Teori Etika Dan Pengambilan Keputusan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1.



Etika dan Moral Brooks dan Dunn (2012) menggunakan definisi dari Encyclopedia of Philosophy, yang



melihat etika dari tiga definisi, yaitu : 1. Pola umum atau cara pandangan kehidupan 2. Sekumpulan aturan perilaku atau kode moral 3. Pertanyaan mengenai cara pandang kehidupan dan aturan perilaku Etika profesi akuntansi berhubungan dengan definisi kedua. Jika definisi kedua dikaji lebih lanjut, maka menurut Encyclopedia of Philosophy, aturan perilaku atau kode moral memeiliki empat karakteristik yaitu : 1. Keyakinan tentang sifat manusia 2. Keyakinan tentang cita-cita, tentang sesuatu yang baik atau berharga untuk dikejar atau dicapai 3. Aturan mengenai apa yang harus dikerjakan dan tidak dikerjakan 4. Motif yang mendorong kita untuk memilih tindakan yang benar atau salah Seluruh teori pada dasarnya membahas apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan. Menurut Brooks dan Dunn (2012) terdapat tiga dasar mengapa manusi melakukan tindakan beretika, yaitu agama, hubungan dengan pihak lain dan persepsi tentang diri sendiri. Brooks dan Dunn (2012) membedakan antara mementingkan diri sendiri dengan egois. Egois adalah melakukan tindakan yang memberikan manfaat bagi diri sendiri dengan tidak memerdulikan apakah tindakan tersebut merugikan pihak lain atau tidak. Sedangkan mementingkan diri sendiri adalah melakukan tindakan yang memberi manfaat bagi diri sendiri dengan tidak merugikan pihak lain. Dalam gambar 2.1, menjelaskan panduan dalam membuat keputusan etika. Dalam bisnis, terdapat banyak hambatan yang dapat mempengaruhi apakah pembuat keputusan melakukan tindakan yang benar. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua yaitu hambatan organisasi dan karakter individu. Hambatan organisasi meliputi sistem reward, kultur organisasi, dan tekanan dari pihak top perusahaan. Karakteristik individu merupakan pengaruh dimana apa yang individu tersebut ketahui adalah benar termasuk salah pemahaman terhadap bisnis, komitmen berlebihan terhadap perusahaan dan ketidakdewasaan beretika.



Dalam keempat karakteristik menurut Encyclopedia of Philosophy dijabarkan menggunakan empat pokok teori etika yang dapat membantu manusia dalam membuat keputusan etika di dalam lingkungan bisnis yaitu utilitarianism, deontology, justice and fairness, dan virtue ethics. Kebanyakan orang, dalam setiap waktu, mengetahui mana yang baik dan yang salah. Dilema etika merupakan pemilihan diantara dua alternatif. Dilema etika timbul pada saat alternatif yang ada tidak ada yang benar. Terdapat alasan-alasan dalam setiap alternatif tersebut, sehingga terserah inidividu untuk memutuskan alternatif apa yang diambil.



Philosophical Theories Utilitarianism/Consequentialism Deontology Justice & Fairness Virtue Ethics



Ethical Dilemma



Practical Ethical Decision Making Practical Constraints Personal Characteristics Organizational Features Environmental Forces



Gambar 2.1



Behavior



2.



Etika, Bisnis dan Hukum Business



1 4 Law



3



7



6



5



2



Ethics



Gambar 2.2



Schwartz dan Carroll (dalam Brooks dan Dunn (2012)) menjelaskan bahwa bisnis, etika, dan hukum dapat dilihat dalam tiga lingkaran diagram Venn seperti gambar di atas. Area 1 menunjukkan bahwa aspek dalam aktivitas bisnis tidak masuk ke dalam area hukum dan etika. Area 2 merupakan dimana area hukum tidak dapat melakukan apa-apa terhadap etika dan bisnis. Area 3 menunjukkan dimana etika tidak mempengaruhi bisnis dan secara hukum legal. Area 4 menunjukkan aturan-aturan yang perusahaan harus taati; peraturan pemerintah, asosiasi profersional dan sebagainya. Area 5 merupakan hal-hal yang saling meliputi dalam etika dan bisnis. Area 6 merupakan hal-hal yang meliputi antara hukum dan etika. Area 7, gabungan antara hukum, etika dan bisnis, akan menjadi masalah apabila hukum yang berlaku bertentangan dengan etika. 3.



