Tokoh Tajdid Dan Pembaharuannya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MENGENAL TOKOH-TOKOH TAJDID DAN FOKUS PEMBAHARUAN Nama Prodi/semester Nim Matkul Dosen pengampuh



: Radhin Miftah Shiddiq : PJKR 3B : 202223015 : Kemuhammadiyahan : Sueb, M.Pd. I



Tokoh-tokoh tajdid dan pembaharuannya 1. Ibnu Taimiyah Dalam tulisannya yang berjudul "Muhammadiyah dan Matarantai Pembaruan Islam", Haedar Nashir memaparkan bahwa jatuhnya Kota Baghdad ke tangan pasukan Mongol pada 1258 telah menimbulkan dua kecenderungan. Pertama, masuknya praktik-praktik kehidupan dan keagamaan yang bersifat mistis dan kemudian mencemari akidah dan moral umat kala itu, yang banyak penyimpangan dari kemurnian Islam. Kedua, kejatuhan politik Islam, sehingga umat Islam menjadi lemah. Akibat dari dua hal tersebut kemudian umat Islam menjadi krisis secara akidah, merosot secara moral, lemah secara politik, dan jumud secara pemikiran dan kondisi kehidupan. Dalam kondisi yang demikian itulah, muncul gerakan untuk memurnikan kembali Islam dan melakukan pembaruan dalam kehidupan sebagaimana dipelopori oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) untuk memperbarui cara berpikir dan cara hidup umat Islam. Tema utama pemikiran Ibnu Taimiyah ialah gerakan al-ruju’ ila al-Qur'an wa AsSunnah (kembali pada sumber ajaran Islam, yakni Alquran dan sunah). Dengan tekanan pada pemurnian akidah, gerakan ini sering disebut dengan muhyi atsar alsalaf (menghidupkan kembali ajaran ulama salaf yang saleh), yakni praktik ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW dan tiga generasi sesudahnya, yakni generasi para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.



Gerakan pemurnian yang diusung Ibnu Taimiyah saat itu sejalan dengan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal, yang menghidupkan ajaran salafiyah, tetapi sekaligus membuka pintu ijtihad. Keras dalam ajaran akidah, tetapi terbuka pada ijtihad. Karenanya, dalam perkembangan berikutnya, gerakan pemurnian tersebut menjadi bersenyawa dengan spirit ijtihad dan berorientasi pada bagaimana membangkitkan kembali kemajuan umat Islam dari kemunduran dan kemajuan. 2. Muhammad bin Abdul Wahhab Pembaruan yang dipelopori Ibnu Taimiyah memperoleh dukungan kuat dan dilanjutkan oleh muridnya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (1292-1350 M), terutama dengan tekanan pada pemurniannya. Bahkan, tiga abad setelah itu digelorakan kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787 M) di jazirah Arabia dengan corak dan warna pemurnian yang lebih keras. Kemunduran dunia Islam, baik dalam lapangan keagamaan maupun politik dan peradaban, pasca kejatuhan Baghdad dan Andalusia, sungguh meluas dan berlangsung beberapa abad. Umat Islam tertidur lelap dalam kejumudan dan ekspansi negara-negara Barat, hingga lahirlah gerakan pembaruan fase kedua. Di antara gerakan pembaruan yang lahir pada fase kedua itu (abad ke-18) ialah gerakan Wahabiyah yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di Nejd, Arab Saudi. Munculnya gerakan Wahabiyah ini tidak terlepas dari kondisi umat Islam di wilayah Jazirah Arab saat itu yang mengalami kemunduran di bidang akidah dengan maraknya berbagai praktik yang dianggap telah muncul sifat-sifat kemusyrikan, bid’ah, dan takhayul. Hal ini sebagai akibat dari semakin jauhnya spirit Islam dari sumbernya yang asli. Selain itu juga karena pengaruh dari praktik-praktik keagamaan lama yang bangkit kembali. Berbeda dengan para pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahhab lebih menekankan pada pemurnian yang lebih praktis dan cenderung keras. 3. Jamaluddin Al-Afghani



Pada periode selanjutnya, gerakan pembaruan atau kebangkitan Islam memperoleh sentuhan politik yang kuat dan meluas melalui tokoh pembaru lainnya, Jamaluddin AlAfghani (1838-1797 M). Ia merupakan sosok pembaru yang memiliki karakter kuat dan dinamis. Al-Afghani hijrah dari satu negara ke negara lain, dan di setiap wilayah yang dikunjunginya selalu menimbulkan keguncangan politik. Antara lain di Afghanistan, India, Mesir, Turki, Makkah, Inggris, dan Prancis. Saat menunaikan haji, Al-Afghani tergerak oleh suasana menyatunya umat Islam seluruh dunia. Dari situ, lahirlah gagasan untuk menggerakkan Jami‘ah Islamiyyah, yang merupakan ikhtiarnya untuk mempersatukan umat Islam sedunia yang oleh para ahli Barat kemudian disebut Pan-Islamisme L Stoddard dalam The New World of Islam memaparkan, konsep Jami‘ah Islamiyah yang dikembangkan al-Afghani, berbeda dari pandangan tentang Pan-Islamisme pada umumnya. Pan-Islamisme dalam pandangan umum merupakan konsep persatuan umat Islam sedunia dalam bentuk kekhalifahan Islam. Sedangkan spirit Jami‘ah Islamiyah ala Al-Afghani, bertujuan mempersatukan umat Islam seluruh dunia, namun tidak menghendaki satu kepala negara atau satu khalifah untuk seluruh dunia, sebagaimana konsep Pan-Roma yang berlaku di dunia Kristen. Konsep satu khalifah atau satu kepala negara untuk dunia Islam, menurut Al-Afghani, tidaklah mungkin. Jami’ah Islamiyah menghendaki persatuan umat Islam sebagai kekuatan bersama untuk membebaskan dirinya dari penjajahan dan membangun kekuatan bersama. 4. Muhammad Abduh Di tangan Muhammad Abduh (1849-1905), gerakan pembaruan atau kebangkitan Islam memperoleh sentuhan yang lebih kuat dalam bidang pemikiran dan pendidikan. Abduh dikenal sebagai sosok pembaru dunia Islam yang memiliki pemikiran cemerlang.



