TB Paru Pada Anak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN TUBERCOLOSIS PARU PADA ANAK



DISUSUN OLEH 201901135



HARDIYANTI. AM



KELAS D (Non Reguler)



PROGRAM STUDI KEPERAWATAN STIKES WIDYA NUSANTARA PALU TAHUN AJARAN 2019/202



BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Insidensi Tuberculosis (TB) dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di seluruh dunia termasuk juga di Indonesia. Penyakit ini biasanya banyak terjadi pada negara berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah. Tuberculosis (TB) merupakan penyakit infeksi penyebab kematian dengan urutan atas atau angka kematian (mortalitas) tinggi, angka kejadian penyakit (morbiditas), diagnosis dan terapi yang cukup lama. Di Indonesia untuk tingkat dunia penderita penyakit TBC urutan ke-3 setelah Cina dan India. Dibandingkan dengan Provinsi lainnya di Indonesia, Jawa Barat jumlah terbesar penderita penyakit TB (Tuberkulosis). Data di Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar, tahun 2007 tercatat 30.000 orang penderita TBC, yang sudah datang berobat ke rumah Sakit dan Puskesmas. Kecenderungan sekitar 16 persen penyakit yang berasal dari kuman tersebut menyerang anak-anak, hingga tahun 2008 terus meningkat yakni mencapai 35.000 orang. Tuberculosis paru merupakan suatu gangguan pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh bakteri tahan asam. Mycrobacterium yang menyerang paru-paru dan merupakan penyakit yang menular melalui droplet nuclei atau infeksi air ludah sehingga mudah dalam proses penularan dari orang yang satu ke yang lainnya. B. Tujuan 1. Tujuan umum : Mahasiswa dapat mengetahui dan mencegah terjadinya tuberculosis paru serta mengimplementasikan asuhan keperawatan di lapangan. 2. Tujuan khusus : a. Mengetahui konsep medik dan asuhan keperawatan pada penyakit tuberculosis paru pada anak b. Mampu mengaplikasikan tindakan keperawatan sesuai konsep dan sesuai indikasi pada anak



C. Manfaat Penulisan 1. Mendapatkan pengetahuan tentang penyakit tuberculosis paru pada anak 2.



Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan tuberculosis paru



BAB II KONSEP DASAR A. Tinjauan Teori 1.



Pengertian Tuberkulosis



(TBC)



adalah



 penyakit



akibat



kuman



Mycobakterium  tuberkculosis sistemis sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Arif Mansjoer, 2000). Tuberkulosis  paru adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Suzanne dan Brenda, 2001). Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik, yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru. Sifat sistemik ini disebabkan oleh penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadi infeksi Mycobacterium tuberculosis. Data insidens dan prevalens tuberkulosis anak tidak mudah dengan penelitian indeks tuberkulin dapat diperkirakan angka kejadian prevalens tuberkulosis anak. Kriteria masalah tuberkulosis di suatu negara adalah kasus BTA positif per satu juta penduduk. Jadi sampai saat ini belum ada satu negara pun yang bebas tuberkulosis. Tuberkulosis merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi, yaitu penderita TB dewasa. Disamping itu dengan adanya penyakit karena HIV maka perhatian pada penyakit TB harus lebih ditingkatkan. Anak biasanya tertular TB, atau juga disebut mendapat infeksi primer TB, akan membentuk imunitas sehingga uji tuberkulin akan menjadi positif, tidak semua anak yang terinfeksi TB primer ini akan sakit TB. 2.



Etiologi 1. Merokok pasif : Merokok pasif bisa berdampak pada sistem kekebalan anak, sehingga meningkatkan risiko tertular. Pajanan pada asap rokok mengubah fungsi sel, misalnya dengan menurunkan



tingkat kejernihan zat yang dihirup dan kerusakan kemampuan penyerapan sel dan pembuluh darah (Reuters Health, 2007). 2. Faktor Risiko TBC anak (admin., 2007)



a. Resiko infeksi TBC : Anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TBC aktif, daerah endemis, penggunaan obatobat intravena, kemiskinan serta lingkungan yang tidak sehat. Pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius. Resiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum yang positif, terdapat infiltrat luas pada lobus atas atau kavitas produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat, terutama sirkulasi udara yang tidak baik. Pasien TBC anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa disekitarnya, karena TBC pada anak jarang infeksius, hal ini disebabkan karena kuman TBC sangat jarang ditemukan pada sekret endotracheal, dan jarang terdapat batuk5. Walaupun terdapat batuk tetapi jarang menghasilkan sputum. Bahkan jika ada sputum pun, kuman TBC jarang sebab hanya terdapat dalam konsentrasi yang rendah pada sektret endobrokial anak.



