Text Book Reading Trauma Kepala [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit gawat darurat suatu rumah sakit. Trauma kepala adalah ruda paksa tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara. Setiap tahun di amerika serikat mencatt 1,7 juta kasus trauma kepala, 52000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang sering dikaitkan dengan kematian (CDC, 2006). Menurut penelitian oleh National Trauma Project di Islamic republic of Iran bahwa diantara semua enis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebaabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh, Zandi, Rouzrokh, Zarei, 2009) Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalulintas, kekerasan dan terjatuh (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki yang mengalami tabarakan kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma kepala terhadap pasien anak-anak bila dibandingkan dengan pasein dewasa (Adeolu, Malomo, Shokunbi, Komolafe dan Abio, 2005). Estimasi sebanyak 1,9 juta hingga 2,3 juta orang menerima perawatan kecederaan yang tidak fatal akibat ekerasan (Rosenberg, Fenley, 1991). Insiden trauma kepala pada tahun 1995 sampai 1998 terdiri dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala ringan sebanyak 60,3% (2463 kasus), trauma keala sedang sebanyak 27,3% (1114 kasus) dan trauma kepala berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian akibat trauma kepala mencatatkan sebanyak 11% berjumlah 448 kasus. Angka kejadian trauma



1



kepala pada tahun 2004 dan 2005 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), FKUI mencatat sebanyak 1426 kasus (Akbar, 2007)



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Anatomi a. Kulit Kepala Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu: Skin atau kulit Connective tissue



atau



jaringan



penyambung. Aponeuris



atau



galea



aponeurotika yaitu jaringan ikat yang



berhbungan



langsung



dengan tengkorak   



Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Perikranium jaringan penunjang longgar memisahkan



galea



aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah



3



sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya (American college of surgeon, 1997).  a. Tulang Tengkorak Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak







terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (American college of surgeon, 1997).  b. Meninges 



Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3



lapisan yaitu : 1) Duramater 



Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu



lapisan endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural(Japardi, 2004)  Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus 4



dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat(Japardi,2004)  Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).  2) Selaput Arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus







pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya



disebabkan



akibat



cedera



kepala



(American



college



of



surgeon,1997)  3) Pia mater 



Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia



mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (Japardi, 2004).      c. Otak 



5







 



Otak merupakan suatu



struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah)



dan



rhombensefalon



(otak belakang) terdiri dari pons, medula



oblongata



dan



serebellum.



 



Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal



berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (American college of surgeon, 1997).  d. Cairan serebrospinalis 6







Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan



kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial.



Angka rata-rata pada



kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari(Hafidh, 2007).  e. Tentorium 



Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang



supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior)(Japardi,2004)  f. Vaskularisasi Otak 



Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.



Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis(Japardi,2004).  



Fisiologi a. Tekanan intracranial  Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang tinggi dapat menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak. TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg 7



dianggap tidak normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya (American college of surgeon,1997) b. Hukum Monroe-Kellie 



Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu



konstan



karena sifat dasar dari tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponenkomponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl). 



Vic = V br+ V csf + V bl (American college of surgeon,1997)



 c. Tekanan Perfusi otak  Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial presure) dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.(American college of surgeon,1997)  d. Aliran darah otak (ADO)  ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEGakan menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap (American college of surgeon, 1997).       



8



 



Patofisiologi



 



  



Pada cedera kepala, kerusakan



otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu



cedera



primer



dan



cedera



sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses



gerakan



kepala



 



akselarasideselarasi



Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan



contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasideselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup) (Japardi, 2004) 



Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai



proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,



9



berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.(Japardi, 2004)    



Klasifikasi Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal



3 deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. a. Mekanisme cedera kepala  Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan (Bernath, 2009). b. Beratnya cedera 



Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma



Scale adalah sebagai berikut : 



1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala



berat. 



2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13







3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.



         



Glasgow Glasgow Coma Scale Respon membuka mata (E) Buka mata spontan Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara Buka mata bila dirangsang nyeri Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun Respon verbal (V) Komunikasi verbal baik, jawaban tepat Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang



nilai ai 4 3 2 1



5 4 10



            



Kata-kata tidak teratur Suara tidak jelas Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun



3 2 1



Respon motorik (M) Mengikuti perintah Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2 Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1



6 5 3



(Kluwer, 2009)  c. Morfologi cedera  Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesiintrakranial. 1. Fraktur cranium  Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis (Bernath, 2009)  Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang



11



tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan (Davidh, 2009)  2. Lesi Intrakranial Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau







difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath, 2009)  a. Hematoma Epidural 



Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang



terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietaloksipital atau fossa posterior.



