Tinea Cruris Et Corporis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Dermatofitosis adalah infeksi jamur superficial yang disebabkan oleh dermatofit. Dermatofit merupakan kelompok jamur yang memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi yang memungkinkan jamur tersebut untuk berkoloni pada jaringan yang mengandung keratin, seperti stratum korneum epidermis, rambut dan kuku. Mikosis superfisial mengenai lebih dari 20% hingga 25% populasi sehingga menjadi bentuk infeksi yang tersering.1,7 Tinea kruris merupakan dermatofitosis pada sela paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal. Tinea Cruris (eczema marginatum, dhobel itch, jockey itch, ringworm of the growin) adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Kelainan Kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.Peradangan pada tetapi lebih nyata daripada daerah tengahnya 1,2,5 Distribusi, spesies penyebab, dan bentuk infeksi yang terjadi bervariasi pada daerah geografis, lingkungan dan budaya yang berbeda. Dermatofit berkembang pada suhu 25-280C, dan timbulnya infeksi pada kulit manusia didukung oleh kondisi yang panas dan lembab. Karena alasan ini, infeksi jamur superfisialis relative sering pada



1



Negara tropis, pada populasi dengan status sosioekonomi rendah yang tinggal di lingkungan yang sesak dan hygiene yang rendah..Dermatofit tersebar di seluruh dunia dan menjadi masalah terutama di Negara berkembang. Mikosis superficial mengenai lebih dari 20% hinga 25% populasi sehingga menjadi bentuk infeksi yang tersering 3,4 Tinea cruris merupakan keadaan yang sering terjadi diseluruh dunia, dan paling sering di daerah tropis. Keadaan lembab dan panas berperan pada timbulnya penyakit. Tinea cruris lebih sering pada pria dibanding wanita, salah satu alasannya karena skrotum menciptakan kondisi yang hangat dan lembab. Infeksi ini bila tidak diobati secara tidak adekuat dapat mengakibatkan penyebaran penyakit yang luas Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan. Tinea cruris merupakan salah satu bentuk klinis yang sering dilihat di Indonesia.5 Tinea Cruris umumnya dikenal secara klinis morfologi, kecuali pada beberapa kasus tertentu. Diagnosis tinea cruris ditegakkan berdasarkan klinis dan laboratorium.Pemeriksaan laboratorium untuk dermatofitosis yang dilakukan secara rutin adalah pemeriksaan mikroskopik langsung dengan KOH 10-20%. Pemeriksaan mikroskopik langsung untuk mengidentifikasi struktur jamur merupakan teknik yang cepat, sederhana, terjangkau, dan telah digunakan secara luas sebagai teknik skrining awal 1,2



2



Pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseofulvin yang bersifat fungistatik. Bagian dosis pengobatan griseofulvin berbeda.beda.



3



BAB II LAPORAN KASUS Resume Seorang laki laki umur 51 Tahun datang ke Poli kulit RSKD dengan keluhan gatal pada seluruh tubuh khususnya pada daerah selangkangan yang dirasakan sangat gatal tiap saat,



kemudian sering digaruk. sebelumnya pasien telah melakukan



pengobatan dengan keluhan gatal pada seluruh tubuh. Setelah itu muncul lagi dan gatal yang disertai rasa tertusuk-tusuk. Pasien tidak memiliki riwayat alergi, tidak memiliki keluhan yang sama dikeluarga. Pasien tidak mual, tidak muntah dan tidak demam. Riwayat pasien menderita gangguan psikotik. Status Dermatologi Pemeriksaan fisis



: ditemukan papulovesikel, lesi kulit berupa eritema



yang berbatas tegas disertai skuama dan terdapat ekskoriasi. Lokasi



: Femur



Ukuran



: Lentikuler - numular



Effloresensi



: Makula papul eritema serta skuama dan disertai ekskoriasi



4



Pemeriksaan Lab



:



Pemeriksaan KOH (+)



Terdapat Hifa (+)