b. Resiko Penyakit TBC : Anak ≤ 5 tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TBC, mungkin karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur). Namun, resiko sakit TBC ini akan berkurang secara bertahap seiring pertambahan usia. Pada bayi < 1 tahun yang terinfeksi TBC, 43% nya akan menjadi sakit TBC, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia remaja 15% dan pada dewasa 5-10%. Anak < 5 tahun memiliki resiko lebih tinggi mengalami TBC diseminata dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi . Konversi tes tuberkulin dalam 1- 2 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromis, diabetes melitus, gagal ginjal kronik dan silikosis. Status sosial ekonomi yang rendah, penghasilan yang



kurang, kepadatan hunian, pengangguran, dan pendidikan yang rendah. 3.



Patofisiologi Berbeda dengan TBC pada orang dewasa, TBC pada anak tidak menular. Pada TBC anak, kuman berkembang biak di kelenjar paru-paru. Jadi, kuman ada di dalam kelenjar, tidak terbuka. Sementara pada TBC dewasa, kuman berada di paru-paru dan membuat lubang untuk keluar melalui jalan napas. Nah, pada saat batuk, percikan ludahnya mengandung kuman. Ini yang biasanya terisap oleh anak-anak, lalu masuk ke paru-paru (Wirjodiardjo, 2008). Proses penularan tuberculosis dapat melalui proses udara atau langsung, seperti saat batuk. Terdapat dua kelompok besar penyakit ini diantaranya adalah sebagai berikut: tuberculosis paru primer dan tuberculosis post primer. Tuberculosis primer sering terjadi pada anak, proses ini dapat dimulai dari proses yang disebut droplet nuklei, yaitu statu proses terinfeksinya partikel yang mengandung dua atau lebih kuman tuberculosis yang hidup dan terhirup serta diendapkan pada permukaan alveoli, yang akan terjadi eksudasi dan dilatasi pada kapiler, pembengkakan sel endotel dan alveolar, keluar fibrin serta makrofag ke dalam alveolar spase. Tuberculosis post primer, dimana penyakit ini terjadi



pada



pasien



yang



sebelumnya



terinfeksi



oleh



kuman



Mycobacterium tuberculosis (Hidayat, 2008). Sebagian besar infeksi tuberculosis menyebar melalui udara melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan mikroorganisme basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi. Tuberculosisadalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas yang diperantarai oleh sel dengan sel elector berupa makropag dan limfosit (biasanya sel T) sebagai sel imuniresponsif. Tipe imunitas ini melibatkan pengaktifan makrofag pada bagian yang terinfeksi oleh limfosit dan limfokin mereka, responya berupa reaksi hipersentifitas selular (lambat). Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolar membangkitkan reaksi peradangan yaitu ketika leukosit digantikan oleh makropag. Alveoli yang terlibat mengalami konsolidasi dan timbal pneumobia akut, yang dapat sembuh



sendiri sehingga tidak terdapat sisa, atau prosesnya dapat berjalan terus dengan bakteri di dalam sel-sel (Price dan Wilson, 2006). Drainase limfatik basil tersebut juta masuk ke kelenjar getah bening regional dan infiltrasi makrofag membentuk tuberkel sel epitelloid yang dikelilingi oleh limfosit. Nekrosis sel menyebabkan gambaran keju (nekrosis gaseosa), jeringan grabulasi yang disekitarnya pada sel-sel epitelloid dan fibroblas dapat lebih berserat, membentuk jatingan parut kolagenosa, menghasilkan kapsul yang mengeliligi tuberkel. Lesi primer pada paru dinamakan fokus ghon, dan kombinasi antara kelenjar getah bening yang terlibat dengan lesi primer disebut kompleks ghon. Kompleks ghon yang mengalami kalsifikasi dapat terlihat dalam pemeriksaan foto thorax rutin pada seseorang yang sehat (Price dan Wilson, 2006). Tuberculosis paru termasuk insidias. Sebagian besar pasien menunjukkan demam tingkat rendah, keletihan, anorexia, penurunan berat badan, berkeringat malam, nyeri dada dan batuk menetal. Batuk pada awalnya mungkin nonproduktif, tetapi dapat berkembang ke arah pembentukan sputum mukopurulen dengan hemoptisis. Tuberculosis dapat mempunyai manifestasi atipikal pada anak seperti perilaku tidak biasa dan perubahan status mental, demam , anorexia dan penurunan berat badan. Basil tuberkulosis dapat bertahan lebih dari 50 tahun dalam keadaan dorman (Smeltzer dan Bare, 2002). Menurut Admin (2007) patogenesis penyakit tuberkulosis pada anak terdiri atas : 1. Infeksi Primer Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer predileksinya disemua lobus, 70% terletak subpelura. Fokus primer



dapat



mengalami



penyembuhan



sempurna,



kalsifikasi



atau



penyebaran lebih lanjut. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC2. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. 2.  TBC Pasca Primer (Post Primary TBC) TBC pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari TBC pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.



