Tata Ruang [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

COMMUNITY ACTION PLAN (CAP) DAN KAMPUNG IMPROVEMENT PROGRAM (KIP): STUDI KOMPARATIF KEBIJAKAN INKLUSIF TATA RUANG PERMUKIMAN DI SURABAYA DAN JAKARTA Rusydan Fathy, PMB LIPI. E-Mail: [email protected] Jalu Lintang Yogiswara Anuraga, PMB LIPI, Email: [email protected] Abstrak Eksklusi sosial menjadi ciri masyarakat perkotaan yang menghuni kantung-kantung permukiman kumuh. Oleh sebab itu, implementasi kebijakan tata ruang permukiman yang inklusif terus diupayakan oleh pemerintah. Community Action Plan, (CAP) di Jakarta dan Kampung Improvement Program (KIP) di Surabaya merupakan bentuk pendekatan kebijakan tata ruang yang inklusif. Namun demikian, upaya pelibatan komponen masyarakat dalam skema kebijakan inklusif tersebut mengalami masalah tersendiri. Di sisi lain, ruang kota merupakan konektivitas berbagai aspek baik kehidupan maupun penghidupan. Hal tersebut semakin kompleks jika melihat konteks masyarakat yang berbeda-beda di setiap daerah. Dengan demikian, keberhasilan implementasi kebijakan tata ruang permukiman tidak bisa digeneralisir begitu saja tanpa memperhatikan perbedaan karakteristik setiap daerah. Bagian awal artikel ini mendeskripsikan eksklusi sosial serta konstelasinya dengan implementasi kebijakan tata ruang permukiman yang inklusif. Bagian inti artikel ini melihat sejauh mana CAP dan KIP sebagai kebijakan tata ruang permukiman yang inklusif diterapkan pada konteks masyarakat tertentu. Sebagai penutup, artikel ini mengkomparasikan kedua kebijakan tata ruang permukiman tersebut serta menawarkan paradigma inklusif kebijakan tata ruang permukiman yang lebih komprehensif. Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif. Analisis data dilakukan terhadap studi literatur terdahulu yang memiliki relevansi dengan tema artikel ini. Kata Kunci: Eksklusi Sosial, Kebijakan Inklusif, Tata Ruang Permukiman, CAP, KIP. Pendahuluan Secara substansi, eksklusi sosial sebenarnya tertuju pada melemahnya kapasitas masyarakat. Eksklusi sosial mencakup semua elemen masyarakat yang mengalami deprivasi. Dalam perjalanannya, konsep eksklusi sosial menggambarkan kondisi ketidakberdayaan dan keterpinggiran (marjinalisasi) masyarakat. Warga yang tidak beruntung secara ekonomi tidak jarang menghuni kantung-kantung permukiman kumuh dengan tingkat kepadatan tinggi dan sanitasi yang buruk. Selain itu, permukiman tersebut juga rentan kebencanaan seperti banjir dan kebakaran. Di sisi lain, permasalahan seperti kemacetan, kesemrawutan, pemagaran taman, penyelewengan tata ruang dan komersialisasi tata ruang menjadi sebuah kewajaran yang ditemui di Jakarta (Susanti et al. 2007). Sementara itu, mengenai permukiman warga Jakarta, ternyata masih belum sesuai dengan perencanaan tata ruang kota (Ambarwati et al. 2016). Akibatnya, permukiman kumuh yang dihuni oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah masih banyak ditemuI pada banyak titik di Jakarta. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu penyebab lingkungan menjadi kumuh adalah faktor ekonomi, dimana lingkungan kumuh dihuni oleh masyarakat yang tidak