Diagnosis Banding 1. Dermatitis Seboroik 2. Eritrasma



Diagnosis Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan yang dilakukan maka pasien didiagnosa dengan Tinea Cruris



5



Gambar 1. Lesi pada femur



Gambar 2. Lesi Pada Perut



Diagnosis



: Tinea Cruris



Penatalaksanaan : 1. Terapi Sistemik Anti Histamin (Cetrizine) Anti Jamur (ketokonazole) 6



2. TerapiTopikal Pengobatan Topikal berupa Anti Jamur (Miconazole) Cream



Prognosis : Baik Tapi Residif.



7



BAB III PEMBAHASAN Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dari pasien, di dapatkan beberapa gejala klinis seperti gatal yang dirasakan pada daerah sekitar selangkangan. Keluhan dirasakan sejak lama. Gatal yang dirasakan tiap saat dan sering di garuk karena merasa sangat gatal. Lesi yang didapatkan berbatas tegas, peradangan pada tepi yang lebih nyata. Melihat keluhan yang dialami pasien dapat didiagosis sebagai tinea cruris. Ini sesuai kepustakaan yang menyatakan bahwa salah satu manifestasi klinis tinea cruris kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tetapi lebih nyata daripada daerah tengahnya Manifestasi klinis tinea cruris adalah rasa gatal yang meningkat saat berkeringat atau terbakar pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus, dan daerah perineum. Berupa lesi yang berbentuk polisiklik, bulat berbatas tegas, efloresensi polimorfik, dan tepi lebih aktif.5,6,11 Tinea Cruris sebagai salah satu dermatofitosis, disebakan oleh jamur golongan dermatofitia, terutama suatu kelas fungi imperfecti, yaitu Genus Microsporum, Trichopyton, dan Epidermophyton. Tinea Cruris sering ditemukan pada kulit lipat paha, genitalia, daerah pubis, perineum, dan perianal. Penyakit ini merupakan penyakit terbanyak yang ditemukan didaerah inguinal, yaitu sekitar 65-80% dari semua penyakit kulit diinguinal 5



8



Berdasarkan hasil anamnesis pada pasien yang didiagnosis tinea cruris ini merupakan seorang laki-laki dengan usia 55 tahun. Ini sesuai dengan kepustakaan yaitu Tinea Cruris lebih sering pada rentang usia 51-60 tahun dan tiga kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita. Orang dewasa lebih sering menderita tinea cruris bila dibandingkan dengan anak-anak. 5,9,10 Faktor Predisposis tinea cruris adalah kelembapan dan suhu yang tinggi serta keadaan yang dapat menurunkan system imun melawan infeksi seperti diabetes dan obesitas. 6 Berdasarkan hasil pemeriksaan fisis diketahui bahwa pasien ini memiliki faktor kecenderungan untuk menderita tinea cruris karena faktor hygiene yang tidak teratur. Diagnosis tinea kruris pada umumnya, mudah dikenal secara klinis morfologis, kecuali pada beberapa kasus tertentu. Tinea kruris ditegakkan berdasarkan; a. Manifestasi klinis Secara klinis tinea kruris biasanya tampak sebagai papulovesikel eritematosa yang multiple dengan berbatas tegas dan tepi meninggi.Terdapat central healing yang ditutupi skuama halus pada bagian tengah lesi, dengan tepi yang meninggi dan memerah sering ditemukan. Pruritus sering ditemukan seperti halnya nyeri yang disebabkan oleh maserasi ataupun infeksi sekunder. Tinea kruris yang disebabkan e.flocossum paling sering menunjukkan gambaran central healing,dan paling sering terbatas pada lipatan geniotokrural dan bagian pertengahan pada paha atas. Sebaliknya, infeksi oleh T.Rubrum sering