Pathway Mycobacterium tuberculosis



Masuk traktus respiratorius



Tinggal di alveoli



MK : Resiko tinggi



Pertahanan primer tidak



infeksi



adekuat reaksi inflamasi



Kerusakan membran alveolar kapiler Gangguan respirasi



Rrespon



Gangguan



imun



termoregulasi



Pembentukan sputum dan sekret Penumpukan secret



Sesak nafas



Ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan



MK : Bersihan jalan



oksigen



nafas tidak efektif S



Sianosis



MK : Intoleransi aktivitas



Hipoksia



Pelepasan mediator kimia seperti histamin,



MK : Gangguan pertukaran gas



bradikinin dan prostaglandidn Respon tubuh menurun



MK : Hipertermi



MK : Nyeri Batuk refleks muntah



O bstruksi



Anoreksia



MK : Gangguan keseimbangan nutrisi



4.



Manifestasi klinik Menurut Wirjodiardjo (2008) gejala TBC pada anak tidak sertamerta muncul. Pada saat-saat awal, 4-8 minggu setelah infeksi, biasanya anak hanya demam sedikit. Beberapa bulan kemudian, gejalanya mulai muncul di paru-paru. Anak batuk-batuk sedikit. Tahap berikutnya (3-9 bulan setelah infeksi), anak tidak napsu makan, kurang gairah, dan berat badan turun tanpa sebab. Juga ada pembesaran kelenjar di leher, sementara di paru-paru muncul gambaran vlek. Pada saat itu, kemungkinannya ada dua, apakah akan muncul gejala TBC yang benar-



benar atau sama sekali tidak muncul. Ini tergantung kekebalan anak. Kalau anak kebal (daya tahan tubuhnya bagus), TBC-nya tidak muncul. Tapi bukan berarti sembuh. Setelah bertahun-tahun, bisa saja muncul, bukan di paru-paru lagi, melainkan di tulang, ginjal, otak, dan sebagainya. Ini yang berbahaya dan butuh waktu lama untuk penyembuhannya. Riwayat



penyakit



TBC



anak



sulit



dideteksi



penyebabnya, Penyebab TBC adalah kuman TBC (mycobacterium tuberculosis). Sebetulnya, untuk mendeteksi bakteri TBC (dewasa) tidak begitu sulit. Pada orang dewasa bisa dideteksi dengan pemeriksaan dahak langsung dengan mikroskop atau dibiakkan dulu di media. Mendeteksi TBC anak sangat sulit, karena tidak mengeluarkan kuman pada dahaknya dan gejalanya sedikit. Diperiksa dahaknya pun tidak akan keluar, sehingga harus dibuat diagnosis baku untuk mendiagnosis anak TBC sedini mungkin. Yang harus dicermati pada saat diagnosis TBC anak adalah riwayat penyakitnya. Apakah ada riwayat kontak anak dengan pasien TBC dewasa. Kalau ini ada, agak yakin anak positif TBC (Wirjodiardjo, 2008). Gejala-gejala lain untuk diagnosa antara lain (Wirjodiardjo, 2008):



1.



Apakah anak sudah mendapat imunisasi BCG semasa kecil. Atau reaksi BCG sangat cepat. Misalnya, bengkak hanya seminggu setelah diimunisasi BCG. Ini juga harus dicurigai TBC, meskipun jarang.



2.



Berat badan anak turun tanpa sebab yang jelas, atau kenaikan berat badan setiap bulan berkurang.



3.



 Demam lama atau berulang tanpa sebab. Ini juga jarang terjadi. Kalaupun ada, setelah diperiksa, ternyata tipus atau demam berdarah.



4.



 Batuk lama, lebih dari 3 minggu. Ini terkadang tersamar dengan alergi. Kalau tidak ada alergi dan tidak ada penyebab lain, baru dokter boleh curiga kemungkinan anak terkena TBC.



5.



Pembesaran kelenjar di kulit, terutama di bagian leher, juga bisa ditengarai sebagai kemungkinan gejala TBC. Yang sekarang sudah



jarang adalah adanya pembesaran kelenjar di seluruh tubuh, misalnya di selangkangan, ketiak, dan sebagainya.



6.



 Mata merah bukan karena sakit mata, tapi di sudut mata ada kemerahan yang khas.



7.



