Tax Avoidance & Tax Evasion [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH MATA KULIAH KAPITA SELEKTA PERPAJAKAN TAX AVOIDANCE dan TAX EVASION



DOSEN PEMBINA MATA KULIAH: Dr. Diana Sari, SE., M.Si., Ak, Qia,Ca, Acpa



DISUSUN OLEH: 1.



Deni Saeful Rizal



- 1618204020



2.



Yani Abdillah



- 1619104050



UNIVERSITAS WIDYATAMA FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI 2020



DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN



3



1.



LATAR BELAKANG



3



2.



RUMUSAN MASALAH



4



3.



TUJUAN



4



BAB II TINJAUAN TEORI



5



1.



Pengertian Penghindaran Pajak



5



A.



Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)



5



1)



Pengertian Penghindaran Pajak



5



2)



Indikator Penghindaran Pajak



6



3)



Skema Penghindaran Pajak



8



B.



Penggelapan Pajak (Tax Evasion)



12



1)



Pengertian Penggelapan Pajak



12



2)



Indikator Penggelapan Pajak



13



3)



Penyebab Penggelapan Pajak



13



C.



Contoh Kasus



15



BAB III KESIMPULAN



17



DAFTAR PUSTAKA



19



BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Pelaksanaan pemungutan pajak suatu negara memerlukan suatu sistem yang telah disetujui masyarakat melalui perwakilannya di dewan perwakilan, dengan menghasilkan suatu perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan sistem perpajakan bagi fiskus maupun bagi wajib pajak. Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan adalah Self Assesment System, dimana segala pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan sepenuhnya oleh wajib pajak, fiskus hanya melakukan pengawasan melalui prosedur pemeriksaan. Menurut Waluyo (2011) salah satu cara untuk mewujudkan kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan adalah dengan menggali sumber dana dari pajak. Pemerintah terus berupaya memperbaiki sistem perpajakan menjadi lebih baik dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari pajak. Di Indonesia, usaha-usaha untuk mengoptimalkan penerimaan sektor pajak bukan tanpa kendala. Seiring berjalannya perbaikan sistem perpajakan yang dilakukan oleh pemerintah, terdapat perbedaan kepentingan antara pemerintah dan perusahaan. Pajak di mata negara merupakan sumber penerimaan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, sedangkan pajak bagi perusahaan selaku wajib pajak adalah beban yang akan mengurangi laba bersih. Dalam rangka mengelola kekayaan perusahaan untuk memperoleh laba dan memaksimalkan nilai perusahaan, manajemen perusahaan akan membuat keputusan melalui pertimbangan yang matang. Salah satu komponen penting yang menjadi pertimbangan perusahaan adalah pajak, oleh karenanya pajak harus direncanakan dengan baik. Upaya untuk meminimalkan beban pajak dilakukan dengan membuat perencanaan pajak (tax planning). Secara sederhana tax planning adalah upaya-upaya yang dilakukan Wajib Pajak untuk meminimalisir pajak terhutang. Tax planning dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan perpajakan (unlawful). Istilah yang sering digunakan adalah tax avoidance (penghindaran pajak) dan tax evasion (penggelapan pajak). Tax avoidance dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar ketentuan yang berlaku, yaitu memanfaatkan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam ketentuan perpajakan. Sedangkan tax evasion dilakukan dengan cara-cara yang bersifat illegal, yaitu melanggar



ketentuan perpajakan. Seringkali dalam praktik antara tax avoidance dan tax avasion sulit untuk dibedakan. Walaupun secara legal tax avoidance dan tax avasion dapat dibedakan, namun secara ekonomis baik perencanaan pajak melalui tax avoidance maupun tax avasion sama-sama mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak. 2. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Tax Avoidance dan Tax Evasion dapat terjadi? 2. Bagaimanakah cara Pencegahan Penghindaran Pajak tersebut? 3. TUJUAN Berdasarkan pertanyaan yang telah diuraikan diatas, maka tujuan dari makalah ini yaitu: 1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Tax Avoidance. 2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Tax Evasion. 3. Untuk mengetahui cara pencegahan dari penghindaran pajak.



