TAS - Missiologi - Hermeneutik Misiologi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TAS Misiologi Setyawan Adi Widya Nugroho 01150057 Hermeneutik Misiologi : Sebuah refleksi atas Pemaknaan Iman Transenden, Imanen Terhadap Sang Liyan dari Wacana Menuju Etika Pendahuluan Pada konteks masyarakat plural Gereja masih memiliki stigma negatif dengan sang liyan-warga diluar gereja-akibatnya gereja masih enggan berdialog mengenai hermeneutik misi dengan sang liyan. Artikel ini mendialogkan antara pemikiran iman transenden dan imanen mengenai relasi “diri” dengan orang lain. Argumen iman ini diharapkan dapat membantu membimbing gereja dalam meninjau ulang untuk menyikapi orang lain di luar gereja terkhusus perihal misi hermeneutik. Bagian pertama akan menjelaskan proses terbentuknya masyarakat Bagian kedua adalah penjelasan tentang agama dan teologi. Bagian ketiga adalah penjelasan mengenai Allah sebagai sebagai pribadi dan persoalan wahyu kristen Bagian terakhir adalah konklusi & sintesa bagian pertama sampai bagian ketiga. Kata Kunci : Misiologi, Dogma, Transenden, Imanen, Dialog. Individu dan Masyarakat Masyarakat adalah sebagai kenyataan obyektif sekaligus menjadi kenyataan subjektif. Sebagai kenyataan obyektif, masyarakat sepertinya berada di luar diri manusia dan berhadap-hadapan dengannya. Sedangkan sebagai kenyataan subjektif, individu berada di dalam masyarakat itu sebagai bagian yang tak terpisahkan. Dengan kata lain, bahwa individu adalah pembentuk masyarakat dan masyarakat adalah pembentuk individu. Kenyataan atau realitas sosial itu bersifat ganda dan bukan tunggal, yaitu kenyataan subjektif dan obyektif. Kenyataan atau realitas obyektif adalah kenyataan yang berada di luar diri manusia, sedangkan kenyataan subjektif adalah kenyataan yang berada di dalam diri manusia.1 Melalui sentuhan Hegel, yaitu tesis, antitesis dan sintesis, Berger menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan obyektif itu melalui konsep dialektika. Yang dikenal sebagai eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia, obyektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses intitusionalisasi, dan internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial dimana individu tersebut menjadi anggotanya.2



1



Basrowi dan Sukidin. 2002. Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory, Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik, Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi, Surabaya: Insan Cendekia. 2 Ibid



Di dalam kehidupan ini ada aturan-aturan atau hukum-hukum yang menjadi pedoman bagi berbagai intitusi sosial. Aturan itu sebenarnya adalah produk manusia untuk melestarikan keteraturan sosial, sehingga meskipun aturan di dalam struktur sosial itu bersifat mengekang, tidak menutup kemungkinan adanya “pelanggaran” yang dilakukan oleh individu. Pelanggaran dari aturan itulah yang disebabkan oleh proses eksternalisasi yang berubah-ubah dari individu atau dengan kata lain ada ketidakmampuan individu menyesuaikan dengan aturan yang digunakan untuk memelihara ketertiban sosial tersebut. Oleh karena itu, problem perubahan berada di dalam proses eksternalisasi ini. Jadi di dalam masyarakat yang lebih mengedepankan “ketertiban sosial” individu berusaha sekeras mungkin untuk menyesuaikan diri dengan peranan-peranan sosial yang sudah dilembagakan, sedangkan bagi masyarakat yang senang kepada “kekisruhan sosial” akan lebih banyak ketidaksukaannya untuk menyesuaikan dengan peranan-peranan sosial yang telah terlembagakan.3 Hal ini yang termasuk masyarakat sebagai kenyataan obyektif adalah legitimasi. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat obyektivasi yang sudah dilembagakan menjadi masuk akal secara obyektif. Selain memiliki fungsi legitimasi terhadap perilaku dan tindakan, juga menjadi masuk akal ketika ‘mitologi’ tersebut difahami dan dilakukan. Untuk memelihara universu,m itu diperlukan organisasi/institusi sosial. Hal ini tidak lain karena sebagai produk historis dari kegiatan manusia, semua universum yang dibangun secara sosial itu akan mengalami perubahan karena tindakan manusia, sehingga diperlukan organisasi sosial untuk memeliharanya. Ketika pemeliharaan itu dibangun dengan kekuatan penuh, maka yang terjadi adalah status quo.4 Masyarakat juga bisa dilihat sebagai kenyataan subjektif atau sebagai realitas internal. Untuk menjadi realitas subjektif, diperlukan suatu sosialisasi yang berfungsi untuk memelihara dan mentransformasikan kenyataan subjektif tersebut. Sosialisasi selalu berlangsung di dalam konsep struktur sosial tertentu, tidak hanya isinya tetapi juga tingkat keberhasilannya.5 Jadi analisis terhadap sosial mikro atau sosial psikologis dari fenomen-fenomen internalisasi harus selalu dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman sosial-makro tentang aspek-aspek strukturalnya. Dengan demikian, hubungan antara individu dengan institusinya adalah sebuah dialektika (intersubjektif) yang diekspresikan dengan tiga momen : society is human product. Society is an objective reality. Human is sosial product. (Masyarakat adalah produk manusia. Masyarakat adalah suatu kenyataan sasaran. Manusia adalah produk sosial). Dialektika ini dimediasikan oleh pengetahuan yang disandarkan atas memori pengalaman di satu sisi dan oleh peranan-peranan yang merepresentasikan individu dalam tatanan institusional.6



3



Ritzer, George. 2002.”Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda”. PT Rajawali Press, Jakarta. Ibid 5 Ibid 6 Soekanto, Soerjono. 1990. ”Sosiologi Suatu Pengantar”. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 4