Pemeriksaan lain juga dibutuhkan diantaranya pemeriksaan tuberkulin (Mantoux Test, MT) dan foto. Pada anak normal, Mantoux Test positif jika hasilnya lebih dari 10 mm. Tetapi, pada anak yang gizinya kurang, meskipun ada TBC, hasilnya biasanya negatif, karena tidak memberikan reaksi terhadap MT. Menurut Supriyatno (2009) skrining tuberkulosis pada anak antara



lain : Sesungguhnya mendiagnosa tuberculosis pada anak, terlebih pada anak-anak yang masih sangat kecil, sangat sulit.  Diagnosa tepat TBC tak lain dan tak bukan adalah dengan menemukan adanya Mycobacterium tuberculosis yang hidup dan aktif dalam tubuh suspect TB atau orang yang diduga TBC.  Caranya? Yang paling mudah adalah dengan melakukan tes dahak.  Pada orang dewasa, hal ini tak sulit dilakukan.  Tapi lain ceritanya, pada anak-anak karena mereka, apalagi yang masih usia balita, belum mampu mengeluarkan dahak.  Karenanya, diperlukan alternatif lain untuk mendiagnosa TB pada anak.



1.



Kesulitan lainnya, tanda-tanda dan gejala TB pada anak seringkali tidak



spesifik



(khas). 



Cukup



banyak



anak



yang overdiagnosed sebagai pengidap TB, padahal sebenarnya tidak.  Atauunderdiagnosed, maksudnya terinfeksi atau malah sakit TB tetapi tidak terdeteksi sehingga tidak memperoleh penanganan yang tepat.  Diagnosa TBC pada anak tidak dapat ditegakkan hanya dengan 1 atau 2 tes saja, melainkan harus komprehensif.  Karena tanda-tanda dan gejala TB pada anak sangat sulit dideteksi, satusatunya cara untuk memastikan anak terinfeksi oleh kuman TB, adalah melalui uji Tuberkulin (tes Mantoux). Tes Mantoux ini hanya menunjukkan apakah seseorang terinfeksiMycobacterium tuberculosis atau tidak, dan sama sekali bukan untuk menegakkan diagnosa atas penyakit TB.  Sebab, tidak semua orang yang terinfeksi kuman TB lalu menjadi sakit TB. 



2.



Sistem imun tubuh mulai menyerang bakteri TB, kira-kira 2-8 minggu setelah terinfeksi.  Pada kurun waktu inilah tes Mantoux mulai bereaksi.  Ketika pada saat terinfeksi daya tahan tubuh orang tersebut sangat baik, bakteri akan mati dan tidak ada lagi infeksi dalam tubuh.  Namun pada orang lain, yang terjadi adalah bakteri tidak aktif tetapi bertahan lama di dalam tubuh dan sama sekali tidak menimbulkan gejala.  Atau pada orang lainnya lagi, bakteri tetap aktif dan orang tersebut menjadi sakit TB.



3.



Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikkan sejumlah kecil (0,1 ml) kuman TBC, yang telah dimatikan dan dimurnikan, ke dalam lapisan atas (lapisan dermis) kulit pada lengan bawah.  Lalu, 48 sampai 72 jam kemudian, tenaga medis harus melihat hasilnya untuk diukur.  Yang diukur adalah indurasi (tonjolan keras tapi tidak



sakit)



(erythema). 



yang Ukuran



terbentuk,



bukan



dinyatakan



warna



dalam



kemerahannya



milimeter,



bukan



centimeter.  Bahkan bila ternyata tidak ada indurasi, hasil tetap harus ditulis sebagai 0 mm.



4.



Secara umum, hasil tes Mantoux ini dinyatakan positif bila diameter indurasi berukuran sama dengan atau lebih dari 10 mm.  Namun, untuk bayi dan anak sampai usia 2 tahun yang tanpa faktor resiko TB, dikatakan positif bila indurasinya berdiameter 15 mm atau lebih.  Hal ini dikarenakan pengaruh vaksin BCG yang diperolehnya ketika baru lahir, masih kuat.  Pengecualian lainnya adalah, untuk anak dengan gizi buruk atau anak dengan HIV, sudah dianggap positif bila diameter indurasinya 5 mm atau lebih.



5.



Namun tes Mantoux ini dapat memberikan hasil yang negatif palsu (anergi), artinya hasil negatif  padahal sesungguhnya terinfeksi kuman TB.  Anergi dapat terjadi apabila anak mengalami malnutrisi berat atau gizi buruk (gizi kurang tidak menyebabkan anergi), sistem imun tubuhnya sedang sangat menurun akibat mengkonsumsi obat-obat tertentu, baru saja divaksinasi dengan virus hidup, sedang terkena infeksi virus, baru saja terinfeksi bakteri TB, tata laksana tes Mantoux yang kurang benar.  Apabila dicurigai terjadi anergi, maka tes harus diulang.