Enlightened Self Interest sebagai Etika Dua filsuf yang memberikan argumentasi bahwa enlightened self interest merupakan dasar



untuk tidakan beretika.Thomas Hobbes (1588-1679) dan Adam Smith (1723-1790) memiliki



keyakinan bahwa pada dasarnya manusia memiliki sifat self interest. Sifat ini bukan ditiadakan tapi justru dimanfaatkan untuk kebaikan. Menurut Thomas Hobbes, manusia memiliki kebutuhan dasar untuk menjaga dan mempertahankan kehidupannya. Manusia juga memiliki orientasi jangka pendek. Dari perspektif Hobbes, masyarakat madani dapat dilihat sebagai kontrak sukarela antara individu di mana setiap orang mengorbankan hak dan kebebasan individu mereka untuk mendapatkan perdamaian dan mempertahankan kehidupannya. Masyarakat yang secara sukarela membatasi kebebasannya untuk mendapatkan harmoni sosial. Masyarkat seperti ini disebut masyarkat Leviathan. Bagi Hobbes, self-interest mendorong terciptanya kerjasama dan terbentuknya masyarakat madani. Menurut Adam Smith, self-interest mendorong terciptanya kerjasama ekonomi. Pembeli dan penjual sama-sama memiliki kepentingan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka secara individual. Individu yang self-interest secara tidak sengaja (atau tidak langsung) meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. mereka sebetulnya tidak bermaksud meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Mereka hanya memikirkan diri sendiri, dengan meproduksi barang dan jas yang terbaik untuk memperoleh keuntungan. Terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bukan merupakan tujuan dari produsen disebabkan oleh apa yang disebut invisible hand. Konsep ekonomi menurut Adam Smith, pertama adalah kegiatan kerjasama sosial. Perusahaan menghasilkan produk dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Bisnis adalah kegiatan sosial dan masyarakat berjalan dalam prinsip-prinsip etika. Kedua, pasar adalah kompetitif, bukan konflik. Persaingan sehat akan menghasilkan barang dan jasa dengan kualitas terbaik dengan harga termurah. Ketiga, etika membatasi perilaku oportunistik. Etika akan mengawasi egoism dan kerasukan yang tidak terkendali. 4.



Teori etika



Teleologi : Utilitarianisme dan Impact Analysis Teleologi berasal dari bahasa Yunani telos yang berarti akhir, konsekuensi atau hasil. Jadi teori teologi memperlajari perilaku etika yang berkaitan dengan hasil dari keputusan-keputusan beretika. Teologi dikembangkan oleh filsuf-filsuf aliran empirin dari Inggirs, seperti John Locke



(1632-1704), Jeremy Bentham (1748-1832), James Mill (1773-1836) dan John Stuart Mill (1806-1873). Menurut teori teologi, suatu keputusan etika yang benar atau salah tergantung apakah keputusan tersebut memberikan hasil yang positif jika benar dan negatif jika salah. Kualitas etika dari pengambilan keputusan dan keputusannya ditentukan berdasarkan hasil dari keputusan tersebut. Utilitarianisme mendefinisikan baik atau buruk dalam bentuk konsekuensi kesenangan (pleasure) dan kesakitan (pain). Tindakan beretika adalah tindakan yang menghasilkan kesenangan atau rasa senang yang paling banyak atau rasa sakit yang paling sedikit. Teori ini berdasarkan asusmsi bahwa tujuan hidup adalah untuk bahagia dan segala sesuatu yang mendorong kebahagiaan secara etika baik. Utilitarianisme bebeda dengan hedoisme. Hedoisme pada individu yang mengejar kesenangan individual. Sedangkan utilitarianisme melihat kesenangan pada tingkat masyarakat. Terdapat dua aliran dari utilitarianisme, yaitu utilitarianisme tindakan dan utilitarianisme aturan. Utilitarianisme memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan pertamaadalah belum ada satu ukuran untuk kesenangan dan kebahagiaan. Kedua adalah permasalahan dalam distribusi dan intensitas kebahagiaan. Ketiga adalah menyangkup cakupan. Keempat adalah kepentingan minoritas yang terabaikan akibat keinginan untuk memenuhi kebahagiaan lebih banyak orang (mayoritas). Kelima, utilitarianisme mengabaikan motivasi dan hanya berfokus pada konsekuensi. Etika Deontologi : Motivasi untuk berperilaku Deontologi berasal dari bahasa Yunanideon yang berarti tugas atau kewajiban. Deontologi terkait dengan tugas dan tanggung jawab etika seseorang. Deontologi mengevaluasi perilaku beretika berdasarkan motivasi dari pengambilan keputusan. Menurut teori deontologi, suatu tindakan dapat saja secara etika benar walaupun tidak menghasilkan selisih positif antara kebaikan dan keburukan untuk pengambilan keputusan atau masyarakat secara keseluruhan. Immanuel Kant (1724-1804), suatu kebaikan yang tidak berantahkan adalah niat baik, niat untuk mengikuti apapun yang menjadi alasan untuk melakuakn tindakan tersebut tanpa mempedulikan konsekuensi dari tindakan tersebut terhadap diri sendiri. Kant mengembangkan dua “hukum” untuk menilai tindakan yang beretika. Pertama adalah categorical imperative. Ini, menurutnya merupakan prinsip utama dari moralitas. Hukum ini



