Teknologi Buangan Industri [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH TEKNOLOGI BUANGAN INDUSTRI LIMBAH B3 (BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN)



Oleh : Nita Pita Sari Rantiana Sera Wanda Gustina Utami



1315041037 1315041043 1315041050



JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERISTAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2015



BAB I PENDAHULUAN Penggunaan kimia dalam kebudayaan manusia sudah dimulai sejak zaman dahulu. Kimia merupakan salah satu ilmu pengetahuan alam, yang berkaitan dengan komposisi materi, termasuk juga perubahan yang terjadi di dalamnya, baik secara alamiah maupun sintetis. Senyawa-senyawa kimia sintetis inilah yang banyak dihasilkan oleh peradaban modern, namun materi ini pulalah yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang berbahaya. Dengan mengetahui komposisi dan memahami bagaimana perubahan terjadi, manusia dapat mengontrol dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan manusia. Pelepasan bahan berbahaya pada tahun 1990-an di Indonesia, Filipina, dan Thailand diprakirakan telah meningkat menjadi sekitar empat, delapan, dan sepuluh kali lipat. Intensitas atau perbandingan antara limbah bahan berbahaya yang ditimbulkan dengan unit hasil industri secara mencolok juga meningkat, terutama di daerah industrialisasi yang berkembang dengan cepat seperti di negara-negara ASEAN dan China. Pada permulaan tahun 1970-an, lebih dari 85% hasil industri Indonesia berasal dari kegiatan industri yang berlokasi di Pulau Jawa. Sekitar 55% dari pusat-pusat industri di Pulau Jawa berlokasi di daerah perkotaan, yang kemudian naik menjadi 60% pada tahun 1990. Di empat kota saja (Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang) terdapat sekitar 36% dari total industri di Pulau Jawa, yang setara dengan sekitar 27% dari seluruh hasil industri Indonesia. Perkembangan industri disamping berdampak positif pada perkembangan ekonomi, juga menimbulkan dampak negatif tidak hanya pada pusatpusat industri dan daerah sekitarnya tetapi juga pada tingkat nasional, regional dan lingkungan secara global. Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (menggantikan UU No. 4/1982), menempatkan masalah bahan dan limbah berbahaya sebagai salah satu perhatian utama, akibat dampaknya terhadap manusia dan lingkungan bila tidak dikelola secara baik,



dengan definisi sebagai bahan berbaya dan beracun. Pasal 58 sampai Pasal 61 UU-32/2009 mengatur larangan membuang dan mengatur pengelolaan limbah dan B3. Selanjutnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 74/2001 mengatur lebih lanjut tentang pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3), dan PP 18/99 juncto 85/99 mengatur lebih lanjut tentang pengelolaan limbah B3. Bahan pencemar berbahaya dan beracun yang dihasilkan oleh industri adalah seperti logam berat, sianida, pestisida, cat dan zat warna, minyak, pelarut, dan zat kimia berbahaya lainnya. Timbulan logam-logam berat dari industri di wilayah Asia dan Pasifik telah dinilai melebihi nilai batas ambang yang aman. Sampai tahun 1994, pelepasan bahan berbahaya ini di Indonesia, Filipina, dan Thailand diprakirakan telah meningkat masing-masing menjadi sekitar empat, delapan, dan sepuluh kali lipat. Intensitas atau perbandingan antara limbah berbahaya yang ditimbulkan dengan unit hasil industry secara mencolok juga meningkat, terutama di daerah industrialisasi yang berkembang dengan cepat seperti di negara-negara ASEAN dan China.



BAB II LIMBAH B3 (BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN) 2.1 Pengertian Limbah B3 Secara umum yang disebut limbah adalah bahan sisa yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses produksi, baik pada skala



rumah



tangga,



industri,



pertambangan dan sebagainya. Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas dan debu, cair atau padat. Di antara berbagai jenis limbah ini ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan dikenal sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Definisi dari limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia. Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia seperti pestisida, sianida, sulfide, fenol dan sebagainya.