BAB II TINJAUAN TEORI 1. Pengertian Penghindaran Pajak Penghindaran pajak atau perlawanan terhadap pajak adalah hambatan-hambatan yang terjadi dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara. Perlawanan terhadap pajak terdiri dari perlawanan aktif dan perlawanan pasif. Dalam buku-buku perpajakan Indonesia, penghindaran pajak (tax avoidance) selalu diartikan sebagai kegiatan yang legal (misalnya meminimalkan beban pajak tanpa melawan ketentuan perpajakan) dan penyelundupan pajak (tax evasion/tax fraud) diartikan sebagai kegiatan yang ilegal (misalnya meminimalkan beban pajak dengan memanipulasi pembukuan). A. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) Penghindaran Pajak (tax avoidance) merupakan tindakan legal, dapat dibenarkan karena tidak melanggar undang-undang, dalam hal ini sama sekali tidak ada suatu pelanggaran hukum yang dilakukan. Tujuan penghindaran pajak adalah menekan atau meminimalisasi jumlah pajak yang harus dibayar. 1) Pengertian Penghindaran Pajak Pengertian Tax Avoidance menurut Lyons Susan M dalam Erly Suandy (2008:7), yaitu: “Tax Avoidance is a term used to describe the legal arrangements of tax fair’s affairs so as to reduce his tax liability. It’s often to pejorative overtones, for example it is use to describe avoidance achieved by artificial arrengements of personal or bussiness affair to take advantage of loopholes, ambiguities, anomalies or other deficiencies of tax law. Legislation designed to counter avoidance has become more commonplace and often involves highly complex provision”. Pengertian Tax Avoidance menurut Harry Graham dalam Siti Kurnia Rahayu (2010:147), yaitu : “Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) merupakan usaha yang sama yang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”. Pengertian Tax Avoidance menurut Robert H Anderson dalam Siti Kurnia Rahayu (2010:147), yaitu :



“Cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan dan dapat dibenarkan terutama melalui perencanaan perpajakan”. Pengertian Tax Avoidance menurut NA Barr SR James AR Prest dalam Siti Kurnia Rahayu (2010:147), yaitu : “Sebagai manipulasi penghasilannya secara legal yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang”. 2) Indikator Penghindaran Pajak Adapun yang menjadi indikator dari Penghindaran Pajak menurut Arnold dan McIntyre (1995) dilakukan dengan 3 cara, yaitu : 



Menahan Diri Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bias dikenai pajak. Contoh : o Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau o Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar terhindar dari pajak atas pemakaian barang tersebur. Sebagai gantinya, menggunakan ikat pinggang dari plastik.Secara moral, hal ini tidak tercela karena tidak ada orang yang akan menganggap perbuatan seorang perokok yang mengurangi kebiasaan merokoknya sebagai orang yang menghindari pajak. Malah, orang yang mengurangi, atau malah tidak merokok sama sekali dianggap sebagai tindakan terpuji.







Pindah Lokasi Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya rendah. Contoh: Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak semudah itu dilakukan oleh wajib pajak. Mereka harus memikirkan tentang transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitar yang menunjang usaha mereka. Hal ini harus sesuai dengan kentungan yang akan mereka dapatkan dan keringanan pajak yang mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi hanya pada pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka cabang baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif



pajaknya lebih rendah. Hal ini tidak tercela karena merupakan hak asasi setiap orang untuk memilih tempat atau lokasi usaha/domisilinya. 



Penghindaran Pajak Secara Yuridis Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Contoh: Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkurang. Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah (loophole) yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku. Permasalahannya adalah apakah penghindaran pajak selalu legal? Menurut Roy Rohatgi (2002: 342), di banyak negara penghindaran pajak dibedakan menjadi penghindaran pajak yang diperbolehkan (acceptable tax avoidance/tax planning/tax mitigation) dan yang tidak diperbolehkan (unacceptable tax avoidance). Artinya, penghindaran pajak dapat saja dikategorikan sebagai kegiatan legal dan dapat juga dikategorikan sebagai kegiatan ilegal. Suatu penghindaran pajak dikatakan ilegal apabila transaksi yang dilakukan semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan usaha yang baik (bonafide business purpose). Oleh karena itu, untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, sebagian besar negara telah mempunyai ketentuan anti penghindaran pajak (Brian J. Arnold dan Michael J. McIntyre, 2002:81). Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan (wajib pajak) yang dengan senang



hati dan suka rela membayar pajak. Karena pajak adalah iuran yang sifatnya dipaksakan, maka negara juga tidak membutuhkan ‘kerelaan wajib pajak’. Yang dibutuhkan oleh negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak rela, yang penting bagi negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini. Mengingat pajak adalah beban –yang akan mengurangi laba bersih perusahaan- maka perusahaan akan berupaya semaksimal mungkin agar dapat membayar pajak sekecil mungkin dan berupaya untuk menghindari pajak. Namun demikian penghindaran pajak harus dilakukan dengan cara-cara yang legal agar tidak merugikan perusahaan di kemudian hari. Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku. Contoh kasus penggelapan pajak : 



Melaporkan penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10 milyar hanya dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5 milyar misalnya.