9



memberikan gambaran lesi yang bergabung dan meluas sampai ke pubis, perianal, pantat, dan bagian abdomen bawah. Tidak terdapat keterlibatan pada daerah genital. b. Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan KOH didapatkan hifa yang menunjukkan diagnosis tinea cruris



ini



sesuai



dengan



kepustakaan



yang



menyatakan



Diagnosis



dermatofitosis yang dilakukan secara rutin adalah pemeriksaan mikroskopik langsung dengan KOH 10-20%. Pada sediaan KOH tampak hifa bersepta dan bercabang tanpa penyempitan.Terdaparnya hifa pada sediaan mikroskopik potassium hidroksida (KOH) dapat memastikan diagnosis dermatofitosis.5,6 Diagnosis Banding 1. Dermatitis Seboroik adalah dermatitis untuk dipakai segolongan kelainan kulit yang didasari oleh faktor konstitusi dan bertempat predileksi ditempat-tempat seboroik. Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan, batasnya agak kurang tegas dermatitis seboroik yang ringan hanya mengenai kulit kepala berupa skuama yang halus. Bentuk yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak yang berskuama dan berminyak disertai eksudasi dan krusta tebal. Pada Dermatitis Seboroik lesi akan tampak bersisik dan berminyak serta biasanya melibatkan daerah kulit kepala dan sternum.



10



2. Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada startum korneum yang disebabkan oelh Corynebacterium bacterium minitussismum, ditandai dengan adanya lesi berupa eritema dan skuama halus terutama didaerah ketiak dan lipay paha. Eritrasma dapat dibedakan dengan tinea cruris dengan lampu wood dimana pada eritrasma akan tampak fluoresensi merah. 3,5 Penatalaksaan tinea kruris berupa terapi medikamentosa dan non medikamentosa. Penatalaksaan medikamentosa dapat dimulai berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada sampel kulit.Dapat diberikan berupa : 1. Griseovulvin : pada masa sekarang dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian Griseovulvin. Obat ini bersifat Fungistatik. Secara umum Griseovulvin dalam bentuk Fine Particle dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 untuk orang dewasa 0,25-0,5 g, untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg per kilogram berat badan. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit dan keadaan imunitas penderita. 2. Butenafine adalah anti jamur topical terbaru diperkenalkan dalam pengobatan tinea kruris dalam dua minggu pengobatan dimana angka kesembuhan sekitar 70 %. 3. Flukonazol (150 mg sekali seminggu) Selama 4-6 minggu terbukti efektif dalam pengelolaan tinea kruris dan tinea corporis karena 74% dari pasien mendapatkan kesembuhan.



11



4. Itrakonazol dapat diberikan sebagai dosis 400 mg / diberikan sebagai dua dosis harian 200 mg untuk satu minggu. 5. Terbinafine 250 mg / hari telah digunakan dalam konteks ini klinis dengan rejimen umumnya 2-4 minggu 6. Itrakonazole diberikan 200 mg / hari atau selama 1 minggu dianjurkan, meskipun rejimen 100 mg / hari selama 2 minggu juag dilaporkan efektif 7. Ketokonazol bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap griseovulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg perhari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan. Penatalaksanaan tinea kruris tidak hanya diselesaikan secara medikamentosa, namun dapat juga dilakukan secara nonmedikamentosa dan pencegahan dari kekambuhan penyakit sangat penting dilakukan, seperti mengurangi faktor predisposisi, yaitu menggunakan pakaian yang menyerap keringat, mengeringkan tubuh



