Telaah Epistemologis Standar Evidential Matter [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RINGKASAN MATERI KULIAH



TELAAH EPISTEMOLOGIS STANDAR EVIDENTIAL MATTER SERTA IMPLIKASINYA PADA KUALITAS AUDIT DAN INTEGRITAS PELAPORAN KEUANGAN DI INDONESIA



Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Auditing dan Assurance



Oleh: Kelompok 1 Muhammad Ichsan



186020300111033



Annisa Geograf Puspita



186020300111046



PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2019



Telaah epistemologis standar Evidential Matter serta implikasinya pada kualitas audit dan integritas pelaporan keuangan di Indonesia Definisi dan prinsip audit Audit didefinisikan sebagai pemeriksaan keuangan oleh auditor independen, sesuai dengan SPAP yang dikeluarkan oleh IAI tahun 1994, yang ditujukan untuk menilai integritas pelaporan keuangan yang disusun sesuai dengan SAK. Pekerjaan ini sarat dengan acuan normatif dan muatan moral, karena pada prinsipnya pekerjaan audit adalah pekerjaan yang menentukan integritas pelaporan pengungkapan informasi dalam laporan keuangan. Mengungkap informasi dalam laporan keuangan dengan penuh integritas merupakan kewajiban direksi dari organisasi yang menjadi obyek audit. Sedangkan auditor berkewajiban memberikan penilaian dan kesaksian tertulis atas integritas direksi tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa integritas merupakan hal yang sangat sentral bagi profesi auditor independen, sebab profesi ini mempertaruhkan integritasnya untuk memberikan kesaksian atas integritas pihak lain. Terkait hal ini, perlu dibedakan tiga tingkatan integritas: 1: keamanahan direksi dalam menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya 2: kejujuran direksi dalam melakukan pelaporan keuangan 3: integritas auditor dalam mengaudit dan memberikan opini atas integritas direksi Integritas direksi, yaitu tingkat 1 & 2 dapat digambarkan kedalam matriks integritas berikut: Kejujuran direksi Keamanahan direksi dalam menjalankan tugas (tingkat 1) dalam pelaporan keuangan Amanah Tidak amanah (tingkat 2) Tugas dilaksanakan Tugas dilaksanakan tidak dengan dengan penuh amanah dan amanah, tapi kegagalan Jujur dilaporkan secara jujur melaksanakan amanah dilaporkan (1,1) secara jujur (1,2) Tugas dilaksanakan Tugas dilaksanakan tidak dengan dengan penuh amanah, amanah, dan kegagalan Tidak jujur tetapi tidak dilaporkan melaksanakan amanah tidak secara jujur (2,1) dilaporkan secara jujur (2,2) Tabel 1. Matriks integritas tingkat 1 dan tingkat 2 Auditor oleh para auditor independen yang memenuhi SPAP diharapkan bisa memberikan dasar atau basis yang dapat dipercaya bagi pembaca laporan audit yntuk menentukan apakah integritas direksi termasuk kategori (1,1), (1,2), (2,2) atau (2,2). Jika tidak bisa maka hal itu berarti auditor telah gagal memenuhi kebutuhan stakeholder utamanya. Penulis menjabarkan implikasi kegagalan tersebut menurut beberapa teori sosial. Pertama, teori kontrak sosial tentang etika insitusi sosial (Fritzche, 1997) atau tentang profesi akuntan (Burton dan Tipgos, 1997) yang memprediksikan bahwa kegagalan yang terus menerus untuk memenuhi kontrak sosial itu akan menyebabkan, cepat atau lambat, dicabutnya hak hidup profesi itu oleh masyarakat melalui melalui suatu proses sosial yang biasanya menyakitkan. Kedua, berdasarkan teori kompleksitas tentang etika institusi sosial (Frederick, 1995, 1998;