Menggelembungkan biaya perusahaan dengan membebankan biaya fiktif;







Transaksi export fiktif,







Pemalsuan dokumen keuangan perusahaan Jika kita analogikan pajak dengan karcis tol, Jika kita lewat jalan tol namun



tidak membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak. Sedangkan jika kita menghindari untuk membayar karcis tol dengan cara memilih lewat jalan biasa, maka itulah penghindaran pajak. Menghindari membayar tol (pajak) dengan cara tidak lewat jalan tol adalah cara yang legal. 3) Skema Penghindaran Pajak Beberapa skema penggelapan pajak yang umumnya dilakukan oleh perusahaan adalah: 1.



Transfer Pricing Transfer pricing merupakan jumlah harga atas penyerahan (transfer) barang atau imbalan atas penyerahan jasa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam transaksi bisnis maupun finansial (Gunadi:1994). Dalam konteks perpajakan transfer pricing digunakan untuk merekayasa pembebanan harga



suatu transaksi antara perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dalam rangka meminimalkan beban pajak yang terutang secara keseluruhan atas grup perusahaan. Dari sisi negara, praktik transfer pricing dapat mengakibatkan distorsi penerimaan negara dari sektor pajak. Menurut Griffin dan Pustay, perusahaan multinasional berusaha untuk memaksimalkan laba bersih setelah pajak dengan cara “they may manipulate transfer prices to shift reported profits from high-tax countries to law-tax countries”. Skema transfer pricing yang umumnya dilakukan oleh perusahaan adalah: 



Menggelembungkan inter company cost.







Membebankan biaya royalti atas pemakaian merek dagang milik induk perusahaan yang sebenarnya tidak diperlukan.







Memperbesar biaya bahan baku dan atau memperkecil penghasilan dari penjualan barang.







Memperkecil omzet penjualan melalui transaksi maklon.



Pinjaman saham melalui perusahaan PMA, dilakukan dengan cara : 



Membebankan biaya bunga dari pinjaman pemegang saham kepada pemberi pinjaman di luar negeri, atau







Penghindaran PPh pemotongan dan pemungutan (withholding tax), yaitu melalui praktik pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham, dan praktik pemakaian bahan baku untuk perusahaan di luar negeri dan pemakaian merek dagang induk perusahaan tanpa pembayaran royalti kepada induk perusahaan di luar negeri.



2.



Pemanfaatan Tax Haven Country Negara tax haven merupakan suatu lokasi yang menawarkan kewajiban pajak yang rendah atau daerah yang tidak akan dikenakan pajak di mana para pengusaha melakukan usaha. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Azzara (1999), “a tax haven is a location which offer a low-tax or no-tax environment for which businessman can operate.” Namun demikian, beberapa ahli perpajakan ada yang berpendapat bahwa negara tax haven tidak dapat didefinisikan dengan jelas karena sifatnya sangat relatif, yaitu tergantung pada ketentuan masing-masing negara. Suatu negara dapat saja disebut sebagai tax haven oleh negara lain apabila negara tersebut



memberikan suatu insentif dalam kegiatan perekonomian di suatu daerah tertentu dalam wilayah negara tersebut. Jadi, apakah suatu negara akan diklasifikasikan sebagai negara tax haven atau tidak oleh negara lain tergantung dari definisi negara tax haven yang diberikan oleh negara lain tersebut. Karena tidak ada definisi yang jelas, maka untuk menentukan bahwa suatu negara sebagai tax haven dapat berdasarkan beberapa keriteria sebagai berikut (Zain:2005): 



Tidak memungut pajak sama sekali atau apabila memungut pajak maka tarifnya sangat rendah.







Memiliki peraturan yang ketat tentang rahasia bank dan atau rahasia bisnis dan tidak akan mengungkapkan kerahasiaan tersebut kepada siapapun atau negara manapun, walaupun hal itu dimungkinkan pengungkapannya berdasarkan perjanjian internasional.