12







Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5%



dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya “lucid interval” yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf. 



Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens



yang



tidak



selalu



homogeny,



bentuknya



biconvex



sampai



planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali, 2007).  b. Hematom Subdural



 Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining



13



 .



14



 Namun



ia



juga



dapat



berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak.



Fraktura



tengkorak



mungkin ada atau tidak (American college of surgeon, 1997). Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.  1) SDH Akut  Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural (Bernath, 2009).  2) SDH Kronis  Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens (Ghazali, 2007) 



c. Kontusi dan hematoma intraserebral. 



Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi



otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.  Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Hafidh, 2007). 



 d. Cedera difus



 Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).  Komosio



cerebri



klasik



adalah



cedera



yang



mengakibatkan



menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu. Edfisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.  Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana pendrita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus dan



cedeera otak kerena hipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan (American college of surgeon,1997)



e. Setelah terjadinya cedera otak primer, satu atau lebih kejadian terjadi berturut-turut dan memicu terjadinya perburukan fungsi serebral.8 Klasifikasi etiologi cedera otak sekunder dibedakan menjadi penyebab ekstrakranial dan intrakranial. Penyebab ekstrakranial meliputi hipoksia, hipotensi, hiponatremi, hipertermia, hipoglikemia atau hiperglikemia. Penyebab



intrakranial



meliputi



perdarahan



ekstradural,



subdural,



intraserebral, intraventrikular, dan subarachnoid. Selain itu cedera sekunder juga dapat disebabkan karena pembengkakan dan infeksi. Pembengkakan intrakranial meliputi kongesti vena/hiperemi, edema vasogenik, edema sitotoksik, dan edema interstisial. Infeksi yang mengakibatkan cedera otak sekunder antara lain meningitis dan abses otak. (CDC, 2011,. BTF, 2007). Hipotensi dan hipoksia merupakan penyebab utama terjadinya cedera otak sekunder yang mengakibatkan terbentuknya lesi iskemik post traumatik.8 Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya cedera otak sekunder adalah hiperglikemi, hiperkapni, dan hipokapni.(Mopet, 2007) Masalah ekstrakranial menghasilkan kerusakan otak sekunder baik oleh hipoksia ataupun oligemia/iskemia. Konsekuensi utamanya adalah pengurangan dalam ketersediaan energi tinggi fosfat (adenosin triphosphat, ATP). Hal ini menyebabkan kegagalan pompa membran sehingga memicu kematian sel atau sel menjadi bengkak (edema sitotoksik). Hipotensi terjadi karena adanya oligemia primer dan iskemia yang mempengaruhi zona batas artery (arterial boundary zones). Sedangkan hipoksemia cenderung menyebabkan kerusakan lebih luas yaitu neuronal loss yang akan memicu atropi kortek pada pasien. Akibat lebih fatal dari hipoksia yang berat dan panjang adalah keadaan vegetatif yang persisten (persistent vegetatif state PVS) atau kematian. PVS terjadi karena masih masih adanya refleks batang otak tetapi hilangnya sebagian besar reflek kortek. (CDC, 2011,. BTF, 2007,. Mopet, 2007) Cedera otak sekunder dapat terjadi karena hipoksemia sistemik.



Hipoksemia terjadi pada 22,4% pasien cedera otak traumatik parah dan secara signifikan berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Jones et al pada inhospital study terhadap 124 pasien dengan cedera otak dengan tingkat keparahan yang berfariasi, menunjukkan subgrup analisis terhadap 71 pasien dengan data yang dikumpulkan untuk delapan tipe efek sekunder yang berbeda (termasuk hipoksemia dan hipotensi). Durasi hipoksemi (ditandai dengan SaO2 ≤ 90%; median durasi berkisar dari 11,5 hingga 20 menit) dinyatakan sebagai prediktor mortalitas (p=0,024) tetapi tidak terhadap morbiditas.(Mopet, 2007,. Marick, 2002) Sebagian besar studi observasional terhadap cedera otak traumatik menunjukkan hubungan antara hipoksia awal (Spo2