2.2 Sifat dan Karakteristik Secara konvensional, terdapat 7 kelas bahan berbahaya, yaitu : a. Materi mudah terbakar (flammable material) : padat, cair, uap,atau gas yang menyala dengan mudah dan terbakar secara cepat bila dipaparkan pada sumber nyala, misalnya pelarut (solvent) seperti benzene, ethanol, debu aluminum, gas hidrogen dan metan. b. Materi yang spontan terbakar (spontaneously ignitable material) : padat atau cair yang dapat menyala secara spontan tanpa sumber nyala, misalnya karena perubahan panas, tekanan atau kegiatan oksidasi atau kegiatan lain seperti aktivitas mikrobiologis. Contoh materi ini misalnya fosfor putih. c. Peledak (explosive) : materi kimia ini dapat meledak, biasanya karena adanya kejutan (shock), panas, atau mekanisme lainnya. Contoh materi ini misalnya dinamit dan trinitrotoluene (TNT).



d. Pengoksidasi (oxidizer) : Materi yang menghasilkan oksigen, baik dalam kondisi biasa atau bila terpapar dengan panas. Contoh materi ini adalah amonium nitrat dan benzoyl peroksida. e. Materi korosif : padat atau cair seperti asam kuat atau basa kuat, yang dapat membakar dan merusak jaringan kulit bila berkontak dengannya. Contoh materi ini adalah asam sulfat, asam nitrat, asam khlorida, asam perkhlorit, asam fluorida, asam fosfat, natrium hidroksida, dan kalium hidroksida.



f. Materi toksik : racun yang dalam dosis kecil dapat membunuh atau mengganggu kesehatan, seperti karbon monoksida dan hidrogen sianida. Contoh materi ini antara lain Oksida-oksida karbon : seperti CO dan CO2, Hidrogen cyanida,



Senyawa sulfur : H2S, SO2, Oksida-oksida



nitrogen seperti N2O, NO2, N2O4 – Amonia, Logam-logam berat seperti : arsen, timah (Pb). Asbestos. Dan Pestisida organik.



g. Materi radioaktif : dicirikan dengan transformasi yang berlangsung dalam inti atom, misalnya uranium heksafluorida. Materi tersebut kadangkala menjadi lebih berbahaya bila berada dalam kondisi tercampur dengan bahan lain. Kadangkala secara tidak sengaja terjadi pencampuran antara 2 materi yang asalnya tidak berbahaya. Pencampuran bahan berbahaya dapat menyebabkan: -



Timbulnya bahan toksik Timbulnya gas bakar yang dapat menimbulkan kebakaran atau ledakan Panas akibat reaksi kimia yang terjadi akan dapat membakar bahan mudah terbakar di sekitarnya.



2.3 Pelabelan Simbol atau label tersebut pada dasarnya dibagi berdasarkan kelas ‘bahaya’ dari limbah yang akan diangkut. Terdapat 9 klasifikasi bahan berbahaya menurut versi USDOT yaitu: a. Kelas-1: bahan yang mudah meledak (explosive), terbagi lagi menjadi 5 divisi dengan nomor 1.1 sampai 1.5 sesuai dengan jenis akibat yang dapat ditimbulkan oleh eksplosif tersebut. Definisi eksplosif menurut USDOT



adalah setiap senyawa kimia, campuran atau peralatan, yang penggunaannya adalah dengan memfungsikan ledakannya. b. Kelas-2: gas, terbagi menjadi 3 divisi dengan nomor 2.1 sampai 2.3 sesuai dengan sifat-sifatnya, yaitu: - Divisi 2.1: flammable gas (gas mudah terbakar) yaitu bahan berupa gas yang pada temperatur -20 °C dan tekanan 1 atmosfir akan terbakar bila bercampur dengan udara sekitar 13 % volume atau kurang Divisi 2.2: nonflammable compressed gas yaitu setiap bahan atau



-



campuran yang dikemas pada tabung gas dengan tekanan dan tidak termasuk ke dalam divisi 2.1 dan 2. Divisi 2.3: poisonous gas (gas beracun) yaitu bahan berupa gas yang pada



-



temperatur - 20 °C dengan tekanan 1 atmosfir akan merupakan bahan toksik pada manusia, atau dianggap toksik pada manusia dengan adanya pengujian pada binatang di laboratorium dengan harga LC50< 5000 ppm. c. Kelas-3: cairan mudah terbakar (flammable). Kriteria cairan yang mudah terbakar adalah setiap cairan dengan titik nyala (flash point) tidak lebih dari 60,5 °C d. Kelas-4: padatan mudah terbakar atau berbahaya bila lembab, terbagi menjadi 3 divisi dengan nomor 4.1 sampai 4.3 sesuai dengan sifat-sifatnya, yaitu : - Divisi 4.1: flammable solid yaitu bahan padat, bukan peledak, yang bila pada kondisi normal terjadi kecelakaan akan menyebabkan terbentuknya api akibat gesekan dan sebagainya, atau bila dibakar akan menyala segera -



dan cepat. Divisi 4.2: spontaneously combustible materials yaitu bahan yang bila pada kondisi normal terjadi kecelakaan secara spontan akan menjadi panas akibat berkontak dengan udara misalnya bahan yang termasuk