Agama, Teologi, Transenden & Imanen Sosiologi dengan jelas mengatakan bahwa masyarakat adalah produk dari manusia begitu juga sebaliknya, keduanya saling mempengaruhi dan saling melegitimasi. Maka jelas bahwa Individu-individu didalamnya bisa bersama-sama secara sadar menciptakan masyarakat yang ‘ideal’ tentunya dengan proses eksternalisasi dan internalisasi yang terjadi secara konsisten. Individu-individu dalam masyarakat disini bisa berupa oragnisasi sosial/institusi atau atau agama. Jadi ada clue bahwa agamaagama juga bisa bersama-sama membentuk masyarakat yang ideal pula. pada bagian ini akan menjelaskan tentang agama jika dilihat dari filsafat agama dan pembahasan mengenai teologi ditengah masyarakat yang plural. Filsasat agama berbeda dengan filsafat ketuhanan, Filsafat agama tidak melihat agama sebagai fenomenologi atau analisis religius. Filsafat agama mengarahkan pembaca kepada suatu refleksi transendental dan berusaha menemukan dasar kemampuan manusia untuk beragama sebagai kegiatan khusus yang terarah kepada Nan Suci dan iIahi, biasanya dalam susatu hubungan pribadi dengan Allah. Refleksi ini mengandaikan penelitian fenomenologis sosiologis, analisis bahasa, psikologi dan ilmu lain yang berkaitan dengan agama.7 Nilai khas dari filsafat agama adalah mereka cukup kritis merefleksikan kegiatan religius sebagai tindakan yang khas manusiawi. Walaupun pernyataan tersebut juga menuai kritik karena norma-norma agama tidak bisa dinilai dari sudut manusia karena agama mempunyai hal yang unik-mutlak yang tak dapat dijangkau oleh manusia.8 Tetapi dengan alasan apapun jika agama dibuat untuk manusia maka agama harus terus dipertanyakan artinya dan fungsinya untuk manusia. Tom Jacob mengatakan jika demikian tidak ada yang namanya subjektivitas mutlak-artinya dengan pemahan ini manusia bisa terbantu membedakan antara iman dan imaji-ini semua untuk mencari nilai-nilai universal.9 Tepapi karena filsafat agama sendiri terikat pada kondisi sejarah tertentu maka fisafat agama tidak bisa menjadi normatif, mengingat apa yang dicari agama adalah pemahaman. Tom Jacob juga mengatakan di dalam agama terdapat unsurunsur kontitutif yang tidak terjangkau oleh pemikiran manusia atau bahasa populernya adalah bersifat transenden.10 Namun kenyataan pluralisme yang selalu menuntut suatu refleksi universal. Pluralisme menuntut agama bukan sebagai sebagai suatu membuat suatu abstraksi dari agama-agama(untuk mencapai suatu agama kodrati) melainkan untuk suatu usaha pemahaman yang mengakui kekhasan masing-masing agama, diasumsikan akan menemukan jati dirinya dalam fungsi hermeneutis terhadap kegiatan religius manusia, dalam hal ini agama menjalankan fungsi yang sama dengan teologi(teologi fundamental).



7



Tom, Jacob. 2002. “Paham Allah”. Kanisius, Jakarta. Ibid 9 Ibid 10 Franz M. Suseno. 2006. “Menalar Tuhan”. Yogyakarta: Kanisius. 8



Setelah mencoba mengerti agama mengunakan filsafat agama, bagian selanjutnya akan membahas tentang hubungan agama dan teologi secara singkat. Perbedaan pokok antara teologi dan filsafat adalah filsafat melihat agama sebagai kenyataan/objek yang berada diluar diri, berbeda dengan teologi yang melihat agama sebagai objek yang berada didalam diri. Teologi merefleksikan agama dengan bergiat didalamnya secara Imanen. Teologi tidak tertarik dengan cara berpikir melainkanseperti filsafat-tertarik dengan apa yang menjadi penggerak pikirannya yang disebut sebagai iman. Refleksi yang berasal dari teologi bukanlah hal yang ditambahkan kepada iman sebaliknya refleksi teologi adalah pernyataan iman itu sendiri11. Maka objek penelitiaannya luas bukan hanya soal komunitas(kitab suci dan bapa agama saja) melainkan individu intinya teolog bukan sesuatu ilmu yang tertutup. Maka tidak berlebihan objek teologi juga termasuk relasi umat dengan dunia luar termasuk dunia pluralisme yang termasuk didalamnya maka dengan silogisme ini teologi ini tidak dapat tidak bersifat pluralis.12 Allah Pribadi & Manusia Secara de facto Teisme berkembang dari usaha mengatasi antropomorfisme yang berada dalam kitab Suci-mengingat kitab suci adalah produk dari manusia-Tetapi pemahamahan ini sampai pada paham pengenalan Allah yang abstrak. Allah menjadi semacam ide bukan sebagai pribadi isilah persoalannya.13 Dalam rangka ini ada yang mengusulkan bahwa paham Allah yang bersifat trans-pribadi. Ini mengarahkan manusia kepada kepada Allah dikenal manusia-bukan tentang Allah yang sebenarnya-atau Allah yang berhadapan dengan pribadi manusia. Namun pernyataan ini menimbulkan pertanyaan kritis bagaimana Allah dikenal jika Allah tak dapat dijangkau oleh manusia? Bagaimana manusia bisa berkomunikasi dengan yang tidak bisa diketahui tersebut? Dan yang paling krusial adalah bagaimana manusia dapat memanggilnya ‘dikau’? Jikalau ia adalah dasar dalam diri manusia Aku(atman) ketimbang Dikau(Brahman)? Tidak berlebihan jika Allah adalah sesuatu duniawi artinya dalam relasi-Nya Allah tetap dikenal sebagai mahkluk duniawi.14 Ini juga membuka pengakuan bahwa pernyataan transendenpun juga tetap adalah produk dari pikiran-pikiran manusia. Maka perlu disadari bahwa masalah tidak melulu datang dari Allah melainkan dari manusia, dari paham tentang Allah, inilah titik kesadarannya. Karl Rahner mengatakan bahwa keterahan manusia kepada Allah dilihat sebagai unsur yang melampaui pikiran kehidupan manusia, Rahner juga mengatakan sedari semula manusia terarah kepada Allah, namun tidak secara tematis, melainkan diawali dari sebuah keterbukaan total.15 Keteraturan manusia pertama kali tidak berasal dari 11