Wood, 1996a, 1996b; Lirtzman, 1997; Fort, 1997; Standfield, 1998; Derry dkk., 1999; Hauserman, 1999; dan Danley, 2000), menurut penulis, memandang kegagalan itu sebagai kegagalan profesi auditor independen untuk mengimplementasikan suatu nilai dasar yang mendukung koeksistensinya bersama entitas sosial lainnya, yaitu nilai ecologizing. Akan dikatakan memiliki nilai ecologizing baik jika suatu entitas mempu memberikan kontribusi yang semestinya kepada kebersamaaan serta mutualisme hidup di antara sesama entitas sosial. Kegagalan yang disebutkan di atas bisa terjadi karena kegagalan auditor untuk mempertahankan interitasnya baik pada tingkat individual, karena kegagalan IAI sebagai suatu kolektivitas auditor untuk memberikan SPAP yang mendukung integritas auditor, dan bisa pula karena keduanya. Dalam tingkat individual, integritas seorang auditor mengacu pada dua kualitas moral yaitu: 1. Apakah ia “jujur” dalam mengekspresikan dirinya; dan 2. Apakah ia “amanah” dalam menjalankan kewajibannya Sedangkan kegagalan jenis kedua terkait langsung dengan kontrak sosial atau implementasi nilai ecologizing sebab sudah berbicara mengenai profesi auditor sebagai suatu entitas sosial, dalam hal ini adalah IAI dengan SPAP nya sebagai standar atau pedoman pelaksanaan audit. Menurut penulis, standar tersebut belum optimum bagi auditor untuk dapat memenuhi kontrak sosialnya atau implementasi nilai ecologizing yang sarat dengan muatan moral. Secara khusus dalam makalah ini, penulis mencoba mengangkat ke permukaan apa yang dianggap sebagai suatu kesalahpahaman yang sudah begitu kaprah dan melembaga mengenai standar evidential matter. Di Indonesia, standar ini telah tereduksi menjadi standar bukti atau audit evidence. Kesalahpahaman tersebut apabila ditelaah secara epistemologis akan menyingkap tiga fakta menarik, yaitu: 1. Literatur pengauditan di AS sebagai kiblat wacana pengauditan di Indonesia baik secara akademis maupun praktis ternyata tidak terlalalu jelas membedakan antara evidence dan evidential matter; 2. Telaah epistemologis akan memberikan pemahaman baru yang lebih mendalam mengenai keterlibatan moral judgement dalam proses audit; dan 3. Pemahaman baru tersebut dapat sangat membantu mengevaluasi tingkat mutu audit dan integritas pelaporan keuangan di Indonesia. Analisis kalimat standar evidential matter Kalimat asli standar evidential matter adalah sebagai berikut: “ Sufficient competent evidential matter is to be obtained through inspection, observation, inquiries and confirmation to afford a reasonable basis for an opinion regarding the financial statements under examinations. “ (AICPA, 1980) Struktur kalimat Subjek Predikat



Sufficient competent evidential matter Is to be obtained from



Auditor harus mencari evidential matter dalam jumlah dan kualitas yang cukup



Keterangan alat Keterangan tujuan



Inspection, observation, inquiries, and confirmation To afford a reasonable basis for an opinion regarding the financial statements under examination



Prosedur yang ditempuh Untuk menyediakan dasar intelektual dan moral dalam memberikan opini atas laporan keuangan



Di Indonesia, evidential matter ini telah tereduksi melalui penterjemahan menjadi “bukti audit”. Pereduksian ini segera akan terasa jika ditranslasikan balik ke bahasa Inggris yaitu audit evidence. Perbedaan antara evidence dan evidential matter akan ditunjukkan pada sesi telaah epistemologis dalam makalah ini. Analisis epistemologis terhadap standar evidential matter Epistemologi adalah studi atau teori tentang asal, sifat, dan metode serta keterbatasan pengetahuan manusia (Guralnik, 1978). Telaah ini dapat berpotensi mengungkapkan kesalahpahaman yang sudah mapan secara taken for granted di benak kelompok tertentu. Secar epistemologis, konstruksi dan mekanisme pemahaman auditor yang diimplikasikan oleh standar evidential matter dapat digambarkan sebagai berikut: SUBYEK Auditor yang mempunyai indera, intelek, dan hati



PREDIKAT



OBYEK



Berusaha memahami obyek melalui observasi, inspeksi, konfirmasi, dan wawancara; kemudian melakukan moral judgement atas pemahaman tersebut Bukti-bukti konkrit (evidence)