menuntut kita untuk bertindak dengan mempertimbangkan bahwa orang lain yang berada dalam situasi yang sama akan melakukan tindakan yang sama. Hukum ini disebut imperative karena harus ditaati dan disebut categorical karena tidak bersyarat dan absolut. Hukum kant yang kedua adalah Praticial Imperative dalam berhubungan dengan pihak lain. Setiap orang harus kita perlakukan sama, sebagaimana kita memperlakukan diri sendiri. Jika kita menjadikan diri kita sebagai tujuan, demikian pula kita menjadikan orang lain sebagai tujuan bagi dirinya. Kita dapat memanfaatkan orang lain sepanjang orang tersebut juga menjadi bagian dari tujuan kita. Teori deontologi juga dianggap memiliki kelemahan. Kelemahan pertama adalah categorical imperative tidak memberikan pedoman yang jelas untuk memutuskan apa yang benar dan salah ketika dua hukum moral bertentangan dan hanya satu yang dapat diakui. Hal yang terpenting dalam deontologi adalah niat dari pengambilan keputusan dan ketaatan pengambilan keputusan terhadap caterogical imperative. Justice and Fairness – Memeriksa Keseimbangan Filsuf Inggris David Hume (1711-1776), menyakini bahwa kebutuhan keadilan muncul karena dua alasan. Pertama bahwa manusia tidak selalu bersifat baik dan penolong, dan kedua adalah masalah kelangkaan sumber daya. Hume beragumentasi justice sebagaimana makanisme. Justice adalah proses pemberian atau alokasi sumber daya dan beban berdasarkan alasan rasional. Ada dua aspek dari justice, yaitu procedural justice (proses penentuan alokasi) dan distributive justice (alokasi yang dilakukan). Procedural justice berkepentingan dengan bagaimana justice diadministrasikan. Aspek utama dari suatu sistem hukum yang adil adalah prosedur yang adil dan transparan. Keadilan juga dapat dinilai berdasarkan fakta. Distributive Justice Aristoteles (384-322 SM) dikenal sebagai orang pertama yang beragumentasi bahwa kesamaan harus diperlakukan secara sama sedangkan ketidaksamaan harus diperlakukan secara tidak sama sesuai dengan proporsi perbedaan yang terjadi. Anggapan bahwa semua orang sama tidak selalu benar. Terdapat dua hal yang terkait dengan perbedaan antara masing-masing orang. Pertama adalah pembuktian bahwa ada ketidaksamaan anatara masing-masing orang. Untuk itu, perlu digunakan kriteria-kriteria yang relevan sesuai dengan kebutuhan situasi. Kedua adalah