Ibid Tom, Jacob. 2002. “Paham Allah”. Kanisius, Jakarta. 13 Ibid 14 Ibid 15 Joas adiprasetya. 2002. "Mencari Dasar Bersama: etik global dalam kajian postmodernisme dan pluralisme agama". BPK Gunung Mulia, Jakarta. 12



informasi luar melainkan berawal dari pengalaman diri manusia, jadi segala pengalaman historis manusia harus diarahkan kepada keterarahan(Allah) dengan demikian Allah adalah misteri mutlak bagi manusia sendiri. Keterahan itu sendiri sungguh boleh juga disebut sebagai ‘pengetahuan’ bahkan dapat mendasari segala kemungkinan yang bersifat objektif. Kesimpulannya keterahan ini bisa disebut juga sebagai suatu kesadaran bahwa Allah adalah sumber dari segala-segala. Namun juga perlu diingat bahwa manusia tidak mungkin menjangkau Allah.16 Seandainya-dan sudah terjadi-Allah berkenan menyatakan diri dan mewahyukankan diri dalam sebuah kenyataan historis, maka dalam kerangka historis itu dapat terjadi perjumpaan Allah yang sungguh-pendapat Karl Rahner-tentunya juga manusia menerima penyerahan total dengan mengarahkan wahyu historis kepada Allah dengan kesadaran penuh. Dengan begitu wahyu historis adalah simbol dari Allah. Jadi pengetahuan akan mempunyai arti jika diarahkan kepada keterarahan transendental kepada Allah, karena pada dasarnya pengetahuan adalah produk dari pengalaman. Jadi sejak itulah manusia mengenal Kitab Suci(Tulisan pengetahuan) sebagai wahyu. Persoalan Wahyu Kristen & Misi Aku-itu Bagian ini akan menjelaskan persoalan wahyu kekristenan dan ditutup dengan paradigma aku-itu dan pengaruhnya. Kitab Suci/Firman Allah adalah wahyu dari Allah kendati ditulis oleh manusia. Kitab suci bagi umat Yahudi dipandang juga sebagai sejarah kasih Allah, sejarah keselamatan historis yang merekam bahwa Allah hadir dalam sejarah keselamatan bangsa Israel. Israel dibawah bimbingan para nabi makin sadar akan sadar bahwa mereka adalah bangsa pilihan Allah. Israel menemukan Allah didalam segala segala tulisan Taurat dan segala peraturan yang dikembangkannya terlebih jika mereka merasakan kekuatan sosial-politik mereka mulai hilang. Dalam tradisi Israel tulisan Alkitab sendiri makin berfungsi sebagai norma untuk menentukan etika kehidupan mereka.17 Maka tidaklah mengherankan jika dalam kelompok murid Yesus memperlakukan hal yang sama terhadap kitab suci mereka, tetapi bukan lagi berfokus kepada pribadi bangsa Israel melainkan kepada pribadi Yesus.18 Namun dalam perkembangannya tulisan-tulisan mengenai Yesus sangatlah banyak jauh dari apa yang tertulis didalam PB yang dikenal sekarang ini, Gereja merespon ini dengan menetapkan kitab mana saja yang akan dijadikan standar yang baku dengan kriteria tertentu yaitu sejauh mana teks/kitab tersebut menerangkan karya Allah dalam diri Yesus-ilham Roh Kudus tidak dipakai sebagai dasar kriterium kanon-Namun perlu diakui dewan yang mengkanonisasi percaya bahwa kitab suci adalah wahyu Allah, karena ditulis dengan ilham Roh Kudus. Ilham Roh Kudus hanya dimaknai sebagai tulisan yang telah dikanonisasi “Jika kitab suci diilhamkan oleh Roh Kudus maka harus ditafsir dalam Roh itu juga” Arti yang paling kasar adalah Kitab Suci tidak bisa dipisahkan dari tafsiran gereja yang mengkanonisasikan hal tersebut. Maka proses pembakuan kitab 16