5.



Komplikasi Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu : 1.



Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena tersumbatnya jalan napas.



2.



Atelektasis (parumengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.



3.



Bronkiektasis



(pelebaran



broncus



setempat)



dan



fibrosis



(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru. 4.



Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.



6.



Pemeriksaan penunjang 1.



Kultur sputum : positif untuk mycobakterium pada tahap akhir penyakit.



2.



Ziehl Neelsen : (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah) positif untuk basil asam cepat.



3.



Test kulit : (PPD, Mantoux, potongan vollmer) ; reaksi positif (area durasi 10 mm) terjadi 48 – 72 jam setelah injeksi intra dermal. Antigen menunjukan infeksi masa lalu dan adanya anti body tetapi tidak secara berarti menunjukan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berarti bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi disebabkan oleh mycobacterium yang berbeda.



4.



Elisa / Western Blot : dapat menyatakan adanya HIV.



5.



Foto thorax ; dapat menunjukan infiltrsi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium lesi sembuh primer atau efusi cairan, perubahan menunjukan lebih luas TB dapat masuk rongga area fibrosa.



6.



Histologi atau kultur jaringan ( termasuk pembersihan gaster ; urien dan cairan serebrospinal, biopsi kulit ) positif untuk mycobakterium tubrerkulosis.



7.



Biopsi jarum pada jarinagn paru ; positif untuk granula TB ; adanya sel raksasa menunjukan nekrosis.



8.



Elektrolit, dapat tidak normal tergantung lokasi dan bertanya infeksi ; ex ;Hyponaremia, karena retensi air tidak normal, didapat pada TB paru luas. GDA dapat tidak normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada paru.



9.



Pemeriksaan fungsi pada paru ; penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara resido dan kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkhim / fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural (TB paru kronis luas).



7.



Penatalaksanaan Penatalaksananaan Medis Dalam pengobatan TB paru dibagi 2 bagian : a.



Jangka pendek. Dengan tata cara pengobatan : setiap hari dengan jangka waktu 1 – 3 bulan.



b.







Streptomisin inj 750 mg.







Pas 10 mg.







Ethambutol 1000 mg.







Isoniazid 400 mg.



Kemudian



dilanjutkan



dengan



jangka



panjang,



tata



cara



pengobatannya adalah setiap 2 x seminggu, selama 13 – 18 bulan, tetapi setelah perkembangan pengobatan ditemukan terapi. Therapi TB paru dapat dilakukan dengan minum obat saja, obat yang diberikan dengan jenis : 



INH.







Rifampicin.







Ethambutol







Dengan fase selama 2 x seminggu, dengan lama pengobatan kesembuhan menjadi 6-9 bulan.



c.



Dengan menggunakan obat program TB paru kombipack bila ditemukan dalam pemeriksan sputum BTA ( + ) dengan kombinasi obat : 



Rifampicin.







Isoniazid (INH).







Ethambutol.







Pyridoxin (B6).



Penatalaksanaan Keperawatan Menurut Hidayat (2008) perawatan anak dengan tuberculosis dapat dilakukan dengan melakukan :



a.



Pemantauan tanda-tanda infeksi sekunder



b.



 Pemberian oksigen yang adekuat



c.



  Latihan batuk efektif



d.



Fisioterapi dada



e.



Pemberian nutrisi yang adekuat



f.



Kolaburasi pemberian obat antutuberkulosis (seperti: isoniazid, streptomisin, etambutol, rifamfisin, pirazinamid dan lain-lain)



Intervensi yang dapat dilakukan untuk menstimulasi pertumbuhan perkembangan anak yang tenderita tuberculosis dengan membantu memenuhi



kebutuhan



aktivitas



sesuai



dengan



usia



dan



tugas



perkembangan, yaitu (Suriadi dan Yuliani, 2001) : 1.



Memberikan aktivitas ringan yang sesuai dengan usia anak (permainan, ketrampilan tangan, vidio game, televisi)



2.



Memberikan makanan yang menarik untuk memberikan stimulus yang bervariasi bagi anak



3.



Melibatkan anak dalam mengatur jadual harian dan memilih aktivitas yang diinginkan



4.



Mengijinkan anak untuk mengerjakan tugas sekolah selama di rumah sakit, menganjurkan anak untuk berhubungan dengan teman melalui telepon jika memungkinkan



8.



Pencegahan a.



Imunisasi BCG pada anak balita, Vaksin BCG sebaiknya diberikan sejak anak masih kecil agar terhindar dari penyakit tersebut.



b.



Bila ada yang dicurigai sebagai penderita TBC maka harus segera diobati sampai tuntas agar tidak menjadi penyakit yang lebih berat dan terjadi penularan.



c.