Pemahaman dan keyakinan yang disebut evidential matter



Gambar 1. Epistemologi pemahaman dan keyakinan auditor terhadap obyek audit (Sumber: Sudibyo: 2001) Subyek dalam pengauditan adalah auditor yang mempunyai bakan dan kemampuan memahami dan meyakini karena ia mempunyai indera, intelek (otak), dan hati. Untuk memperoleh



pemahaman dan keyakinan itu auditor melakukan aktivitas observasi, inspeksi, konfirmasi dan wawancara terhadap obyek pengauditan. Obyek pengauditan adalah konkrit dan riil, yatu buktibukti atau evidence. Hasil dari aktivitas itu adalah kognisi atau pemahaman dan keyakinan terhadap bukti-bukti pengauditan. Pemahaman dan keyakinan inilah yang dimaksud dengan evidential matter. Jadi, evidential matter berada dalam benak auditor, bukan suatu realitas obyektif dan konkrit yang berada di luar kesadaran dan mental auditor. Secara ringkas, perbedaan antara evidential matter dan evidence dapat dilihat pada tabel berikut: Evidential matter Evidence 1 Ada di dalam benak atau kesadaran Ada di luar benak auditor intelektual dan mental auditor 2 Abstrak Konkrit, empiris 3 Realitas subyektif Realitas obyektif 4 Realitas substantif Realitas bentuk Tabel 2. Perbandingan sifat antara evidential matter dan evidence Proses pengembangan evidential matter dan keterlibatan hati auditor di dalamnya Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, evidential matter terletak dalam kesadaran intelektual-moral auditor. Pada mulanya auditor berusaha memahami secara obyektif dan rasional atas substansi ekonomis yang terkandung di balik bukti-bukti, dan kemudian mengambil kesimpulan apakah pemahaman itu mendukung kelogisan laporan keuangan yang sedang diaudit. Terhadap kesimpulan tersebut, auditor masih melakukan satu aktivitas lagi yaitu melakukan moral judgment atas integritas pengungkapan informasi tersebut. Sehingga dalam proses ini auditor memberikan dua tingkat persaksian yaitu pertama, dari inteleknya (otak) yang memiliki pendidikan, dan pengalaman teknis yang memadai. Yang kedua, hati nuraninya, untuk memberikan kesaksian yang sejujur-jujurnya tentang integritas pelaporan informasi keuangan tersebut. Proses inilah yang dalam literatur pengauditan disebut dengan proses pengambilan professional judgement yang tidak hanya mensyaratkan kompetensi teknis keprofesian saja, tetapi juga integritas moral seorang auditor. Kedua syarat ini sebenarnya telah diatur dalam standar umum dari SPAP yang dikeluarkan oleh IAI, yaitu standar umum tentang kompetensi teknis keprofesian dan standar umum tentang kebebasan sikap mental. Sayangnya, reduksi standar evidential matter menjadi evidence sangat berpotensi untuk mendorong pelanggaran terhadap standar umum kekebasan sikap mental yang sarat muatan moral tersebut. Moral atau etika atau akhlak mengacu kepada pemilihan dikotomis antara baik dan buruk, benar dan salah, adil dan tidak adil, terpuji dan terkutuk, atau pemilihan dikotomis lainnya antara yang positif dan negatif (Dunn, 1991). Manusia adalah makhluk yang senantiasa didudukkan pada situasi harus melakukan pemilihan dikotomis itu, sehingga manusia merupakan makhluk moral atau makhluk akal atau moral being. Oleh karenanya, moralitas seharusnya menjadi kepedulian utama manusia dalam mengarungi perjalanan spasiotemporalnya di dunia ini. Dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya, manusia mempunyai kemampuan untuk mensubyekkan diri dan mengobyekkan yang selain dirinya. Atas kemampuan itu, manusia dikatakan memiliki previlege kebebasan berkehendak (free will). Subyek yang menikmati previlege itu dalam teologi disebut jiwa, sedangkan perilakunya yang bebas berkehendak itu