Ibid Tom, Jacob. 2002. “Paham Allah”. Kanisius, Jakarta. 18 Ibid 17



bukanlah proses uniknya bentuk-pengalaman iman yang beragam-namun disempitkan sebagai Allah yang mewahyukan diri melalui karya keselamatan, aspek dinamis yang amat penting hilang dalam hal ini dogma bisa dipandang sebagai hal merugikan. Proses dogmatisasi punya pengaruh besar dalam mepengaruhi Paham/pengetahuan tentang Allah, Tom Jacob menyebutnya pengaruh yang fatal. Satu sisi pematokan ajaran itu sangatlah penting namun sisi lain banyak hal yang dirugikan.19 Misal tentang pemahaman Allah dalam injil Yohanes sebagai berikut Pertamatama logos adalah Allah yang dipercayai bangsa Yunani, yang tidak pernah ada sangkutpautnya dengan perjanjian lama ataupun kepercayaan Yahudi. Yohanes menggunakan logos untuk menerangkan kepada jemaat mula-mula untuk menggambarkan bagaimana fungsi seorang Messias kepada orang Yunani. Mengingat orang Yunani jauh dengan konsep ‘Messias’.20 Tidak sampai disitu Yesus dipikiran Yohanes tidak seperti ciptaan pada umumnya, ini memberikan tekanan bahwa Yesus(logos) telah ada sebelum dunia diciptakan, logos telah ada bersama-sama dengan Allah dan logos sendiri adalah Allah(walaupun hirerarkis dengan Bapa). Logos dalam pengertian Yohanes adalah agen Allah merujuk pada kata-kata Theos yang tidak diikuti dengan sandang menunjukan bahwa Yesus bukanlah Allah(melainkan agen Allah) pribadi yang menunjukan melainkan sifat-sifat Allah. Rupanya Yohanes tidak ingin mengidentikkan Yesus sebagai Allah melainkan sebagai jelmaan/pengandaian Allah. John 1:1-3 Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. 2 Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. 3 Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. John 1:14 Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, Lantas apalah arti firman itu bersama-sama dengan kita? Mengartikan bahwa kehadiran Allah dapat derasakan didunia ini dalam diri Yesus. Yesus adalah perwujudan kekal dari Allah sendiri. Maka upaya Yohanes menunjukan Yesus sebagai Logos dan semacamnya menyiratkan bahawa ada sebuah konsep ke-Messias-an yang unik-memiliki hubungan hubungan dengan Bapa bahkan kesatuan khusus-yang tidak pernah ada dalam gagasan orang-orang Yahudi.21 Tetapi semua itu menjadi lain dengan dogmatisasi. Dalam dogma paham Allah sudah ditawarkan jelas yaitu Allah Bapa, Putra Roh Kudus memang dogma menjelaskan ketiga hal tersebut adalah hal yang berbeda namun pemerima dogma tak pernah mengerti dimana letak dari pebedaan tersebut. Proses dogmatisasi menghilangkan proses pewahyuan Allah yang misterius dalam karya Yesus dan Roh Kudus, Trinitas tak pernah dimaknai dogmantis sebagai struktur pewahyuan yang dinamis melainkan mejadi statis. Tidak sampai disitu proses dogma menuntut proses Institusionalisasi yang 19



Ibid Yusak Tridamanto. 2017. “Materi Kuliah TPB”. UKDW, Yogyakarta 21 Ibid 20



juga memperkeruh suasana tersebut, Institusional membuat gereja dengan jemaat mempunyai definisi yang berbeda Djoko Prasetyo menyebut ini sebagai kecelakaan sejarah. Semua ini menyangkut tentang formalisasi struktur gereja, liturgi dan krusial mengenai dogma.22 Allah yang berfirman adalah Allah yang dijumpai dalam Alkitab, jadi untuk mendengarkan firman Allah bacalah Alkitab. Ini juga penyokong budaya sola scriptura Konstruksi pewahyuan tersebut mengarahkan umat kepada pemahaman missiologi tertentu, tentunya misiologi yang dipahami hanya sebatas dogma atau yang terkena dogmatisasi statis. Otoritas berada dalam alkitab karena alkitab menyatakan inspirasi ilah dalam kebenaran otoritas dari Perjanjian lama dan perjanjian baru. Alkitab secara keseluruhan adalah satu-satunya ditulis tanpa kesalahan apapun dalam pernyataannya dan aturan hanya sempurna iman dan praktek. Mengasumsikan bahwa target misiologi diluar gereja menjadi objek yang pasif. Pemahaman ini juga tertulis dalam pernyataan iman Lausanne sebagai berikut : Mereka menyatakan bahwa ada satu Juruselamat dan hanya ada satu Injil, meskipun terdapat keragaman yang tinggi dalam pendekatan penginjilan. mereka mengakui bahwa setiap orang memiliki beberapa pengetahuan tentang Tuhan melalui pernyataan umumnya di alam. Namun mereka menolak bahwa hal ini dapat menyelamatkan, karena manusia menekan kebenaran dengan ketidakbenaran mereka. mereka juga menolak kepada Kristus dan Injil setiap jenis sinkretisme dan dialog yang implikasinya menyatakan bahwa Kristus berbicara sama melalui seluruh agama dan ideologi. Kristus, menjadi dirinya hanya Tuhan-manusia yang memberikan dirinya sendiri sebagai satu-satunya tebusan bagi orang berdosa, adalah satu-satunya perantara antara Tuhan dan manusia. Ada tidak ada nama lain yang olehnya kita dapat diselamatkan. Semua pria dan wanita binasa karena dosa, tetapi Allah mengasihi setiap manusia, tidak berharap bahwa setiap harus binasa tapi itu semua harus bertobat. Namun orang-orang yang menolak Kristus menolak sukacita atas keselamatan dan mengutuk dirinya sendiri dalam keterpisahan kekal dengan Tuhan. Menyatakan Yesus sebagai "Juruselamat dunia" adalah bukan untuk menegaskan bahwa semua orang secara otomatis atau pada akhirnya diselamatkan, masih kurang untuk menegaskan bahwa semua agama menawarkan keselamatan dalam Kristus. Justru itu adalah untuk menyatakan kasih Allah akan dunia orang berdosa dan mengundang semua orang untuk meresponnya sebagai Juruselamat dan tuan dalam komitmen pribadi sepenuh hati untuk bertobat dan beriman. Yesus Kristus telah ditinggikan di atas segala nama lain; kita panjang untuk hari ketika setiap lutut menyembahnya dan setiap lidah akan mengakuinya Tuhan.23 Mereka juga mempunyai kepercayaan bahwa lebih dari 2.700 juta orang, yang lebih dari dua-pertiga dari seluruh umat manusia, belum Injili. Mereka merasa malu 22



https://www.lausanne.org/content/covenant/lausanne-covenant. Diakses pada tanggal 28 Desember 2017, pk 18.00 23 Ibid