-



pyrophoric. Divisi 4.3: dangerous when wet materials yaitu bahan yang secara



spontan menyala atau memberikan gas bila berkontak dengan air e. Kelas-5: pengoksidasi dan peroksida organik, terbagi menjadi 2 divisi. Oksidator adalah bahan kimia seperti khlorat, permanganat, peroksida organik, nitrat dan sebagainya yang dapat mengoksidasi materi organik, sedang peroksida organik adalah senyawa yang mengandung struktur - O - O -. f. Kelas-6: bahan racun dan menular, terbagi menjadi 2 divisi. Kelompok berikutnya adalah bahan beracun (di luar gas) yang diketahui toksik pada



manusia, dan bahan menular baik berupa mikroorganisme atau toxin yang dapat mendatangkan penyakit pada manusia. g. Kelas-7: bahan radioaktif. Bahan radioaktif (termasuk kelas-7) menurut versi USDOT adalah setiap materi atau kombinasi materi yang secara spontan mengionisasi radiasi dengan aktivitas spesifik lebih besar dari 0,002 microcurie per-gram. Plakat yang digunakan berlabelkan Radioactive white-I, Radioactive yellow-II dan Radioactive yellow-III. Radioactive white-I dengan bahaya minimum, dengan plakat warna putih dan symbol hitam. Radioactive Yellow-III adalah dengan bahaya maksimum. Plakat Radioactive yellow-II dan Radioactive yellow-III berwarna kuning di atas, dan putih di bawah dengan simbol hitam, sedang tulisan I, II atau III dengan warna merah h. Kelas-8: bahan korosif. Bahan korosif (kelas-8), baik cair atau padat, menurut versi USDOT didefinisikan sebagai bahan yang dapat menyebabkan kerusakan visibel ke materi yang kontak dengannya. i. Kelas-9: lain-lain. Kelompok lain-lain (kelas-9) adalah bahan yang yang dapat menyebabkan bahaya, tetapi belum termasuk dalam katagori kelas sebelumnya, seperti obat bius dan sebagainya. Di Indonesia, berdasarkan keputusan Kepala Bapedal No.05/Bapedal/09/1995 terdapat delapan jenis simbol, yaitu a. Simbol klasifikasi limbah B3 mudah meledak : warna dasar oranye. Simbol berupa gambar berwarna hitam suatu materi limbah yang menunjukkan meledak, yang terdapat ditepi antara sudut atas dan sudut kiri belah ketupat bagian dalam. Pada bagian tengah terdapat tulisan “MUDAH MELEDAK” berwarna hitam yang diapit oleh 2 garis sejajar berwarna hitam sehingga membentuk 2 buah bangun segitiga sama kaki pada bagian dalam belah ketupat. b. Simbol klasifikasi limbah B3 yang mudah terbakar : terdapat 2 (dua) macam simbol untuk klasifikasi limbah yang mudah terbakar, yaitu simbol untuk cairan mudah terbakar dan padatan mudah terbakar: - simbol cairan mudah terbakar: bahan dasar merah. gambar simbol berupa lidah api berwarna putih yang menyala pada suatu permukaan berwarna putih. Gambar terletak di bawah sudut atas garis ketupat bagian dalam. Pada bagian tengah terdapat tulisan “ CAIRAN..” dan dibawahnya



terdapat tulisan “MUDAH TERBAKAR” berwarna putih. Blok segilima -



berwarna putih. simbol padatan mudah terbakar: dasar simbol terdiri dari warna merah dan putih yang berjajar vertikal berselingan. Gambar simbol berupa lidah apai berwarna hitam yang menyala pada satu bidang berwarna hitam. Pada bagian tengah terdapat tulisan “PADATAN” dan dibawahnya terdapat tulisan “MUDAH TERBAKAR” berwarna hitam. Blok segilima



