kedamaian



sejauh



hal



tersebut



memungkinkan. Komunikasi dimulai segera setelah pasien masuk ICU. Komunikasi awal berfokus untuk membantu keluarga dalam memahami apa yang terjadi kepada anggota keluarganya. Constructive the Story sangat tepat bagi keluarga untuk dapat mengenali alur perjalanan penyakit dan pemahaman 8



bahwa penyakit tersebut memungkinkan dapat mengarah kepada kematian. e.



Pembuat Keputusan Harus Membuat Keputusan



Dalam kasus ini, pengambilan keputusan ada di tangan keluarga, yang juga dipengaruhi oleh tenaga medis dan keperawatan yang harus memberikan informasi secara tepat namun tetap menghormati nilai – nilai individu. Keputusan yang diambil adalah mengakhiri pemberian alat – alat supportif untuk kehidupan. Hal ini sesuai dengan beberapa pertimbangan yang sebelumnya sudah harus dikomunikasikan kepada keluarga. Pertimbangan tersebut adalah apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, maka penggunaan alat support kehidupan dianggap hal yang sia-sia. f.



Melakukan tindakan dan evaluasi keputusan serta hasilnya Tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan adalah: a.



Kolaborasi antara perawat dan dokter untuk memberikan informasi tentang penyakit dan prognosis dari penyakit tersebut



b.



Berikan alternative tindakan yang dapat dilakukan beserta konsekensi apa yang dapat terjadi pada masing – masing alternative jawaban



c.



Memfasilitasi dan memberikan ruang bagi keluarga untuk mengatakan selamat tinggal



d.



Membantu



keluaga



untuk



mengahadapai proses kehilangan Evaluasi pada kasus ini adalah dengan mengkaji respon keluarga terkait keputusan melepas alat bantu kehidupan. Apakah keluarga mampu melalui proses – proses kehilangan dari denial, angry, bargaining, depresi dan acceptance. 2. Analisis dan Sintesis Berdasarkan Materi Perkuliahan yang Diperoleh Berdasarkan kasus tersebut diatas, dapat disinkronkan dengan materi perkuliahan yang diperoleh selama satu semester, yaitu : Berdasarkan kasus tersebut diatas, saya dapat memahami dengan lebih baik tentang Definisi Etika, Etik, Moral, Etos, Etis, 9



Penner dan Hukum. Selain itu kita dapat membedakan setiap maksud dan perbedaan dari istilah-istilah tersebut. Dalam kasus tersebut kitas juga dapat mengenal dan memahami tentang Prinsip-Prinsip Etik, Dilema Etik dalam Keperawatan, Faktor-



faktor yang mempengaruhi Pengambilan Keputusan Etik dan Kerangka Kerja untuk Membuat Keputusan Etik. Kita dapat mengenal dan memahami tentang aplikasi dari Tipe-tipe hukum Hukum, yang terdiri dari Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pajak (tax law), Hukum Agraria, Hukum Pidana dan Hukum Acara. Hukum yang berkenaan dengan kasus di atas adalah hukum pidana dimana termasuk tindakan sengaja yang menyebabkan kematian seseorang. Kasus tersebut juga memberikan gambaran kepada kita untuk dapat membedakan antara hukum di Atlanta (Luar Negeri) dan hukum dalam negeri. Hukum luar negeri telah mengizinkan untuk dilakukan euthanasia ataupun pseudo-euthanasia pada pasien jika pasien menginginkan untuk mati atau kondisi pasien sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup atau seperti pada kasus tersebut di atas, yaitu hidup hanya dengan alat bantu hidup.