bahwa begitu banyak telah diabaikan. Mereka yakin bahwa ini adalah waktu untuk gereja-gereja dan lembaga para-gereja untuk berdoa dengan sungguh-sungguh untuk keselamatan suku terabaikan dan untuk memulai usaha baru untuk mencapai Penginjilan dunia. Penurunan misionaris asing dan dana di negara yang telah diinjili kadang-kadang mungkin diperlukan untuk memfasilitasi pertumbuhan gereja Nasional kemandirian dan melepaskan sumber daya untuk area yang belum terinjili. Misionaris seharusnya bergerak lebih bebas dari dan ke enam benua dengan semangat pelayanan yang rendah hati. Sasarannya adalah, dengan semua cara yang tersedia dan pada sesegera mungkin, bahwa setiap orang akan memiliki kesempatan untuk mendengar, memahami, dan menerima Kabar baik. Begitulah dalam terang ini iman dan tekad mereka merencanakan bekerja sama untuk bersatu untuk penginjilan di seluruh dunia. Mereka mengajak orang lain untuk bergabung mereka agar setiap lidah mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat.24 Dalam hemat saya, ada dua hal yang perlu digaris bawahi pertama dogmatisasi membuat Wahyu Allah sebagai objek(mati) yang kedua dogmatisasi membuat konsep misi juga bersifat statis dan mekanis, hal yang paling bisa dilihat adalah mereka menjadikan objek pasif/target misi yang pasif. Jadi bisa disimpulkan relasi antara gereja dan orang diluar gereja adalah sebagai ‘aku-itu(objek)’ bukan aku-engkau. Dalam relasi “aku-itu” sesama diperlakukan sebagai objek. Jenis relasi ini terjadi dalam sikap pragmatis. Sesamaku seperti benda saja. Aku menggunakan ‘itu’ sejauh menguntungkan bagiku dan aku tidak akan menghiraukanlagi jika ia tidak menguntungkan lagi bagiku. Aku-itu cenderung manipulatif membentuk itu sesuai dengan kehendakku sebagaimana yang aku lakukan kepada barang lain. Ini sama saja mengatakan bahwa sesamaku menjadi sahabatku karena uangnya banyak, kedudukannya tinggi, atau karena kecantikannya. Kalau kecantikannya habis atau sirna maka orang itu tidak berguna lagi bagiku.25 Perkembangan ini/relasi ini tidak memberi sumbangan bagi diri-sesama hubungan ini adalah hubungan normalisasi. Relasi ini juga mengarahkan individu kepada kebencian, relasi aku-itu adalah relasi yang ditemukan dalam relasi kebencian. Karena benci merupakan jalan satu-satunya menyelamatkan diri kepada subjek. Jika melalui relasi kebebasanku dibekukan, aku menjadi objek, aku tidak lagi bebas aku harus membenci orang lain dan hidup mennyendiri begitulah aku menjadikan diriku sebagai subjek. Begitulah hemat Satre menerangkan Aku-itu.26 Begitulah gereja membuat sang liyan sebagai sebagai sang itu. Gereja membutuhkan sang liyan hanya sebatas keperluan penginjilan dan tidak lebih, Sedikit tambahan bahwa dogmatisasi juga membuat firman Allah menjadi objek mati karena pemutlakan tafsiran tertentu. Alkitab firman yang hidup menjadi firman yang mati



24



Ibid Albert, Sneijders. 2014. “Antropologi Filsafat Manusia Paradoks & Seruan”. Kanisius, Yogyakarta 26 Albert, Sneijders. 2014. “Antropologi Filsafat Manusia Paradoks & Seruan”. Kanisius, Yogyakarta 25



disebabkan Alkitab harus sesuai dengan keperluan dan dibawah kendali seorang aku. Wahyu Allah telah diobjektifikasi. Misi Transenden & Imanen Wacana Menuju Etika Dibagain pertama kita telah melihat bahwa masyarakat dan individu tidak bisa dipisahkan, keduanya saling membentuk satu sama lain melauli proses eksternalisasi dan internalisasi. Setiap invidu didalam masyarakat sangat berperan membentuk masyrakat yang ideal. Lebih-lebih jika setiap invidu didalam kelompok bisa berintregrai dan bekerja sama membangun masyarakat yang lebih baik. Maka disini peran agama sangatlah penting agama mempunyai peran yang tidak kecil untuk mengambil keputusan dalam masyarakat. Lalu pada bagian kedua kita juga telah melihat bahwa agama fungsinya adalah membuat sesuatu makna baru demi kehidupan yang lebih baik. Mengingat agama mempunyai sifat transenden yang mengarahkan setiap penganutnya menuju pada keterahan kepada sang suci, namun didalam prakteknya kita juga telah melihat bahwa jika agama membuat ‘kericuhan’ itu kesalahannya terletak pada paham Allah pengikutnya bukan pada agama itu sendiri. Di dalam agama juga terdapat teologi fundamental yang bersifat imanen, teologi menjelaskan sesuatu yang ada didalam dirinya lalu mengarahkan pengetahuan itu kepada hal yang bersifat transendental. Pengetahuan akan mempunyai arti jika diarahkan kepada keterarahan transendental kepada Allah. Syarat untuk menuju keteraturan yang transenden adalah penyerahan diri total, dalam hal ini pengetahuan harus diserahkan kepada hal yang tidak pernah jelas, dengan cara mengkritisi pengetahuan itu terus menerus, agar Allah ikut dalam mengintervensi. Dalam hal ini misi agama Kristen harus berperan aktif untuk berintregasi menciptakan ‘masyarakat’ namun didalam agama kristen sendiri juga telah ditemukan bahwa hal yang kurang mengenakan dalam proses pewahyuannya Gereja barat telah mendogmatisasi wahyu Allah, wahyu menjadi objek mati yang hanya bersifat statis dan mekanis oleh karena pemaksaan budaya penafsiran tertentu itu akibatnya ‘konsep misi’ juga terkena imbasnya misi hanya seolah hal yang bersifat statis dan mekanis yang hanya melihat orang diluar gereja sebagai objek pasif, relasi gereja dan orang diluar gereja hanya sebatas aku-itu gereja mandul. Sifat transendensi agama kristen hilang karena agama kristen tidak melakukan penyerahan total pengetahuannya kepada keterahan sang transenden itu sendiri, gereja menganggap pengetahuan yang selama ini telah mapan. Sifat imanensi gereja juga hilang karena pengalaman pribadi sesorang dilegitimasi oleh pengalaman penafsiran Bapa-bapa digereja lewat dogmatisasi. Bagian ini adalah solusi dari permasalahan mengembalikan sifat transenden & imanen gereja terkhususnya dibidang misi. Pertama harus ada perubahan wacana & paradigma yang perlu diubah yaitu yang awalnya menganggap orang diluar gereja sebagai objek pasif aku-itu menuju aku-engkau kali ini penulis menggunakan pemikiran sartre. Kemudian dilanjutkan dengan etika praktis terhadap sesama kali ini penulis menggunakan etika Lenivas dan etika Widjaja sebagai konsep dasar misiologi Kristen. Mengingatkan bahwa metode teologi adalah korelasi antara iman yang dihayati dalam jemaat yakni bisa disebut wahyu yang autentik dari Allah karena berasla dari