Jangan minum susu sapi mentah dan harus dimasak.



d.



Bagi penderita untuk tidak membuang ludah sembarangan.



e.



Pencegahan terhadap penyakit TBC dapat dilakukan dengan tidak melakukan kontak udara dengan penderita, minum obat pencegah dengan dosis tinggi dan hidup secara sehat. Terutama rumah harus baik ventilasi udaranya dimana sinar matahari pagi masuk ke dalam rumah.



f.



Tutup mulut dengan sapu tangan bila batuk serta tidak meludah/mengeluarkan



dahak



di



sembarangan



tempat



dan



menyediakan tempat ludah yang diberi lisol atau bahan lain yang dianjurkan dokter dan untuk mengurangi aktivitas kerja serta menenangkan pikiran.



B. Tinjauan Asuhan Keperawatan 1.



Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Disini semua data dikumpulkan secara sistematis guna menentukan status kesehatan klien saat ini. Pengkajian harus dilakukan secara komprehensif terkait dengan aspek biologis, psikologis, sosial maupun spiritual (Asmadi, 2013). a. Pola aktivitas dan istirahat Subjektif : Rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. sesak (nafas pendek), demam, menggigil. Objektif : Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak (tahap, lanjut; infiltrasi radang sampai setengah paru), demam subfebris (40 -410C) hilang timbul. b. Pola nutrisi Subjektif : Anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan. Objektif : Turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan lemak sub kutan.



Respirasi Subjektif : Batuk produktif/non produktif sesak napas, sakit dada. Objektif : Mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/purulent, mukoid kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar limfe, terdengar bunyi ronkhi basah, kasar di daerah apeks paru, takipneu (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru dan pleural), sesak napas, pengembangan pernapasan tidak simetris (effusi pleura.), perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural), deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik). c. Respirasi Subjektif : Batuk produktif/non produktif sesak napas, sakit dada. Objektif : Mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/purulent, mukoid kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar limfe, terdengar bunyi ronkhi basah, kasar di daerah apeks paru, takipneu (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru dan pleural), sesak napas, pengembangan pernapasan tidak simetris (effusi pleura.), perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural), deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik). d. Rasa nyaman/nyeri Subjektif : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang. Obiektif : Berhati-hati pada area yang sakit, prilaku distraksi, gelisah, nyeri bisa timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga timbul pleuritis. e. Integritas ego Subjektif : Faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak berdaya/tak ada harapan. Objektif : Menyangkal (selama tahap dini), ansietas, ketakutan, mudah tersinggung. f.



Keamanan Subyektif: adanya kondisi penekanan imun, contoh AIDS, kanker. Obyektif: demam rendah atau sakit panas akut.



g. Interaksi Sosial



Subyektif: Perasaan isolasi/ penolakan karena penyakit menular, perubahan pola biasa dalam tanggung jawab/ perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran. 2.



Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah



pernyataan yang dibuat oleh



perawat profesional yang memberi gambaran tentang masalah atau status kesehatan klien, baik aktual maupun potensial, yang diterapkan berdasarkan analisis dan interpretasi data hasil pengkajian. Pernyataan diagnosis keperawatan harus jelas, singkat, dan lugas terkait masalah kesehatan klien, penyebabnya dapat diatasi melalui tindakan keperawatan (Asmadi, 2013). a. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan proses infeksi. b. Defisit pengetahuan tentang proses infeksi berhubungan dengan kurang sumber informasi. c. Ketidakpatuhan yang berhubungan dengan pengobatan dalam jangka waktu lama. d. Risiko gangguan dalam menjalankan peran sebagai orang tua yang berhubungan dengan isolasi pasien. e. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret. f.



Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia



3.



Intervensi keperawatan Perencanaan



adalah



pengembagan



straategi



desain



untuk



mencegah, menguragi, dan mengawasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi



dalam



diagnosa



keperawatan.



Desain



perencanaan



menggambarkan sejauh mana perawat mampu menetapkan cara menyelesaikan masalah dengan efektif dan efesien (Nikmatul & Saiful, 2014). a. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan proses infeksi. Tujuan : Anak akan mengalami pengurangan batuk dan dispnea. Intervensi : 1.  Berikan oksigen humidifier bagi anak dengan dispnea