disebut hati. Hubungan jiwa dan hati ini adalah hubungan subyek dan predikat. Pertanyaannya adalah, mengapa kebebasan berkehendak itu kemudian berubah atau tereduksi menjadi pemilihan yang bersifat moral. Baik ditinjau dari teori kontrak sosial, teori kompleksitas institusi sosial, maupun teologi, mempertahankan moralitas bagi profesi auditor independen dan profesi apa pun adalah kebutuhan profesi itu sendiri, bukan kebutuhan yang dipaksakan dari luar. Dari perspektif teori kontrak sosial atau teori stakeholder, profesi auditor independen mempertahankan moralitasnya adalah masalah mempertahankan kontrak dengan para stakeholdernya, yaitu bahwa profesi auditor independen diberi hak hidup di dalam masyarakat dengan kompensasi bahwa profesi itu mampu untuk dengan penuh integritas memberikan kesaksian tertulis akan integritas pelaporan keuangan dari institusi yang diauditnya. Kegagalan memenuhi kontrak ini merupakan kegagalan moral yang berakibat dibatalkannya kontrak itu melalui suatu proses yang biasanya menyakitkan dan itu berarti tamatnya riwayat profesi itu. Teori natural atau teori kompleksitas tentang etika entitas sosial memandang bahwa kemampuan manusia dan bahkan entitas sosial seperti perusahaan untuk melakukan ethical judgement itu tumbuh secara alami dari proses evolusinya yang Darwinian di alam. Nilai yang paling mendasar untuk bisa bertahan hidup adalah economizing dan power aggrandizing. Economizing terjadi di alam ketika suatu organisme bertindak “ekonomis” yaitu mengambil energi dari lingkungannya dan menggunakan energi itu untuk memproduksi sesuatu yang bermanfaat langsung bagi dirinya (Derry dkk., 1999). Power aggrandizing merupakan naluri setiap organisme atau entitas hidup untuk senantiasa memperbesar kekuasaan agar bisa lebih kompetitif dalam bersaing memperebutkan sumber daya atau energi di alam. Bagi profesi auditor independen berdasarkan perspektif teori natural atau teori kompleksitas, bahwa economizing dan power aggrandizing yang akan menjadikan dirinya kuat harus dilakukan dengan tetap mempertahankan dan menyempurnakan integritas moralnya jika ingin mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Bagi organisme sosial apa pun, tak terkecuali profesi auditor independen, moralitas adalah masalah survival-nya dalam melewati seleksi alam. Dan dari perspektif teologi, moralas bagi profesi auditor independen adalah masalah kesejahteraan jiwa di dunia dan di akhirat. Kepararelan dengan prinsip substance over forms dalam akuntansi keuangan Evidential matter adalah realitas substantif bukan realitas bentuk. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi evidential matter untuk diikat oleh formalitas legal. Pemahaman dan keyakinan auditor yang dihasilkan oleh proses pengambilan professional judgement atas bukti-bukti tidak boleh terkungkung atau terjebak oleh legalitas bukti. Yang penting adalah pemahaman dan keyakinannya tentang substansi ekonomis dibalik bukti-bukti yang diperiksanya. Jika dalam akuntansi keuangan berlaku substance over forms, maka pararel dengan itu dalam pengauditan berlaku prinsip yang sejalan: substansi ekonomis evidential matter lebih penting daripada formalitas legal bukti-bukti. Keterkaitan dengan standar umum tentang kompetensi teknis keprofesian Dengan terjadinya reduksi itu, maka mindset auditor telah terjebak pada persimbulan dan formalitas legal bukti-bukti. Perusahaann yang menginginkan opini Wajar Tanpa Syarat (WTS) dari auditor yang sudah terjebak itu, maka mereka diperkirakan menjadi kurang peduli pada apakah pembukuannya betul-betul merefleksikan substansi ekonomis bisnisnya. Prinsip



pembukuannya bukan lagi substance over forms melainkan forms over substance. Jika sebagai dampak reduksi dari standar evidential matter itu laporan keuangan menjadi kurang merefleksikan substansi ekonomis perusahaan dan laporan itu karena reduksi itu kemudian diaudit dengan cara yang substandard, maka tentunya integritas pelaporan keuangan di Indonesia menjadi ikut tereduksi secara serius pula.