berpenghasilan tetap (BPS Jakarta, 2013). Tingkat kekumuhan sebuah permukiman di Jakarta berhubungan erat dengan tingkat ekonomi warganya dimana karakteristik permukiman kumuh yaitu dihuni oleh masyarakat yang bekerja pada sektor informal seperti PKL, tukang ojek, buruh dan kuli bangunan (Fitria et al. 2014). Permukiman kumuh dan kemiskinan merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Kemiskinan masih menjadi masalah serius di perkotaan termasuk di Jakarta dan Surabaya. Tak pelak, kemiskinan tidak jarang justru diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Dibutuhkan paradigma pembangunan inklusif dengan mengedepankan upaya pelibatan komponen masyarakat dalam implementasi kebijakan permukiman berbasis partisipasi masyarakat. Namun demikian, di Surabaya, beberapa masalah seperti yang disebutkan di atas dapat ditangani dengan beberapa kebijakan. Salah satu contoh penanganan permukiman yang cukup berhasil adalah penataan kampung Gundih. Kampung ini mampu bertransformasi dari kampung preman menjadi kampung teladan melalui Kampung Improvement Program (KIP). Program ini berparadigma pembangunan inklusif berkelanjutan yang melihat faktor ekologisnya. KIP berhasil menjadikan bukan hanya kampung Gundih tetapi juga kampung Bratang Binangun, kampung Genteng dan kampung Maspati sebagai kampung percontohan. Bagaimana tidak, keempat kampung di Surabaya tersebut menjadi cermin permukiman layak huni yang berketahanan, baik ketahanan bencana maupun ketahanan sosial. Keberhasilan implementasi kebijakan inklusif dalam menangani persoalan permukiman dan kemiskinan belum dijumpai di perkampungan yang serupa di Jakarta. Padahal Pemprov DKI telah menata kembali 16 kampung kumuh melalui program Community Action Plan (CAP) yang diklaim sebagai program yang merangkul masyarakat marjinal – meliputi masyarakat miskin, pedagang kaki lima (PKL) dan tukang becak. CAP merupakan aksi pemprov DKI yang melibatkan lembaga swadaya masyarakat dan kelompok kerja untuk menciptakan kampung berkualitas yang lestari dan sejahtera (Laporan Kegiatan Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta, 2018). Meskipun program tersebut telah dimulai, kampung kumuh masih menjadi persoalan serius di Jakarta. Alih-alih mencontoh KIP di Surabaya yang menunjukan keberhasilan, CAP justru banyak memunculkan perdebatan. Bagaimana tidak, salah satu agenda dalam CAP adalah menjadikan kembali becak sebagai moda transportasi umum. Kebijakan ini tentu sangat bias daerah dimana di Jakarta kesenjangan antara si kaya dan si miskin cukup tajam. Kalangan kelas atas melihat kebijakan ini akan menjadi persoalan baru jika diterapkan. Berbeda halnya dengan Surabaya, dimana karakter masyarakat antara si miskin dan si kaya tidak begitu menjadi masalah. Tentunya melalui perbandingan kasus ini kita dapat melihat adanya kontekstualisasi pembangunan di setiap daerahnya. Dengan kata lain, implementasi kebijakan inklusif tidak sesederhana yang terpikirkan. Hal itu disebabkan, eksklusi sosial merupakan masalah yang kompleks. Di sisi lain, ruang kota merupakan konektivitas berbagai aspek kehidupan dan penghidupan. Kompleksitas tersebut juga mencakup perbedaan aspek fisik, sosial dan budaya masyarakatnya dimana setiap masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pada dasarnya, KIP dan CAP merefleksikan prinsip-prinsip inklusifitas sebagai program penataan permukiman. Untuk itulah, ada harapan dari masyarakat dalam program-program tersebut sebagai program penataan permukiman khususnya kampung