Rasional : Dispnea masih dapat terjadi, hingga pemberian obat kemoterapetik dimulai untuk mendapatkan efeknya, oksigen humidifier mengurangi dispnea dan meningkatkan oksigenasi 2. Tinggikan bagian kepala tempat tidur  Rasional : Peninggian kepala menyebabkan otot diagframa mengembang 3.  Berikan obat batuk ekspektoran sesuai dengan kebutuhan Rasional : Ekspektoran membantu melepaskan mucus. b. Defisit pengetahuan tentang proses infeksi berhubungan dengan kurang sumber informasi. Tujuan : Keluarga dapat mengekspresikan pemahamannya tentang proses penyakit dan pengobatan.  Intervensi : 1. Ajarkan orang tua dan anak tentang penularan dan pengobatan TBC, misalnya buat orang tua, hendaknya menghindari anak dekat dengan orang dewasa yang terkena tuberkulosa sedangkan buat anak sarankan untuk melakukan pengobatan sampai selesai dan patuh dalam minum obat Rasional



:



Pemahaman



penanganannya



membantu



bagaimana



penularan



mengurangi



TBC



kecemasan



dan dan



peningkatan kepatuhan terhadap pengobatan, prosedur isolasi dan pengobatan yang diberikan. 2. Ajarkan orang tua dan anak (jika tepat) bagaimana memberikan pengobatan (contoh: antibiotik), berapa lama terapi pengobatan harus dijalani, dan apa yang terjadi jira anak tidak manjelani tuntas pengobatannya. Rasional : Pemahaman bagaimana memberikan pengobatan dan risiko bila pengobatan dihentikan di awal akan meningkatkan kepatuhan. 3.  Pada saat anak diperbolehkan pulang, berikan discharge planning atau perencanaan pulang mengenai : 4. Jelaskan terapi yang diberikan, dosis, efek camping, lama pemberian terapi dan cara minum obat.



5. Melakukan immunisasi jika immunisasi Belem lengkap sesuai dengan prosedur. 6.   Menekankan pentingnya control ulang sesuai jadual. 7. Informasikan jika terdapat tanda-tanda terjadinya kekambuhan. c. Ketidakpatuhan yang berhubungan dengan pengobatan dalam jangka waktu lama. Tujuan : Orang tua dan anak akan mengikuti pedoman terapi  Intervensi 1.  Kaji seberapa banyak pengetahuan yang dimiliki orang tua dan anak, tentang TBC dan hal ketidakpahaman yang dimiliki Rasional : pengkajian membantu menentukan apa yang orang tua dan anak butuhkan untuk relajar agar dapat membantu mereka memenuhi pengobatan jangka panjang. 2. Ajarkan orang tua dan anak (jika tepat) tentang program pengobatan dan alasan menjalani pengobatan dengan tuntas, dan yakinkan tentang pendidikan yang diperlukan.  Rasional : Pendidikan dan penguatan diberikan pada orang tua dan anak dengan informasu perlunya mengikuti program pengobatan dengan tuntas dan menurunkan risiko kegagalan akibat déficit pengetahuan. 3. Identifikasi alternatif pemberi layanan yang dapat memberikan pengobatan anak jira diperlukan. Rasional : hal ini akan menurunkan risiko pengabaian dosis yang dilakukan anak selama pengobatan. d. Risiko gangguan dalam menjalankan peran sebagai orang tua yang berhubungan dengan isolasi pasien Tujuan : Anak tidak akan mengalami kecemasan karena perpisahan berhubungan dengan penurunan kontak parental. Intervensi : 1. Ajarkan orang tua tentang teknik isolasi dengan benar. Rasional : Pemahaman dan mengikuti teknik isolasi membantu mencegah penularan TBC yang memungkinkan orang tua bersama selama mungkin dengan anaknya, akan mengurangi perpisahan.



2. Motivasi orang tua dan anggota keluarga lainnya untuk mengunjungi secara teratur. Rasional : Seringnya keluarga kontak akan mengurangi kecemasan akibat perpisahan. e. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret. Tujuan : Anak menunjukkan jalan nafas yang efektif.  Intervensi : 1. Auskultasi area paru, catat area penurunan/tidak ada aliran udara dan bunyi napas adventisius, misal krekels, mengi. Rasional : penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan. Bunyi napas bronkhial dapat juga terjadi pada area konsolidasi. Krekels, ronkhi dan mengi terdengar pada inspirasi dan



atau



ekspirasi



pada



respons



terhadap



pengumpulan



cairan/sputum. 2. Mengkaji ulang tanda-tanda vital (irama dan frekuensi,s erta gerakan dinding dada) Rasional : takipnea, pernapasan dangkal dan gerakan dada tidak simetris terjadi karena ketidaknyaman gerakan dinding dada dan atau cairan paru-paru 3. Bantu pasien latihan napas sering dengan cara meniup balon atau terapi benam. Tunjukkan/bantu pasien mempelajari melakukan batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi. Rasional : Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru/jalan napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan napas alami membantu silia untuk mempertahankan jalan napas paten. Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya napas lebih dalam dan lebih kuat. 4.  Penghisapan sesuai indikasi  Rasional : merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik pada pasien yang tidak mampu melakukan karena batuk tidak efektif atau penurunan tingkat kesadaran.



5. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi). Tawarkan air hangat dari pada dingin. Rasional : Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan sekret. 6. Berikan cairan tambahan, misalnya IV, oksigen humidifikasi . Rasional : Cairan diperlkukan untuk menggantikan kehilangan (termasuk yang tidak tampak) dan memobilisasikan sekret. 7. Memberikan obat yang dapat meningkatkan efektifnya jalan nafas (seperti bronchodilator) Rasional : alat untuk menurunkan spasme bronkhus dengan memobilisasi



sekret,



obat



bronchodilator



dapat



membantu



mengencerkan sekret sehingga mudah untuk dikeluarkan.



f.



Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia. Tujuan : Anak menunjukkan tanda-tanda terpenuhnya kebutuhan nutrisi Intervensi : 1. Kaji nafsu makan anak dan fasilitasi anak dengan menyediakan makanan yang menarik dan hangat.  Rasional : Dapat menjadi dasar dalam melakukan pendekatan pada anak saat memberi makan sehingga anak akan dapat meningkatkan nafsu makannya. 2. Ijinkan anak untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat. Rasional : memungkinkan anak akan mengkomsumsi makanan ektra sebagai tambahan suplay nutrisi. 3. Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi.  Rasional : dalam mengobati penyakit tuberkulosis diperlukan gizi yang cukup sehingga pemberian makanan dengan diet tinggi protein dan kalori sangan diperlukan.



4. Kolaburasi untuk pemberian nutrisi parenteral jika kebutuhan nutrisi melalui oral tidak mencukupi kebutuhan gizi anak.  Rasional : pemberian makanan parenteral sangat perlu dilakukan jika anak tidak menelan makanan atau muntah yang terus menerus. 5. Menilai indikator terpenuhinya kebutuhan nutrisi (berat badan, lingkar lengan dan membran mukosa) Rasional : indikator penilaian status nutrisi dapat menentukan jumlah nutrisi yang dibutuhkan oleh anak. 6. Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan porsi kecil tetapisering. Rasional : porsi kecil tetapi sering memungkinkan anak dapat mengkomsumsi makanan dengan cukup. 7. Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama. Rasional : untuk memantau status gizi atau perbaikan gizi anak. 4.



Implementasi Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan kedalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap implementasi adalah komunikasi yang efektif, kemampuan untuk menciptakan hubungan saling percayadan saling bantu, kemampuan melakukan observasi sistematis, kemampuan memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi, dan kemampuan evaluasi (Asmadi, 2013).



5.



Evaluasi Tahap



akhir



dari



proses



keperawatan



yang



merupakan



perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara bersinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya klien akan masuk kembali kedalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang (Asmadi, 2013).



BAB III PENUTUP a. Kesimpulan Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik, yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru. Sifat sistemik ini disebabkan oleh penyebaran hematogen dan limfogen



setelah terjadi infeksi Mycobacterium tuberculosis. Data insidens dan prevalens tuberkulosis anak tidak mudah dengan penelitian indeks tuberkulin dapat diperkirakan angka kejadian prevalens tuberkulosis anak. Diagnosa Keperawatan a.



Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan proses infeksi.



b.



Defisit pengetahuan tentang proses infeksi berhubungan dengan kurang sumber informasi.



c.



Ketidakpatuhan yang berhubungan dengan pengobatan dalam jangka waktu lama.



d.



Risiko gangguan dalam menjalankan peran sebagai orang tua yang berhubungan dengan isolasi pasien.



e.



Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret.



f.



Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.



b. Saran Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dengan adanya makalah ini, diharapkan pembaca dapat memahami tentang penyakit tubercolosis paru dengan baik pada anak-anak.



DAFTAR PUSTAKA Asmadi.2013 Konsep dasar keperawatan.Jakarta. EGC. Hidayat, A.A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Cetakan I. Yakarta : Penerbit salemba Medika



Nastiti N Rahajoe, dkk. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. 2005. Jakarta : UKK Pulmonologi PP IDAI : 33-50 Noenoeng Rahajoe, dkk. Perkambangan dan Masalah Pulmonologi Anak Saat Ini. 1994. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI : 161-179 Smeltzer and Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran EGC Suriadi dan Yuliani, R. (2001). Buku Pegangan Praktik Klinik Asuhan Keperawatan Anak. Edisi 1. Jakarta : Penerbit CV Sagung Seto Reuters Health , (2007). Merokok pasif dikaitkan dengan risiko TB pada anak-anak