bagaimana melakukan suatu distributive justice, melakukan alokasi yang adi berdasarkan ketidaksamaan. Paling tidak terdapat kriteria yang dapat digunakan untuk melakukan alokasi, yaitu berdasarkan kebutuhan, aritmatika kesamaan, dan merit. Kriteria kedua adalah aritmetika kesamaan. Kriteria ketiga adalah berdasarkan merit. Seorang filsuf Amerika, John Rawls (1921-2002) mengembangkan sebuah argumentasi justice as fairness. Ia mengembangkan Theory of Justice berdasarkan asumsi self-interest dan self-reliance. Principles of justice, suatu prinsip untuk alokasi yang adil antar anggota masyarakat. Prinsip ini menetapkan hak dan tugas dari anggota masyarakat dan menetapkan suatu pembagian masyarakat berdasarkan kelebihannya secara sosial. Justice as fairness artinya adalah apapun prinsip-prinsip yang disepakati pada tahap awal ini akan dianggap adil untuk semua pihak, karena kalau tidak dirasakan adail maka tidak terjadi kesepakatan. Diferrence principle memahami bahwa secara alamiah terjadi perbedaan antara manusia. Ada manusia dilahirkan didaerah yang kaya kekayaan alam, ada yang dilahirkan dari keluarga kaya dan terhormat, dan ada yang lahir dengan bakat-bakat tertentu. Dengan principle justice as fairness apa yang disebut benar dan adil adalah setiap orang memperoleh kemanfaatan dari situasi ketidaksamaan (perbedaan) sosial dan ekonomi. Virtue Ethics Virtue ethics berasal dari pemikiran Aristoteles yang mencoba membuat konsep mengenai kehidupan yang baik. Menurutnya, tujuan kehidupan adalah kebahagiaan. Kebahagiaan versi aristoteles kegiatan jiwa, bukan kegiatan fisik sebagaimana konsep kebahagiaan hedonism.Virtue adalah karakter jiwa yang terwujud dalam tindakan-tindakan sukarela (yaitu tindakan yang dipilih secara sadar dan sengaja). Kita akan menjadi orang baik jika secara teratur melakukan tindakan kebajikan. Virtue ethics berfokus kepada karakter moral dari pengambil keputusan, bukan konsekuensi dari keputusan (utilitarianisme) atau motivasi dari pengambil keputusan (deontologi). Teori ini mengambil pendekatan yang lebih holistic untuk memahami perilaku beretika dari manusia. Keunggulan dari virtue ethics adalah teori ini mengambil pandangan yang lebih luas dalam memahami pengambilan keputusan yang memiliki beragam ciri-ciri karakter. Dua permasalahan utama dari virtue ethics, menurut Brooks dan Dunn (2012) adalah menentukan virtues apa yang



harus dimiliki seseorang sesuai dengan jabatan dan tugasnya, dan bagaimana virtues ditunjukkan di tempat kerja. Sebuah virtue yang menjadi kunci dalam bisnis adalah integritas, yang meliputi kejujuran dan ketulusan. Permasalahan dari virtue ethics adalah sulit untuk membuat daftar yang lengkap mengenai virtue dan ada kemungkinan virtue tergantung kepada situasi tertentu. 5.



Ethical Decision-Making Framework (EDM) Kerangka ini disusun menggabungkan kebutuhan tradisonal perusahaan yaitu keuntungan



dan legalitas dengan kebutuhan yang secara filosofis penting dan yang pada saat ini diminta oleh stakeholders. Kerangka ini dirancang untuk meningkatkan penalaran etika dengan menyediakan: 1. Wawasan identifikasi dan analisis isu-isu kunci yang harus dipertimbangkan dan pertanyaan atau tantangan yang harus diangkat. 2. Pendekatan untuk mengkombinasi dan penerapan faktor relevan keputusan ke dalam aksi nyata. Kerangka EDM menilai etika dari keputusan atau tindakan dengan menguji: 1. Konsekuensi atau baik buruknya yang dibuat dalam hal keuntungan bersih dan biaya. 2. Hak dan kewajiban yang terkena dampak. 3. Keadilan yang terlibat. 4. Motivasi atau kebajikan yang diharapkan. 6.