pengalaman pribadi mengingat teologi dan agama selalu dekat dengan tradisi maka teologi harus selalu dilihat dan dipishakan dari historisnya dengan cara menginterpretasikan itu secara terus-menerus dalam segi ini teologi berarti berupa pengakuan terhadap situasi yang konkret oleh karena itu teologi tidak boleh dikekang oleh dogma-dogma dengan rumus-rumus yang tradisionil. Artinya harus ada wahyu untuk situasi sekarang untuk mengerti ini pewartaan haruslah dialogikal yaitu proses intrepretasi terus menerus dalam tradisi dan kondisi sekarang secara esensial.27 Martin Buber menganggap bahwa manusia sebagai mahkluk individu merindukan relasi kebersamaan dan kesatuan secara meluas dan semakin mendalam. Manusia sebagai pribadi ingin diakui dalam keunikannya dan kekhasannya. Maka manusia terarah kepada suatu kesatuan dimana keunikan tidak terhapus melainkan haruslah diakui maupun diteguhkan. Didalam relasi aku-engkau sesama tidak deiperlakukan sebagai benda saja, begitupun sikap benci(sikap peniadaan sesama).28 Panggilan yang paradoksal ini aku-engkau menuju kepada cinta yang disebut cinta sejati.29 Dalam cinta seseorang bersatu, mereka tetap dua dengan sifat dan keunikan masing-masing. Cinta sebagai sikap dasar yang tidak terbatas pada dua orang saja dalam cinta tercipta suatu iklim pergaulan dimana setiap orang didalamnya menjadi diri sendiri. Pengaruh pribadi yang satu dengan pribadi yang lain terjalin dalam suatu relasi “aku-engkau” jelas-jelas berbeda dengan pengaruh benda yang satu dengan benda yang lain jenis pengaruh realsi ini bersifat deterministis misal seperti api yang memanaskan air bukan api yang menguapkan air atau air yang memadamkan api. Pengaruh pribadi yang satu dengan pribadi yang lain terikat dalam cinta yang bersikap bebas aktif dan kreatif.30 Dalam kebersamaan iklim yang penuh dengan cinta relasi aku dan engkau akan membawa pribadi kepada aku menjadi aku dan engkau menjadi engkau maka dengan sendirinya tembok-tembok normalisasi antara pribadi satu dengan pribadi yang lain akan otomatis hancur, dan setiap pribadi didalamnya akan merasakan kesatuan.31 Pribadi akan mengakui bahwa perbedaan dan keunikan bukanlah suatu tantangan melainkan suatu makna yang harus dihayati bersama-sama dalam kesatuan cinta otonomi dan kebebasan berrsama diakui ini semua menuju dirangsangnya kreativitas setiap individu semuanya menjadi pribadi yang semakin menuju kekhasan unik mereka.32 Dalam cinta aku keluar dari diriku sendiri dan aku terarah pada sesama setiap diri seseorang aku hayati sebagai orang yang bernilai dan berharga karena dia memilih untuk menjadi dirinya sendiri I love you because you’re you bukan karena kamu pandai, kamu pintar, kedudukan tinggi, melainkan karena sekali lagi kamu menjadi dirimu sendiri. “engkau” tak boleh mati dalam kenormalanku. In and through love make the other be and the others makes me be pengaruh yang satu terhadap yang lain bersifat membangun orang 27