berwarna kebalikan dari warna dasar simbol. c. Simbol klasifikasi limbah B3 reaktif: bahan dasar berwarna kuning dengan blok segilima berwarna merah. Simbol berupa lingkaran hitam dengan asap berwarna hitam mengarah ke atas yang terletak pada suatu permukaan garis berwarna hitam. Di sebelah bawah gambar simbol terdapt tulisan “REAKTIF” berwarna hitam. d. Simbol klasifikasi limbah B3 beracun: bahan dasar putih dengan blok segilima berwarna merah. Simbol berupa tengkorak manusia dengan tulang bersilang berwarna hitam. Garis tepi simbol berwarna hitam. Pada sebelah bawah gambar terdapt tulisan “BERACUN” berwarna hitam. e. Simbol klasifikasi limbah B3 korosif: belah ketupat terbagi pada garis horizontal menjadi dua bidang segitiga. Pada bagian atas yang berwarna putih terdapat 2 gambar, yaitu disebelah kiri adalah gambar tetesan limbah korosif yang merusak pelat bahan berwarna hitam, dan disebelah kanan adalah gambar lengan yang terkena tetesan limbah korosif. pada bagian bawah, bidang segitiga berwarna hitam, terdapat tulisan “KOROSIF” berwarna putih, serta blok segilima berwarna merah. f. Simbol klasifikasi limbah B3 menimbulkan infeksi: warna dasar bahan adalah putih dengan garis pembentuk belah ketupat bagian dalam berwarna hitam. Simbol infeksi berwarna hitam terletak di sebelah bawah sustu atas garis belah ketupat bagian dalam. pada bagian tengah terdapat tulisan “INFEKSI” berwarna hitam, dan dibawahnya terdapat blok segilima berwarna merah. g. Simbol limbah B3 klasifikasi campuran: warna dasar bahan adalah putih dengan garis pembentuk belah ketupat bagian dalam berwarna hitam. gambar simbol berupa tanda seru berwarna hitam terletak di sebelah bawah sudut atas



garis belah ketupat bagian dalam. Pada bagian tengah bawah terdapat tuliasan “CAMPURAN” berwarna hitam serta blok segilima berwarna merah.



Gambar 1. Simbol B3 menurut Keputusan Bapedal No.05/Bapedal/09/1995 Alat pengemas dapat berupa: drum baja, kotak kayu, drum fiber, botol gelas dan sebagainya. Pengemasan yang baik mempunyai kriteria: -



Bahan tersebut selama pengangkutan tidak terlepas ke luar Keefektifannya tidak berkurang Tidak terdapat kemungkinan pencampuran gas dan uap



BAB III TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH B3 Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) tidak dapat begitu saja ditimbun, dibakar atau dibuang ke lingkungan, karena mengandung bahan yang dapat membahayakan manusia dan makhluk hidup lain. Limbah ini memerlukan cara penanganan yang lebih khusus dibanding limbah yang bukan B3. Limbah B3 perlu diolah, baik secara kimia, fisika maupun biologi sehingga menjadi tidak berbahaya atau berkurang daya racunnya. Setelah diolah limbah B3 masih memerlukan metode pembuangan yang khusus untuk mencegah resiko terjadi pencemaran. Beberapa metode penanganan limbah B3 yang umumnya diterapkan adalah sebagai berikut : 1. Metode Pengolahan Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning. Tujuan utama dari chemical conditioning ialah: -



menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur mendestruksi organisme pathogen memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioningyang masih memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses



-



digestion mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan



Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut: a. Concentration thickening Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada tahapan ini ialah gravity thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-watering selanjutnya.



Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah menggunakan proses flotation pada tahapan awal ini. b. Treatment, stabilization, and conditioning Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan bahanbahan kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini ialahlagooning, anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treatment,polyelectrolyte flocculation, chemical conditioning, dan elutriation. c. De-watering and drying De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press, centrifuge, vacuum filter, dan belt press. d. Disposal Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis,wet air oxidation, dan composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3 umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atauinjection well. Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif.



Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu: 1. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar 2. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat mikroskopik 3. Precipitation 4. Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi. 5. Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkannya ke bahan padat 6. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama sekali Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ mixing, danplant



mixing.



BAPEDAL



Peraturan



berdasarkan



mengenai



solidifikasi/stabilitasi



Kep-03/BAPEDAL/09/1995



diatur



oleh



dan



Kep



04/BAPEDAL/09/1995. Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil. Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah. Selain menentukan



kemampuan



dalam



mempertahankan



berlangsungnya



proses



pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.