Pengambilan Keputusan Beretika Brooks dan Dunn (2012) mencoba untuk menyatukan teori-teori etika dalam penjelasan



pengambilan keputusan beretika. Permasalahannya adalah sebetulnya tidak mudah membuat suatu pernyatuan dari teori-teori tersebut. Namun bagi beberapa pengambilan keputusan lebih menyukai pedoman praktis dari pada harus mendalami teori-teori yang filosofis. Berikut adalah beberapa pedoman yang dapat digunakan pengambilan keputusan beretika : Sniff Tests & Common Rules of Thumb – Preliminary Test of the Ethicality of a Decisson Sniff test merupakan semacam preliminary test yang dapat dilakukan dengan cepat sekedar untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil telah melalui beberapa test etika. Berikut ini sniff test yang biasanya digunakan :







Apakah saya nyaman jika tindakan atau keputusan ini muncul besok pagi dihalaman pertama surat kabar nasional?







Apakah saya bangga dengan keputusan ini?







Apakah ibu saya bangga dengan keputusan yang saya ambil?







Apakah keputusan ini sesuai dengan misi dan kode etik perusahaan?







Apakah saya nyaman dengan keputusan ini?



Sebagaimana dapat dilihat diatas, sniff test tidak berhubungan langsung dengan teori-teori etika yang telah dibahas sebelumnya. Selain itu, banyak eksekutif semacam rule of thumb dalam proses pengambilan keputusan beretika, sebagaimana contoh dibawah ini: Golden rule



Jangan perlakukan orang lain yang kamu tidak ingin mereka lakukan terhadapmu



Disclosure rule



Jika anda nyaman dengan tindakan dan keputusan yang akan diambil setelah menanyakan pada diri sendir, apakah anda tidak berkeberatan jika rekan kerja, teman, dan keluarga anda mengetahui hal ini



Intuition ethics



Lakukan apa yang “kata hati” anda katakana



Categorical imperative



Anda dapat menerapkan prinsip ini jika secara konsisten juga dapat diterapkan oleh orang lain



Professional ethics



Lakukan hanya yang dapat dijelaskan dan dipertanggung jawabkan kepada komite, jika diminta



Prinsip utilitarian



Lakukan yang terbaik (paling bermanfaat) bagi sebanyak mungkin orang



Prinsip virtue



Lakukan apa yang dapat menggambarkan virtue yang diharapkan



Stakeholder Impact Analysis Sesuai dengan judulnya, maka stakeholder impact analysis merupakan penerapan teori utilitarianisme dalam keputusan bisnis. Kelebihan dari stakeholder impact analysis ini adalah memberikan kerangka analisis mengenai pihak-pihak yang kemungkinan terkena pengaruh dari keputusan yang diambil. Tahapan dalam stakeholder impact analysis adalah sebagai berikut: 1.



Analysis kepentingan dari masing-masing pemangku kepentingan



2.



Hitung dampak yang dapat dikuantifikasi a. Laba.



b. Dampak yang tidak tercakup dalam laba namun dapat diukur langsung. Biasanya ini adalah biaya eksternalitas, misalnya biaya kerusakan lingkungan akibat tidak dilakukan pengolahan limbah. Atau biaya kemacetan lalu lintas dengan bertambahnya jumlah kendaraan. c. Dampak yang tidak tercakup dalam laba dan tidak dapat diukur langsung. Misalnya biaya pengobatan dari penyakit yang mungkin terjadi akibat polusi yang dilakukan perusahaan. Atau biaya sosial akibat pengurangan pegawai. d. Hitung net present value dari selisih present velue dari biaya akibat tindakan yang sedang dipertimbangkan akan dilakukan. e. Hitung risk benefit analysis. f. Identifikasi pemangku kepentingan yang beropetensi terkena pengaruh dari keputusan dan buat peringkat. 3.



Lakukan penilaian terhadap dampak yang tidak dapat dikuantifikasi. a. Keadilan dan kesetaraan antara pemangku kepentingan. b. Hak-hak dari pemangku kepentingan.



Stakeholder Impact Analysis: Pendekatan Tradisional dalam Pembuatan Keputusan Beberapa pendekatan telah dikembangkan yang memanfaatkan stakeholder impact analysis untuk menyediakan panduan tentang keberetikaan dalam tindakan yang diusulkan oleh pembuat keputusan. Ada tiga pendekatan menurut Brooks dan Dunns (2012) yaitu: 1.