yang dianggap mampu mengembalikan keadilan, memberdayakan dan meningkatkan kapasitas mereka sehingga dapat mengentaskan kemiskinan di perkotaan. Kajian Pustaka Penelitian terkait kebijakan inklusif telah banyak dilakukan. Namun, penelitian ini memberikan kontribusi khazanah ilmu pengetahuan yang secara khusus menyorot tentang implementasi kebijakan inklusif tata ruang permukiman khususnya penataan kampung kumuh. Terkait dengan program CAP, apa yang ditulis oleh Levitan (1969), “The Community Action Program: A Strategy to Fight Poverty”, merupakan pembekalan konseptual tentang hakikat dari CAP yang sangat berguna dalam memahami CAP sebagai pendekatan untuk mengentaskan kemiskinan. Sedangkan untuk KIP, rujukan utama adalah apa yang digagas oleh United Nations Human Settlements Programme (UN-Habitat). Penelitian terdahulu terkait lokus penelitian ini yaitu Jakarta dan Surabaya juga telah banyak dilakukan termasuk isu penataan lingkungannya. Penelitian-penelitian tersebut berfokus kepada peran aktif (partisipasi) masyarakat dalam menata lingkungan kampung di Surabaya sebagai bentuk pemberdayaan (Lailia, 2014; Hayati et al. 2017; Mahardika, 2015; Mustofa dan Soedjarwo 2017). Untuk Jakarta beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini di antaranya membahas tentang penataan kawasan kumuh yang berfokus pada identifikasi dan karakterisasi tingkat kekumuhan (Fitria et al. 2014; Ambarwati et al. 2016). Namun demikian, dari penelitian-penelitian terdahulu tersebut tidak ada yang spesifik membahas mengenai implementasi CAP dan KIP dalam penataan permukiman kampung kumuh. Penelitian ini menjadi penting karena secara spesifik mengkaji implementasi CAP di Jakarta dan KIP di Surabaya sebagai kebijakan inklusif tata ruang permukiman kampung kumuh. Selain itu, kebaruan (novelty) dari penelitian ini paling tidak adalah berupaya melakukan komparasi implementasi kedua program tersebut serta mengaitkannya dengan perbedaan karakteristik masyarakatnya. Metode Penelitian Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus deskriptif. Penelitian ini menjadi menarik karena membandingkan dua Kota yaitu Jakarta dan Surabaya dalam hal implementasi kebijakan tata ruang permukiman inklusif. Surabaya merupakan salah satu kota di Indonesia yang menuai banyak prestasi terkait tata ruang permukiman. Jakarta merupakan kota metropolitan sekaligus sebagai Ibu Kota Indonesia. Menganalisis implementasi kebijakan tata ruang permukiman inklusif di kedua kota tersebut akan menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan metode desk review melalui studi kepustakaan terhadap sumber-sumber yang relevan. Argumentasi dirumuskan menggunakan kerangka berpikir kebijakan inklusif dengan melakukan analisis perbandingan terhadap implementasi kebijakan tata ruang permukiman yang inklusif di Jakarta dan Surabaya. Hasil dan Pembahasan Eksklusi Sosial dan Upaya Menciptakan Lingkungan Sosial yang Inklusif Eksklusi sosial merupakan proses (dan juga outcome), individu atau kelompok terpisah dari hubungan sosial yang lebih luas – ditandai dengan tidak berpartisipasi dalam aktivitas masyarakat seperti konsumsi, menabung, produksi, politik dan aktivitas sosial



lainnya (Sirovatka dan Meres, 2008). Konsep eksklusi sosial menjadi paradigma baru dalam melihat fenomena kemiskinan dengan lebih komprehensif. Sementara kemiskinan hanya melihat deprivasi ekonomi, maka keunggulan konsep eksklusi sosial adalah melihat devripasi dari berbagai aspek. Dengan dihadapkan pada kenyataan bahwa kemiskinan itu sendiri adalah multidimensi, maka menggunakan konsep eksklusi sosial menjadi pilihan bijak. Silver (2007) melihat eksklusi sosial dalam tiga sudut pandang: solidaritas; spesialisasi dan monopoli. Paradigma solidaritas melihat melemahnya ikatan sosial antar individu dalam masyarakat. Paradigma spesialisasi melihat bahwa eksklusi sosial adalah konsekuensi dari spesialisasi yang terjadi di masyarakat. Paradigma monopoli melihat eksklusi sebagai akibat dari monopoli kelompok – menyorot dominasi suatu kelompok terhadap kelompok tertentu Solidaritas antara orang kaya dan miskin di Jakarta dapat dikatakan lemah. Masyarakat kota Jakarta belum sepenuhnya memiliki kepedulian dan kepekaan sosial yang tinggi terhadap sesama. Hal tersebut tentu saja akan berimplikasi kepada sulitnya membangun nuansa kerja sama antar dua kelas sosial tersebut. Hal demikian pada gilirannya akan menjadi hambatan dalam implementasi CAP yang coba diinisiasi Pemprov DKI. Kondisi lemahnya solidaritas semakin diperburuk dengan spesialisasi di segala aspek. Spesialisasi pada masyarakat termasuk dalam aspek spasial semakin memperburuk ketimpangan antara orang kaya dan miskin. Tersegmentasinya lingkungan permukiman kumuh dan perumahan elit menjadi indikasi adanya eksklusi sosial dalam hal tata ruang permukiman. Hal tersebut semakin didukung dengan spesialisasi pekerjaan yang membedakan lingkungan tempat kerja dua kelas sosial tersebut seperti kawasan perkantoran elit dan pabrik-pabrik. Dengan demikian, eksklusi sosial pada masyarakat Jakarta juga terlihat dari monopoli - dominasi ekonomi oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain. Eksklusi sosial tertuju pada melemahnya kapasitas masyarakat dalam berbagai aspek yang disebabkan oleh melemahnya ikatan (kohesi) sosial. Di sisi lain, kondisi demikian erat hubungannya dengan modal sosial masyarakat. Pada prinsipnya, modal sosial berbicara mengenai kohesi sosial. Gagasan modal sosial tentang kohesi sosial adalah bahwa jaringan merupakan aset yang sangat bernilai - dasar bagi kohesi sosial karena mendorong iklim kerja sama untuk memperoleh manfaat (Field, 2010). Pada kenyataannya, menggunakan relasi untuk bekerja sama membantu dalam memperbaiki kehidupan (Putnam, 2000 dan Woolcoock, 1998 dalam Field, 2010). Terdapat benang merah dalam upaya mereduksi eksklusi sosial dan meningkatkan modal sosial masyarakat yaitu dengan menciptakan lingkungan sosial yang inklusif. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Bappenas (2017) telah menetapkan arah kebijakan dan strategi perkotaan di Indonesia yang diantaranya dinilai mencerminkan prinsip inklusifitas yakni (Warsilah, 2018): (1) Mewujudkan sistem perkotaan untuk pengurangan kesenjangan; (2) Membangun kota yang aman, nyaman dan layak huni dan terpenuhinya standar pelayanan perkotaan; dan (3) Meningkatkan kapasitas pengelolaan kota yang transparan, akuntabel, partisipatif dan profesional. Inklusi sosial pada dasarnya menunjukkan keadaan sebuah lingkungan yang mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang tanpa terkecuali sehingga mereka merasa aman dan nyaman dalam melaksanakan hak dan kewajibannya (Warsilah, 2018). Lingkungan yang inklusif menurut Lenoir (1974) dalam Warsilah (2018) adalah lingkungan sosial masyarakat yang terbuka dan menyenangkan serta merangkul semua perbedaan. Inklusifitas kemudian dijadikan