2. Metode Pembuangan Limbah B3. a. Sumur dalam/ Sumur Injeksi (deep well injection). Salah satu cara membuang limbah B3 agar tidak membahayakan manusia adalah dengan cara memompakan limbah tersebut melalui pipa kelapisan batuan yang dalam, di bawah lapisan-lapisan air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Secara teori, limbah B3 ini akan terperangkap dilapisan itu sehingga tidak akan mencemari tanah maupun air. Namun, sebenarnya tetap ada kemungkinan terjadinya kebocoran atau korosi pipa atau pecahnya lapisan batuan akibat gempa sehingga limbah merembes kelapisan tanah. b. Kolam penyimpanan (surface impoundments). Limbah B3 cair dapat ditampung pada kolam-kolam yang memang dibuat untuk limbah B3. Kolam-kolam ini dilapisi lapisan pelindung yang dapat mencegah perembesan limbah. Ketika air limbah menguap, senyawa B3 akan terkosentrasi dan mengendap di dasar. Kelemahan metode ini adalah memakan lahan yang luas karena limbah akan semakin tertimbun dalam kolam, ada kemungkinan kebocoran lapisan pelindung, dan ikut menguapnya senyawa B3 bersama air limbah sehingga mencemari udara.



c. Landfill untuk limbah B3 (secure landfills).



Limbah B3 dapat ditimbun pada landfill, namun harus dilengkapi dengan pengamanan yang tinggi. Pada metode pembuangan secure landfills, limbah B3 ditempatkan dalam drum atau tong-tong, kemudian dikubur dalam landfill yang didesain khusus untuk mencegah pencemaran limbah B3. Landffill ini harus dilengkapi peralatan monitoring yang lengkap untuk mengontrol kondisi limbah B3 dan harus selalu dipantau. Metode ini jika diterapkan dengan benar dapat menjadi cara penanganan limbah B3 yang efektif. Namun, metode secure landfill merupakan metode yang memliki biaya operasi tinggi, masih ada kemungkinan terjadi kebocoran dan tidak memberikan solusi jangka panjang karena jumlah limbah yang dibuang akan semakin menumpuk. 3. Pengolahan Limbah B3 di PT. South Pacific Viscose CAP Plant (Carbon disulfide Adsorbtion Plant) Carbon Disulfide Adsorption Plant (CAP) ini merupakan proses pengelolaan limbah gas CS2 di PT. South Pacific Viscose. Gas CS2 ini merupakan gas yang berbahaya, beracun, dan memiliki nilai ekonomi yang mahal. Maka dari itu, CAP bertujuan untuk merecovery limbah gas dari Departemen Spinning untuk digunakan kembali pada proses. Berikut ini tahapan proses recovery CS2 pada CAP: a. Scrubber Limbah gas dari spinning process didistribusikan melalui pipa menuju dalam scrubber. Scrubber ini bertujuan untuk memisahkan gas CS2 dengan gas pengotor lainnya seperti CO2, H2S, dll. Gas dialirkan ke dalam scrubber dan dikontakan dengan reject lye dari soda station. Reject lye di semprotkan dari atas menggunakan nozzle untuk memperluas bidang kontak lye dengan gas. Gas yang tertangkap akan turun bersama reject lye, sedang kan gas CS2 akan mengalir ke sistem pendingin chilled water untuk didinginkan. Pada pipa di berikan demister yang dengan aliran soft water untuk menangkap NaOH yang ikut terbawa oleh aliran gas CS2. b. Chilled Water System Chilled Water System merupakan sistem pendingin untuk mendinginkan gas CS2 sebelum masuk ke adsorber. SC2 dipompakan ke Plate Heat Exchanger



dibagi menjadi 3 aliran dan disirukulasikan untuk menurunkan temperatur gas CS2. Pada proses ini CS2 masih berupa gas. Tujuan dari proses ini untuk menurunkan beban termperatu pada saat proses kondensasi. c. Adsorber Proses selanjutnya yaitu proses Adsorpsi gas CS 2. Pada proses ini gas CS 2 dilewatkan pada adsorber berupa activated carbon. Terdapat 4 buah adsorber dengan kapasitas 1553,3 – 2033,1 kg/batch. Berikut ini merupakan tahapan proses adsorpsi gas CS2 pada Tabel 26.