Pendekatan tradisional 5 pertanyaan Pendekatan ini merupakan pengujian terhadap tindakan yang diusulkan berdasarkan lima pertanyaan yang ditunjukkan dalam tabel sebagai berikut. APAKAH KEPUTUSAN



MINAT STAKEHOLDER YANG DIUJI



1. Menguntungkan?



Pemegang saham



2. Legal?



Lingkungan sosial



3. Adil?



Keadilan bagi semua



4. Benar?



Hak-hak lain dari semua



5. Pembangunan keberlanjutan?



Hak-hak yang spesifik



Pertanyaan 5 merupakan pertanyaan optional yang didesain untuk fokus terhadap proses pembuat keputusan dalam menyikapi isu-isu relevan bagi



organisasi Keputusan yang diusulkan diuji dengan menanyakan semua pertanyaan. Jika respon negatif muncul ketika semua pertanyaan tersebut ditanyakan, maka pembuat keputusan dapat mencoba revisi tindakan yang diusulkan untuk menghapus yang negatif. Jika revisi tersebut berhasil, maka proposal tersebut akan beretika. Jika tidak, proposal tersebut harus diabaikan atau tidak beretika. Bahkan jika tidak ada respon negatif yang muncul, usaha-usaha perlu dilakukan untuk meningkatkan tindakan yang diusulkan menggunakan kelima pertanyaan tersebut sebagai panduan. 2.



Pendekatan tradisional standar moral Pendekatan standar moral dibentuk dengan fokus pada tiga kepentingan utama dari stakeholders. Fokus dalam pendekatan ini lebih umum daripada pendekatan 5 pertanyaan, dan memimpin pembuat keputusan untuk analisis yang lebih luas berdasarkan dari keuntungan bersih bukan hanya profitabilitas sebagai tantangan pertama keputusan yang diusulkan. Tiga standar yang merupakan bagian dari standar moral ditunjukkan dalam tabel berikut ini. MORAL STANDARD



QUESTION OF PROPOSED DECISION



Utilitarian: memaksimalkan keuntungan bersih



Apakah tindakan tersebut memaksimalkan



untuk masyarakat secara



keuntungan sosial dan meminimalisir



keseluruhan



kerugian sosial?



Individual rights: Respek dan perlindungan



Apakah tindakan dilakukan konsisten dengan hak setiap orang?



Justice: Distribusi yang adil terhadap



Akankah tindakan tersebut membawa



keuntungan dan beban



distribusi yang adil terhadap keuntungan dan beban?



3.



Pendekatan tradisional Pastin Dalam bukunya, The Hand Problems of Management: Gaining the Ethical Edge, Mark Pastin (1986) menyajikan idenya tentang pendekatan yang tepat terhadap analisis etika, dimana menguji empat aspek kunci yang ditunjukkan dalam tabel berikut. KEY ASPECT



PURPOSE OF EXAMINATION



Ground rule ethics



Untuk menjelaskan aturan dan nilai-nilai individu atau organisasi.



End-point ethics



Untuk menentukan kebutuhan terbesar bagi semua pihak



Rule ethics



Untuk menentukan batasan individu atau organisasi berdasarkan prinsip etika.



Social contract ethics



Untuk menentukan bagaimana memindahkan batasan untuk menghindari konflik.



Pastin menggunakan konsep ground rule ethics untuk menangkap ide bahwa individu dan organisasi memiliki aturan dasar atau nilai fundamental yang menguasai perilaku mereka atau perilaku yang diinginkan. Dalam konsep end-point ethics, Pastin menyarankan kebutuhan-kebutuhan terbesar dari stakeholders seperti keuntungan. Konsep rule ethics digunakan untuk mengindikasikan nilai dari aturan yang timbul dari aplikasi prinsip etika ke sebuah dilema etika. Konsep mengenai keadilan tergabung oleh Pastin ke dalam social contract ethics. Di sini ia menunjukkan bahwa merumuskan keputusan yang diusulkan menjadi kontrak imajiner akan membantu karena kontrak imajiner memungkinkan pembuat keputusan untuk mengubah tempat dengan pemangku kepentingan yang akan berdampak pada pemangku kepentingan. Sebagai hasilnya, pembuat keputusan dapat melihat jika dampak tersebut cukup adil untuk dimasukkan ke dalam kontrak. 7.