Tersedia fasilitas alat komunikasi modern yang memungkinkan komunikasi ke seluruh dunia tanpa ada hambatan apapun.







Pengawasan yang longgar terhadap lalu lintas devisa, termasuk deposito yang berasal dari negara asing, baik perorangan maupun badan.







Adanya promosi dan kepercayaan bahwa negara-negara tax haven merupakan pusat keuangan yang baik dan terjamin. Para peneliti di bidang international taxation pada umumnya membagi



negara tax haven dalam empat kelompok (Darussalam, Danny dan Indrayagus:2007), yaitu: 



Classical tax haven, yaitu negara yang tidak mengenakan pajak penghasilan sama sekali atau menerapkan tarif pajak penghasilan yang rendah (no-tax haven).







Tax havens, yaitu negara yang menerapkan pembebasan pajak atas sumber penghasilan yang diterima dari luar negeri (no tax on foreign source of income).







Special tax regimes, yaitu suatu negara yang memberikan fasilitas pajak khusus bagi daerah-daerah tertentu di wilayah negaranya.







Treaty tax havens, yaitu negara yang mempunyai treaty network yang sangat baik serta menerapkan tarif pajak yang rendah untuk withholding tax atas passive income.



3.



Thin Capitalization Thin capitalization merupakan modal terselubung melalui pinjaman yang melampui batas kejawaran. Pinjaman dalam konteks thin capitalization ini adalah pinjaman berupa uang atau modal dari pemegang saham atau pihak-pihak lain yang memiliki hubungan istimewa dengan pihak peminjam (Rohatgi:2002). Pada umumnya bunga yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman yang bukan penduduk di negara peminjam dapat dijadikan pengurang pada penghasilan kena pajak si peminjam, sedangkan dividen tidak dapat dijadikan sebagai pengurang. Menurut Gunadi (1994), pemberian pinjaman dalam skema thin capitalization dapat dilakukan melalui beberapa cara sebagai berikut: 



Direct loan. Pinjaman diperoleh secara langsung dari investor (pemegang saham). Dari pinjaman tersebut investor mendapatkan bunga yang besarnya pada umumnya ditentukan oleh investor tersebut.







Back to back loan. Investor menyerahkan dananya kepada mediator sebagai pihak ketiga untuk langsung dipinjamkan kepada anak perusahaan dengan memberinya imbalan.







Paralel loan. Investor luar negeri mencari mitra perusahaan Indonesia yang mempunyai anak perusahaan yang berada di negara investor. Sebagai imbalan atas pemberian pinjaman kepada anak perusahaan (Indonesia) di negara investor, selanjutnya investor meminta kepada perusahaan Indonesia untuk juga memberikan pinjaman kepada anak perusahaan milik investor di Indonesia.



4.



Treaty Shopping Tax treaty dapat dijadikan objek untuk melakukan aktivitas penghindaran pajak, meskipun tujuan dari tax treaty pada hakekatnya adalah untuk mencegah penghindaran pajak. Skema treaty shopping dilakukan oleh penduduk suatu negara yang tidak memiliki tax treaty mendirikan anak perusahaan di negara yang memiliki tax treaty dan melakukan kegiatan investasinya melalui anak perusahaan tersebut, sehingga investor dapat menikmati tarif pajak rendah dan fasilitas-fasilitas perpajakan lainnya yang tercantum dalam tax treaty. Skema treaty shopping dilakukan untuk memanfaatkan fasilitas-fasilitas dalam tax treaty (treaty benefit). Padahal treaty benefit hanya boleh dinikmati



oleh residen (subjek pajak dalam negeri) dari kedua negara yang mengikat perajanjian. Untuk dapat memanfaatkan treaty benefit harus memenuhi dua syarat (Mansury:1999): 



Syarat formal (administrative requirement), yaitu pembuktian bahwa yang bersangkutan adalah residen (penduduk) dari negara yang mengikat perjanjian berupa Certificate of Residence yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di negara treaty partner.







Syarat material (substantive requirement), yaitu Wajib Pajak di negara treaty partner memang benar-benar residen di negara partner tersebut, bukan residen negara ketiga.



5.