sebagai paradigma di dalam pembangunan yaitu sebuah pendekatan pembangunan sosial yang secara luas menganalisa suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat, atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik dengan cara mendukung keberlanjutan umat manusia dan ekologis (Warsilah, 2018). Pembangunan inklusif sangat condong mendekati kerangka sosial demokratik dan mencakup masalah kesejahteraan dalam kaitannya untuk mengatasi masalah ketimpangan dan kemiskinan (Prasetyantoko et.al. 2012). Pembangunan inklusif mensyaratkan peran aktif masyarakat, baik melalui sistem demokrasi perwakilan maupun demokrasi langsung seperti bentuk-bentuk mekanisme yang partisipatif. Pembangunan inklusif mendukung peran aktif masyarakat sipil dan mengandalkan suara dan reformasi dari bawah.” (Prasetyantoko et.al. 2012). Melihat kembali hubungan antara eksklusi sosial dan modal sosial, pada dasarnya keduanya memiliki kesamaan. Untuk menciptakan lingkungan sosial yang inklusif sangat dibutuhkan modal sosial. Modal sosial benar-benar mempengaruhi inklusi sosial, kualitas hidup individu, dan penguatan kapasitas secara personal, pertumbuhan ekonomi, pemerintahan yang demokratis dan kohesi sosial pada tingkatan makro level (Sirovatka dan Mares, 2008). Menurut Sirovatka dan Mares (2008), keterkaitan antara dimensi modal sosial dengan inklusi sosial adalah sebagai berikut: Modal Sosial



Inklusi Sosial (Partisipasi) Ekonomi ● Pasar tenaga kerja (pengangguran atau tidak) ● Konsumsi (Deprivasi material)



Didukung oleh jaringan informal Sosial (Keluarga, tetangga dan teman) ● (tidak) berpartisipasi dalam jaringan ● Didukung oleh jaringan formal informal (Asosiasi, sektor, sipil) ● (tidak) berpartisipasi dalam ● Efek inklusif dari norma bersama masyarakat sipil (jaringan sukarela dan iklim kepercayaan formal) ● (tidak) menghargai norma dan moral perilaku ●



Politik ● ●



(tidak) melibatkan proses politik (tidak) masuk dalam keanggotaan partai politik serta aktivitasnya