Penyelesaian Masalah Kasus Ford Pinto Dalam memenuhi keinginan untuk memenangkan persaingan yang kuat dari Volkswagen,



presiden Ford Motor Co. Lee lacocca, memutuskan untuk memperkenalkan mobil baru pada tahun 1970 yang diberi nama Pinto. Secara keseluruhan, tujuannya adalah memproduksi mobil



yang beratnya dibawah 2000 pound dengan harga $2.000 atau kurang. Desain sebelum produksi dan pengecekan biasanya membutuhkan waktu sekitar 3,5 tahun dan rencana produksi aktual akan memakan waktu lebih lama, tetapi Ford memulai desainnya tahun 1968 dan produksi dimulai tahun 1970. Proyek Pinto diawasi oleh Robert Alexander, wakil presiden teknik mobil dan telah disahkan oleh Komite Perencanaan Produk Ford, yang terdiri dari lacocca, Alexander, dan wakil presiden teknik kelompok Ford, Harold MacDonald. Para insinyur di Ford yang bekerja pada proyek tersebut “bertanggung jawab” kepada supervisor langsung mereka, dimana melakukan hal yang sama selanjutnya kepada atasan mereka, dan selanjutnya juga kepada Alexander dan MacDonald dan akhirnya lacocca. Banyak laporan yang dilewatkan dalam rantai komando selama desain dan proses persetujuan, termasuk beberapa hasil tes tabrakan, dan usulan untuk memperbaiki kecenderungan mobil akan meledak pada bagian belakang ketika dipacu pada kecepatan 21 mil per jam. Kecenderungan ini disebabkan karena letak tangki gas mobil di antara roda dan bumper belakang sedemikian rupa sehingga tumbukan pada bagian belakang kendaraan ini dapat memicu ledakan. Perbaikan yang dapat dilakukan oleh Ford diantaranya merubah posisi tangki sebelumnya di bagian belakang mobil menjadi di atas roda belakang yang akan memperkecil bagasi mobil atau memasang rubber bladder di tangki bensin. Ford mencoba untuk memasang rubber bladder, tetapi ini memakan banyak biaya. Kemudian, sebagai bagian dari upaya lobi yang berhasil terhadap peraturan pemerintah untuk tes wajib kecelakaan, analisis biaya manfaat Ford terungkap dalam studi perusahaan yang berjudul “Fatalities Assosiated with Crash-Induced Fuel Leakage and Fires”. Biaya yang dikeluarkan untuk memasang rubber bladder jauh melebihi manfaatnya. Berdasarkan hasil penelitian National Highway Traffic Safety Administration Ford menghabiskan biaya sebesar $200.000 untuk ganti rugi kematian konsumen. Ford’s Cost-Benefit Analysis SAVINGS



UNIT COST



TOTAL



Benefits: 180 burn deaths 180 serious burn injuries 2100 burned vehicles



$200,000



$36,000,000



67,000



12,060,000



700



1,470,000



$49,530,000



Total benefits



Costs: Number of units 11 million cars



11



$121,000,000



1,5 million light trucks



11



16,500,000



Total costs FATALITY PAYMENT COMPONENT



$13,500,000 1971 COSTS



Future productivity losses Direct Indirect



$132,000 41,300



Medical costs Hospital



700



Other



425



Property damage



1,500



Insurance administration



4,700



Legal and court



3,000



Employer losses



1,000



Victim’s pain and suffering Funeral Assets (lost consumption) Miscellaneous Total per fatality:



10,000 900 5,000 200 $200,725



Pertanyaan dan Jawaban: 1.



Apakah keputusan untuk tidak memasang rubber bladder tepat? Gunakan kerangka kerja pendekatan 5 pertanyaan untuk mendukung analisis anda? Menurut kami, keputusan untuk tidak memasang rubber bladder tidak tepat. Berikut analisis berdasarkan pendekatan 5-questions: Question 1 : Profitability