Dalam pandangan Haedar Nashir, karakter pemikiran dan kiprah pembaruan tokoh dari Mesir ini, relatif memiliki kemiripan dengan pemikiran KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Harun Nasution dalam bukunya "Muhammad Abduh dan Teologi Rasional" memaparkan ide-ide pembaruan Muhammad Abduh. Pertama, menyangkut pembaruan pemikiran keagamaan. Menurut Abduh, umat Islam mengalami kemunduran karena dihinggapi kejumudan dalam berpikir, sehingga tidak mengalami kemajuan Kedua, masalah pendidikan. Abduh mengkritik umat Islam yang tenggelam dalam kebodohan, terkungkung dalam tradisi yang membuahkan umat terbelakang dan mudah dibodohi oleh penguasa. Dia juga mengkritik kebiasaan taklid terhadap ulama dan pemujaan yang berlebihan terhadap wali dan syekh. Karena itu, diperlukan pembaruan sistem pendidikan di lingkungan umat Islam yang sesuai dengan kebutuhan zaman Ketiga, dalam bidang politik. Abduh menekankan pentingnya pendidikan politik bagi rakyat melalui sekolah, surat kabar (media massa), dan dakwah dalam mengetahui hak-haknya. Dia juga berpandangan bahwa pemerintah harus benar-benar memperhatikan aspirasi rakyat. Penguasa sangat mungkin melakukan kesalahan, maka rakyat boleh mengingatkannya. Keempat, menghadapi serangan pemikiran Barat. Abduh berpandangan hal-hal dari Barat atau dunia modern boleh diambil sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Islam bahkan agama yang sesuai dengan kemodernan. Namun, Abduh juga menangkis dan membela serangan pemikir-pemikir Barat yang salah paham dan keliru pandangannya tentang Islam. 5. Muhammad Rasyid Ridha Di Mesir, selain Muhammad Abduh muncul Muhammad Rasyid Ridha (1856-1935 M), murid dan kawan Abduh yang meneruskan gagasan-gagasannya. Perjumpaan dengan AlAfghani dan Abduh, membuatnya menyerap pikiran-pikiran pembaruan.



Tetapi, berbeda dengan Abduh, Ridha lebih terbatas dalam memberi ruang pada akal dan masih terikat kuat pada pemikiran Ibnu Hanbal, Ibnu Taimiyyah, dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Ridha tidak sebagaimana Abduh juga lebih terbatas dalam menerima pemikiran Barat, kendati mengakui pentingnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebagaimana negeri-negeri Barat. Sikap lebih keras terhadap Barat tampak pada pemikiran Ridha. Pemikiran pembaruan Rasyid Ridha tidak seberani dan semaju pemikiran Muhammad Abduh.



Semangat pembaruan Islam yang dikampanyekan oleh para tokoh pelopor gerakan kebangkitan Islam seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Abdul Wahhab, Jamaluddin alAfghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha merambah hingga ke Indonesia. Ketika wilayah Nusantara masih berada dalam kungkungan penjajahan Belanda, kehidupan masyarakat dan umat Islam yang terjajah, bodoh, tertindas, memaksa sejumlah intelektual dan cendekiawan Indonesia untuk melakukan sebuah gerakan pembebasan dan pembaruan. Di awal abad ke-20 gagasan dan pemikiran para tokoh tersebut secara tidak langsung diserap oleh para kaum intelektual Muslim yang bermukim di Pulau Jawa. Salah seorang di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan, yang mendirikan Muhammadiyah pada 1912 M. Melalui lembaga Muhammadiyah yang didirikannya, Kiai Ahmad Dahlan mencoba melakukan pembaruan terhadap pemahaman keislaman di Tanah Air. Apa yang telah dirintis oleh Ahmad Dahlan di kemudian hari dilanjutkan oleh para penerusnya, seperti KH Mas Mansur, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Buya Hamka, dan KH AR Fakhruddin. Bahkan, di abad ke-21 ini, memasuki Satu Abad Muhammadiyah, para intelektualnya melakukan sebuah terobosan yang cemerlang dalam upaya mencerdaskan rakyat,



menciptakan kemandirian bangsa, dan terbebas dan berbagai macam penindasan dan kebodohan. Itulah konsep Fikih Al-Maun. Mengapa konsep ini yang kemudian dikembangkan? Karena adanya pandangan bahwa umat Islam yang sampai sekarang masih mengalami ketertinggalan peradaban dan banyak rakyatnya yang menjadi penyandang masalah sosial, miskin, dan bodoh. Karena itu, penyelesaian masalah pokok tersebut, harus diawali dari perumusan sistem ajaran yang memadai sebagai basis teologi