Ibid Wahyu S, Wibowo. 2016. “Aku, Tuhan dan sesama: Butir-butir pemikiran Martin Buber tentang relasi manusia dan Tuhan". Sunrise, Yogyakarta. 29 Ibid 30 Ibid 31 Albert, Sneijders. 2014. “Antropologi Filsafat Manusia Paradoks & Seruan”. Kanisius, Yogyakarta. 32 Ibid 28



tidak membutuhkan sesamanya lagi sebagai tongkat semakin sempurna cinta maka sesama harus semakin diakui dan dihargai dalam keunikannya iri hati berubah menjadi kekaguman dan perbedaan saling memperkaya.33 Semua ini mensyarakat suatu dialog.34 Dalam dialog akan ini membantu teologi untuk memunculkan paham Allah yang kekinian yaitu Allah sebagai dasar pengharapan bersama. tetapi perlu juga diingat Allah tetap misteri tidak dapat dibuat menjadi rumus atau dongeng maka supaya Allah itu tidak “menguap” dalam gambaran tak berbentuk perlulah menerima sesuatu dengan struktur triniter dialog dengan Allah dunia dan pribadi. ini semua akan menjauhkan orang dari jebakan dogmatis. Iman agama hanya dapat hidup dari gambaran Allah yang antropologis atau rumusan dogmatis yang abstrak sangatlah salah karena kedua-duanya tidak menyentuh hati semuanya tidak menerima Allah sebagai misteri, dengan ini setiap individu harus mencari paham Allah sendiri dengan dialog antar agama dengan mengarahkan kepada hal yang misteri itu(imanen).35 Ini semua mengarahkan pandangan bahwa Allah hanya dapat ditemui dalam hati orang yang mengasihi sesama(transenden). Jika ditarik dalam konteks misiologi paham Allah dapat berkembang dalam penderitaan karena disitulah muncul inspirasi dari iman dan wahyu. Allah ini bukan Allah yang filsafat atau teologi tetapi Allah yang mengagumi dunia sekitar dengan hati yang gembira bagaimanapun tanpa orang lain orang beriman tetap tidak dapat hidup tanpa Allah. Dengan begitu sifat transenden dan imanen dari agama dapat aktif kembali. Kemudian bagian selanjutan akan menerangkan tindakan etis menurut Lenivas dan Widjaja. Levinas berpendapat wajah sesamaku sebagai seruan etis dia mempunyai konsep bahwa kebebasanku terikat secara etis aku menemukan sesamaku “dalam wajah telnajang” yang mengatakan “terimalah aku dna jangan membunuh aku”. Aku tidak bolhe menganggap sesamaku sebagai alterego (aku yang lain) diri sesama menampakan suatu diri sebagai sesuatu yang mutlak lain fenomena ini mengisyaratkan sesuatu yang serba baru. Jadi segala usaha untuk memahami justru akan merendahkan “diri” sesama sebab memahami “berarti” meniadakan ketiadaan keunikan dan kekhasannya”.36 Metafisika menurut Levinas tidak mengakui keberadaan yang mutlak karena itu sesamaku harus aku akui sebagai tuanku. Penampakan wajahnya menciptakan suatu hubungan asimetris bukan hubungan yang timbal balik saya dipanggil dari “atas” dan saya mengorbankan diri dengan sesama tanpa mengharapkan apa-apa aku harus menerima dia didalam “rumahku“ dan milikku menjadi kepunyaan bersama.37 Sikap etis ini juga ditemukan dalam Alkitab misalnya ”barang siapa yang menyelamatkan nyawanya ia akan kehilangan nyawanya ... Lukas 9:24” dalam kesatuan cinta aku-engkau menurut Levinas menuju keunikan masing-masing cinta menurut 33



Joas adiprasetya. 2002. "Mencari Dasar Bersama: etik global dalam kajian postmodernisme dan pluralisme agama". BPK Gunung Mulia, Jakarta 34 Ibid 35 Ibid' 36 Emmanuel, Levinas. 1998. “Otherwise Than Being or Beyond Essence”. Pittsburgh, PA: Duquesne University Press. 37 Ibid



Levinas mensyaratkan hubungan relasi tersebut kepada hubungan yang slaing membangun diri sendiri menuju diri yang sejati Levinas mengerti cinta memberi tanpa menuntut balasan.38 Ia mengorbankan kesenangan diri demi kesenangan sesamanya dalma panggilan yang paradoks ini manusia merasakan kebahagiaan cinta yang dinamis yang tidak akan pernah berkesudahan.39 Berbeda dengan pandangan Widjaja mengenai relasi diri dengan sesama atau realsi “aku-engkau” . Memang Widjaja menganggap hal yang sama seperti Levinas bahwa sesama juga merupakan hal etis. Dimana manusia tidak bisa lepas dari lingkungannya. . Seseorang tidak bisa menjawab pertanyaan “apa yang harus aku lakukan?” sebelum menjawab pertanyaan “di dalam narasi manakah aku menjadi bagian?" si aku harus melihat bagaimana dan dimana asalku atau komunitasku.40 Kebajikan internal mempunyai sifat-sifat khusus yang membedakan dengan kebajikan eksternal(palsu). Pribadi melalukan kebajikan tidak berdasarkan nafsu untuk mengejar reward atau penghargaan. Kebajikan internal harus meliputi semua aspek dalam karakter manusia : nafsu, kognitif, perilaku, keyakinan dll, yang membentuk karakter manusia. Kebajikankeajikan itu bersumber dari keyakinan dasar.41 Manusia adalah mahkluk bebas tetapi pasti, bebas disini maksudkan adalah bebas menentukan dirinya dibentuk oleh apa yang terjadi, Aku melakukan kebaikan untuk membuat diriku menjadi lebih baik bukan karena sesamaku faktor eksternal, inilah letak perbedaan Lenivas dan Widjaja. “Kasihilah sesamamu manusia seperti kamu mengasihi dirimu sendiri ... Mat 22:39.” Baik Levinas dan Widjja, keduanya memiliki pemahaman etika yang secara khusus berfokus pada bagaimana berelasi dan bertanggungjawab kepada sang liyan. Cara pandang Levinas lebih absolut pada radikalisasi sang liyan sedangkan Widaja sebaliknya. Cara pandang Levinas ini memberikan kesan transenden (berlebihan) terhadap orang lain.. Sehingga etika Levinas mewakili etika transendensi sedangkan etika Widjaja mewakili etika imanen. Cara pandang sang liyan dari Levinas adalah lebih menekankan pada orang lain daripada diri, sehingga memahami diri sebagai subjek pasif yang menganggap orang lain lebih penting daripada diri. Sedangkan Widjaja memahami diri adalah hal yang terpenting, walupun keduanya menjadikan diri juga menjadi agen moral yang aktif dalam berelasi dengan orang lain. Cara pandang Levinas ataupun Widjaja, hendak mengajak gereja untuk mengubah paradigma yang masih menjadikan orang-orang sebagai obyek pasif. Levinas memiliki pandangan bahwa gereja harus melihat sang liyan sebagai citra Allah dan tidak direduksi pada pemahaman sendiri. Dari pandangan mutlak dari dogma “Allah yang telah berfirman,” diubah menjadi pandangan “Allah yang sedang dan senantiasa berfirman” melalui orang-orang diluar gereja. Widjaja melihat sang liyan juga sebagai subyek aktif yang merupakan sesama yang ikut berdialog dengan diri. Jika demikian maka gereja 38