Sumber: Sirovatka dan Mares, 2008: 535 Dalam upaya menciptakan lingkungan sosial yang inklusif khususnya pada permukiman kumuh dan miskin di perkotaan dapat dimanifestasikan melalui pendekatan CAP. CAP menggambarkan apa yang ingin dicapai oleh masyarakat, kegiatan apa yang



diperlukan selama waktu tertentu dan sumber daya apa (uang, orang dan materi) yang diperlukan untuk berhasil (https://www.sswm.info/category/glossary/community-actionplanning). CAP memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri (https://www.sswm.info/category/glossary/community-action-planning). Kelebihan CAP di antaranya: (1) Partisipasi kuat dari komunitas lokal; (2) Dengan mengimplementasikan CAP, solusi atas masalah datang dari dalam komunitas oleh karenanya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas mereka; (3) Menjamin bahwa semua kelompok yang relevan berpartisipasi dalam kegiatan, terutama perempuan dan kelompok masyarakat lainnya yang sering dilupakan; (4) Menjamin penerimaan dan mendukung solusi oleh masyarakat setempat. Sedangkan kelemahan CAP meliputi: (1) Membutuhkan waktu dan sumber daya untuk mengintegrasikan semua pemangku kepentingan yang relevan dalam prosesnya; (2) Menemukan konsensus antara semua anggota komunitas dapat sangat memakan waktu; dan (3) CAP tidak akan berkembang tanpa motivasi dan dorongan kuat dari komunitas lokal. Bagi Levitan (1969), CAP bukan hanya merupakan sebuah program melainkan sebuah strategi untuk melawan kemiskinan. CAP merupakan sebuah program yang berarti: (1) Memobilisasi dan memanfaatkan sumber daya baik publik atau swasta, atau area geografis dalam melawan kemiskinan; (2) Menyediakan layanan, bantuan, dan kegiatan lainnya untuk memberikan janji kemajuan menuju penghapusan kemiskinan; (3) Dikembangkan, dilakukan, dan dikelola dengan partisipasi maksimal yang layak dari masyarakat dan anggota kelompok yang dilayani; dan (4) Dilakukan, dikelola, atau dikoordinasikan oleh lembaga nonprofit baik publik atau swasta (selain dari partai politik), atau kombinasi daripadanya (Levitan, 1969). CAP memiliki prinsip-prinsip inklusifitas sehingga tepat dijadikan sebagai strategi kebijakan penataan permukiman inklusif dengan berbasis pada partisipasi masyarakat. Selain partisipasi, pada dasarnya paradigma pembangunan inklusif menitikberatkan pada aksesibilitas dan kebebasan masyarakat. Sebagaimana CAP, KIP berupaya untuk menciptakan lingkungan sosial inklusif melalui penataan kampung. Secara historis, KIP merupakan rangkaian dari upaya peremajaan kampung di Surabaya dengan kolaborasi antara pemerintah, komunitas lokal akademisi dan UN-Habitat. KIP terperiodisasi sebagai berikut: (1) Masa penjajahan Belanda yang berfokus pada perbaikan kualitas sanitasi; (2) Masa kemerdekaan berfokus memperbaiki fisik kampung akibat kerusakan oleh perang; (3) Masa Orde Baru diberi nama KIP WR Supratman dan (4) Masa akhir orde baru diberi nama KIP Komprehensif (KIP-K) berfokus bukan hanya pada pembangunan fisik, tetapi juga menggalang sumberdaya dan memberdayakan masyarakat untuk tujuan kesejahteraan masyarakat. KIP adalah program lingkungan yang komprehensif yang tidak hanya menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik bagi keluarga berpenghasilan rendah tetapi juga, dengan melibatkan masyarakat setempat dalam prosesnya, memastikan keberlanjutan jangka panjang dan perbaikan yang berkelanjutan (https://www.world-habitat.org/worldhabitat-awards/winners-and-finalists/the-kampung-improvement-programmesurabaya/#award-content). CAP dan KIP Sebagai Kebijakan Tata Ruang Permukiman yang Inklusif: Kasus Jakarta dan Surabaya Program penataan 16 kampung di Jakarta yang dirancang oleh Gubernur Anies baswedan yaitu berbasis CAP. CAP merupakan salah satu kontrak politik Gubernur Anies



Baswedan saat melakukan kampanye. Kontra politik ini di tujukan pada 16 kampung, perkumpulan pedagang kaki lima dan serikat tukang becak jakarta (http://kampungkota.net/2018/01/17/program-peluncuran-cap-2018/). Pada akhirnya program yang dijanjikan ini direalisasikan dalam bentuk pembangunan kembali kampungkampung yang telah digusur seperti kampung Akuarium dan kampung Kunir, selain itu Anies juga akan menghidupkan kembali moda transportasi becak sebagai transportasi lingkungan. Program ini berisi tentang perencanaan tata ruang yang melibatkan masyarakat. Sejauh ini program CAP yang telah terlihat adalah pelibatan warga kampung akuarium dalam perencanaan tahap awal di kampungnya tersebut. Perencanaan pembangunan kampung tidak sepenuhnya dibuat oleh pemerintah namun ada suatu regulasi musyawarah untuk mengakomodasi usulan-usulan dari para warga. Usulan dari warga kemudian didiskusikan, untuk beberapa hal memang tidak dapat diakomodasi. Usulan-usulan yang tidak terakomodasi tersebut bisa diterima dengan pemberian pengertian mengenai tata ruang kampung yang ideal, apalagi kampung akuarium berdekatan dengan wilayah cagar budaya. Di Surabaya pembangunan dengan pendekatan inklusif yakni menggunakan KIP. ada beberapa kampung miskin yang dianggap sebagai zona merah yang kemudian dibangun berdasarkan program tersebut. Pada KIP surabaya ini, peran dalam membangun sebuah kampung di distribusikan dengan merata, sehingga peran pemerintah bukan hanya sebagai pendana tunggal. Ia mempunyai peran untuk merangsang masyarakat terlibat aktif. Sedangkan peran masyarakat bukan hanya sebagai pelaku pasif dari program pemerintah namun sebagai pendana sekaligus ikut terlibat dalam praktik pembangunan kampung. Sasaran dari KIP ini bukan saja menghasilkan tata ruang kampung fisik yang ideal namun juga kesejahteraan masyarakat. Penataan tata ruang fisik yang ideal hanya menjadi sarana pencapaian output. Secara fisik, kampung Gundih mencanangkan diri sebagai kampung ekologis. Jargon kampung ekologis ini menggambarkan arah pengembangan kampung yang asri. Terdapat sebuah kebijakan yang mengharuskan setiap rumah tangga untuk menyumbangkan satu pohon mangga pada setiap penambahan anggota dalam KK. Selain itu pengelolaan drainase menjadi salah satu program yang disorot dari kampung ini. Ruang publik pun menjadi salah satu prioritas perhatian kampung yang tampak dari peraturan yang tidak memperbolehkan kendaraan atau gerobak-gerobak di parkir sembarangan di sepanjang jalan-jalan kampung yang berefek jalan-jalan di kampung tidak lagi terlihat penuh sesak dengan berbagai kendaraan atau gerobak yang terparkir. Kekuatan utama kampung Maspati adalah dalam hal penerapan konsep smart environment. Sebagai salah satu kampung tertua di Surabaya, pemerintah kota dan komunitas lokal berupaya untuk menjaga warisan budaya terutama arsitektur kampung untuk mengadopsi konsep smart city. Partisipasi penuh dari warga sangat membantu dalam menjaga warisan situs kota bersejarah. Kesadaran warga kampung Maspati diwujudkan dengan inovasi-inovasi lokal sebagai bentuk potensi lokal untuk melestarikan lingkungan dan memberdayakan masyarakat. Sementara itu di kampung Genteng, warga dengan bijak melakukan pengelolaan bak sampah. Partisipasi penuh dari masyarakat dalam mengelola sampah tersebut memberikan manfaat ekonomi. Dengan pengelolaan sampah yang dilakukan di kampung Genteng, warga mampu menciptakan kemandirian usaha. Implikasinya tentu saja adalah peningkatan pendapatan warga kampung Genteng. Ketiga kampung di Surabaya tersebut (ditambah satu kampung yaitu kampung Bratang Binangun) didaulat sebagai



kampung terbersih dan berhasil menjadi pemenang dalam kompetisi green and clean di Surabaya. Sementara itu, CAP di Jakarta justru menemui beberapa hambatan-hambatan yang bersifat mendasar. Kendala utama adalah terkait kegagalan fasilitator dalam hal menggali ide-ide penataan. Hal tersebut terjadi karena konsultan CAP Jakarta dianggap gagal memandu warga dan melibatkan mereka dalam dialog-dialog bersama untuk membangun kampung mereka. Hal ini menjadi sangat krusial mengingat CAP harus secara maksimal melibatkan masyarakat mulai dari tahap perencanaan. Partisipasi masyarakat yang maksimal sangat dibutuhkan dalam keberhasilan CAP karena berupaya mengidentifikasi masalah dan menghadirkan solusi secara bottom up. Selain itu, dilaporkan oleh Rujak Center for Urban Studies, kebijakan tata ruang permukiman dan penataan kampung kumuh di Jakarta justru menghasilkan masalahmasalah baru seperti meningkatnya marjinalisasi terhadap masyarakat (https://rujak.org/penataan-kampung-kota-oleh-warga-dan-untuk-warga-press-releasediskusi-tantangan-pembangunan-kawasan-kumuh-dki-jakarta/). Tidak dapat dipungkiri, konflik lahan seperti penggusuran paksa di Jakarta kerap menuai pro kontra karena dianggap melanggar HAM. Terlebih mengingat lokasi penggusuran berisikan rumah-rumah sewa sehingga warga relokasi tidak mampu lagi untuk menjangkau hunian baru. Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa ketidaksiapan pemerintah dalam hal penyediaan hunian layak justru berwujud pemiskinan sendiri untuk warganya. Diperlukan upaya pengintegrasian kebijakan yang lebih serius terkait hal ini. Dalam CAP, alangkah lebih bijak memperbaiki masalah-masalah yang telah teridentifikasi di dalam tahap perencanaan. Lebih jauh, terkait dengan pemiskinan warga Jakarta yang direlokasi seharusnya tidak terulang dengan sinergi berbagai pihak terutama UMKM terkait penyediaan lapangan pekerjaan baru untuk memberdayakan masyarakat. Keberhasilan program-program dengan pendekatan inklusif ini mau tidak mau tentu tergantung dengan masyarakat yang dilibatkan. Sehingga perlu dalam pelaksanaan program melihat karakteristik dari masyarakat menengah kebawah tersebut. Tentu jika kita melihat kedua lokus penelitian yakni Jakarta dan Surabaya, karakter masyarakat tersebut memiliki perbedaan yang perlu dipertimbangkan. Masyarakat menengah Jakarta kebanyakan adalah pendatang yang menghuni daerah-daerah pinggiran sungai atau tempat-tempat publik lainnya. Secara lingkungan fisik saja lingkungan pemukiman masyarakat menengah kebawah kota tersebut rentan bencana yang selalu membayangi. Ancaman banjir misalnya, dampaknya akan berpengaruh pada terganggunya pekerjaan masyarakat, hilangnya aset dan meningkatnya resiko kesehatan. Belum lagi status kependudukan warga miskin Jakarta yang secara administrasi tidak memiliki kartu tanda penduduk Jakarta yang menambah beban mereka terhadap akses-akses ke pemerintah. Tantangan secara kultural pun muncul dengan latar belakang masyarakat pendatang yang datang dari berbagai daerah dan memiliki pola pikir dan kebiasaannya sendiri. Sedangkan apa yang ditemukan di Surabaya memiliki karakter yang berbeda. Masyarakat menengah ke bawah Surabaya relatif pendatang yang memiliki latar belakang budaya yang tidak begitu jauh berbeda, bahkan banyak juga yang merupakan penduduk asli setempat. Belum lagi jika kita lihat dari faktor tantangan lingkungannya bahwa resiko yang dialami oleh masyarakat miskin Surabaya tidak terlalu beresiko seperti masyarakat Jakarta. Tentu dengan fakta yang demikian program CAP dan KIP memiliki tantangan yang berbeda. CAP bukan saja harus menjawab tantangan peremajaan atau memperindah tata



ruang kampung dalam pembangunan lingkungan seperti KIP di Surabaya. CAP harus dapat memecahkan persoalan ekologis yang alami di tengah kompleksitas latar belakang sosial budaya masyarakatnya, yang terkadang faktor ekologis yang demikianlah yang menyokong kegiatan ekonomi mereka sehari-hari. Kesimpulan CAP maupun KIP sebagai konsekuensi program dengan pendekatan inklusif tidak bisa serta merta diterapkan dengan sama persis antara satu daerah dengan daerah lain. Kekuatan inklusif yang menitikberatkan peran aktif masyarakat akan memberikan dampak pada pertimbangan karakteristik masyarakat yang ada. Perlu hati-hati dalam mencontoh KIP daerah lain yang sudah berhasil, apakah program KIP atau CAP di daerah lain tersebut dapat juga diterapkan di daerahnya. Selain itu, penataan ruang yang akan berdampak pada pola hidup masyarakat dan memberikan outcome kesejahteraan juga perlu melihat faktor resiko alami dari suatu lokasi. Pengetahuan keruangan masyarakat dengan pengetahuan teoritik dari berbagai stakeholder perlu disinkronkan agar kebijakan tepat sasaran. Referensi Ambarwati. Sugandi dan Sungkawa. 2016. “Tingkat Kekumuhan Permukiman di Kecamatan Tambora Jakarta Barat”. Jurnal Pendidikan Geografi 4(2). (http://antologi.upi.edu/index.php/main/antologi/B035). Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup. 2018. “Laporan Kegiatan Bulan Februari 2018” Jakarta: Pemprov DKI Jakarta. Field, John. 2010. Modal Sosial. Bantul: Kreasi Wacana. Fitria., Niken, dan Rulli Pratiwi Setiawan. 2014. “Identifikasi Karakteristik Lingkungan Permukiman Kumuh di Kelurahan Kapuk Jakarta Barat”. Jurnal Teknik Pomits 3(2)2337-3539. Hayati, Arina et al. 2017. “From Smart Living into Smart City: A Lesson from Kampung of Surabaya”. (http://www.uia2017seoul.org/P/papers/Full_paper/Paper/Oral/PS351/O-0864.pdf). http://jakarta.bps.go.id Lailia, Anita Nur. 2014. “Gerakan Masyarakat dalam Pelestarian Lingkungan Hidup: Studi tentang Upaya Menciptakan Kampung Hijau di Kelurahan Gundih Surabaya”. Jurnal Politik Muda 3(3)282-302. Levitan, Sar. A. 1969. “The Community Action Program: A Strategy to Fight Poverty”. (http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/000271626938500107). Mahardika, M. Alif. 2015. “Hubungan Agen dengan Struktur dalam Perubahan Sosial Kelurahan Gundih menjadi Kampung Gundih Berseri: Studi Kasus pada Kelurahan Gundih, Kecamatan Bubutan, Kota Surabaya”. Jurnal Mahasiswa Sosiologi 1(2) 1-28. Muslim, Rohman. 2018. “Program Peluncuran CAP” Jakarta: Kampung Kota. Diakses pada 1 November 2018. (http://kampungkota.net/2018/01/17/program-peluncuran-cap2018). Mustofa, Alfi Bisri dan Soedjarwo. 2017. “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengelolaan Bank Sampah Untuk Meningkatkan Kemandirian Usaha Di Kampung Genteng Candirejo Surabaya”. Jurnal Plus UNESA 6(3) 1-11. Prasetyantoko, A. Setyo. Budiantoro dan Sugeng Bahagijo. 2012. Pembangunan Inklusif: Prospek dan Tantangan Indonesia. Jakarta: LP3ES.



Rujak Center fro Urban Studies. 2018. “Penataan Kampung Kota Oleh Warga dan untuk Warga: Press Release Diskusi Tantangan Pembangunan Kawasan Kumuh DKI Jakarta” Jakarta: Rujak Center for Urban Studies. Diakses pada 1 November 2018. (https://rujak.org/penataan-kampung-kota-oleh-warga-dan-untuk-warga-pressrelease-diskusi-tantangan-pembangunan-kawasan-kumuh-dki-jakarta/). Silver, Hillary. 2007. “Social Exclussion: Comparative Analysis of Europe and Middle East Youth” The Middle East Youth Initiative Working Paper. Dubai: Dubai School of Government. Sirovatka Thomas dan Petr Mares. 2008. “Social Exclusion and Forms of Social Capital”. Czech Sociological Review 44(3)531-555. Susanti, Dewi et al. 2007. Mendengarkan Kota: Studi Perbandingan Kota dan Komunitas Miskin antara Jakarta – Bangkok. Jakarta: Institute for Ecosoc Rights. Sustainable Sanitation and Watar Management (SSWM). 2018. “Community Action Planning” Willisau: Sustainable Sanitation and Water Management (SSWM). Diakses pada 8 Mei 2018. (https://www.sswm.info/category/glossary/community-actionplanning). UN HABITAT. 1992. “The Kampung Improvement Programme, Surabaya” UK: UN HABITAT. Diakses pada 1 November 2018. (https://www.world-habitat.org/world-habitatawards/winners-and-finalists/the-kampung-improvement-programmesurabaya/#award-content). Warsilah, Henny et al. 2018. “Pembangunan Inklusif Luar Jawa: Kasus Padang Pariaman Sumatera Barat dan Tanjung Benoa Bali” Makalah Rancangan Penelitian. Disampaikan dalam Seminar Riset Desain PMB LIPI 20-22 Februari 2018.