Controlled Foreign Corporation (CFC) Penghindaran pajak yang dilakukan dengan cara menunda pengakuan penghasilan modal yang bersumber dari luar negeri (khususnya di negara tax haven) untuk dikenakan pajak di dalam negeri. Skema CFC dilakukan dengan mendirikan entitas di luar negeri dimana Wajib Pajak dalam negeri (WPDN) memiliki pengendalian. Upaya WPDN untuk meminimalkan jumlah pajak yang dibayar atas investasi yang dilakukan di luar negeri adalah dengan menahan laba yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang sahamnya. Dengan memanfaatkan adanya hubungan istimewa dan kepemilikan mayoritas saham, badan usaha di luar negeri tersebut dapat dikendalikan sehingga dividen tidak dibagikan/ditangguhkan. Upaya di atas akan semakin menguntungkan bagi perusahaan jika badan usaha di luar negeri didirikan di negara tax haven atau low tax jurisdiction.



B. Penggelapan Pajak (Tax Evasion) Penggelapan Pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian dari penghasilannya. Wajib pajak di setiap negara terdiri dari wajib pajak besar (berasal dari multinational corporation yang terdiri dari perusahaan-perusahaan penting nasional) dan wajib pajak kecil (berasal dari profesional bebas yang terdiri dari dokter yang membuka praktek sendiri, pengacara yang bekerja sendiri, dll). 1) Pengertian Penggelapan Pajak Pengertian Tax Evasion menurut Defiandry Taslim (2007), yaitu :



“Tax evasion (penggelapan pajak) yaitu usaha-usaha untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang atau menggeser beban pajak yang terutang dengan melanggar ketentuan-ketentuan pajak yang berlaku. Tax evasion merupakan pelanggaran dalam bidang perpajakan sehingga tidak boleh di lakukan, karenapelaku tax evasion dapat dikenakan sanksi administratif maupun sanksi pidana”. Pengertian Tax Evasion menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:147), yaitu : Pengelakan Pajak (tax evasion) merupakan usaha aktif Wajib Pajak dalam hal mengurangi, menghapuskan, manipulasi ilegal terhadap utang pajak atau meloloskan diri untuk tidak membayar pajak sebagaimana yang telah terutang menurut aturan perundang-undangan. Pengertian Tax Evasion menurut Lyons Susan M dalam Erly Suandy (2008:7), yaitu: Tax Evasion is the reduction of tax by ilegal means. The distincion,however, is not always easy. Some example of tax avoidance scheme include locatting assets in offshore jurisdiction, delaying repatriation of profit earn in low-tax foreign jurisdiction, ensuring that gains are capital rather than income so the gains are not subject to tax (or a subject at a lower rate), spreading of income to other tax payers with lower marginal tax rates and taking advantages of tax incentives. 2) Indikator Penggelapan Pajak Adapun yang menjadi indikator dari Penggelapan Pajak menurut M Zain (2008:51), yaitu : a. Tidak menyampaikan SPT. b. Menyampaikan SPT dengan tidak benar. c. Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan NPWP atau Pengukuhan PKP. d. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut atau dipotong. e. Berusaha menyuap fiskus. 3) Penyebab Penggelapan Pajak Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:149) yang menyebabkan terjadinya tax evasion yaitu : a. Kondisi lingkungan



Lingkungan sosial masyarakat menjadi hal yang tak terpisahkan dari manusia sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu saling bergantung satu sama lain. Hampir tidak ditemukan manusia di dunia ini yang hidupnya hanya bergantung pada diri sendiri tanpa memperdulikan keberadaan orang lain, begitu juga dalam dunia perpajakan, manusia akan melihat lingkungan sekitar yang seharusnya mematuhi aturan perpajakan. Mereka saling mengamati terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan. Jika kondisi lingkungannya baik (taat aturan), masing-masing individu akan termotivasi untuk mematuhi peraturan perpajakan dengan membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya jika lingkungan sekitar kerap melanggar peraturan. Masyarakat menjadi saling meniru untuk tidak mematuhi peraturan karena dengan membayar pajak, mereka merasa rugi telah membayarnya sementara yang lain tidak. b. Pelayanan fiskus yang mengecewakan Pelayanan aparat pemungut pajak terhadap masyarakat cukup menentukan dalam pengambilan keputusan wajib pajak untuk membayar pajak. Hal tersebut disebabkan oleh perasaan wajib pajak yang merasa dirinya telah memberikan kontribusi pada negara dengan membayar pajak. Jika pelayanan yang diberikan telah memuaskan wajib pajak, mereka tentunya merasa telah diapresiasi oleh fiskus. Mereka menganggap bahwa kontribusinya telah dihargai meskipun hanya sekedar dengan pelayanan yang ramah saja. Tapi jika yang dilakukan tidak menunjukkan penghormatan atas usaha wajib pajak, masyarakat merasa malas untuk membayar pajak kembali. c. Tingginya tarif pajak Pemberlakuan tarif pajak mempengaruhi wajib pajak dalam hal pembayaran pajak. Pembebanan pajak yang rendah membuat masyarakat tidak terlalu keberatan untuk memenuhi kewajibannya. Meskipun masih ingin berkelit dari pajak, mereka tidak akan terlalu membangkang terhadap aturan perpajakan karena harta yang berkurang hanyalah sebagian kecilnya. Dengan pembebanan tarif yang tinggi, masyarakat semakin serius berusaha untuk terlepas dari jeratan pajak yang menghantuinya. Wajib pajak ingin mengamankan hartanya sebanyak mungkin dengan berbagai cara karena