10



BAB II



RENCANA TINDAK LANJUT (APLIKASI)



Perawat profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan konflik yang mungkin meraka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik profesional. Kemajuan dalam bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial dan hukum telah berperan dalam peningkatan perhatian terhadap etik. Standard perilaku perawat ditetapkan dalam kode etik yang disusun oleh asosiasi keperawatan internasional, nasional, dan negera bagian atau provinsi. Perawat harus mampu menerapkan prinsip etik dalam pengambilan keputusan dan mencakup nilai dan keyakinan dari klien, profesi, perawat, dan semua pihak yang terlibat. Perawat memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak klien dengan bertindak sebagai advokat klien. Keperawatan sebagai suatu profesi harus memiliki suatu landasan dan lindungan yang jelas. Para perawat harus tahu berbagai konsep hukum yang berkaitan dengan praktik keperawatan karena mereka mempunyai akuntabilitas terhadap keputusan dan tindakan profesional yang mereka lakukan. Secara umum terdapat dua alasan terhadap pentingnya para perawat tahu tentang hukum yang mengatur praktiknya. Alasan pertama untuk memberikan kepastian bahwa keputusan dan tindakan perawat yang dilakukan konsisten dengan prinsip-prinsip hukum. Kedua, untuk melindungi perawat dari liabilitas. Untuk alasan-alasan tersebut di atas, maka perawat perlu mempelajari dan memahami dengan baik standar hukum yang mengatur profesinya. Dengan demikian segala tindakan dan sikap yang berasal dari perawat sesuai dengan acuan hukum yang berlaku.



11



Perlu dilakukan sosialisasi tentang Hukum Keperawatan dari consil keperawatan setiap minimal 6 bulan bagi perawat, sehingga dalam melakukan tindakan perawat tidak



pernah lupa akan hukum.



BAB III KESIMPULAN DAN SARAN



A. Kesimpulan



Pengendalian praktek keperawatan secara internal adalah Kode Etik sedangkan secara eksternal adalah hukum. Praktek keperawatan harus dilakukan secara benar dalam arti keilmuannya dan baik dalam arti aspek Etik dan legalnya. Praktek Keperawatan berkaitan erat dengan kehidupan manusia untuk itu praktik keperawatan harus dilakukan oleh perawat profesional yang berkompeten.



B. Saran Perlu dilakukan sosialisasi tentang Etika dan Hukum dalam Keperawatan yang melindungi praktek keperawatan baik bagi mahasiswa keperawatan maupun untuk mereka yang sudah bekerja di berbagai tempat pelayanan kesehatan. 12



13



DAFTAR PUSTAKA



Ahmad, Ubbe. (2000). “Laporan Akhir Tim Pengkajian Masalah Hukum Pelaksanaan Euthanasia”. Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Perundang-Undangan RI. Allen, Jen; Chavez, Sonia; DeSimone, Sara; Howard, Debbie; Johnson, Keadron; LaPierre, Lucinda; Montero, Darrel; Sanders, Jerry. 2006. Americans' Attitudes toward Euthanasia and Physician-Assisted Suicide, 1936-2002. Journal of Sociology & Social Welfare. 33 :2 Dewi, Alexandra. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta : Pustaka Book Publisher. Grant, Marian. 2008. End-of-life issues. Evolve website. Ismani, Nila.2001. Etika Keperawatan.Jakarta:Widya Medika Muchson dan Samsuri, 2013. Dasar-dasar Pendidikan Moral. Jakarta: Ombak. Neil M. Lazar. Sham Shemie et al. Bioethics For Clinicians 24. Brain Death. C MAJ Mar 20,2001;164 Prihardjo, Robert. 1995. Pengantar Etika Keperawatan. Yogyakarta : Kanisius Rismalinda. 2011. Etika Profesi Dan Hukum Kesehatan. Jakarta : Trans Info Media Soesilo, R. 1981. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lenkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politea. Sumijatun. 2010. Konsep Dasar Menuju Keperawatan Profesional. Jakarta: Trans Info Media Sunatrio, S. 2006. Penentuan Mati, Pengakhiran Resusitasi darurat dan jangka panjang bagi Anastesiologi. FKUI/RSCM. Williams, P. J. R. 2005. Medical Ethics Manual. Ethics Unit of the World Medical Association. Yusup, M. & Amri, A. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan (Edisi 3). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC