Terapi Respirologi Anak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BAB I PENDAHULUAN



Penyakit saluran pernafasan merupakan masalah yang harus dihadapi oleh semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Prevalensi dan tingkat keparahan penyakit saluran pernafasan semakin lama semakin meningkat, tidak hanya di Indonesia namun juga di seluruh negara di dunia. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain (i) peningkatan prevalensi anak-anak yang mengalami sensitisasi alergen dini (ii) semakin banyak anak-anak yang mengalami infeksi virus berulang dan (iii) meningkatnya jumlah bayi sangat prematur dan anak-anak retan yang dapat bertahan hidup hingga remaja.1 Semua faktor tersebut berperan dalam meningkatkan risiko penyakit akut saluran pernafasan dan lambat laun menjadi kronis. Meski penyakit saluran pernafasan telah berkembang begitu pesat namun tidak dengan terapi yang ada. Masih banyak penelitian tentang terapi penyakit saluran pernafasan, terutama pada anak-anak, yang gagal mencapai suatu kesimpulan. Oleh karena itu, kita perlu terus menerus mempelajari berbagai tentang penyakit saluran pernafasan pada anak sehingga dapat memberi terapi dengan cepat dan tepat sehingga pada akhirnya dapat menekan morbiditas dan mortalitas.1



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Anatomi Dan Fisiologi Pernapasan Saluran pernapasan terdiri dari cabang-cabang saluran dari lingkungan sampai ke paru-paru (rongga hidung dan nasal, faring, laring, trakea, percabangan bronkus, dan paru-paru). Fungsi sistem pernapasan adalah mengambil oksigen (O2) dari atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan untuk mentranspor karbondioksida (CO2) yang dihasilkan selsel tubuh kembali ke atmosfer.2



Gambar 1. Anatomi saluran Napas Saluran pernapasan dibagi dalam 2 golongan utama:2 1. saluran pernapasan atas, terdiri dari lobang hidung, rongga hidung, faring, laring 2. saluran pernafasan bawah terdiri dari trachea, bronchi, bronchiolus, alveoli dan membran alveouler – kapiler Ventilasi dan respirasi adalah dua istilah yang berbeda dan tidak boleh ditukar pemakaiannya. Ventilasi adalah pergerakan udara dari atmosfer melalui saluran pernapasan atas dan bawah menuju alveoli. Respirasi adalah proses dimana terjadi pertukaran gas pada membran alveolar kapiler.



3



Tujuan dari pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan membuang karbon dioksida. Untuk mencapai tujuan tersebut pernapasan dapat dibagi menjadi empat fungsi utama, yaitu2 : (1) Ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara atmosfir dan alveoli paru (2) Difusi oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah (3) Pengangkutan oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan sel jaringan tubuh (4) Pengaturan ventilasi dan hal-hal lain mengenai pernapasan. Mekanisme pernapasan terdiri dari inspirasi dan ekspirasi. Pada saat inspirasi udara masuk keparu-paru, otot antar tulang rusuk berkontraksi dan terangkat sehingga volume rongga dada bertambah besar, sedangkan tekanan rongga dada menjadi lebih kecil dari tekanan udara luar. Udara mengalir dari luar kedalam paru-paru. Saat ekspirasi ketika udara keluar dari paru-paru otot antar tulang akan relaksasi ke posisi semula sehingga volume dada akan mengecil dan tekanan meningkat. Tekanan tesebut akan mendesak dinding paru-paru sehingga rongga paru membesar. Keaadan inilah yang menyebabkan udara dalam rongga paru terdorong keluar.2



Gambar 2. Mekanisme pernapasan Adapun faktor-faktor dalam proses respirasi yaitu 1. Tekanan intrapleura yang menahan paru-paru tetap berkontak dengan dinding toraks 2. Jaringan



elastik



dalam



paru-paru



yang



bertanggung



jawab



kecenderungannya untuk menjauh dari dinding toraks dan mengempis



terhadap



4



3. Tekanan intra-alveolar yang merupakan tekanan di dalam paru-paru 4. Surfaktan adalah sejenis lipoprotein yang disekresi oleh sel-sel epitel dalam alveoli paru. Dimana surfaktan mengurangi tegangan permukaan cairan yang menurunkan kecenderungan pengempisan alveoli. 5. Komplians yang merupakan suatu ukuran peningkatan volume paru yang dihasilkan setiap unit perubahan dalam tekanan intra-alveolar 6. Pneumotoraks merupakan kondisi dimana udara berada di dalam dada 7. Atalektasis  merupakan proses pengempisan paru-paru



2.2 Mekanisme Pertahanan sistem respirasi Paru memiliki beberapa mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan yang efektif diperlukan oleh paru karena sistem respiratori selalu terpajan dengan udara lingkungan yang seringkali terpolusi serta mengandung iritan, pathogen, dan allergen. Sistem pertahanan organ respiratori terdiri dari tiga unsur yaitu refleks batuk yang bergantung pada integritas saluran respiratori, otot-otot pernafasan, dan pusat kontrol pernafasan di sistem saraf pusat silia dan aparatus mukosiliar bergantung pada integritas bentuk dan fungsi sel silia serta epitel respiratorik pertahanan mekanisme sistem respiratori berfungsi melindungi paru terdiri dari penyaringan partikel, penghangatan dan kelembaban atau humidifikasi udara inspirasi serta absorpsi asap dan gas berbahaya oleh saluran respiratori atas yang banyak mengandung pembuluh darah. Penghentian nafas cara sementara, refleks laringospasme serta bronkospasme dapat mencegah masuknya benda asing lebih jauh dan lebih banyak ke dalam saluran pernafasan batuk juga merupakan mekanisme pertahanan yang penting spasme ataupun penurunan pernafasan hanya dapat memberikan perlindungan sementara aspirasi makanan. Sekret dan benda asing dapat dicegah dengan gerakan menelan dan penurunan epiglotis saluran respiratory di sebelah distal laring normal nya steril.1,2 2.2.1 Pembersihan partikel Pembersihan partikel di saluran pernafasan bagian konduksi dibersihkan dalam beberapa jam oleh mekanisme mukosiliar sedangkan pembersihan partikel yang mencapai alveolus memerlukan waktu beberapa hari hingga beberapa bulan. Partikel



5



yang mencapai alveolus dapat di fagositosis oleh makrofag alveolar dan dikeluarkan dari paru-paru konsiler atau dibawa masuk ke interstisium untuk dihancurkan oleh limfosit kemudian dibawa ke nodus regional atau masuk ke dalam darah beberapa partikel dapat berprestasi ke dalam interstisium tanpa difagositosis. Pembersihan mukosiliar dibantu dengan batuk yang mendorong kelebihan mukus keluar dari saluran respiratori dengan tekanan hingga 300 mmhg dan kecepatan hingga 5 sampai 6 liter per detik mukus yang ditimbulkan oleh mekanisme batuk biasanya tertelan oleh anak kecil tetapi dapat juga dikeluarkan.2 2.2.2 Pertahanan terhadap agen mikroba Fagositosis dan pembersihan mukosiliar tidak cukup untuk melindungi sistem respiratori dari agen hidup seperti bakteri dan virus. Faktor tambahan yang diperlukan adalah penghancuran organisme secara seluler dan respon imun makrofag alveolar dan interstisial yang berasal dari monosit merupakan komponen penting sistem pertahanan paru fagositosis dan penghancuran partikel hidup oleh makrofag ini mungkin ditingkatkan oleh opsonin atau oleh limfosit kecil antibodi utama pada sekret pernafasan adalah IG sekretorik dihasilkan oleh sel plasma di submukosa saluran pernafasan dua molekul IG bersama dengan suatu polipeptida dan dihasilkan oleh epitel respiratorik membentuk IG sekretorik yang sangat resisten terhadap digesti oleh enzim proteolitik yang dikeluarkan oleh bakteri yang lisis atau sel yang mati dapat menetralisasi virus dan toksin tertentu serta membantu melisiskan bakteri IG juga dapat mencegah substansi antigenik masuk ke permukaan epitelial pada bulan pertama kehidupan jumlah IG sekretorik paruh mencapai jumlah yang sama seperti pada saat dewasa IgG dan IGM juga ditemukan pada sekret saluran respiratori jika terjadi inflamasi paru.2



2.3 Obat Saluran Pernapasan 2.3.1 Kortikosteroid Kortikosteroid merupakan agen antiinflamasi yang telah sering digunakan terutama pada berbagai penyakit pernafasan anak-anak. Meski demikian, penelitian tentang kortikosteroid pada anak-anak masih sangat terbatas. Kortikosteroid bekerja dengan cara mengikat reseptor intraseluler spesifik di jaringan target untuk mengatur



6



ekspresi gen yang responsif terhadap kortikosteroid. Hal ini memicu perubahan kecepatan sintesis protein oleh jaringan target. Meski demikian, efek antiinflamasi genomik ini tidak dapat langsung muncul sedangkan efek antiinflamasi melalui mekanisme non-genomik dapat muncul secara langsung.1 Dalam bidang respirologi, kortikosteroid dapat diberikan melalui berbagai jalur seperti inhalasi, per-oral maupun parenteral. Kortikosteroid inhalasi masih menjadi terapi utama bahkan menjadi terapi pilihan pertama pada anak-anak usia pra-sekolah dengan serangan wheezing berulang dan/atau berat. Kortikosteroid pada kasus asma telah terbukti dapat memperbaiki gejala, menekan penggunaan obat-obatan lainnya, mempertahankan fungsi paru, mencegah respon jalan nafas yang berlebihan, mempertahankan kualitas hidup dan menekan angka kejadian eksaserbasi. Dosis reguler kortikosteroid inhalasi (budesonide hingga 400 mcg per hari atau yang setara) dianggap aman, baik untuk terapi jangka panjang maupun jangka pendek. Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yang diberikan secara intermiten (3 mg beclomethasone dipropionate atau yang setara) atau dosis rendah yang digunakan secara teratur juga telah digunakan untuk mengatasi wheezing akibat infeksi virus (termasuk bronkiolitis) maupun post-infectious bronchiolitis obliterans, meskipun beberapa penelitian menyebutkan bahwa terapi ini tidak memberikan manfaat yang besar. Terapi ini memiliki beberapa efek samping seperti mengganggu pertumbuhan (hanya bersifat sementara), supresi adrenal (hanya jika diberikan dalam dosis tinggi), kandidiasis oral, nyeri tenggorokan, suara parau dan batuk. Berbagai efek samping tersebut dapat dicegah dengan menggunakan spacer dengan MDI, gosok gigi dan berkumur setelah menggunakan kortikosteroid inhalasi. Meski memiliki peran penting dalam terapi wheezing akibat asma eksaserbasi, kortikosteroid inhalasi tidak efektif untuk mencegah wheezing pasca infeksi respiratory syncytial virus (RSV).1,3,4,5 Selain diberikan secara inhalasi, kortikosteroid juga dapat diberikan secara peroral.



Kortikosteroid



oral



dikelompokkan



berdasarkan



potensi/kemampuan



antiinflamasi yang dimiliki. Sehingga setiap kelompok kortikosteroid memiliki dosis ekuivalen. Hidrokortison memiliki dosis ekuivalen sebesar 20 mg dengan waktu paruh 8-12



jam



(waktu



paru



pendek).



Cortisone,



prednisolone,



prednisone,



methylprednisolone, triamcinolone, dexamethasone dan betamethasone secara berturutturut memiliki dosis ekuivalen sebesar 25, 5, 5, 4, 4, 0.75 dan 0.75 mg. Sama seperti



7



hydrocortisone, cortisone memiliki waktu paruh 8-12 jam (waktu paruh pendek). Sedangkan prednisolone, prednisone, methylprednisolone, dan triamcinolone memiliki waktu paruh 12-36 jam (waktu paruh sedang). Dexamethasone dan betamethasone memiliki waktu paruh 36-72 jam (waktu paruh panjang).1 Sama seperti kortikosteroid inhalasi, kortikosteroid oral juga efektif sebagai terapi asma eksaserbasi berat, salah satunya adalah prednisolon oral (1-2mg/kg/hari maksimal 20mg/hari pada anak 2 tahun dan mencegah bronkokonstriksi yang dipicu olahraga pada anak >4 tahun. Salbutamol sebanyak 100mcg melalui pMDI menggunakan spacer dapat diberikan pada eksaserbasi ringan, sedangkan salbutamol 10 puffs dapat diberikan pada kasus eksaserbasi berat. Pemberian salbutamol inhalasi dapat diulang setiap 20-30 menit dalam 1 jam pertama terapi kemudian dapat diulang setiap 1-2 jam jika perlu. Jika tidak tersedia spacer, maka salbutamol dapat diberikan melalui nebulizer sebanyak 2.5mg/dosis hingga maksimal 5 mg. Pemberian salbutamol dengan cara ini dapat diulang tiap 20-30 menit dalam 1 jam pertama terapi.



9



Yang termasuk SABA ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada oral. Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak dapat/mungkin menggunakan terapi inhalasi. Bronkodilator yang diberikan melalui pMDI memiliki efek terhadap paru, angka rawat inap dan oksigenasi yang sama dengan salbutamol yang diberikan melalui nebulizer. Meski demikian, bronkodilator yang diberikan melalui pMDI menyebabkan durasi perawatan di IGD yang lebih singkat dan efek samping yang lebih minimal (takikardi, palpitasi, tremor dan hipokalemia). Salbutamol parenteral dapat diberikan pada kasus asma yang mengancam jiwa. Salbutamol parenteral ini dapat diberikan dengan dosis 10mcg/kg dalam waktu 10 menit dilanjutkan dengan infus rumatan 0.2mcg/kg/menit hingga maksimal 2mcg/kg/menit. Dosis Salbutamol 0.1-0.15mg/kg tiap 6 jam oral, inhalasi 0.5ml dilarutkan menjadi 4 ml atau nebulisasi 2.5mg/2.5ml 3-6 jam. Untuk asma serangan sedang 0,5% larutan 1ml dilarutkan menjadi 4ml atau nebulisasi 5mg/2.5ml, 1-2 jam, asma serangan berat 0,5% larutan tanpa dilarutkan diberikan kontinyu. Selain itu, beberapa penelitian juga berbeda pendapat tentang manfaat SABA terhadap wheezing akibat infeksi virus.1,3,4,5 Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil. Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi



10



agonis beta-2 kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral. Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik (rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit atau jarang daripada pemberian oral. Bentuk oral juga dapat mengontrol asma, yang beredar di Indonesia adalah salbutamol lepas lambat, prokaterol dan bambuterol. Mekanisme kerja dan perannya dalam terapi sama saja dengan bentuk inhalasi agonis beta-2 kerja lama, hanya efek sampingnya lebih banyak. Efek samping berupa rangsangan kardiovaskular, ansieti dan tremor otot rangka. Satu dosis LABA dapat memicu bronkodilatasi setidaknya selama 12 jam pada anak usia sekolah namun juga efektif pada anak usia pra-sekolah. Salmeterol bubuk kering dan pMDI dapat digunakan sebagai terapi jangka panjang, diberikan 2x/hari sebagai terapi tambahan pada pasien asma yang tidak terkontrol dengan kortikosteroid inhalasi. Formoterol TurbohalerTM dan pMDI digunakan sebagai terapi jangka panjang, diberikan 2x/hari untuk kasus asma dan mencegah bronkokonstriksi pada anak >6tahun. Levalbuterol merupakan R enantiomer racemic albuterol, isomer tunggal yang sering digunakan untuk memicu bronkodilatasi. Dosis formoterol >4th : bubuk 12mcg, inhalasi 12 jam, larutan 20mcg dalam 2ml, inhalasi 12 jam.3,4,5 2.3.4 Ipratroprium Bromide Ipratropium bromide adalah agen antikolinergik selain SABA yang digunakan untuk mengobati anak-anak dengan serangan asma sedang hingga berat yang memiliki respon buruk terhadap terapi SABA. Ipratropium bromide sebaiknya diberikan dengan dosis berulang (250 mcg / dosis). Penggunaan ipratropium bromide dengan salbutamol dapat mengurangi angka rawat inap, meningkatkan FEV1 dan skor klinis dalam 60-120 menit. Selain itu, kombinasi terapi ini dapat mengurangi tingkat mual dan tremor. Meski demikian, terapi kombinasi ini tidak mengurangi durasi rawat inap.Dosis larutan pernapasan (250 mcg/ml) : 0.25 – 1 ml dilarutkan menjadi 4 ml, 4-8 jam; untuk serangan berat : tiap 20 menit, 3 dosis kemudian 4-6 jam 1



2.3.5 Epinephrine hydrochloride



11



Epinephrine hydrochloride tetap menjadi obat pilihan dalam situasi yang mengancam jiwa akibat anafilaksis. Epinephrine tidak dianjurkan untuk perawatan rutin serangan asma. Meski demikian, epinephrine dapat digunakan jika bronkodilator inhalasi atau intravena tidak tersedia. Selain itu, epinephrine juga dapat diberikan pada anak dengan croup. Epinefrin inhalasi dapat menyebabkan vasokonstriksi mukosa subglotis sehingga mengurangi edema. Sebuah tinjauan sistematis menyebutkan bahwa pada kasus distress pernafasan berat, epinefrin inhalasi dapat memberikan bantuan dengan cepat dalam jangka waktu yang pendek. Dosis yang direkomendasikan adalah 0,05 mL/kg (dosis maksimal 0,5 mL) dari racemic epinefrin 2,25%, atau 0,5 mL / kg (dosis maksimal 5 mL) L-epinefrin 1: 1.000 melalui nebulizer. Sejak dahulu, epinefrin racemic telah digunakan untuk mengobati anak-anak dengan croup. Namun, L-epinefrin 1: 1.000 sama efektif dan amannya dengan bentuk racemate. Efek klinis epinefrin inhalasi dapat bertahan setidaknya selama 1 jam. Penting untuk menggarisbawahi bahwa gejala pasien dapat kembali karena efek epinefrin berkurang. Pemberian epinefrin secara inhalasi (satu dosis pada satu waktu) pada anak-anak belum dikaitkan dengan berbagai efek samping seperti peningkatan denyut jantung atau tekanan darah yang signifikan.1 2.3.6 Mast Cell Stabilizers dan Antibodi Anti-IgE Nedocromil dan cromolyn sodium bekerja dengan cara menstabilkan sel mast dan mencegah pelepasan mediator kimia terkait asma seperti histamin, leukotrien, dan sitokin dari sel mast. Obat ketiga dalam kategori ini adalah omalizumab, yang disuntikkan secara subkutan setiap 2 hingga 4 minggu untuk mengobati pasien dengan asma yang sulit disembuhkan. Meski demikian, ketiga obat ini tidak digunakan untuk mengobati PPOK karena kondisi ini tidak disertai dengan gangguan sel mast.5 Omalizumab menghentikan immunoglobulin E (IgE) dari ikatan ke sel mast dan basofil, sehingga mencegah pelepasan mediator kimia. Pasien harus berusia lebih dari 12 tahun untuk menggunakan obat ini, dan pemberian harus dipantau secara ketat selama 2 jam pertama setelah injeksi karena efek samping yang serius, termasuk anafilaksis, and reaksi sistemik berat (dan kadang fatal) terhadap alergen. Sebelum mendapat terapi ini, kadar total IgE serum dan berat badan pasien harus diukur untuk



12



menentukan dosis yang tepat. Tiga kelompok pasien yang dianggap bisa memperoleh manfaat paling banyak dari obat ini antara lain: pasien yang menggunakan steroid inhalasi dosis tinggi dan sensitif terhadap alergen yang mudah ditemukan seperti tungau debu, kecoak, dan bulu hewan peliharaan; pasien yang sering mengalami eksaserbasi; dan pasien yang tidak patuh dengan regimen pengobatan mereka dan mungkin memiliki gejala yang parah. Menurut pedoman GINA, omalizumab harus dipertimbangkan untuk pasien dengan asma berat dan tidak terkontrol dengan steroid inhalasi. Omalizumab harus dianggap sebagai obat tambahan; obat lain harus digunakan sesuai dengan tingkat keparahan asma.5 2.3.7 Surfaktan Paru Surfaktan eksogen (colfosceril, beractant, calfactant, dan poractant alfa) telah lama digunakan sebagai terapi sistem pernafasan imatur pada neonatus. Selain itu, surfaktan eksogen juga digunakan pada pasien dengan trauma paru akut dan/atau adult respiratory distress syndrome (ARDS) dengan hasil yang saling bertentangan.5 2.3.8 Antibiotik Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu bakteri, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi bakteri jenis lain. Obat yang digunakan untuk membasmi bakteri, penyebab infeksi pada manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk bakteri, tetapi relatif tidak toksik untuk host. Agen antibiotika diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerja, yang terdiri dari agen yang menghambat sintesis dinding sel bakteri, agen yang berperan untuk meningkatkan permeabilitas membran sel dan menyebabkan kebocoran zat-zat intraseluler, agen yang mengganggu fungsi dari subunit ribosomal dalam menghambat sintesis protein secara reversible, agen yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat dari bakteri dengan cara menghambat polimerase RNA atau topoisomerase, agen antimetabolit yang menghalangi kerja enzim penting dari metabolisme folat.6 Keberhasilan terapi antibiotika bergantung pada konsentrasi dari antibiotika terhadap bagian infeksi, dimana antibiotika ini harus berhasil menghambat perkembangan mikroorganisme yang menyerang. Jika pertahanan host masih intak,



13



maka agen antibiotika yang menghambat pertumbuhan atau replikasi mikroorganisme, tetapi tidak membunuhnya (agen bakteriostatik), sudah mencukupi bagi host ini. Jika pertahanan host telah rusak, maka antibiotic-mediated killing dibutuhan (agen bakterisidal) pada host ini. Konsentrasi obat pada bagian infeksi harus dapat menghambat organisme, tetapi juga harus berada nilai toksisitas yang rendah terhadap sel manusia. Jika konsentrasi obat ini berhasil menghambat organisme, maka obat ini dipertimbangakan sebagai agen antibiotika yang sensitif terhadap mikroorganisme tertentu. Namun jika sebaliknya, maka agen ini bersifat resisten terhadap mikroorganisme itu. Faktor lokal, seperti pH rendah, konsentrasi protein tinggi, dan kondisi anaerob, juga dapat mengganggu aktivitas kerja dari obat.6 Antibiotika memiliki tiga kegunaan



utama, yaitu terapi empiris, terapi



definitif, dan terapi profilaksis. Ketika menggunakan terapi empiris, antibiotika sebaiknya meliputi seluruh jenis patogen. Hal ini disebabkan karena organisme yang menginfeksi belum dapat diidentifikasi. Terapi kombinasi atau terapi dengan single broad-spectrum dapat diberikan. Jika mikroorganisme yang menginfeksi telah teridentifikasi, maka pengobatan dapat diberikan antibiotika dengan spectrum sempit dan low-toxicity drug. Identifikasi dini mikroogranisme penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih didasarkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor epidemiologis 6 2.3.9.1 Penicillin Penicillin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel bakteri. Terhadap bakteri yang sensitif, penicillin akan menghasilkan efek bakterisida. Kelompok ampicillin efektif terhadap beberapa bakteri Gram-negatif dan tahan asam, sehingga dapat diberikan per oral. Hampir semua infeksi oleh Staphylococcus disebabkan oleh bakteri penghasil penicillinase, dan oleh karena itu, harus diobati dengan penicillin yang tahan penicillinase (penicillin ioksazolil).7 Ampicillin memiliki aktivitas terhadap bakteri Gram-positif yang lebih rendah daripada penicillin G. Ampicillin ini dirusak oleh beta-laktamase yang diproduksi oleh bakteri



Gram-positif



maupun



bakteri



Gram-negatif.



Bakteri



meningokokus,



pneumokokus, gonokokus, dan L. monocytogenes sensitif terhadap obat ini. Selain itu,



14



H. influenzae, E. coli, dan P. mirabilis merupakan bakteri Gram-negatif yang juga sensitive terhadap ampicillin.7 Mekanisme resistensi terhadap penicillin adalah sebagai berikut :7 



Pembentukan enzim beta-laktamase, misalnya pada bakteri S. aureus, H. influenza, gonococcus, dan berbagai bakteri Gram-negatif. Pada umumnya, bakteri Gram-positif mensekresi beta-laktamase ekstraseluler dalam jumlah relatif besar. Bakteri Gram-negatif hanya sedikit yang dapat mensekresi keluar beta-laktamase, tetapi tempatnya strategis, yaitu di rongga periplasmik di antara membrane sitoplasma dan dinding sel bakteri. Kebanyakan jenis beta-laktamase dihasilkan oleh bakteri melalui kendali genetic oleh plasmid.







Enzim autolisis bakteri tidak bekerja, sehingga timbul sifat toleran bakteri terhadap obat.







Bakteri tidak mempunyai dinding sel, misalnya mikoplasma.



Tabel 2. Panduan Penentuan Dosis Penicillin dan Derivatnya Cara



Antibiotika



Pemberian



Penicillin Penicillin G Penicillin VK Penicillin anti – Stpahylococcus Cloxacillin, Dicloxacillin Oxacillin Penicillin yang Diperluas Amoxicillin Amoxicillin asam klavulanat Piperacillin Tikarcillin



/



Dosis Anak



IV PO



25.000 – 400.000 unit / kg/ jam dalam 4-6 dosis 25 – 50 mg / kg / jam dalam 4 dosis



PO



25 – 50 mg / kg / jam dalam 4 dosis



IV



50 – 100 mg / kg / jam dalam 4-6 dosis



PO



20 – 40 mg / kg / jam dalam 3 dosis



PO



20 – 40 mg / kg / jam dalam 3 dosis



IV IV



300 mg / kg / jam dalam 4-6 dosis 200 – 300 mg / kg / jam dalam 4-6 dosis



2.3.8.2 Makrolid (Eritromisin, Klaritromisin, dan Azitromisin)



15



Antibiotik makrolid memiliki persamaan struktur kimia yaitu terdapat cincin lakton yang besar dalam rumus molekulnya. Yang termasuk dalam contoh golongan makrolid adalah Eritromisin, Klaritromisin, Azitromisin, Spiramisin, dan Roksitromisin. Eritromisin merupakan produk metabolik dari bakteri Streptomyces erythreus. Klarithromisin dan Azithromisin merupakan produk semisintetik dari derivat eritromisin.6,7 a. Eritromisin Pada umumnya bekerja sebagai bakteriostatik, akan tetapi dapat menjadi bakterisidal pada konsentrasi yang tinggi terhadap bakteri yang sensitif. Antibiotik ini efektif terhadap bakteri kokus dan basil gram positif. Bakteri kokus yang sensitif terhadap eritromisin adalah S. pyogenes, S. pneumoniae, dan S. viridans.1 Resistensi terhadap eritromisin sering terjadi pada bakteri Staphylococcus aureus yang dijumpai pada rumah sakit.4 Hal ini juga terjadi pada semua jenis antibiotik makrolid lainnya. Basil gram positif yang sensitif terhadap eritromisin (Clostridium perfringens, Corynebacterium diphtheriae, dan Listeria monocytogenes)6 Walaupun eritromisin kurang aktif terhadap bakteri basil aerob gram negatif, seperti H. influenza dan N. meningitides, akan tetapi memiliki aktivitas yang baik terhadap bakteri N. gonorrhoeae, Campylobacter jejuni, M. pneumonia, Legionella pneumophila, C. trachomatis, dan M. scrofulaceum. Eritromisin tidak memiliki efek pada virus maupun jamur.6,7 Eritromisin secara tidak sempurna diabsorbsi pada usus halus bagian proksimal. Obat ini diinaktivasi oleh asam lambung, sehingga sediaan tablet terdiri dari lapisan tahan asam yang akan baru larut pada duodenum. Makanan dapat memperpanjang absobsi dari obat. Campuran dari ester pada obat eritromisin (stearate, estolate, and ethylsuccinate) dapat meningkatkan stabilitas asam dan penyerapannya menjadi tidak terganggu oleh makanan.6,7 Konsentrasi puncak serum dicapai dalam waktu 4 jam setelah administrasi oral.6 Eritromisin dapat berdifusi ke cairan intrasel dan aktif pada hampir semua jaringan dan cairan tubuh, kecuali otak dan cairan serebrospinal. Eritromisin dapat menembus plasenta dan konsentrasi obat pada plasma fetus sekitar 5-20% dari konsentrasi di sirkulasi maternal. Konsentrasi pada ASI sekitar 50% dari konsentrasi pada serum.6



16



Pada pemberian oral, hanya 2-5% eritromisin yang diekskresikan melalui urin, dan hanya 12-15% jika diberikan secara parenteral. Antibiotik disekresikan juga bersamaan dengan empedu. Waktu paruh eliminasi serum dari eritromisin adalah sekitar 1,6 jam. Waktu paruh dapat memanjang pada pasien dengan keadaan anuria. Perlu adanya penyesuaian penurunan dosis pada pasien dengan gangguan renal.6 Eritromisin tersedia dalam preparat suspensi oral (200mg/5ml), drops (100mg/2,5ml) dan tablet (400mg). Sediaan yang banyak dipakai mengandung campuran dengan etil suksunat. Dosis untuk neonatus dengan berat badan 7 hari dengan berat badan 1,2-2 kg diberikan 30mg/kg/24 jam yang terbagi dalam 3 dosis, sedangkan berat badan ≥ 2 kg diberikan 30-40 mg/kg/24 jam yang terbagi dalam 3-4 dosis. 2 Pemberian secara IM tidak dianjurkan karena nyeri.6 Tersedia dalam sediaan tablet (250,500mg) dan suspense oral (125mg/ 5ml, 250mg /5ml). Dosis untuk bayi dan anak dengan otitis media akut, faringitis/ tonsillitis, pneumonia, sinusitis maksilaris akut atau infeksi kulit tanpa komplikasi diberikan 15mg/kg/24 jam yang terbagi dalam 2 dosis dengan dosis maksimal 1g/24 jam. Untuk diagnosis pertussis diberikan dosis 15mg/kg/24 jam yang terbagi dalam 2 dosis selama 7 hari. Efek samping serius jarang terjadi. Terdapat efek samping alergi seperti demam, eosinophilia, erupsi kulit, yag dapat hilang setelah berhenti mengkonsumsi obat. Hepatitis kolestsatik dapat terjadi akibat pemakaaian eritromisin. Pada umumnya muncul setelah 10-20 hari terapi dan ditandai dengan mual, muntah, dan nyeri perut.6 Administrasi oral dosis tinggi dari eritromisin dapat mengakibatkan nyeri epigastrik. Penggunakan sediaan intravena juga dapat menyebabkan efek samping serupa dengan pengguanan oral, seperti mual, muntah, dan diare. Eritromisin menstimulasi motilitas saluran pencernaan dengan bekerja pada reseptor motilin. Eritromisin dapat beruguna untuk membantu mengembalikan fungsi peristaltik pada pasien post operasi, dengan mempercepat pengosongan lambung pada pasien dengan gastroparesis. Efek samping saluran cerna lebih sering terjadi pada pasien anak dan dewasa muda.6



17



Efek samping lain pada penggunaan eritromisin adalah aritmia kardiak dengan pemanjangan segmen QT dan takikardi ventrikel. Gangguan auditorik transien terjadi terutama pada psien dengan penggunaan dosis tinggi.6 b. Klaritromisin Klaritromisin digunakan untuk indikasi yang sama dengan eritromisin, akan tetapi sedikit lebih poten untuk bakteri streptokokus dan stafilokokus dibandingkan dengan eritromisin.6 Klaritromisin merupakan makrolid yang sangat aktif terhadap Chlamydia trachomatis.7 Obat ini juga memiliki aktivitas yang baik terhadap M. catarrhalis, L. pneumophila, B. burgdorferi, Mycoplasma pneumoniae, and H. pylori.6 Klaritromisin memiliki aktivitas yang baik terhadap Mycobacterium leprae.6 Klaritromisin diserap secara cepat dari saluran cerna setelah administrasi oral, akan tetapi metabolisme lini pertama pada hati menyebabkan penurunan bioavailabilitas hingga 50-55%. Konsentrasi puncak dicapai sekitar 2 jam setelah pemberian obat. Penyerapan klaritromisin tidak banyak dipengaruhi oleh makanan dalam lambung sehingga dapat diberikan bersamaan dengan makanan.6.7 Klaritromisin dan metabolit aktifnya yaitu hidroksiklaritromisin, terdistribusi secara luas dan dapat mencapai konsentrasi intraselular yang cukup tinggi pada tubuh.6 Klaritromisin dieleminasi oleh mekanisme renal dan non-renal. Obat ini dimetabolisme di hati menjadi berapa metabolit aktif. Waktu paruh eliminasi adalah 3-7 jam untuk klaritromisin dan 5-9 jam untuk metabolit aktifnya. Dieksresikan 20-40% melalui urin. Farmakokinetik klaritromisin terganggu pada pasien dengan gangguan hati, dan renal, akan tetapi dosis tidak perlu disesuaikan kecuali creatinine clearence kurang dari 30 mL.6 Klaritromisin (500 mg) tersedia dalam campuran dengan lansoprazole (30 mg) dan amoxicillin (1g) yang diberikan unutk mengeradikai infeksi H.pylori dan mnurunkan resiko rekurensi ulkus duodenum.7 c. Azitromisin Azitromisin secara umum memiliki indikasi yang serupa dengan klaritromisin dan secara umum kurang aktif terhadap bakteri gram positif dibandingkan dengan eritromisin dan lebih aktif terhadap H. influenzae and Campylobacter spp daripada



18



eritromisin dan klaritromisin.1 Azitromisin sangat aktif terhadap M. catarrhalis, P. multocida, Chlamydia spp., M. pneumoniae, L. pneumophila, B. burgdorferi, Fusobacterium spp., and N. gonorrhoeae.6 Azitromisin dan klaritromisin telah mengalami peningkatan aktivias terhadap M. avium-intracellulare, dan beberapa jenis protozoa seperti Toxoplasma gondii, Cryptosporidium, and Plasmodium spp.6 Azitromisin yang diberikan secara oral dapat diserap secara cepat akan tetapi terganggu jika diberikan bersama dengan makanan sehingga tidak dianjurkan untuk dikonsumsi bersamaan dengan makanan.6 Konsumsi bersamaan dengan antasida (aluminium dan magnesium hidroksida) menurunkan konsentrasi puncak pada serum. Azitromisin terdistribusi secara luas diseluruh tubuh, kecuali otak dan cairan serebrospinal.6 Obat ini memiliki farmakokinetik yang unik yaitu memliki distribusi ke jaringan tubuh yang luas dan tingginya konsentrasi obat pada sel dan menyebabkan konsentrasi obat di jaringan lebih tinggi daripada konsentrasi obat di dalam serum. Kadar obat di dalam serum relatif rendah tetapi kadar di jaringan dan sel fagosit sangat tinggi. Obat yang berada di jaringan dilepaskan secra perlahan-lahan sehingga dapat diperoleh masa paruh eliminasi sekitar 3 hari. Dengan demikian obat cukup diberikan sekali sehari dan lama pengobatannya dapat dikurangi.6,7 Azitromisin melalui metabolisme lini pertama di hepar menjadi metabolit aktif. Rute utama dari eliminasi obat ini terjadi melalui sekresi empedu. Hanya 12% dari obat diekskresikan melalui urin, Waktu paruh eliminasi adalah 40-68 jam.6 Azitromisin harus diberikan 1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan saat penggunaan oral. Obat ini dapat diberikan untuk penyakit menular seksual khususnya saat kehamilan saat terdapat kontraindikasi dengan penggunaan tetrasiklin. Pada anakanak, dosis rekomendasi azitromisin suspensi oral untuk otitis media akut dan pneumonia adalah 10 mg/kg untuk hari pertama (maksimul 500 mg) dan 5 mg/kg (maksimum 250 mg/hari) untuk hari ke 2-5. Dosis untuk tonsillitis atau faringitis adalah 12 mg/kg per hari selama 5 hari.6 Eritromisin dan klaritromisin menghambat CYP3A4 dan mempotensiasi efek kerja obat karbamazempin, kortikosteroid, siklosporin, digoksin, alkaloid ergot, teofilin, triazolam, valproate, dan warfarin.6 Sedangkan azitromisin tidak menghambat sitokrom P450 sehingga tidak menimbulkan masalah interaksi obat.



19



Prevalensi kejadian resisten makrolid pada streptokokus grup A dapat mencapai 40% yang disebabkan oleh penggunaan yang sering antibiotik makrolid pada suatu populasi. Resistensi makrolid terhadap S. pneumonia seringkali bersamaan dengan resistensi penisilin. Hanya 5% bakteri yang sensitive terhadap penicilin memiliki resistensi terhadap makrolid, dimana lebih dari 50% bakteri yang resisten terhada penicillin juga resisten terhadap makrolid. S. aureus yang resisten terhadap makrolid berpotensi memiliki resistensi terhadap klindamisin dan streptogramin.6 Resistensi terhadap makrolid pada umumnya disebabkan oleh salah satu dari keempat mekanisme ini: (1) adanya efluks obat oleh mekanisme pompa aktif (2) proteksi ribosomal oleh produksi enzim merilase yang memodifikasi ribosom dan menurunkan ikatan obat tersebut. (3) Makrolid dihidrolisis oleh esterase yang diproduksi oleh Enterobacteriaceae dan (4) Mutasi kromosomal yang mengganggu protein ribosom 50S.6 2.3.13 Cephalosporine Seperti



halnya



antibiotika



betalaktam



yang



lain,



mekanisme



kerja



cephalosporine adalah menghambat sintesis dinding sel bakteri. Sintesis yang dihambat adalah reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.7 Cephalosporine generasi pertama menunjukkan spektrum antibiotika yang aktif pada bakteri Gram-positif. Keunggulannya dibandingkan penicillin adalah aktivitasnya terhadap bakteri penghasil penicillinase. Golongan ini efektif terhaap sebagian besar S. aureus dan Streptococcus, termasuk S. pyogenes, S. viridans, dan S. pneumoniae. Cephalosporine generasi kedua kurang aktif terhadap bakteri Gram-positif dibandingkan dengan cephalosporine generasi pertama, tetapi lebih aktif terhadap bakteri Gramnegatif, seperti H. influenza, P. mirabilis, E. coli, dan Klebsiella. Golongan ini tidak efektif terhadap P. aeruginosa dan Enterococcus. Golongan ini tidak dianjurkan untuk infeksi saluran empedu, karena Enterococcus diduga sebagai salah satu penyebab infeksinya.7 Cephalosporine generasi ketiga umumnya kurang aktif dibandingkan dengan cephalosporine generasi pertama terhadap bakteri Gram-positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penicillinase. Cephalosporine



20



generasi keempat mempunyai spektrum aktivitas



yang lebih luas daripada



cephalosporine generasi ketiga, dan lebih stabil terhadap hidrolisis oleh beta-laktamase. Cephalosporine generasi keempat data berguna untuk tata laksana infeksi bakteri yang resisten terhadap cephalosporine generasi ketiga. 7 Tabel 3. Panduan Dosis Cephalosporine pada Anak-anak Antibiotika



Cara Pemberian



Dosis Anak



Cephalosporine generasi pertama Cefadroxil Cefazoline Cephalosporine



PO IV



30 mg / kg / jam dalam 2 dosis 25 – 100 mg / kg / jam dalam 3-4 dosis



generasi kedua Cefoxitin Cefuroxim Cephalosporine



IV PO



75 – 150 mg / kg / jam dalam 3-4 dosis 0,125 – 0,25 gram bid



generasi ketiga Cefotaxim Ceftriaxon Ceftazidim Cephalosporine



IV IV IV



50 – 200 mg / kg / jam dalam 4-6 dosis 50 – 100 mg / kg / jam dalam 2 dosis 75 – 150 mg / kg / jam dalam 3 dosis



IV



75 – 120 mg / kg / jam dalam 23-3 dosis



genrasi keempat Cefepime



2.3.9.4 Aminoglikosida Aminoglikosida merupakan senyawa yang terdiri dari 2 atau lebih gugus gula amino yang terikat dengan ikatan glikosidik pada inti heksosa. Bentuk senyawa ini bersifat basa kuat dan sangat polar, baik dalam bentuk basa maupun garam, bersifat mudah larut dalam ait. Sediaan injeksi berupa garam sulfat dan menyebabkan kurang nyeri ketika diberikan secara intramuskular. Stabilitas aminoglikosida cukup baik pada suhu kamar.6 Obat yang termasuk amoniglikosida adalah gentamisin, amikasin, kanamisin, streptomisin dan neomisin.6



21



Aminoglikosida efektif terutama untuk bakteri basil aerob gram negatif. Akan tetapi aksi terhadap gram negatif terbatas dan tidak seharunya digunakan sebagai pengobatan tunggal untuk mengatasi infeksi gram negatif. Kombinasi dengan menggunakan agen yang menyerang dinding sel yaitu penicillin atau vancomycin, dapat menyebabkan efek bakterisidal sinergis terhadap enterokokkus, streptokokkus, dan stafilokokkus.6 Aminoglikosida memiliki efek yang sangat kecil terhadap bakteri anaerob atau fakultatif anaerob. Kanamisin dan streptomisin meiliki spektrum yang sedikit lebih terbatas dibandingkan dengan aminoglikosida lainnya, dengan demikian tidak dianjurkan untuk mengobati infeksi oleh Serratia atau P. aeruginosa.6 Kebanyakan antibakteri yang menghambat sintesis protein bekerja sebagai bakteriostatik, akan tetapi aminoglikosida bekerja sebagai bakterisidal cepat.1 Aminoglikosida membunuh bakteri sesuai dengan tingkat dosis yang diberikan (concentration-dependent bacterial killing). Obat golongan ini berdifusi melalui kanal air yang terbentuk dari protein porin di membran luar dari bakteri gram negatif untuk masuk kedalam ruangan periplasmik. Selanjutnya akan menyebabkan keluarnya ion dan molekul dari bakteri tersebut yang disusul oleh kematian sel. Aminoglikosida juga mengganggu siklus normal dari fungsi ribosom subunit 30S dan menghambat sintesis protein bakteri dengan mekanisme misreading kode genetik pada inti sel bakteri. 6,7 Kondisi pH yang rendah dan suasana anaerobik mengganggu kemampuan antibakteri dalam transport obat pada membran sel bakteri. Dengan demikian aktivitas antimikroba dari aminoglikosida menurun dengan kedaan anaerobik contohnya pada abses, dan urin yang asam.6,7 Aminoglikosida sangat buruk diabsorbsi melalui saluran cerna ( 30ml/min.6 b. Gentamisin Tersedia dalam sediaan injeksi, dan topikal. Dosis terjadwal harus diberikan kepada neonatus dan bayi yaitu 3 mg/kg per hari untuk naonatus kurang bulan ( 35 minggu, 5 mg/kg per hari yang terbagi dalam 2 dosis untuk neonates dengan infeksi berat. 2-2.5 mg/kg setiap 8 jam untuk anak sampai usia 2 tahun.6 Seluruh aminoglikosida memiliki potensial untuk menyebabkan gangguan vestibular, koklear, dan renal secara reversible maupun ireversibel.6 a. Ototoksik Pada penggunaan aminoglikosida, akumulasi obat ditemukn pada pada cairan perilymph dan endolymph. Waktu paruh obat di dalam cairan telinga lebih lama dibandingkan dengan di plasma. Efek ini terjadi terutama pada pasien dengan penggunaan dosis tinggi, akan tetapi juga ditemukan beberapa kejadian yang hanya disebabkan oleh penggunaan dosis tunggal. Efek samping ini disebabkan oleh karena



23



adanya kerusakan pada sel rambut yang sensitif terhadap aminoglikosida. Lamanya penggunaan obat, faktor usia, bakterimia, gangguan hati, dan ginjal belum terbukti berhubungan dengan kejadian ini. Jika dilihat dari penggunaan jenis aminoglikosida, streptomisin dan gentamisin menimbulkan efek samping pada fungsi vestibular, sedangkan amikasin, kanamisin, dan neomisin lebih berpengaruh terhadap fungsi auditorik, sedangkan tobramisin memepengaruhi keduanya. Insidensi toksisitas vestibular ireversibel pada penggunaan streptomisin cukup tinggi pada orang dewasa yaitu sebanyak hampir 20% untuk pasien yang mendapat streptomisin dengan dosis 2x500 mg selama 4 minggu. 6 Akan tetapi pada bayi, efek samping ototoksik seperti hilangnya fungsi pendengaran jarang ditemukan. Pada penelitian Randomized controlled trial terhadap penggunaan gentamisin sebagai terapi infeksi saluran kemih yang terjadi pada anak-anak, didapatkan prevalensi sebesar 0% anak-anak dengan gangguan pendengaran.7 Sedangkan pada neonatus terdapat 2,3% dari bayi dengan berat badan lahir rendah dan sangat rendah yang mengalami gangguan pendengaran setelah mendapat terapi aminoglikosida (uji pendengaran dilakukan dengan brainstem auditory response signals).8 b. Nefrotoksisitas Sekitar 8 – 26% pasien dewasa yang mengkonsumsi aminoglikosida dalam beberapa hari akan mengalami gangguan ginjal ringan yang reversibel. Efek ini berasal dari akumulasi dan retensi dari aminoglikosida pada sel tubulus proksimal. Manifestasi awal dari efek ini adalah adanya eksresi enzim pada tubulus renal, kemudian terdeteksinya protein pada urin serta adanya sedimen hialin dan granular. Kemudian disusul dengan penurunan laju filtrasi glomerulus. Gangguan dari fungsi renal hampir selalu bersifat reversibel karena sel tubulus proksimal memiliki kapasitas untuk beregenerasi.1 Akan tetapi risiko timbulnya efek samping ini pada anak dan neonatus sangat jarang terjadi. Efek nefrotoksik tidak ditemukan pada 90 bayi dan anak-anak yang mendapat terapi vankomisin dengan durasi pemakaian obat selama 9 hari.8 c. Efek samping lainnya Blok neuromuskular dapat menyebabkan gangguan pernafasan hingga apnea. Aminoglikosida mempunyai efek menghambat pelepasan asetilkolin pada presinaps



24



neuromuscular junction. Kalsium terbukti dapat mengatasi efek samping ini. Efek samping lainnya Efek samping lain yang jarang terjadi adalah gangguan pada nervus optikus (skotoma), neuritis perifer, parestesia.7 2.3.10 Batuk Pengobatan batuk secara umumnya dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis batuknya berdahak atau tidak. Jenis-jenis obat batuk yang terkait dengan batuk yang berdahak dan tidak berdahak yang dibahaskan di sini adalah antitusif, mukolitik, ekspektoran A. Antitusif Berdasarkan lokasi kerjanya, antitusif dibagi menjadi dua yaitu bekerja di sentral (opioid dan non-opioid) dan perifer. Beberapa antitusif kerja sentral yang dapat digunakan pada anak-anak antara lain codein, pentoxyverine, butamirate, gabapentin dan dextromethorphan. Codein merupakan alkaloid opioid untuk menekan nyeri dan batuk. Codein (1mg/kg/hari terbagi dalam 4 dosis, maksimal 60mg/hari) bekerja pada reseptor opioid di sistem saraf pusat atau dengan menghasilkan efek sedatif. Meski demikian, meta-analisis Cochrane library (tahun 2004) tidak mampu menyimpulkan manfaat codein pada batuk akut maupun kronis. Salah satu penelitian pada 57 anak dengan batuk pada malam hari dalam meta-analisis tersebut menyebutkan bahwa codein yang diberikan selama 3 hari tidak lebih efektif dibandingkan plasebo. Codein dengan dosis antitusif (3-5mg/kg/hari) dapat menimbulkan somnolen, ataksia, miosis, muntah, ruam, angioedema, dan pruritus. Sedangkan overdosis codein dapat menimbulkan depresi nafas.5,9,10,11 Antitusif lain yang bekerja pada sistem saraf pusat adalah pentoxyverine, butamirate, dan gabapentin. Meski ketiga obat tersebut telah sering digunakan untuk meredakan batuk namun tidak ada satupun yang terbukti efektif. Selain itu, banyak penelitian yang telah membahas tentang efektivitas dextromethorphan namun penelitian-penelitian tersebut memiliki hasil yang saling bertentangan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa dextromethorphan (1mg/kg/hari terbagi dalam 3-4 dosis) merupakan satu-satunya obat yang telah terbukti dapat menekan batuk namun penelitian lain menyebutkan bahwa dextromethorphan tidak efektif dalam menekan batuk pada kasus common cold. Meta-analisis Cochrane library (tahun 2004) juga menyebutkan



25



bahwa dextromethorphan tidak lebih efektif dibanding plasebo dalam menekan gejala batuk. Meski dextromethorphan merupakan derivat dari morfin namun obat ini memiliki efek analgesik, adiktif dan sedatif yang ringan. Sama seperti codein, overdosis dextromethorphan juga dapat menyebabkan depresi nafas. 5,9,10,11 Salah satu antitusif yang bekerja di perifer adalah levodropropizine yang merupakan agen non-opioid per-oral. Obat ini bekerja dengan cara mempengaruhi kadar neuropeptida sensorik di saluran pernafasan. Aktivitas antitusif obat ini setara dengan cloperastine (pada kasus bronkitis), dextromethorphan (pada kasus batuk kering), dan codein (pada kasus tumor paru) namun memiliki efek sedatif yang lebih ringan. Sebuah penelitian pada pasien bronkitis menunjukkan bahwa levodropropizine efektif pada 80% pasien dan menekan frekuensi batuk sekitar 33-51%.11 Antitusif yang sering digunakan antara lain : a. Dekstrometorfan Menurut Dewoto (2008) dekstrometorfan atau D-3-metoksin-N-metilmorfinan tidak berefek analgetik atau bersifat aditif. Zat ini meningkatkan nilai ambang rangsang refleks batuk secara sentral dan kekuatannya kira-kira sama dengan kodein. Berbeda dengan kodein, zat ini jarang menimbulkan mengantuk atau gangguan saluran pencernaan. Dosis anak – anak 1 mg/ kg BB/ hari dalam dosis terbagi 3 – 4 kali sehari. Dalam dosis terapi dekstrometorfan tidak menghambat aktivitas silia bronkus dan efek antitusifnya bertahan 5-6 jam. Toksisitas zat ini rendah sekali, tetapi dosis sangat tinggi mungkin menimbulkan depresi pernafasan. b.



Kodein Menurut Corelli (2007) kodein bertindak secara sentral dengan meningkatkan nilai ambang batuk. Dalam dosis yang diperlukan untuk menekan batuk, efek aditif adalah



rendah.



Banyak



kodein



yang



mengandung



kombinasi



antitusif



diklasifikasikan sebagai narkotik dan jualan kodein sebagai obat bebas dilarang di beberapa negara. Bagaimanapun menurut Jusuf (1991) kodein merupakan obat batuk golongan narkotik yang paling banyak digunakan. Dosis bagi dewasa adalah 10-20 mg setiap 4-6 jam dan tidak melebihi 120 mg dalam 24 jam. Beberapa efek samping adalah mual, muntah, konstipasi, palpasi, pruritus, rasa mengantuk, hiperhidrosis, dan agitasi



26



B. Mukolitik Meta-analisis Cochrane library (tahun 2004) berhasil menganalisis satu penelitian pada 40 anak yang membandingkan mukolitik letosteine (diberikan dengan dosis 25 mg, 3x/hari selama 10 hari) dengan plasebo. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa skor gejala pada kelompok terapi aktif (letosteine) lebih baik dibanding kelompok plasebo dan tidak ada efek samping yang terjadi.12 Mukolitik merupakan obat yang bekerja dengan cara mengencerkan sekret saluran pernafasan dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum. Agen mukolitik berfungsi dengan cara mengubah viskositas sputum melalui aksi kimia langsung pada ikatan komponen mukoprotein. Agen mukolitik yang terdapat di pasaran adalah bromheksin, ambroksol, dan asetilsistein. a.



Bromheksin



Bromheksin merupakan derivat sintetik dari vasicine. Vasicinemerupakan suatu zat aktif dari Adhatoda vasica. Obat ini diberikan kepada penderita bronkitis atau kelainan saluran pernafasan yang lain. Obat ini juga digunakan di unit gawat darurat secara lokal di bronkus untuk memudahkan pengeluaran dahak pasien. Menurut Estuningtyas (2008) data mengenai efektivitas klinis obat ini sangat terbatas dan memerlukan penelitian yang lebih mendalam pada masa akan datang. Efek samping dari obat ini jika diberikan secara oral adalah mual dan peninggian transaminase serum. Bromheksin hendaklah digunakan dengan hati-hati pada pasien tukak lambung. Dosis Anak-anak 1 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis b. Ambroksol Ambroksol merupakan suatu metabolit bromheksin yang memiliki mekanisme kerja yang sama dengan bromheksin. Ambroxol adalah agen sekretolitik digunakan dalam pengobatan penyakit pernapasan yang terkait dengan lendir kental atau berlebihan. Obat ini meningkatkan jumlah sputum dan menurunkan viskositasnya, merangsang produksi surfaktan, mengurai mukus. Efek samping antara lain rasa tidak enak di epigastrium dan mual. Ambroksol sedang diteliti tentang kemungkinan manfaatnya pada keratokonjungtivitis sika dan sebagai perangsang produksi surfaktan pada anak lahir prematur dengan sindrom pernafasan. Dosis Anak-anak : 0,5 mg/kgBB



27



per kali (3 kali sehari). Sediaan tablet dan sirup, tiap tablet mengandung Ambroxol HCI 30 mg, sirup satu sendok takaran (5 ml) mengandung Ambroxol HCI 15 mg c. Asetilsistein (acetylcycteine) Asetilsistein



(acetylcycteine)



diberikan



kepada



penderita



penyakit



bronkopulmonari kronis, pneumonia, fibrosis kistik, obstruksi mukus, penyakit bronkopulmonari akut, penjagaan saluran pernafasan dan kondisi lain yang terkait dengan mukus yang pekat sebagai faktor penyulit. Ia diberikan secara semprotan (nebulization) atau obat tetes hidung. Asetilsistein menurunkan viskositas sekret paru pada pasien radang paru. Kerja utama dari asetilsistein adalah melalui pemecahan ikatan disulfida. Reaksi ini menurunkan viskositasnya dan seterusnya memudahkan penyingkiran sekret tersebut. Ia juga bisa menurunkan viskositas sputum. Efektivitas maksimal terkait dengan pH dan mempunyai aktivitas yang paling besar pada batas basa kira-kira dengan pH 7 hingga 9. Sputum akan menjadi encer dalam waktu 1 menit, dan efek maksimal akan dicapai dalam waktu 5 hingga 10 menit setelah diinhalasi. Semasa trakeotomi, obat ini juga diberikan secara langsung pada trakea. Efek samping yang mungkin timbul berupa spasme bronkus, terutama pada pasien asma. Selain itu, terdapat juga timbul mual, muntah, stomatitis, pilek, hemoptisis, dan terbentuknya sekret berlebihan sehingga perlu disedot (suction). Maka, jika obat ini diberikan, hendaklah disediakan alat penyedot lendir nafas. Biasanya, larutan yang digunakan adalah asetilsistein 10% hingga 20%.12 C. Ekspektoran Ekspektoran merupakan obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak dari saluran pernafasan (ekspektorasi). Penggunaan ekspektoran ini didasarkan pengalaman empiris. Tidak ada data yang membuktikan efektivitas ekspektoran dengan dosis yang umum digunakan. Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya secara refleks merangsang sekresi kelenjar saluran pernafasan lewat nervus vagus, sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang termasuk golongan ini ialah ammonium klorida dan gliseril guaiakoiat.12 Guaifenesin adalah satu-satunya ekspektoran tanpa resep yang tersedia untuk digunakan pada anak-anak. Guaifenesin adalah mukolitik oral yang membantu melonggarkan dahak dan sekret bronkial dengan meningkatkan sekresi saluran



28



pernapasan sehingga memicu batuk yang lebih produktif dan pembersihan jalan nafas yang lebih baik. Efek samping yang dapat terjadi akibat penggunaan guaifenesin antara lain mual, muntah, pusing, kantuk, sakit kepala, dan ruam. Guaifenesin harus diminum dengan segelas penuh air, dan hidrasi yang memadai selama penggunaan harus dipertahankan. Tablet extended-release tidak boleh dikunyah atau dihancurkan; oleh karena itu, jika pasien tidak dapat menelan tablet, bentuk sediaan yang berbeda - seperti sirup, larutan, cairan, atau minimelt (granul oral) - harus digunakan. Cara



paling



efektif



untuk



memberikan



butiran



oral



adalah



dengan



meletakkannya di lidah dan menelannya tanpa dikunyah. Dosis yang tepat untuk anak berusia hingga 6 tahun adalah sebagai berikut: usia di bawah 2 tahun, dosis individual (dosis umum = 25-50 mg setiap empat jam, dengan dosis harian maksimal 300 mg); usia 2 hingga 6 tahun, 50 hingga 100 mg setiap empat jam, dengan dosis harian maksimal 600 mg).14 2.3.11 Pilek Pilihan obat merupakan preparat kombinasi untuk pilek biasanya mengandung komponen : a. Dekongestan Dekongestan merupakan obat golongan simpatomimetik yang bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor adrenergik sehingga mempengaruhi tonus simpatis di mukosa nasal yang pada akhirnya menyebabkan vasokonstriksi dan meredakan edema mukosa. Dengan adanya penyempitan dari pembuluh darah kapiler (kerja dekongestan), maka hidung dapat menjadi lega kembali. 10, 13,14 Macam-macam Dekongestan: • Dekongestan Sistemik, seperti pseudoefedrin, efedrin, dan fenilpropanolamin. Dekongestan sistemik diberikan secara oral (melalui mulut). Meskipun efeknya tidak secepat topikal tapi kelebihannya tidak mengiritasi hidung. 



Dekongestan Topikal, digunakan untuk rinitis akut yang merupakan radang selaput lendir hidung. Bentuk sediaan dekongestan topikal berupa balsam, inhaler, tetes hidung atau semprot hidung. Phenylephrine bekerja dengan menstimulasi reseptor alfa-1 sedangkan



oxymetazoline, xylometazoline, dan naphazoline menstimulasi reseptor alfa-2. Larutan



29



tetes hidung phenylephrine 0.16% dapat diberikan pada bayi >6 bulan sebanyak 1-2 tetes pada masing-masing lubang hidung setiap 3 jam. Sedangkan larutan tetes hidung phenylephrine 0.125% dapat diberikan pada bayi