mereka tengah berusaha untuk mencukupi berbagai kebutuhan hidupnya. Masyarakat tidak ingin apa yang telah diperoleh dengan kerja keras harus hilang begitu saja hanya karena pajak yang tinggi. d. Sistem administrasi perpajakan yang buruk Penerapan sistem administrasi pajak mempunyai peranan penting dalam proses pemungutan pajak suatu negara. Dengan sistem administrasi yang bagus, pengelolaan perpajakan akan berjalan lancar dan tidak akan terlalu banyak menemui hambatan yang berarti. Sistem yang baik akan menciptakan manajemen pajak yang profesional, prosedur berlangsung sistematis dan tidak semrawut. Ini membuat masyarakat menjadi terbantu karena pengelolaan pajak yang tidak membingungkan dan transparan. Seandainya sistem yang diterapkan berjalan jauh dari harapan, mayarakat menjadi berkeinginan untuk menghindari pajak. Mereka bertanya-tanya apakah pajak yang telah dibayarnya akan dikelola dengan baik atau tidak. Setelah timbul pemikiran yang menyangsikan kinerja fiskus seperti itu, kemungkinan besar banyak wajib pajak yang benar-benar `lari` dari kewajiban membayar pajak. C. Contoh Kasus tirto.id - Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mendalami dugaan penghindaran pajak (tax avoidance) yang dilakukan perusahaan batu bara PT Adaro Energy Tbk dengan skema transfer pricing melalui anak perusahaan yang berada di Singapura. Direktur Penyuluhan, Pelayan dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama menyampaikan, dugaan tax avoidance yang muncul berdasarkan laporan Global Witness itu jadi salah satu masukan untuk memastikan Wajib Pajak (WP) Badan mematuhi ketentuan yang berlaku. "Laporan itu akan kami pelajari dalam konteks pengawasan dan pembinaan wajib pajak. Tentunya kami juga akan memastikan setiap wajib pajak itu melakukan kewajiban pajaknya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku," ujarnya saat dihubungi Tirto, Minggu (7/7/2019). Meski demikian, Hestu tak bisa mengonfirmasi apakah sebelumnya otoritas pajak telah melakukan pemeriksaan terhadap potensi penerimaan pajak sebesar 125 juta dolar AS per tahun dalam kurun 2009-2017 yang diduga dibawa kabur Adaro.