Ibid Ibid 40 Paulus S, Widjaja. 2010. “Character Formation and Sosial Transformation,” Saarbrucken, Germany: VDM Verlag Dr. Muller Aktiengesellchaft & Co. 41 Ibid 39



dapat melihat citra Allah melalui samg liyan dengan berdialog dengan mereka. Dengan pemahaman Levinas dan Widjaja, gereja dapat merekonstruksi paradigmanya terhadap sang liyan mengenai relasi dengan orang lain, gereja. Gereja dapat lebih bertanggung jawab terhadap konsep hermenutik misiologi terhadap sang liyan yang bukan menjadikan orang-orang sebagai objek pasif semata namun sebagai subyek aktif yang selalu berdialog. Dengan ini akhirnya agama Kristen bisa aktif berkontribusi utnuk membentuk masyarakat yang ideal.



Daftar Pustaka Adiprasetya, Joas. 2002. "Mencari Dasar Bersama: etik global dalam kajian postmodernisme dan pluralisme agama". BPK Gunung Mulia, Jakarta. Basrowi dan Sukidin. 2002. Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory, Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik, Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi, Surabaya: Insan Cendekia. Jacob, Tom. 2002. “Paham Allah”. Kanisius, Jakarta. Levinas, Emmanuel. 1998. “Otherwise Than Being or Beyond Essence”. Pittsburgh, PA: Duquesne University Press. Ritzer, George. 2002.”Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda”. PT Rajawali Press, Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1990. ”Sosiologi Suatu Pengantar”. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sneijders, Albert. 2014. “Antropologi Filsafat Manusia Paradoks & Seruan”. Kanisius, Yogyakarta. Suseno. Franz M. 2006. “Menalar Tuhan”. Yogyakarta: Kanisius. Tridamanto, Yusak. 2017. “Materi Kuliah TPB”. UKDW, Yogyakarta Widjaja, Paulus S. Character Formation and Sosial Transformation, Saarbrucken, Germany: VDM Verlag Dr. Muller Aktiengesellchaft & Co, 2010 Wibowo, Wahyu S. 2016. “Aku, Tuhan dan sesama: Butir-butir pemikiran Martin Buber tentang relasi manusia dan Tuhan". Sunrise, Yogyakarta. Daftar Website https://www.lausanne.org/content/covenant/lausanne-covenant. Diakses pada tanggal 28 Desember 2017, pk 18.00



Hermeneutik Misiologi : Sebuah refleksi atas Pemaknaan Iman Transenden, Imanen Terhadap Sang Liyan dari Wacana Menuju Etika Pendahuluan Gereja masih memiliki stigma negatif dengan sang liyan-warga diluar gerejaakibatnya gereja masih enggan berdialog mengenai hermeneutik misi dengan sang liyan. Artikel ini mendialogkan antara pemikiran iman transenden dan imanen mengenai relasi “diri” dengan orang lain. Argumen iman ini diharapkan dapat membantu membimbing gereja dalam meninjau ulang untuk menyikapi orang lain di luar gereja terkhusus perihal misi hermeneutik. Bagian pertama akan menjelaskan proses terbentuknya masyarakat Bagian kedua adalah penjelasan tentang agama dan teologi. Bagian ketiga adalah penjelasan mengenai Allah sebagai sebagai pribadi dan persoalan wahyu kristen Bagian terakhir adalah konklusi & sintesa bagian pertama sampai bagian ketiga. Kata Kunci : Misiologi, Dogma, Transenden, Imanen, Dialog. Daftar Pustaka Adiprasetya, Joas. 2002. "Mencari Dasar Bersama: etik global dalam kajian postmodernisme dan pluralisme agama". BPK Gunung Mulia, Jakarta. Basrowi dan Sukidin. 2002. Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory, Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik, Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi, Surabaya: Insan Cendekia. Jacob, Tom. 2002. “Paham Allah”. Kanisius, Jakarta. Levinas, Emmanuel. 1998. “Otherwise Than Being or Beyond Essence”. Pittsburgh, PA: Duquesne University Press. Ritzer, George. 2002.”Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda”. PT Rajawali Press, Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1990. ”Sosiologi Suatu Pengantar”. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sneijders, Albert. 2014. “Antropologi Filsafat Manusia Paradoks & Seruan”. Kanisius, Yogyakarta. Suseno. Franz M. 2006. “Menalar Tuhan”. Yogyakarta: Kanisius. Tridamanto, Yusak. 2017. “Materi Kuliah TPB”. UKDW, Yogyakarta Widjaja, Paulus S. Character Formation and Sosial Transformation, Saarbrucken, Germany: VDM Verlag Dr. Muller Aktiengesellchaft & Co, 2010



Wibowo, Wahyu S. 2016. “Aku, Tuhan dan sesama: Butir-butir pemikiran Martin Buber tentang relasi manusia dan Tuhan". Sunrise, Yogyakarta.