Tabel 1.Tahapan Proses Adsorpsi Gas CS2 Durasi



No



Tahapan



0 1 2



Loading Continue loading Intermediete step



3



Inert gas



4



200 m3



4



Desorption 1



3



200 m3



5



Desorption 2



4



500 m3



6



Desorption 3



45



6000 m3



7



Release



2



-



2



-



2



-



8 9



AVC with flush steam Release to treated air



(menit) 52 2



Interlock -



10



Drying



35



-



11



Cooling



15



T = 55oC



12



Treated air open



2



-



Sumber: (Sulphuric Acid Plant and Recovey PT. South Pasific Viscose, 2016) Pada saat loading step dan continue loading, gas CS2 dilewatkan pada karbon aktif selama 52 menit agar terjadi proses penangkapan gas CS 2 tersebut. Setelah itu valve pengisian dan keluaran ditutup lalu dialirkan inert gas berupa N2 selama 4 menit untuk menghilangkan kandungan O2, karena CS2 merupakan senyawa yang mudah terbakar. Tahap selanjutnya merupakan pelepasan CS 2 dari karbon aktif dengan diberikan gas inert berlawanan arah agar gas inert masuk ke dalam karbon aktif dan CS2 lepas dan di transfer ke heat recovery system. Setelah CS2 di transfer ke tahap lain proses CAP, proses adsorber masih berlangsung untuk membersihkan karbon aktif tersebut. Semua valve ditutup lalu adsorber dialirkan steam bertekanan 2 bar dan bertemperatur 60oC



agar pori-pori karbon aktif terbuka. Lalu membuka valve buangan pada adsorber untuk menurunkan tekanan dan dilakukan proses drying selama 35 menit menggunakan udara tekan bertemperatur 60oC dengan valve buangan tertutup. Untuk menggunakan lagi karbon aktif tersebut harus didinginkan terlebih dahulu, adsorber didinginkan dengan gas inert tanpa pemanasan sekama 15 menit hingga mencapai temperatur minimal sebesar 55oC. d. Heat Recovery System Setelah proses adsorpsi, gas CS2 didinginkan kembali agar temperatur turun. Pada proses ini fasa CS2 sebagian berubah menjadi cair dan sebagian masih berfasa gas. Dari adsorber gas CS2 di tampung di tanki penyimpanan gas lalu di alirkan ke first heat exchanger. Pada first heat exchanger pendingin yang dialirkan yaitu berupa softwater, dikontakan secara conter current. Softwater keluaran first heat exchanger di kontakan dengan demin water pada heat exchanger untuk dimanfaatkan panasnya. Demin water panas keluaran heat exchanger di manfaatkan untuk umpan boiler. Sedangkan, softwater dingin keluaran heat exchanger disirkulasikan ke first heat exchanger. CS2 keluaran first heat exchanger bertemperatur sekitar 98,8oC dari temperatur diatas 100oC. Demin water panas keluaran HE akan terbuka bila temperatur CS2 keluaran first heat exchanger diatas 70oC. Selanjutnya, CS2 dialirkan ke second heat exchanger. Air pendingin dari HE ke 2 ini didapat dari cooling water. Pada HE ke 2 ini temperatur CS2 dapat diturunkan hingga ± 50oC. Setelah proses pengambilan panas CS2, CS2 di distribusikan ke CS2 condensation system untuk didapatkan CS2 cair lebih banyak lagi. e. CS2 Condesation System Gas CS2 keluaran heat recovery processbertemperatur ± 50oC dengan fasa campuran liquid dan gas. CS2 keluaran tersebut kemudian di kondensasikan di condensation unit system. CS2 tersebut diturunkan temperaturnya dengan dilewatkan pada tiga buah kondensor. Pada kondensor tersebut dilewatkan chilled waterbertemperatur ± 10oC sebagai cooler. Ketiga kondensor tersebut dipasang seri dan disirkulasi sehingga didapat temperatur CS2 yang cukup rendah dan berfasa cair. Pada kondensor tiga CS 2 yang masih berfasa gas dikembalikan ke lean gas system, sedangkan yang berfasa cair di tampung pada tangki penampung kondensat. Temperatur keluaran CS2 yang di



kondensasi ±21oC. Selanjutnya CS2 dialirkan ke dua buah tangki yang memiliki sensor level. Tangki pertama mengambil bagian atas tangki penampung untuk memisahkan air dengan CS 2, air nya dialirkan ke pipa chilled water sedangkan CS2 nya dialirkan kembali ke tangki penampung kondensat. Tangki ke dua merupakan aliran CS 2 yang siap dikirim ke CS 2 tank storage. Tangki ke dua ini akan mengalirkan CS 2 dengan bantuan pompa sentrifugal. Pompa tesebut akan menyala apabila adsorber system berada pada tahap release to treated air, dan pompa akan mati bila level berada pada ketinggian 13% dari tangki.



DAFTAR PUSTAKA https://limbahbs.wordpress.com/ diakses pada tanggal 17 Mei 2016. Damanhuri, Enri. 2010. DIKTAT KULIAH TL-3204: PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3). Bandung: Institut Teknologi Bandung.