Sebab, kata dia, ada peraturan dalam Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang melarang DJP membuka informasi soal pemeriksaan pajak secara spesifik kepada publik. "Kami mengacu ke peraturan UU KUP pasal 34 yang melarang kami menyampaikan ke publik mengenai data dan informasi spesifik terkait dengan wajib pajak tertentu," jelasnya. Dalam Pasal 41 beleid tersebut, sanksi bagi pejabat DJP yang membocorkan informasi pajak tercantum dengan jelas. Pertama, jika kebocoran terjadi karena ketidaksengajaan, pejabat yang bersangkutan dapat dipidana kurungan penjara paling lama enam bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp1.000.000,- (satu juta rupiah). Bagi pejabat pajak yang sengaja membocorkan informasi, hukumannya bisa lebih berat yakni: "pidana penjara selama-lamanya satu tahun dan/atau denda setinggitingginya Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah)." LSM Internasional Global Witness yang bergerak di isu lingkungan hidup menerbitkan laporan investigasi dugaan penggelapan pajak perusahaan Adaro Energy. Dalam laporan itu, Adaro diindikasi melarikan pendapatan dan labanya ke luar negeri sehingga dapat menekan pajak yang dibayarkan kepada Pemerintah Indonesia. Menurut Global Witness, cara ini dilakukan dengan menjual batu bara dengan harga murah ke anak perusahaan Adaro di Singapura, Coaltrade Services International untuk dijual lagi dengan harga tinggi. Melalui perusahaan itu, Global Witness menemukan potensi pembayaran pajak yang lebih rendah dari seharusnya dengan nilai 125 juta dolar AS kepada pemerintah Indonesia. Di samping itu, Global Witness juga menunjuk peran negara suaka pajak yang memungkinkan Adaro mengurangi tagihan pajaknya senilai 14 juta dolar AS per tahun. Sumber: https://tirto.id/djp-dalami-dugaan-penghindaran-pa jak-pt-adaro-energy-edKk



BAB III KESIMPULAN Penghindaran pajak merupakan suatu praktik yang secara umum disepakati sebagai suatu tindakan yang tidak dapat diterima dan harus dicegah serta dilawan. Akan tetapi, kenyataan bahwa penghindaran pajak dilakukan dengan memanfaatkan celah dalam peraturan perpajakan sehingga secara literal tidak melanggar hukum membuat isu tersebut menjadi isu diskusi yang tak kunjung usai. Dalam melawan penghindaran pajak, saat ini dikenal dua pendekatan utama, pertama melalui judicial general anti avoidance doctrine yang dikembangkan oleh pengadilan, kedua melalui sebuah statutory general anti avoidance rule yang dicantumkan dalam peraturan perpajakan. Belajar dari praktik di negara lain, dalam kasus Indonesia kedua pendekatan tersebut dapat dipertimbangkan, akan tetapi pendekatan pertama melalui judicial doctrine secara budaya hukum di Indonesia bisa jadi lebih sulit diterapkan karena penafsiran perundangan di Indonesia masih cenderung literal, sebagaimana telah ditunjukkan dalam beberapa putusan pengadilan pajak yang dalam dasar koreksi pemeriksaan menggunakan doktrin substance over form. Mempertimbangkan budaya penafsiran peraturan yang literal tersebut, untuk melawan penghindaran pajak diperlukan sebuah dasar hukum yang secara eksplisit tertulis dalam Undang-undang Perpajakan. Akan tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bagi otoritas pajak Indonesia untuk mencoba menggunakan judicial doctrine yang sudah dikenal di negara lain sebagai test case dalam rangka mendorong pengadilan pajak untuk menerapkan doktrindoktrin tersebut dalam menghadapi penghindaran pajak. Saat ini, untuk meminimalisir praktik penghindaran pajak di Undang-undang perpajakan sudah dikenal peraturan specific anti avoidance rule dalam Pasal 18 Undangundang Pajak Penghasilan, akan tetapi seiring semakin kompleksnya skema-skema penghindaran pajak yang digunakan, ketentuan dalam Pasal 18 tersebut tentu tidak mungkin dapat mencakup seluruh jenis transaksi penghindaran pajak. Oleh karena itu, mencegah dan melawan praktik penghindaran pajak, pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan untuk menyusun dan memperkenalkan suatu statutory general anti avoidance rule di Undang-undang perpajakan di Indonesia, dengan mengambil pelajaran dari negara lain yang telah menerapkan ketentuan tersebut dalam peraturan mereka.



Perlu diingat bahwa dalam menyusun sebuah statutory general anti avoidance rule perlu dipertimbangkan keseimbangan antara penegakan hukum dengan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Ketentuan statutory general anti avoidance rule memberikan diskresi yang sangat luas bagi otoritas perpajakan untuk melakukan penelitian yang mendalam atas sebuah skema transaksi dan melakukan koreksi apabila skema tersebut disimpulkan sebagai sebuah transaksi penghindaran pajak.



DAFTAR PUSTAKA Hutagaol, J 2007 Perpajakan: Isu-isu Kontemporer. Yogjakarta : Graha Ilmu. https://www.academia.edu/18331009/Penghindaran_Pajak_Tax_Avoidance_dan_Tax_Evasio n http://linda-akutansi.blogspot.com/2011/12/tax-planning.html http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=36&q=&hlm=3