setelah



mandi



atau



berkeringat,



dan



membersihkan



pakaian



yang



terkontaminasi.8



BAB IV KESIMPULAN



12



1. Tinea Cruris (eczema marginatum, dhobel itch, jockey itch, ringworm of the growin) adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapar bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. 2. Faktor Predisposis tinea cruris adalah kelembapan dan suhu yang tinggi serta keadaan yang dapat menurunkan system imun melawan infeksi seperti diabetes dan obesitas. 3. Manifestasi klinis tinea cruris adalah rasa gatal yang meningkat saat berkeringat atau terbakar pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus, dan daerah perineum. Berupa lesi yang berbentuk polisiklik, bulat berbatas tegas, efloresensi polimorfik, dan tepi lebih aktif 4. Diagnosis dermatofitosis yang dilakukan secara rutin adalah pemeriksaan mikroskopik langsung dengan KOH 10-20%. Pada sediaan KOH tampak hifa bersepta dan bercabang tanpa penyempitan. Terdaparnya hifa pada sediaan mikroskopik potassium hidroksida (KOH) dapat memastikan diagnosis dermatofitosis 5. Pengobatan berupa Griseovulvin, dapat pula diberikan anti histamine, Fungostatik dan Anti Jamur. 6. Prognosis baik namun residif



13



Lampiran Identitas Pasien Nama



: Tn. H



Umur



: 51 tahun



Jenis Kelamin



: Laki Laki



Alamat



: Ruangan Asoka (RSKD)



Pekerjaan



:-



Status Pekawinan



:-



14



Tanggal Masuk RS



: 29 Agustus 2016



Anamnesis



: Autoanamnesis



Keluhan Uama



: gatal pada seluruh tubuh, terutama pada selangkangan



Anamnesis Terpimpin : Seorang laki laki umur 51 Tahun datang ke Poli kulit RSKD dengan keluhan gatal pada seluruh tubuh khususnya pada daerah selangkangan yang dirasakan sangat gatal tiap saat, kemudian sering digaruk. sebelumnya pasien telah melakukan pengobatan dengan keluhan gatal pada seluruh tubuh. Setelah itu muncul lagi dan gatal yang disertai rasa tertusuk-tusuk. Pasien tidak memiliki riwayat alergi, tidak memiliki keluhan yang sama dikeluarga. Pasien tidak mual, tidak muntah dan tidak demam. Riwayat pasien menderita gangguan psikotik.



DAFTAR PUSTAKA



1. Verna,S, Heffeman, Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,oncomycosis, tinea nigra, piedra, Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, L effell DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine, edisi ke 7, New York;McGraw Hill,2008.h.1807-21 2. Adhi, Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2013 3. Havlickova B,Czaika VA,Friedrich M.Epidemiological trends in skin mycoses worldwide,Mycoses 2008;51(Suppl.4):2-15 4. Cobo EA, Silva JC, Cota UA, Machado JR, Castellano LR. Evaluation of a modified microscopic direct diagnoss of dermatopytosis. J Microbiol Methods 2010; 81:205-7



15



5. Yosella T, Diagnosis and treatment of Tinea Cruris. J Majority. Jan 2015; 4 (2):122 6. Wiratama MK. Laporan kasus tinea kruris pada penderita diabetes mellitus. Denpasar ;Fakultas Kedokteran Universitas Udayana;2011. 7. Paramata NR, Maidin A, Massi N. The Comparison of Sensitivity Test of Itraconazole Agent The Causes of Dermatophytosis in Glabrous Skin In Makassar. Makassar: Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin. Makassar; 2009. 8. Risdianto A, Kadir D, Amin S. Tinea corporis and tinea cruris cause by trichophyton mentagrophytes type granular in asthma bronchiale patient. Department of Dermatovenereology Universitas Hasanuddin. 2013. 9. Yadav A, Urhekar AD, Mane V, Danu MS, Goel N, Ajit KG. Optimization and isolation of dermatophytes from clinical samples and in vitro antifungal susceptibility testing by disc | 128 diffusion method. Journal of Microbiology and Biotechnology. 2013; 2(3)19-34 diffusion method. Journal of Microbiology and Biotechnology. 2013; 2(3)19-34 10. Adiguna MS. Update treatment in inguinal intertrigo and its differential. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2011. 11. Abdelal EB, Shalaby MAS, Abdo HM, Alzafarany MA, Abubakr AA. Detection of dermatophytes in clinically normal extra-crural sites in patients with tinea cruris. The Gulf Journal of Dermatology and Venereology. 2013; (20)1: 31-9.



16