Perusahaan Ford tidak tepat jika menginstal rubber bladder karena memakan banyak biaya sebesar $137.500.000, sedangkan jika rubber bladder tidak dipasang maka biayanya hanya sebesar $49.530.000. Ini berarti Ford Mobil Company bisa menghemat biaya sebesar $87.970.000. Dilihat dari sisi Ford, jelas Ford lebih mencari profit daripada harus menginstal rubber bladder untuk keselamatan penumpang. Bagi pemegang saham, jika Ford dapat menghasilkan profit, maka pemegang saham juga akan mendapatkan keuntungan, namun untuk jangka pendek. Setelah mengetahui bahwa produk Ford Pinto terdapat kecacatan maka otomatis reputasi dari Ford sendiri akan turun sehingga harga saham yang beredar juga mengalami penurunan dimana menimbulkan kerugian bagi pemegang saham. Question 2 : Legality Perusahaan Ford jelas melanggar legalitas karena dalam proses uji kecelakaan, Ford melakukan lobby terhadap peraturan pemerintah mengenai tes wajib kecelakaan, padahal Ford Pinto sudah dijual ke pasaran sebelum uji kecelakaan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa Ford berusaha menutupi kecatatan produknya kepada publik dengan tetap menjualnya tanpa diinstal rubber bladder. Question 3: Fairness Ford tidak berusaha menginstal rubber bladder karena biayanya sangat tinggi. Hal ini tidak fair bagi konsumen karena Ford tetap menjual Ford Pinto ke pasar walaupun Ford tahu bahwa produk tersebut cacat dan dapat membahayakan bagi konsumen. Ford terkesan menutupi bahwa Ford Pinto adalah produk cacat dan tetap menjualnya demi mendapatkan keuntungan. Question 4 : Impact on Right Dalam kasus ini, Ford tidak mementingkan hak-hak konsumen dan tidak menjamin keselamatan pengguna Ford Pinto. Konsumen/publik seharusnya berhak mengetahui produk tersebut layak digunakan atau tidak dengan spesifikasi produk yang jelas. Ford menyembunyikan fakta bahwa Ford Pinto berbahaya bagi konsumen yang dapat disebut kebohongan publik. Question 5 : does it contribute to suistanable development/and or survivability? Produk Ford Pinto jelas merupakan produk cacat. Ford sendiri tidak menginstal rubber bladder karena biayanya yang sangat tinggi. Apabila produk ini dipasarkan dan konsumen mengetahui bahwa produk tersebut cacat, maka persepsi terhadap Ford sendiri menjadi



negatif. Akibatnya, reputasi Ford dimata masyarakat menjadi turun dan akan berpengaruh terhadap keberlangsungan Ford sendiri di pasar. Hal ini diperkuat juga dengan data yang menunjukkan bahwa Ford harus menghabiskan biaya sekitar $200,000 per masing-masing kecelakaan atau kematian yang terjadi pada konsumen. 2.



Kesalahan apa yang bisa anda identifikasi pada analisis biaya manfaat Ford? Dalam kasus ini, Ford terlalu menekan biaya produksi sebesar $2000 untuk memproduksi sebuah mobil dengan harapan memperoleh profit sebesar mungkin. Ford mendesain mobil dengan meletakkan tangki bensin di bawah bumper belakang dengan harapan membuat bagasi lebih luas. Saat uji kelayakan ternyata Ford Pinto langsung meledak saat ditabrak dari belakang. Dari uji kelayakan tersebut seharusnya Ford mendesain ulang Ford Pinto dengan menginstal rubber bladder di tangki bensin. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan karena membutuhkan biaya sebesar $137.500.000. Apabila Ford tidak menginstal rubber bladder maka biayanya hanya sebesar $49.530.000 sehingga menghemat $87.970.000. Hal ini menandakan bahwa Ford tidak ingin kehilangan banyak biaya untuk mendesain ulang Ford Pinto dengan rubber bladder dan mengesampingkan keselamatan penumpang.



3.



Haruskah Ford mebebankan kepada konsumen Pinto untuk membayar biaya pemasangan rubber baldder, katakanlah sebesar $20 ? Menurut kami tidak perlu. Ford mengetahui bahwa Ford Pinto merupakan produk tidak layak jual dan seharusnya dipasang rubber bladder demi keselamatan penumpang. Konsumen seharusnya tidak membayar $20 karena pemasangan rubber bladder sendiri merupakan tanggung jawab Ford selaku produsen. Hal ini tidak etis karena Ford terkesan melempar kesalahan atau tanggung jawab terhadap produknya kepada konsumen padahal jelas Ford yang telah melakukan kesalahan.